You are on page 1of 5

Perbandingan Tingkat Agresivitas Remaja Pria dan Wanita Pada Siswa-Siswi Kelas X SMA N 31 Jakarta (sebuah survei untuk

membandingkan tingkat agresivitas remaja ditinjau dari perbedaan gender di SMA N 31 Jakarta Timur)

Riezki Widyasari 1715071306 Reguler 2007

BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2013

BAB I Pendahuluan

A.

Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana remaja berusaha untuk beradaptasi

dengan lingkungannya dan berusaha untuk diterima oleh kelompok sosialnya. Kelompok sosial disini bisa yang berasal dari lingkungan rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Seperti yang kita ketahui, anak menghabiskan banyak waktunya di rumah dan sekolah. Proses imitasi dapat berlangsung di kedua lingkungan tersebut. Dalam usahanya beradaptasi dan berusaha untuk diterima oleh kelompoknya, ia dapat menerima respon positif dan respon yang negatif dari teman sebayanya. Respon negatif ini dengan segala kemungkinan bentuknya dapat memicu timbulnya perilaku agresif pada remaja. Hal ini akan mempengaruhi remaja dalam berinteraksi dengan teman sebayanya. Tindakan agresi dapat berupa tindakan fisik maupun verbal; langsung maupun tidak langsung; mungkin dapat mencapai tujuannya namun mungkin juga tidak. Perilaku-perilaku agresif ini pada masa kanak-kanak ditunjukkan dengan perilaku senang mengganggu teman, memukul atau melempar suatu benda, misalnya saja mainan. Sedangkan pada masa remaja perilaku-perilaku agresif ini mulai menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar terutama kepada aspek di luar dirinya seperti merusak fasilitas umum dan menyakiti orang lain. Jika dilihat dari jenis kelamin, agresivitas anak sudah dapat terlihat pada masa awal sekolah. Anak laki-laki cenderung memperlihatkan perilaku agresivitas fisik lebih tinggi daripada anak perempuan. Dalam survei klasik dari penelitian pada anak, Eleanor Maccoby dan Carol Jacklin (1974) menunjukkan bahwa anak laki-laki tampak lebih agresif daripada anak perempuan. Anak laki-laki lebih sering melakukan permainan yang tidak menyenangkan. seperti menghukum, mendorong, dan menendang dibanding anak perempuan (Deaux & La France, 1998). Hal ini dikuatkan dengan penelitian Scott (1999) yang menemukan bahwa kemungkinan remaja laki-laki untuk ditahan karena kekerasan kriminal lebih dari enam kali lipat dibandingkan remaja

perempuan. Selain itu dari catatan kepolisian pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan (Kartono, 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi agresivitas, Baron dan Byrne (1994) mengelompokkan agresi menjadi tiga pendekatan dalam menerangkan penyebab dasar perilaku agresi, yaitu : faktor biologis, faktor eksternal, dan belajar. Jika dikaitkan kembali dengan perbedaan gender, faktor yang paling dapat terlihat adalah faktor biologis. Terdapat dua jenis hormon yang berpengaruh pada perkembangan remaja yaitu hormon androgen yang mempengaruhi perkembangan remaja laki-laki dan hormon estrogen yang mempengaruhi remaja perempuan. Semakin tinggi hormon androgen dan testosteron yang dihasilkan laki-laki akan memicu aktivitas yang lebih tinggi dan merangsang kemarahan. Produksi hormon akan meningkat selama masa perkembangan remaja ini membuktikan bahwa ada hubungan antara kadar hormon dan perilaku. Jumlah kadar estrogen dan testosteron menimbulkan perasaan mudah tersinggung, tegang, gelisah dan bermusuhan. Jumlah testosteron yang dihasilkan lakilaki dan perempuan, tingkatannya laki-laki lebih jauh dari pada perempuan. Remaja laki-laki dengan tingkat testosteron yang tinggi lebih cenderung bereaksi agresif terhadap provokasi. Namun menurut hasil penelitian yang dilakukan Hariss (Krahe, 2005) mengatakan bahwa remaja perempuan cenderung lebih mudah terpancing emosinya ketika mendapat ejekan dari temannya. Sedangkan remaja pria akan menjadi agresif ketika mendapat serangan fisik dari orang lain. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari-Oktober tahun 2013. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen dibanding tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal dunia. Dan jumlah ini terus meningkat. Pada tahun 2002 pertengahan bulan Juli, harian Kompas menampilkan artikel tentang berita penculikan dan penganiayaan beberapa siswi baru yang didalangi oleh sekelompok kakak kelas dan alumni yang juga perempuan. Belasan siswi baru diculik dari halaman sekolah, disuruh masuk kedalam mobil kakak kelas dan ditutup matanya. Dalam perjalanan mereka ditampari dan wajahnya dicoret-coret. Kejadian tersebut

dapat terkuak karena para korban melaporkan tindakan kekerasan tersebut kepada pihak yang berwajib. Sangat mungkin banyak kejadian yang seperti itu terjadi di seluruh dunia tanpa sempat terpublikasi. Bila dilihat dari berita diatas sepertinya remaja putri menggunakan agresifitas langsung untuk menyakiti remaja putri yang lainnya. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMA N 31 Jakarta selama melakukan praktek kerja lapangan, beberapa siswa siswi di sekolah tersebut baik kelas X maupun kelas XII, rata-rata menunjukkan perilaku agresif yang sama, baik fisik maupun verbal. Perilaku agresif yang umum dilakukan adalah agresif verbal diantaranya, mengejek, mengolok-olok nama ayah atau ibu, memanggil dengan nama panggilan yang tidak lazim, dan sebagainya. Kegiatan agresif fisik yang sering terlihat antara lain seperti mendorong, memukul teman ataupun benda seperti meja, pintu dan tembok. Dan hal ini menurut pihak sekolah masih dianggap wajar dan belum membahayakan. Namun, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut sejauh mana tingkat agresivitas siswa siswi SMA N 31 Jakarta baik yang aktif maupun pasif. Dan apakah ada kasus yang melibatkan siswa siswi sekolah ini terkait dengan agresivitas di lingkungan sekolah. Setelah melihat dan memahami uraian dan berbagai perbedaan pendapat dalam penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai agresivitas dan gender, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Perbandingan Tingkat Agresivitas Remaja Pria dan Wanita Pada Siswa Siswi SMA N 31 Jakarta.

B.

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dapat

diidentifikasi sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan tingkat agresivitas antara siswa dan siswi di lingkungan SMA N 31 Jakarta? 2. Bagaimanakah gambaran perbedaan bentuk agresivitas yang dilakukan oleh siswa-siswi di SMA N 31 Jakarta? 3. Mungkinkah remaja wanita menunjukkan agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja pria?

C.

Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas,maka penulis akan membatasi

permasalahan pada perbandingan bentuk perilaku agresif siswa-siswi kelas X SMA N 31 Jakarta. Peneliti akan mengukur bentuk perilaku agresif sample dengan 4 indikator, yaitu bentuk agresi fisik langsung, agresi fisik tak langsung, agresi verbal langsung, dan agresi verbal tak langsung.

D.

Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka perumusan

masalah penelitian ini sebagai berikut: adakah perbedaan tingkat agresivitas antara remaja pria dan wanita di SMA N 31 Jakarta.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menjadi penambah wawasan dan pemahaman bagi semua pihak mengenai agresivitas yang ditinjau dari perbedaan gender di sekolah menengah atas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru BK Sebagai masukan dalam merancang layanan BK di masa yang akan datang dalam menangani siswa-siswi yang agresif. b. Bagi Sekolah Membantu sekolah untuk merencanakan langkah preventif dalam mengurangi intensitas serta dampak perilaku agresif siswa-siswi mereka. c. Bagi Peneliti Menambah wawasan peneliti mengenai teori agresivitas dan bentukbentuk perilaku agresif ditinjau dari perbedaan gender dan diharapkan dapat berguna bagi penelitian lanjutan yang terkait di masa depan.

You might also like