You are on page 1of 72

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sejak ditemukannya jenis-jenis pestisida organofosfat dan karbamat di awal tahun 1940-an maka banyak ahli yang mengira bahwa masalah hama dan organisme pengganggu tanaman (OPT) telah terselesaikan dengan melakukan penyemprotan pestisida. Pada awalnya memang cara ini memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun akhirnya ditemukan bahwa hama-hama tanaman lama kelamaan mulai mengembangkan ketahanan terhadap pestisida. Penyemprotan dengan pestisida secara berulang-ulang dan dalam dosis yang semakin tinggi telah memberikan dampak negatif karena selain hama menjadi tahan terhadap pestisida juga terjadi perkembangan hama baru, terbunuhnya musuh-musuh alami dan organisme non target lainnya seperti burung, ular dan hewan-hewan langka. Selain itu penyemprotan telah mengakibatkan adanya residu pestisida pada hasil-hasil tanaman, air, tanah dan udara serta pencemaran lingkungan secara umum yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan-hewan domestik. Di Indonesia, dimana sebagian besar petani berpendidikan rendah untuk menghadapai masalah hama dan penyakit yang kompleks itu tidaklah mudah. Bagi kebanyakan petani untu menghadapi masalah hama dan penyakit satu-satunya jalan yang baik dan termudah adalah dengan penyemprotan pestisida secara berulang-ulang tanpa memikirkan faktor-faktor lingkungan, kesehatan, keamanan, bahkan ekonomi (Sembel, 2008). Mereka seringkali mengambil jalan pintas tanpa perhitungan ilmiah. Hal inilah yang sebenarnya merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan timbulnya hama dan penyakit. Pada saat itu para ahli menyadari bahwa pengendalian hama dengan penyemprotan pestisida bukanlah satu-satunya cara yang tepat tetapi harus dilihat secara komprehensif dengan memperhatikan nilai-nilai ekologis, ekonomi dan kesehatan lingkungan secara umum melalui program yang kini dikenal dengan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM).

1.2

Tujuan Praktikum Adapun tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui dan memahami budidaya yang

baik dan benar serta pengelolaan hama terpadu pada tanaman budidaya (cabe, terung, padi, jagung, ketimun).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1
2.1.1

Pengelolaan Hama Terpadu Latar Belakang PHT Sejak ditemukannya jenis-jenis pestisida organofosfat dan karbamat di awal tahun

1940-an maka banyak ahli yang mengira bahwa masalah hama dan organisme pengganggu tanaman (OPT) telah terselesaikan dengan melakukan penyemprotan pestisida. Pada awalnya memang cara ini memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun akhirnya ditemukan bahwa hama-hama tanaman lama kelamaan mulai mengembangkan ketahanan terhadap pestisida. Penyemprotan dengan pestisida secara berulang-ulang dan dalam dosis yang semakin tinggi telah memberikan dampak negatif karena selain hama menjadi tahan terhadap pestisida juga terjadi perkembangan hama baru, terbunuhnya musuh-musuh alami dan organisme non target lainnya seperti burung, ular dan hewan-hewan langka. Selain itu penyemprotan telah mengakibatkan adanya residu pestisida pada hasil-hasil tanaman, air, tanah dan udara serta pencemaran lingkungan secara umum yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan hewan-hewan domestik. Pada saat itu para ahli menyadari bahwa pengendalian hama dengan penyemprotan pestisida bukanlah satu-satunya cara yang tepat tetapi harus dilihat secara komprehensif dengan memperhatikan nilai-nilai ekologis, ekonomi dan kesehatan lingkungan secara umum melalui program yang kini dikenal dengan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM). Program PHT telah dimulai di Indonesia sejak tahun 1986 untuk tanaman padi yang diawali dengan dikeluarkannya larangan oleh pemerintah Indonesia terhadap 56 jenis insektisida untuk digunakan menyemprot hama-hama tanaman padi. Namun sampai saat ini program PHT belum dikembangkan secara luas untuk tanaman pertanian di Sulawesi Utara.

2.1.2

Pengertian Pengelolaan Hama Terpadu Pengelolaan Hama Terpadu merupakan program pengelolaan pertanian secara terpadu

dengan memanfaatkan berbagai teknik pengendalian yang layak (kultural, mekanik, fisik dan hayati) dengan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan budaya untuk

menciptakan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan dengan menekan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh pestisida dan kerusakan lingkungan secara umum. Penyemprotan pestisida harus dilakukan secara sangat berhati-hati dan sangat selektif bilamana tidak ada lagi cara lain untuk menekan populasi hama di lapang. PHT pada dasarnya adalah penerapan sisten bercocok tanam untuk menghasilkan tanaman yang sehat, kuat, berproduksi tinggi dan berkualitas tinggi. Pada prinsipnya, konsep pengendalian hama terpadu adalah pengendalian hama yang dilakukan dengan mengggunakan kekuatan unsur-unsur alami yang mampu mengendalikan hama agar tetap berada pada jumlah di bawah ambang batas yang merugikan. Pengendalian hama terpadu berpegang pada prinsi-prinsip sebagai berikut : 1. Pemanfaatan pengandalian alami (secara biologis dan mekanis) seoptimal mungkin, dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat mematikan musuh alami atau organism yang bukan sasaran. 2. Pengolahan ekosistem dengan mengubah microhabitat sehingga tidak menguntungkan bagi kehidupan organism pengganggu (hama dan pathogen), melalui teknik budidaya yang intensif : penanaman bibit dari varietas yang tahan hama dan penyakit, pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama dan pathogen, sanitasi (kebersihan) lingkungan pengolahan tanah secara intensif, pemberian air pengairan yang sehat, pemupukan yang berimbang menurut kebutuhan, dan pengaturan jarak tanam. 3. Penggunaan pestisida secara bijaksana, yaitu dengan memperhatikan waktu, dosis, dan efektivitas. Pestisida harus digunakan pada saat yang tepat, yakni pengendalian dengan cara lain sudah tidak memungkinkan lagi. Dosis juga harus tepat, menurut kondisi setetmpat dan luas areal yang terserang. Dengan demikian, efek letal pestisida tidak mempengruhi areal pertanaman yang lain. Penggunaan pestisida juga harus efektif, yaitu memilih jenis pestisida yang mempunyai daya racun tinggi dan hanya mematikan hama atau pathogen sasaran.

2.1.3

Unsur-Unsur PHT Terdapat empat unsur dasar setiap program PHT adalah pengendalian alamiah,

pengambilan (sampling), tingkat ekonomik dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang biologi dan ekologi dari semua jenis serangga yang penting dalam sistem itu. Setiap unsur adalah

penting dan memberikan bantuan peran yang lebih besar kepada semua komponen yang dapat diterapkan dan disesuaikan dalam setiap pengelolaan serangga hama. A. Pengendalian Alamiah (Natural Control) Pengendalian secara alamiah, yaitu pengendalian dengan menggunakan predator dan parasit atau pengendalian secara hayati (biologis) yang terjadi di alam. Dalam hal ini apabila populasi serangga hama rendah maka serangga tersebut bukan merupakan hama yang mengganggu.

B.

Tingkat Ekonomik (Ambang Ekonomi) Tingkat ekonomik atau ambang ekonomi adalah sampai berapa tinggi tingkat

populasi serangga hama, sehingga pengendalian perlu dimulai untuk mencegah kerusakan ekonomis lebih lanjut dari tanaman yang dibudidayakan tersebut. Apabila serangga hama telah merugikan bagi petani, serta telah menurunkan kualitas dan hasil produksi tanaman yang dibudidayakan oleh petani tersebut maka hal tersebut yang disebut telah mencapai ambang ekonomi. Maka tindakan menggunakan pestisida baru akan diambil oleh petani untuk memusnahkan hama dan penyakit tersebut.

C.

Biologi dan Ekologi Serangga Pengetahuan tentang biologi dan ekologi serangga hama dan serangga-serangga yang

berguna adalah sangat penting dalam menyusun strategi pengendalian terutama dalam pengendalian hama dan penyakit. Informasi baru tentang hama dapat memeberikan kunci atau bahkan cara yang lebih baik dalam memecahkan masalah hama tersebut. Hal tersebut dilakukan juga untuk menghindari agar hama tidak resisten terhadap pestisida, dikarenakan hal tersebut dampak mengakibatkan meledaknya penggunaan pestisida itu sendiri. Pestisida pun tidak baik untuk manusia dan lingkungan, sebaiknya penggunaan pestisida disesuaikan dengan biologi dan ekologi serangga tersebut.

2.2 2.2.1

Tanaman Cabai Morfologi Cabai Klasifikasi tanaman cabai sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida Ordo Familia : Solanales : Solanaceae

Genus : Capsicum Species : Capsicum annuum

Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh para pelancong. Jenis dan ragam tanaman cabai cukup banyak, diperkirakan terdapat 20 jenis cabai di seluruh dunia. Jenis cabai yang umum dibudidayakan oleh masyarakat adalah C. annuum, C. frutescens, C. chinense, C. pendulum dan C. pubescens (Basu et al. 2003). Buah cabai memiliki rasa dan aroma yang khas, beberapa jenis kuliner nusantara menggunakan cabai sebagai salah bahan pelengkapnya. Buah cabai mengandung vitamin, gizi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. Buah cabai tidak hanya dimanfaatan sebagai bahan penambah rasa, aroma atau hiasan pada makanan, buah cabai juga digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan obat-obatan (Duke 2002).

2.1.1.1

Akar Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar

serabut saja. Biasanya di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang berfungsi sebagai akar tunggang semu.

2.1.1.2

Batang dan Cabang Cabai merupakan tanaman berkayu dengan panjang batang utama berkisar antara 20-

28 cm dan diameter batang antara 1.5-2.5 cm (Hewindati 2006). Percabangan batang berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm dengan diameter cabang dikotom sekitar 0.5-1 cm.

Bentuk percabangan menggarpu dengan posisi daun berselang-seling, daun berbentuk hati, lonjong atau agak bulat telur (Dermawan 2010).

2.1.1.3

Daun Daun tersebar atau bersama-sama kemudian berbeda dalam ukuran. Panjang tangkai

0,5 - 2,5 cm. Helaian daun bulat telur memanjang atau ellips bentuk lanset. Pangkal meruncing. Ujung meruncing. Permukaan gundul (glaber). Pertulangan daun menyirip. Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Warna permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus adapula yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3 - 11 cm, dengan lebar antara 1 - 5 cm

2.1.1.4

Bunga Bunga cabai berbentuk seperti terompet atau bintang dengan warna bunga umumnya

putih, namun ada beberapa jenis cabai yang memiliki warna bunga ungu. Bunga cabai termasuk bunga sempurna, karena mempunyai struktur bunga yang lengkap seperti tangkai, dasar, kelopak, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina.

2.1.1.5

Buah Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok. Bagian ujung buah

meruncing, mempunyai permukaan yang licin dan mengkilap, posisi buah menggantung pada cabang tanaman. Buah cabai mempunyai bentuk dan warna yang beragam, namun setelah masak sebagian besar berwarna merah.

2.2.2

Syarat Tumbuh Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30C. Bila tumbuh pada

suhu tanah yang rendah (<15C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat, bisa mencapai 2 minggu. Bila suhu lingkungan sekitar 40C pada masa tanaman berbunga, bunga tersebut akan rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang terbentuk juga menjadi berkurang. Suhu yang terlalu rendah (10C), seperti pada daerah subtropik, dapat menghambat proses

pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Suhu lingkungan optimal untuk pembungaan bunga yaitu 24 -25C. Kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350 450 mm selama masa pertumbuhan kedelai.

2.2.3 2.2.3.1

Budidaya Tanaman Cabai Persiapan Lahan Budidaya tanaman cabai harus diperhatikan sejak persiapan lahan, karena akan

berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta sekaligus sebagai penerapan prinsip PTT. Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan mencangkul untuk membersihkan lahan dari kotoran akar bekas tanaman lama dan segala macam gulma yang tumbuh. Hal tersebut dilakukan agar pertumbuhan akar tanaman cabai tidak terganggu dan untuk menghilangkan tumbuhan yang menjadi inang hama dan penyakit. Apabila lahan skala luas banyak ditumbuhi gulma, pembersihannya dapat menggunakan herbisida sistemik dengan bahan aktif isopropil amina glifosat dengan dosis 2 - 4 liter per hektar. Selanjutnya lahan dibajak dan digaru dengan hewan ternak ataupun dengan bajak traktor. Pembajakan dan penggaruan bertujuan untuk menggemburkan, memperbaiki aerasi tanah dan untuk menghilangkan organisme penggangu tanaman (OPT) yang bersembunyi di tanah. Selain persiapan tersebut di atas ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan sebagai berikut. 1. pH tanah diusahakan 6 - 7, apabila pH kurang lakukan penaburan kapur pertanian atau dolomit untukmeningkatkan pH. Tanah yang terlalu asam akan menyebabkan daun cabai berwarna putih kehijauan, serta rentan terhadap serangan virus dan penyebab penyakit lainnya. Pengukuran pH tanah juga perlu dilakukan dengan alat pH meter atau dengan kertas lakmus. Untuk menaikkan pH tanah dilakukan pengapuran lahan menggunakan dolomit atau kapur gamping dengan dosis 2 - 4 t/ha atau 200 - 400 g/m2 tergantung pH tanah yang akan dinaikkan. Kapur diberikan pada saat pembajakan atau pada saat pembuatan bedengan bersamaan dengan sebar kompos atau pupuk kandang. 2. Setelah tanah diolah sempurna dibuat bedengan dengan ukuran lebar 100 - 110 cm, tinggi bedengan 40 - 60 cm, jarak antar bedengan 80 cm, panjang bedengan 10 - 12 m atau disesuaikan lebar parit, dan lebar parit 50 - 60 cm. Mengingat sifat tanaman cabai yang

tidak bisa tergenang air, maka dalam pengaturan/ploting bedengan dan pembuatan parit harus ada saluran drainase yang baik. 3. Pupuk kandang yang diperlukan sebanyak 10 - 20 t/ha atau 0,5 - 1 zak untuk 10 m panjang bedengan. Pemupukan dilakukan dengan cara menabur pupuk secara merata di atas bedengan. Luas lahan 1.000 m2 diperlukan pupuk urea 35 kg, SP36 20 kg, KCl 20 kg, dan pupuk kandang 1.500 - 2000 kg. 4. Bedengan untuk tanaman cabai bisa menggunakan mulsa plastik ataupun tidak. Penggunaan mulsa plastik membawa konsekuensi menambah biaya. Kegunaan menggunakan mulsa adalah : Manfaat mulsa warna hitam yaitu menahan sinar matahari sehingga memberikan warna gelap yang dapat menekan pertumbuhan gulma; Manfaat mulsa warna perak yaitu dapat memantulkan sinar matahari dan mempengaruhi perkembangan hama terhambat; Suhu dan kelembaban tanah relatif stabil; Menghindarkan hilangnya unsur hara oleh guyuran air hujan dan penguapan; Buah cabai yang berada di atas permukaan tanah terhindar dari percikan air tanah sehingga dapat mengurangi risiko berjangkitnya penyakit busuk buah; Mengurangi pekerjaan penyiangan dan penggemburan tanah; Menekan penguapan air dari dalam tanah. Mulsa plastik hitam perak dipasang dan dibuat lubang tanam, dengan jarak tanam 50 x 65 cmpada daerah rendah dan 60 x 70 cm pada daerah tinggi, yang dilakukan secara zigzag atau sejajar.

2.2.3.2

Pembibitan Pembibitan Penyemaian benih dalam pembibitan cabai diperlukan benih yang berkualitas dan

media tumbuh yang baik. Sungkup atau naungan dibuat dengan mempertimbangkan arah sinar

matahari bergerak. Prinsipnya pada pagi hari bisa mendapatkan sinar matahari secara optimal. Bila perlu dipersiapkan insect screen untuk menjaga agar bibit tidak terserang serangga, terutama pada lokasi endemik hama tanaman cabai. Media pembibitan dapat dibuat dengan campuran sebagai berikut. Mencampurkan 1 bagian pupuk kompos + 1 bagian sekam bakar + 1 bagian top soil tanah yang telah diayak halus lalu diaduk rata dan ditambah dengan karbofuran sesuai dosis anjuran. Media dimasukan ke dalam polybag ukuran 8 x 9 cm dan disusun di bawah naungan atau sungkup yang telah disiapkan. Susunan harus teratur agar tanaman mudah dihitung dan mudah dalam pemeliharaan. Polybag yang tersusun rapi diberi/disemprot air secukupnya sampai basah. Menyiapkan benih cabai 14.000 batang/ha untuk cabai keriting dan ditambahkan 10 % atau lebih populasi tanaman untuk penyulaman.

2.2.3.3

Penanaman Penanaman bibit pada bedengan dilakukan setelah berumur 21 24 hari. Jarak tanam

50 x 60 cm untuk dataran rendah dan 60 x 75 cm untuk dataran tinggi. Untuk menanggulangi stress saat pindah tanam, penanaman dilakukan pada sore hari atau pagi hari sekali. Setelah selesai tanam dilakukan penyiraman air secukupnya dengan cara disemprotkan dengan tekanan rendah dan merata sampai keakarnya. Penanaman diusahakan serentak selesai dalam 1 hari. Penanaman menggunakan mulsa Penanaman tanpa menggunakan mulsa

2.2.3.4 Pemeliharaan Tanaman 2.2.3.4.1 Pengairan Air sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanam. Kekurangan air pada tanaman cabai akan menyebabkan tanaman kerdil, buah cabai menjadi kecil dan mudah gugur. Ada empat cara pengairan yang dapat dilakukan pada tanaman cabai yaitu : 1) pemberian air permukaan tanah meliputi penggenangan (flooding), biasanya

dipersawahan dan pemberian air melalui saluran-saluran dan dalam barisan tanaman; 2) pemberian air di bawah permukaan tanah dilakukan dengan menggunakan pipa yang dibenamkan di dalam tanah; 3) Pengairan dengan irigasi tetes penyiraman sangat efisien, misalnya pada tanah bertekstur kasar, efisiensi dengan menyiram dua kali lebih tinggi dari pemberian air permukaan; 4) Pemberian air dengan irigasi tetes, air diberikan dalam kecepatan rendah di sekitar tanaman dengan menggunakan emitter. Pada pemberian air dengan menyiramdan irigasi tetes dapat ditambahkan pertisida atau pupuk.

2.2.3.4.2 Pemasangan Ajir Pemasangan ajir dilakukan pada tanaman umur 7 hst, ajir dibuat dari bambu dengan tinggi 1 - 1,5 m. Apabila ajir terlambat dipasang akanmenyebabkan kerusakan pada akar yang sedang berkembang. Pengikatan tanaman pada ajir dilakukan mulai umur 3 minggu sampai dengan 1 bulan yaitu mengikatkan batang yang berada di bawah cabang utama dengan tali plastik pada ajir. Pada saat tanaman berumur 30 - 40 hst, ikat tanaman di atas cabang utama dan

ikat juga pada saat pembesaran buah yaitu pada umur 50 - 60 hst, agar tanaman tidak rebah dan buah tidak jatuh.

2.2.3.4.3 Pewiwilan / Perempelan Tunas yang tumbuh di ketiak daun perlu dihilangkan dengan menggunakan tangan yang bersih. Perempelan dilakukan sampai terbentuk cabang utama yang di tandai dengan munculnya bunga pertama. Tujuan perempelan untuk mengoptimalkan pertumbuhan.

2.2.3.4.4

Pemupukan Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman cabai biasanya memerlukan pupuk tambahan/susulan. Caranya

dengan menyiapkan ember atau tong besar ukuran 200 l, masukkan 10 kg kompos, ditambah 5 kg NPK 16-16-16, (2 sendok makan untuk 10 l air). Campuran ini diaduk merata untuk 2000 pohon (100 ml per pohon). Pemupukan dilakukan dengan kocor setiap minggu, dimulai pada umur 14 hst sampai dengan minimal 8 kali selama masa pemeliharaan tanaman. Kucuran pupuk diusahakan tidak terkena tanaman secara langsung.

2.2.3.4.5. Penyiangan Gulma selain sebagai tanaman kompetitor juga dapat sebagai tempat berkembangnya hama dan penyakit tanaman cabai oleh karenanya penyiangan harus dilakukan untuk membersihkan daerah sekitar tanaman dari gulma. Penyiangan dapat dilakukan secara manual dengan garu atau mencabut gulma secara hati-hati.

2.2.4 2.2.4.1.

Bioekologi dan Serangan Hama pada Tanaman Cabai Kutu daun persik (Myzus persicae Sulz.)

Kutu daun persik dapat menyebabkan kerugian secara langsung, yaitu mengisap cairan tanaman. Tanaman yang terserang daunnya menjadi keriput dan terpuntir, dan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (kerdil). Kerusakan pada daun muda yang menyebabkan bentuk daun keriput menghadap ke bawah adalah ciri spesifik gangguan kutu daun. Bagian daun bekas tempat isapan kutu daun berwarna kekuningan. Populasi kutu daun yang tinggi dapat menyebabkan klorosis dan daun gugur, juga ukuran buah menjadi lebih kecil. Kutu daun menghasilkan cairan embun madu yang dapat menjadi tempat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada permukaan daun dan buah. Selain itu, kutu daun persik dapat menyebabkan kerugian secara tidak langsung, karena perannya sebagai vektor penyakit virus. Penyakit virus yang dapat ditularkan oleh kutu daun persik pada tanaman cabai merah, antara lain penyakit virus menggulung daun kentang (PLRV) dan penyakit virus kentang Y (PVY). Pada kondisi ekosistem yang masih seimbang, beberapa musuh alami di lapangan sangat potensial dalam mengurangi populasi kutu daun. Musuh alami tersebut antara lain parasitoid Aphidius sp., kumbang macan Menochillus sp., dan larva Syrphidae, Ischiodon scutellaris. Cara pengendalian :

Secara mekanik dilakukan dengan pembersihan semua gulma dan sisa tanaman inang kutu daun yang ada di sekitar areal pertanaman cabai;
Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat mengurangi masuknya kutu daun dari luar pertanaman cabai; Pengaturan pola tanam, misalnya tumpangsari dengan bawang daun, pola tumpang gilir dengan bawang merah, tanaman bawang dapat bersifat sebagai pengusir hama kutu daun; Secara biologis dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami Pengendalian secara kimia dapat dilakukan pada tingkat kerusakan daun/tanaman contoh sekitar 15 %, dengan insektisida yang berbahan aktif fipronil atau diafenthiuron. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada sore hari.

2.4.2.2

Thrips (Thrips parvispinus Karny).

Hama Thrips menyukai daun muda. Mula-mula daun yang terserang memperlihatkan gejala noda keperakan yang tidak beraturan, akibat adanya luka dari cara makan hama tersebut. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut berubah menjadi kecoklatan terutama pada bagian tepi tulang daun. Daun-daun mengeriting ke arah atas. Pada musim kemarau perkembangannya sangat cepat sehingga populasinya lebih tinggi. Penyebarannya sangat terbantu oleh angin, karena Thrips dewasa tidak bisa terbang dengan sempurna. Pada musim hujan populasinya relatif rendah karena banyak Thrips yang mati tercuci oleh curah hujan. Pada kondisi ekosistem yang masih seimbang, populasi hama Thrips di alam dikendalikan oleh musuh alami. Musuh alami hama Thrips yang potensial antara lain, kumbang Coccinellidae, kepik Anthocoridae, kumbang Staphylinidae, dan larva hrysopidae. Cara pengendalian :
Secara mekanik dilakukan dengan pembersihan semua gulma dan sisa tanaman inang hama Thrips yang ada di sekitar areal pertanaman cabai. Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat mencegah hama Thrips mencapai tanah untuk menjadi pupa sehingga daur hidup Thrips akan terputus. Pemasangan mulsa jerami di musim kemarau akan meningkatkan populasi predator di dalam tanah yang pada akhirnya akan memangsa hama Thrips yang akan berpupa di dalam tanah;

Pengaturan pola tanam, misalnya pola tumpang gilir dengan bawang merah akan menekan serangan hama Thrips pada tanaman cabai mudaPengendalian secara kimia dapat
dilakukan pada tingkat kerusakan daun/tanaman contoh sekitar 15 %, dengan insektisida yang berbahan aktif fipronil atau diafenthiuron. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada sore hari.

2.4.4.3.

Tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks).

Gejala umum adalah tepi daun keriting menghadap ke bawah seperti bentuk sendok terbalik dan terjadi penyempitan daun. Daun yang terserang berwarna keperakan pada permukaan bawah daun. Daun menjadi menebal dan kaku, pertumbuhan pucuk tanaman terhambat. Gejala ini tampak dalam waktu yang relatif cepat, 8 - 10 hari setelah terinfeksi oleh beberapa ekor tungau, daun-daun akan menjadi cokelat. Pada 4 - 5 hari kemudian pucuk-pucuk tanaman seperti terbakar dan pada serangan yang berat pucuk tanaman akan mati, buah cabai menjadi kaku, permukaan kasar dan bentuk terganggu. Serangan berat terjadi pada musim kemarau. Cara pengendalian : Secara mekanik dilakukan dengan pembersihan semua gulma dan sisa tanaman inang hama tungau. Diusahakan pertanaman cabai tidak berdekatan dengan pertanaman singkong yang merupakan inang potensial hama tungau; Tanaman yang terserang berat dicabut atau pucuk-pucuknyadipotong kemudian dikumpulkan dan dibakar; Pengendalian secara kimia dapat dilakukan pada tingkat kerusakan daun/tanaman contoh sekitar 15 %, dengan menggunakan akarisida, antara lain; yang berbahan aktif amitraz, abamektin, dikofol, atau propargit.

2.2.4.4

Lalat Buah (Bactrocera dorsalis Hendel) Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan ditemukannya titik hitam

pada pangkal buah. Jika buah dibelah, di dalamnya ditemukan larva lalat buah. Serangga betina dewasa meletakkan telur di dalam buah cabai, yaitu dengan cara menusukkan ovipositornya pada pangkal buah muda (masih hijau). Selanjutnya telur akan menetas menjadi larva di dalam buah cabai sehingga buah membusuk dan gugur. Serangan berat terjadi pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh bekas tusukan ovipositor terkontaminasi oleh cendawan sehingga buah yang terserang cepat membusuk dan gugur. Pada siang hari, serangga dewasa sering dijumpai pada daun atau bunga cabai. Lalat buah bersifat polifag, selain menyerang buah cabai juga menyerang buah lainnya seperti mangga, belimbing, pisang, apel, dan jeruk. Larva yang panjang sekitar 6 - 8 mm, mampu melenting dengan lincah menggunakan ujung tubuhnya yang lancip. Pada serangan lanjut, buah cabai akan gugur. Selanjutnya larva keluar dari buah dan membentuk pupa di dalam tanah. Cara pengendalian : Secara mekanik dilakukan dengan mengumpulkan semua buah cabai yang rontok kemudian dibakar, karena larva di dalam buah cabai akan berubah jadi pupa yang akhirnya menjadi lalat buah baru. Dengan cara ini, siklus hidup lalat buah akan terputus; Penggunaan atraktan yang berbahan aktif metyl eugenol, caranya diteteskan pada kapas dan dimasukkan ke dalam botol bekas air mineral. Penggunaan perangkap ini dimaksudkan untuk menekan serangan lalat buah. Pemasangan perangkap ini dilakukan sebulan setelah tanaman cabai ditanam. Jumlah perangkap yang diperlukan 40 buah/ha, dengan dosis 1 ml/perangkap. Dua minggu sekali, perlu ditambahkan lagi atraktan tersebut. Pemasangan atraktan ini dilakukan sampai akhir panen; Penggunaan insektisida secara berselang-seling. Insektisida yang dapat dipilih antara lain yang berbahan aktif alfa sipermetrin, betasiflutrin, dan deltametrin. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari ketika sayap lalat buah masih basah sehingga menyulitkan dirinya untuk terbang. Untuk meningkatkan efikasi insektisida dapat ditambah dengan bahan perekat perata.

2.2.4.5.

Ulat Penggerek Buah (Helicoverpa armigera Hubner)

Buah cabai merah yang terserang ulat penggerek buah menunjukkan gejala berlubang dan tidak laku di pasaran. Jika buah dibelah, di dalamnya terdapat ulat. Hama ulat buah menyerang buah cabai dengan cara mengebor dinding buah cabai sambil memakannya. Umumnya instar pertama ulat penggerek buah menyerang buah yang masih hijau. Pada musim hujan, serangan ulat penggerek buah ini akan terkontaminasi oleh cendawan, sehingga buah yang terserang akan membusuk. Hama ulat penggerek buah bersifat polifag, inang selain cabai yaitu tomat dan kedelai. Hama ini tersebar luas di Indonesia dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Pada stadia ulat dewasa akan turun ke dalam tanah dan berubah menjadi kepompong. Beberapa saat kemudian kepompong menjadi ngengat, ngengat betina dapat bertelur sampai 1000 butir selama hidupnya. Cara Pengendalian: Secara kultur teknik yaitu pengaturan pola tanam, dimana tidak menanam cabai pada lahan bekas tanaman tomat dan kedelai; Secara mekanik dilakukan dengan membersihkan buah-buah cabai yang terserang kemudian dibakar; Penggunaan musuh alami yang menyerang hama ulat buah, antara lain parasitoid telur Trichogramma nana, parasitoid larva Diadegma argenteopilosa, dan cendawan Metharrhizium;

Penggunaan insektisida kimia. Insektisida yang dapat dipilih antara lain yang berbahan aktif emamektin benzoat 5 % atau lamda sihalotrin 25 g/lt. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada malam hari dengan ditambah bahan perekat perata.

2.2.5 2.2.5.1.

Serangan Penyakit Tanaman Cabai Penyakit Antraknose Penyakit antraknose disebabkan oleh dua jenis jamur yaitu Colletotrichum capsici dan

Colletotrichum gloeosporioides. Gejala pada biji berupa kegagalan berkecambah dan pada

kecambah menyebabkan layu semai. Pada tanaman yang sudah dewasa menyebabkan mati pucuk, pada daun dan batang yang terserang menyebabkan busuk kering. Buah yang terserang C. capsici menjadi busuk dengan warna seperti terekspos sinar matahari (terbakar) yang diikuti busuk basah berwarna hitam, karena penuh dengan rambut hitam (setae), jamur ini pada umumnya menyerang buah cabai menjelang masak (buah berwarna kemerahan). Jamur C. gloeosporioides memiliki dua strain yaitu strain R dan G. Strain R hanya menyerang buah cabai masak yang berwarna merah, sedangkan strain G dapat menyerang semua bagian tanaman, termasuk buah cabai yang masih berwarna hijau maupun buah yang berwarna merah. Populasi C. gloeosporioides di alam jauh lebih banyak daripada C. capsici. Kedua jenis pathogen tersebut dapat bertahan di biji dalam waktu yang cukup lama dengan membentuk acervulus, sehingga merupakan penyakit tular biji.

Cara pengendalian : Menanam benih yang sehat dan bebas patogen di lahan yang juga bebas dari pathogen Melakukan perawatan benih (biji) dengan merendam dalam air hangat (550 C) selama 30 menit, atau perawatan benih dengan fungisida efektif yang direkomendasikan; Melakukan sanitasi pada pertanaman dengan cara membakar bagian tanaman yang terserang untuk menekan populasi patogen sejak awal; Menanam varietas cabai yang toleran terhadap penyakit; Melakukan pergiliran tanaman dengan menanam tanaman yang bukan sebagai inang patogen; Melakukan sanitasi terhadap berbagai gulma yang menjadi inang alternatif patogen, seperti Borreria sp. ; Menanam varietas cabai berumur genjah dalam upaya memperpendek periode tanaman terekspos patogen; Menggunakan fungisida efektif yang direkomendasikan menekan perkembangan patogen secara bijaksana, terutama pada saat pematangan buah; Melakukan prosesing (pascapanen) dengan cara mengeringkan buah cabai dengan cepat atau disimpan pada suhu 0o C dapat membebaskan buah dari serangan pathogen selama 30 hari.

2.2.5.2

Penyakit Busuk Phytophthora

Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici. Patogen dapat menyerang pada seluruh bagian tanaman. Serangan pada tanaman yang masih di persemaian

dapat menimbulkan gejala layu semai. Infeksi pada batang dimulai dari pangkal batang, yang menunjukkan gejala busuk basah, berwarna coklat kehitaman. Infeksi pada tanaman yang muda menyebabkan kematian tanaman. Infeksi pada tanaman yang telah dewasa menyebabkan batang tanaman mengeras dan akhirnya layu. Infeksi pada daun menyebabkan daun tampak seperti disiram air panas dan akhirnya daun mengering dan gugur. Infeksi pada buah menyebabkan buah berwarna hijau gelap dan busuk basah. Jamur dapat bertahan di dalam tanah maupun biji, mampu bertahan dari kondisi yang tidak menguntungkan dengan membentuk oospora. Cara pengendalian : Sanitasi lapangan dari gulma yang dapat menjadi inang alternatif dan tanaman sakit, untuk meminimalkan sumber inokulum awal; Merawat benih dengan fungisida efektif untuk jamur golongan oomycetes, misalnya yang berbahan aktif metalaksil Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan sebagai inang patogen; Tidak menanam varietas yang rentan, terutama di lokasi yang sudah banyak terdapat patogen; Menggunakan mulsa plastik untuk menghindari penyebaran patogen dari buah, daun, dan batang atas ke dalam tanah atau sebaliknya; Membuat tata air yang baik untuk menekan perkembangan jamur dalam bentuk oospora maupun zoospora; Menggunakan fungisida efektif yang bersifat sistemik yang direkomendasikan secara bijaksana, terutama untuk tanaman dewasa.

2.2.5.3.

Penyakit Layu Fusarium

Penyebab penyakit layu Fusarium adalah jamur Fusarium oxysporum var. vasinfectum. Infeksi pertama umumnya terjadi pada pangkal batang yang langsung berhubungan dengan tanah. Pangkal batang tersebut menjadi busuk dan berwarna coklat tua. Infeksi lanjut menjalar ke daerah perakaran dan menyebabkan kerusakan pada akar (busuk basah). Apabila kelembaban lingkungan cukup tinggi, bagian pangkal batang tersebut berubah warna menjadi keputih-putihan karena banyak terbentuk spora. Infeksi yang parah menyebabkan seluruh bagian tanaman menjadi layu karena transport air dan nutrisi ke bagian atas tanaman terganggu. Jamur membentuk makro konidia (dengan dua enam septa) dan mikro konidia (sel tunggal) dan klamidospora (hifa berdinding sel tebal). Klamidospora dapat bertahan lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan jamur. Suhu untuk pertumbuhan optimal jamur berkisar antara 24 - 27 oC, sehingga penyakit layu Fusarium tersebut banyak berkembang di daerah dataran rendah, terutama yang berdrainase kurang baik. Patogen dapat menyebar melalui hembusan angin dan aliran air. Cara pengendalian : Membuat tata air yang baik untuk dapat mengatur lengas tanah dan kelembaban lingkungan, supaya perkembangan jamur Fusarium dapat dihambat; Tidak menanam varietas cabai yang rentan penyakit terutama pada lokasi yang sudah terinfeksi patogen; Pengolahan tanah yang baik dan ditutup dengan plastik putih selama 3 hari. Dengan cara tersebut suhu tanah dapat mencapai 70o C yang berakibat pada penekanan sumber inokulum awal; Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan sebagai inang patogen; Menggunakan fungisida efektif yang direkomandasikan secara bijaksana.

2.2.5.4.

Penyakit Bercak Daun Cercospora

Penyakit bercak daun pada cabai disebabkan oleh jamur Cercospora capsici. Gejala pada daun berupa bercak sirkuler dengan bagian tengah berwarna abu-abu, dan bagian luarnya berwarna coklat tua. Pada kelembaban tinggi, bercak cepat melebar, kemudian mengering dan pecah dan akhirnya gugur. Daun yang terinfeksi berat berubah warna menjadi kuning dan gugur ke tanah. Jamur dapat bertahan lama dari musim ke musim pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi atau dapat terbawa biji. Serangan yang parah umumnya pada tanaman yang memasuki fase pembungaan. Penyebaran penyakit melalui spora yang ditiup angin, percikan air hujan, air siraman, dan alat pertanian pekerja kebun. Perkembangan penyakit sangat cepat apabila kondisi lingkungan sangat kondusif, yaitu kelembaban relative udara lebih dari 90 %, dengan suhu udara 28 - 32o C. Penyakit lebih sering merugikan pada tanaman cabai yang ditanam di dataran tinggi daripada yang ditanam di dataran rendah. Cara pengendalian : Menanam benih yang sehat dan bebas patogen; Melakukan sanitasi lapangan terhadap gulma yang menjadi inang alternatif patogen serta tanaman yang terinfeksi dandimusnahkan, untuk mengurangi sumber inokulum awal; Membuat tata air yang baik untuk menjaga kelengasan tanah dan kelembaban lingkungan yang dapat menghambat perkembangan patogen; Menggunakan fungisida efektif yang direkomendasikan secara bijaksana.

2.2.5.5.

Penyakit Layu Bakteri Penyebab penyakit layu bakteri adalah bakteri Ralstonia solanacearum. Gejala layu

secara tiba-tiba dapat terjadi pada tanaman muda maupun dewasa. Jaringan pembuluh batang bagian bawah rusak dan akar berwarna kecoklatan. Apabila jaringan batang atau akar dipotong melintang dan dicelup dengan air yang jernih, jaringan sakit akan mengeluarkan cairan keruh seperti susu yang merupakan koloni bakteri. Bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5 x 1,5 _m, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan termasuk golongan gram negatif. Bakteri menginfeksi tanaman lewat luka pada bagian akar dan masuk ke dalam jaringan pembuluh untuk memperbanyak diri. Infeksi lebih lanjut menyebabkan jaringan pembuluh rusak dan tidak dapat berfungsi mengangkut air dan nutrisi ke bagian atas tanaman. Bakteri mampu bertahan hidup di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Tanaman inang alternatif umumnya yang termasuk dalam Solanaceae seperti tomat, terung, tembakau dan kentang. Cara pengendalian : Melakukan pergiliran tanaman dengan menanam tanaman yang bukan sebagai inang patogen. Pergiliran dengan menanam padi sawah (diairi) sangat membantu menekan populasi patogen di dalam tanah; Membuat saluran drainase yang baik untuk mencegah genangan air; Menanam varietas cabai yang tahan penyakit.

2.2.5.6.

Penyakit Virus Kuning (Pepper Yellow Leaf Curl Virus Bulai) Penyakit virus kuning yang umum disebut penyakit bulai cabai disebabkan oleh virus

Gemini. Patogen juga dapat menyerang tanaman tomat serta tanaman lain yang termasuk dalam Solanaceae dan Cucurbitaceae. Penyakit ditularkan melalui vektor kutu kebul (Bemicia tabaci). Kerusakan yang ditimbulkan sangat bervariasi, tergantung kondisi lokasi pertanaman dan stadia tanaman saat terinfeksi. Semakin awal tanaman terinfeksi virus, semakin besar kehilangan hasil yang disebabkannya. Gejala yang timbul pada cabai besar berupa menguningnya daun tanaman, daun mengecil dan keriting, tanaman menjadi kerdil, bunga rontok yang berakibat tanaman tidak menghasilkan buah. Pada cabai rawit gejala yang timbul adalah menguningnya seluruh daun dan tanaman dapat menjadi kerdil bila infeksi terjadi sejak awal pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman bisa tidak menghasilkan (gagal panen). Cara pengendalian : Menggunakan benih yang sehat dan bebas patogen. Pembuatan benih dapat dilakukan dengan menyungkup pesemaian dengan kain kasa berlubang halus untuk menghindari masuknya vektor B. tabaci, sehingga virus tidak dapat ditularkan; Melakukan sanitasi lapangan dari gulma yang menjadi inang alternatif maupun tanaman sakit sejak awal untuk menekan populasi inokulum awal; Menanam varietas cabai yang toleran. Cabai rawit dinyatakan lebih toleran dibandingkan cabai besar; Menggunakan pupuk organik cair yang mengandung unsur hara makro, mikro, dan zat pengatur tumbuh sehingga tanaman menjadi sehat yang dapat bereaksi lebih tahan terhadap serangan patogen; Membuat pagar keliling hidup dari tanaman jagung, yang ditanam rapat sebanyak enam baris secara zigzag, untuk menahan vektor B. tabaci masuk ke areal pertanaman dari tanaman disebelahnya yang terinfeksi. Penanaman pagar hidup sebaiknya pada saat 5 - 6 minggu sebelum tanam cabai; Menyusun pola tanam dan melakukan pergiliran tanaman dengan menanam tanaman yang bukan sebagai inang alternatif bagi patogen Menekan populasi vektor B. tabaci dengan insektisida efektif yang direkomendasikan secara bijaksana, sehingga laju infeksi penyakit menjadi lebih kecil.

2.2.5.7`

Penyakit Mosaik Penyakit mosaik pada cabai disebabkan oleh Cucumber Mosaic Virus (CMV), atau

gabungannya dengan beberapa virus lain seperti Tobacco Mosaic Virus (TMV), Potato Virus Y (PVY) dan Chilli Veinal Mottle Virus (CVMV). Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil, warna daun belang hijau muda dan hijau tua, ukuran daun lebih kecil daripada daun yang sehat. Pada tulang daun terdapat jaringan tanaman yang menguning atau hijau gelap dengan tulang daun yang tumbuh lebih menonjol, serta pinggiran daun bergelombang. Virus masuk ke dalam jaringan tanaman melalui luka, memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh jaringan tanaman (sistemik). Penularan virus dapat secara mekanis (bersinggungan antara tanaman sakit dan sehat) serta dapat melalui vektor seranggakutu daun Myzus persicae dan Aphis gossypii. Khusus TMV tidak dapat ditularkan melalui vektor, tetapi dapat menular melalui biji. Cara pengendalian : Melakukan sanitasi lapangan terhadap gulma dan tanaman sakit, selanjutnya dimusnahkan untuk mengurangi sumber inokulum awal; Menghindari kontak dengan tanaman sakit pada saat bekerja; Mengurung perbenihan tanaman cabai dengan kain kasa halus untuk mencegah masuknya vektor mencapai benih tanaman;

Untuk mencegah penularan TMV melalui biji, maka biji cabai direndam dalam larutan natrium fosfat 10 % selama satu jam. Mengendalikan serangga vektor penyakit dengan insektisida efektif yang

direkomendasikan secara bijaksana.

2.3 2.3.1

Tanaman Kacang Panjang Morfologi Kacang Panjang Klasifikasi tanaman kacang panjang sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio Classis Ordo Familia Genus Species : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Fabales : Fabaceae : Vigna : Vigna sinensis

Plasma nutfah tanaman kacang panjang berasal dari India dan Cina. Adapun yang menduga berasal dari kawasan benua Afrika. Plasma nutfah kacang uci (Vigna umbellata) diketemukan tumbuh liar di daerah Himalaya India, sedangkan plasma nutfah kacang tunggak ( Vigna unguiculata) merupakan asli dari Afrika. Oleh karena itu, tanaman kacang panjang tipe merambat berasal dari daerah tropis dan Afrika, terutama Abbisinia dan Ethiopia. Perkembangan paling pesat di negara beriklim panas tropis seperti Indonesia. 2.3.1.1 Akar Akarnya mempunyai bintil-bintil yang dapat mengikat nitrogen (N) bebas dari udara yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Akarnya tunggang berwarna coklat muda (Hutapea et al, 1994).

2.3.1.2

Batang dan Cabang Batangnya panjang liat dan sedikit sedikit berbulu. Batang tanaman ini tegak,

silindris, lunak, berwarna hijau dengan permukaan licin.

2.3.1.3

Daun Daun kacang panjang merupakan dau majemuk yang tersusun tiga helaian

dan melekat pada tangkai daun yang agak panjang serta berwarna hijau muda sampai hijau tua. Daunnya majemuk, lonjong, berseling, panjang 6-8 cm, lebar 3-4,5 cm, tepi rata, pangkal membulat, ujung lancip, pertulangan menyirip, tangkai silindris, panjang kurang lebih 4 cm.

2.3.1.4

Bunga Bunga tanaman ini terdapat pada ketiak daun, majemuk, tangkai silindris, panjang

kurang lebih 12 cm, berwarna hijau keputih-putihan, mahkota berbentuk kupu-kupu, berwarna putih keunguan, benang sari bertangkai, panjang kurang lebih 2 cm, berwarna putih, kepala sari kuning, putik bertangkai, berwarna kuning, panjang kurang lebih 1 cm, dan berwarna ungu. Tiap tanaman kacang panjang dapat menghasilkan 20-40 klaster, tiap klaster rdapat menghasilkan 5-8 kuntum bunga dan biasanya dari bunga yangterbentuk yang menjadi buah antara 35 polong (tergantung jenisnya. Waktu mekar bunga sangat cepat (kurang lebih 2 jam) dan terbentuknya polong sejak mulai terjadinya fertilisasi juga berlangsung cepat (10-14) dibanding jenis sayuran polong lainnya.

2.3.1.5

Buah Buah tanaman kacang panjang berbentuk bulat panjang dan ramping. Buah kacang

panjang ini disebut polong, panjang polong dari kacang panjangbervariasi 30- 100 cm bergantung pada jenis dan varietasnya. Warna polong juga bervariasi hijau keputih- putihan, hijau, dan hijau muda namun setelah tua menjadi putih kekuning- kuningan atau hijau kekuningkuningan. Polong kacang panjang mengandung biji yang tersusun bersegmen- segmen. Polong kacang panjangyangmuda bersifat renyah atau mudah dipatahkan. Biji kacang panjang berbentuk bulat panjang agak pipih, tetapi terkadang kadang sedikit melengkung. Biji yangtelah tua memiliki warna yang beragam, yaitu kuning, cokelat, kuning kemerah-merahan, putih hitam dan merah putih bergantung pada jenis dan varietasnya.(Cahyono, 2006)

2.3.2

Syarat Tumbuh Tanaman tumbuh baik pada tanah Latosol / lempung berpasir, subur, gembur,banyak

mengandung bahan organik dan drainasenya baik, pH sekitar 5,5 6,5. Suhu antra 20 30oC.

curah hujan antara 600 - 1.500 mm/tahun dan ketinggian optimum kurang dari 800 m dpl. Menurut Rukmana tanaman kacang panjang yang ditanaman pada daerah yang ketinggiannya kurang dari 800 m dpl kadang-kadang panen pertama lebih awal dibandingkan dengan kacang panjang yang ditanam di dataran tinggi. Begitu pula tanaman yang terlindung menyebababkan pertumbuhan tanaman kacang panjang agak lambat dan kurus serta buahnya kurang. Sedangkan untuk tanah yang pHnya terlalu basa menyebabkan mudah pecahnya nodul-nodul (bintil-bintil) akar dan gejala mengunngnya daun. Hal ini mengingatkan tanaman kacang panjang yang ditanam pada tanah basa akan sulit menyerap unsurhara seperti nitrogen, besi, mangan, seng, borium dan lain-lain. Sentra penanaman kacang panjang didominasi oleh Pulau Jawa terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DI Aceh, Sumatra Utara, Lampung dan Bengkulu. 2.3.3 2.3.3.1 Budidaya Tanaman Kacang Panjang Penyiapan Bibit Benih tidak usah disemaikan secara khusus, tetapi benih langsung tanam pada lubang tanam yang sudah disiapkan.

2.3.3.2

Pengolahan Media Tanam

2.3.3.2.1 Pembentukan Bedengan Bedengan dengan ukuran 1-1,2 m atau dibentuk guludan dengan jarak antar guludan 1 m. Lahan dibersihkan dari rumput-rumput liar, dicangkul/dibajak sedalam 30 cm hingga tanah menjadi gembur. Buat parit keliling, biarkan tanah dikeringkan selama 15-30 hari. Setelah 30 hari buatlah bedengan dengan ukuran lebar 60-80 cm, jarak antara bedengan 30 cm, tinggi 30 cm, panjang tergantung lahan. Untuk sistem guludan lebar dasar 30-40 cm dan lebar atas 30-50 cm, tinggi 30 cm dan jarak antara guludan 30-40 cm.

2.3.3.2.2 Pengapuran Pengapuran dilakukan jika pH tanah lebih rendah dari 5,5 dengan dosis tergantung kemasaman tanah. Berikan kapur pertanian dalam bentuk kalsit, dolomit, atau zeagro sebanyak 1-2 ton/ha tergantung dari pH awal dan jumlah Alumunium. Kapur dicampur secara merata dengan tanah pada kedalaman 30 cm.

2.3.3.2.3 Pemupukan Pada saat pembentukan bedengan atau guludan tambahkan 10-20 ton/ha pupuk kandang/pupuk organik Super TW Plus, dengan dosis 4-5 ton/ha dicampur merata dengan tanah sambil dibalikkan.

2.3.3.3

Penentuan Pola Tanam Jarak lubang tanam untuk tipe merambat adalah 20 x 50 cm, 40 x 60 cm, 30 x 40 cm.

Dan jarak tanam tipe tegak adalah 20 x 40 cm dan 30 x 60 cm. Waktu tanam yang baik adalah awal musim kemarau/awal musim penghujan, tetapi dapat saja sepanjang musim asal air tanahnya memadai.

2.3.3.4

Penanaman Kacang Panjang Benih dimasukkan ke dalam lubang tanam sebanyak 2 biji, tutup dengan tanah

tipis/dengan abu dapur. Kebutuhan benih kacang panjang 21 - 23 kg/ha, khusus untuk varietas KP-01 10,5 kg/ha karena jarak tanam KP-01 lebih besar dan berat bijinya lebih ringan. Sebelum penanaman dilakukan terlebih dahulu dibuatkan lubang tanam dengan cara ditugal dengan jarak dalam barisan 25 cm dan antar barisan 1 m. Perlubang tanam diisi 2 biji, hal ini dimaksudkan dalam satu lanjaran maksimal 4 tanaman. Setelah itu biji ditanam, ditutup dengan tanah/pupuk kandang yang sudah lembut/remah atau bisa juga dengan abu.

2.3.3.5

Pemeliharaan Tanaman

2.3.3.5.1 Penyulaman Benih kacang panjang akan tumbuh 3-5 hari kemudian. Benih yang tidak tumbuh segera disulam.

2.3.3.5.2 Pemasangan Lanjaran Pemasangan lanjaran dilakukan 10-15 hari setelah tanam ( hst ), kira-kira tinggi tanaman 15-25 cm. Pemasangan lanjaran diantara 2 lubang tanam sehingga jarak antar lanjaran 50 cm. Setiap 5 lanjaran perlu ditambah lanjaran/diperkuat, dengan cara dipasang silang.

2.3.3.5.3 Pemasangan Tali Pemasangan tali dilakukan setelah pemasangan lanjaran selesai. Tali berguna membantu mengarahkan/merambatkan tanaman. Pemasangan tali ada dua tahap. Tahap I pada ketinggian 70 cm dari lanjaran. Tahap II pada ketinggian 150 cm dari lanjaran

2.3.3.5.4 Merambatkan Membantu merambatkan bertujuan untuk mengarahkan pertumbuhan tanaman baik pucuk tanamn maupun cabang-cabang tanaman. Diharapkan tanaman merambat pada lanjaran dan tali yang telah dipasang, sehingga buah/polong tidak tergeletak di tanah

2.3.3.5.5 Penyiangan Penyiangan dilakukan pada waktu tanaman berumur 2-3 minggu setelah tanam, tergantung pertumbuhan rumput di kebun. Penyiangan dengan cara mencabut rumput liar/membersihkan dengan alat kored. Penyiangan dilakukan sebelum dilakukan pemupukan, atau dilakukan sewaktu-waktu saat gulma sudah mengganggu pertumbuhan tanaman

2.3.3.5.6 Pemangkasan/Perempalan Kacang panjang yang terlalu rimbun perlu diadakan pemangkasan daun maupun ujung batang. Tanaman yang terlalu rimbun dapat menghambat pertumbuhan bunga.

2.3.3.5.7 Pemupukan Pemupukan pertama ( I ) dilakukan umur 12 hari dengan dosis ZA = 50 kg/ha, SP36 = 100 kg/ha, KCL = 50 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal, jaraknya 5 cm dari lubang tanam. Kemudian ditutup dengan tanah. Pemupukan kedua (II ) dilakukan umur 28 hari dengan pupuk NPK = 200 kg/ha dengan jarak 10 cm dari lubang tanam. Pemupukan ketiga (III ) dilakukan umur 40 hari juga dengan pupuk NPK = 200 kg/ha dengan jarak 10 cm dari lubang tanam. Pupuk diberikan di dalam lubang pupuk yang terletak di kiri-kanan lubang tanam. Jumlah pupuk yang diberikan untuk satu tanaman tergantung dari jarak tanam. Pupuk susulan tanaman kacang panjang tipe merambat, diberikan 4 minggu setelah tanam, pupuk berupa urea

150 kg/ha. Sedangkan pupuk susulan untuk kacang panjang tipe tegak diberikan 4 minggu setelah tanam, pupuk berupa urea 85 kg/ha.

2.3.3.5.8 Pengairan Pada fase awal pertumbuhan benih hingga tanaman muda, penyiraman dilakukan rutin tiap hari. Pengairan berikutnya tergantung musim.Pengairan diberikan sesuai kebutuhan, yang terpenting dijaga agar tanaman tidak kelebihan atau kekurangan air. Pengairan sebaiknya dilakukan setelah pemupukan dilakukan. Sedangkan pada musim hujan, pengairan cukup dari air hujan.

2.4 2.4.1.

Bioekologi dan Serangan Hama Kacang Panjang Lalat kacang (Ophiomya phaseoli Tryon) Gejala yaitu terdapat bintik-bintik putih sekitar tulang daun, pertumbuhan

tanamanyang terserang terhambat dan daun berwarna kekuningan, pangkal batang terjadi perakaran sekunder dan membengkak. Pengendalian: dengan cara pergiliran tanamanyang bukan dari famili kacang-kacangan dan penyemprotan dengan PESTONA.

2.4.2.

Kutu daun (Aphis cracivora Koch) Gejalanya adalah pertumbuhan terlambat karena hama mengisap cairan sel tanaman

dan penurunanhasil panen. Kutu bergerombol di pucuk tanaman dan berperan sebagai vektorvirus. Pengendalian: dengan rotasi tanaman dengan tanaman bukan family kacangkacangan dan penyemprotan Natural BVR.

2.4.3.

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) Gejalanya yaitu daun berlubang dengan ukuran tidak pasti, serangan berat di musim

kemarau, jugamenyerang polong. Pengendalian: dengan kultur teknis, rotasi tanaman, penanaman serempak, Semprot Natural VITURA.

2.4.4.

Penggerek biji (Callosobruchus maculatus L) Biji dirusak berlubang-lubang, hancur

sampai

90%.

Pengendalian:

denganmembersihkan dan memusnahkan sisa-sisa tanaman tempat persembunyian hama. Benih kacang panjang diberi perlakuan minyak jagung 10 cc/kg biji.

2.4.5.

Ulat bunga ( Maruca testualis) Gejalanya adalah larva menyerang bunga yang sedang membuka, kemudian

memakan polong.Pengendalian: dengan rotasi tanaman dan menjaga kebersihan kebun dari sisasisa tanaman. Disemprot dengan PESTONA.

2.5 2.5.1.

Serangan Penyakit Tanaman Kacang Panjang Penyakit Antraknose Penyakit ini diesbabkan jamur Colletotricum lindemuthianum. Gejala serangan dapat

diamati pada bibit yang baru berkecambah, semacam kanker berwarna coklat pada bagian batang dan keping biji. Pengendaliannya adalah dengan rotasi tanaman, perlakuan benih sebelum ditanam dengan Natural GLIO dan POC NASA dan membuang rumput-rumput dari sekitar tanaman.

2.5.2.

Penyakit mozaik Penyakit ini disebabkan virus Cowpea Aphid Borne Virus/CAMV. Gejala antara lain

pada daun-daun muda terdapat gambaran mosaik yang warnanya tidak beraturan. Penyakit ditularkan oleh vektor kutu daun. Pengendalian yaitu dengan menggunakan benih sehat dan bebas virus, semprot vector kutu daun dan tanaman yang terserang dicabut dan dibakar.

2.5.3.

Penyakit sapu Penyakit ini disebabkan virus Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea Stunt Virus.

Gejalanya yaitu pertumbuhan tanaman terhambat, ruas-ruas (buku-buku) batang sangat pendek,tunas ketiak memendek dan membentuk sapu. Penyakit ditularkan kutu daun. Pengendaliannya sama dengan pengendalian penyakit mosaic.

2.5.4.

Layu bakteri Penyakit ini disebabkan bakteri Pseudomonas solanacearum. Gejala seperti tanaman

mendadak layu dan serangan berat menyeabkan tanaman mati. Pengendalian:dengan rotasi tanaman, perbaikan drainase dan mencabut tanaman yang mati dan gunakan Natural GLIO pada awal tanam.

2.4 2.4.1

Pengendalian Hayati Pengertian Pengendalian Hayati Istilah pengendalian hayati digunakan oleh Smith (1919) yang mengartikannya

sebagai penggunaaan musuh alami, baik yang diperkenalkan atau yang dimanipulasi untuk mengendalikan serangga hama. Wlison dan Huffaker (1976) memberikan defenisi pengendalian hayati sebagai ilmu yang mempelajari peran musuh-musuh alami dalam proses regulasi populasi inangnya, terutama dalam aplikasinya pada hama hewan dan tanaman. De bach (1964) mengemukakan dua defenisi, yaitu yang satu berhubungan dengan dasar yang bersifat ekologis yang menguraikan hasil dari kegiatan musuh alami dan yang kedua mencakup hal di mana ada campur tangan manusia, bila dilihat dari pandangan ekologis sebagai aksi dari parasit, predator, atau patogen dalam mempertahankan densitas populasi dari suatu organisme pada suatu nilai rata-rata yang lebih rendah dibandingkan tanpa adanya musuh alami tersebut. Agen hayati merupakan organisme yang bertindak sebagai musuh alami dalam melakukan pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman atau organisme yang bersifat antagonis terhadap organisme pengganggu tanaman Pengendalian hayati secara klasik merupakan suatu sistem pengendalian yang berusaha untuk merencanakan penempatan kembali mush-musuh alami dari serangga ham dan gulma dari satu tempat ke tempat lain (Simmonds, et al, 1976). Serangga hama berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan meninggalkan musuh-musuh alminya di tempat asal. Jadi tujuan dari pengendalian hayati secara klasik adalah menemukan spesies musuh alami yang paling cocok dan kemudian mengkolonisasikannya di daerah yang terserang hama. Pengendalian hayati berbeda dengan pengendalian alami. Pengendalian secara alami diartikan sebagai suatu proses untuk memelihara fluktuasi densitas populasi dari suatu organisme pada batas-batas atas dan bawah dalam suatu waktu tertentu oleh gabungan aksi-aksi faktor lingkungan abiotik dan atau biotik. Lebih lanjut De Bach (1964) mengemukakan bahwa

pengedalian hayati adalah suatu fase dari pengendalian alami sehingga pengendalian hayati dapat juga disebut pengendalian alami. Jadi pengendalian alami mengandung arti yang luas, yaitu berbagai aksi dari semua faktor lingkungan baik fisik maupun hayati dalam regulasi, penentuan, atau pengaturan densitas populasi. Pengendalian hayati didefinisikan sebagai pengurangan populasi hama oleh musuhmusuh alami dan biasanya melibatkan campur tangan manusia. Musuh-musuh alami hama serangga juga dikenal sebagai agen pengendalian hayati, seperti predator, parasitoid dan patogen. Agensia hayati penyakit tanaman sering disebut sebagai musuh alami. Pengendalian hayati terhadap gulma dapat menggunakan herbivora dan patogen tanaman. Predator seperti kumbang wanita dan lacewings merupakan spesies bebas-hidup utama yang mengkonsumsi sejumlah besar mangsa selama hidupnya. Parasitoid adalah spesies yang berkembang pada tahap belum matang atau dalam serangga inang tunggal, pada akhirnya akan membunuh inangnya. Sebagian besar memiliki kisaran inang sangat sempit. Banyak spesies lebah dan beberapa lalat sebagai parasitoid. Patogen penyebab penyakit organisme yaitu bakteri , jamur dan virus. Patogenpatogen itu membunuh atau melemahkan inangnya dan relatif spesifik untuk kelompok serangga tertentu. Perbedaan pengendalian hayati (biological control) dengan pengendalian alami (natural control) terletak pada ada tidaknya campur tangan manusia. Pengendalian hayati dilakukan dengan campur tangan manusia pada ekosistem buatan, sedangkan pengendalian alami berlangsung pada ekosistem alami tanpa adanya campur tangan manusia. Adanya campur tangan manusia dalam pengendalian hayati karena dilakukan pada ekosistem buatan yang keseimbangannya relatif belum stabil dibanding pada ekosistem alami, misalnya ekosistem sawah..

2.4.2

Jenis-Jenis Musuh Alami Musuh alami dikenal sebagai organisme hayati yang memengaruhi regulasi populasi

hama atau organisme lain. Ada empat tipe musuh alami yaitu: 1. Patogen- mikroorganisme patogenik seperti virus, bakteri, jamur, nematoda, amoeba dan lain-lain. Bagian ini masuk dalam bidang patologi serangga. Jenis-jenis patogen ini menginfeksi dan biasanya mematikan inang. Contohnya adalah infeksi jamur Zoopthera sp, Nomuraea sp, Beauveria sp, Bacillus sp, NPV virus dan Steinernema spp

. 2. Parasit- didefenisikan sebagai organisme berukuran kecil yyang hidup memarasit organisme yang lebih besar serta melangsungkan siklus hidupnya lebih dari satu kali tanpa mematikan inang ataupun dengan memamtikan inang. Sebagai contoh, parasit adalah kutu kepala manusia yang hidup menghisap darah manusia namun tidak memetikan manusia. 3. Parasitoid- serangga berukuran kecil atau sama besar dengan inang yyang memarasit dan mematikan inang. Parasitoid hanya membutuhkan satu inang untuk melangsungkan satu siklus hidup. Terdapat dua jenis parasitois, yaitu eksoparasitoid dan endoparasitoid. Eksoparasitoid adalah parasitoid yang meletakkan telurnya pada bagian luar dan progeninya berkembang pada bagian luar inang. Telur biasanya diletakkan pada permukaan tubuh serangga yang kemudianmenetas dan larva eksoprasitoid menghisap cairan serangga inang. Contohnya adalah parasitoid Euplectrus sp. pada Spodoptera sp., parasitoid Cotesia sp. pada serangga hama Thysanoplusia orichalcea, dan pada C. chalcites. Endoparasitoid adalah parasitoid yang meletakkan telur pada bagian dalam iang dan progeninya berkembang di dalam tubuh inang. Telur didepositokan oleh parasitoid betina melalui ovipositor ke dalam serangga inang seperti telur, larva, ataupun bentuk dewasa. Contohnya adalah Trichogramma sp., Diadegma semiclausum, H. Varicornis, dll. 4. Predator- organisme pemangsa inang. Biasanya berukuran lebih besar dari inang. Predator ini antara lain ikan, burung serangga, laba-laba, dll. Seekor predator membutuhkan lebih dari satu individu inang untuk melangsungkan satu siklus hidup. Contoh predator addalah belalang semabang (Matidae) dan kepik (Pentatomidae, Reduviidae), serta Cheilomenes sexmaculatus F.

2.4.3

Keuntungan dan Kelemahan Keuntungan pengendalian hayati adalah (1) bebas dari efek sampingan yang merusak.

Musuh alami yang digunakan sebagai agen pengendalian hayati baisanya telah diseleksi dengan saksama sehingga tidak akan merusak keseimbangan hayati dalam sistem populasi. Banyak musuh alami yang dapat secara almi menekan populasi hama sebegitu rupa sehingga tidak terjadi

kegoncangan dalam ekosistem yang dapat mengakibatkan goyahnya keseimbangan alami. Disamping itu, agen hayati juga tidak meninggalkan residu yang dapat merusak lingkungan laboratorium serta penelitin dan tidak mengeluarkan zat-zat yang beracun yang dapat secara langsung membunuh organisme lain ataupun merusak tanaman target ataupun yang bukan target; (2) memiliki derajat spesifitas yang tinggi. Agen-agen yang digunakan dalam pengendalian hayati biasanya mempunyai derajat spesifitas yang tinggi sehingga langsung menekan target organisme yang dikehendaki. Hal ini terutama penting dalam proses pengendalian hayati gulma. (3) biaya pengendalian kadang-kadang relatif rendah. Biaya penelitian untuk pengendalian hayati memang kadang-kadang cukup tinggi karena harus mencari agen hayati yang tepat ke tempattempat tertentu dan kadang juga membutuhkan penelitian laboratorium serta penelitian lapangan yang memakan waktu dan dana yang cukup tinggi. (4) mempunyai sifat memeprbanyak diri (self-perpetuation). Agen hayati yang digunakan untuk pengendalian hayati biasanya mampu memperbanyak dirinya sendiri. Setelah organisme tersebut dilepaskan di lapangan maka organisme itu akan berbiak dan berkembag sendiri sehingga tidak perlu pelepasan berulangulang. Agen tersebut akan berkembang mengikuti fluktuasi populasi inangnya. (5) pengendalian dapat bersifat permanen. Setelah berkembang di lapangan maka agen hayati tersebut akan secara permanen menekan populasi hama secara terus menerus dan akan tetap menjaga keseimbangan hayati dalam ekosistem tersebut. (6) mudah untuk diterapkan. Pengendalian hayati kadangkadang sangat mudah untuk diterapkan. Agen hayati dapat dibeli ditempat-tempat tertentu dan dapat langsung dilepaskan ke lapangan pada waktu tertentu. (7) agen hayati mencari musuhnya. Seranga-serangga parasitoid atau predator yang dilepaskan di lapngan secara aktif akan mencari musuh-musuhnya. Kadang-kadang serangga hama bersembunyi dalam gerekan batang atau ranting ataupun daun. Serangga parasitoid biasanya dapat menemukannya. Kelemahan pengendalian hayati meliputi (1) kemampuan agen hayati menekan populasi serangga hama terbatas. Bilamana populasi hama terlalu tinggi maka agen hayati yang daya reproduksi yang rendah tidak akan dapat mengejar populasi hama. (2) pencarian agen hayati yang tepat cukup rumit. Dalam hal ini baik dana awal maupun tenaga terampil sangat diperlukan. Kadang-kadang juga diperlukan penelitian biologi dan ekologi agen hayati dan hama sebelum pengendalian hayati dapat diterapkan untuk satu jenis hama. (3) tidak semua agen hayati dapat dibiakkan di laboratorium. (4) sukses dalam pengendalian hayati hanya terbatas pada

daerah-daerah tertentu dan jenis hama tertentu. (5) pengendalian hayati memerlukan waktu yang lama. (6) membutuhkan tenaga yang terampil.

2.4.4

Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman Pengendalian hayati penyakit tanaman adalah suatu cara untuk mengurangi jumlah

inokulum patogen atau menekan aktifitas patogen baik aktif atau dorman dalam menimbulkan penyakit dengan satu atau beberapa organisme secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis (Baker dan Cook 1974; Cook dan Baker 1983). Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan beberapa cara : 1. Manipulasi lingkungan, dapat dilakukan dengan menggunakan patogen-suppresive soils, rotasi tanaman, bahan organik dan perlakuan tanah. Perlakuan tersebut dapat menghambat penyakit karena menstimulasi aktivitas organisme setempat. 2. Tanaman perangkap, tanaman yang sangat rentan terhadap serangan patogen, yang kemudian harus segera dimusnahkan sebelum bereproduksi dan menyebar, contoh : tanaman Crotalaria untuk menangkap nematoda bintil akar Rhodopholus similis. Penggunaan tanaman perangkap ini dilakukan sebelum tanam atau di sekililing areal pertanaman. Setelah nematoda terperangkap kemudian tanaman perangkap dicabut dan dibakar atau diekspose ke matahari. 3. Tanaman penghambat, tanaman yang akar atau bagian tanaman lain menghasilkan senyawa yang toksik bagi patogen sehingga patogen tidak dapat bereproduksi, misalnya Tagetes erecta dan T. patula dapat dipenetrasi oleh nematoda bintil akar. Nematoda tidak menghasilkan telur atau telur yang dihasilkan tidak menetas (contoh: Pratylenchus spp, Meloidogyne javanica). 4. Organisme antagonis (agens antagonis), merupakan organisme (sebagai musuh alami) yang mengganggu aktifitas penyakit dalam menimbulkan gejala penyakit pada fase patogenesis dan dalam fase saprogenesis. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme antagonisme yang mungkin terjadi dalam menekan populasi atau aktifitas patogen yang dapat berupa : (1) persaingan ruang dan hara, (2) antibiosis dan lisis, (3) toksin atau (4) hiperparasitisme. Beberapa contoh mikroorganisme yang berfungsi sebagai antagonis bagi patogen yaitu :

Bacillus subtilis antagonis terhadap Rhizoctonia solani, Phythium sp, Scleretium rolfsii dan Fusarium. B. subtilis dapat digunakan sebagai perlakuan benih Trichoderma spp dan Gliocladium spp. bersifat antagonis terhadap Rhizoctonia spp, Sclerotium rolfsii, Pythium, Fusarium, Phytopthora dan lain-lain. Hasil penelitian Korlina, dkk (2008 a) bahwa penggunaan Trichoderma pada tanaman bawang merah di lapangan dapat menekan serangan layu fusarium sampai 79%. Paecilomyces lilacinus sp. untuk mengendalikan nematoda Pratylenchus sp. Hasil penelitian pada tanaman kopi menunjukkan bahwa persentase luas serangan akibat nematodea Pratylenchus coffeae, dengan aplikasi cendawan P. lilacinus dengan cara penyiraman lebih rendah (16%) dibanding aplikasi dengan cara ditabur (36%), sedangkan yang tidak diaplikasi (kontrol) mencapai 58% (Korlina dkk, 2009).

2.4.5 2.4.5.1.

Teknik Pengendalian Hayati dalam Sistem PHT Introduksi Introduksi adalah pengimporan satu atau lebih musuh alami dari tempat asalnya.

Yang perlu diperhatikan untuk musuh alami introduksi adalah mempunyai sifat-sifat yaitu, secara ekologi kompatibel; secara temporal sinkron; tanggap terhadap kerapatan populasi inangnya; potensi reproduksi cukup tinggi; kemampuan mencari baik; kemampuan memencar tinggi; inang alternatif dan kebiasaan; dan kemudahannya untuk dibiakkkan. 2.4.5.2 Augmentasi Augmentasi adalah melakukan pembiakan masal musuh alami di laboratorium jika jumlah populasi musuh alami di lapangan sangat sedikit. Kadang-kadang musuh alami aseli atau eksotik yang sudah mapan populasinya sangat rendah, ketidakhadiran atau terlambat kehadirannya, sehingga perlu ditambah dengan material yang berasal dari biakan di laboratorium dengan cara pelepasan sewaktu-waktu atau teratur. Proses atau metode ini secara umum disebut augmentasi. Van Driesche & Bellows (1996) mengemukakan bahwa ada dua pola augmentasi, yaitu :

augmentasi inokulatif yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah kecil dan hanya sebagai inokulan pada pertanaman dan pengendalian baru terjadi oleh generasi-generasi selanjutnya

augementasi inundatif yaitu musuh alami yang dilepas relatif besar jumlahnya dan diharapkan pengendalian terjadi langsung oleh musuh alami yang dilepas itu.

2.4.5.3.

Konservasi Konservasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan dan melestarikan musuh alami

yang sudah ada di suatu tempat atau ekosistem dan membuatnya lebih efektif dalam fungsinya. Konservasi musuh alami dapat dicapai, melalui penggunaan pestisida secara bijaksana, sedapat mungkin dengan pestisida selektif, modifikasi cara bercocok tanam dan pola tanam untuk meningkatkan daya bertahan musuh alami.

2.5 2.5.1

Pestisida Nabati Pengertian Pestisida Nabati Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau

tumbuhan yang sebenarnya yang ada di sekitar kita. Penggunaan pestisida nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia.

2.5.2

Mekanisme Pestiisda Nabati Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu, merusak perkembangan telur, larva

dan pupa; menghambat penggantian kulit; mengganggu komunikasi serangga; menyebabkan serangga menolak makan; menghambat reproduksi serangga betina; mengurangi nafsu makan; memblokir kemampuan makan serangga; mengusir serangga; menghambat perkembangan patogen penyakit.

2.5.3

Keunggulan dan Kelemahan Pestisida Nabati Keunggulan dari pestisida nabati diantaranya yaitu, murah dan mudah dibuat oleh

petani; relatif aman terhadap lingkungan; tidak menyebabkan keracunan pada tanaman; sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama; kompatibel digabungkan dengan cara pengendalian yang lain; menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.

Kelemahan dari pestisida nabati adalah daya kerjanya relatif lambat, tidak membunuh jasad sasaran secara langsung, tidak tahan terhadap sinar matahari, tidak tahan disimpan, dan kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang. 2.5.4 2.5.4.1. Tanaman Bahan Pestisida Mimba (Azadirachta indica) Mengandung senyawa aktif azadirachtin, meliantriol, dan salanin. Berbentuk tepung dari daun atau cairan minyak dari biji/buah. Efektif mencegah makan (antifeedant) bagi serangga dan mencegah serangga mendekati tanaman (repellent) dan bersifat sistemik. Mimba dapat membuat serangga mandul, karena dapat mengganggu produksi hormone dan pertumbuhan serangga. Mimba mempunyai spectrum yang luas, efektif untuk mengendalikan serangga bertubuh lunak (200 spesies) antara lain belalang, thrips, ulat, kupu-kupu putih, dll. Disamping itu dapat juga untuk mengendalikan jamur (fungisida) pada tahap preventif, menyebabkan spora jamur gagal berkecambah. Jamur yang dikendalikan antara lain penyebab: embun tepung, penyakit busuk, cacar daun/kudis, karat daun dan bercak daun. Dan mencegah bakteri pada embun tepung (powdery mildew). Ekstrak mimba sebaiknya disemprotkan pada tahap awal dari perkembangan serangga, disemprotkan pada daun, disiramkan pada akar agar bisa diserap tanaman dan untuk mengendalikan serangga di dalam tanah. 2.5.4.2. Akar Tuba (Deris eliptica) Senyawa yang telah ditemukan antara lain adalah retenon. Retenon dapat diekstrak menggunakan eter/aseton menghasilkan 2 4 % resin rotenone, dibuat menjadi konsentrat air. Rotenon bekerja sebagai racun sel yang sangat kuat (insektisida) dan sebagai antifeedant yang menyebabkan serangga berhenti makan. Kematian serangga terjadi beberapa jam sampai

beberapa hari setelah terkenal rotenone. Rotenon dapat dicampur dengan piretrin/belerang. Rotenon adalah racun kontak (tidak sistemik) berpspektrum luas dan sebagai racun perut. Rotenon dapat digunakan sebagai moluskisida (untuk moluska), insektisida (untuk serangga) dan akarisida (tungau). 2.5.4.3. Kecubung Kecubung adalah tumbuhan penghasil bahan obat-obatan yang telah dikenal sejak ribuan tahun. Sebagai anggota suku Solanaceae, tumbuhan ini masih sekerabat dengan datura, tumbuhan hias dengan bunga berbentuk terompet yang besar. Kecubung biasanya berbunga putih dan atau ungu, namun hibridanya berbunga aneka warna. Diperkirakan tanaman ini pertama kali dipakai sebagai obat-obat pada abad kesepuluh. Kecubung ada yang berasal dari Asia Tenggara, namun ada juga yang berasal dari Benua Amerika. Kecubung tumbuh di tempat yang beriklim panas dan dibudidayakan di seluruh belahan dunia karena khasiat yang dikandungnya dan juga untuk tanaman hias. Bagian-bagian kecubung, tetapi terutama bijinya, mengandung alkaloid yang berefek halusinogen dan dapat mengganggu sistem syaraf pada serangga.

2.5.4.4.

Gadung (Discorea hispida) Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati adalah umbinya. Umbi gadung mengandung bahan aktif diosgenin, steroid saponin, alkaloid dan fenol. Pestisida nabati umbi gadung efektif untuk mengendalikan ulat dan hama pengisap.

2.5.4.5.

Kluwak (Pangium edule) Nama speciesnya Pangium edule Reinw. Kluwak diperoleh

masyarakat sekitar dengan cara mengambilnya dari tanaman pohon kepayang yang diambil bijinya. Pohon kepayang tingginya 40 meter dan diameter batangnya 2,5 meter. Tumbuh liar di daerah 1000 m dpl (di atas permukaan laut) di seluruh Indonesia. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah biji kluwak yang masih muda. Biji kluwak mengandung bahan kimia asam sianida yang sifatnya beracun, mudah menguap pada suhu 26 derajat Celcius, bila terhirup binatang ternak dapat mengakibatkan kematian, namun aman untuk pengawetan ikan. 2.5.4.6 Tembakau (Nicotiana tabacum) Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati adalah batang dan daunnya. Senyawa yang dikandung adalah nikotin. Ternyata nikotin ini tidak hanya racun untuk manusia, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk racun serangga Daun tembakau kering mengandung 2 8 % nikotin. Nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat. Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga sehingga efektif untuk mengendalikan hama pengisap juga serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida). 2.5.4.7 Cabe Rawit Buahnya mengandung kapsaisin, karotenoid, alkaloid asiri, resin, minyak menguap, vitamin A dan C. Kapsaisin memberikan rasa pedas pada cabai, berkhasiat untuk melancarkan aliran darah serta pemati rasa kulit. Biji mengandung solanine, solamidine, solamargine, (kapsisidin). solasodine, solasomine dan steroid saponin

2.5.5

Cara Pembuatan Pestisida Nabati 1. Pinus (Pinus merkusii) Bagian : Batang

Pembuatan : Serbuk gergaji kayu pinus dijemur sampai kering kemudian disebarkan ke bahan persemaian pada pagi hari. Sasaran : Menghambat penetasan wereng coklat

2. Picung/Kluwak (Pangium edule) Bagian : Buah

Pembuatan : Satu buah picung dihancurkan kemudian direndam dalam 1 gelas air selama satu hari satu malam. Hasil rendaman tersebut disaring dan dilarutkan dalam 10 liter air kemudian disemprotkan. Akan lebih efektif dan efisien bila dikombinasikan dengan perangkap yuyu (ketam)/laos/kotoran ayam ras/bangkai keong mas atau bahan perangkap lain. Sasaran : Walang sangit

Kandungan : Palmitic acid, oleic acid dan linoleic acid.

3. Sirsak (Annona muricata) dan Tembakau (Nicotina tabacum) Bagian : Daun, biji (sirsak) dan daun (tembakau)

Pembuatan : 50 lembar daun sirsak diremas-remas dicampur 1 ons tembakau, direndam dalam 1 liter air selama 24 jam. Air rendaman disaring dan dilarutkan dalam 28 liter air kemudian disemprotkan. Akan lebih efektif dan efisien bila dikombinasikan dengan perangkap seperti diatas. Sasaran : Walang sangit

Kandungan : Annonain (sirsak) dan nikotin (tembakau)

4. Sirih (Piper bettle) Bagian : Daun

Pembuatan : Daun sirih ditumbuk halus dan dicampur air secukupnya kemudian disaring. Air saringan sebanyak 3 cc/liter air disemprotkan.. Sasaran : Walang sangit

5. Gadung (Discorea hispida) Bagian : Umbi

Pembuatan : Umbi gadung seberat 5 kg diparut kemudian direndam dalam 10 liter air. 1 liter air rendaman dicampur dengan 14 liter air untuk disemprotkan. Sasaran : Walang sangit

Kandungan : Diosgenin dan Steroid saponin

6. Lengkuas (Alpinia galanga) dan Jahe (Zingiber officinale) Bagian : Rimpang

Pembuatan : Lengkuas dan jahe ditumbuk atau diparut, kemudian diperas untuk diambil sarinya, selanjutnya dicampur air secukupnya untuk disemprotkan pada areal tanaman terserang. Sasaran : Ulat grayak kedelai

7. Tembakau (Nicotiana tabacum) Bagian : Daun

Pembuatan : Tembakau seberat 0,5 kg dimasukkan ke dalam kaleng dan disiram air panas 4 lietr, kemudian didiamkan sampai dingin. Campuran disaring dan dilarutkan ke dalam air dengan konsentrasi 60 cc/15 liter air. Siap disemprotkan pada tanaman terserang. Sasaran : Ulat penggulung dan dan ulat grayak kedelai

8. Srikaya (Annona squamosa) Bagian : Biji

Pembuatan : Biji yang telah tua ditumbuk sampai halus. Tepung yang terbuat dari 20 butir biji dicampur dengan 1 liter air. Sebagai bahan perekat bisa ditambah air sabun Sasaran : Wereng, aphis, semut, dan ulat kubis

Kandungan : Annonain dan resin

9. Tuba (Derris eliptica) Bagian : Akar dan kulit kayu

Pembuatan : Akar dan kulit kayu ditumbuk dan dicampur air lalu disaring. 6 sendok larutan dicampur dengan 3 liter air. Dapat ditambah air sebagai perekat. Sasaran : Berbagai jenis ulat

Kandungan : Rotenon

10. Mimba (Azadirachta indica) Bagian : Daun dan biji

Pembuatan : Biji dan daun ditumbuk (1 kg) lalu direbus dengan air 5 liter dan dididnginkan selama 1 malam kemudian disaring Sasaran : Ulat, kutu, kumbang, dan penggerek

Kandungan : Azadirachtin, meliantriol, dan salanin

2.5.6

Diagram Proses Pembuatan Pestisida Nabati

2.6 2.6.1

Pengendalian Kultur Teknis Pengertian Pengendalian Kultur Teknis Pemeliharaan tanaman atau kontrol hama yang baik dapat meningkatkan kesehatan

tanaman. Penyiraman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penggantian media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Secara tidak langsung, kultur teknis yang baik dapat memantau keberadaan hama dan penyakit secara dini (Anonim, 2009).

Pengendalian secara kultur teknis (cultural control), pada prinsipnya merupakan cara pengendalian dengan memanfaatkan lingkungan untuk menekan perkembangan populasi hama (Anonim, 2008). Metode pengendalian ini diartikan sebagai cara penurunan populasi serangga dengan melakukan berbagai perubahhan dalam praktek pertanian, yaitu memanipulasi ekosistem pertanian sedemikian rupa sehingga menjadi kurang atau tidak sesuai dengan kehidupan alami (Stern, et al. 1976). Watson (1979) mengemukakan bahwa ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam menggunakan pengendalian kultural, yaitu pengetahuan tentang biologi dan ekologi hama. Tujuan pengendalian kultur teknis adalah untuk menekan populasi sampai pada tingkat yang cukup rendah untuk mencegah terjadinya kerusakan ekonomi dengan menggunakan praktek-praktek kultural tanpa mengurangi hasil ataupun mengganggu serangga yang berguna.

2.6.2

Keunggulan dan Kelemahan Pengendalian Kultur Teknis Keunggulan pengendalian secara kultur teknis adalah biaya pengendalian sangat

murah atau sama sekali tidak ada karena petani hanya mengubah sistem pengelolaan pertaniannya; mudah dilakukan dan bersifat fleksibel; tidak mempunyai efek sampingan terhadap lingkungan; tidak berbahaya bagi petani; kompatibel untuk cara-cara pengedlian yang lain; serta dalam banyak contoh tidak membutuhkan penambahan peralatan Kelemahannya antara lain, tidak dapat dilakukan dengan cepat tetapi membutuhkan waktu lama sebelumnya; kadang-kadang tidak menurunkan populasi di bawah garis ambang ekonomi atau tidak memberikan kendali yang sempurna; dalam hal rotasi tanaman tidak dapat melakukan penanaman secara terus menerus untuk satu jenis tanaman.

2.6.3 2.6.3.1

Cara Pengendalian Secara Kultur Teknis Pengolahan Tanah Pengolahan tanah setelah panen larva-larva hama yang hidup di dalam tanah akan

mati terkena alat-alat pengolahan seperti cangkul. Di samping itu akibat lain dari pengolahan tanah ini akan menaikkan larva dan telur dari dalam tanah ke permukaan tanah. Dengan

demikian larva-larva dan telur larva akan dimakan burung atau mati terkena cahaya matahari langsung.

2.6.3.2

Sanitasi Lingkungan Dengan menghancurkan, membakar atau membuang sisa-sisa tanaman bekas

serangan hama yang ada di lapangan akan sangat membantu dalam pengendalian serangga hama. Tanaman bekas serangan biasanya akan menjadi sumber utama kelangsungan hidup serangga dan juga sekaligus menjadi sumber utama dalam meniadakan infestasi serangan pada penanaman berikutnya. Serangga hama kumbang kelapa, Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Dynastidae) biasa hidup dalam batang kelapa atau sisa-sisa tanaman lain yang membusuk. Populasi hama kumbang kelapa ini dapat ditekan dengan membersihkan sisa-sisa tanaman yang membusuk dan sampah-sampah di sekitar pertanaman kelapa. Cara sanitasi lainnya adalah dengan membersihkan gulma yang menjadi inang seranggga hama. Pemebrsihan gulma bukan hanya untuk pertumbuhan tanaman yang sehat tetapi juga perlu untuk menjaga agar gulma tidak menjadi tempat berlangsungnya hidup serangga, untuk bertelur atau mendapatkan sumber makanan ataupun hanya untuk tempat tinggal sementara. Dengan membersihkan tempat-tempat yang kemungkinan digunakan oleh serangga untuk berkembang biak, berlindung, berdiapause maka perkembangan serangga yang menjadi hama tanaman dapat dicegah. . 2.6.3.3 Pemupukan Tujuan pemupukan ialah untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman supaya produksi tanaman meningkat. Pemupukan harus diberikan di tempat-tempat di mana haa makanan yang terkandung dalam tanah sudah berkurang atau tidak ada. Pemupukan tanaman yang tepat bukan hanya untuk mempercepat pertumbuhan tanaman tetapi juga akan memperkuat tanaman itu. Dilain pihak, pemupukan juga dapat memperbanyak sistem pertunasan sehingga tanaman lebih lebat dan rimbun. Sebagai peraturan yang berisfat umum, tanaman yang sehat akan lebih kuat dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit.

Pada umunya tanaman yang sehat memiliki zat-zat makanan yang cukup sehingga produksi enzim dan senyawa-senyawa racun alami dari tanaman itu dengan sendirinya juga lebih tinggi. Kogan (1975) mengemukakan bahwa pemupukan dan irigasi dapat menginduskikan ketahanapada tanaman. Penggunaan pupuk menjadikan tanaman sehat dan lebih mudah mentoleransi serangga hama tanaman.

2.6.3.4

Irigasi Pengolahan air dapat menghalangi perkembangan hama-hama tertentu. Akan tetapi

bila cara pengolahan air kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan perkembangan populasi hama tanaman.

2.6.3.5

Strip farming Serangan hama tertentu dapat di atasi dengan cara catch crop yaitu bercocok tanam

secara berselang seling, antara tanaman yang berumur panjang dan tanaman berumur pendek.

2.6.3.6

Rotasi tanaman Penanaman secara monokultur memberi peluang bagi serangga-serangga tertentu

untuk berkembang karena tersedianya makanan yang cukup. Serangga-seragngga yang bersifat monofagus (hidup hhanya dalam satu jenis tanaman) biasanya berkembang dengan sangat cepat sesuai dengan persediaan makanan yang ada tetapi bila tanaman telah habis maka seranggaserangga ini dengan sendirinya akan hilang. Berbeda dengan serangga yang polifagus (pemakan banyak jenis tanaman) di mana hilangnya satu jenis tanaman tertentu tidak akan mengakibatkan hilangnyaserangga tersebut karena mereka dapat mencari inang yang lainnya. Dasar dari pengendalian hama dengan menggunakan pergiliran tanaman ialah meniadakan makanan dalam satu waktu tertentu untuk serangga hama khususnya yang hidup hanya dari tanaman tertentu. Jadi sistem pergiliran tanaman berlaku untuk serangga yang bersifat monofagus. Selain serangga yang bersifat monofagus, serangga yang mempunyai siklus hidup yang panjang dan memiliki bagian yang tidak bergerak dalam perkembangan siklus hidupnya juga dapat dikendalikan dengan pengendalian ini. Menanam tanaman yang berbeda-beda jenisnya dalam satu tahun dapat memutus atau memotong daur hidup hama terutama hama yang sifatnya monofagus (satu jenis makanan).

2.6.3.7

Pengaturan Waktu Tanam dan Panen Pengaturan waktu tanam dan panen mempunyai hubungan yang erat dengan siklus

hidup dan tingkah laku serangga. Pada dasarnya perubahan waktu tanam dan panen bertujuan untuk menjaga terjadinya infestasi atau serangan hama pada tingkat perkembangan tanaman yang peka. Dengan mengetahui masa bertelur atau tingkat perkembangan serangga maka kita dapat menggunakan pengendalian ini. Penanaman seharusnya dilakukan pada saat tidak ada hama dan pada waktu yang tepat sehingga terjadi perbedaan waktu dalam tahap pertumbuhan serangga dengan tahap petumbuhan tanamanyang rentan terhadap serangan hama. Jadi perubahan waktu tanaman ini ditujukan uuntuk menhinddari tanaman terhadap serangan seranga hama. Salah satu contoh klasik dalam ppengendalian kultural dengan perubahan waktu tanamn ialah pengendalian Scirpophaga innonata sebagaimana diuraikan oleh Kalshoven (1981). Periode yang dimanfaatkan dalm siklus iini ialah : (1) seusdah penerbangan pertama, pada wakttu ngengat mencari tempatpeneluran yang cocok selama 14 hari dari massa hidupnya. Apabila tidak ada tanaman padi, maka tidak ada infestasi hama, (2) puncak dari penerbangan ngengat yyang keempat harus bersamaan dengan pra-pembungaan tanaman padi. Apabila puncak ini terjadi lebih awal atau sesudah itu maka kerusakan tanaman tidak akan nyata. Panen dapat mempengaruhi kehidupan serangga secara nyata. Dengan adanya panen maka akan terjadi perubahan lingkungan di mana iklim akan menjadi lebih ppanas dan kering, makanan berkurang, dan tempat hidup menjadi lebih terbatas. Panen yang tepat akan mengurangi populasi hama.

2.6.3.8

Penggunaan Benih Sehat dan Varietas Tahan Benih atau bibit sehat adalah benih yang terpilih dengan baik, berasal dari biji

dewasa, bersih, ukuran yang cocok, bebas dari hama penyakit serta mempunyai produktivitas yang tinggi. Kadang benih yang lama disimpan terserang oleh hama gudang dan bila ditanam maka pertumbuhannya akan kurang baik, atau bila sudah terserang penyakit maka penyakit itu akan berkembang di lapngan dan dapat mematikan benih yang tumbuh. Jadi pemilihan benih yang baik sangatlah menentukan daya tahan dan pperkembangan tanaman di lapngan.

Tanaman yang tahan terhadap hama didefenisikan sebagai sifat yang memungkinkan tanaman untuk menghindar, bertahan, atau bertumbuh kembali akibat serangan hama yang sebetulnya dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih besar terhadap tanaman dari spesies yang sama dalam kondidi lingkuangan yang sama (Kogan, 1975). Sifat resistensi atau ketahanan tanaman dikendalikan secara genetis dan sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Kogan (1975) membagi resistensi tanaman dalam dua bagian, yaitu resistensi ekologis dan resistensi genetis. Resisitensi ekologis terbagi dalam dua bentuk, yaitu asinkroni fenologis yang dapat terjadi dengan menanam lebih awal atau menunda penanaman dari resisitensi penenkan/ pembujuk, yaitu dengan mengubah kondisi lingkungan sehingga terjadi perubahan fisiologi tanaman dan menjadi tidak cocok bagi inang (serangga). Cara ini dapat dilakukan dengan cara pemupukan dan irigasi. Resistensi genetis merupakan bentuk resistensi yang didasarkan pada karakter-karakter yang diwariskan. Bentuk resistensi itu berupa tidak disukai, antibiosis, dan toleransi. Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologis yang bersifat permanen atau sementara sebagai akibat dari memakan tanaman oleh serangga. Antibiosisi disebabkan adanya metabolit racun (alkaloid, glukosida, dan quinon) yang menginhibisi proses pencernaan makanan. Toleransi adalah bentuk resisitensi di mana tanaman memiliki kemampuan utnuk memperbaiki kerusakan yang terjadi atau bertumbuh dan memberikan hasil yang tinggi.

2.6.3.9

Tanaman Perangkap Penanaman tanaman perangkap dimaksudkan untuk menangkap serangga dengan

menanam sejenis tanaman peka dalam jumlah kecil di dekat tanaman utama yang kemudian dikendalikan atau dimusnahkan dengan insektisida. Sebagimana diketahui, sebagian serangga hama bersifat polifagustidak bergantung pada satu jenis tanaman inang. Serangga yang dapat hidup dari beberapa jenis inang, misalnya jenis belalang, kepik busuk, atau kutu daun dapat ditangkap dengan menenam tanaman inang lain di dekat tanaman pokok.

2.6.3.10

Penanaman Serentak

Penanaman serentak, yaitu sistem penanaman yang dilakukan secara dalam serentak oleh setiap petani dalam satu wilayah pertanian tertentu. Di beberapa tempat biasanya petani menanam tanaman menurut kehendaknya sendiri tanpa bekerjasama dengan ppetani lain. Akibatnya, terjadi sistem penanaman yang semrawut di mana dalam satu areal terdapat berbagai jenis komoditas pertanian dalam luasan kecil. Sistem pertania seperti itu membuka peluang bagi serangga hama secara terus menerus dan memberi peluang bagi hama seperti wereng untuk menyerang sewaktu-waktu karena makanan tersedia terus menerus. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan penanaman serentak. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik diantara petani baik waktu pembibitan, penanaman, pemupukan, penyiangan, dan lain-lain.

2.6.3.11

Penggunaan Mulsa Mulsa plastik berfungsi untuk mengurangi penguapan air tanah, menakan

pertumbuhan gulma, mengurangi penggunaan pupuk karena adanya bahan organik yang terurai dengan cepat dalam tanah yang ditutup oleh mulsa, mengurangi populasi hama karena adanya pantulan cahaya dari mulsa plastik. Mulsa plastik biasanya diletakkan di atas permukaan bedeng untuk menutup bedeng dengan mengeratkan dengan bedeng menggunakan tali rafia atau ajir. Sebelum penanaman, dibuat lobang-lobang pada bagian mulsa yang akan ditanami.

BAB III BAHAN DAN METODA


3.1 Di Lapangan

3.1.1 Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin di Laboratorium Patologi Jurusan Hama dan penyakit Fakultas Pertanian pukul 14.00 WIB sedangkan pengamatannya dilakukan sekali seminggu di ladang cabe di daerah kampung durian.

3.1.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah tanaman cabe sebanyak 5 sampel, kamera untuk dokumentasi, alat tulis.

3.1.3 Cara kerja Diambil 5 sampel tanaman cabe yang diambil secara diagonal, yaitu 2 4 buah ditepi dan 1 diambil dari tengah. Setelah itu dari 5 sampel tersebut dilakukan penukuran tingginya, jumlah daun, dan diamati setai masing-masing sampel intensitas serangan dari hama dan penyakitnya baik dari batang, daun, dan buah dan dihitung berapa jumlahnya.

3.2

Di Rumah Kaca

3.2.1 Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin pukul 14.00 WIB di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Program Studi Agroekoteknologi Universitas Andalas Padang.

3.2.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan meliputi benih kacang panjang, timun, cangkul, polybag ukuran 5 kg sebanyak 9 buah, tanah dan pupuk kandang, metarrhizium, dan trichoderma.

3.2.3 Cara Kerja Disiapkan 9 buah polybag ukuran 5 kg kemudian dimasukkan tanah dengan berat 5 kg kedalam masing-masing polybag. Setelah itu, ditentukan 3 buah polybag sebagai kontrol dan

6 polybag lainnya ulangan. Masing-masing polybag diberi metarrhizium. Kemudian diberi air secukupnya dan dibiarkan selama 1 minggu dan dilakukan penyiraman jika tanahnya kering. Selanjutnya, setelah 1 minggu dilakukan penanaman kacang panjang dan timun. Masing-masing polybag dibuat lubang dan dimaukkan benih kacang panjang sebanyak 5 butir dan ditutup. Setelah itu disiram secukupnya. Kemudian dilakukan ppengamatan tiap hari. Setelah itu, 1 minggu selanjunya barulah diberi trichoderma. Pada kontrol tidak diberi trichoderma. Hal ini bertujuan untuk membandingkan bagimana pertumbuhan antra kacang panjang yang sebagai kontrol dengan kacang panjang yang dijadikan ulangan. Selanjutnya, dilakukan pengamatan tiap hari untuk melihat perkembangannya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Lapangan

4.1.1 Hasil Hari/ Tanggal Pengamatan : Minggu/ 07 April 2013 Pengamatan KeHama Cabai Pengamatan Tanaman Jumlah Jumlah Daun Jumlah Batang Daun Terserang Terserang 156 buah 23 Tidak ada 105 buah 20 Tidak ada 168 buah 15 Tidak ada 103 buah 18 Tidak ada 65 buah 16 Tidak ada : V (Lima)

Tanaman 1. 2. 3. 4. 5.

Tinggi Tanaman 48 cm 58 cm 83 cm 52 cm 33 cm

Jumlah Buah Terserang Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Jenis Hama Thrips Kutu daun Thrips Kutu daun Thrips

Penyakit Cabai Pengamatan Tanaman Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Daun Daun Batang Buah Terserang Terserang Terserang 156 buah 133 buah Tidak ada 1 buah

Tanaman 1.

Tinggi Tanaman 48 cm

Jenis Penyakit Kuning keriting, Antraknose Kuning keriting, busuk buah Kuning keriting, mosaik Kuning keriting, bercak daun, busuk buah Kuning keriting, bercak daun busuk buah

2. 3. 4.

58 cm 83 cm 52 cm

105 buah 168 buah 103 buah

85 buah 153 buah 85 buah

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

1 buah Tidak ada Tidak ada

5.

33 cm

65 buah

49 buah

Tidak ada

Tidak ada

Hari/ Tanggal Pengamatan : Minggu/ 14 April 2013 Pengamatan KeHasil Pengamatan Hama Cabai Pengamatan Tanaman Jumlah Daun Jumlah Batang Terserang Terserang 23 Tidak ada 20 Tidak ada 18 Tidak ada 22 Tidak ada 21 Tidak ada : VI (Enam) :

Tanaman 1. 2. 3. 4. 5.

Tinggi Tanaman 52 cm 60 cm 90 cm 54 cm 40 cm

Jumlah Daun 160 buah 105 buah 170 buah 140 buah 70 buah

Jumlah Buah Terserang Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Jenis Hama Kutu daun Kutu daun Kutu daun -

Penyakit Cabai Pengamatan Tanaman Jumlah Jumlah Jumlah Daun Batang Buah Terserang Terserang Terserang 160 buah 135 buah Tidak ada Tidak ada 105 buah 85 buah Tidak ada Tidak ada Jumlah Daun 170 buah 140 buah 70 buah 154 buah 85 buah 50 buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tanaman 1. 2. 3. 4. 5.

Tinggi Tanaman 52 cm 60 cm 90 cm 54 cm 40 cm

Jenis Penyakit Kuning keriting Kuning keriting, mosaik Kuning keriting, mosaik Kuning keriting, bercak daun Kuning keriting, bercak daun

4.1.2

Pembahasan Hama yang menyerang pada tanaman cabai ini adalah hama triphs dan kutu daun.

Hama triphs (Thrips parvispinus) ini menyukai daun muda. Mula-mula yang terserang memperlihatkan gejala noda keperakan yang tidak beraturan, akibat adanya luka dari cara makan hama tersebut. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut berubah menjadi kecoklatan terutama pada bagian tepi tulang daun. Daun-daun mengeriting ke arah atas. Pada musim kemarau perkembangannya sangat cepat sehingga populasinya lebih tinggi. Penyebarannya sangat terbantu oleh angin, karena Thrips dewasa tidak bisa terbang dengan sempurna. Pada musim hujan populasinya relatif rendah karena banyak Thrips yang mati tercuci oleh curah hujan. Cara pengendalian :

Secara mekanik dilakukan dengan pembersihan semua gulma dan sisa tanaman inang kutu daun yang ada di sekitar areal pertanaman cabai;

Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat mengurangi masuknya kutu daun dari luar pertanaman cabai; Pengaturan pola tanam, misalnya tumpangsari dengan bawang daun, pola tumpang gilir dengan bawang merah, tanaman bawang dapat bersifat sebagai pengusir hama kutu daun; Secara biologis dilakukan dengan pemanfaatan musuh alami Pengendalian secara kimia dapat dilakukan pada tingkat kerusakan daun/tanaman contoh sekitar 15 %, dengan insektisida yang berbahan aktif fipronil atau diafenthiuron. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada sore hari.

Hama yang menyerang selain Thrips yaitu kutu daun persik (Myzus persicae). Kutu daun persik dapat menyebabkan kerugian secara langsung, yaitu mengisap cairan tanaman. Tanaman yang terserang daunnya menjadi keriput dan terpuntir, dan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Kerusakan pada daun muda yang menyebabkan bentuk daun keriput menghadap ke bawah adalah ciri spesifik gangguan kutu daun. Bagian daun bekas tempat isapan kutu daun berwarna kekuningan. Populasi kutu daun yang tinggi akan menyebabkan klorosis dan daun gugur juga ukuran buah menjadi lebih kecil. Cara pengendalian :
Secara mekanik dilakukan dengan pembersihan semua gulma dan sisa tanaman inang hama Thrips yang ada di sekitar areal pertanaman cabai. Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat mencegah hama Thrips mencapai tanah untuk menjadi pupa sehingga daur hidup Thrips akan terputus. Pemasangan mulsa jerami

di musim kemarau akan meningkatkan populasi predator di dalam tanah yang pada akhirnya akan memangsa hama Thrips yang akan berpupa di dalam tanah;

Pengaturan pola tanam, misalnya pola tumpang gilir dengan bawang merah akan menekan serangan hama Thrips pada tanaman cabai mudaPengendalian secara kimia
dapat dilakukan pada tingkat kerusakan daun/tanaman contoh sekitar 15 %, dengan insektisida yang berbahan aktif fipronil atau diafenthiuron. Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada sore hari.

Penyakit yang menyerang pertanaman cabai ini adalah penyakit bercak daun, kuning keriting, mosaik dan antraknose. Bercak Daun Cercospora Penyakit bercak daun pada cabai disebabkan oleh jamur Cercospora capsici. Gejala pada daun berupa bercak sirkuler dengan bagian tengah berwarna abu-abu, dan bagian luarnya berwarna coklat tua. Pada kelembaban tinggi, bercak cepat melebar, kemudian mengering dan pecah dan akhirnya gugur. Daun yang terinfeksi berat berubah warna menjadi kuning dan gugur ke tanah. Jamur dapat bertahan lama dari musim ke musim pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi atau dapat terbawa biji. Serangan yang parah umumnya pada tanaman yang memasuki fase pembungaan. Penyebaran penyakit melalui spora yang ditiup angin, percikan air hujan, air siraman, dan alat pertanian pekerja kebun. Perkembangan penyakit sangat cepat apabila kondisi lingkungan sangat kondusif, yaitu kelembaban relative udara lebih dari 90 %, dengan suhu udara 28 32oC. Pada pengamatan yang dilakukan ada beberapa tanaman cabai yang terserang penyakit bercak daun tapi penyakit yang lebih mendominasi adalah kuing kerting yang hampir mengenai seluruh tanaman cabai. Cara pengendalian : Menanam benih yang sehat dan bebas patogen; Melakukan sanitasi lapangan terhadap gulma yang menjadi inang alternatif patogen serta tanaman yang terinfeksi dandimusnahkan, untuk mengurangi sumber inokulum awal; Membuat tata air yang baik untuk menjaga kelengasan tanah dan kelembaban lingkungan yang dapat menghambat perkembangan patogen; Menggunakan fungisida efektif yang direkomendasikan secara bijaksana.

Virus Kuning (Pepper Yellow Leaf Curl Virus Bulai) Penyakit virus kuning yang umum disebut penyakit bulai cabai disebabkan oleh virus Gemini. Patogen juga dapat menyerang tanaman tomat serta tanaman lain yang termasuk dalam Solanaceae dan Cucurbitaceae. Penyakit ditularkan melalui vektor kutu kebul (Bemicia tabaci). Kerusakan yang ditimbulkan sangat bervariasi, tergantung kondisi lokasi pertanaman dan stadia tanaman saat terinfeksi. Semakin awal tanaman terinfeksi virus, semakin besar kehilangan hasil yang disebabkannya. Gejala yang timbul pada cabai besar berupa menguningnya daun tanaman, daun mengecil, dan keriting, tanaman menjadi kerdil, bunga rontok yang berakibat tanaman tidak menghasilkan buah. Pada cabai rawit gejala yang timbul adalah menguningnya seluruh daun dan tanaman dapat menjadi kerdil bila infeksi terjadi sejak awal pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman bisa tidak menghasilkan (gagal panen). Pada pengamatan cabai ditemukan kutu kebul yang merupakan vektor dari penyakit kuning keriting ini. Kutu kebul ini bersembunyi di bawah daun. Indikator adanya kutu kebul ini adalah banyaknya semut yang berada pada tanaman cabai. Kutu kebul meninggalkan kotoran yang rasanya manis sehingga merangsang semut untuk berdatangan. Cara pengendalian : Menggunakan benih yang sehat dan bebas patogen. Pembuatan benih dapat dilakukan dengan menyungkup pesemaian dengan kain kasa berlubang halus untuk menghindari masuknya vektor B. tabaci, sehingga virus tidak dapat ditularkan; Melakukan sanitasi lapangan dari gulma yang menjadi inang alternatif maupun tanaman sakit sejak awal untuk menekan populasi inokulum awal; Menanam varietas cabai yang toleran. Cabai rawit dinyatakan lebih toleran dibandingkan cabai besar; Menggunakan pupuk organik cair yang mengandung unsur hara makro, mikro, dan zat pengatur tumbuh sehingga tanaman menjadi sehat yang dapat bereaksi lebih tahan terhadap serangan patogen; Membuat pagar keliling hidup dari tanaman jagung, yang ditanam rapat sebanyak enam baris secara zigzag, untuk menahan vektor B. tabaci masuk ke areal pertanaman dari tanaman disebelahnya yang terinfeksi. Penanaman pagar hidup sebaiknya pada saat 5 - 6 minggu sebelum tanam cabai;

Menyusun pola tanam dan melakukan pergiliran tanaman dengan menanam tanaman yang bukan sebagai inang alternatif bagi patogen Menekan populasi vektor B. tabaci dengan insektisida efektif yang direkomendasikan secara bijaksana, sehingga laju infeksi penyakit menjadi lebih kecil.

Penyakit Mosaik Penyakit mosaik pada cabai disebabkan oleh Cucumber Mosaic Virus (CMV), atau gabungannya dengan beberapa virus lain seperti Tobacco Mosaic Virus (TMV), Potato Virus Y (PVY) dan Chilli Veinal Mottle Virus (CVMV). Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil, warna daun belang hijau muda dan hijau tua, ukuran daun lebih kecil daripada daun yang sehat. Pada tulang daun terdapat jaringan tanaman yang menguning atau hijau gelap dengan tulang daun yang tumbuh lebih menonjol, serta pinggiran daun bergelombang. Virus masuk ke dalam jaringan tanaman melalui luka, memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh jaringan tanaman (sistemik). Penularan virus dapat secara mekanis (bersinggungan antara tanaman sakit dan sehat) serta dapat melalui vektor serangga kutu daun Myzus persicae dan Aphis gossypii. Khusus TMV tidak dapat ditularkan melalui vektor, tetapi dapat menular melalui biji. Pada hasil ada gambar dua buah daun cabai yang satu adalah yang sehat dan yang satu lagi adalah yang terserang penyakit mosaic. Pada gambar tersebut jelas perbedaannnya daun cabai yang sehat akan berwarna hijau yang agak pekat sedangkan yang terserang mosaic akan belang-belang dan ukurannya pun akan lebih kecil dibandingkan daun cabai yang sehat. Cara pengendalian : Melakukan sanitasi lapangan terhadap gulma dan tanaman sakit, selanjutnya dimusnahkan untuk mengurangi sumber inokulum awal; Menghindari kontak dengan tanaman sakit pada saat bekerja; Mengurung perbenihan tanaman cabai dengan kain kasa halus untuk mencegah masuknya vektor mencapai benih tanaman; Untuk mencegah penularan TMV melalui biji, maka biji cabai direndam dalam larutan natrium fosfat 10 % selama satu jam. Mengendalikan serangga vektor penyakit dengan insektisida efektif yang

direkomendasikan secara bijaksana.

Penyakit Antraknose Penyakit antraknose disebabkan oleh dua jenis jamur yaitu Colletotrichum capsici dan Colletotrichum gloeosporioides. Gejala pada biji berupa kegagalan berkecambah dan pada kecambah menyebabkan layu semai. Pada tanaman yang sudah dewasa menyebabkan

mati pucuk, pada daun dan batang yang terserang menyebabkan busuk kering. Buah yang terserang C. capsici menjadi busuk dengan warna seperti terekspos sinar matahari (terbakar) yang diikuti busuk basah berwarna hitam, karena penuh dengan rambut hitam (setae), jamur ini pada umumnya menyerang buah cabai menjelang masak (buah berwarna kemerahan). Jamur C. gloeosporioides memiliki dua strain yaitu strain R dan G. Strain R hanya menyerang buah cabai masak yang berwarna merah, sedangkan strain G dapat menyerang semua bagian tanaman, termasuk buah cabai yang masih berwarna hijau maupun buah yang berwarna merah. Populasi C. gloeosporioides di alam jauh lebih banyak daripada C. capsici. Kedua jenis pathogen tersebut dapat bertahan di biji dalam waktu yang cukup lama dengan membentuk acervulus, sehingga merupakan penyakit tular biji. Pada hasil pengamatan yang dilakukan ada beberapa buah yang terserang penyakit antraknose dimana gejalanya ditengh-tengah buah terdapat gejala kehitaman dan juga busuk. Untuk pencegahannya yaitu langsung mengambil buah yang terserang dan membenamkannya ke dalam tanah sebagai langkah awal pencegahannya. Cara pengendalian : Menanam benih yang sehat dan bebas patogen di lahan yang juga bebas dari pathogen Melakukan perawatan benih (biji) dengan merendam dalam air hangat (550 C) selama 30 menit, atau perawatan benih dengan fungisida efektif yang direkomendasikan; Melakukan sanitasi pada pertanaman dengan cara membakar bagian tanaman yang terserang untuk menekan populasi patogen sejak awal; Menanam varietas cabai yang toleran terhadap penyakit; Melakukan pergiliran tanaman dengan menanam tanaman yang bukan sebagai inang patogen; Melakukan sanitasi terhadap berbagai gulma yang menjadi inang alternatif patogen, seperti Borreria sp. ; Menanam varietas cabai berumur genjah dalam upaya memperpendek periode tanaman terekspos patogen; Menggunakan fungisida efektif yang direkomendasikan menekan perkembangan patogen secara bijaksana, terutama pada saat pematangan buah;

Melakukan prosesing (pascapanen) dengan cara mengeringkan buah cabai dengan cepat atau disimpan pada suhu 0o C dapat membebaskan buah dari serangan pathogen selama 30 hari.

Penyakit Busuk Buah Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Phytophthora capsici. Patogen dapat menyerang pada seluruh bagian tanaman. Serangan pada tanaman yang masih di persemaian dapat menimbulkan gejala layu semai. Infeksi pada batang dimulai dari pangkal batang, yang menunjukkan gejala busuk basah, berwarna coklat kehitaman. Infeksi pada tanaman yang muda menyebabkan kematian tanaman. Infeksi pada tanaman yang telah dewasa menyebabkan batang tanaman mengeras dan akhirnya layu. Infeksi pada daun menyebabkan daun tampak seperti disiram air panas dan akhirnya daun mengering dan gugur. Infeksi pada buah menyebabkan buah berwarna hijau gelap dan busuk basah. Jamur dapat bertahan di dalam tanah maupun biji, mampu bertahan dari kondisi yang tidak menguntungkan dengan membentuk oospora. Pada pengamatan yang dilakukan ada buah cabai yang terserang penyakit busuk buah dimana buah cabai tersebut masih berwarna hijau kemudian tepi buah akan mengeriting. Selanjutnya bagian ujung buah akan berwarna kecoklatan dan diiikuti dengan busuk basah. Cara pengendalian : Sanitasi lapangan dari gulma yang dapat menjadi inang alternatif dan tanaman sakit, untuk meminimalkan sumber inokulum awal; Merawat benih dengan fungisida efektif untuk jamur golongan oomycetes, misalnya yang berbahan aktif metalaksil Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan sebagai inang patogen; Tidak menanam varietas yang rentan, terutama di lokasi yang sudah banyak terdapat patogen; Menggunakan mulsa plastik untuk menghindari penyebaran patogen dari buah, daun, dan batang atas ke dalam tanah atau sebaliknya; Membuat tata air yang baik untuk menekan perkembangan jamur dalam bentuk oospora maupun zoospora; Menggunakan fungisida efektif yang bersifat sistemik yang direkomendasikan secara bijaksana, terutama untuk tanaman dewasa.

Selain itu, ada hal lain yang juga ditemukan pada pertanaman cabai ini yaitu adanya jamur yang tumbuh di bedengan cabai tersebut. Jamur ini ukurannya cukup besar dan berwarna putih. Hal ini menunjukkan bahwa tanah dibedengan tersebut lembab dan juga sbur menyebabkan jamur juga dapat tumbuh.

4.2 4.2.1

Rumah Kaca Hasil : Senin/ 25 Maret 2013 : I (Pertama)

Hari/ Tanggal Pengamatan Pengamatan Ke-

Tanaman A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

Tinggi Tanaman 19,5 cm 18,0 cm 19,0 cm 16,5 cm 16,0 cm 13,5 cm 15,0 cm 12,0 cm 11,0 cm

Pengamatan Tanaman Lebar Daun Panjang Daun Terlebar Terpanjang 2,0 cm 5,0 cm 2,1 cm 6,8 cm 2,9 cm 6,5 cm 1,8 cm 5,8 cm 1,5 cm 4,8 cm 2,5 cm 5,0 cm 3,4 cm 6,5 cm 4,0 cm 5,8 cm 3,0 cm 6,0 cm

Jumlah Daun 3 buah 3 buah 4 buah 4 buah 3 buah 4 buah 4 buah 3 buah 6 buah

Jenis Penyakit -

Jenis Hama -

Hari/ Tanggal Pengamatan

: Senin / 1 April 2013

Tinggi Tanaman A1 30,5 cm A2 30,0cm A3 27,2 cm B1 21,2 cm B2 21,6 cm B3 18,8 cm C1 29,5 cm C2 18,7 cm C3 30,1 cm Pengamatan Ke-

Tanaman

Pengamatan Tanaman Lebar Daun Panjang Daun Jumlah Terlebar Terpanjang Daun 4,7 cm 9,9 cm 8 buah 4,8 cm 10,5 cm 8 buah 4,9 cm 10,0 cm 8 buah 4,8 cm 9,0 cm 8 buah 4,9 cm 8,7 cm 8 buah 4,6 cm 9,1 cm 9 buah 4,8 cm 10,0 cm 8 buah 4,6 cm 8,8 cm 5 buah 5,5 cm 9,8 cm 8 buah : II (Kedua)

Jenis Penyakit -

Jenis Hama -

Hari/ Tanggal Pengamatan : Rabu / 3 April 2013 Pengamatan Ke: III (Ketiga) Pengamatan Tanaman Panjang Daun Jumlah Terpanjang Daun 9,9 cm 8 buah 10,5 cm 8 buah 10,0 cm 8 buah 9,0 cm 8 buah 8,7 cm 8 buah 9,1 cm 9 buah 10,0 cm 8 buah 8,8 cm 5 buah 9,8 cm 8 buah

Tanaman A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3

Tinggi Tanaman 30,5 cm 30,0cm 27,2 cm 21,2 cm 21,6 cm 18,8 cm 29,5 cm 18,7 cm 30,1 cm

Lebar Daun Terlebar 4,7 cm 4,8 cm 4,9 cm 4,8 cm 4,9 cm 4,6 cm 4,8 cm 4,6 cm 5,5 cm

Jenis Penyakit -

Jenis Hama -

Hari/ Tanggal Pengamatan : Senin / 8 April 2013 Pengamatan Ke: IV (Empat) Pengamatan Tanaman Panjang Daun Jumlah Terpanjang Daun 9,9 cm 11 buah 10,6 cm 11 buah 10,2 cm 11 buah 9,0 cm 11 buah

Tanaman A1 A2 A3 B1

Tinggi Tanaman 56 cm 70 cm 68 cm 44 cm

Lebar Daun Terlebar 4,1 cm 5,1 cm 5,3 cm 4,2 cm

Jenis Penyakit -

Jenis Hama -

B2 B3 C1 C2 C3

38 cm 37 cm 58 cm 23,5 cm 76,5 cm

4,5 cm 4,6 cm 4,4 cm 4,5 cm 5,5 cm

10,0 cm 9,3 cm 9,5 cm 9,5 cm 10,2 cm

8 buah 8 buah 11 buah 8 buah 14 buah

Bercak daun -

4.2.2

Pembahasan Pada hasil terlihat bahwa pada pengamatan pertama, kedua, ketiga pertumbuhan

tanaman kacang panjang cukup bagus hal ini dilihat dari pertambahan tinggi, jumlah daunnya yang bertambah beberapa cm per hari atau per minggunya. Selain itu, dengan adanya perlakuan trichoderma yang diberikan pada tanaman kacang panjang kecuali tanaman kontrol. Dari tabel itu dapat dibandingkan bahwa tanaman kontrol lebih tinggi daripada tanaman yang diberi perlakuan trichoderma. Selain itu, jika dilihat dari segi hama atau penyakitnya pada pengamatanpertama, kedua, ketiga belum ada hama ataupun penyakitnya. Akan tetapi setelah pengamatan keempat barulah tanaman kacang panjang mulai terserang penyakit yaitu penyakit bercak daun. Dimana penyakit ini menyerang tanaman kacang panjang dengan label B2. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cercospora sp. Penyakit ini menimbulkan gejala bercak kuning bulat di bagian daun. Biasanya ada beberapa bercak dalam satu daun. Semakin lama bercak akan berubah menjadi coklat kekuningan, tetapi benuknya masih bulat. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan sanitasi lingkungan dan kontrol saluran drainase (ini jika di tanam pada lapangan). Bagia tanaman terserang disemprot dengan Score 250 Ec dan Anvil 50 Sc.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan hama dan penyakit yang menyerang pertanaman cabai adalah thrips dan kutu daun. Hal ini dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan akibat hama tersebut. Penyakit yang terdapat pada tanaman cabai ini adalah antraknose, bercak daun cercospora, busuk buah, mosaik, dan kuning keriting. Pada tanaman kacang penyakit yang menyerang adalah penyakit bercak cercospora yang dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkan akibat penyakit ini.

5.2

Saran Praktikum ini untuk kedepannya lebih baik lagi dan lebih ditingkatkan lagi. Lebih

baik untuk selanjutnya praktikum PHT ini masing-masing praktikan diberikan modul agar praktikum ini lebih terarah dan lebih tertib sehingga praktikan pun bisa lebih serius dalam praktikum dan juga mengerti dengan apa yang akan dipraktikumkan. Kemudian komunikasi antara asisten dan praktikan lebih baik lagi kedepannya sehingga tidak akan terjadi diskomunikasi antara asisten dan praktikan. Selain itu untuk praktikan, tolong hargai asisten yang ada di depan karena saling menghargai itu lebih baik dan dimohonkan untuk tidak ribut di dalam laboratorium dan tolong jaga sikap ketika sedang praktikum. Kemudian jika ada tugas diharapkan praktikan agar mengumpulkannya tepat waktu dan tidak menunda-nundanya. Selanjutnya, sebelum praktikum praktikan diharpkan untuk membaca tugas atau modul atau materi ang berkaitan dengan praktikum sehingga ketika ditanya oleh asisten mengenai tuagas atau matteri tersebut praktikan dapat menjawabnya dengan baik. Jika hal tersebut dilakukan niscaya praktikum ini akan lebih baik, efektif, efisien, dan nantinya akan sangat membantu dalam memahami materi perkuliahan.

DAFTAR PUSTAKA

Baker KF, RJ Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Francisco: WH. Freeman. Budidaya Cabai Merah. (http://bapeluh.blogspot.com/2009/ 07/budidaya-cabai-merah.html Budidaya Cabai Merah. http://endros-ruraltechnology.\ blogspot.com/2008/08 BPTP Jawa Barat. 2005. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Cabai Merah. Lembang. Cook RJ, Baker KF. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. Minnesota: APS Press. De Bach, P. 1964. The Scope of Biological Control, in : Biological Control of Insect Pests and Weeds, Edited by Paul Debach. New York: Reinhold Pub Corp. Hutapea, J.R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia, Revised and translated by PA. Van Der Laan, University of Amsterdam, PT. Ichtiar Baru, 701 pp Kogan, M. 1975. Plant Resistance in pest management, in Introduction to Insect Pset Management, Edited by: EA. Heinrichs, IRRI, Willey Eastern Limited. New Age International Limited. Korlina E, Rachmawati D, Rosmahani L, Arifin, Z dan Saadah, S.Z. 2008. Pengkajian Sistem Usahatani Bawang Merah Berbasis Biopestisida. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. KP. Mojosari-16 Juli 2008. Kerjasama BPTP Jatim, Faperta Unbra, Diperta Prov, Bappeda. Prajmanta, F. 2005. Kiat Sukses Bertanam Cabai di Musim Hujan. Seri Agrisukses. Jakarta: Penebar Swadaya. 64 hlm. Simmonds, FJ, JM. Franz, and RI. Sailer. 1976. History of Biological Control, in Theory an Practice of Biological Control, Edited by: CB. Huffaker and PS. Messenger. New York: Academic Press

Sodiq Jauhari, Kendriyanto, Pujo Hasapto Waluyo, Soepadi dan Zamawi. 2008. Visitor Plot Pendayagunaan Teknologi Pertanian. Jawa Tengah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia Press Suprapto, Forita Diah Arianti, Sodiq Jauhari, Agus Sutanto dan Eman Supratman. 2008. Pengkajian Industrialisasi Pedesaan di Kabupaten Blora. Jawa Tengah: BPTP Van Driesche, RG and Bellow, TSJ. 1996. Biological Control. Chapman & Hall. New York: An Interational Thomson Publishing Co Wilson, F and CB. Huffaker. 1976. The philosophy, Scope and Importance of Biological Control, in Theory and Practice of Biological Control, Edited by: CB. Huffaker and PS. Messenger. New York : Academic Press www.deptan.go.id/bdd/admin/file/Sk.163.06.pdf diakses pada tanggal 23 April 2013 pukul 16.00 WIB http://informasi-budidaya.blogspot.com/2011/11/hama-dan-penyakit-pada-tanamankacang.html diakses pada tanggal 23 April 2013 pukul 17.30 WIB http://restsindo-tani.blogspot.com/2013/02/budidaya-kacang-panjang-vigna-spp.html diakses pada tanggal 23 April 2013 pukul 17.30 WIB http://sukopramono.wordpress.com/2010/06/23/pengendalian-hayati/feed/ tanggal 27 April 2013 pukul 14.00 WIB http://apriastika.wordpress.com/2012/05/01/sekilas-tentang-pengendalian-hayati/feed/ diakses pada tanggal 27 April 2013 pukul 14.00 WIB http://dinpertan.grobogan.go.id/component/jcomments/feed/com_content/144.html diakses pada tanggal 18 April 2013 pukul 14.30 WIB http://tikarama.blogspot.com/2009/12/morfologi-daun-cabai.html diakses pada tanggal 02 Mei 2013 pukul 12.13 WIB http://antinna84-halusination.blogspot.com/2011/06/taksonomi-dan-morfologi-tanamancabai.html diakses pada tanggal 02 Mei 2013 pukul 12.20 WIB diakses pada

You might also like