Professional Documents
Culture Documents
ST IP M!"AMMADIYA"
%alan Raya &i'u'ur #o ()
!#I#$A#
unin'an
Negara Pancasila
Dalam praktiknya, Indonesia lebih akrab dengan definisi bukan negara agama,juga buakan negara sekuler. Definisi sempit tersebut hanya melihat pancasila dalam kerangkarelasi antara agama dan negara. Bahkan, definisi neither-nor itu menjadi apologi penguasa dan sesungguhnya tidak operasional.
Pro*lem mene'ara
Identitas negara yang serba negatif itu membuat gerak Indonesia berayun di antara dua ideologi, tidak bergerak maju membawa bangsa keluar dari jerat kemiskinan dan korupsi. anpa !ancasila, Indonesia tidak memiliki cita-cita untuk diperjuangkan bersama. "ejatinya, !ancasila adalah soal perjuangan. #ntuk itu, penyelenggara dan warga negara harus !ancasilais. $elalaian bersama selama ini adalah melihat !ancasila hanya sebagai dasar negara. %egara dilihat sebagai sebuah bangunan statis. Dengan tersedianya fondasi negara, seolah-olah selesai juga bangunan bernama Indonesia. Dalam perspektif menegara, kokoh tdaknya bangunan Indonesia bergantung pada seberapa jauh !ancasila menjadi ideologi yang hidup, terinternalisasi dalam perilaku penyelenggara dan warga negara. Begitulah !ancasila merupakan imperatif kategoris &normal' menegara. !roblem serius Indonesia sekarang adalah mati surinya ideologi. !ancasila diabaikan dalam menyusun kebijakan dan perilaku politik. $etika negara tidak !ancasilais, rakyatlah yang pertamatama menderita. (ukup banyak rakyat menjadi korban kekerasan karena penguasa tidak tegas memihak kemanusiaan yang adil dan beradab, terutama mereka yang lebih lemah. %egara hanya menjadi memadam kebakaran sosial atau, lebih buruk lagi, penonoton. )leh karena itu, warga pun sulit melihat rele*ansi langsung antara ideologi dan kenyataan hidup sehari-hari.
!ancasila sebenarnya cukup ampuh menangkal idelogi asing sebab nilai-nilainya diangkat dari kultur bangsa. %amun, mengacu Driyarkara, !ancasila tidak boleh hanya berhenti pada nilainilai luhur &ideifikasi', tetapi harus diperjuangkan menjadi konkret &idealisasi'. !ancasila tidak boleh berhenti pada tataran ide, tetapi harus menjadi cita-cita bersama. )leh karena itu, menjadi !ancasilais bukanlah imbauan moral seperti imbauan dalam agama. !ancasila bukan agama, meski juga tidak bertentangan, melainkan imperatif kategoris bernegara dan berbangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi besar bukan karena agamanya-banyak bangsa juga beragama-melainkan karena hidup sebagai insan !ancasilais, dengan !ancasila sebai ideologi pembentuk moralitas bangsa. Dalam negara !ancasilais, mestinya kebebasan melaksanakan ibadah dihormati dan dijamin sejauh kebebasan itu tak melanggar tertib umum. oleransi di Indonesia tidak boleh lebih buruk daripada di negara komunis ataupun sekuler. +ukum agama tidak boleh ditinggikan di atas hukum sipil seharusnya bebas dari bias agama. idak boleh ada kelompok minoritas yang menjadi target viktimisasi.
Peran kampus
1ang mengejutkan, kenyataan palang pintu penegakan rule of law dan +,- yang demikian itu diperpuruk keinginan sejumlah kampus,terutama fakultas hukum, yang menghapus mata kuliah +,- dari daftar kurikulum. Bahayanya, kampus sekadar mampu mencetak 2tukang-tukang3 yang mahir menerapkan pasal atau pasalistik, sementara ajaran rule of law dan +,- manusia kian menjauh dari upaya pembelaan akademisi kampus atas situasi sosial politik kebangsaan. "angat jelas, persoalan penegakan hukum dan +,- masih merupakan agenda besar dan panjang bagi bangsa Indonesia.
tali kasih tak sampai atau cinta yang bertepuk sebelah tangan dengan konsekuensi-konsekuensi yang sangat serius. +atus dicatat, sistem jaminan sosial dilandasi prinsip kewarganegaraan yang sangat sederhana. !rinsip-prinsip solidaritas ini harus diwujudkan secara paksa oleh negara dalam bentuk regulasi, seperti melalui pajak dan aturan jaminan sosial. anpa itu, hanya sebagian kecil warga negara yang merasa memiliki dan mendapatkan kasih dari negara, atau negara itu akan tercabut dari masyarakat.
Partai politik
6ika dianalogikan sebuah mesin, parpol tak lagi memainkan peran sebagai transmission belt untuk menghubungkan perputaran mesin negara dengan mesin masyarakat. "eluruh kekuatan politik di D!4 perlu menyadari, situasi seperti ini tak dapat dibiarkan berlangsung terus. !arpol harus menyadari wajah negara yang buruk rupa akan juga memburukkan wajah partai )leh karena itu, parpol di Indonesia kini berada dalam ruang tunggu sejarah untuk menjawab pertanyaan7 apakah mereka akan mampu mengelola demokrasi untukmenunjukan adanya kasih dan harapan dari negara terhadap warga negaranya.
Keseimbangan Kekuasaan
"etelah 88 tahun merdeka, kita tak lagi menghadapi agresi militer asing. -eski demikian, negeri ini bukan tanpa masalah serius. !enjajah tak lagi oleh asing, tetapi oleh elite negeri ini dalam wujud korupsi, kolusi, dan nepotisme yang makin masif serta telanjang. ,ngka kemiskinan yang terus meroket tak lain karena ,!B% dikorupsi secara berjemaah baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. +ingga sekarang pada era 4eformasi yang demokratis ini, sebagian besar warga negara masih terlunta-luntadidepan pintu gerbang kemerdekaan hanyalah mereka yang berduit, kaum plutokrat. Dalam pamfletnya, dia mengatakan bahwa re*olusi kita mempunyai dua wajah7 re*olusi nasional menghadapi kaum penjajah dan re*olusi sosial. 4e*olusi sosial yang diharapkan membangkitkan rakyat didepan pintu gerbang pada era reformasi ini tak terpenuhi. $ita memang memiliki demokrasi. ,da institusi-institusi demokrasi. $ebebasan hampir di semua bidang, kecuali kebebasan beragama yang sedikit terganggu belaangan ini. -eski demikian, rakyat warga negara tetap merasa tak berdaya menghadapi demokrasi. -eminjam istilah 6effrey
5inters, demokrasi kita di tunggangi dan dibajak oleh suatu oligarki. Demokrasi kitatelah bersenyawa dengan oligarki. Di tangan kekuasaan yang oligarkis ini, korupsi kaum elite merajalela dari pusat hingga daerah. 6eratan korupsi tak terbendung sebab penegakan hukum terkait dengan korupsi tajam ke bawah, tumpul ke atas. $asus yang melibatkan re9im berkuasa dan kroninya-Bank (entury, %a9aruddin, dan :ayus-makin membuncahkan pesimisme tentang masa depan negeri ini. "ebelum terlambat dan masalahnya menjadi akut di kemudian hari, diperlukan langkah strategis memaknai sekaligusmengisi kemerdekaan dalam konteks kekinian. -erayakan kemerdekaan tak cukup dengan seremonial belaka, tetapi juga harus menjadikannya momentum perubahan secara radikal, terutama dalam rangka memberantas korupsi dan menyejahterakan rakyat. Dalam hal ini, paradigma tentang kekuasan harus direkonstruksi agar tak dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi.
punya keberanian melindungi setiap warga negara dari segala bentuk ancaman serta menjamin kebebasan setiap indi*idu dalam beribadah, berpendapat, dan berserikat. %egara juga bertanggung jawab menyusun anggaran belanja negara yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan mereka. Dalam hal ini, demokrasi yang dipraktikkan negara tak hanya semata menjamin kebebasan, tetapi juga memuat nilai-nilai 7pembebasan yang fungsinya mengentaskan rakyat dari kemiskinan. )leh karena itu, keseimbangan di antara tiga pilar kekuasan-modal, negara, dan masyarakat sipil-merupakan sebuah keniscayaandalam konteks keindonesiaan. $eseimbangan itu akan mengikis, bahkan memusnahkan, 7budaya korupsi dan budaya kekerasan yang kian memprihatinkan. Dengan itulah publik dapat merayakan kemerdekaan sebagai jalan menuju keadilan dan kesejahteraan.
Demokrasi tri*alisme
-enjadi national adalah kesangguapan setiap warga negara untuk keluar dari kepompongkepompong komunisme, lau menyerahkan diri untuk bersatu bukan karena kesamaan darah, kulit, bahasa. National yang berbasis kewargaan tak lain adalah suatu nation yang berbasis kesetaraan warga di depan hukum bingkai ideologi dan konstitusi yang disepakati bersama. +al lain yang amat memprihatinkan adalah perkembangan demokrasi dalam 0. tahun terakhir yang mengarah ke tribalisme. !ada gilirannya, proses demokrasi yang padat uang ternyata melahirkan bentuk birokrasi patrimonial yang jauh lebih gawat dan jauh lebih korup ketimbang bentuk-bentuk birokrasi partimonial lama pada masa )rde Baru. $etika tribalisme dan politik praktis yang korup merajalela, apakah komitmen hidup bersama sebagai suatu bangsa di negeri ini mulai dan akan kian memudar< +arapan tinggal pada akal sehat dan kesadaran warga negara merebut kembalin hak-hak yang mereka titipkan ke penyelenggara negara. "eperti kata "oekarno, kita boleh berubah, tetapi ada konstanta dalam sejarah dan semangat proklamasi Indonesia yang harius tetap dipelihara7 persatuan walau tetap bineka dan kesepakatan berkorban membangun negeri.