You are on page 1of 2

Perlawanan Siti Fadilah Supari

Oleh : Asro Kamal Rokan

Wajahnya serius membicarakan ketidakadilan negara-negara maju. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Dr
Siti Fadilah Supari, satu dari sedikit warga dunia yang keras membela hak-hak negara berkembang di tengah
dominasi badan resmi dunia dan negara adikuasa. Ia melawan dan berhasil.

Majalah The Economist London menempatkan Siti Fadilah sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam
menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik. "Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata
yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu
burung, yaitu transparansi," tulis The Economist (10 Agustus 2006).

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika virus flu burung (Avian Influenza/AI) menelan korban di Indonesia pada
2005. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya
yang tak terkena kasus flu burung. Ini tidak adil, negara-negara lemah yang terkena tidak memperoleh apa-apa.
Untung saja ada bantuan dari India, Thailand, dan Australia.

Korban terus berjatuhan. Di saat itu pula, dengan alasan penentuan diagnosis, badan kesehatan dunia (WHO)
melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hong Kong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel
spesimen. Perintah itu diikuti Siti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium Litbangkes melakukan
penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hong Kong?

Siti Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang
Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis,
dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah dibuat vaksin. Ironisnya, pembuat vaksin itu adalah
perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka
mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin, tanpa
kompensasi.

Siti Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah
dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan
telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim
spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak
memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Siti Fadilah membaca di The Straits Times Singapura, 27 Mei 2006, bahwa para
ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya,
disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada
empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi
AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata
kimia?

Siti Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka,
tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO
mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.
Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.

Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang
konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak
mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus

http://2tech.biz/opini/
melawan: tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN,
yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian,
namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International
Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa November lalu, sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Prof Siti Fadilah anak bangsa yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Bangsa ini memerlukan banyak
orang seperti Siti Fadilah, yang berjuang untuk keadilan, kadaulatan, dan kesetaraan. Ia inspirasi untuk bangsa
yang bangkit.

http://2tech.biz/opini/

You might also like