You are on page 1of 48

9

TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan

pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).

10

Preanestesi Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemilihan preanestetikum

dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995). Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine, acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine, medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti disajikan pada Gambar 1.
Preanestesi

Antikolinergik : Atropine, Scopolamine, Aminopentamid, Glikopirolat.

Pelemas otot (Muscle paralyzer): Xylazine, Diazepam, Midazolam, Medetomidin, Lorazepam, Curare.

Agen Dissosiatif : Penciklidine, Ketamine, Tiletamine.

Narkotik : Morpin, Apomorpin, Meperidin, Oksimorpin, Etorpin, Nalorpin.

Tranquilizer : Promazin, Acepromazin, Chlorpromazin, Xylazine, Diazepam, Midazolam, Lorazepam, Madetomidin.

Gambar 1. Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum


(Sumber: Warren 1983; McKelvey dan Hollingshead 2003).

Klasifikasi Anestesi Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui

11

kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4). Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007). Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi. 2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia) (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003).

Anestesi Lokal Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat konduksi syaraf perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf

tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion sodium (Na) pada syaraf perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf

terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten, artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).

12

Penggunaan anestetikum lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan injeksi secara sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi). Anestetikum yang sering digunakan sebagai anestetikum lokal adalah procaine HCI 2% - 4%, Lidocaine 0,5 - 2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau 0,5%, Dibucain, Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian secukupnya (Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan dengan larutan salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine mempunyai onset lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam) dibandingkan lidocaine (onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams 2001; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).

Anestesi Regional Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu. Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural, spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space). Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi setelah 15-20 menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,

13

pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75% atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003). Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).

Anestesi Umum Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem

sensori pada syaraf.

syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).

14

Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem otak karena hilangnya

kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar

(unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah

diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik,

respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000; Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan secara injeksi dan inhalasi. Anestetikum dapat digabungkan atau

dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal. Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan pentobarbital), cyclohexamin (ketamine, tiletamin), etomidat, dan propofol

(McKelvey dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).

15

Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar. Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu pembedahan adalah N 2 O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N 2 O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah, kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Nitrous oxide (N 2 O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sampai 240oC. Gas

16

ini bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan secara tunggal. Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N 2 O adalah

halotan. Pada akhir anestesi setelah N 2 O dihentikan, akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi hipoksia difusi, biasanya diberikan 100% oksigen selama 5 10 menit. Potensi N 2 O digunakan pada hewan tidak baik, karena mempunyai MAC yang tinggi. MAC N 2 O pada manusia mendekati 100%, tetapi pada anjing hampir 200% dan kucing mendekati 250% (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan N 2 O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali, dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 0,75%. Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga penggunaan halotan memerlukan vaporizer khusus. Halotan menyebabkan

vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan. Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan

17

hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi. Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 2,5 % isofluran dalam oksigen (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi, durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium, methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin), etomidat, dan propofol. (Brander et all. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).

18

Semua golongan barbiturat untuk keperluan anestesi berada dalam bentuk garam sodium dan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5 atau 5%. Tiga klas golongan barbiturat yang digunakan pada hewan adalah ultrashort-acting barbiturates (metoheksital), short-acting barbiturates (tiopental), dan intermediateacting barbiturates (pentobarbital). Sedangkan long-acting barbiturates

(penobarbital) biasanya digunakan untuk sedatip dan antikonvulsi, bukan untuk anestesi. Barbiturat menimbulkan sedasi, hipnosis, dan depresi pernafasan tergantung dosis dan kecepatan pemberian serta pengaruh analgesia yang ditimbulkan sedikit. Efek utama golongan barbiturat adalah depresi pusat pernafasan, depresi pusat vasomotor, dan miokardium sehingga menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Etomidat berbentuk kristal putih, dapat larut dalam air, etanol, dan propilin glikol. Etomidat adalah sedatif hipnotik imidazol yang biasanya digunakan sebagai induksi anestesi pada anjing dan kucing. Kombinasi anestetikum dengan etomidat menghasilkan relaksasi otot yang baik tetapi tidak menghasilkan analgesia dan durasinya sangat singkat seperti propofol, karena metabolisme etomidat sangat cepat. Etomidat mempunyai pengaruh yang minimal terhadap fungsi kardiovaskuler seperti denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah. Etomidat dapat diberikan secara infusi dengan kecepatan dosis 50 -150 /kg/menit. Ketamine adalah anestetikum umum injeksi golongan nonbarbiturat, termasuk golongan phenilsycloheksamin. Ketamine mempunyai efek analgesia yang sangat kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamine meningkatkan tekanan darah sistol maupun diastol kira kira 20- 25%, karena adanya aktivitas syaraf simpatik meningkat dan depresi baroreseptor. Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi. Propofol adalah anestesi umum injeksi turunan alkil penol (2,6-

diisopropylphenol), mempunyai pH netral, dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu,

19

sangat aman diberikan secara intravena dan dapat diberikan secara berulang-ulang atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infusi terus-menerus. Propofol mempunyai efek analgesia yang sangat ringan akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya sangat kuat. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan. Efek samping utama yang sangat dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi. Efek samping tersebut sangat berkaitan dengan dosis dan kecepatan penyuntikannya, keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Stawicki 2007).

Tahapan Anestesi Umum Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum. Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (McKelvey dan Hollingshead 2003). Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian preanestetikum. Induksi adalah proses dimana hewan akan melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Apabila agen induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas menggunakan mesin anestesi. Waktu minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular (IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC). Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan kesadaran. Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang

dihindarkan pada tahap induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung.

20

Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi. Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan. Tahap

pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia, relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan hilangnya refleks

palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing, kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal. Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007 ). Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum

21

injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamine tidak mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal. Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien melalui sistem respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki

peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan Hollingshead 2003). Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990; Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003). McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al. (2007) menyatakan bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi umum. Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai tanda kedalaman anestesi, seperti disajikan pada Tabel 1.

22

Tabel 1 Tahapan dan indikasi status teranestesi oleh anestetikum umum


Fase/Tahapan Indikator
Tingkah laku

I
Tidak terkontrol

II
Eksitasi: kuat, bersuara, anggora gerak, mengunyah ternganga. Tidak teratur, tertahan atau hiperventilasi denyut jantung meningkat

III Plane 1
Teranestesi

III Plane 2
Teranestesi

III Plane 3
Teranestesi

III Plane 4
Teranestesi

IV
Hampir mati

Respirasi

Normal, cepat 2030x/mnt

Teratur: 12-20x/mnt

Teratur, dangkal: 12-16x/mnt

Dangkal: <12x/mnt

Putus-putus (ada berhenti)

Apnea (berhenti)

Fungsi Kardiovaskuler

Tetap

Pulse kuat, denyut jantung >90x/mnt

denyut jantung >90x/mnt

Denyut jantung 60-90/mnt, CRT meningkat, Pulse lemah Tidak ada

Denyut jantung <60x/mnt, CRT lama, membran pucat.

Kollap

Respon bedah/ insisi

Kuat

Kuat

Ada respon dengan gerakan

Denyut jantung dan respirasi meningkat Sedang

Tidak ada

Tidak ada

Kedalaman anestesi Posisi Bola mata Ukuran Pupil Respon Pupil Kejangan Otot Refleks

Tidak teranestesi Tengah

Tidak teranestesi Tengah, tidak tetap Mungkin berdilatasi (+)

Dangkal

Dalam

Over dosis

Mati

Normal

Tengah, rotasi, tidak tetap Normal

Sering rotasi di ventral Dilatasi ringan Lambat

Ditengah, rotasi di ventral Dilatasi sedang Sangat lambat, (-). Sangat menurun Semua minimal, hilang

Tengah

Tengah

Dilatasi lebar (-)

Dilatasi lebar (-)

(+)

(+)

Baik

Baik

Baik

Relaksasi

Lembek

Lembek

Ada

Ada, mungkin berlebih

Ringan, hilang

Ada (patella, telinga, palpebral, kornea), yang lain hilang

Tidak ada

Tidak ada

Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa

23

nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks masih ada; Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang

dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks; Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4 atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis).

Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum Anestetikum pertama kali ditemukan adalah eter oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846. Morton memperagakan penggunaan dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang ditangani untuk pembedahan tumor rahang di Massachusetts General Hospital Boston pada tanggal 16 Oktober 1846 dan berhasil tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Dengan ditemukannya eter sebagai anestetikum tahun 1846, pembedahan dapat dilakukan tanpa siksaan dan bebas rasa nyeri sehingga mendorong berkembangnya ilmu bedah dengan pesat. Kemudian muncul teori mekanisme kerja anestesi oleh Vonbibra dan Harles tahun 1847 yang menjelaskan bahwa anestetikum bekerja karena larut pada lipid di otak. Dikemudian hari dipertanyakan kembali oleh karena tidak semua bahan yang larut pada lemak dapat digunakan sebagai anestetikum. Selanjutnya oleh Hans Meyer pada tahun 1899 dan Charles Overton tahun 1901 memperkenalkan teori Meyer-Overton. Teori ini menyatakan bahwa potensi anestesi berhubungan dengan kelarutan bahan anestetikum pada lemak. Anestetikum akan larut pada lipid dan merusak struktur lipid membran syaraf . Dengan demikian, makin mudah suatu bahan anestetikum larut dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Namun hal ini hanya

24

berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor yaitu : 1. Reseptor amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA A yang merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010 ) . Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase (GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl, ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf , terjadi efek penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA A ) dan metabotropik (GABA B ). Reseptor GABA A terletak di postsinaptik dan cukup penting karena merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2, 2, dan 1, masing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor subunit GABA A , yaitu lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi 122, 2 32, dan 3 1 -32. Reseptor GABA A adalah reseptor komfleks yang memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,

25

dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010; Miller 2010) .

Reseptor GABAA Komfleks

di luar sel

di dalam sel

BZ = Bezodiazepin ETOH = Etanol (alkohol) GABA = amino butiric acid

Gambar 2. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2, 2, dan 1 , m asing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber: Cameron J Weir 2006; Miller 2010) .

Glutamat merupakan asam amino yang termasuk neurotransmiter eksitatori dan berperan penting dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor glutamat yang teridentifikasi secara farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA), 5-hydroxy tryptamine (5HT), dan amino hydroxy methyl isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor NMDA akan meningkatkan Ca+ dan Na+ intrasel dan memicu aksi potensial. Terikatnya neurostransmiter glutamat pada reseptor NMDA, menyebabkan aliran ion Ca+ dan NA+ ke dalam sel, ion Ca+ intracellular akan meningkat, terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori, memicu konvulsi (Gambar 3) (Cameron 2006; Garcia et al. 2010). dan

26

Skema subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA)

ekstraseluler

Sitoplasma

Gambar 3. Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks (Sumber: Uwe Rudolph dan Bernd Antkowiak 2004; Miller 2010) .

Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABA A umum akan (Cameron 2006;

Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran, halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl-, pada dosis tinggi akan secara langsung mempengaruhi reseptor GABA A menjadi terbuka (Henschel et al. 2008). Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga terjadi inhibitori, sedangkan

kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi

27

eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+) sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).

Anestesi Umum

Inhibitori

Eksitatori

Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-) sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= amino butiric acid, NMDA= Nmethyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006).

Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N 2 O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan tiopental. Ketamine, N 2 O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABA A . Anestetika sisanya bekerja pada reseptor GABA A dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi reseptor GABA A dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,

28

reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor GABA A adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABA A , menyebabkan hiperpolarisasi (inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010). Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh reseptor GABA A pada otak khususnya subtipe 3 menyebabkan kehilangan kesadaran dan subtipe 2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan anestetikum ketamine, anestetika gas, N 2 O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit atau lemah pada reseptor GABA A atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca2+ dan membuka saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010). Reseptor GABA A adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung mengaktivasi reseptor GABA A , tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh pada reseptor GABA A . Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABA A sangat tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit , , atau subunit (Franks 2008; Miller 2010). Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil bekerja pada reseptor GABA A subunit pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian protein Ser270 (S270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada reseptor GABA A subunit TM2 dan TM3 bagian N265 (N265). Sedangkan anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3, dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan glisin ( Gambar 5).

29

Mascia et al. (2000) menyebutkan bahwa alkohol dan anestetika mempengaruhi reseptor glisin dan reseptor GABA A melalui asam amino pada TM2 dan TM3 dari subunit, yaitu pada reseptor glisin pada S267, A288, dan Ser270 sedangkan pada reseptor GABA A subunit pada S270, A291, Asn 265, dan Met286. Propofol mirip dengan propanethiol bekerja pada reseptor Glisin TM2 1 (S267C), pada reseptor GABA A TM2 2 (S270C)1, pada TM3 1 (A288C), pada TM3 2 (A291C)1, pada TM2 2 (Tyr445). Asam amino pada TM2 adalah tempat terikatnya anestetika dan alkohol (Gambar 5) (Mascia et al. 2000; Franks 2008; Miller 2010).

Gambar 5. Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABA A subunit dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABA A subunit . (Sumber : Miller 2010).

Tinjauan Anestetikum Umum Ketamine HCl Ketamine HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamine HCl

merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan lebar (Gambar 6) (Sulistia 1987; Adams 2001).

30

Gambar 6 Struktur kimia ketamine HCl

Ketamine HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat tinggi pada reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamine menghambat refleks nosiseptik spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek. Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Ketamine juga menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak seperti pada talamus dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamine juga memperpanjang kerja GABA (gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat merubah permiabilitas ion Cl- dan dapat menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkoeiak 2004). Pengaruh klinis yang ditimbulkan ketamine sangat bervariasi seperti : analgesia, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketamine juga menimbulkan agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut penomena emergence delirium (Stawicki 2007). Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamine dapat secara langsung menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan (uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamine dapat mengubah aktivitas

31

listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Ketamine juga dapat menghambat efferen vagal (vagolitik) melalui aktivitas pada syaraf pusat. Terhadap sistem

kardiovaskuler, ketamine menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen 1997), peningkatan tekanan arteri, temperatur tubuh, dan peningkatan tekanan intraokuler (Haskin 1989). Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi, misalnya sedatif tranquuilizer golongan penotiazin seperti acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan 2-adrenoceptor seperti xylazine, dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau midazolam yang diberikan secara IM atau IV (Bishop 1996). Penggunaan kombinasi xylazine 2 mg/kgBB lima menit kemudian diikuti dengan ketamine 20 mg/kgBB, menyebabkan menurunnya denyut jantung, tekanan darah arteri dan respirasi (Kul et al. 2001). Waktu anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xylazine (2 mg/kgBB) dan ketamine (15 mg/kgBB) dalam satu spuit secara intamuskular pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al. 2001). Pemberian xylazine secara tunggal pada anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit setelah pemberian xylazine (Bishop 1996).

Propofol Propofol dapat digunakan secara tunggal pada prosedur anestesi yang singkat atau untuk induksi sebelum intubasi dan anestesi inhalasi. Propofol mempunyai pH netral dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air dengan konsentrasi 10 mg/ml. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu, sangat aman diberikan secara intravena. Propofol adalah turunan alkil penol (2,6-

diisopropylphenol), seperti pada Gambar 7 (McKelvey dan Hollingshead 2003).

32

2,6-diisopropylphenol (C 12 H 18 O)
Gambar 7 Struktur kimia propofol

Propofol termasuk agen anestetikum intravena short acting hypnotic. Propofol menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A (Intelisano et al. 2008). Propofol memperbesar pengaruh GABA yang mempunyai fungsi menghambat aksi (inhibitory) sistem syaraf pusat, meningkatkan konduksi Cl- yang menyebabkan hiperpolarisasi sehingga tingkat rangsangan sel (excitability) menurunkan, menyebabkan sedasi dan relaksasi (Mihic dan Harris 1997; Intelisano et al. 2008). Propofol mempunyai molekul mirip alkohol, molekulnya akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel syaraf pada otak khususnya reseptor GABA A subtipe 3 pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265 (N265) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran dan pada reseptor GABA A subtipe 2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Subtipe 3 yang terdapat pada reseptor GABA A merespon propofol dan etomidat sehingga terjadi depresi respiratoris (Henschel et al. 2008). Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardi, depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Propofol menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta berakibat langsung penurunan tekanan darah dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Penelitian pada manusia, propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008).

33

Efek samping propofol berhubungan dengan dosis penggunaan dan keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Dzikiti et al. 2007). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol dapat dilarutkan dalam larutan salin (garam) atau dektrosa 5% dalam air untuk digunakan pada anjing. Larutan tersebut lebih akurat dan dapat melindungi efek samping terhadap respirasi dan kardiovaskular. Propofol tidak dianjurkan untuk dilarutkan dalam konsentrasi yang kurang dari 0,2% (2mg/ml), karena tidak dapat bercampur dengan pelarut atau agen lain. Tidak seperti cycloheksamin dan barbiturat, propofol dapat diberikan secara berulang-ulang dan injeksi dapat diulang setiap 3-5 menit atau sesuai dengan kebutuhan yang disesuaikan dengan status pasien atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infus terus-menerus. Periode pemulihan anestesi dengan propofol sangat cepat dan berjalan dengan lembut, walaupun diberikan secara berulang-ulang. Pemulihan anestesi dengan propofol pada anjing sekitar 20 menit (McKelvey dan Hollingshead 2003). Dosis propofol yang dibutuhkan pasien dan durasi anestesinya tergantung dari preanestetikum yang digunakan. Apabila digunakan dosis 6 mg/kg IV, onset anestesinya kurang dari 60 detik dan durasinya sekitar 5-10 menit. Dosis propofol yang kecil (0,2-0,4 mg/kg/menit) dapat diberikan pada pasien secara infusi terusmenerus dengan pompa injeksi atau tetes IV. Propofol dapat digunakan pada anjing dengan dosis pemberian 4mg/kg secara intravena (Bishop 1996). Penggunaan propofol pada hewan kecil sebagai induksi digunakan dosis 3-8mg/kg secara intravena, sedangkan sebagai pemeliharaan anestesi digunakan dosis 0,5-1mg/kg diulang setiap 3-5 menit atau dapat diberikan secara infusi intravena 0,30,5mg/kg/menit. Metode total intraveous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol digunakan secara luas pada pasien manusia yang ditangani diluar ruang operasi. Propofol yang digunakan pada manusia mempunyai waktu pemulihan yang singkat, kadang lebih cepat dari isofluran dan menyebabkan muntah dan mabuk pasca operasi.

34

Penggunaan propofol dengan metode TIVA juga dipercaya sebagai anestesi alternatif untuk hewan kesayangan terutama anjing (Tsai et al. 2007). Induksi anestesi pada anjing dengan propofol (4mg/kg) dan ketamine (2mg/kg) secara intravena dalam satu spuit dilanjutkan dengan infusi intravena dengan propofol (0,5mg/kg/menit) dan ketamine (0,2mg/kg/menit), menghasilkan anestesi dengan hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008). Anestesi pada anjing dengan

kombinasi propofol (4mg/kg) dan ketamine (4mg/kg) secara intravena menghasilkan anestesi yang aman dan dapat digunakan sebagai alternatif anestesi untuk prosedur pembedahan yang panjang (Muhammad et al. 2009). Kombinasi propofol dengan preanestetikum mempunyai rentang keamanan yang lebar pada anjing. Eksitasi dan tremor otot jarang terjadi, oleh karena itu diperlukan preanestetikum seperti acepromazin(0,1mg/kg IV), pentobarbital (2mg/kg), atau diazepam (0,3-0,5mg/kg IV). Propofol sangat aman diberikan pada hewan dengan gangguan hati dan ginjal, karena metabolisme propofol sangat cepat. Satu kekurangan propofol adalah kelemahan untuk disimpan, karena mengandung minyak kedelai, lesithin, dan gliserol sehingga akan mendukung pertumbuhan bakteri. Ampul dan botol harus disimpan dengan aseptik dan tidak dianjurkan untuk digunakan setelah dibuka selama 12 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tsai et al. 2007; BBraun 2009).

Xylazine Xylazine adalah salah satu golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xylazine dan medetomidin adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing (Lemke 2004). Xylazine HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride, seperti disajikan pada Gambar 8. (Booth et al. 1977; Brander et al. 1991; Bishop 1996).

35

N-(2,6-dimethylphenyl)-5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin-2-amine (C 12 H 16 N 2 S)
Gambar 8 Struktur kimia xylazine HCl

Xylazine bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor postsinap 2 -adrenoseptor sehingga

menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine pada susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor 2 -adrenoseptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis, mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor 2 -adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur penyimpanan dan atau pelepasan dopamin dan norepineprin. Xylazine menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001). Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall and Clarke 1983). Xylazine diinjeksikan secara intramuskular

menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24 48 jam (Hall and Clarke 1983; Brander et al. 1991). Xylazine menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hypnosis, tidak sadar dan akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke 1983). Pada sistem pernafasan,

xylazine menekan pusat pernafasan. Xylazine juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xylazine pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah tetapi dapat mengosongkan lambung pada anjing diberi makan sebelum dianestesi.

36

Xylazine biasa digunakan pada kucing, anjing dan kuda sebagai agen sedatif untuk keperluan pembedahan minor dan untuk menguasai hewan atau handling. Penggunaaan xylazine dengan dosis yang lebih tinggi bukan saja untuk sedasi dan analgesi, tetapi juga menghasilkan immobilisasi. Xylazine bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain seperti benzodiazepin atau opioid untuk menghasilkan sedasi. Xylazine juga dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi seperti ketamine, tiopental, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti halotan dan isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik (Lemke 2004). Xylazine biasanya digunakan sebagai preanestesi, tetapi pada anjing akan menyebabkan muntah sehingga bersifat kontra-indikasi untuk hewan yang menderita obstruksi gastro-intestinal. Waktu induksi dari suatu agen anestesi bisa dikurangi sampai 5075% dengan pemberian preanestesi xylazine untuk menghindari overdosis (Bishop 1996). Sebagai preanestesi pada kuda, xylazine dapat diikuti dengan tiopenton, metoheksiton atau ketamine. Dengan anestetikum ketamine, penggunaan xylazine adalah dosis 1,1 mg/kg berat badan secara intra muskular dan diikuti dengan ketamine 2,2 mg/kg berat badan. Pada anjing, xylazine bisa digunakan secara subkutan atau intra muskular dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop 1996). Xylazine dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,252mg/kg secara intramuskular dan dosis 0,2-0,5mg/kg secara intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Midazolam Midazolam adalah golongan short-acting benzodiazepin (Gambar 9) umumnya digunakan pada manusia tetapi dapat digunakan pada anjing, kucing, babi, burung, dan kuda. Midazolam stabil dalam larutan, sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau ketamine-larutan salin untuk pemberian secara infus, diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan secara intramuskular (Lumb dan Jones 1996).

37

Gambar 9 Struktur kimia midazolam

Midazolam merupakan golongan Imidazobenzodiazepin yang larut dalam air, menghasilkan efek hipnotik, relaksasi otot dan lebih potensial daripada golongan benzodiazepine lain seperti diazepam (Plumb 1991; Luna et al. 1992). Golongan benzodiazepin memperkuat kerja GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP (Stawicki 2007). Midazolam dimetabolisme di hati. Produk metabolit utama midazolam adalah hidroksimidazolam yang diekresikan melalui hati sebanyak 40-50%,

hydroxymidazolam yang terbentuk akan segera terikat dengan asam glukoronat (tidak aktif) dan 50-70% dosis midazolam yang diberikan kemudian dieliminasi melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi midazolam pada manusia 1,5-3 jam (Anonim 2002). Midazolam mempunyai waktu paruh singkat dan aktivitas farmakologi yang rendah. Waktu paruh midazolam dalam serum dan durasi midazolam pada manusia lebih pendek dibandingkan penggunaan diazepam. Waktu paruh eliminasi midazolam pada manusia lebih kurang 2 jam sedangkan diazepam mencapai 30 jam (Plumb 1991). Midazolam diabsorbsi cepat dengan kesempurnaan absorbsi 91% pasca injeksi intramuskular dan rentang bioavailabilitas 31-72% pada pemberian per-oral. Onset pasca injeksi midazolam secara intravena sangat cepat karena midazolam termasuk zat lipofilik tinggi. Reflekss akan berkurang pada 30-97 detik post pemberian midazolam pada manusia. Obat ini memiliki ikatan kuat dengan protein (94-97%) dan secara cepat menembus blood brain barrier (Plumb 1991). Menurut

38

Anonim (2002), ketersediaan hayati midazolam post injeksi intramuskular lebih dari 90% dan konsentrasi plasma maksimum pada manusia dicapai dalam 30 menit. Ikatan protein plasma midazolam adalah 96-98%. Selain menembus blood brain barrier, midazolam juga mampu menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin. Midazolam dapat digunakan secara sendiri sebagai tranquilizer atau dikombinasikan dengan anestetikum umum untuk mencegah hipertonus otot dan meningkatkan sedasi. Pada anjing, midazolam diinjeksikan intramuskular atau intravena, walau pemberian intravena lebih sering digunakan untuk induksi anestesi (Lumb dan Jones 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi untuk mengurangi kegelisahan sebelum prosedur pembedahan, sebagai sedatif, hipnotik, dan menimbulkan amnesia (Stawicki 2007). Midazolam dapat mencegah hipertonus otot, meningkatkan efek sedasi, menghasilkan efek hipnotik, dan lebih potensial dibandingkan diazepam (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000). Midazolam diindikasikan untuk sedasi preoperasi, amnesia, penanganan seizures atau status epilepsi, sedasi dan amnesia untuk endoskopi, dan dikombinasikan dengan agen anestesi lain sebagai anestesi umum (Stawicki 2007). Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi, bradikardi, depresi respirasi, kerusakan fungsi motor, dan koma. Overdosis midazolam dapat ditangani dengan pemberian flumazenil (Stawicki 2007). Midazolam lebih baik dibandingkan dengan diazepam. Midazolam bersifat stabil di dalam larutan sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau ketamine-larutan saline untuk pemberian secara infus (Plumb 1991; Jacobson dan Hartsfield 1993). Midazolam diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan intramuskular dan pengaruhnya akan muncul setelah tiga menit penyuntikan (Lumb dan Jones 1996). Dosis midazolam yang dianjurkan pada anjing 100-200 microgram/kgBB intravena, intramuskular atau subkutan (Lumb dan Jones 1996; Bishop 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi pada anjing dengan dosis 0,1-0,2mg/kg (maksimal 10mg) secara intramuskular maupun intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Midazolam juga sering digunakan pada kucing dan dikombinasikan dengan ketamine (0,2mg/kg midazolam dan 10mg/kg ketamine

39

IM). Penggunaan midazolam untuk preoperasi berkisar 0,066-0,22 mg/kgBB intramuskular atau intravena (Plumb 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).

Atropine Atropine adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik dan merupakan ekstrak alkaloid dari tumbuhan belladona yang termasuk famili potato (Adams 2001). Atropine dan derivat alamiahnya adalah ester alkaloid ammonium tersier asam tropat (Katzung 1992). Secara kimia, molekul atropine

terdiri dari dua komponen yang berikatan melalui ikatan ester. Komponen pertama adalah tropine yang merupakan sebuah basa organik dan komponen kedua adalah asam tropat (Gambar 10).

Gambar 10 Struktur kimia atropine

Atropine merupakan antimuskarinik, digunakan untuk mengurangi salivasi dan sekresi bronkial dan melindungi serta mencegah kejadian aritmia disebabkan prosedur atau sifat obat-obat anestesi. Sebagai preanestesi, atropine diindikasikan pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang dapat menghalangi jalan nafas. Atropine dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk preanestesi pada kuda karena dapat menyebabkan eksitasi dan medriasis. Atropine mencegah efek samping muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk mengembalikan pengaruh non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Atropine adalah obat yang paling umum untuk digunakan sebagai antimuskarinik untuk pengobatan bradikardia. Penggunaan atropine pada anjing adalah 30100 mikrograms/Kg BB (Bishop 1996). Dosis atropine sulfas sebagai preanestetikum 0,02-0,04 mg/kgBB intramuskular atau subkutan (Plumb 1991). Atropine biasa digunakan sebagai preanestetik pada anjing dengan dosis 0,02-0,04mg/kg secara subkutan, intramuskular, maupun secara

40

intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropine sulfas dosis tinggi berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropine sulfas pernah dilaporkan pada anjing (Lumb dan Jones 1996).

Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi Pengamatan aspek fisiologi untuk pengawasan suatu anestesi dapat dikatakan sempurna apabila seluruh perubahan aspek fisiologi dapat diamati, tetapi perubahan aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh merupakan parameter yang terpenting diamati selama periode anestesi (Adams 2001, Flecknell, 1987). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik. Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap kedalaman anestesi, kardiovaskuler dan respirasi, oksigenasi, dan variabel yang lain, seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi
Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada). Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT). Denyut jantung Pulsus : kecepatan dan kekuatan Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral. Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan) Temperatur tubuh pasien Sumber: McKelvey dan Hollingshead 2003

Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan (homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi, capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau

41

penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus, CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi, CO 2 , EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Sistem Kardiovaskeler Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah sebagai sistem sirkulasi atau alat transport. Sirkulasi darah akan mengangkut

substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O 2 ) dan nutrisi yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida (CO 2 ) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paruparu, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood 2001, Cunningham 2002). Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O 2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh, membawa limbah metabolisme dan mempertahankan homeostasis seluler. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung

42

dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham 2002, Nelson 2003). Denyut jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60 kali/menit. Denyut jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang berlebihan atau ada gangguan. Denyut jantung yang umum pada hewan yang teranestesi adalah 60-120 kali per menit (anjing sehat 60-180x/menit). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi miokardiak. Hanya beberapa atestetika yang dapat meningkatkan denyut jantung seperti atropine, ketamine, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003). Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan

elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram. Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung. Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung (Cunningham 2002). Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel yang menyebabkan terjadinya eksitasi, yaitu sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung dan secara dominan berada di nodus SA (Sino-Atrial node), sel konduksi sebagai kawat penghubung arus bioelektrik seperti nodus AV (Atrio-Ventricular node), berkas his atau serabut purkinje, dan sel otot jantung (miokardium) yang berfungsi untuk kontraksi (Cunningham 2002). Jantung berdepolarisasi apabila terdapat dua buah kesatuan yang secara fungsional terisolasi, yaitu atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri yang dijembatani oleh nodus AV. Jalur gelombang depolarisasi dimulai dari nodus SA pada atrium kanan, kemudian menyeberangi atrium dari nodus SA ke atrium kiri. Dinding atrium relatif tipis sehingga depolarisasi berjalan terus melalui endokardium dan epikardium. Kecepatan depolarisasi ini dipengaruhi oleh rangsangan otonom,

43

suhu dan ukuran serabut miokardium. Gelombang depolarisasi menyebabkan atrium berkontraksi dan darah akan mengalir ke ventrikel. Kemudian gelombang depolarisasi mengalir melalui berkas his dan serabut purkinje yang menyebabkan dinding ventrikel berkontraksi dan darah dapat dialirkan keluar ventrikel (Sherwood 2001, Karim dan Kebo 2002). Gelombang EKG ditandai dengan satu seri defleksi atau gelombang, dengan perjanjian bahwa suatu potensial positif menghasilkan defleksi ke atas dan suatu potensial negatif menghasilkan defleksi ke bawah. Gelomgang P, menunjukkan depolarisasi atrium atau kontraksi atrium. Gelombang untuk repolarisasi atrium tidak terlihat pada EKG, karena tertutup oleh gelombang Q, R, dan S. Gelombang Q, R, dan gelombang S, bersama-sama merupakan komplek QRS. Komplek QRS menunjukkan depolarisasi ventrikel atau kontraksi ventrikel. Ketetapan pada komplek QRS adalah setiap awal defleksi negatif ditunjukkan oleh Q, setiap defleksi positif (dengan atau tanpa didahului oleh Q) ditunjukkan oleh R, dan setiap defleksi negatif yang mengikuti R, ditunjukkan oleh S. Gelombang T menunjukkan repolarisasi ventrikel. Walaupun depolarisasi dan repolarisasi adalah proses yang bertolak belakang, gelombang T dan gelombang R biasanya menunjuk kearah yang sama, yang menunjukkan bahwa penyebab aktivasi dan penurunan mengambil jalur yang berbeda melalui miokardium. Interval PR atau PQ adalah waktu yang berlalu antara permulaan eksitasi atrium dan permulaan eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV. Interval QT bervariasi dengan denyut jantung, segmen ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel atau jarak antara permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang T, sedangkan durasi QRS adalah waktu yang diperlukan untuk depolarisasi atau kontraksi ventrikel, seperti disajikan pada Gambar 11 (Sherwood 2001; Karim dan Kebo 2002; Gay dan Rothenburger 2000).

44

1= Durasi P 2= Interval PR 3= Durasi QRS 4= Interval QT

Gambar 11 Diagram gambaran gelombang elektrokardiogram (EKG).

Selain EKG, tekanan darah juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskuler. Tekanan darah arteri sangat dipengaruhi oleh cardiac output dan tahanan total perifer, denyut jantung, serta stroke volume. Peningkatan stroke volume atau cardiac output akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan tahanan perifer juga akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Jadi penurunan denyut jantung, stroke volume atau tahanan perifer secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan akan menurunkan tekanan darah arteri (Muir et al. 2000; Cunningham 2002 ). Nilai normal denyut jantung, elektrokardiogram, dan tekanan darah arteri pada anjing disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing
Parameter Denyut Jantung (denyut per menit) Gelombang P (maximum)(detik dan mv) Interval PQ(detik) Interval QRS(detik) Gelombang R(mv) Segmen ST(mv) Gelombang T (maximum) Interval QT(detik) Tekanan sistol/diastol (rata-rata)( mmHg)

Kisaran Normal pada Anjing


70 160 0,04 dan 0,4 0,06 0,13 0,04 0,05 3 0,2 1/3 R 0,15 0,25 100/65(90)-160/100(100)

Sumber : Nelson 2003

Denyut jantung, gambaran elektrokardiogram dan tekanan darah arteri adalah parameter penting pada sistem kardiovaskuler yang harus diperhatikan sebelum dan

45

selama melakukan tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000; Cunningham 2002 ).

Capillary Refill Time (CRT) Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana mukosa setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. Capillary refill time menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada membrana mukosa akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah di daerah tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan terisi kembali oleh darah dengan cepat dan warnanya akan kembali, menandakan bahwa jantung masih mampu untuk menghasilkan tekanan darah yang cukup (McKelvey dan Hollingshead 2003). Nilai CRT yang lama (lebih dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi penurunan tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung, anestesi yang dalam, atau karena terjadi shock (Cunningham 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).

Warna Membrana Mukosa Lokasi yang paling mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana mukosa adalah daerah gusi. Hewan yang mempunyai gusi berpigmen, di daerah lain dapat dilakukan pemeriksaan seperti lidah, konjungtiva bawah, atau daerah

prepusium dan vulva. Warna membrana mukosa yang pucat menandakan kejadian kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah yang lemah akibat hewan terlalu lama dianestesi. Warna membrana mukosa yang ungu atau biru adalah kondisi yang disebut sianosis, sebagai tanda berhentinya aliran darah atau kekurangan oksigen pada jaringan. Sianosis pada hewan selama dianestesi menandakan terjadi gangguan respirasi atau terjadi obstruksi saluran respirasi bagian atas dan hewan harus segera diselamatkan (Cunningham 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).

46

Tekanan Darah Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur tekanan darah. Beberapa istilah yang digunakan untuk menentukan tekanan darah adalah tekanan darah sistol (systolic arterial pressure, SAP), tekanan darah diastol (diastolic arterial pressure, DAP), dan tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure, MAP). Systolic arterial pressure adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan karena kontraksi ventrikel yang memompa darah ke aorta dan arteri besar. Diastolic arterial pressure adalah tekanan darah terendah yang merupakan tekanan sisa pada saat jantung berada pada tahap istirahat atau relaksasi sebelum kontraksi berikutnya. Mean arterial pressure adalah tekanan rata-rata siklus jantung dan merupakan tekanan darah yang paling penting yang berhubungan dengan anestesi, karena merupakan indikator paling baik untuk mengetahui aliran darah pada organ dalam. Mean arterial pressure dapat diketahui secara langsung pada alat ukur atau dengan menghitung menggunakan rumus sebagai berikut :

(SAP DAP) MAP = DAP + 3 Nilai normal SAP pada anjing adalah sekitar 120 mmHg (90-160 mmHg) dan nilai normal DAP adalah 80 mmHg (50-90 mmHg) sehingga dapat dikatakan bahwa nilai normal SAP/DAP adalah 120/80. Sedangkan nilai MAP normal adalah 90-100 mmHg, pada hewan yang teranestesi adalah 70-90 mmHg (Cunningham 2002; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003).

Gambaran Darah Pengamatan laboratoris yang diperlukan sebelum dan selama tindakan anestesi adalah penghitungan sel darah lengkap (CBC, complete blood cell count). Penghitungan sel darah lengkap terdiri dari penentuan PCV (packed cell volume), Hb (hemoglobin), TPP (total plasma protein), dan evaluasi blood smear untuk sel darah

47

putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell), dan platelet. Pengamatan tersebut bertujuan untuk melihat status hidrasi dan status hematologi volume sel darah merah yang bersirkulasi. Dengan diketahui status hidrasi maka shok dan anemia karena kehilangan banyak darah dapat dicegah sedini mungkin pada saat operasi (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003). Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan PCV dan Hb menandakan kemampuan darah untuk mengirim oksigen ke jaringan. Nilai PCV yang berada diatas normal menandakan jumlah relatif sel darah merah meningkat yang terjadi pada keadaan kehilangan cairan dan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Tingginya nilai PCV sangat penting diperhatikan, karena berhubungan dengan hemokonsentrasi dan meningkatnya kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Apabila nilai PCV rendah, menandakan terjadinya anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah, hemolisis, atau gangguan produksi sel darah merah, akhirnya akan menyebabkan penurunan kapasitas penyediaan oksigen ke jaringan. Nilai PCV di bawah 25% pada anjing menandakan bahwa oksigenasi pada jaringan tidak cukup, terutama untuk jantung dan anestesi harus ditunda sampai terjadi perbaikan anemia. Nilai TPP juga sangat penting seperti nilai PCV, karena peningkatan nilai TPP sama dengan peningkatan nilai PCV yang menandakan adanya dehidrasi. Penurunan nilai TPP menandakan terjadinya hipoproteinemia yang diakibatkan oleh gangguan ginjal, hati, atau gastrointestinal. Sedangkan jumlah sel darah putih menandakan ada tidaknya infeksi atau tingkat stres yang terjadi pada hewan. Kondisi terinfeksi dan stres akan meningkatkan resiko anestesi. Tabel 4. menunjukkan nilai normal gambaran darah anjing (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).

48

Tabel 4. Kriteria normal pemeriksaan darah pada anjing


(Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003; Foster 2009)

Kisaran Referensi Parameter


Denyut Jantung (denyut per menit) Hb (g/dl) PCV (%) Red Blood Cell Count (x106/l) White Blood Cell Count (/l) Neutrophils(/l) Lymphocytes(/l) Monocytes(/l) Eosinophils(/l) Basophils(/l) Platelets(/l) TPP (g/dl) PaO 2 (mmHg) PaCO2 (mmHg) Arterial pH

untuk Anjing
70-160 14-18 35-54 5.6-8.7 6,000-17,000 3,000-12,000 530-4,800 100-1800 0-1,900 <100 145-440 5,7-7,8 91-97 30-43 7,36-7,46

Sistem Respirasi Respirasi merupakan faktor penting dalam ventilasi pulmonum, sehingga udara alveoler diperbaharui oleh udara atmosfir. Terdapat dua mekanisme penting dalam satu kali respirasi yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah udara atmosfir masuk ke dalam saluran paru-paru dan ekspirasi adalah keluarnya udara alveoler dari paru-paru dan saluran pernapasan (Lumb dan Jones 1984; Cunningham 2002). Nilai normal gas respirasi dan gas di dalam darah anjing disajikan dalam Tabel 5.

49

Tabel 5. Tekanan gas respirasi dan gas darah normal pada anjing (mmHg) (Sumber : Muir 2000; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003)

Gas
O2 CO 2 N2 Kelembaban air Total End Tidal CO 2
(CO 2 alveolar [5 s/d 10])

atsmosfer (inspirasi)
160 0,2 595 4,8 760

alveolar
102 40 570 48 760

arteri
100 40 572 48 760

Vena
40 45 572 48 705

35-46 mmHg (anjing) 15 (10 30) kali/menit (anjing)

Frekuensi Respirasi

Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit (respiratory rate). Volume tidal dan frekuensi respirasi akan menghasilkan volume respirasi per menit (menute volume). Kedalaman respirasi akan mempengaruhi ukuran volume tidal. Respirasi yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan sebaliknya (Muir et al. 2000). Pengamatan terhadap frekuensi respirasi dapat dilakukan dengan melekatkan sebuah monitor pada katub ekhalasi pada sirkuit anestesi per inhalasi yang dapat berdesis pada setiap kali ekhalasi. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengamati frekuensi respirasi adalah dengan memasukkan sebuah thermistor probe ke dalam saluran pernapasan. Pengamatan frekuensi respirasi juga dapat dilakukan dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada tulang iga di bagian dada (Moens dan Fargetton 1990; Cunningham 2002; Nelson 2003). Dalam keadaan normal, O 2 diangkut ke dalam alveoli paru-paru dan CO 2 diangkut dari alveoli paru-paru, sehingga komposisi udara di dalam alveoli paru-paru dapat dipertahankan dalam konsentrasi yang konstan. Pertukaran gas di paru-paru terjadi dengan melewati membran alveoli dan membran kapiler, yang tebalnya kira-

50

kira tidak lebih dari satu mikron, sehingga dapat berlangsung dengan cepat. Keadaan udara di dalam pembuluh kapiler paru-paru dan di dalam alveoli paru-paru mendekati seimbang, sehingga tekanan gas CO 2 dan O 2 di dalam darah relatif sama dengan tekanan CO 2 dan O 2 di dalam alveoli paru-paru (Cunningham 2002).

Suhu Rektal Suhu rektal adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah parameter paling sederhana untuk diamati perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf. Panas dalam tubuh berasal dari hasil metabolisme di dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pada saat energi makanan dicerna, panas akan dihasilklan dari keseluruhan tahap proses metabolisme di dalam tubuh. Energi yang terdapat didalam makanan dirubah dalam bentuk panas, yang disebarkan ke lingkungan dan dipancarkan keseluruh permukaan. Hewan akan melawan panas dari lingkungan bila suhu disekitarnya lebih besar dari suhu tubuh dan bila terpapar oleh radiasi panas. Hal yang sama juga terjadi jika hewan terpapar sinar matahari langsung atau berada dekat dengan benda padat yang lebih hangat dari pada suhu tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin. Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, melalui penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan melalui penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh hewan bersentuhan. Panas juga hilang melalui urin dan feses. Banyak sumber panas dari metabolisme dalam tubuh, seperti hati, jantung, dan otot berada jauh dari kulit sebagai tempat pelepasan atau kehilangan panas, sehingga diperlukan pemindahan panas. Jaringan tubuh adalah penghantar panas yang tidak baik, sehingga panas dipindahkan terutama oleh pergerakan di dalam sirkulasi. Jantung dan pembuluh darah akan memegang peranan yang sangat penting untuk pemindahan panas di dalam tubuh (Cunningham 2002). Pusat pengaturan seluruh informasi dari berbagai reseptor terjadi di anterior hipotalamus. Informasi yang berasal dari reseptor temperatur pusat lebih besar

51

pengaruhnya dari pada informasi yang berasal dari reseptor kulit dan visceral, sehingga peningkatan temperatur pusat 0,5oC menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan pada peredaran darah di kulit, penurunan temperatur pusat menyebabkan vasokonstriksi dan menggigil. Pengaruh reseptor pusat adalah duapuluh kali lipat lebih besar dari pada pengaruh reseptor perifer (Cunningham 2002; Nelson 2003). Salah satu penyebab hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi adalah penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang menggunakan pendingin ruangan atau air-conditioning dengan pengaturan suhu yang sangat rendah. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000). Perubahan suhu pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada anjing adalah 37,5-39,2oC (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Anjing Anjing (Canis familiaris) telah didomestikasi selama ribuan tahun. Banyak jenis (breeds) anjing yang telah dikenal. Jenis anjing yang umum digunakan untuk kepentingan penelitian laboratorium adalah anjing jenis Beagle. Anjing Beagle sering digunakan sebagai model untuk penyakit pada manusia, karena mempunyai anatomi dan fisiologi yang mirip dengan manusia, ukuran tubuhnya baik dan ideal (berat badan rata-rata 10-15kg), mempunyai watak atau sifat yang baik dan bersahabat sehingga sangat cocok untuk penelitian yang memerlukan pengamatan sangat dekat. Anjing Beagle adalah jenis anjing yang pintar, mudah menerima perintah, penurut, serta cepat beradaptasi dengan lingkungan, manusia maupun sesama anjing (Wolfensohn dan Lloyd 2000).

52

Anjing adalah hewan yang sangat suka berkelompok dalam suatu kawanan. Anjing dapat dipelihara dalam sebuah kelompok atau berpasangan tetapi dengan pemberian makanan yang cukup. Anjing sangat perlu bersosialisasi dengan manusia atau anjing lain terutama pada saat umur masih muda 6 8 minggu, tetapi pada umur 14 minggu akan sulit untuk didekati. Sosial kontak bagi anjing sangat penting dan harus dipertahankan untuk membuat anjing tetap bersifat bersahabat. Anjing dengan sosialisasi baik akan lebih mudah ditangani (handle), tidak mudah stres, dan akan mudah dapat memberikan prosedur perlakuan pada anjing. Anjing tergolong binatang yang pintar dan mudah belajar sehingga sangat baik digunakan sebagai hewan laboratorium. Anjing jantan umumnya lebih agresif dibandingkan betina, tetapi hal ini tergantung pada jenis anjing. Anjing jenis Beagle lebih tenang, lebih penurut, dan menerima perintah tambahan dengan lebih baik. Anjing mempunyai metode komunikasi yang banyak dengan manusia atau sesama anjing, dan indera penciumannya sangat penting. Anjing jantan akan memberi marka daerah kekuasaan dengan urinasi (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anjing sangat adaptif dengan lingkungan, dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan 15-24oC, dan pada suhu yang lebih rendah dapat beradaptasi apabila dalam kelompok. Anak anjing baru lahir perlu beradaptasi pada suhu 30-32oC, pada umur 5 hari dapat beradaptasi pada suhu 26-28oC, dan pada umur 4 minggu dengan suhu 24oC sudah cukup. Anjing sangat baik beradaptasi terhadap makanan dan sangat jarang terjadi defisiensi. Anjing Beagle berat 13 kg memerlukan pakan sekitar 0,8kg atau 0,25kg pakan kering per hari, air minum lebih kurang 1 liter per hari (7080ml/kg/hari). Dewasa kelamin pada anjing jantan dicapai pada umur 7-8 bulan dan pada betina umur 8-14 bulan. Anjing dapat dikawinkan setelah umur 1-2 tahun dan anjing betina dapat dikawinkan setelah hari ke 6-12 birahi, kehamilan biasanya berkisar 59-68 hari atau rata-rata 63 hari. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 1-12 ekor, dengan berat lahir rata-rata 250 gram. Masa hidup anjing jenis Beagle adalah 12 tahun, seperti disajikan pada Tabel 6. (Wolfensohn dan Lloyd 2000).

53

Tabel 6. Data fisiologi anjing


(Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003) Parameter Kisaran nilai Referensi
10-15 18 1200 12 37,9-39,9 95-136 43-66 100 (<50)+ 76-107 22 (<4)+ 251-432 70-160
(<40, >175)+

Parameter

Kisaran nilai Referensi

Data biologi :
Berat badan dewasa (kg) Pakan (g/kg) Air minum (ml) Harapan hidup (th) Suhu rektal ( C) Tekanan darah sistol (mmHg) Tekanan darah diastol (mmHg) Tekanan darah rata-rata (mmHg) Volume darah (ml/kg) Respirasi (x/min) Volume tidal (ml) Denyut jantung (x/min)
o

Data Hematologi :
RBC (x106/mm3) PCV (%) Hb (g/dl) WBC (x10 /mm ) Neutrofil (%) Eosinofil (%) Basofil (% Limfosit (%) Monosit (%) Platelet (x103/mm3)
3 3

5,5-8,5 37-55 12-18 6-17 60-70 2-10 12-30 3-10 200-900

Data kimia :
Protein serum (g/dl) 6-7,5 3-4 2,4-3,7 54-99 3,-7,5 <120 <5 4-7 Albumin (g/dl) Globulin (g/dl) Glukosa (g/dl) Blood Urea Nitrogen (mmol/l) Kreatinin (mol/l) Total billirubin (mol/l) Kolesterol (mmol/l)

Data Reproduksi :
Pubertas (bln) Dewasa kelamin jantan (bln) Dewasa kelamin betina (bln) Umur dikawinkan (th) Bunting (hr) Jumlah anak Berat lahir (gr) Keterangan : += kritis 6-9 7-8 8-14 1-2 59-68(63) 1-12(4-6) 250

54

Klasifikasi Status Pasien Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi telah ditetapkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA), seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi
(Sumber : Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)

Katagori
Klas I Resiko minimal Klas II Resiko ringan, ada penyakit ringan

Kondisi fisik
Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik ringan, ada kemampuan kompensatoar, tidak ada gejala klinis penyakit.

Contoh kondisi klinik


Overiohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi, hipdisplasia. Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shok, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensatoar, infeksi lokal, infestasi cacing jantung ringan. Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang, penyakit ginjal ringan, murmur ringan jantung atau penyakit jantung, demam, hipovolemia sedang. Dehidrasi berat, shok, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, serta kekurusan. Penyakit jantung, ginjal, hati, paruparu, atau endokrin yang lanjut; Shok berat dengan disertai dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor maligan stadium akhir.

Klas III Resiko sedang, ada penyakit yang pasti Kelas IV Resiko tinggi, Sangat berbahaya karena penyakit

Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik sedang, terdapat gejala klinis ringan.

Hewan dengan penyakit sistem ik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat

Klas V Resiko sangat berat atau parah

Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam.

Evaluasi status pasien dan penentuan status pasien harus dilakukan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik, sejarah pasien, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Secara umum, pasien dengan klasifikasi klas I dan klas II sangat aman untuk dilakukan anestesi dengan

55

protokol dan teknik yang standar (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pada penelitian ini, hewan coba yang digunakan adalah anjing domestik dengan kriteria memenuhi data fisiologis Tabel 6 dan klasifikasi status pasien Tabel 7. Pemantauan Anestesi Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003). Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga, tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3 (tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital. Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja. Selama

teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).

56

Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O 2 ke jaringan dan ditambah dengan kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian. Penggunaaan anestesi harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi tetap juga menjaga agar tidak terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasinya. Dua hal tersebut dapat dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan mengawasi tanda-tanda vital hewan. Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat digunakan untuk melihat bahwa anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan sudah tercapai, tetapi tidak dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu dalam dan sudah membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam, hewan dapat dalam keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler. Tanda-tanda vital pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi yang menunjukkan kegagalan atau

bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat lambat dan dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan tekanan darah yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).

You might also like