You are on page 1of 74

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

283
PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN DAN TEKNIK
MOTIVASI TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA

Indra Martha Rusmana
Program Studi Pendidikan Matematika FTMIPA Unindra PGRI Jakarta
Jl. Nangka No. 58 C Tanjung Barat, Jagakarsa Jakarta Selatan
indramartharusmana@ymail.com

Abstrak

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui : 1) pengaruh penggunaan metode
pembelajaran terhadap hasil belajar matematika; 2) pengaruh penggunaan teknik motivasi
terhadap hasil belajar matematika; 3) pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran
dan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika. Penelitian ini menggunakan metode
kuasi eksperimen dengan mengambil responden sebanyak 120 responden. Penelitian ini
dilaksanakan pada 2 SMA di Kabupaten Serang. Teknik pengolahan dan analisa data
menggunakan Anova 2 arah. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 for
windows pada taraf signifikansi 0,05. Penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan utama, yaitu ;
pertama, tidak terdapat pengaruh antara penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil
belajar matematika; keduaterdapat pengaruh yang signifikan antara penggunaan teknik
motivasi terhadap hasil belajar matematika; ketiga tidak terdapat pengaruh interaksi
penggunaan metode pembelajaran dengan teknik motivasi terhadap hasil belajar
matematika siswa
Implikasi dalam penelitian ini mencakup (1) penggunaan metode pembelajaran resitasi
menjadikan hasil belajar matematika menjadi lebih baik daripada metode pembelajaran
konvensional; (2) penggunaan teknik motivasi non verbal lebih berpengaruh dalam
meningkatkan hasil belajar matematika; selain itu, (3) penggunaan metode pembelajaran
resitasi dan teknik motivasi non verbal secara bersamaan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap hasil belajar matematika.

Kata Kunci : metode pembelajaran, teknik motivasi, hasil belajar matematika

PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,
mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan mengembangkan daya
pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan
penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Hal ini diperkuat menurut Ruseffendi (1991: 260),
yang menyatakan bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran yang berhubungan dengan
ide, proses dan penalaran.
Matematika juga merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari secara bertahap dan
berkelanjutan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Suherman, dkk (2003: 22) bahwa konsep-
konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep
yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Oleh karena kehierarkisan
matematika tersebut, maka dalam belajar matematika harus dilakukan secara bertahap,
berurutan disesuaikan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa dan berkelanjutan
berdasarkan pada pengalaman yang lalu. Siswa tingkat sekolah menengah pertama (SMP) akan
mempelajari konsep matematika berdasarkan pemahaman konsep matematika yang diperoleh di
bangku sekolah dasar (SD), begitu pula siswa tingkat sekolah menengah atas (SMA) akan
mempelajari konsep matematika berdasarkan konsep yang diperoleh di SMP.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

284
Kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari metode pembelajaran. Pemilihan
model/metode pembelajaran sangat menentukan keberhasilan belajar dalam hal ini
keberhasilan belajar siswa. Metode yang digunakan tidak sembarangan, melainkan sesuai
dengan tujuan pembelajaran (Djamarah dan Zaid, 2002: 177). Salah satu kenyataan yang
sering hadir pada pembelajaran matematika adalah bahwa pembelajaran matematika yang
dilaksanakan dewasa ini lebih cenderung pada pencapaian target materi atau sesuai isi materi
buku yang digunakan sebagai buku wajib dengan berorientasi pada soal-soal ujian nasional.
Akibatnya kecerdasanyang dimiliki oleh siswa tidak tergali dengan baik.
Berkenaan dengan hal di atas, Ruseffendi (1991: 157) menyatakan terdapat banyak anak
yang setelah belajar matematika bagian yang sederhana banyak yang tidak dipahaminya, bahkan
banyak konsep yang dipahami secara keliru, matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar,
ruwet dan banyak memperdayakan. Hal ini membuktikan bahwa banyak anak yang mengalami
kesulitan belajar matematika disebabkan mereka bukan memahami konsepnya melainkan hanya
menghafalnya, sehingga dalam menerapkan suatu konsep matematika, mereka tidak dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain konsep belajar yang keliru, pandangan siswa terhadap matematika sebagai ilmu
yang sukar dan ruwet juga karena di pengaruhi oleh motivasi belajar mereka yang rendah.
Ketika siswa merasa tidak dapat mengerjakan soal matematika, maka mereka akan berhenti
sampai di situ tanpa mau lagi berusaha mengerjakannya. Apalagi jika guru matematika diam
tidak memperhatikan siswa tersebut, maka akan terjadi rasa malas dan tidak berminat untuk
belajar matematika.
Walaupun matematika merupakan pelajaran yang berdaya guna tinggi, namun sebagian
besar siswa masih kurang termotivasi dalam belajar matematika. Mereka masih beranggapan
bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, sukar, dan menegangkan. Hal ini didukung
dengan sebagian besar guru matematika yang berpenampilan kurang familiar atau terlalu serius,
selain itu kurang adanya teknik motivasi yang diberikan kepada siswa yang berkemampuan
kurang terhadap matematika.
Sehingga motivasi belajar siswa dalam mempelajari matematika kurang optimal dan
menjadikan hasil belajarnya menjadi rendah. Hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri siswa itu sendiri, seperti; motivasi, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan emosional,
rasa percaya diri, kemandirian, sikap dan lainnya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor
yang berasal dari luar diri siswa, seperti ; sarana dan pra sarana, lingkungan, kurikulum, metode
mengajar, dan motivasi dari guru itu sendiri.
Dari kedua faktor tersebut, ternyata saling mendukung satu sama lain. Metode mengajar
dan guru menjadi faktor eksternal yang paling berpengaruh di dalam kelas. Jika metode yang
digunakan hanya mencatat, kemudian memberikan tugas tanpa diperiksa hasil pekerjaan siswa,
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

285
maka hasil belajar akan rendah. Begitu pula jika terdapat siswa yang kurang dalam pelajaran
matamatika, kemudian guru tersebut diam tanpa memberikan motivasi kepada siswa tersebut,
maka hasil belajar dan motivasi belajar siswa tersebut akan rendah. Selain itu, motivasi juga
biasanya berasal dari dalam diri siswa itu sendiri dengan belajar di rumah dan belajar di sekolah
yang dipandu oleh guru. Jika hasil belajar siswa rendah, maka guru dapat memberikan siswa
tersebut berupa hadiah agar mereka lebih semangat untuk belajar dan mencapai hasil yang
diinginkan.
Dengan demikian metode pembelajaran yang menarik dan teknik motivasi yang
dilakukan guru akan berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Oleh karena itu
metode pembelajaran dan teknik memotivasi diharapkan dapat merangsang kemampuan
berpikir siswa secara aktif dan kreatif, karena dapat memotivasi siswa dalam belajar sehingga
menghasilkan proses belajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Keberhasilan proses belajar dan mengajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
pemilihan metode/ model pembelajaran, minat siswa terhadap materi yang diajarkan dan
peranan guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswa serta motivasi dari siswa itu sendiri untuk
belajar dan memahami materi.
Pemilihan metode pembelajaran yang baik agar hasil yang optimal dapat diperoleh
merupakan suatu hal yang penting. Karena hal ini dapat memotivasi siswa untuk
mengembangkan pengetahuannya tanpa merasa bahwa materi yang diberikan oleh guru sangat
menyulitkan dan membosankan. Berdasarkan hal inilah, seorang pendidik dan pengajar harus
mampu memberikan motivasi yang besar kepada siswanya agar dapat menerima materi yang
disampaikan dengan baik. Pemilihan metode pembelajaran merupakan strategi guru dalam
proses pembelajaran matematika hendaklah dapat merangsang dan melibatkan siswa secara
aktif, baik secara fisik (psikomotor), intelektual (kognitif), dan emosionalnya (afektif).
Permasalahan-permasalahan di atas, yaitu kurangnya variasi dalam penggunaan metode
pembelajaran yang dilakukan guru dan kurangnya kreativitas guru dalam memotivasi siswa
untuk belajar serta rendahnya hasil belajar matematika juga dialami pada siswa SMA di wilayah
Kota Serang. Hal ini masih terlihat dari hasil belajar matematika siswa masih rendah jika
dibandingkan dengan pelajaran yang lain, baik dari hasil ulangan harian, ujian tengah semester,
ujian akhir semester, bahkan ujian akhir nasional.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan suatu kajian atau penelitian dengan judul Pengaruh Penggunaan Metode
Pembelajaran dan Teknik Motivasi terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMA.
Eksperimen dilakukan pada siswa kelas X di SMA Islam Al-Fahmi dan SMA Nusantara Serang.


Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

286
KAJIAN TEORI
Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 729) definisi belajar yaitu usaha
memperoleh kepandaian atau ilmu tertentu dengan tergantung pada kekuatan harapan bahwa
tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik hasil itu bagi orang
bersangkutan.
Sedangkan menurut Hamalik, O (2009: 27) belajar didefinisikan yaitu modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or
strengthening of behavior through experiencing).
Berdasarkan teori dan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
proses yang berkaitan dengan perubahan tingkah laku yang menetap pada pengetahuan
(kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) yang didapatkan melalui dari
pengalaman yang dilalui atau latihan yang berulang-ulang.
Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar merupakan puncak atau akhir dari suatu kegiatan belajar. Menurut Slameto
(2003: 3) menyatakan hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi secara
berkesinambungan dan tidak statis
Belajar merupakan proses yang unik di mana banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan belajar. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu :
1. Faktor intern, yakni faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor
individual. Menurut Slameto faktor individual dibedakan menjadi tiga faktor, yaitu : (1)
faktor jasmaniah, (2) faktor psikologis, dan (3) faktor kelelahan.
2. Faktor ekstern, yakni faktor yang ada di luar siswa atau faktor sosial. Slameto
menjabarkan lagi faktor ini menjadi tiga faktor, yaitu faktor keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses belajar mengajar yang optimal cenderung
menunjukan hasil yang berciri sebagai berikut:
1. Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi pada diri siswa
2. Menambah keyakinan akan kemampuan dirinya.
3. Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya seperti akan tahan lama diingatannya,
membentuk prilakunya, bemanfat untuk mempelajarai aspek lain, dapat digunakan sebagai
alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang lainya.
4. Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengendalikan dirinya terutama
dalam menilai hasil yang dicapainya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha
belajarnya
Berdasarkan pendapat-pendapat dan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah puncak atau akhir dari kegiatan belajar yang menghasilkan perubahan tingkah
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

287
laku yang dapat dilihat dan diukur, yaitu berupa kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan
keterampilan (psikomotor) yang terjadi secara berkesinambungan dan bersifat dinamis.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang didapatkan dan dipelajari oleh
siswa mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Selain itu, matematika
merupakan ilmu pengetahuan yang penerapannya benar-benar sangat bermanfaat di dalam
kehidupan, mulai dari transaksi jual-beli di pasar, transaksi di bank sampai dengan program
pengiriman pesawat ke luar angkasa semuanya menggunakan matematika.
Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau
pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan
antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten.
Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif
melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk
mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta
yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru
yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar
induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari
Matematika.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
matematika adalah pengetahuan atau keterampilan yang dikuasai dan dimiliki oleh siswa setelah
menerima pengalaman belajar matematika di sekolah dan hasilnya dapat berupa pengetahuan,
pemahaman konsep, perhitungan dan pemecahan masalah yang dapat dituliskan berupa nilai
(angka atau huruf) atas suatu tes tertentu.
Metode Pembelajaran Resitasi
Dalam proses belajar mengajar, agar siswa dapat belajar dengan baik sesuai dengan
tujuan yang diharapkan, maka guru harus memiliki keterampilan, yaitu dengan menguasai
metode mengajar. Metode mengajar merupakan salah satu cara yang digunakan guru
mengadakan interaksi dengan siswa, pada saat berlangsungnya pengajaran. Salah satu metode
mengajar yang digunakan ialah metode Resitasi (penugasan), di mana metode ini adalah
penyajian bahan dimana guru memberi tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar.
Tugas tersebut dapat dilaksanakan di kelas, luar sekolah, di laboratorium, di perpustakaan atau
di mana saja (Djamarah, 1995:96).
Kegiatan interaksi belajar harus selalu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Selama
dalam lingkungan sekolah, siswa memiliki beragam aktifitas yang dilaksanakan oleh sekolah,
sehingga menyita banyak waktu siswa untuk mempelajari materi yang telah diberikan oleh guru.
Untuk mengatasi hal tersebut, guru diharapkan memberikan tugas-tugas yang dapat
dikerjakan oleh siswa di luar jam pelajaran sekolah, hal ini dikarenakan jumlah jam untuk setiap
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

288
mata pelajaran di sekolah dibatasi hanya 45 menit (untuk siswa SMA), hal ini tidak akan
mencukupi tuntutan kurikulum akan tuntasnya materi yang disediakan di dalam kurikulum.
Dalam pemberian tugas ini, guru diharapkan dapat membahas dan mengecek tugas yang
telah diberikan pada pertemuan selanjutnya, sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam
mengerjakan tugas yang diberikan pada kegiatan selanjutnya. Selain dibahas dan dicek, tugas
yang diberikan oleh guru hendaknya dievaluasi dan diberi nilai sesuai dengan kemampuannya.
Sistem pemberian tugas semacam inilah yang disebut dengan resitasi.
Selain itu, metode resitasi sering disebut juga metode pemberian tugas yaitu guru
memberikan seperangkat tugas kepada siswa untuk dipelajari atau untuk dikerjakan baik secara
individu maupun kelompok dan disusun berupa laporan atau resume kemudian hasilnya
didiskusikan di kelas atau dibahas.
Metode resitasi biasanya digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang
lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melakukan tugas, sehingga
pengalaman siswa dalam mempelajari materi lebih terintegrasi (Rostiyah, 2001:133). Dengan
melaksanakan tugas siswa menjadi aktif belajar dan terangsang untuk meningkatkan belajar
yang lebih baik, memupuk inisiatif dan berani bertanggung jawab.
Metode resitasi ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri
dan mendidik siswa untuk bertanggung jawab dalam melaksakan tugas, sehingga baik disadari
maupun tidak siswa mampu bekerja atau belajar sendiri tanpa disuruh.
Menurut Djamarah (1995:97) Langkah-langkah yang harus digunakan dalam metode
Resitasi, yaitu:
a. Fase pemberian tugas
Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya mempertimbangkan
1) kemampuan siswa;
2) tujuan yang akan dicapai;
3) jenis tugas yang jelas dan tepat sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan;
4) ada petunjuk/ sumber yang dapat membantu pekerjaan siswa; dan
5) sediakan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas tersebut.
b. Fase pelaksanaan tugas
1) diberikan bimbingan / pengawasan oleh guru
2) diberikan dorongan sehingga siswa mau bekerja
3) diusahakan / dikerjakan oleh siswa sendiri, tidak menyuruh orang lain
4) dianjurkan siswa mencatat hasil-hasil yang ia peroleh dengan baik dan sistematik.
c. Fase pertanggungjawaban tugas
1) laporan siswa baik tulis/ lisan dari apa yang telah dikerjakan
2) ada tanya jawab/ diskusi kelas
3) penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun nontes atau cara lain.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

289
Pada fase pertanggung jawaban tugas inilah yang disebut Resitasi.
Motivasi Belajar
Seseorang akan berhasil dalam belajar, jika pada dirinya sendiri ada keinginan untuk
belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Keinginan atau dorongan inilah yang disebut dengan motivasi. Motivasi dalam hal ini meliputi
dua hal : (1) mengetahui apa yang akan dipelajari ; dan (2) memahami mengapa hal tersebut
patut dipelajari. Dengan berpijak pada kedua unsur motivasi inilah sebagai dasar permulaan
yang baik untuk belajar. Sebab tanpa motivasi (tidak mengerti apa yang akan dipelajari dan
tidak memahami mengapa hal itu perlu dipelajari) kegiatan belajar mengajar sulit untuk berhasil
(M., Sardiman A. 2007 : 40).
Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu ; (1) Kebutuhan, (2) Dorongan dan (3)
Tujuan. Kebutuhan terjadi apabila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang ia
miliki dan ia harapkan. Sedangkan, dorongan merupakan kekuatan mental untuk melakukan
kegiatan dalam rangka memenuhi harapan/ kebutuhan tersebut. Selain itu, dorongan pun
merupakan kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian tujuan.
Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti dari motivasi.
Para pakar humanistik menitikberatkan pentingnya motivasi dari dalam diri sendiri (self
motivation), mereka menganjurkan agar para guru mendorong berkembangnya rasa ingin tahu
dan minat siswa dalam belajar. Sedangkan para pakar behavioristik menekankan pula
pentingnya persekitaran dalam menciptakan kondisi yang memotivasi siswa.
Mereka menganjurkan agar para guru mengaitkan belajar dengan rangsangan yang
menimbulkan perasaan senang dan membentuk tingkah laku siswa melalui pemberian hadiah
atau hal lainnya, ini berarti seorang guru harus mengetahui teknik motivasi agar siswa dapat
termotivasi dalam belajar.
Dilihat dari jenisnya, terdapat dua jenis motivasi, yaitu motivasi instrinsik (motivasi yang
berasal dari dalam diri seseorang) dan motivasi ekstrinsik (motivasi yang datangnya dari luar).
Untuk meningkatkan motivasi instrinsik siswa, seorang guru hendaknya mampu memberikan
motivasi yang sifatnya dari luar diri siswa tersebut, sehingga mampu membangkitkan minat dan
perhatian siswa selama pembelajaran berlangsung.
Selain itu, seorang guru harus mampu mengarahkan siswanya untuk mau mengulang dan
mempelajari kembali di rumah terhadap materi-materi yang telah disampaikan di sekolah.
Mengingat demikian pentingnya motivasi belajar yang harus dimiliki oleh siswa, maka seorang
guru diharapkan mampu membangkitkan motivasi siswa dalam belajar. Sebagaimana yang
dikatakan Hakim dalam Rusmana, Indra M., (2009);
Cara membangkitkan motif-motif ekstrinsik itu dapat dilakukan dengan
memiliki berbagai keinginan yang perlu dimiliki untuk membangkitkan
motivasi belajar, diantaranya sebagai berikut:
a. Keinginan untuk mendapat nilai ujian yang baik
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

290
b. Keinginan untuk menjadi juara kelas
c. Keinginan menjaga harga diri atau gengsi
d. Keinginan menjadi siswa teladan
e. Keinginan untuk menang bersaing
f. Keinginan untuk dikagumi, karena menjadi seseorang yang berprestasi
g. Keinginan untuk menutupi kekurangan diri dengan berprestasi tinggi
h. Keinginan untuk melaksanakan anjuran dari orang lain

Selain itu, menurut Uno, Hamzah B. (2007:34), beberapa teknik motivasi yang dapat
dilakukan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan penghargaan secara verbal.
b. Menggunakan nilai ulangan sebagai pemacu keberhasilan.
c. Menimbulkan rasa ingin tahu.
d. Memunculkan sesuatu yang tidak diduga oleh siswa.
e. Menjadikan tahap dini dalam belajar mudah bagi siswa.
f. Menggunakan materi yang dikenal sebagai contoh dalam belajar.
g. Gunakan kaitan yang unik dan tak terduga untuk menerapkan suatu konsep dan prinsip
yang telah dipahami.
h. Menuntut siswa untuk menggunakan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya.
i. Menggunakan simulasi dan permainan.
j. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memperlihatkan kemahirannya di depan
umum.
k. Mengurangi akibat yang tidak menyenangkan dan keterlibatan siswa dalam belajar.
l. Memahami iklim sosial dalam sekolah.
m. Memanfaatkan kewibawaan guru secara tepat.
n. Memperpadukan motif-motif yang kuat.
o. Memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai.
p. Merumuskan tujuan-tujuan sementara.
q. Memberitahukan hasil kerja yang telah dicapai.
r. Membuat suasana persaingan yang sehat diantara para siswa.
s. Mengembangkan persaingan dengan diri sendiri.
t. Memberikan contoh yang positif.

Pernyataan seperti Bagus Sekali, Hebat, Menakjubkan di samping akan
menyenangkan siswa, pernyataan verbal seperti itu juga mengandung makna interaksi dan
pengalaman pribadi yang langsung antara siswa dan guru, dan penyampaiannya konkret,
sehingga merupakan suatu persetujuan pengakuan sosial, apalagi kalau penghargaan verbal itu
diberikan di depan orang banyak.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta empiris dan menganalisis tentang :
1. Pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika.
2. Pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.
3. Pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi terhadap hasil
belajar matematika.
Jenis Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode eksperimen, yaitu dengan memberikan jenis
perlakuan yang berbeda pada dua kelompok belajar siswa. Satu kelompok dijadikan sebagai
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

291
kelompok eksperimen, yaitu diberikan perlakuan pembelajaran matematika dengan metode
pembelajaran resitasi, sedangkan kelompok yang satu lagi sebagai kelompok kontrol dengan
perlakuan pembelajaran dengan metode pembelajaran konvesional. Dari masing-masing
kelompok kemudian diberikan teknik motivasi verbal dan teknik motivasi non-verbal.Perhatikan
tabel desain penelitian di bawah ini :
Tabel 1
Desain Faktorial 2 x 2 untuk
Variabel Metode Pembelajaran dan Teknik Motivasi

Metode Pembelajaran


Teknik Motivasi
R
e
s
i
t
a
s
i

(
A
1
)

K
o
n
v
e
n
s
i
o
n
a
l


(
A
2
)

J
u
m
l
a
h

Verbal (B
1
) A
1
B
1
A
2
B
1
B
1

Non Verbal (B
2
) A
1
B
2
A
2
B
2
B
2
Jumlah A
1
A
2
A x B
Keterangan :
A
1
B
1
: kelompok siswa dengan metode resitasi yang diberi teknik motivasi verbal
(eksperimen A).
A
2
B
1
: kelompok siswa dengan metode konvensional yang diberi teknik motivasi verbal
(kontrol A).
A
1
B
2
: kelompok siswa dengan metode resitasi yang diberi teknik motivasi non verbal
(eksperimen B).
A
2
B
2
: kelompok siswa dengan metode konvensional yang diberi teknik motivasi non verbal
(kontrol B).
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas X di SMA Nusantara dan SMA Islam
Terpadu Al-Fahmi Serang pada semester genap tahun ajaran 2010 2011.
Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi terukur adalah seluruh siswa kelas X SMA
di Serang. Sedangkan populasi targetnya adalah seluruh siswa SMA Islam Terpadu Al-Fahmi
dan SMA Nusantara kelas X, penulis bermaksud mengadakan uji coba di kelas X untuk bahasan
materi Logika Matematika.
Dalam penelitian ini sampel diambil sebanyak 100% dari kelompok eksperimen dan
100% dari kelompok kontrol dari masing-masing kelas di SMA Islam Al-Fahmi dan SMA
Nusantara. Jadi, penelitian ini menggunakan sampel populasi sebagai sampelnya.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

292
Karena berjumlah 2 kelas pada masing-masing sekolah, maka sampel dibagi menjadi
30orang siswa dengan metode resitasi dan teknik motivasi verbal, 30 orang siswa dengan
metode resitasi dan teknik motivasi non verbal, 30 orang siswa dengan metode konvensional
dan teknik motivasi verbal serta 30 orang siswa dengan metode konvensional dan teknik
motivasi non verbal.
Prosedur
Prosedur penelitian ini memiliki tahapan sebagai berikut :
a. Mendefinisikan dan merumuskan masalah
b. Melakukan studi kepustakaan
c. Merumuskan hipotesis
d. Menentukan model atau desain penelitian
e. Mengumpulkan data
f. Mengolah dan menyajikan informasi
g. Menganalisis dan menginterpretasikan data
h. Membuat kesimpulan
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui instrumen penelitian yang dibuat peneliti
menggunakan soal tes yang berbentuk pilihan ganda dan angket atau kuesioner yang disebarkan
kepada sampel penelitian.
Teknik pengumpulan data variabel hasil belajar menggunakan data sekunder yang
dihasilkan setelah melakukan tes evaluasi akhir pelajaran matematika berupa tes pilihan ganda
dengan 5 item pilihan.
Pengumpulan data data dilakukan selama 2 bulan 3 minggu dan teknik pengolahan data
pada penelitian ini menggunakan aplikasi program pengolahan data SPSS 13.0 for windows.
Teknik Analisis Data
Uji statistik yang digunakan dalam analisis data adalah uji statistik inferensial dengan
menggunakan anova dua jalur menggunakan bantuan aplikasi program pengolahan data statistik
(Statistical Product and Service Solutions),SPSS 13.0 for windows.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dapat terlihat dalam Tabel 2. Dari data yang telah didapatkan dan diolah
dengan bantuan software SPSS 13.0 for windows pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa kelas
yang di ajar dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi dan teknik motivasi non verbal
(A1B2) mempunyai rata-rata hasil belajar matematika siswa yang lebih baik daripada kelas
yang lain yaitu sebesar 12,667, sedangkan untuk kelas A1B1 rata-ratanya 7,433, A2B1 rata-
ratanya 6,833 dan A2B2 rata-ratanya adalah 12,633.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

293
Tabel 2. Rangkuman Data Hasil Penelitian

Resitasi
(A1)
Konvensional
(A2)
Jumlah
Teknik Motivasi
Verbal
(B1)
n
A1B1
= 30
X
A1B1
= 7,433
S
2
= 1,406
n
A2B1
= 30
X
A2B1
= 6,833
S
2
= 1,555
n
B1
= 60
X
B1
= 7,133
S
2
B1
= 1,501
Teknik Motivasi
Non Verbal
(B2)
n
A1B2
= 30
X
A1B2
= 12,667
S
2
= 2,604
n
A2B2
= 30
X
A2B2
= 12,633
S
2
= 2,282
n
B2
= 60
X
B2
= 12,650
S
2
B2
= 2,427
Jumlah
n
A1
= 60
X
A1
= 10,05
S
2
A1
= 3,357
n
A2
= 60
X
A2
= 9,733
S
2
A2
= 3,507
n
T
= 120
X
T
= 9,891
S
2
T
= 3,432

Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa rata-rata hasil belajar matematika yang di ajar
dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi dan teknik motivasi non verbal lebih baik
daripada kelas lain yang menjadi sampel.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Ringkasan ANOVA 2 Jalur










Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis pertama dinyatakan dalam hipotesis statistik
sebagaiberikut :
Ho :
1
=
2
(tidak ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar
matematika)
H
1
:
1

2
(ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar
matematika)
Dengan kriteria uji :
- Jika F
hitung
> F
tabel
, maka signifikan (tolak Ho)
- Jika F
hitung
< F
tabel
, maka tidak signifikan (terima Ho)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

294
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai F
hitung
untuk mengetahui pengaruh
penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematikaadalah 0,734 sedangkan
F
tabel
untuk dk
1
= 1 dan dk
2
= 119 adalah 3,92 dan ternyata harga F
hitung
< F
tabel
jadi H
0
diterima,
yaitu tidak ada pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar matematika.
Jika pun ada pengaruh, karena Sig. 0,393 > o = 0,05 tetapi tidak signifikan pengaruhnya.
Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis kedua yaitu dinyatakan dalam hipotesis
statistik sebagaiberikut :
Ho :
1
=
2
(tidak ada pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar
matematika)
H
1
:
1

2
(ada pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika)
Dengan kriteria uji:
- Jika F
hitung
> F
tabel
, maka signifikan (tolak Ho)
- Jika F
hitung
< F
tabel
, maka tidak signifikan (terima Ho)
Untuk melihat hasil uji hipotesis kedua, perhatikan tabel Ringkasan ANOVA di atas,
terlihat bahwa nilai F
hitung
untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap
hasil belajar matematikasiswa adalah 222,888. Sedangkan F
tabel
untuk dk
1
= 1dan dk
2
= 119
adalah 3,92 dan ternyata harga F
hitung
> F
tabel
jadi H
0
ditolak, maka terdapat/ ada pengaruh
penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.
Hipotesis yang akan diuji dalam hipotesis ketiga yaitu dinyatakan dalam hipotesis
statistik sebagaiberikut :
Ho :
01
=
02
(tidak ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik
motivasi terhadap hasil belajar matematika)
H
1
:
01

02
(ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi
terhadap hasil belajar matematika)
Kriteria uji:
- Jika Sig. >o = 0,05 (terima Ho)
- Jika Sig. <o = 0,05 (tolak Ho)
Untuk melihat hasil uji hipotesis ketiga, perhatikan tabel Ringkasan ANOVA di atas. Dari
tabel, didapatkan nilai Sig. 0,445 >o = 0,05, dalam hal ini Sig. >o = 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik
motivasi terhadap hasil belajar matematika, karena Sig. >o = 0,05 maka tidak dilakukan uji
lanjut untuk menentukan interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi
terhadap hasil belajar matematika.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara
penggunaan metode pembelajaran dengan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika.
Hal ini dikarenakan penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi secara bersama-sama
menjadikan nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa perbedaannya tidak terlalu jauh.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

295
Selain hal tersebut di atas, ditemukan pula bahwa penggunaan metode resitasi lebih baik
dalam meningkatkan hasil belajar matematika, Kemudian teknik motivasi non verbal pun
ternyata lebih baik dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa jika dibandingkan
dengan teknik motivasi verbal. Apalagi jika penggunaan metode pembelajaran resitasi dan
teknik motivasi non verbal dilakukan secara bersama-sama, maka hasil belajar matematika
siswa lebih baik daripada penggunaan metode pembelajaran konvensional dan teknik motivasi
verbal secara bersama-sama.
Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran yang variatif dan
penggunaan teknik motivasi non verbal dapat menjadikan siswa lebih tertarik dalam
mempelajari matematika sehingga hasil belajar matematika dapat meningkat, baik terhadap
siswa yang berkemampuan biasa ataupun luar biasa.
Selain itu, secara umum ditemukan pula bahwa hasil belajar matematika siswa yang
diajar dengan menggunakan teknik motivasi verbal lebih tinggi daripada teknik motivasi non-
verbal. Hal ini dikarenakan dalam diri siswa dan semua orang terdapat kebutuhan-kebutuhan
yang harus dipenuhi, salah satunya menurut Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.
Selama proses belajar di dalam kelas, siswa akan lebih merasa dihargai keberadaannya jika dia
dipuji dan mendapatkan ucapan-ucapan verbal di depan teman-temannya, sambil diberikan
reward. Dalam hal ini dituntut kemampuan guru untuk dapat memberikan ungkapan atau kata-
kata yang dapat memotivasi siswa dalam belajar dan pemberian reward secara variatif.
Selain itu, berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini maka dalam kapasitasnya
sebagai seorang pendidik atau guru matematika harus mampu memahami tingkat motivasi
belajar dari masing-masing siswa agar dapat dilakukan pemilahan dan perlakuan yang tepat
dalam kegiatan pembelajaran. Sementara dalam kapasitasnya sebagai pengajar, maka guru
matematika harus mampu mendesain rancangan kegiatan pembelajaran dengan memilih metode
pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan belajar siswa.
Dalam memilih dan menerapkan metode pembelajaran matematika, guru harus banyak
membaca dan saling berbagi pengetahuan baru serta mempelajari berbagai teori tentang metode
pembelajaran, sehingga guru dapat menerapkan ilmunya dengan baik. Selain itu, wadah
MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) matematika dapat digunakan dalam
mengembangkan kemampuan guru.

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis penelitian dan analisis pengolahan data dengan
bantuan software SPSS 13.0 for windows, maka hasil penelitian dengan judul : Pengaruh
Penggunaan Metode Pembelajaran dan Teknik Motivasi terhadap Hasil Belajar Matematika
Siswa SMA (eksperimen dilakukan pada siswa kelas X di SMA Islam Terpadu Al-Fahmi dan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

296
SMA Nusantara pada semester genap tahun pelajaran 2010/ 2011), dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Tidak terdapat pengaruh penggunaan metode pembelajaran terhadap hasil belajar
matematika, hal ini dikarenakan nilaiF
hitung
(0,724)<F
tabel
(3,92). Sekalipun ada pengaruhnya,
tetapi tidak terlalu signifikan.
2. Terdapat pengaruh penggunaan teknik motivasi terhadap hasil belajar matematika, hal ini
berdasarkan harga F
hitung
(222,888) > F
tabel
(3,92). Pengaruh teknik motivasi terhadap hasil
belajar matematika cukup signifikan.
3. Tidak terdapat pengaruh interaksi penggunaan metode pembelajaran dan teknik motivasi
terhadap hasil belajar matematika, hal ini diperoleh dari nilai Sig. yang lebih besar dari o =
5% yaitu Sig. 0,445 >o = 0,05.
Selain itu, didapatkan pula kelebihan dan kelemahan dalam menggunakan metode
pembelajaran resitasi ini, yaitu :
Kelebihan :
1) merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual ataupun kelompok
2) mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan guru
3) membina tanggung jawab dan disiplin siswa
4) mengembangkan kreativitas siswa
Kekurangan :
1) siswa sulit dikontrol, apakah benar tugas tersebut dikerjakan sendiri atau orang lain.
2) untuk tugas kelompok, tidak jarang yang aktif mengerjakan dan menyelesaikannya
adalah anggota tertentu saja, sedangkan yang lain tidak berpartipasi.
3) tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa.
Setelah melakukan penelitian dan melihat serta merasakan proses pembelajaran dengan
metode resitasi dan teknik motivasi verbal dan non verbal, serta memperhatikan simpulan di
atas, maka saran yang dapat dikemukakan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagi para pembaca khususnya tenaga pendidik (guru); pembelajaran dengan metode
pembelajaran resitasi dan teknik motivasi verbal dan non verbal dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan variatif serta dapat
diterapkan di kelas dalam usaha untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
2. Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran resitasi menuntut siswa untuk
lebih mandiri dalam belajar. Sehingga guru diharapkan dapat membimbing siswanya dalam
belajar agar semua aspek kecerdasan yang dimiliki siswa dapat berkembang dengan optimal.
3. Karena dalam mengembangkan metode pembelajaran ini menggunakan musik sebagai latar
atau alat untuk membangkitkan motivasi siswa, yang merupakan salah satu teknik motivasi
non verbal maka sebaiknya audio yang digunakan dapat menggunakan media yang efektif
dan efisien.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

297
4. Diperlukan kerjasama antar guru matematika dalam mengoptimalkan kemampuan dalam
belajar matematika. Kerjasama ini diperlukan sebagai sarana tukar pengalaman mengajar
tentang metode pembelajaran resitasi dan metode yang digunakan oleh masing-masing guru
5. Bagi penelitian yang akan datang dan tertarik dengan penggunaan metode pembelajaran ini,
hendaknya mengembangkan instrumen lain untuk materi ajar yang berbeda atau untuk kelas
dalam jenjang pendidikan yang lain atau populasi yang tidak serupa dengan penelitian yang
telah dilakukan pada penelitian kali ini.

DAFTAR PUSTAKA
Djamarah & Zaid. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djamarah. (1995). Strategi Belajar Mengajar. Banjarmasin: Rineka Cipta.
Gawatri, dkk. (2004). Matematika untuk Tingkat I SMK. Jakarta: Yudhistira.
Hamalik, Oemar. (2009). Psikologi Belajar dan Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara
M,. Sardiman A. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Rostiyah. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ruseffendi, E.T. (1991).Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Rusmana, Indra Martha. (2009). Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Slim-n-Bil
Terhadap Prestasi dan Motivasi Belajar Matematika Siswa SMP.Skripsi, tidak
dipublikasikan. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa : Serang.
Slameto, (2003).Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.
Surapranata, S. (2006). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes Implementasi
Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Uno, H. B. (2007). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

298
KEMAMPUAN AWAL MATEMATIS SISWA SEBAGAI
BEKAL MENGIKUTI PEMBELAJARAN ARITMETIKA SOSIAL MELALUI
PENDEKATAN METAKOGNITIF DENGAN MENGINTEGRASIKAN SOFT
SKI LL

Atma Murni
Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Riau
E-mail: murni_atma@yahoo.co.id

Abstrak

Aritmetika Sosial merupakan materi matematika yang wajib dipelajari siswa kelas VII dan
kaya akan konsep-konsep bilangan bulat, pecahan, dan aljabar. Topik-topik yang dibahas
meliputi: untung, rugi, persentase untung, persentase rugi, diskon (rabat), neto, bruto, tara,
bunga tabungan dan pajak. Masalah yang dipecahkan terkait dengan masalah kontekstual
yang sering dijumpai dan dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa memecahkan masalah terkait
Aritmetika Sosial. Meskipun masalah yang dimunculkan berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari siswa, namun siswa masih mengalami kesulitan menerapkan konsep-konsep
prasyarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Untuk itu perlu
menganalisis kemampuan awal matematis (KAM) siswa dalam mengikuti pembelajaran
Aritmetika Sosial yang dilaksanakan melalui penerapan pendekatan metakognitif dengan
mengintegrasikan soft skill pada siswa kelas VII sekolah level tinggi dan sekolah level
sedang di Kota Pekanbaru. Data KAM dianalisis menggunakan uji t dan uji ANAVA satu
jalur. KAM siswa dikelompokan menjadi KAM atas, tengah, dan bawah. Hasil analisis
menyatakan bahwa: (1) rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi lebih besar dari rata-rata
KAM sekolah level sedang untuk ketiga pendekatan pembelajaran; (2) KAM siswa pada
setiap kelompok pembelajaran lebih dominan berada pada kategori tengah; (3) ada
perbedaan secara signifikan KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level sedang; (4)
ada kesetaraan rata-rata KAM siswa ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level
sekolah; dan (5) dari jawaban siswa terlihat siswa masih mengalami kekeliruan, kesulitan,
dan bahkan belum dapat menyelesaikan soal-soal materi prasyarat yang sangat diperlukan
dalam pembelajaran Aritmetika Sosial.

Kata kunci: Kemampuan awal matematis, aritmetika sosial, metakognitif, soft skill

PENDAHULUAN

Kemampuan awal siswa merupakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki
siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Kemampuan awal menggambarkan kesiapan siswa
dalam menerima pelajaran yang akan disampaikan oleh guru. Dengan memiliki kemampuan
awal tentang materi tertentu, siswa dapat dengan mudah mempelajari materi baru yang akan
diajarkan guru. Sebagaimana dinyatakan Arends (2008), bahwa kemampuan awal siswa untuk
mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur
kognitif yang sudah ada.
Kemampuan awal siswa penting untuk diketahui guru sebelum ia mulai dengan
pembelajarannya, karena dengan demikian dapat diketahui: (1) apakah siswa telah memiliki
pengetahuan prasyarat (prerequisite) untuk mengikuti pembelajaran; (2) sejauh mana siswa
telah mengetahui materi yang akan disajikan. Dengan mengetahui kedua hal tersebut, guru akan
dapat merancang pembelajaran dengan lebih baik.
Kenyataan sehari-hari dalam pembelajaran matematika menunjukkan seringkali guru
merancang dan melaksanakan pembelajaran berdasarkan asumsi bahwa siswa telah memiliki
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

299
kemampuan awal matematis yang baik dan siswa belum mengetahui sama sekali materi yang
akan disajikan sehingga pembelajaran seringkali tidak diawali dengan menggali pengetahuan
awal matematis siswa yang relevan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila
pembelajaran menjadi tidak efektif karena siswa belum mempunyai kesiapan untuk menerima
pelajaran.
Makalah ini khusus membahas tentang kemampuan awal matematis (KAM) siswa dalam
mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial yang dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan
penelitian yang menerapkan tiga pendekatan yaitu: (1) pembelajaran metakognitif dengan
mengintegrasikan soft skill (PMSS); (2) pembelajaran metakognitif (PM); dan (3) pembelajaran
konvensional (PK).
Biryukov (2003) mengemukakan bahwa metakognisi merupakan dugaan pemikiran
seseorang tentang pemikirannya yang meliputi pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang
tentang apa yang diketahuinya), keterampilan metakognitif (kesadaran seseorang tentang
sesuatu yang dilakukannya) dan pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang
kemampuan kognitif yang dimilikinya). Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran
metakognitif dalam penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran
matematika terhadap siswa secara individual yang memiliki komponen: (1) menanamkan
kesadaran kepada siswa suatu proses bagaimana merancang, memonitor, dan mengevaluasi
aktivitas yang dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu permasalahan; (2) memfokuskan
pertanyaan kepada pemahaman masalah; (3) mengembangkan hubungan antara pengetahuan
yang lalu dan sekarang; (4) menggunakan strategi penyelesaian permasalahan yang tepat; dan
(5) merefleksikan proses dan solusi.
Pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian initidak hanya penerapan pembelajaran
metakognitif saja melainkan mengintegrasikannya dengan soft skill. Soft skill menurut
Muaddap (2010) bisa digolongkan kedalam dua kategori yaitu intrapersonal dan interpersonal
skill. Intrapersonal skill adalah keterampilan seseorang dalam mengatur diri sendiri, sementara
interpersonal skill adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan
orang lain. Intrapersonal skill sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai
berhubungan dengan orang lain. Intrapersonal skill mencakup : (1) self awareness (kesadaran
diri), meliputi: (a) self confident (percaya diri), (b) self assessment (penilaian diri), (c) trait &
preference (berkarakter dan preferensi ), dan (d) emotional awareness (kesadaran emosional);
(2) self skill (keterampilan diri), meliputi: (a) improvement (kemajuan/perbaikan), (b) self
control (kontrol diri), (c) trust (percaya), (d) worthiness (bernilai), (e) time/source management
(manajemen waktu/sumber), (f) proactivity (proaktif), dan (g) conscience (hati nurani).
Interpersonal skill mencakup: (1) social awareness (kesadaran sosial), meliputi: (a) political
awareness (kesadaran politik), (b) developing others (mengembangkan orang lain), (c)
leveraging diversity (pengaruh yang berbeda), (d) service orientation (berorientasi pada
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

300
pelayanan), dan (e) emphaty (empati); (2) social skill (keterampilan sosial), meliputi: (a)
leadership (kepemimpinan), (b) influence (pengaruh), (c) communication (komunikasi), (d)
conflict management (manajemen konflik), (d) cooperation (kooperatif), (e) team work (kerja
kelompok), dan (f) synergy (sinergi). Seiring dengan itu, Ayu (2011) juga menyatakan bahwa
soft skill dapat mempengaruhi seseorang untuk memperlihatkan dirinya lebih beretika, percaya
diri, dapat menghargai diri sendiri dan orang lain, dapat mengatur kepribadian dalam menjaga
emosi dan tingkah laku.
Berdasarkan pengertian tentang metakognitif dan soft skill maka dapat dikemukakan
bahwa pembelajaran metakognitif dengan mengintegrasikan soft skill dalam penelitian ini
adalah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran matematika yang memiliki komponen
pembelajaran metakognitif yang telah diuraikan di atas disertai dengan pembinaan soft skill
siswa (percaya diri, proaktif, empati, kerjasama tim dan komunikasi).
Kemampuan awal yang dibahas dalam penelitian ini adalah kemampuan awal matematis
siswa kelas VII yang diperlukan dalam mengikuti materi Arimetika Sosial. Topik-topik yang
dibahas dalam pembelajaran Aritmetika Sosial meliputi: untung, rugi, persentase untung,
persentase rugi, diskon (rabat), neto, bruto, tara, bunga tabungan dan pajak. Aritmetika Sosial
kaya dengan konsep-konsep bilangan bulat, pecahan, dan aljabar. Agar siswa tidak mengalami
kesulitan dalam mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial maka siswa perlu memiliki
kemampuan awal matematis yang optimal pada topik-topik prasyarat tersebut.
Tujuan akhir dari penelitian adalah mengungkap dan menganalisis secara komprehensif
hasil belajar matematika siswa pada materi Aritmetika Sosial. Hasil belajar matematika yang
dimaksud adalah kemampuan pemecahan masalah matematis (KPMM) dan kemampuan
representasi matematis (KRM) yang dijaring melalui tes. Sehubungan dengan itu, KAM
menjadi salah satu aspek yang ditinjau dalam melakukan analisis peningkatan KPMM dan KRM
siswa melalui ketiga pendekatan pembelajaran pada sekolah level tinggi dan sekolah level
sedang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan tahap awal dari penelitian eksperimental-semu (quasi-
experimental research) melalui penerapan pendekatan metakognitif dengan mengintegrasikan
soft skill dalam pembelajaran matematika untuk mengungkap peningkatan KPMM dan KRM.
Khusus untuk pembahasan dalam makalah ini dapat digolongkan pada penelitian deskriptif
yaitu mendeskripsikan KAM siswa yang diperlukan dalam mengikuti pembelajaran Aritmetika
Sosial. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII pada satu sekolah level tinggi dan satu
sekolah level sedang di Kota Pekanbaru sebanyak 202 orang. Pengambilan sekolah level tinggi
dan sedang dilakukan secara acak terhadap seluruh sekolah yang terdapat pada setiap level. Dari
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

301
tiap sekolah diambil tiga kelas yaitu: kelas eksperimen-1, kelas eksperimen-2, dan kelas
kontrol.
Instrumen penelitian adalah tes KAM yang memuat materi prasyarat untuk mengikuti
pembelajaran materi Aritmetika Sosial pada kelas VII semester ganjil, yaitu: (1) operasi hitung
bilangan bulat; (2) pecahan; (3) operasi hitung pecahan; (4) operasi bentuk aljabar; dan (5)
persamaan linear satu variabel. Tes KAM menggunakan soal pilihan ganda sebanyak 28 butir.
Sebelum tes KAM digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas.
Hasil uji coba tes KAM menunjukkan bahwa 26 butir soal dinyatakan valid dengan reliabilitas
sangat tinggi (0,919).
Tes KAM yang diberikan meminta siswa menuliskan langkah perhitungan yang
dilakukan pada tempat yang telah disediakan. Hal ini bertujuan melihat kemampuan siswa
dalam menguasai materi prayarat. Selain mendeskripsikan KAM setiap siswa, tes KAM juga
bertujuan untuk menentukan kategori kemampuan siswa yang terdiri dari kelompok atas,
tengah, dan bawah. Siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok KAM yaitu siswa kelompok
KAM atas, KAM tengah, dan KAM bawah. Kriteria pengelompokan berdasarkan skor rata-rata
( ) dan simpangan baku (SB) menurut (Ratnaningsih, 2007) seperti tabel 1 berikut.
Data KAM siswa dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Langkah awal dilakukan
perhitungan rata-rata dan simpangan baku data KAM ketiga kelompok pendekatan
pembelajaran untuk setiap level sekolah. Bersamaan dengan itu dilakukan pengelompokan
siswa berdasarkan kategori KAM dan sekaligus menghitung rata-rata dan simpangan baku pada
setiap kategori KAM ketiga pendekatan pembelajaran. Langkah berikutnya dilakukan analisis
inferensial untuk menentukan perbedaan data KAM antar kedua level sekolah menggunakan uji
t dan menentukan kesetaraan data KAM ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level
sekolah menggunakan uji ANAVA satu jalur. Sebelum melakukan uji statistik dilakukan uji
asumsi yaitu uji normalitas data dan uji homogenitas varians.
Tabel 1
Kriteria Pengelompokan
Kelompok Kriteria
Atas KAM + SB
Tengah
SB KAM < + SB
Bawah
KAM < SB

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data KAM dikumpulkan dan dianalisis untuk mengetahui kualitas KAM siswa sebelum
siswa mengikuti pembelajaran Aritmetika Sosial di kelas VII. Selain itu juga digunakan sebagai
dasar penentuan kelompok siswa pada kelas eksperimen-1 yaitu kelompok Pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

302
Metakognitif dengan Mengintegrasikan Soft Skill (PMSS). Untuk memperoleh gambaran kualitas
KAM siswa tersebut, data dianalisis secara deskriptif dan inferensial.
Analisis Deskriptif Data KAM
Pengolahan data secara deskriptif bertujuan untuk mengetahui rata-rata dan simpangan
baku setiap kategori KAM siswa yaitu atas (A), tengah (T), dan bawah (B). Rangkuman hasil
analisis deskriptif data KAM siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran dan level sekolah
disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Pada Tabel 2 berikut dapat dilihat bahwa berdasarkan kelompok pendekatan
pembelajaran, ketiga kelompok siswa yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat
pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK pada setiap level sekolah dan gabungannya
memiliki kualitas KAM yang relatif sama. Gambaran kualitas KAM ini cukup memenuhi syarat
untuk memberikan perlakuan yang berbeda pada setiap kelompok. Jika terjadi perbedaan
peningkatan kemampuan siswa pada akhir proses pembelajaran maka perbedaan tersebut dapat
dilihat sebagai akibat adanya perlakuan yang berbeda pada ketiga kelompok, bukan karena
adanya perbedaan ketiga kelompok sebelum pembelajaran. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat
bahwa rata-rata KAM siswa pada sekolah level sedang lebih rendah dibanding rata-rata KAM
siswa pada sekolah level tinggi. Data ini memperkuat alasan penetapan sekolah tempat
penelitian sebagai sekolah level sedang dan sekolah level tinggi.
Tabel 2.
Deskripsi Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran
untuk Setiap Level Sekolah dan Gabungannya

Level
Sekolah
Statistik
Pendekatan
Gabungan
PMSS PM PK
Tinggi
N 35 35 34 104
Rata-rata 12,57 11,29 11,35 11,74
Simpangan Baku 4,374 4,055 3,507 4,005
Sedang
N 33 32 33 98
Rata-rata 9,39 8,84 9,24 9,16
Simpangan Baku 4,023 3,521 4,479 3,997
Gabungan
N 68 67 67 202
Rata-rata 11,03 10,12 10,31 10,49
Simpangan Baku 4,472 3,975 4,124 4,195

Pada Tabel 3 berikut dapat dilihat bahwa berdasarkan kelompok pendekatan
pembelajaran, ketiga kelompok siswa yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat
pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK pada setiap kategori KAM memiliki
kualitas KAM yang relatif sama. Gambaran kualitas KAM ini cukup memenuhi syarat untuk
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

303
memberikan pembelajaran dengan pendekatan yang berbeda pada masing-masing kelompok.
Tetapi, jika dilihat dari setiap kategori KAM, kualitas KAM setiap kelompok siswa relatif
berbeda. Hal ini dapat diterima karena siswa dikelompokkan berdasarkan kategori KAM yaitu
atas (A), tengah (T), dan bawah (B). Pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa kemampuan siswa
paling banyak berada pada kategori KAM tengah untuk ketiga pendekatan pembelajaran.
Tabel 3
Deskripsi Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran
untuk Setiap Kategori KAM

Kategori
KAM
Statistik
Pendekatan
Gabungan
PMSS PM PK
Atas
N 12 8 13 33
Persentase Jumlah Siswa (%) 18 12 20 16
Rata-rata 17,17 16,25 15,92 16,45
Simpangan Baku 2,691 3,615 1,533 2,563
Tengah
N 42 50 43 135
Persentase Jumlah Siswa (%) 61 75 64 67
Rata-rata 11,14 10,24 10,14 10,49
Simpangan Baku 2,851 2,421 2,532 2,614
Bawah
N 14 9 11 34
Persentase Jumlah Siswa (%) 21 13 16 17
Rata-rata 5,43 4,00 4,36 4,71
Simpangan Baku 1,651 1,803 1,567 1,733

Analisis Inferensial Data KAM
Sebelum melakukan uji statistik terlebih dahulu dilakukan uji asumsi, yaitu uji
normalitas data dan uji homogenitas varians.
Rumusan hipotesis untuk menguji normalitas data adalah:
H
0
: sampel berdistribusi normal
H
1
: sampel tidak berdistribusi normal.
Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) dari Z lebih
besar dari = 0,05, maka H
0
diterima; dalam hal lainnya, H
0
ditolak. Uji normalitas data yang
digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data KAM siswa kedua level
sekolah berdasarkan ketiga kelompok pendekatan pembelajaran disajikan pada Tabel 4.
Pada Tabel 4 berikut dapat dilihat bahwa nilai significance (sig.) data KAM untuk setiap
pendekatan pembelajaran pada setiap level sekolah lebih besar dari 0,05 yang berarti H
0

diterima. Dengan demikian, berdasarkan pengelompokan pendekatan pembelajaran pada setiap
level sekolah, sampel berdistribusi normal. Pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa nilai
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

304
significance (sig.) data KAM siswa untuk setiap pendekatan pembelajaran pada kedua level
sekolah lebih besar dari 0,05 yang berarti H
0
diterima. Dengan demikian, berdasarkan data KAM
siswa untuk setiap pendekatan pembelajaran pada kedua level sekolah, sampel berdistribusi
normal. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa nilai significance (sig.) data KAM gabungan siswa
yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat
pendekatan PK, lebih besar dari 0,05 yang berarti H
0
diterima. Dengan demikian, berdasarkan data
gabungan ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah, sampel berdistribusi
normal.
Tabel 4.
Uji Normalitas Data KAM Siswa Kedua Level Sekolah
Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

Level
Sekolah
Statistik
Pendekatan
Gabungan
PMSS PM PK
Tinggi
N 35 35 34 104
KS-Z 0,089 0,109 0,136 0,083
Sig. 0,200 0,200 0,110 0,076
H
0
Diterima Diterima Diterima Diterima
Sedang
N 33 32 33 98
KS-Z 0,135 0,090 0,101 0,083
Sig. 0,131 0,200 0,200 0,090
H
0
Diterima Diterima Diterima Diterima
Gabungan
N 68 67 67

KS-Z 0,101 0,079 0,103
Sig. 0,085 0,200 0,073
H
0
Diterima Diterima Diterima

Pengujian Perbedaan KAM antar Kedua Level Sekolah
Pada Tabel 4 telah dilihat bahwa berdasarkan data KAM siswa untuk setiap level
sekolah, sampel berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians data KAM
untuk kedua level sekolah. Rumusan hipotesis untuk melakukan uji homogenitas adalah:
H
0
:
1
2
=
2
2

H
1
:
1
2

2
2

dengan

1
2
adalah varians data KAM siswa sekolah level tinggi

2
2
adalah varians data KAM siswa sekolah level sedang.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

305
Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari = 0,05,
maka H
0
diterima; dalam hal lainnya, H
0
ditolak. Uji homogenitas varians yang digunakan
adalah uji Levene. Hasil uji homogenitas kedua level sekolah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5
Uji Homogenitas Kedua Level Sekolah

Statistik Levene dk1 dk2 Sig. H
0
Kesimpulan
0,553 1 200 0,458 Diterima Data KAM kedua level
sekolah homogen

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari = 0,05, berarti H
0

diterima. Dengan demikian, data KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level sedang
memiliki varians homogen.
Untuk pengujian perbedaan rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level
sedang dilakukan menggunakan uji-t. Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:
H
0
:
1
=
2

H
1
:
1

2
dengan

1
adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi

2
adalah rata-rata KAM siswa sekolah level sedang.
Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,
maka H
0
diterima; dalam hal lainnya H
0
ditolak. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji t terhadap data KAM siswa berdasarkan level sekolah disajikan pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai significance (sig.) lebih kecil dari 0,05, berarti H
0

ditolak. Jadi, ada perbedaan KAM yang signifikan antara siswa sekolah level tinggi dengan siswa
sekolah level sedang. Hasil ini memperkuat alasan pemilihan kedua level sekolah dan hasil
analisis deskriptif pada Tabel 2 di atas.
Tabel 6
Uji Perbedaan Data KAM Siswa antar Kedua Level Sekolah

Level
Sekolah
Pembelajaran N Simpangan
Baku
t dk Sig.
(2 tailed)
H
0

Tinggi
PMSS 35 4,374
4,575 200 0,000 Ditolak
PM 35 4,055
PK 34 3,507
Sedang
PMSS 32 4,023
PM 33 3,521
PK 33 4,479

Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

306
Pengujian Kesetaraan KAM Ketiga Kelompok Pembelajaran
Pada Tabel 4 telah dinyatakan bahwa data KAM berdasarkan ketiga pendekatan
pembelajaran berdistribusi normal. Sebelum melakukan uji kesetaraan KAM ketiga kelompok
pembelajaran terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas varians, dengan rumusan hipotesis
statistik adalah:
H
0
:
1
2
=
2
2
=
3
2

H
1
:
1
2

2
2

3
2

dengan

1
2
adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PMSS.

2
2
adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PM.

3
2
adalah varians data KAM siswa yang mendapat pendekatan PK.

Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari = 0,05,
maka H
0
diterima; dalam hal lainnya, H
0
ditolak. Uji homogenitas varians yang digunakan
adalah uji Levene. Hasil uji homogenitas varians ketiga kelompok pembelajaran adalah:
Tabel 7
Uji Homogenitas Ketiga Pendekatan Pembelajaran

Statistik Levene dk1 dk2 Sig. H
0
Kesimpulan
1,530 2 199 0,219 Diterima Data KAM ketiga
pendekatan pembelajaran
homogen
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari = 0,05,
berarti H
0
diterima. Dengan demikian, data KAM berdasarkan pengelompokan ketiga
pendekatan pembelajaran memiliki varians homogen.
Selanjutnya perlu dilakukan pengujian kesetaraan rata-rata KAM siswa berdasarkan ketiga
pendekatan pembelajaran. Rumusan hipotesis statistik yang diuji adalah:
H
0
:
1
=
2
=
3

H
1
:
1

2

3
dengan

1
adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PMSS.

2
adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PM.

3
adalah rata-rata KAM siswa yang mendapat pendekatan PK.
Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,
maka H
0
diterima; dalam hal lainnya H
0
ditolak. Uji kesetaraan rata-rata data KAM siswa
berdasarkan ketiga pendekatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan uji analisis
varians (ANAVA) satu jalur. Hasil uji kesetaraan data KAM siswa berdasarkan pendekatan
pembelajaran disajikan pada Tabel 8.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

307
Tabel 8.
Uji Kesetaraan Data KAM Ketiga Pendekatan Pembelajaran

Sumber
Jumlah
Kuadrat
dk
Rata-rata
Kuadrat
F Sig. H
0
Kesimpulan
Antar
Kelompok
31,076 2 15,538 0,882 0,416 Diterima Data KAM
ketiga
kelompok
pembelajaran
homogen
Dalam
Kelompok
3505,404 199 17,615
Total 3536,480 201

Pada Tabel 8 terlihat bahwa nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05, berarti H
0

diterima. Dengan demikian, ada kesetaraan data KAM yang signifikan antara siswa yang
mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan
PK. Hasil ini memperkuat alasan pemilihan ketiga kelompok pembelajaran dan juga hasil
analisis deskriptif Tabel 2 dan Tabel 3 di atas.

Pengujian Kesetaraan KAM Siswa Ketiga Kelompok Pembelajaran untuk Setiap Level
Sekolah
Sebelum melakukan uji kesetaraan KAM ketiga pendekatan pembelajaran untuk setiap
level sekolah, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas varians dengan hasil sebagaimana
disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9
Uji Homogenitas Varians dari Levene terhadap Data KAM
Siswa Ketiga Pendekatan Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level
Sekolah
Pendekatan N
Simpangan
Baku
F Sig. H
0

Tinggi
PMSS 35 4,374
0,949 0,391 Diterima PM 35 4,055
PK 34 3,507
Sedang
PMSS 32 4,023
0,161 0,143 Diterima PM 33 3,521
PK 33 4,479

Pada Tabel 9 terlihat bahwa kedua nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,
sehingga H
0
diterima. Jadi, data KAM ketiga pendekatan pembelajaran pada setiap level sekolah
mempunyai varians yang homogen.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

308
Untuk menguji kesetaraan KAM ketiga pendekatan pembelajaran dari setiap level sekolah
diajukan hipotesis statistik sebagai berikut.
H
0
:
1
=
2
=
3

H
1
:
1

2

3
dengan

1
adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan
PMSS.

2
adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan
PM.

3
adalah rata-rata KAM siswa sekolah level tinggi (atau sedang) yang mendapat pendekatan
PK.
Kriteria pengujian yang digunakan adalah: jika nilai significance (sig.) lebih besar dari 0,05,
maka H
0
diterima; dalam hal lainnya, H
0
ditolak. Pengujian hipotesis tentang kesetaraan data
KAM siswa antara yang mendapat pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan
yang mendapat pendekatan PK dari setiap level sekolah tersebut digunakan uji ANAVA satu
jalur. Hasil uji tersebut disajikan pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10.
Uji Kesetaraan Data KAM Siswa Ketiga Pendekatan
Pembelajaran untuk Setiap Level Sekolah

Level
Sekolah
Pendekatan N
Rata-
rata
F Sig. H
0
Kesimpulan
Tinggi
PMSS 35 12,57
1,141 0,323 Diterima
Ada kesetaraan
data KAM siswa
ketiga
pendekatan
pembelajaran
untuk setiap level
sekolah.
PM 35 11,29
PK 34 11,35
Sedang
PMSS 33 9,39
0,161 0,852 Diterima PM 32
8,84
PK 33
9,24

Pada Tabel 10 terlihat bahwa nilai significance (sig.) data KAM siswa ketiga
pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah lebih besar dari 0,05, berarti H
0
diterima.
Dengan demikian, ada kesetaraan KAM yang signifikan antara siswa yang mendapat
pendekatan PMSS, yang mendapat pendekatan PM, dan yang mendapat pendekatan PK dari
setiap level sekolah. Hal ini, memperkuat alasan melakukan perlakuan yang berbeda pada ketiga
kelompok siswa untuk setiap level sekolah sehingga dapat dilihat perubahan yang terjadi
sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan.


Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

309
Analisis Jawaban Siswa
Dari jawaban siswa, secara global dapat dikemukakan bentuk hasil kerja siswa, yaitu:
(1) keliru dalam menentukan selisih dua bilangan yang memerlukan teknik peminjaman pada
angka sebelumnya; (2) tidak memperhatikan hierakhis penggunaan operasi hitung dalam
melakukan perhitungan; (3) tidak cermat atau tidak dapat melakukan operasi bentuk aljabar; (4)
keliru memahami soal; (5) tidak dapat merubah pecahan biasa menjadi persen atau sebaliknya;
(6) keliru atau tidak dapat melakukan operasi antara persen dengan bilangan bulat; (7) tidak
dapat menentukan prosedur penyelesaian soal; dan (8) keliru atau tidak dapat mencari solusi
persamaan linear.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan bahwa KAM siswa sekolah level
tinggi lebih besar dari sekolah level sedang untuk ketiga pendekatan pembelajaran. KAM siswa
pada setiap kelompok pembelajaran lebih dominan berada pada kategori tengah. Hasil analisis
data secara inferensial menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan KAM siswa
sekolah level tinggi dan sekolah level sedang. Selain itu, ada kesetaraan KAM siswa ketiga
pendekatan pembelajaran untuk setiap level sekolah. Dari jawaban siswa pada tes KAM terlihat
siswa masih mengalami kekeliruan, kesulitan, dan bahkan belum dapat menyelesaikan soal-soal
materi prasyarat yang sangat diperlukan dalam pembelajaran Aritmetika Sosial.
Saran
Pada kegiatan awal pembelajaran perlu melakukan apersepsi dan revisi tentang materi
prayarat yang sangat diperlukan dalam pemberian setiap topik dari Aritmetika Sosial
berdasarkan kelemahan siswa sesuai temuan yang telah diuraikan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu.
Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ayu, K. (2011). Pentingnya Soft Skill. [Online]. Tersedia: http://komangayu-
as.blogspot.com/2011/01/pentingnya-soft-skill.html. [8 April 2011]
Biryukov, P. (2003). Metacognitive Aspect of Solving Combinatorics Problems. [Online].
Tersedia:http://www.cimt.pymouth.ac.uk/journal/biryukov.pdf [27 Oktober 2009]
Muaddab, H. (2010). Pengertian Soft Skill dan Hard Skill. [Online]. Tersedia:
http://hafismuaddab.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-soft-skill-dan-hard-skill/. [8
April 2011]
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

310
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.
Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.


Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

311
Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Pendidikan Karater di Sekolah Dasar

Riyadi, Mardiyana, Rukayah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menemukan bentuk prototype model pembelajaran
matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di
Sekolah Dasar. (2) Mendapatkan masukan dari stakeholders terhadap prototype model
pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar; (3)
Menemukan model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter yang
tepat/cocok untuk diimplementasikan di Sekolah Dasar.
Penelitin ini dibatasi pada pembelajaran matematika di sekolah dasar yang
dilakukan dalam jangka waktu dua tahun. Tahun pertama mencakup tahap studi
pendahuluan/eksplorasi dan tahap pengembangan model. Tahun kedua mencakup tahap
pengujian model dan tahap diseminasi. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar di
wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cluster
random sampling. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, catatan
lapangan, dan analisis dokumen. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif,
sedangkan hasil eksperimen dengan teknik t-test.
Hasil penelitian pada tahun pertama diuraikan sebagai berikut: 1) Model pembelajaran
yang berhasil dikembangkan adalah model pembelajaran bebasis masalah dengan pendekatan
kontekstual yang sintaksnya mempunyai tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang
berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter
yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran matematika di sekolah dasar, dan 3)
Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil: model pembelajaran bebasis
masalah dengan pendekatan kontekstual dan pedoman penilaian karakter dapat
diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar.

Kata kunci : model pembelajaran berbasis masalah, pendekatan kontekstual,
pendidikan karakter.

PENDAHULUAN
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional menegaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun upaya pendidikan
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan belum sepenuhnya mengarahkan perhatian secara
komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim (Ruslan Burhani, 2012)
menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masih terkendala pemahaman
guru yang belum mampu mengintegrasikannya dalam mata pelajaran. Lebih lanjut, Musliar
Kasim menyatakan bahwa tidak ada mata pelajaran khusus yang membahas mengenai
pendidikan karakter tetapi terintegrasi pada setiap mata pelajaran. Hal ini berarti ketika hendak
memasukkan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, tidak perlu membentuk mata
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

312
pelajaran baru karena sifat-sifat yang hendak dibentuk pada peserta didik tidak dapat dijadikan
sebagai suatu mata pelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang di dalamnya memuat pelatihan untuk
menyelesaikan masalah adalah Problem Based Learning (PBL) atau di Indonesia dikenal
dengan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), karena salah satu karakteristik dari PBM adalah
menggunakan masalah untuk mengawali proses pembelajaran. Selain PBM memuat pelatihan
untuk menyelesaikan masalah, dan berdasarkan beberapa hasil penelitian menghasilkan
kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diajar dengan model Pembelajaran
Berbasis Masalah. PBM lebih baik jika dibandingkan dengan prestasi belajar matematika siswa
yang diajar dengan model pembelajaran konvensional
Namun, model pembelajaran ini masih memiliki beberapa kelemahan, salah satunya
adalah menimbulkan frustasi pada kalangan siswa jika mereka belum dapat menemukan solusi
dari permasalahan (Martinis Yamin, 2008:85). Hal ini tidak akan terjadi jika permasalahan
disusun berdasarkan pengalaman mereka pada kehidupan nyata yang telah mereka alami
(kontekstual). Menyusun permasalahan sesuai dengan kehidupan nyata yang telah dialami siswa
(kontekstual) tentu bukan hal mudah, sehingga perlu menganalisis materi pelajaran terlebih
dahulu.
Berdasarkan uraian di muka, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1).Bagaimanakah bentuk prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karakter yang sesuai dengan kebutuhan guru di Sekolah Dasar? 2) Bagaimanakah
tanggapan stakeholders terhadap prototype model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karakter di Sekolah Dasar? 3) Bagaimanakah hasil pengembangan prototype
menjadi suatu model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di
Sekolah Dasar?
Berikut diuraikan kajian teoritis yang mendasari dalam mencari jawaban atas
pemasalahan tersebut.
Pembelajaran matematika adalah suatu cara untuk membuat siswa belajar matematika.
Mengingat bahwa matematika merupakan ilmu yang deduktif aksiomatik dan objek
penelaahannya abstrak, sedangkan matematika sudah harus diajarkan mulai anak-anak, maka
kegiatan pembelajaran matematika harus direncanakan sesuai dengan kemampuan intelektual
siswa. Oleh karena itu cara membelajarkan matematika kepada anak-anak dan orang dewasa
harus berbeda, karena kemampuan intelektualnya berbeda. Menurut Doman, seperti yang
dikutip oleh Herman Hudojo, menyatakan bahwa apabila fakta-fakta matematika diberikan
kepada anak-anak balita sesuai dengan kemampuannya, mereka akan dapat menemukan sendiri
aturan-aturan yang ada di dalamnya (Herman Hudojo, 1988: 95). Hal ini berarti bahwa
matematika dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa memandang usia, asal disesuaikan dengan
kemampuan intelektualnya.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

313
Keberhasilan guru dalam membelajarkan siswa dipengaruhi oleh banyak hal, salah
satunya adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Oleh karena itu pemilihan model
pembelajaran merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009:23), terdapat empat ciri dari model
pembelajaran yang dapat membedakan model pembelajaran dengan metode, strategi maupun
prinsip pembelajaran, empat ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1) Memiliki rasional teoritik
kuat yang disusun oleh penciptanya, 2) Terdapat tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, 3)
Mempunyai aturan tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat berjalan
dengan baik, dan 4) Pensetingan lingkungan belajar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran, Nieveen dalam Trianto (2009: 24-25)
mengemukakan tiga kriteria untuk menentukan kualitas model pembelajaran, yaitu validitas,
kepraktisan dan keefektifan, yang masing-masing diuraikan dengan aspek-aspek sebagai
berikut. 1) Aspek validitas (validity) dikaitkan dengan dua hal, yaitu: a) model pembelajaran
dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritik yang kuat, dan b) model pembelajaran
mempunyai konsistensi internal. 2) Aspek kepraktisan (practicality), maksudnya yaitu model
pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan. 2) Aspek keefektifan (effectiveness), yaitu
model pembelajaran dikatakan efektif jika ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannya
menyatakan bahwa model tersebut praktis dan secara operasional model tersebut memberikan
hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan
karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter
bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang
berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya
diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Kemdiknas (2010: 11) menyebutkan ada empat prinsip yang digunakan dalam
pengembangan pendidikan karakter, yaitu 1) berkelanjutan, 2) melalui semua mata pelajaran, 3)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

314
nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar, dan 4) Proses pendidikan
dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran matematika
yang mengintegrasikan pendidikan karakter di Sekolah Dasar. Oleh karena itu model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development).
Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan menempuh prosedur penelitian pengembangan
seperti diuraikan oleh Sugiyono (2010: 409), yang meliputi sepuluh langkah. Dalam
pelaksanaan penelitian pengembangan ini, dari sepuluh langkah dirampatkan menjadi empat
tahap yang akan dilaksanakan dalam waktu dua tahun yaitu: A) Tahun Pertama, meliputi
langkah-langkah (1) studi pendahuluan atau tahap eksplorasi, dan (2) tahap pengembangan
model, dan B) Tahun kedua, meliputi langkah-langkah (1) tahap pengujian model, dan (2) tahap
diseminasi.
Studi pendahuluan atau eksplorasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang
mendalam tentang (1) kondisi nyata mengenai pembelajaran matematika Sekolah Dasar di
wilayah eks karesidenan Surakarta; (2) kondisi nyata tentang kebutuhan guru di SD mengenai
pedoman pembelajaran matematika.
Subjek penelitian ini adalah (1) siswa kelas V sekolah dasar; (2) para guru kelas V
sekolah dasar; dan (3) Stakeholders yang akan ditetapkan kemudian dalam menentukan tokoh-
tokoh yang terlibat dalam mengambil kebijakan. SD yang digunakan penelitian ini adalah SD di
wilayah eks karesidenan Surakarta. Penentuan SD dilakukan dengan cluster random sampling.
Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh lokasi penelitian ini meliputi tiga
SD, yaitu Sekolah Dasar Angkasa Colomadu Karanganyar, Sekolah Dasar Negeri Kleco II
Laweyan Surakarta, dan Sekolah Dasar Negeri Sekip II Banjarsari Surakarta.
Teknik pengumpulan data tahap ini adalah (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan
lapangan, dan (4) analisis dokumen.
Teknik analisis data yang digunakan pada tahun pertama penelitian ini adalah model
analisis interaktif dengan teknik deskriptif kualitatif. Teknik ini sesuai dengan model Miles &
Huberman dalam Sugiyono (2010: 337), yang menyatakan bahwa di dalam proses analisis ada
tiga komponen yang harus disadari oleh peneliti. Tiga komponen tersebut adalah sebagai
berikut: 1) Reduksi Data, 2) Penyajian Data, dan 3) Penarikan simpulan, verifikasi, dan refleksi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Eksplorasi/Sudi Pendahluan
Hasil analisis dokumentasi terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas V
SD Negeri Kleco II Kecamatan Laweyan Surakarta, SD Negeri Sekip II Kecamatan Banjarsari
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

315
Surakarta dan SD Angkasa Kecamatan Colomadu Karanganyar dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Guru kelas V di tiga sekolah dasar tersebut telah mengembangkan nilai-nilai karakter, 2)
Nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan, diantaranya religius, sopan santun, demokratis,
disiplin, tanggung jawab, tekun, ketelitian, kreatifitas, kerjasama, toleransi, keberanian, percaya
diri dan rasa ingin tahu, 3) Pengembangan nilai-nilai karakter di tiga sekolah dasar tersebut
adalah nilai-nilai karakter yang sifatnya masih umum yang dapat dikembangkan untuk semua
mata pelajaran, 4) Pengembangan nilai karakter di ketiga sekolah dasar tersebut juga sudah
dilengkapi dengan rubrik penilaianya, namun belum semua nilai karakter sudah dilengkapi
dengan rubrik penilaiannya.
Hasil tersebut di atas juga sejalan dengan hasil wawancara yang petikan wawancaranya
dinyatakan sebagai berikut.
P-01: Pak, apakah nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan
sebagainya dikembangkan kepada siswa SD kelas V?
G-01: Ya, itu kan program pemerintah, jadi kita harus mendukungnya.
P-01: Lalu, bagaimana cara mengembangkan nilai-nilai karakter
tersebut, Pak?
G-01: Untuk nilai karakter religius, setiap akan mulai dan menutup
pelajaran anak-anak diminta berdoa sesuai agama masing-masing.
Untuk nilai karakter disiplin, anak-anak diminta masuk kelas tidak
terlambat dan guru member contoh dengan cara masuk kelas tidak
terlambat?
P-01: Pak, tadi kan nilai-nilai karakter umum yang dapat dikembangkan
untuk semua mata pelajaran. Apa ada nilai-nilai karakter yang
dikembangkan khusus untuk mata pelajaran matematika?
G-01: Maksudnya bagaimana?
P-01: Maksud saya nilai-nilai karakter tersebut diintegrasikan ke dalam
mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, guru akan
mengembangkan nilai karakter kejujuran maka guru memberi
permasalahan yang mengintegrasikan nilai kejujuran. Contohnya
begini: Amin membeli 5 buku dengan harga setiap buku Rp 2.500
dan 2 bolpoint dengan harga setiap bolpoint Rp 4.500,-. Amin
membayar dengan uang Rp 20.000,- dan Amin mendapat
pengembalian sebesar Rp 5.000,-. Setelah dihitung ternyata
penegembaliannya berlebih. Amin seorang yang jujur, maka ia
mengembalikan kelebihan uang pengembaliannya. Berapa uang
yang akan dikembalikan Amin kepada penjual buku dan bolpoint
tersebut?
G-01: Oh, kalau yang seperti itu belum. Tapi yang seperti itu, menurut
saya baik untuk dikembangkan.

Berdasarkan hasil wawancara, juga diketahui bagaimana cara guru mengembangkan
nilai-nilai karakter, beberapa contoh diuraikan sebagai berikut:
1). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai disiplin antara lain dilakukan
dengan: a) Memberi teladan disiplin dengan cara masuk kelas tepat waktu, b) Memberi
teladan berpakaian seragam sesuai aturan, dan c) Mengecek kehadiran siswa.
2). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai sopan santun antara lain dilakukan
dengan: a) Sebelum masuk kelas mencium tangan guru, b) Memberi teladan berpakaian rapi,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

316
c) Memberi teladan menerima dan memberi dengan tangan kanan, dan d) Menegur siswa
yang mengucapkan kata-kata kotor.
3). Upaya yang dilakukan guru dalam mengembangkan nilai tanggung jawab antara lain
dilakukan dengan: a) Membiasakan siswa mengerjakan tugas yang diberikan, b) Memberi
teladan dengan mengembalikan peralatan yang sudah dipakai ke tempatnya semula, dan c)
Membiasakan siswa menjaga kebersihan kelas.
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa guru belum melakukan penilaian
terhadap pencapaian siswa nilai karakter, sebagaimana dinyatakan dalam kutipan wawancara
berikut.
P-01: Pak, tadi Bapak sudah menyampaikan bahwa Bapak telah
mengembangkan nilai-nilai karakter seperti religius, jujur, disiplin, dan
sebagainya.
G-02: Ya, betul.
P-01: Apakah Bapak melakukan penilaian terhadap pencapaian atau
perkembangan nilai-nilai karakter yang telah dikembangkan?
G-02: Maksudnya bagaimana?
P-01: Maksudnya begini Pak. Dalam buku panduan yang diterbitkan
Kemdinas, di sana dijelaskan ada empat kriteria perkembangan nilai-
nilai karakter, yaitu BT (Belum Terlihat), MT (Mulai Terlihat), MB
(Mulai Berkembang) dan MK (Membudaya). Apakah sudah melihat
tingkat pencapaian setiap siswa Bapak apakah siswa tertentu sudah
mencapai MT, MB atau MK?
G-02: Maksudnya bagaimana?
G-02: Oh, kalau yang seperti itu belum.
P-01: Mengapa Pak?
G-02: Begini Pak, guru SD serba susah, di satu sisi pemerintah mempunyai
program-program yang harus dijalankan, di lain pihak wali murid
menuntut bahwa yang penting pada saat ujian akhir sekolah nilai
matematikanya tinggi. Berdasarkan tuntutan itu, guru mengajar
cenderung bagaimana siswa menguasai konsep yang disampaikan,
sehingga tidak sempat melakukan penilain terhadap pencapaian nilai-
nilai karakter yang sudah ditanamkan. Di samping itu juga jam
pelajaran matematika sekarang sudah berkurang, dulu 6 jam pelajaran
sekarang cuma 4 jam pelajaran.

Guru belum melakukan penilaian terhadap perkembangan nilai karakter siswa, hal ini
didasarkan pada alasan-alasan: 1) Jumlah pelajaran matematika hanya 5 jam pelajaran per
minggu, padahal muatan kurikulumnya padat, 2) Adanya tuntutan wali murid bahwa yang
penting pada saat ujian akhir sekolah nilai matematikanya tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran, guru masih dominan menggunakan model pembelajaran langsung. Pembelajaran
langsung adalah model pembelajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends (dalam
Trianto, 2009: 41), model pembelajaran langsung adalah salah satu model pembelajaran yang
dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baikyang dapat diajarkan dengan
pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Dalam model pembelajaran langsung,
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

317
guru pada umumnya memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan kepada para siswa
tanpa memperhatikan prakonsepsi (prior knowledge) siswa atau gagasan-gagasan yang telah ada
dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Kegiatan mengajar dalam
pembelajaran langsung cenderung diarahkan pada aliran informasi dari guru ke siswa, serta
penggunaan metode ceramah terlihat sangat dominan. Adapun langkah-langkah pembelajaran
langsung adalah sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
dicapai dan mempersiapkan siswa, 2) Guru menyajikan informasi kepada siswa secara tahap
demi tahap, 3) Guru membimbing pelatihan, 4) Guru mengecek keberhasilan siswa dan
memberikan umpan balik, dan 5) Guru memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah
(Trianto, 2009: 43).

Hasil Pengembangan Model Pembelajaran

Berdasarkan kajian terhadap kelebihan, kekurangan dan sintaks model pembelajaran
berbasis masalah dan pendekatan kontekstual diperoleh hal-hal sebagai berikut. 1). Pada
pendekatan kontekstual dari Fase 1 yaitu berpikir (thinking) ke Fase 2 yaitu masyarakat belajar
terasa ada lompatan. Hal ini dikarenakan pada Fase 1, guru mengajukan pertanyaan atau
masalah nyata terkait materi yang akan dipelajari dan meminta siswa berpikir untuk mencari
jawaban sendiri atas masalah tersebut, kemudian langsung diikuti Fase 2 yaitu belajar dalam
kelompok (masyarakat belajar). Mestinya dari Fase 1 ke Fase 2 ada langkah dimana guru
memberi bimbingan kepada siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah yang disampaikan
guru. 2) Di lain pihak pada Fase 1 model pembelajaran berbasis masalah, guru menyampaikan
masalah, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah yang dipilih. Kelemahannya adalah masalah yang disampaikan guru belum
tentu masalah nyata (kontekstual) sehingga akan sulit dipahami siswa. Hal ini tidak sesuai Teori
Jean Piaget yang menyebutkan bahwa siswa sekolah dasar masih berada pada tahap berpikir
operasi konkret.
Berdasarkan analisis tersebut dikembangkan model pembelajaran yang merupakan
perpaduan dari model pembelajaran berbasis masalah dan pendekatan kontekstual. Model baru
tersebut diberi nama model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Kontekstual.
Model baru tersebut mempunyai 7 fase, yaitu a) Fase 1 : Orientasi Siswa pada Masalah, b) Fase
2 : Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar, c) Fase 3 : Membantu Penyelidikan Individu
maupun Kelompok, d) Fase 4 : Pemodelan (modelling), e) Fase 5 : Berbagi (sharing), f) Fase 6 :
Refleksi (reflection), dan g) Fase 6 : Penilaian (authentic assesment).

Hasil Pengembangan Pedoman Penilaian Karakter
Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan indikator-
indikator untuk 9 nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata pelajaran di sekolah
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

318
dasar, yaitu a) teliti, b) kreatif, c) rasa ingin tahu, d) kerja keras, e) mandiri, f) tanggung jawab,
g) disiplin, h) kejujuran, dan g) demokratis. Pada masing-masing nilai karakter, peneliti hanya
mengembangkan 5 indikator.
Berikut disajikan contoh pedoman penilaian karakter yang telah dikembangkan.
Tabel 1
Pedoman Penilaian Karakter

No. Nama
Aspek yang Dinilai
Teliti Kreatif Rasa Ingin
Tahu
Kerja Keras





Indikator masing-masing aspek diuraikan pada Tabel 2 berikut
Tabel 2 Nilai Karakter dan Indikator yang Dikembangkan
Nilai Indikator
1. Teliti a. Ketepatan dalam memilih rumus yang digunakan.
b. Keruntutan dalam menggunakan prosedur/langkah.
c. Ketepatan hasil perhitungan.
d. Ketepatan dalam melakukan pengukuran.
e. Mengecek kembali hasil pekerjaan sebelum dikumpulkan.
2. Kreatif a. Mencoba cara-cara baru untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
b. Menggunakan berbagai media/sumber untuk menyelesaikan suatu
permasalahan.
c. Bertanya tentang materi terkait untuk memperoleh ide atau gagasan.
d. Mempunyai penyelesaian suatu masalah yang berbeda dengan orang
yang lain.
e. Mempunyai banyak gagasan dan usul terhadap suatu permasalahan.
3. Rasa Ingin
Tahu
a. Bertanya kepada guru atau teman tentang materi yang belum
diketahui.
b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru atau teman terkait
materi yang sedang dipelajari.
c. Mencari informasi dari berbagai sumber.
d. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu masalah.
e. Berani mencoba alat atau metode baru.
4. Kerja Keras a. Kesulitan tidak membuat berhenti belajar/menyelesaikan tugas.
b. Bertanya tentang tugas atau materi pelajaran yang belum dikuasai ke
teman atau guru.
c. Mencari/menemukan cara baru untuk menyelesaikan suatu tugas.
d. Berusaha menemukan sendiri konsep/materi yang sedang dipelajari.
e. Mengerjakan semua tugas dengan baik walaupun tugas tersebut
sulit/berat.

Pedoman penskoran:
1). Masing-masing aspek diberi skor 5, jika kelima indikator pada masing-masing aspek
muncul semua.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

319
2). Masing-masing aspek diberi skor 4, jika hanya 4 dari 5 indikator pada masing-masing
aspek yang muncul.
3). Masing-masing aspek diberi skor 3, jika hanya 3 dari 5 indikator pada masing-masing
aspek yang muncul.
2). Masing-masing aspek diberi skor 2, jika hanya 2 dari 5 indikator pada masing-masing
aspek yang muncul.
1). Masing-masing aspek diberi skor 1, jika hanya 1 dari 5 indikator pada masing-masing
aspek yang muncul.

Nilai masing-masing aspek = 100
5
diperoleh yang Skor
= .

Kriteria perkembangan nilai karakter:
Belum Terlihat : jika peserta didik memperoleh skor 1 25.
Mulai Terlihat : jika peserta didik memperoleh skor 26 50.
Mulai Berkembang : jika peserta didik memperoleh skor 51 75.
Mulai Membudaya : jika peserta didik memperoleh skor 76 100.
Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan pada tanggal 3
November 2012 di Kampus Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan dihadiri oleh 23 guru dan kepala sekolah
dari dua kabupaten/kota yaitu Surakarta, Karanganyar dan Boyolali diperoleh hasil sebagai
berikut: 1). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa baik ditinjau dari segi substansi maupun
ditinjau segi sintaksisnya, model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual
sudah baik karena dikembangkan berdasarkan filsafat konstruktivisme dan pembelajarannya
berpusat pada siswa. Mereka memberi saran bahwa ada pemilihan kata dan struktur kalimatnya
perlu diperbaiki. 2). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis
masalah dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat
diimplementasikan di sekolah dasar. 3). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka
merasa mendapat pencerahan bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata
pelajaran matematika di sekolah dasar. 4). Guru dan stakeholders menyatakan bahwa mereka
merasa mendapat pencerahan bagaimana cara melakukan pengukuran (penilaian) nilai-nilai
karakter dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar.

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan, sebagai berikut: 1) Model pembelajaran yang berhasil dikembangkan adalah model
pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kontekstual yang sintaksnya terdiri dari
tujuh fase, 2) Pedoman penilaian karakter yang berhasil dikembangkan dilengkapi dengan
indikator-indikator untuk sembilan nilai karakter yang cocok untuk dikembangkan pada mata
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

320
pelajaran di sekolah dasar, dan 3) Berdasarkan uji coba terbatas dan uji coba luas diperoleh hasil
bahwa model kontekstual dengan pendekatan masalah dan pedoman penilaian karakter dapat
diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, kepada para guru sekolah dasar, penulis
menyarankan: 1) Guru sesekali perlu menggunakan model pembelajaran kontekstual dengan
pendekatan masalah sebagai dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar yang
mengitegrasikan nilai-nilai karakter. 2) Guru perlu melakukan pengukuran/penilaian terhadap
nilai-nilai karakter yang dikembangkan. Salah satu pedoman penilain yang dapat digunakan
adalah pedoman penilaian karakter yang dikembangkan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.
Kemendiknas.2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Martinis Yamin, 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Gaung Persada Pres: Jakarta.
Ruslan Burhani. 2012. Wamendikbud: Pendidikan Karakter Terkendala Pemahaman Guru.
Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1327069057 /wamendikbud-pendidikan-
karakter-terkendala-pemahaman-guru pada tanggal 1 April 2012.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan
Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.


Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

321
Mengembangkan Intuisi Melalui Visualisasi Grafik untuk Membangun
PemahamanKonsep Turunan dalam Kalkulus

Dyah Ratri Aryuna
Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP UNS
Jl. Ir Sutami 36A Surakarta, e-mail : ratriaryuna@gmail.com


Abstrak

Dalam silabus mata kuliah kalkulus, konsep turunan dibangun melalui konsep limit -
dimulai dengan meninjau kemiringan garis singgung sebagai limit dari kemiringan tali busur
kemudian dilanjutkan dengan memberikan definisi turunan dari suatu fungsi f sebagai fungsi
' f yang nilainya di sebarang titik x sama dengan
h
x f h x f
h
) ( ) (
lim
0
+

. Ide geometris
secara visual digunakan untuk membangun konsep turunan. Tetapi data empiris menunjukkan
ide visual yang dianggap intuitif bagi matematikwan bisa jadi tidak intuitif bagi mahasiswa.
Perkembangan pembelajaran kalkulus belakangan ini menyarankan pembelajaran diawali
dengan eksplorasi terhadap perbesaran grafik untuk mengenalkan konsep kemiringan kurva
dan kemudian perubahan kemiringan kurva dapat disajikan secara numerik disertai dengan
ilustrasi grafik sehingga diharapkan dibangun konsep turunan sebagai suatu fungsi. Visualisasi
grafik memungkinkan jangkauan yang lebih luas tentang contoh dan non contoh untuk ditinjau,
sehingga mahasiswa tidak hanya belajar bagaimana menghitung turunan tetapi juga memberi
arti untuk fungsi yang dapat diturunkan atau tidak dapat diturunkan. Dalam tulisan ini
visualisasi grafik dilakukan dengan menggunakan piranti lunak interaktif Maple 13.0

Kata kunci : intuisi visual,kalkulus, turunan


PENDAHULUAN
Dalam silabus mata kuliah kalkulus ide turunan diperkenalkan melalui ide geometris secara
visual . Dapat diturunkan di suatu titik c dilihat sebagai adanya limit dari kemiringan tali busur-
tali busur di dekat titik c tersebut. Selanjutnya diberikan defisini untuk turunan, yakni turunan
dari suatu fungsi f adalah fungsi lain, yang dinotasikan dengan ' f , yang nilainya disebarang
titik x diberikan sama dengan
h
x f h x f
h
) ( ) (
lim
0
+

( Purcell, 2004 ).
Silabus kalkulus secara tradisional yang mencoba mengenalkan pengertian limit sebelum
membicarakan kemiringan kurva menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya ( Tall 1985 ).
Kesulitan tersebut antara lain disebabkan adanya pertentangan antara ide intuisi siswa tentang
laju perubahan, kemiringan garis singgung dengan definisi formal turunan ( Barnes 1995 ).
Penelitian empiris menunjukkan bahwa siswa memiliki sejumlah kesulitan dengan cara ini. Tall
( 1991 ), mencontohkan suatu hasil penelitian Orton ( 1977 )





Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

322










Gambar 1

Dilaporkan bahwa dari 110 responden, ketika ditanyakan apa yang terjadi dengan talibusur-
talibusur PQ pada sketsa kurva, jika titik Q mendekati P , 43 siswa tidak mampu melihat
bahwa proses itu akan menuju pada garis singgung kurva. Terdapat kebingungan yang perlu
untuk diperhatikan bahwa tali busur diabaikan oleh siswa, mereka lebih memperhatikan busur
PQ. Tipikal jawaban yang tidak memuaskan tersebut diantaranya : garisnya semakin pendek,
tali busur menjadi titik, luas daerah semakin kecil.
Penelitian Tall ( 1986 ) sendiri juga menunjukkan hal yang hampir serupa. Diberikan
pertanyaan berikut pada 160 siswa yang mulai mengikuti kalkulus di Inggris, 96 diantaranya
telah mempelajari kalkulus sebelumnya


Gambar 2

Hanya 16 anak ( 10% ) yang menemukan nilai gradien AB adalah 1 + k dan nilai gradien AT
adalah 2 dan 44 anak ( 27.5 % ) menjawab
1
1
2

k
k
dan 2. Setelah mengikuti kuliah kalkulus
selama 2 bulan , jumlah tersebut tidak banyak berubah, masing-masing menjadi 17 ( 11% ) dan
P
1
Q
3
Q
2
Q
A
k
2
k
B
Pada grafik
2
x y = , titik A adalah ( 1,1),
titik B adalah ) , (
2
k k dan T adalah suatu
titik pada garis yang menyinggung grafik
pada A
(i) Tentukan gradien AB
(ii) Tentukan gradien AT
Jelaskan bagaimana anda mencari gradien
AT dengan menggunakan gradien AB
T
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

323
38 anak ( 24% ). Dari yang menjawab demikian, hanya satu anak pada pretest ( telah pernah
belajar kalkulus ) dan satu anak pada posttest yang melihat jika k mendekati 1, maka 1 + k
menuju 2. Pada wawancara dengan siswa lainnya tidak terlihat sama sekali ide limit muncul.
Ketika pertanyaan yang sama diajukan pada mahasiswa peserta mata kuliah Kalkulus 1 di
Program Studi Pendidikan Matematika UNS diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian Orton dan Tall . Untuk pertanyaan pertama, dari 38 responden 52 % menjawab
tali busur akan semakin pendek dan 15 % menjawab titik Q mendekati P hingga berimpit.
Sisanya memberikan jawaban yang beragam antara lain : kemiringan garis akan semakin landai,
gradien garis akan semakin kecil, panjang tali busur berbanding lurus dengan dengan panjang
busur PQ, tali busur memiliki kemiringan yang bernilai sama pada masing-masing titik, tali
busur mendekati titik singgung dan lainnya yang bahkan tidak ada kaitannya dengan
pertanyaan. Untuk pertanyaan kedua , 38% anak bisa menjawab bahwa kemiringan segmen
garis AB adalah 1 + k tetapi tidak ada satupun responden yang melihat bahwa jika B mendekati
A maka tali busur-tali busur AB akan mendekati garis singgung dan memiliki kemiringan 1 + k
dengan k mendekati 1 sehingga kemiringan garis singgung dapat diduga adalah 2.
Data empiris menunjukkan bahwa membelajarkan konsep turunan melalui konsep limit
dengan berusaha membuatnya intuitif secara geometri dengan cara seperti yang telah
dikemukakan di atas terlihat tidak memuaskan. Sesuatu yang dianggap intuitif oleh para
matematikawan atau dosen, belum tentu intuitif menurut mahasiswa.
Belakangan ini telah terjadi gerakan pada banyak bagian dunia untuk mereformasi
pembelajaran Kalkulus. Di Inggris, David Tall mengenalkan suatu pendekatan inovatif
menggunakan grafik komputer. Idenya telah diadopsi dan diakui dalam banyak proyek
kurikulum. Di Amerika Serikat, pendanaan yang besar telah dibuat selama tahun 1980 untuk
reformasi kalkulus, dan banyak proyek besar dirancang. Kebanyakan berkaitan dengan
pembelajaran pada tingkat perguruan tinggi, tapi sebagian juga terkait dengan sekolah
menengah. Di Australia , pada tahun 1988 Department of Employement Education and Training
telah mendanai Introductory Calculus Project. Tujuan proyek tersebut adalah untuk
meningkatkan minat dan partisipasi siswa pada Kalkulus ( Mary Barnes, 1995 )
Berbagai pendekatan digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang Kalkulus.
Proyek investigasi atau diskusi dan interaksi dalam kelompok kecil, bertujuan untuk mengikat
minat siswa dan melibatkan mereka dalam pembelajaran yang aktif dan penuh makna, tetapi
aspek kunci hampir pada semua proyek reformasi itu adalah digunakannya grafik kalkulator
atau komputer untuk membangun pemahaman intuisi yang lebih baik.

PEMBAHASAN
Proses penyempurnaan yang berlangsung selama berabad-abad menghasilkan pendekatan
logika pada pembelajaran kalkulus. Misalnya kemiringan garis singgung dipandang sebagai
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

324
limit dari tali busur dan ide turunan didefinisikan sebagai limit, sehingga dengan pendekatan
logika pengertian limit dikenalkan sebelum mempelajari turunan. Tetapi Tall ( 1985 ),
mengemukakan suatu kritik yang dilontarkan oleh Richard Skemp dalam pendahuluan
Psychology of Learning Mathematics ( 1971 ) berkaitan dengan pendekatan logika tersebut : It
gives only the end-product of mathematical discovery (This is it: all you have to do is learn it),
and fails to bring about in the learner those processes by which mathematical discoveries are
made. It teaches mathematical thought, not mathematical thinking. Pendekatan logika
menyebabkan siswa hanya melihat produk akhir dari penemuan secara matematika bukan
bagaimana temuan matematika tersebut diperoleh, yang diajarkan adalah pemikiran matematika
bukan berpikir matematika.
Pembelajaran yang lebih memperhatikan perkembangan kognitif siswa, dianggap lebih
mampu membangun pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik. Tall ( 2004 )
mengemukakan bahwa sebenarnya terdapat tiga tipe perkembangan kognitif yang berbeda, yang
mendiami tiga dunia matematika yang berbeda tapi saling terkait dalam perkembangannya.
Dua yang pertama mendominasi matematika elementer sedangkan yang ketiga membangun
berpikir matematika tingkat tinggi. Ketiga dunia tersebut adalah :
(i) conceptual-embodiedyang berkembang berdasarkan persepsi dan refleksi terhadap sifat-
sifat yang dimiliki objek
(ii) proceptual-symbolic yang tumbuh dari embodied world melalui kegiatan ( seperti
menghitung ) dan simbolisasi ke dalam konsep yang dapat dipikirkan ( seperti bilangan ),
membangun simbol sebagai fungsi dari proses mengerjakan dan konsep berpikir tentang
sesuatu ( disebut procepts )
(iii) axiomatic formal yang berdasarkan pada definisi formal dan bukti, barisan konstruksi
pengertian dari konsep yang telah diketahui menuju konsep formal berdasarkan himpunan
definisi teoritik.
Lebih jauh menurut Tall ( 2008 ) Kombinasi dari ketiga dunia tersebut mungkin saja terjadi
, seperti symbolic-embodied dimana simbol di persepsi dan direfleksi, embodied formal
menterjemahkan ide ke dalam struktur formal dan symbolic formal dimana ide simbolik di
terjemahkan ke dalam bahasa formal. Pada Gambar 3, disajikan skema perkembangan kognitif
menurut David Tall.
Jika memperhatikan tipe perkembangan kognitif dalam belajar yang dikemukakan oleh
David Tall, maka seharusnya pembelajaran matematika dikembangkan dengan bertitik tolak
dari dunia conceptual-embodied. Dunia conceptual-embodied merujuk pada ide yang
spesifik, yakni menggabungkan atau mengorganisir ide melalui percobaan berdasarkan persepsi
dan refleksi pada sifat-sifat objek. Dalam hal ini biasanya digunakan gambar geometri.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

325

Gambar 3. Skema perkembangan kognitif menurut David Tall
Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau struktur
suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang
keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik
sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-
contoh tindakan intuitif. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima
kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses
belajar, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.
Dalam essainya Towards a disciplined intuition , Bruner mengelompokkan dua
pendekatan dalam menyelesaikan masalah, yakni pendekatan intuisi dan analitik . Lebih lanjut
mengenai intuisi, Bruner mengemukakan : ... in general intuition is less rigorous with respect to
proof, more oriented to the whole problem than to particular parts, less verbalized with respect
to justification, and based upon a confidence to operate with insufficient data Secara umum
intuisi tidak seketat bukti, berorientasi pada masalah secara keseluruhan bukan pada bagian
yang khusus, tidak severbal justifikasi dan berdasarkan pada keyakinan meski dengan data yang
mugkin kurang lengkap. Adanya perbedaan dalam model berpikir, menyebabkan adanya
perbedaan antara proses berpikir intuisi dan berpikir menggunakan logika matematika yang
formal. Intuisi melibatkan pemrosesan yang sangat berbeda dalam langkah demi langkahnya
dibandingkan pemrosesan yang membutuhkan deduksi yang ketat. ( Tall, 1991 ).
Dalam penelitian matematika, bukti adalah penting tapi itu adalah akhir dari suatu proses.
Sebelum dapat dibuktikan, mesti ada ide dari teorema yang berharga untuk digunakan dalam
pembuktian. Tahap penyelidikan dalam berpikir matematika membangun semua gambaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

326
hubungan dan gambaran hubungan tersebut dapat diperoleh dari visualisasi. Menolak visualisasi
berarti menolak akar dari banyak ide matematika. Dalam tahap awal penemuan teori fungsi,
limit, kontinu dan lainnya, terbukti bahwa visualisasi adalah sumber dari ide-ide. Menjauhkan
visualisasi dari siswa adalah seperti memotong akar sejarah dari teori-teori tersebut. Ide yang
diperoleh dari visualisasi dapat mengantarkan pada intuisi yang sangat kuat untuk nantinya
dapat digunakan dalam pembuktian matematika yang ketat.
Namun demikian, pengembangan intuisi melalui visualisasi dalam pembelajaran perlu
dirancang dengan cermat. Ide visual yang dianggap intuitif bagi matematikawan bisa jadi tidak
intuitif bagi siswa. Intuisi adalah resonansi global di dalam otak dan bergantung pada struktur
kognitif individu yang bergantung pada pengalaman sebelumnya dari individu. Tidak ada alasan
untuk berharap bahwa pemula akan memiliki intuisi yang sama dengan ahli, bahkan jika ditinjau
pada pemahaman visual yang sederhana sekalipun. Penelitian pada bidang pendidikan
matematika menunjukkan bahwa ide siswa yang muncul pada banyak konsep tidak seperti yang
diharapkan ( Tall, 1991 )
Pembelajaran konsep turunan dapat diawali dengan eksplorasi terhadap perbesaran grafik
untuk mengenalkan konsep kemiringan kurva dan kemudian perubahan kemiringan grafik
secara numerik disajikan dan diilustrasikan dengan grafik, sehingga dapat membangun konsep
turunan sebagai suatu fungsi. Visualisasi grafik memungkinkan jangkauan yang lebih luas
tentang contoh dan non contoh untuk ditinjau, sehingga siswa tidak hanya belajar bagaimana
menghitung turunan tetapi juga memberi arti untuk fungsi yang dapat diturunkan atau tidak
dapat diturunkan. Ide limit muncul secara implisit dalam eksplorasi, tetapi implementasi penuh
ide limit dan turunan secara formal dapat diundur pada tingkat yang lebih lanjut ( Tall, 1985 ).
Keberadaan perangkat lunak visual interaktif memungkinkan pendekatan eksplorasi yang dapat
membuat pengguna mendapatkan pemahaman konsep melalui intuisi dan menghasilkan dasar
kognitif dimana teori matematika yang bermakna dapat dibangun ( Tall, 1986). Barnes ( 1995 ),
mengemukakan ide visual yang digunakan untuk mengembangkan intuisi dalam memahami
konsep turunan bisa ditampilkan dengan menggunakan berbagai piranti lunak interaktif yang
memungkinkan mahasiswa melakukan eksperimen untuk melihat banyak contoh, mengamati
pola dan membuat dugaan dengan menggunakan grafik, antara lain mahasiswa dapat :
- menginvestigasi apakah suatu grafik fungsi secara lokal lurus ( locally straight ) dengan
melakukan perbesaran grafik berkali-kali pada suatu titik.
- menggambar fungsi kemiringan grafik dan menggunakan tebak dan periksa untuk
mendapatkan aturan pencarian turunan
- membuat kaitan antara data numerik, grafik dan representasi simbolik dari fungsi
Berikut akan dikemukakan beberapa hal yang dapat diupayakan untuk mengembangkan
intuisi melalui visualisasi grafik untuk membangun pemahaman konsep turunan. Visualisasi
dilakukan dengan menggunakan piranti lunak interaktif Maple 13.0
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

327
Tall ( 1986 ), mengemukakan bahwa untuk membangun konsep turunan, kita tidak harus
memulai dengan kemiringan garis singgung atau tali busur yang mendekati posisi garis
singgung, tapi secara lebih sederhana kemiringan grafik itu sendiri ( the gradient of the graph
itself ). Walaupun grafik berupa kurva, dengan perbesaran grafik bagian kecil dari kurva terlihat
hampir lurus. Dalam cara ini kita dapat bicara tentang kemiringan kurva sebagai kemiringan
dari bagian perbesaran grafik yang mendekati lurus ( aproximately straight )
Sebagai contoh, bagian dari grafik
2
x y = didekat 1 = x diperbesar. Dengan memberikan
sedikit waktu untuk bereksperimen, mahasiswa dapat membuat dugaan bahwa semakin grafik
diperbesar maka semakin kecil bagian kurva yang diperoleh dan sampai pada suatu perbesaran
yang cukup tinggi kurva akan terlihat seperti segmen garis. Dengan menggunakan Maple 13.0
hal tersebut dapat ditampilkan seperti Gambar 4 berikut ini :


Gambar 4

Selanjutnya dapat diperkirakan kemiringan segmen garis ~ 2 . Jadi kemiringan grafik di 1 = x
adalah 2 ( lihat Gambar 5 ).
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

328

Gambar 5

Dengan cara ini kemiringan grafik dapat diselidiki secara eksperimental sebelum pengertian
limit secara formal diberikan.
Menurut Tall ( 1986 ) , jika dalam kuliah tradisional perilaku fungsi yang tidak dapat
diturunkan di suatu titik dipelajari belakangan, dengan menggunakan bahasa kemiringan kurva
yang telah dikemukakan di atas kita dapat mengenalkannya lebih awal. Jika dipandang bahwa
fungsi dapat diturunkan di suatu titik jika fungsi tersebut secara lokal lurus ( locally straight ),
maka yang tidak dapat diturunkan secara sederhana dapat kita pandang sebagai tidak dapat
secara lokal lurus ( not locally straight ).
Meminta mahasiswa untuk langsung memberikan contoh fungsi not locally straight
mungkin akan menyulitkan, oleh sebab itu sebelumnya mahasiswa dapat bereksperimen dengan
grafik-grafik x y = , x y sin = , x x y =
2
untuk melihat bahwa mereka punya sudut ( corner
) yang jika diperbesar menunjukkan dua segmen garis yang gradiennya berbeda bertemu di
suatu titik .
Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa perbesaran grafik grafik x y sin = di sekitar t = x ,
memberikan dua segmen garis yang gradiennya berbeda bertemu di titik t = x . Jadi x y sin =
not locally straight di sekitar t = x , sehingga fungsi x x f sin ) ( = tidak dapat diturunkan di
t = x

Juga menarik untuk meninjau fungsi seperti |
.
|

\
|
=
x
x x f
1
sin ) ( atau bahkan
|
.
|

\
|
+ =
x
x x x g
1
sin ) ( ) ( . Pada Gambar 7, dapat dilihat grafik dari kedua fungsi tersebut yang
dibuat dengan menggunakan Maple 13.0.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

329


Gambar 6



Gambar 7
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

330
Perbesaran di sekitar titik asal, akan menunjukkan bahwa grafik f berosilasi secara liar di
sekitar titik asal dan g meskipun locally straight di satu sisi tetapi berosilasi di sisi lain,
sehingga fungsi f dan g not locally straight disekitar 0 = x . Jadi f dan g tidak dapat
diturunkan di 0 = x
Karena kemiringan grafik di suatu titik dipandang sebagai kemiringan dari bagian
perbesaran grafik yang mendekati lurus disekitar titik tersebut, maka kemiringan kurva di
sebarang titik x bisa di pandang sebagai
c
x f c x f ) ( ) ( +
untuk suatu c yang kecil. Adalah
suatu hal yang mudah untuk menghitung ekspresi
c
x f c x f ) ( ) ( +
untuk suatu nilai c yang
kecil dengan x yang bervariasi dengan menggunakan komputer. Secara numerik dapat
ditunjukkan kaitan antara x dengan nilai-nilai kemiringan grafik di x adalah suatu fungsi dan
sekaligus diperoleh titik-titik yang menjadi outline dari grafik fungsi kemiringan dan
mengenalinya sebagai turunan dari f ( Tall, 1986 ).
Sebagai contoh, dengan menggunakan Maple 13.0 , dapat ditampilkan secara numerik
nilai-nilai x dan
05 , 0
) cos( ) 05 , 0 cos( x x +
dengan x yang bervariasi dan dari titik-titik tersebut
diperoleh outline dari grafik fungsi kemiringannya ( Lihat Tabel 1 dan Gambar 8 )


Gambar 8








Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

331

n x

05 , 0
cos ) 05 , 0 cos( x x +
















































































Tabel 1

Jika diperhatikan kaitan antara x dan kemiringan grafik di x seperti yang terlihat pada
tabel di atas dan dari plot titik-titik tersebut pada bidang- xy , maka tampak bahwa kemiringan
adalah fungsi dari x . Lebih jauh dengan menggunakan Maple 13.0 dapat ditampilkan grafik
x y cos = dan
05 , 0
cos ) 05 , 0 cos( x x
y
+
= dalam sistem koordinat yang sama seperti Gambar 9
berikut :

Gambar 9
x y cos =
05 , 0
) cos( ) 05 , 0 cos( x x
y
+
=
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

332
Hingga tahap ini, diharapkan mahasiswa telah mendapatkan pemahaman konsep dapat
diturunkan di suatu titik dan konsep turunan secara intuisi melalui visualisasi grafik dan
diharapkan dapat menghasilkan dasar kognitif dimana teori formal yang bermakna dapat
dibangun selanjutnya.
Selain apa yang telah dikemukan, melalui visualisasi grafik mahasiswa juga bisa
mendapatkan intuisi untuk kemudian membuat dugaan ( conjecture ) untuk beberapa hal, yang
kelak pada tahap formal dapat ditunjukkan sebagai sebuah teorema atau rumus ( formula ) .
Misalnya, melalui pengalaman memplot berbagai titik x dan kemiringannya mahasiswa dapat
membuat dugaan bagaimana perilaku kemiringan grafik di suatu interval mempengaruhi
perilaku grafiknya. Mahasiswa juga dapat mengeksplorasi berbagai grafik fungsi dan grafik
fungsi kemiringannya untuk kemudian membuat dugaan tentang rumus fungsi turunan untuk
fungsi-fungsi sederhana seperti fungsi pangkat, fungsi polinomial dan fungsi trigonometri ( Tall,
1985 )
Sebagai contoh, mahasiswa terlebih dahulu meninjau grafik fungsi dan grafik fungsi
kemiringannya untuk
2
x dan
3
x . Dengan menggunakan Maple 13.0 , dapat ditampilkan seperti
Gambar 10 berikut :


Gambar 10
Mahasiswa dapat melihat bahwa turunan dari
2
) ( x x f = adalah x 2 dan turunan dari
3
) ( x x f = adalah
2
3x dan mencoba membuat dugaan bahwa rumus untuk turunan dari
n
x x f = ) ( adalah
1 n
nx . Selanjutnya mahasiswa dapat melakukan investigasi dengan
mengeksplorasi grafik
n
x y = dan grafik fungsi kemiringannya dan membandingkannya dengan
grafik
1
=
n
nx y , untuk berbagai n . Pada tahap formal nanti dapat dibuktikan bahwa jika
n
x x f = ) ( maka
1
) ( '

=
n
nx x f


2
x y =
05 , 0
) 05 , 0 (
2 2
x x
y
+
=
3
x y =
05 , 0
) 05 , 0 (
3 3
x x
y
+
=
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

333
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam mengembangkan intuisi melalui visualisasi grafik untuk membangun pemahaman
konsep turunan dapat diupayakan hal-hal berikut :
1. Mengenal kemiringan kurva sebagai kemiringan dari perbesaran bagian kecil dari grafik
yang terlihat mendekati lurus.
2. Mengeksplorasi fungsi-fungsi yang secara lokal lurus ( locally straight ) atau tidak dapat
secara lokal lurus ( not locally straight ) pada suatu titik dan mengenal konsep dapat
diturunkan pada suatu titik secara intuisi terkait dengan sifat locally straight dan not
locally straight
3. Bereksplorasi dengan menghitung ekspresi
c
x f c x f ) ( ) ( +
untuk suatu nilai c yang kecil
dengan x yang bervariasi dan memplot titik-titik |
.
|

\
| +

c
) ( ) (
,
x f c x f
x untuk beragam
fungsi f pada bidang- xy . Mengamati data dan plot titik-titik data untuk melihat kaitan
antara x dengan nilai-nilai kemiringan grafik di x sebagai suatu fungsi dan mengenal
konsep turunan secara intuisi.
4. Melakukan eksperimen dan kemudian membuat dugaan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan pencarian turunan dan penggunaan turunan , misalnya dugaan tentang
rumus fungsi turunan untuk fungsi-fungsi sederhana seperti fungsi pangkat, fungsi
polinomial dan fungsi trigonometri dan kaitan antara kemiringan kurva dengan perilaku
grafik.
Dalam eksplorasi, investigasi atau eksperimen yang dilakukan untuk menampilkan grafik dan
perbesarannya disekitar suatu titik, menghitung ekspresi
c
x f c x f ) ( ) ( +
dan memplot titik-
titik |
.
|

\
| +

c
) ( ) (
,
x f c x f
x dapat dilakukan dengan menggunakan Maple 13.0
Selanjutnya dari terkait dengan tulisan ini, dikemukakan saran-saran berikut :
1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat keefektifan visualisasi grafik dalam
mengembangkan intuisi mahasiswa dalam membangun pemahaman konsep turunan dan
melihat pengaruhnya terhadap kemampuan mahasiswa dalam mempelajari konsep turunan
dalam tahap formal.
2. Jika ditemui keterbatasan ketersediaan komputer, sekalipun hanya dengan satu komputer di
depan kelas dengan panduan dosen hal-hal yang dikemukakan di atas ini masih dapat
dilakukan. Jika memungkinkan setiap mahasiswa menggunakan komputer, penggunaan
Maple 13.0 dapat dikembangkan lebih jauh atau dicari piranti lunak interaktif lain yang
bersifat tutorial agar lebih mudah dan langsung bisa digunakan mahasiswa. .


Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

334
DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J.S. 1977 Bruner on the learning of mathematics A process orientation. Dalam
Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, &
Schmidt.
Barnes, Mary. An Intutive Aproach to Calculus. Diakses pada 11/20/2012 : 3:22 PM dari
http://hsc.ssu.edu.au/maths/teacher_resources/2384/barnes.htm
Tall, D.O. 1985 The Gradient of a Graph. Mathematics Teaching , 111, 4852.
Tall, D.O. 1986. Graphic Insigth into Mathematical Concept.The Influence of Computers and
Informatic on Mathematics and Teaching ( ed Howson G & Kahane J-P ), C.U.P
Tall, D. O ( 1991) Intuition and Rigour : the role of visualization in the Calculus. Visualization
in Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105119
Tall, D. O. (2004). Introducing The three worlds of mathematics. For the Learning of
Mathematics, 23 (3). 2933.
Tall, D. O. (2008). The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education
Research Journal, 20 (2), 5-24.
Varberg, Dale.,Purcell.Edwin J., Rigdon. Steven.E. 2004. Kalkulus Edisi 8 ( alih bahasa I.
Nyoman Susila ) . Jakarta : Erlangga



Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

335
PENGEMBANGAN INTUISI SISWA DALAM MEMECAHKAN
MASALAH MATEMATIKA


Budi Usodo
Staf Pengajar pada program studi Pendidikan Matematika
Univ. Sebelas Maret Surakarta


ABSTRAK

Matematika adalah ilmu deduktif, tetapi belajar matematika tidak selalu dimulai
dengan pola pikir deduktif. Setiap anak pada awalnya berpikir matematika secara intuitif.
Berdasarkan pengetahuan intuitifnya itu, anak akan mengkonstruksi pengetahuan
matematika secara formal. Oleh sebab itu belajar matematika memerlukan intuisi. Intuisi
adalah kognisi segera yang keberadaannya tidak melalui proses penalaran secara deduktif
serta mempunyai ciri-ciri yaitu direct (langsung), self evident (benar dengan sendirinya),
intrinsic certainty (pasti secara intrinsik),coerciveness (penggiringan), Extrapolativeness
(pemerkiraan) dan Globality (Global). Intuisi sangat berperan dalam pemecahan masalah,
oleh sebab itu perlu upaya pengembangan intuisi siswa dalam memecahkan masalah.
Salah satu upaya untuk mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan
masalah dapat dilakukan dengan mendisain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran
yang didisain dapat mendasarkan pada tahapan untuk memunculkan intuisi, yaitu (1) tahap
persiapan, adalah tahap mendefinisikan masalah dan mengumpulkan semua informasi
terkait untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak, (2) tahap
inkubasi, adalah dalah tahap mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran kita bekerja
di belakang layar, (3) tahap iluminasi, adalah tahap bermunculannya ide-ide dari pikiran
yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Ide-ide tersebut merupakan intuisi. Tahap
ini berlangsung singkat dan sering berupa inspirasi sesaat yang intens, (4) tahap verifikasi,
adalah pengujian untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya
memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.
Kata kunci: intuisi, pengembangan intuisi, persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pada kegiatan pembelajaran, tentunya siswa diajarkan memecahkan masalah. Dalam
mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai guru atau pendidik mempunyai cara
yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan contoh-contoh bagaimana
memecahkan suatu masalah, tanpa memberikan kesempatan banyak pada siswa untuk berusaha
menemukan sendiri penyelesaiannya.
Dengan cara demikian siswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah.
Akibatnya siswa hanya mampu memecahkan masalah bila telah diberikan caranya oleh guru.
Dengan kondisi demikian, maka siswa seringkali dihadapkan pada beberapa kesulitan,
misalnya siswa tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan masalah yang diberikan atau bila
telah dapat memulai menjawab, namun mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal
tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal yang cukup untuk memecahkan masalah
tersebut.
Disamping itu kebiasaan penggunaan tes obyektif sebagai evaluasi hasil belajar siswa,
menyebabkan siswa tidak terbiasa menyelesaikan soal yang berbentuk uraian. Dampak yang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

336
muncul dari kondisi semacam itu adalah siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
masalah. Karena dalam menyelesaikan masalah dibutuhkan kemampuan untuk analisis, sintesis
bahkan evaluasi. Sehingga akan menjadikan siswa lemah dalam memecahkan masalah yang
membutuhkan kemampuan kognitif yang tinggi.
Di pihak lain, pada pembelajaran yang ada saat ini masih dijumpai pembelajaran yang
dilakukan secara mekanistik, yaitu menekankan untuk mengajarkan dalam menjawab
pertanyaan bagaimana, dibanding dengan pertanyaan mengapa. Dalam membelajarkan konsep,
guru lebih pada memberikan konsep itu kepada siswanya secara final, dibanding dengan
bagaimana guru mendisain pembelajarannya agar siswa berproses untuk memperoleh konsep
tersebut. Pembelajaran dengan cara tersebut cenderung dilakukan dengan bahasa formal tanpa
mempertimbangkan pengetahuan informal siswa dan cenderung menekankan hasil akhir.
Menurut Bruner (1977), pengajaran yang terlalu dini menggunakan bahasa formal atau
yang menekankan hasil akhir, berdampak kurang baik pada hasil belajar. Pengetahuan menjadi
tampak sebagai barang asing yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan informal anak.
Formalisme dalam pembelajaran tidak memberi kesempatan bagi anak untuk berpikir sendiri
mengenai gagasan suatu pengetahuan. Anak menjadi kurang percaya diri akan kemampuannya
dalam melakukan proses belajar. Bahkan keadaan yang paling buruk, pembelajaran tersebut
tidak memberi tempat untuk berkembangnya ide-ide kreatif anak, yang sebenarnya berkaitan
erat dengan cara alamiah anak dalam belajar.
Walaupun proses berpikir analitik dan logika memainkan peranan penting dalam
merepresentasikan struktur logika suatu pengetahuan. Akan tetapi, mengejar ketepatan dan
formalisme hanyalah hasil akhir dari aktivitas belajar. Proses membangun pengetahuan tanpa
disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau ketakpastian, verifikasi atau
penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas
mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan kognisi intuitif (intuitive
cognition) dari suatu pengetahuan. Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang dikontrol oleh
logika dan bersifat analitis (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat
memahami seuatu pengetahuan. Kognisi formal juga perlu bagi siswa untuk maju ke tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi.Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah
berpikir dalam aktivitas belajar. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan
pengetahuan formal tidak selalu dapat dikembangkan suatu kreativitas yang diperlukan dalam
proses belajar, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Siswa mungkin sangat
yakin akan kemampuan pengetahuan formalnya. Akan tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil
dengan baik dalam aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali
menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas
mental berbeda dari kognisi formal. Hal tersebut disebut kognisi intuitif (intuitive cognition),
atau intuisi (intuition).
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

337
Keberadaan intuisi dalam kaitannya untuk memecahkan permasalahan dapat dilihat
dari sejarah para tokoh-tokoh terkemuka. Jules Henri Poincar dianggap sebagai salah seorang
ilmuwan terbesar dan paling kreatif yang pernah dimiliki Prancis. Selain dikenal sebagai ahli
matematika, dia juga terkenal dengan sumbangannya di dunia fisika teoritis dan ahli filsafat
ilmu pengetahuan. Sepanjang hidupnya, dia berhasil merumuskan banyak penemuan penting
seperti Fuchsian series, meletakkan landasan untuk teori khaos, fraktal, dan prinsip-prinsip
dasar teori relativitas. Poincare berhasil memakai intuisinya untuk membantu melakukan
penemuan penting. Menurut penuturannya sendiri, dia berusaha selama 15 hari untuk
membuktikan sebuah teka-teki matematika yang selama ini belum bisa dipecahkan. Setiap hari
dia duduk di meja kerja selama satu atau dua jam, mencoba berbagai kombinasi dan tanpa hasil.
Lalu suatu sore, berlawanan dengan kebiasaannya, dia meminum kopi hitam dan tidak bisa
tidur. Tiba-tiba, ide datang secara bertubi-tubi. Ide-ide tersebut bertabrakan dan akhirnya
menyatu dalam kesatuan, atau menurut istilah Poincare, membuat kombinasi yang stabil.
Keesokan harinya dia hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk menuliskan hasilnya.
Kristalisasi tahap pertama telah terjadi.
Dia lalu menjelaskan bagaimana kristalisasi tahap kedua terjadi, yang dibantu oleh
analogi. Dia meninggalkan Caen, dimana dia tinggal, untuk pergi ke sebuah perjalanan
penggalian geologi. Perubahan lingkungan tersebut membuatnya melupakan matematika. Suatu
ketika, ketika dia sedang memasuki sebuah bus, dan kakinya berada di tangga bus, sebuah ide
datang, tanpa ada pikiran sadar yang mencoba mengarahkannya. Dia tiba-tiba menyadari bahwa
transformasi yang digunakan untuk mendefinisikan fungsi baru yang sedang ditelitinya identik
dengan transformasi yang dipakai oleh persamaan geometri lain. Dia tidak memverifikasi ide
tersebut, namun dia yakin sepenuhnya. Belakangan dia baru melakukan verifikasi di waktu
luangnya ketika kembali ke Caen.
Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah tanda kejeniusan Poincare, tetapi dia tidak
puas dengan penjelasan sederhana tersebut. Dia berusaha mencari penjelasan yang lebih
mendalam. Poincare kemudian membuat hipotesa bahwa proses seleksi tersebut dilakukan oleh
apa yang disebutnya sebagai subliminal self. Diri subliminal ini, menurut Poincare, akan
mengevaluasi kombinasi yang luar biasa banyaknya yang mungkin menghasilkan solusi atas
masalah, tetapi hanya kemungkinan solusi yang menarik yang akan muncul ke kesadaran. Solusi
atas masalah matematika diseleksi oleh diri subliminal berdasarkan keindahan matematisnya.
(http://www.itpin.com/blog/category/ mind-thinking/intuition/)
Keberadaan intuisi juga dapat diamati dari siswa-siswa pada saat memecahkan
permasalahan. Banyak siswa pandai dalam memecahkan permasalahan (misalnya soal
matematika) sering menggunakan cara-cara yang smart, di luar dugaan dan kebiasaan,
sehingga memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Sebaliknya pada siswa-siswa yang
mempunyai kemampuan sedang atau rendah, cara yang digunakan untuk memecahkan soal,
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

338
cenderung memberikan jawaban yang panjang lebar dan terkadang kurang akurat, bahkan
banyak siswa yang kesulitan untuk menemukan cara dalam memecahkan masalah. Hal tersebut
tentunya ada kaitan antara pengetahuan yang dimiliki dengan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah. Semakin kompleks pengetahuan yang dimiliki, diduga semakin
berkembang intuisi yang digunakan dalam memecahkan masalah. Oleh sebab itu diduga intuisi
dapat dikembangkan untuk memecahkan masalah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana mengembangkan intuisi siswa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah?

TEORI TENTANG INTUISI
Pengertian Intuisi
Menurut Fiscbein (1999), tidak ada definisi intuisi yang diterima secara bersama-sama
oleh para ahli. Istilah intuisi biasanya digunakan sebagai istilah primitif dalam matematika,
seperti titik, garis, himpunan dan lain-lain. Namun demikian para ahli menerima sifat-sifat
secara implisit dari intuisi yaitu self evident yang berlawanan dengan usaha secara logika dan
analitis.
Penjelasan tentang intuisi oleh para ahli, diantaranya adalah Bruner menjelaskan intuisi
dengan memperbandingkan pemikiran analitik, Poincar membandingkan intuisi dengan
logika, Skemp membandingkan pemikiran intuitif dengan pemikiran reflektif sebagai gaya
aktivitas mental yang berbeda (Tall, 1980). Sedangkan, Descartes dan Spinoza,
mempresentasikan intuisi sebagai sumber asli dari pengetahuan yang benar. Bergson
membedakan antara intelegensi dan intuisi, (Fischbein, 1999).
Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau
struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang
keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik
sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-
contoh tindakan intuitif. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima
kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses
belajar, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.
Setiap anak pada awalnya berpikir secara intuitif. Berdasarkan pengetahuan intuitifnya
itu, dalam perkembangan berpikirnya anak membangun/ mengkonstruksi model bagi gagasan
yang diperolehnya di sekolah. Model ini berupa seperangkat struktur yang diinternalisasikan
dalam pikiran si anak, yang merepresentasikan/mewakili gagasan tersebut. Mungkin anak ini
tidak dapat menjelaskan atau mengemukakan secara lisan model yang dibangunnya itu, tetapi
dia mampu memperagakannya. Sebagai contoh, anak yang telah dapat memahami gagasan
konservasi jumlah atau sifat asosiatif penjumlahan, dia dapat memperagakan bilangan 6 dengan
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

339
benda-benda dalam bermacam-macam susunan, seperti 2 + 2 + 2, 3 + 3, 2 + 4, 4 + 2, 2 + (3 +
1), (2 + 3) + 1.
Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai immediate knowledge (kognisi
segera) yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall,
1992) memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk
menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.
Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada
pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, kita sebut kognisi intuitif primer
(primary intuitive cognition), sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan II mempunyai
intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak tersebut
melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit. Pada sisi
lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik kita sebut
kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah dikenalkan
bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki intuisi
bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar.
Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam
matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat jelas dari suatu kognisi
intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kognisi langsung, kognisi self evident (direct, self evident cognitions)
Kognisi langsung, kognisi self evident yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah
kognisi yang diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian
lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. Hal tersebut
adalah self evident, pernyataan yang kebenarannya diterima secara langsung.
2) Kepastian intrinsik (intrinsic certainty).
Kepastian intuisi biasanya dihubungkan dengan feeling tertentu dari kepastian intrinsik.
Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subyektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan.
Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh
semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris)
3) Pemaksaan (coerciveness).
Intuisi menggunakan efek memaksa pada strategi penalaran individual. Hal ini berarti
bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya.
Biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar
dan pembagian akan menjadikan lebih kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa
dengan mengoperasikan bilangan asli. Di kemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih
dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi.
4) Extrapolativeness
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

340
Sifat penting dari kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan di balik suatu
pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan melalui satu titik diluar garis hanya dapat
digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut mengekspresikan kemampuan
ekstrapolasi dari intuisi. Tidak ada bukti empiris dan formal yang dapat mendukung pernyataan
tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut dapat diterima secara intuitif, suatu kepastian,
sebagai selfevident. Ektrapolasi tersebut berasal dari kognisi intuitif itu sendiri. Kemampuan
ekstrapolatif merupakan wujud dari intuisi.
5) Keseluruhan (Globality)
Intuisi adalah kognisi global yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara
logika, berurutan dan secara analitis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intuisi adalah kognisi yang self evident
(secara subyektif kebenarannya terkandung di dalamnya), sebagai pengetahuan segera
(immediate knowledge), bersifat holistik, mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif,
tanpa suatu proses penalaran secara sadar (mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan
membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari
manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan
intuitif.

Jenis-jenis Intuisi
Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori
(affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan
karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi
afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara
individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik.
Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda,
disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi
tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut
menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada
umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau
bukti belum ditemukan.
Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://www-
history.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) membagi intuisi menjadi 3 jenis,
yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada
generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi
yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari
bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika.

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

341

Peran Intuisi Dalam Memecahkan Masalah
Di dalam essainya, yaitu Towards a disciplined intuition, Bruner mengkarakterisasi
dua alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah, yaitu intuisi dan analitik.
In virtually any field of intellectual endeavour one may distinguish two approaches
usually asserted to be different. One is intuitive, the other analytic ... in general
intuition is less rigorous with respect to proof, more oriented to the whole problem
than to particular parts, less verbalized with respect to justification, and based upon
a confidence to operate with insufficient data. (Bruner 1977).

Dari ungkapan di atas, intuisi berlawanan dengan analitik. Intuisi kurang ketat (rigour),
lebih berorientasi pada masalah global, kurang verbal dan didasarkan pada keyakinan dengan
data yang tidak mencukupi.
Menurut Roger Walcot Sperry dalam Edward (1996), dalam memecahkan masalah dua
belahan otak kiri dan otak kanan sangat diperlukan. Otak kanan mempunyai peran sebagai
pemroses data secara menyeluruh (holistic) dan otak kiri menguji kelogisannya yang diperlukan
dalam pemecahan masalah. Ketika penyelesaiannya didapat, otak kanan akan bertugas
memperhatikan situasi secara menyeluruh untuk memeriksa jawaban yang diperoleh. Dengan
demikian dalam memecahkan masalah akan mengaktifkan otak kanan maupun kiri.
Sedangkan dari hasil penelitian Fischbein et al (1996), intuisi selalu didasarkan pada
struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan pula bahwa intuisi sebagai dugaan spontan yang
merupakan fakta dibalik layar skemata.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa intuisi dapat terjadi karena struktur
skemata tertentu. Oleh sebab itu jika siswa sedang memecahkan masalah, tentunya akan
menggunakan struktur skema yang dimiliki, sehingga sangat mungkin pada saat memecahkan
masalah, muncul intuisi yang merupakan dugaan spontan akibat fakta dibalik layar skemata.

Tahapan proses munculnya intuisi
Seorang insinyur dan ahli psikologi Graham Wallis (1926) telah menyelidiki fenomena
intuisi ini dan membangun sebuah model untuk menggambarkan cara kerja proses kreatif
sehingga muncul intuisi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Cara kerja tersebut
terdiri dari 4 tahapan, yaitu:
a. Tahap persiapan. Pada tahap ini, kita mendefinisikan masalah atau tujuan, dan
mengumpulkan semua informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi
apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak.
b. Tahap inkubasi. Pada tahap ini, kita mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran
kita bekerja di belakang layar. Sama seperti tahap persiapan, tahap ini bisa berakhir
dalam beberapa menit, minggu, atau bahkan bertahun-tahun.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

342
c. Tahap iluminasi. Pada tahap ini, ide-ide bermunculan dari pikiran yang menyediakan
dasar untuk respons kreatif. Ide-ide tersebut bisa berupa bagian-bagian dari
keseluruhan, atau langsung keseluruhan. Ide-ide tersebut merupakan intuisi. Berbeda
dengan tahapan lainnya, tahap ini berlangsung singkat dan sering berupa inspirasi sesaat
yang intens. Momen Eureka Archimedes atau mimpi Kekule termasuk pada tahapan ini.
d. Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir di mana pengujian dilakukan
untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya memenuhi
kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.
Dari model ini, Wallis mengakui adanya kerja sama yang erat antara alam pikiran sadar
yang berpikiran rasional (pada tahap persiapan dan verifikasi) dengan alam bawah sadar yang
bercorak intuitif (pada tahap inkubasi dan iluminasi) untuk membantu pemecahan masalah yang
kreatif. Intuisi, tampaknya, bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Peranannya dalam
penyelesaian masalah sangat besar dan tidak kalah dengan cara berpikir rasional
(http://www.itpin.com/blog/category/mind-thinking/intuition/)

PEMBAHASAN
Mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah
Dengan mendasarkan pada tahapan yang dikemukkan oleh Wallis di atas,
pengembangan intuisi siswa dapat dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran.
Bentuknya berupa pemunculan ide atau gagasan penyelesaian permasalahan dan kolaborasi dari
berbagai ide yang ada. Untuk itu guru dapat merancang strategi pembelajarannya agar ide atau
gagasan siswa dalam memecahkan masalah menjadi berkembang. Salah satunya adalah
menggunakan metode tanya jawab. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memancing
munculnya ide untuk menyelesaikan soal. Sebagai contoh, misalnya siswa SMA yang telah
belajar barisan bilangan diberikan soal berikut :
Diberikan barisan bilangan berikut :
1, 3, 6, 10, Tentukan suku ke-100 dari barisan bilangan tersebut.
Tentunya soal tersebut tidak diselesaikan dengan mendaftar semua bilangan sampai suku ke-
100.
Tahap persiapan: siswa diarahkan untuk memahami permasalahan, dan mengumpulkan semua
informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa
diterima atau tidak.
G : Apakah barisan tersebut termasuk barisan aritmetika ?
S : Tidak
G : Kenapa
S : Karena 3 1 6 3. Tidak ditemukan bedanya.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

343
G : Kalau begitu apa barisan geometri ?
S : Juga tidak karena 3 : 1 6 : 3.
G : Kalau begitu barisan apa?
S : (diam)
G : Apakah ada yang melihat hal istimewa dari barisan tersebut ?
S : (diam)
G : Coba perhatikan, 3 1, 6 3, 10 6, .. Apa yang dapat anda katakan ?
S : Hasilnya 2, 3, 4, Jadi suku ke 5 adalah 10 + 5 = 15.
G : Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ?

Tahap inkubasi.
Pada tahap ini, tanya jawab dihentikan sementara, siswa dibiarkan berpikir dengan
menggunakan informasi yang telah dipunyai (sekitar 5 menit). Mungkin siswa dalam
berpikir sambil melakukan corat-coret.

Tahap iluminasi. Pada tahap ini, diharapkan ide-ide dari siswa, mulai bermunculan dari
pikiran yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Guru melanjutkan tanya jawab
kepada siswanya.

G : Bagaimana? Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ?
S : Kalau begitu suku ke-100 adalah suku ke 99 + 100 ?
G : Tapi suku ke 99 kan belum tahu ?
S : (menuliskan idenya)
U
100
= U
99
+ 100. Jadi U
100
- U
99
= 100.
U
99
= U
98
+ 99. Jadi U
99
U
98
= 99
U
98
= U
97
+ 98. Jadi U
98
U
97
= 98
.................................................................... dan seterusnya
U
3
= U
2
+ 3. Jadi U
3
U
2
= 3
U
2
= U
1
+ 2. Jadi U
2
U
1
= 2 +

U
100
U
1
= 2 + 3 + ....+ 99 + 100
U
100
= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100
= 5050
Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir untuk menguji, apakah ide yang
digunakan sudah memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan. Guru
melakukan tanya jawab lagi pada siswa untuk memastikan ide yang digunakan adalah benar.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

344
G : Apakah hasil yang diperoleh itu benar?
S : Benar, Pak. Karena langkah-langkahnya kelihatnnya benar.
G : Bagaimana kalau tidak berdasar langkah-langkah tetapi dengan melihat rumus
untuk suku ke-n.
S : Iya Pak. Dari U
100
= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100, disimpulkan U
n
= 1 + 2 + ....+ n
Jadi kita uji, misalnya n = 3, sehingga diperoleh U
3
= 1 + 2 + 3 = 6
Penjelasan di atas hanya sebagai contoh untuk menjelaskan tahap-tahap untuk
memunculkan intuisi siswa. Skenario tanya jawab tersebut, untuk memungkinkan tahap-tahap
tersebut dapat dilalui. Tentu tidak mudah untuk memunculkan ide dari siswa, sehingga guru
perlu kesabaran dalam melatih munculnya intuisi siswa. Pada awalnya mungkin guru masih
banyak menintervensi ide untuk memecahkan masalah, namun secara bertahap, siswa dibiarkan
untuk mengembangkan idenya sendiri dalam memecahkan masalah.
Di samping strategi pengembangan intuisi yang dilakukan guru dengan menggunakan
metode tanya jawab, pengembangan intuisi dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan
kegagalan-kegalan dalam upaya menemukan ide untuk menyelesaikan soal. Jadi guru tidak
harus melakukan sesuatu yang sempurna dihadapan siswanya, karena kalau setiap
permasalahan diselesaikan oleh guru, maka siswa hanya sebagai obyek bukan subyek
pembelajaran. Dampaknya setelah pembelajaran selesai siswa hanya memiliki catatan jawaban
penyelesaian dan bukan kemampuan untuk menjawab permasalahan.
Mendemonstrasikan Kegagalan-kegagalan dalam upaya menemukan ide adalah upaya
trial and error. Kegiatan trial and error ini merupakan tahap persiapan yang akan mengantar
pada tahap inkubasi dan tahap iluminasi. Dengan kegiatan trial and error tersebut, jalinan
informasi dalam pikiran akan semakin jelas, sehingga skemata menjadi lebih siap untuk
menyelesaikan masalah.
Sebagai contoh, Guru akan menjelaskan penyelesaian dari }
1
3
3
x
dx
.
Karena akan merasionalkan penyebut maka ide yang muncul sesaat adalah menggunakan
substitusi u = x
3
1. Sehingga guru melakukan langkah dengan menggunakan substitusi
tersebut, akhirnya diperoleh du = 3x
2
dx. Pada langkah ini akan mengalami kegagalan karena
tidak akan dapat mengubah integran dalam variabel u. Sehingga harus berpikir ulang untuk
menemukan lagi cara menyelesaikan soal tersebut. Dengan refleksi pada langkah yang gagal,
maka yang dilakukan dengan mengubah substitusi yaitu u
3
= x
3
1. Sehingga diperoleh 3u
2
du
= 3x
2
dx. Pada langkah inipun juga gagal dalam menyelesaikan integral tersebut, karena juga
tidak akan mengubah integran dalam variabel u. Kegagalan demi kegagalan yang
didemonstrasikan guru dapat menyebabkan berkembangnya ide untuk menyelesaikan di
kalangan siswa. Selain itu pula kegagalan yang didemonstrasikan akan memperkuat ingatan
akan teknik integrasi yang digunakan dengan fungsi integran yang sejenis.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

345
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan yaitu:
1. Intuisi adalah kognisi yang self evident (secara subyektif kebenarannya terkandung di
dalamnya), sebagai pengetahuan segera (immediate knowledge), bersifat holistik,
mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif, tanpa suatu proses penalaran secara sadar
(mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat,
menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal
dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan intuitif.
2. Upaya untuk mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah dapat dilakukan
dengan mendisain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang didisain dapat
mendasarkan pada tahapan untuk memunculkan intuisi, yaitu tahap persiapan, tahap
inkubasi, tahap iluminasi dan tahap verifikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J.S. 1977 Bruner on the learning of mathematics A process orientation. Dalam
Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, &
Schmidt.
Edward, Betty. (1996). The Left and Right Sides of the Brain. http://members.ozemail.com.au.
Download 3 Juli 2003
Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D.
Reidel.
Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, Schemata and intuitions in combinatorial
reasoning,Educational Studies in Mathematics 34, 2747.
Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based
Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol
28.
Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In
Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers
Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas
Negeri malang
Mulligan, J.T. & Mitchelmore, M.C. 1997. Young Childrens Intuitive Models of Multiplication
and Division. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol 28. No. 3.
309-330.
Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical
Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

346
Spinoza, B. 1967. Ethics and treatise on the correction of the understanding (A. Boyle, Trans.).
London: Everymans Library Dent
Tall, D. 1991. Intuition and rigour :the role of visualization in the calculus, Visualization in
Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105119
Tall, D. 1992. The transition to advanced mathematical thinking: functions, limits, infinity, and
proof. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and
learning (pp. 495-511). New York: Macmillan
http://www.itpin.com/blog/category/mind-thinking/intuition/ Peranan Intuisi Dalam Kreativitas

Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

347
REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MENCAPAI
TUJUAN YANG BERSIFAT MATERIAL DAN FORMAL


Budi Usodo
Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika
Univ. Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Pembelajaran matematika memuat dua tujuan, yaitu tujuan yang bersifat material
dan formal. Tujuan yang bersifat formal lebih menekankan kepada penataan nalar dan
membentuk kepribadian. Sedangkan tujuan yang bersifat material lebih menekankan
kepada kemampuan matematika dan ketrampilan metematika. Saat ini pembelajaran
matematika kurang memperhatikan pencapaian tujuan yang bersifat formal. Sehingga
kurang diperolehnya nilai edukasi akibat dari pembelajaran matematika. Pemerolehan nilai
edukasi dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1)
dengan memantapkan materi matematika dan (2) dengan mendisain pembelajaran,
sehingga diperolehnya nilai-nilai edukasi. Oleh sebab itu perlu ada upaya untuk
merekonstruksi pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran matematika.
Untuk keperluan tersebut maka perlu perubahan paradigma pembelajaran
matematika dan penilaiannya. Perubahan paradigma pembelajaran meliputi perubahan dari
paradigma mengajar ke paradigma belajar, transfer pengetahuan ke konstruksi
pengetahuan, pembelajaran beorientasi guru ke siswa, dominasi oleh guru ke aktivitas
optimal siswa, mekanistik ke konseptual, pertanyaan apa dan bagaimana ke pertanyaan
mengapa, pencapaian ranah kognitif saja ke semua ranah, pembelajaran minim nilai ke
eksplorasi banyak nilai. Perubahan paradigma penilaian meliputi penilaian yang
menekankan produk saja ke penilaian hasil dan proses, penilaian dengan sedikit model ke
banyak model, penilaian yang bersifat sentralistik ke desentralistik, penilaian yang hanya
sebatas tujuan material ke penilaian tujuan material dan formal termasuk nilai, penilaian
hanya sebatas ranah kognitif ke semua ranah, penilaian yang bersifat diskrit ke kontinyu

Kata kunci : tujuan material, tujuan formal, nilai edukasi, paradigma pembelajaran

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya sadar yang dilakukan agar peserta didik atau siswa dapat
mencapai tujuan tertentu untuk mencapai kedewasaan. Agar siswa dapat mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditentukan, maka diperlukan sesuatu yang digambarkan sebagai
kendaraan untuk membawa siswa ke tujuan tertentu. Dengan demikian pembelajaran
matematika adalah kegiatan pendidikan yang menggunakan matematika sebagai kendaraan:
untuk mencapai tujuan tertentu (Sudjadi, 2000).
Guru matematika atau pendidik matematika hendaknya dapat menggunakan
kendaraan matematika untuk membawa siswa ke tujuan tertentu. Oleh sebab itu pendidik
matematika hendaknya memahami dengan baik tentang matematika yang akan digunakan
sebagai wahana untuk membawa siswa ke tujuan yang ditentukan. Disamping itu juga
mempunyai ketrampilan yang baik bagaimana membelajarkan matematika tersebut. Bila
disadari bahwa matematika dapat berfungsi sebagai kendaraan , mestinya tidak hanya
digunakan untuk hanya hal-hal yang terkait dengan penguasaan materi matematika, namun lebih
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

348
dari itu diharapkan dengan belajar matematika dapat membawa siswa dalam mencapai
kedewasaan. Diantaranya kedewasaan berpikir, bersikap dan bertindak.
Dari beberapa kesempatan bertemu dengan guru-guru baik dalam kegiatan diskusi
maupun kegiatan yang lain, tampaknya dalam praktek pembelajaran matematika selama ini
terkadang masih kita jumpai hal-hal yang agak menyimpang dari kaidah-kaidah pembelajaran
matematika. Contohnya beberapa guru SD dalam mengajarkan konsep perkalian bilangan
negatif dengan bilangan negatif dengan memberikan doktrin bahwa min kali min = plus.
Atau pada operasi pembagian pecahan bahwa pembagian sama dengan perkalian untuk
pecahan yang dibelakang dibalik.
Bila ditelusuri lebih lanjut terkadang dijumpai guru yang mengajarkan dengan cara
tersebut tidak memhami konsep yang diajarkan. Selain itu terkadang guru enggan menjelaskan
secara konseptual tentang konsep yang diajarkannya, menurutnya yang penting siswa dapat
mengerjakan soal.
Contoh lain misalnya, pada beberapa topik matematika seperti menentukan
penyelesaian dari sistem persamaan linear. Pada materi tersebut akhirnya sampai pada
penggunakan prosedur atau cara, baik dengan metode grafik, substitusi, eliminasi maupun
dengan determinan. Mestinya ada beberapa hal yang dapat dibelajarkan pada siswa tidak hanya
sekedar dapat menyelesaikan SPL dengan terlebih dahulu diberikan caranya, yaitu bagaimana
menemukan cara tidak sekedar menggunakan cara. Pembelajaran dengan tipe-tipe tersebut
termasuk bentuk pembelajaran yang bersifat mekanistik.
Dari beberapa contoh di atas dapat digambarkan bahwa ada beberapa hal yang sangat
penting dalam pembelajaran matematika namun terkadang para pendidik meninggalkannya.
Hal yang dimaksud adalah nilai-nilai edukasi yang diperoleh dari pembelajaran, misalnya sifat
kritis, objektif, cermat. Oleh sebab itu perlu ada upaya agar pembelajaran matematika yang
dilaksanakan mencapai tujuan hakiki dari pembelajaran matematika.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah :
Bagaimana merekonstruksi pembelajaran matematika agar mencapai tujuan yang bersifat
material dan formal?

PEMBAHASAN MASALAH
Tujuan Pembelajaran Matematika

Mencermati materi pada kurikulum matematika sekolah, terkadang kita berpikir,
mengapa para siswa diajarkan materi matematika, yang terkadang sangat tidak berkaitan
langsung dengan kehidupan sehari-hari. Bahkan materi matematika tersebut termasuk materi
yang cukup rumit. Sehingga terkadang akan terpikir apakah tidak mubadzir siswa-siswa
diajarkan materi tersebut?
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

349
Beberapa pertanyaan tersebut mestinya sudah mulai terjawab dengan mengingat
kembali makna matematika sekolah dan tujuan pembelajarannya. Matematika sekolah memang
berbeda dengan matematika sebagai ilmu. Matematika sekolah memuat bagian-bagian
matematika yang dipilih dan berorientasi kepada kepentingan kependidikan dan perkembangan
IPTEK (Soedjadi, 2000).
Sedangkan bila dicermati lebih lanjut tujuan pembelajaran matematika baik di sekolah
dasar, sekolah lanjutan, dapat diklasifikasikan ke dalam dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang
bersifat formal dan (2) tujuan yang bersifat material. Tujuan yang bersifat formal lebih
menekankan kepada penataan nalar dan membentuk kepribadian. Sedangkan tujjuan yang
bersifat material lebih menekankan kepada kemempuan menerapkan matematika dan
ketrampilan metematika.
Sebagai contoh, Pada pembelajaran operasi pembagian pecahan di sekolah dasar.
Tentunya siswa diharapkan mampu dalam melakukan operasi pembagian, misalnya
3
2
: 2 .
Dengan cara membalik
3
2
menjadi
2
3
, kemudian mengalikannya dengan 2 diperoleh
3
2
6
2
3
2 = = x . Dengan mengingat bahwa pada pembelajaran matematika terdapat dua tujuan,
maka dalam pembelajaran topik tersebut mestinya tidak cukup hanya sebatas itu, karena hanya
sebatas pada pencapaian tujuan material. Untuk mencapai tujuan yang bersifat formal, tentunya
siswa diarahkan untuk bertanya mengapa langkah yang dilakukan demikian, kemudian siswa
juga diarahkan untuk dapat menjawabnya. Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu
diharapkan dapat melatih agar siswa terbiasa berpikir kritis. Berpikir kritis inilah salah satu
tujuan formal dalam pembelajaran matematika. Tujuan yang bersifat formal dalam
pembelajaran matematika akan merupakan nilai edukasi, yaitu nilai yang diperoleh dari proses
pembelajaran yang secara langsung dan tidak langsung akan bermanfaat dalam kehidupannya.

Pemerolehan Nilai dalam Pendidikan Matematika
Berdasarkan fenomena pembelajaran matematika saat ini, mestinya kita perlu
mencermati kembali tujuan pembelajaran matematika kususnya tujuan yang bersifat formal.
Karena dengan tercapainya tujuan matematika yang bersifat formal maka pembelajaran
matematika akan memberikan sesuatu yang bukan hanya berupa penguasaan kemampuan dan
ketrampilan matematika. sesuatu itu disebut nilai (value). Pembentukan nilai dalam
pembelajaran matematika dapat terjadi dengan dua cara, yaitu akibat penguasaan materi
matematika secara baik dan pembelajaran yang dirancang untuk memperoleh nilai tersebut
(Jack R, 1977).
Menyimak karakteristik matematika yang meliputi (1) memiliki objek kajian abstrak,
(2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola pikir deduktif, (4) memiliki simbol yang kosong
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

350
dari arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, (6) konsisten dalam sistemnya, memberikan
gambaran bahwa dengan mempelajari matematika maka secara tidak langsung terkait dengan
hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik matematika (Soedjadi, 200). Oleh sebab itu bila
seseorang belajar matematika dengan baik, maka sifat-sifat seperti menghargai kesepakatan,
konsisten dalam bertindak, selalu bertumpu pada ketentuan (semesta pembicaraan) secara
otomatis akan melekat pada diri orang tersebut. Dengan demikian nilai pada diri sesorang dapat
terjadi dengan mempelajari matematika secara baik.
Pembentukan nilai akibat dari penguasaan secara baik dapat digambarkan sebagai
berikut :














Lingkaran yang di dalam memberikan gambaran penguasaan materi matematika.
Tentunya penguasan matematika yang dimaksudkan, adalah penguasaan matematika secara
baik. Tidak sekedar penguasaan matematika yang hanya akan digunakan untuk menyiasati
dalam mengerjakan ujian-ujian dengan bentuk tes obyektif. Pembelajaran yang dilaksanakan
hendaknya tidak dilaksanakan secara mekanistik, tetapi lebih banyak dilakukan untuk
menjawab pertanyaan mengapa.
Lingkaran tengah memberikan gambaran tentang nilai-nilai matematika yang langsung
didapatkan dari penguasaan matematika, misalnya penataan nalar, ketelitian, kecermatan, kritis,
banyak ide, dan lain-lain. Semakin baik penguasaan matematika pada lingkaran yang di dalam,
maka semakin banyak dan terasa nilai-nilai yang diperolehnya. Sebagai contoh pada
pembelajaran operasi pada bilangan. Bila pembelajaran tersebut sampai pada konsep operasi,
tidak hanya bagaimana mengoperasikan, maka menjadikan siswa tersebut kritis sebelum
melakukan sesuatu. Karena siswa tersebut terbiasa berpikir mengapa caranya demikian. Karena
terbiasa berpikir sebelum mengoperasikan bilangan, hingga diperoleh pula sifat teliti. Lain
halnya kalau siswa hanya belajar bagaimana mengoperasikan bilangan, yang mungkin terjadi
adalah sikap yang penurut seperti robot.
Sedangkan lingkaran yang di luar menggambarkan nilai-nilai yang tidak secara
langsung diperoleh dari penguasaan materi matematika. Nilai tersebut diperoleh dari
karakteristik matematika ataupun dari nilai-nilai langsung yang digambarkan pada lingkaran
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

351
tengah. Nilai-nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan nyata, misalnya sikap
demokratis, taat aturan, konsisten dalam segala hal, selalu berpikir objektif dan lain-lain.
Pembentukan nilai juga dapat dilakukan dengan merancang pembelajarannya yang
secara sengaja memasukkan nilai-nilai dalam tujuan pembelajarannya (Soedjadi, 2000). Model-
model pembelajaran inovatif yang berkembang saat ini banyak nilai-nilai yang diperoleh.
Misalnya pelaksaan model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan sikap saling
menghargai, sikap saling bekerjasama, mempunyai sikap bersaing secara sehat, menumbuhkan
keberanian dalam berpendapat. Selain model-model pembelajaran inovatif yang ada, sebagai
guru dapat mengembangkan pembelajaran sehari-hari untuk memperoleh nilai. Sebagai contoh
dapat disajikan kegiatan belajar mengajar pada siswa SMP topik jajargenjang.
1) siswa diberikan sebuah segitiga ABC. Pada salah satu titik tengah sisi segitiga ABC misal
titik P titik tengah dari AC, siswa diminta memutar segitiga ABC searah jarum jam sebesar
180
o
. Bila segitiga pada letak awal dan akhir dijiplak maka diperoleh sebuah bangun
segiempat yang diberi nama jajr genjang ABCB.
2) Siswa diminta mengamati hasil kerjanya dan mencari sisi-sisi dan sudut yang sama, sebagai
akibat pemutaran itu. Temuan masing-masing ditulis.
3) Berdasar temuan masing-masing siswa, siswa yang bersangkutan diminta membuat kalimat
definisi.
4) Tentu akan diperoleh beberapa definisi sesuai dengan temuan siswa
5) Guru mencermati setiap definsi yang didapatkan oleh siswa dan mendiskusikan mana yang
benar dan mana yang salah.
6) Selanjutnya secara bersama-sama dengan siswa guru menentukan sifat-sifat jajargenjang
dari suatu definsi yang ditemukan dari siswa.
Kalau diperhatikan secara seksama, rancangan pembelajaran tersebut secara sengaja
memasukkan nilai-nilai edukasi sesuai dengan ranah afektif dan psikomotor. Siswa dapat secara
langsung aktif membentuk bangun jajargenjang. Selanjutnya siswa dituntut cermat dalam
mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama. Kemudian siswa secara bebas mengemukakan
pendapatnya untuk merumuskan definisi jajargenjang. Dari beberapa pendapat mungkin tidak
sama bahkan ada yang saling bertentangan. Namun akhirnya diperleh suatu kesepakatan untuk
mendefinisikan jajargenjang.
Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa dalam pembelajaran matematika
dapat dirancang untuk menumbuhkan sikap demokrasi (tidak hanya dalam ucapan). Siswa dapat
dilatih untuk bekerja dengan cermat serta dapat mengemukakan pendapatnya. Siswa dilatih
untuk menerima perbedaan dan menghargai perbedaan tersebut. Dari beberapa perbedaan yang
ada siswa dilatih juga untuk membuat kesepakatan.
Gambaran hasil belajar tersebut, ternyata akan sangat bermanfaat dalam hidup
bermasyarakat kelak. Hal tersebut yang menjadi salah satu outcome dari pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

352
matematika. Dengan demikian pembelajaran matematika tidaklah hanya menghasilkan output
yang pandai matematika tetapi yang lebih penting adalah hal-hal yang sangat erat kaitannya
dalam hidup bermasyarakat yang baik dapat dipelajarinya sejak dini.

Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika
Terkadang menjadi suatu ironi, bila terdapat guru yang ingin tampil sempurna
dihadapan muridnya dengan cara dalam melaksanakan pembelajaran matematika cenderung
untuk menyampaikan informasi secara tuntas. Siswa yang dihadapinya hanyalah menjadi
penonton yang terkagum-kagum akan penampilan sempurna gurunya. Semua materi seakan-
akan sangat dikuasainya, sehingga semua soal-soal matematika dikerjakannya dihadapan
siswanya. Semua pertanyaan siswanya selalu dijawab tanpa memberikan kesempatan siswa
yang lain untuk terlibat dalam menjawab. Akhirnya diperoleh gambaran dari pembelajaran
tersebut siapa sebenarnya yang belajar, guru atau siswa?
Ilustrasi di atas memberikan sebuah gambaran bahwa ada yang salah dengan proses
tersebut. Pada suatu pembelajaran, pada prinsipnya yang belajar adalah siswa bukanlah guru.
Oleh sebab, pembelajaran yang dilaksanakan semaksimal mungkin dapat mejadikan siswa
belajar dengan optimal. Dengan demikian siswa dapat melakukan proses yang disebut
matematisasi. Matematisasi yaitu proses untuk menemukan konsep matematika dengan
berbuat (by doing mathematics), melakukan refleksi terhadap tindakannya lalu menemukan
konsep-konsep, sifat-sifat konsep, hubungan antara konsep-konsep, aturan-aturan atau prinsip.
Siswalah yang mengkonstruksinya. Dengan demikian siswa hendaknya diberikan kesempatan
yang cukup untuk mengkontruksi pengetahuan tersebut ( Marpaung 2002)
Pengetahuan tidaklah cukup hanya dengan ditransfer dari mereka yang sudah tahu
(guru) kepada mereka yang sedang belajar (siswa). Jadi dalam pembelajaran matematika guru
tidak memindahkan pengetahuan dari pikirannya ke pikiran siswa lewat ceramah. Namun yang
harus dilakukan guru adalah membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan itu ke dalam
pikirannya. Guru menciptakan situasi belajar yang memungkinkan siswa melakukan proses
konstruksi. Saat ini telah cukup banyak pendekatan dan model pembelajaran untuk tujuan
tersebut yang dikembangkan oleh para ahli, misalnya pembelajaran kooperatif, pembelajaran
kontekstual, pembelajaran matematika realistik dan masih banyak lagi lainnya.
Di samping guru menciptakan kondisi agar siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya secara optimal, tentunya juga dapat mengemas materi ajar agar bermakna bagi
siswa. Hal ini berarati siswa menyadari bahwa matematika yang dipelajarinya kelak akan
merupakan sesuatu yang penting dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Oleh
sebab itu mestinya guru dapat mengemas materi ajar agar realistik bagi siswa. Pendekatan
pembelajaran kontekstua/realistik dapat menjadi salah satu pendekatan pembelajaran yang
dipilih untuk keperluan tersebut.
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

353
Di lain pihak tuntutan perkembangan jaman tidak cukup siswa mengetahuai materi
matematika (secara kognitif). Era globalisasi menuntut persaingan yang keras, namun tetap
dalam kerangka manusia yang berbudaya. Oleh sebab itu tujuan pembelajaran tidaklah cukup
pada domain koginif saja, namun hendaknya meluas pada domain yang lain. Pembelajaran
matematika hendaknya pada perolehan nilai-nilai edukasi. Guru hendaknya mengoptimalkan
pembelajaran agar nilai-nilai edukasi tersebut sebanyak mungkin dapat diperoleh dari
pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan demikian guru dituntut untuk mampu merancang
pembelajaran matematika agar diperoleh nilai-nilai edukasi tersebut.
Mengamati praktek pembelajaran selama ini, memang masih sangat jarang yang
dilakukan guru agar sesuai dengan gambaran di atas. Hal ini dapat dimaklumi karena kebiasaan
yang sudah cukup lama mempunyai kecenderungan untuk sulit diubah. Selain itu karena adanya
kondisi tertentu, misalnya guru diberi target waktu untuk menuntaskan materi ajar, sarana dan
prasarana yang ada, sistem penilaian yang berlaku, yang kesemuanya ini akan menyulitkan
untuk merubah paradigma pembelajaran matematika.
Perubahan paradigma pembelajaran ini dapat dilakukan secara makro dan mikro. Secara
makro yaitu dengan mengubah sistem pendidikan secara nasional. Hal ini sering dilakukan
dengan selalu mengubah kurikulum. Namun terkadang perubahan tersebut tidak membawa
perubahan secara substansial. Oleh sebab itu perubahan secara mikro yang mungkin dapat
dilakukan. Guru berinisiatif sendiri melakukan perubahan paradigma pembelajaran walaupun
hal ini jelas-jelas akan menuntut pengorbanan pikiran, waktu dan biaya. Tetapi kalau tidak
melakukan reformasi pembelajaran kapan pembelajaran matematika akan membawa suatu
perubahan?

Perubahan Paradigma Penilaian Pembelajaran Matematika
Sistem penilaian yang dilaksanakan sekarang lebih banyak menggunakan tes dengan
bentuk obyektif. Dengan sistem semacam itu akan berdampak luar biasa dalam pembelajaran
matematika. Hal-hal yang terkait dengan tujuan yang bersifat formal seakan tidak tersentuh.
Dengan demikian pembelajaran matematika yang terjadi saat ini seakan-akan hanya beorientasi
pada pencapaian tujuan yang bersifat material. Walaupun hal tersebut tidak sepenuhnya
substansial. Sehingga kemungkinan yang dapat terjadi, guru matematika dalam membelajarkan
matematika lebih menekankan bagaimana siswanya nanti dapat mengerjakan soal-soal
metematika yang bentuknya obyektif tersebut. Bahkan kadang-kadang yang terjadi pada
pembelajaran matematika seakan hanya mengajarkan siswanya bagaimana menyelesaikan soal
matematika dengan cepat. Tes bukan lagi alat mengukur sejauh mana siswa telah mencapai
tujuan. Bahkan ada siswa lebih rajin mengikuti bimbingan tes yang ditawarkan oleh lembaga-
lembaga bimbingan tes dengan menawarkan metode smartnya, dibandingkan dengan mengikuti
pelajaran sekolah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

354
Gambaran di atas menunjukkan bahwa penilaian yang dilaksankan lebih menekankan
pada hasil belajar. Padahal menurut Herman Hudoyo (1988) hasil belajar dan proses belajar
sama-sama penting. Dalam belajar terjadi proses berpikir. Seseorang dikatakan berpikir bila
orang itu melakukan kegiatan mental, bukan sekedar kegiatan motorik, walaupun kegiatan
motorik ini dapat bersama-sama dengan kegiatan mental tersebut. Dengan demikian penilaian
hasil belajar harus dapat mengungkap aktivitas mental tersebut,
Menilik dari perubahan paradigma pembelajaran, tentunya sistem penilaian serta
alatnya juga berubah. Penilaian pembelajaran matematika mestinya lebih mengoptimalkan
pada penilaian proses belajar. Dengan demikian penggunaan tes obyektif kemungkinan menjadi
kurang efektif untuk keperluan tersebut. Karena tes obyektif hanya mementingkan produk dari
pada proses. Tes obyektif sulit untuk mengukur tingkat kognitif yang tinggi (analisis, sintesis,
penilaian).
Keberadan penggunaan tes obyektif pada saat ini dan beberapa saat yang lalu memang
menjadi suatu pilihan karena selama ini sistem penilaian bersifat sentralistik. Sehingga populasi
testi cukup besar. Memang secara administratif penggunaan tes obyektif menjadi sangat efisien.
Namun demikian bila sistem penilaian tersebut tetap diberlakukan kemungkinan praktek
pembelajaran matematika semakin tidak semestinya. Nampaknya hal ini mulai disadari oleh
penentu kebijakan, sehingga pola-pola yang sifatnya sentralistik mulai ditiadakan.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka sistem penilaian tidak sentralistik
lagi. Dengan kebijakan tersebut mestinya dapat ditangkap untuk membenahi sistem penilaian
agar lebih berorientasi pada proses. Hal ini dapat dilakukan dengan misalnya melaksanakan
ujian dengan bentuk tes uraian. Tes uraian yang dikembangkan hendaknya tidak hanya sekedar
untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana, tetapi lebih ke pertanyaan mengapa. Dengan
tes semacam itu, maka pembelajaran matematika tidak memungkinkan lagi dilakukan terjadi
secara mekanistik.
Pembenahan sistem penilaian juga dapat dilakukan dengan mengembangkan model-
model penilaian yang lebih berorientasi pada proses, misalnya penilaian potofolio, penilaian
berbasis kelas, penilaian konerja dan yang lain.
Di samping hal-hal tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa
pembelajaran matematika hendaknya dapat mencapai dua tujuan yaitu tujuan material dan
formal. Sampai saat ini memang belum dikembangkan suatu tes yang dapat mengkur
pencapaian tujuan yang bersifat formal. Namun demikian mungkin dapat dikembangkan alat
penilaian non tes yang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, misalnya observasi, angket.
Dengan sistem penilaian tersebut maka pembelajaran matematika tidak hanya sekedar
pencapaian ranah kognitif saja, namun dapat meluas ke ranah yang lain. Sehingga pembelajaran
matematika mempunyai makna lebih bagi perkembangan siswa, karena selain diperolehnya
Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012

355
kemampuan material, juga nilai-nilai edukasi. Nilai-nilai edukasi inilah yang jelas-jelasi akan
bermanfaat pada kehidupannya kelak.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika harus diarahkan
untuk mencapai tujuan secara material dan formal. Agar pembelajaran matematika dapat
mencapai tujuan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma
pembelajaran dan penilaiannya, yaitu : Perubahan dari paradigma mengajar ke paradigma
belajar, transfer pengetahuan ke konstruksi pengetahuan, pembelajaran beorientasi guru ke
siswa, dominasi oleh guru ke aktivitas optimal siswa, mekanistik ke konseptual, pembelajaran
yang menekankan pertanyaan apa dan bagaimana ke pertanyaan mengapa, indoktrinasi ke
rasional, pencapaian tujuan material saja ke semua tujuan (material dan formal), pembelajaran
minim nilai ke eksplorasi banyak nilai.
Perubahan paradigma penilaian meliputi penilaian yang menekankan produk saja ke
penilaian hasil dan proses, penilaian dengan sedikit model ke banyak model, penilaian yang
bersifat sentralistik ke desentralistik, penilaian yang hanya sebatas tujuan material ke penilaian
tujuan material dan formal termasuk nilai, penilaian hanya sebatas ranah kognitif ke semua
ranah, penilaian yang bersifat diskrit ke kontinyu
DAFTAR PUSTAKA

Frankel Jack R. (1977). How To Teach About Value, ______________
Herman Hudoyo, (1988). Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud, Jakarta
Marpaung, Yansen (2002). Reformasi Pembelajaran matematika dan Penilaiannya, Pada
Seminar Regional Pendidikan Matematika, Pascasarjana UNS, 22 Mei 2002
Soedjadi, (2000), Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta
_______, (1986). Studi Tentang Nilai-nilai Filosofik Pelajaran Matematika. Pusat Penelitian
IKIP Surabaya





Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2012 Pendidikan Matematika 3

356

You might also like