You are on page 1of 64

Douch

Senin, 10 Februari 2014

Apa yang dapat dikatakan tentang seorang algojo? Sudah kita saksikan Anwar Congo dalam film dokumenter The Act of Killing Joshua Oppenheimer: preman Medan yang dengan bangga mengaku telah membantai banyak orang "komunis" di pertengahan 1960-an, tapi di adegan terakhir hampir sepenuhnya diam, hanya batuknya yang terdengar di rumah bekas tempat pembunuhan itu, hanya tubuh tuanya yang lelah menuruni tangga. Ketika film berakhir, tak ada cerita tentang apa yang terjadi dengan Anwar Congo di saat itu, setelah itu. Akhirnya manusia tak bisa lengkap didokumentasikan, pikir saya. Anwar Congo tak hanya satu. Mungkin begitu juga Douch. Nama sebenarnya Kang Kek Iew. Dalam sejarah Kamboja yang berlumuran darah selama dasawarsa 1970-an, ia pejabat Khmer Merah yang memimpin Penjara Tuol Sleng, yang juga disebut "S-21". Ia tokoh kebengisan yang tak kalah mengerikan. Selama empat tahun Partai Komunis berkuasa di Kamboja, ribuan disekap di tempat yang berarti "bukit pohon beracun" itu. Douch, direktur "S-21" sejak 1975, adalah sang pencabut nyawa. Ketika Khmer Merah kalah dan ia ditangkap dan diadili, bukti-bukti ditunjukkan: ada perintah tertulisnya, misalnya, untuk "menghantam sampai hancur" 17 tahanan (8 pemuda belasan tahun dan 9 anak-anak). Dalam daftar 20 tahanan perempuan ia menulis instruksi di bawah tiap nama: "bawa untuk dieksekusi"; "terus diinterogasi"; "untuk eksperimen medis". Douch juga mengakui: anak buahnya merenggutkan bayi dari ibu mereka dan membenturkan kepala orok itu ke pohon, sampai mati. Dari sekitar 17 ribu tahanan, hanya tujuh yang hidup. Pejabat yang dulu seorang guru matematika ini orang yang teliti tampaknya. Hampir tiap korban dicatat dan dipotret. Ketika Khmer Merah meninggalkan Phnom Penh, lari dari pasukan Vietnam yang masuk dan membentuk pemerintahan sosialis baru, Douch tak sempat membakar dokumentasi itu-dan itu yang menjeratnya.

Mengapakah kekejaman itu harus direkam? Ekspresi sadisme seorang jagal? Atau bagian desain masa depan yang diperkirakan akan perlu bukti pembantaian itu-masa depan yang akan membenarkannya? Douch percaya, itulah yang akan terjadi: masa depan akan membenarkannya. Baginya, kekejaman tak terelakkan untuk menggerakkan sejarah. Bukankah revolusi Prancis "memenggal beratus-ratus kepala"? "Tak peduli besarnya korban," kata Douch, "yang penting adalah keagungan tujuan itu sendiri." Ia katakan semua itu di suatu malam, di sebuah sudut hutan, di depan orang yang ditangkapnya dengan tuduhan "mata-mata CIA": Franois Bizot. Bizot, antropolog muda dari Prancis, sedang mempelajari Buddhisme di pedalaman Kamboja. Itu tahun 1971: bukan periode yang aman bagi siapa pun. Kelompok komunis lokal, "Khmer Merah", baru bangkit, dan makin kuat justru karena pengeboman Amerika. Berada di sekitar Angkor Wat yang mereka kuasai, Bizot ditangkap. Ia dirantai di sebuah kamp tahanan kecil di hutan. Dua temannya, orang Kamboja, juga ditangkap (dan kemudian dibunuh). Bizot dibiarkan hidup. Bahkan akhirnya setelah tiga bulan disekap, ia dibebaskan. Sekitar 30 tahun kemudian, setelah lama diam, ia menulis buku tentang pengalamannya itu, Le Portail-sebuah buku yang ditulisnya dengan "kepahitan yang tak terhingga". "Kepahitan" agaknya bukan datang dari Douch. Orang yang ia sebut "penyiksa" ini membiarkan Bizot mandi di sungai dan berjalan-jalan di sekitar kamp. Bizot bisa berbahasa Khmer, Douch berbahasa Prancis. Berangsur-angsur, ada semacam kecocokan di antara mereka berdua. Di malam menjelang Bizot dibebaskan, Douch membuat pesta: pidato, lagu-lagu, dan jamuan, dengan 13 ekor ayam dipotong. Dan sampai fajar merekah, si tahanan dan si algojo duduk bercakap-cakap di depan api unggun yang pelan-pelan padam. Apa yang bisa dikatakan tentang Douch? Ia lelaki yang amat yakin tentang masa depan dan pada umur 29 tahun bersiap jadi pembunuh. Tapi Douch juga yang mempertaruhkan nyawanya sendiri ketika ia mengusulkan kepada para atasannya yang bertangan besi agar Bizot dibebaskan. Ketika kemudian Douch tertangkap dan dibawa ke depan mahkamah, ada pertanyaan: maukah Bizot bersaksi? Kepada koran Libration ia menjawab "ya, jika pihak penuntut memintanya, ya, jika pihak pembela memintanya". Sikap yang mendua, tentu. Sebab baginya, jagal di Kamp "S-21" itu tokoh yang tragis, "seorang anak yang memberanikan diri hidup di antara serigala". Agar hidup terus, "ia minum susu mereka, dan belajar melolong seperti mereka". Sejak itu, Teror berkuasa dan "membujuknya untuk memakai wajah moralitas dan ketertiban".

"Moralitas" berarti keyakinan komunis yang murni semurni-murninya, "ketertiban" membasmi apa saja yang dianggap cacat. Douch hidup dengan ekologi kekerasan sejarah modern Kamboja: kolonialisme, Perang Dingin, intervensi Amerika dengan bombardemennya, Perang Vietnam, Revolusi Kebudayaan Cina, kebrutalan penguasa, dan kesengsaraan di pedalaman. Dari semua itu lahir niat dengan ideologi untuk mengubah dunia, dengan iman yang mutlak dan menggelegak. Dunia pun dibelah: ada yang "lama" dan yang "baru", "patriot" dan "pengkhianat", "proletar" dan "borjuis". Sejarah adalah cerita dua kubu yang saling menghantam untuk jadi Merah atau Hitam. Dengan pandangan itu, seorang Douch tak akan tertegun bila sadar bahwa selama pemerintahan Khmer Rouge sekitar dua juta orang Kamboja dibunuh. Dan kita pun akan ingat semua kebengisan sejak 1914 dan kata-kata Elias Canetti: "It is a mark of fundamental human decency to feel ashamed of living in the 20th century." Agaknya itulah dasar "kepahitan yang tak terhingga" yang mengiringi Bizot menulis. Goenawan Mohamad

Saksi
Sabtu, 08 Februari 2014 Putu Setia

Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk mewawancarai saksi partai di kampung. Astaga, orang itu sok nyentrik, hanya mau menjawab pertanyaan saya secara tertulis. "Nanti saya buat pengakuan bergaya puisi esai," katanya. Saya tertawa. Sehari kemudian, saya terima pengakuan berikut ini. Namaku Pardanem, bukan nama asli. Pekerjaan tukang sortir kopi luak di lereng Batukaru yang dingin. Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa meneruskan sekolah. Syukur aku lancar berbahasa Melayu dan badan gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat pemilu. Nanti pun dipakai lagi. Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya. Pemilu harus menambah rezeki. Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi oleh pemerintah. Kusebut lagi, karena yang membayari aku sudah ada. Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp 150 ribu. Ini pemilu 2009, nanti bisa lebih. Rezeki sampingan tentu ada. Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg nomor urut satu. Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos nomor urut. Mereka tak mau ribet, hanya coblos gambar partai. "Mau beri uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk ke nomor satu?" kataku. Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak: "Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar." Dan aku, Pardanem, bukan orang yang mudah dibentak. Kubentak balik dia: "Kerjaku seharian. Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa bermain." Lalu uang yang kuterima ditambah. Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di kampungku. Jangan dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di kota. Kami semua bercanda, kami dari kampung yang sama. Masyarakat yang menyaksikan juga tak ada. Mereka datang ke tempat pemungutan suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari melihat hasil pemilu. Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut dua, atau tiga, atau seterusnya, tergantung yang bisa dibohongi. Ah, para caleg itu kan pembohong juga. "Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan ke nomorku?" Tanya caleg itu. Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain drama gong. "Itu sepele. Yang penting ada sangu," kataku. Caleg itu memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi hadiah. Uang kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?

Namaku Pardanem, artinya berakal banyak. Yang tadi itu kan caleg untuk DPR, belum lagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Yang ini todonganku lebih besar, kan calonnya ada banyak. Orang di kampungku, kalau mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku malas menghitung baris-baris. Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut susah, dari lima ke atas. Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup uang. Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah. Yang dicoblos gambar orangnya. Pemilu ini di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih. Mereka itu hantu, balihonya ada di desa, orangnya tak pernah muncul. Di antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta. Dia bisa ditodong juga, asal aku berhasil mencari kontaknya. Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain? Sekali lagi kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orang-orang kampung yang baik. Mereka tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk mencari uang. Toh para caleg semuanya mencari rezeki, gombal besar kalau mereka berjuang untuk rakyat. Kalau pemilu mau serius, kami pun bisa. Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib kami. Aku, Pardanem, jangan dikira orang tolol.

Garis Nasib
Jum'at, 07 Februari 2014 Idrus F. Shahab, idrus@tempo.co.id

Seolah-olah menepati janjinya tahun lalu, banjir kembali menggenangi Ibu Kota. Di rumahnya, Wak Lihun terduduk di bangku panjang, menyaksikan benda-benda asing itusandal jepit tipis, botol susu bayi, sepasang kaus kaki hitam, dompet laki-laki, serta cakram padat Lady Gaga dan H Rhoma Irama-berenang di air tak harum itu. Beberapa jam yang lalu, benda-benda itu mungkin milik seorang janda beranak banyak di Bogor sana, atau seorang pensiunan pegawai negeri yang tinggal di perumahan bank yang masih satu kelurahan dengan rumahnya. Setiap benda mewakili satu keluarga, dan masing-masing keluarga menyimpan potongan biografi, cerita manusia, yang selalu menarik. Namun Wak Lihun tak peduli. Dengan matanya yang lelah, kini ia menatap pantulan wajahnya yang kusut pada genangan air cokelat dan kotor itu. Seperti ada yang menggiring, perlahan pandangan matanya bergerak ke sebuah sudut di mana sebuah album foto keluarga tampak timbul-tenggelam di air berlumpur itu. Ia melupakan rasa letihnya, dan sejurus kemudian album itu pun sudah berada di tangannya. Wak Lihun terpesona menatap foto dirinya pada 1955: seorang anak berumur 6 tahun yang bangga akan seragam dokter kecil dengan stetoskop mini di lehernya. Seumur-umur ia akhirnya tidak pernah menyandang gelar dokter, tapi ia cepat menyimpulkan: seperti para tetanggaku yang bermimpi jadi tentara, cita-cita cukup menjadi hiasan dalam hidup, tak perlu menjadi kenyataan. Wak Lihun menyebutnya garis hidup, tapi orang lain mengatakan faktor ekonomilah yang menggagalkannya merengkuh cita-cita. Menahan berat album, tangan Wak Lihun yang keriput itu bergetar keras, tapi ia tak hendak berhenti. Album foto itu seperti sebuah harapan bahwa satu momen akan diikuti momen lain, satu babak diikuti babak lain, seperti rangkaian gerbong kereta kehidupan yang tidak berhenti di satu titik-kecuali jika kematian muncul, membubuhkan tanda titik terakhir. Album juga menyimpan semacam peringatan bahwa kejadian-kejadian yang tragis, menyedihkan, dan traumatik itu telah berlalu dan tak akan muncul kembali. Album memang

tak sama dengan film dokumentasi. Sebuah album akan lebih menenangkan ketimbang mengguncang. Mungkin inilah keajaiban sang waktu. Sejak 1955, sudah sepuluh pemilihan umum dilalui Wak Lihun, dari pemerintahan Bung Karno yang senantiasa gegap-gempita, Soeharto yang selalu membenci demokrasi yang "berisik", kemudian berturut-turut Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga yang terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono, Wak Lihun menjalani hidupnya yang tak kunjung berubah. Mungkin perubahan yang dialaminya cuma satu: dulu bapak dan engkong menarik oplet milik seorang pria keturunan, kini ia menarik mikrolet milik seorang lelaki pribumi. Wak Lihun punya banyak alasan untuk tak menyumpahi hidup ini. Ia memang tak pernah jadi dokter, tapi ia cukup bangga pernah bekerja sebagai sopir pribadi seorang dokter umum yang membuka praktek di dekat rumahnya. Dan ia tidak pernah lupa, untuk sementara waktu bisa menikmati ongkos pengobatan dan obat gratis dari sang dokter. Wak Lihun tidak percaya pemilihan umum akan mengubah garis nasibnya. Namun ia jarang mengatakan kepada orang lain bahwa ia selalu berdoa agar nasib anak-anaknya lebih baik daripada nasibnya.

Indonesia tanpa Tawa


Kamis, 06 Februari 2014 Bandung Mawardi, Penulis

Hari-hari menjelang 9 April 2014, orang-orang di jagat politik Indonesia mengalami ketegangan, frustrasi, dan depresi. Situasi politik muram dan serius, menjelaskan ada gejalagejala "sakit" dan "sengsara". Berpolitik dipahami mengkonstruksi negara-bangsa dengan kesantunan, formalitas, ketertiban, dan kepatuhan. Politik hampir diserupakan dengan ibadah, menggunakan tata cara ketat dan berdalil "kewajiban". Bahasa dan aksi politik di Indonesia semakin mengelak dari tawa atau penghiburan. Urusan itu diserahkan ke artis-artis di pelbagai acara tak bermutu di televisi. Situasi di televisi tak bakal bisa memberi kontribusi guna mengubah politik di Indonesia agar bergelimang tawa, tapi beradab dan manusiawi. Politik tetap merupakan salinan dari halaman-halaman kepustakaan: resmi dan kaku. Kelik M. Nugroho (Koran Tempo, 6 Januari 2013) menganggap politik memerlukan humor. Apakah makna humor bagi politik? Humor politik diakui bernilai ketimbang pesan-pesan politik secara langsung atau vulgar. Berpolitik tanpa tawa bisa membuat Indonesia merana sepanjang masa. Ingat humor politik, ingat Gus Dur. Dulu, Gus Dur adalah kolumnis, intelektual, dan ulama dengan selera humor. Omongan tentang politik, ekonomi, pendidikan, seni, dan agama yang sering mengandung sindiran dan kritik, disampaikan dengan humor. Gus Dur, saat menjadi presiden, tak melupakan humor politik. Kita pun jadi "terhibur" meski mengalami dilema dan polemik politik. Gus Dur jadi representasi tandingan dari "politikresmi" dan "politik-tertib". Ingat, Gus Dur pernah membuat pengantar untuk penerbitan buku Mati Ketawa ala Rusia. Peran itu justru berbalik ke Gus Dur. Orang-orang pun membuat sebutan: "mati ketawa ala Gus Dur". Warisan terbesar Gus Dur adalah humor politik? Siapa menjadi ahli waris? Sejarah kekuasaan pada masa Orde Baru pernah bernuansa humor oleh omongan dan ulah Gus Dur. Masa itu berlalu. Sekarang, penguasa sulit merangsang tawa dan penghiburan, memilih pamer pidato serius, lagu, dan puisi. Para politikus juga sering pamer omongan klise, berlagak menampilkan diri secara cerdas dan berwibawa. Para pimpinan partai politik sibuk muncul di iklan-iklan politik, menebar pesan tanpa tawa. Kehidupan berpolitik, sejak keruntuhan Orde Baru, mengalami "kesengsaraan". Politik tanpa tawa tentu tak mencerdaskan.

Ingat Orde Baru, ingat majalah-majalah humor pada masa lalu. Hidup pada masa Orde Baru dengan penguasa sangar tetap bisa dinikmati dengan tawa sepanjang hari. Sekarang, koran dan majalah selalu berisi berita-berita panas dan menggugah emosi. Kita jarang menemukan ada ajakan menghibur diri dalam situasi politik tegang. Tawa hampir hilang. Tahun 2014 bakal menjadi "tahun politik membosankan" jika tak ada humor. Bahasa dan aksi politik selalu bernalar picisan, abai penghiburan cerdas. Kita tentu mengerti bahwa partai politik tak membuat acara pembekalan caleg dengan materi humor. Mereka memilih membuat paket-paket acara politik, menghadirkan pakar dan konsultan politik. Para capres juga tak berkehendak menghibur publik. Mereka memilih menampilkan keperlentean, kewibawaan, dan kegagahan. Kita merasa salah zaman, merindu masa lalu saat humor adalah ekspresi berpolitik, mengandung kebajikan dan hiburan. Oh Indonesia, negeri serius tanpa tawa.

Humor Politik
Senin, 06 Januari 2014 Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho

Humor politik menemukan lahan baru untuk berkecambah di media sosial Twitter. Sebuah koran nasional berkomentar dalam rubrik Pojok, kurang-lebih begini: Mendagri berencana melantik Hambith Bintih (bupati terpilih) di rumah tahanan di Jakarta. Di media sosial, Mendagri disebut Menteri Dagelan RI. Humor ini dikutip dari media sosial-salah satunya Twitter. Memang, Twitter adalah media digital yang canggih, yang memungkinkan orang mengekspresikan pendapat apa saja, termasuk humor politik, secara bebas dan berefek seluas jumlah pengikutnya, ditambah pengikut yang mengirim ulang kicauan. Twitter juga media komunikasi yang bersifat egaliter-siapa saja dengan ragam status sosial bisa saling berinteraksi. Sifat egaliter inilah yang menjadikan humor politik seperti menemukan panggungnya. Contoh humor politik dari orang kebanyakan adalah kicauan orang berakun @yozeroo: Satu lagi produk asli indonesia farhatabbaslaw :)) #HumorPolitik. Humor ini menyindir tingkah laku pengacara Farhat Abbas yang sering membuat sensasi. Contoh lain datang dari akun @candatawacom: Partai SRI gagal lolos verifikasi, Srimulyani dikabarkan frustrasi dan berniat masuk Srimulat! #humorpolitik. Humor ini mencandai nasib partai yang mendukung mantan menteri Sri Mulyani. Kita juga bisa menemukan humor-humor politik yang dilontarkan langsung oleh pejabat tinggi dan pesohor-fenomena baru berkat Twitter. Contoh kicauan komedian Butet Kartaredjasa via akun @masbutet: Yang paling menarik usulan Susilo Gandrik untuk koruptor, "dihukum gantung 5 tahun lamanya". #mbathang. Salah satu menteri yang aktif di jagat Twitter adalah Dahlan Iskan. Pola komunikasinya egaliter dan apa adanya, sehingga sering tampak melucu. Lihat saja kicauan via akun @iskan_dahlan ini: Asyiiiik, siapa lagi yang mau daftar jadi calo? Cepetan daftar hahaha . Kicauan ini menanggapi kicauan akun @TrioMacan2000: calo pemeras di BUMN itu antara lain:. Humor politik yang saya contohkan tersebut merupakan sebagian dari kicauan yang

berseliweran di linimasa akun Twitter saya sepanjang 2013. Berkat teknologi yang disediakan Twitter, saya mampu menyimpan kicauan yang berisi humor politik yang mampir di linimasa melalui menu Favorite-yang kebetulan saya baca di sela-sela kemacetan Jakarta, ketika nongkrong di kafe-kafe mal, atau ketika malam menjelang tidur. Sayangnya, belum banyak orang yang berkicau dengan tagar (tanda tematik) #HumorPolitik. Ketika saya mencari di jagad Twitter dengan tagar ini, hanya muncul 50 kicauan. Humor politik, menurut saya, lebih bernilai daripada pesan-pesan politik yang langsung atau kadang bahkan disertai makian. Humor politik terasa lebih bergaya, berselera, dan cerdas dibanding pesan-pesan politik yang vulgar. Apalagi di Twitter tak ada sensor. Dengan humor, kita dapat memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritik bernuansa tawa. Humor juga dapat menjadi sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Dick Gauter via Didiek Rahmanadji).

Mereka Bukan Syuhada


Oleh: Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo Sumber: Koran Tempo, 11 November 2008

Ribuan orang menyambut keranda jenazah Amrozi, terpidana mati yang telah dieksekusi karena kasus Bom Bali I, di sebuah pekuburan di Lamongan dengan teriakan takbir, atau uluran tangan yang membopong keranda, atawa ekspresi tubuh yang bergetar. Peristiwa itu tentulah bisa disaksikan manusia sedunia melalui layar kaca atau video YouTube ruang mayantara. Mereka yang tak mengerti psikologi umat niscaya geleng-geleng kepala menyaksikan emosi massa yang tumpah dalam halaman takziah. Bagaimana bisa jenazah teroris menyihir ribuan orang untuk bertakziah dan menyambutnya bagai seorang tokoh agama, semacam Kiai Ahmad Sidiq dari Jember, yang memang layak dimuliakan. Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra, trio pelaku Bom Bali I, wajarlah bila berpendapat bahwa tindakan mereka mengebom Sari Club di wilayah Kuta, Denpasar, yang menewaskan ratusan orang (termasuk muslim), sebagai tindakan jihad. Wajar jika mereka mengajukan alasan-alasan teologis untuk membenarkan tindakan mereka karena mereka membela diri di depan dakwaan melakukan tindakan pidana yang membuat mereka akan dieksekusi dengan tembakan mati. Namun, bagaimana dengan mereka yang tak tersangkut-paut dengan kepentingan itu, mengapa mereka membenarkan tindakan pembunuhan ratusan orang yang tak punya sangkut-paut dengan permusuhan dengan apa pun dan dengan siapa pun? Memang, kerumunan ribuan orang yang melayat penguburan jenazah Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra tentu tidak dalam maqam (koordinat) sentimen keagamaan yang sama. Seperti kata Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, di televisi bahwa ribuan orang tersebut tak bisa disamaratakan sebagai pendukung Amrozi dan kawan-kawan secara ideologis. Di antara mereka mungkin ada yang sekadar memiliki kedekatan sebagai tetangga, teman, kenalan, atau sekadar tinggal dekat. Atau mungkin banyak yang terpiuh oleh berita-berita televisi tentang para pelaku Bom Bali I yang ditayangkan secara massif. Atau mungkin motif lain yang beragam. Namun, harus diakui bahwa banyak di antara para pentakziah itu yang menyambut jenazah trio pelaku Bom Bali I layaknya martir suci yang tewas. Bahkan Ustad Abubakar Baasyir, mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia, sebuah kelompok Islam pendukung penerapan syariat sebagai ideologi, berani menyatakan bahwa kematian Amrozi dan kawan-kawan sebagai mati syahid. Mati syahid adalah prestasi positif bagi pejuang Islam yang wafat di

medan perang. Sementara itu, Ustad Abu, seperti diketahui, pernah dikait-kaitkan sebagai bagian dari konspirasi terorisme di Indonesia. Mata sebagian penduduk dunia niscaya menyaksikan peristiwa eksekusi trio pelaku Bom Bali I sebagai peristiwa penting karena para korban dari berbagai negara, sedangkan masalah terorisme berlatar radikalisme agama sedang menjadi sorotan dunia pascapenyerangan gedung kembar Word Trade Center, New York. Mata sebagian penduduk dunia tentu akan merasa lega setelah hukum positif berupa eksekusi mati terhadap trio pelaku Bom Bali I dilaksanakan. Terlepas dari keberatan sejumlah aktivis hak asasi manusia atas pelaksanaan hukuman mati, pesan kepada dunia telah disampaikan: terorisme tak mendapat tempat di Indonesia. Adanya histeria pendukung Amrozi secara ideologis adalah sebuah pertanda. Pertama, sebagian muslim di Indonesia belum bisa membedakan antara sebuah tindakan dikategorikan pembunuhan dan bukan. Kedua, telah terjadi kerancuan logika dalam beragama karena domain teologi bertabrakan dengan domain sosial. Ketiga, di kalangan muslim muncul kecenderungan cara-cara Machevialistis (tujuan menghalalkan cara), padahal dalam ushul fiqih Islam diajarkan bahwa tujuan tak bisa menghalalkan segala cara. Kerancuan dalam cara memandang tindakan peledakan Bom Bali I ini tentu menyisakan ancaman bagi dunia bahwa ternyata sebagian muslim masih menganut nilai-nilai yang berbahaya bagi pergaulan kemanusiaan. Kalangan ulama mestinya bertanggung jawab mengajarkan kepada umat Islam bahwa pengeboman di Bali itu merupakan tindakan terorisme dan tak bisa dikategorikan jihad karena dilakukan di Indonesia yang bukan wilayah perang. Majelis Ulama Indonesia pada 2003 memang pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan terorisme. Dalam banyak kesempatan Kiai Maruf Amin, Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan, karena Indonesia bukan wilayah perang, terorisme merupakan perbuatan haram. Fatwa itu jelas dan eksplisit. Toh, fatwa MUI ini tampaknya kalah populer dibanding pernyataan-pernyataan Imam Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra di televisi, seperti terbukti dengan banyaknya pelayat yang menyambut jenazah mereka dengan takbir. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah membentuk tim sosialisasi pemahaman jihad, yang salah satunya melibatkan cendekiawan Komaruddin Hidayat, yang sekarang menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Tim ini lama tidak terdengar programnya. Apakah masih aktif? Pemandangan histeria dalam upacara penguburan jenazah Amrozi dkk harus menjadi pengingat tim ini bahwa tugas mereka belum selesai. Masih diperlukan sosialisasi dan pendidikan yang panjang untuk mengembalikan cara berpikir sebagian umat yang salah, yang berjumlah mungkin ribuan orang. Mereka yang berpendapat bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi dkk sebagai jihad perlu merenungkan komentar Khusnul Khotimah, korban Bom Bali I yang cacat seumur hidup. Saya juga seorang muslim. Ketiganya (Amrozi dkk) salah menganggap bahwa perbuatan mereka jihad. Itu pembunuhan, kata Khusnul di

televisi. Mereka yang masih ngotot berkeyakinan bahwa perbuatan Amrozi dkk sebagai jihad mungkin perlu belajar menjadi korban pengeboman dulu untuk memahami arti jihad. *

Mbah Man
Kamis, 06 Februari 2014 Bagja Hidayat, @hidayatbagdja

Namanya Rahman. Kami memanggilnya Mbah Man. Januari lalu, usianya genap 70 tahun. Dalam berkas catatan RT, ia mencantumkan pekerjaannya: buruh, dengan huruf kapital. Waktu kami membangun masjid, ia menggali tanah untuk fondasi. Staminanya mengalahkan kami semua, anak-anak muda 30 tahunan. Tubuh Mbah Man kecil dan ramping. Rambut memutih seluruhnya. Giginya tinggal empat. Tapi hanya itu organnya yang kalah oleh usia. Sisanya, Mbah Man tak pernah sakit. Sekali masuk rumah sakit ketika ia diseruduk mobil yang sopirnya mengantuk. Di kompleks ini, dialah orang terakhir yang tidur. Jika tak ada musuh adu gaple, ia nongkrong di pos satpam, lalu keliling mengecek sudut-sudut gelap. Ia baru merem selepas subuh dan bangun lagi pukul 7. Setelah itu, ia bekerja. Menukang, mencangkul, dan membetulkan genteng bocor. Jika ada pekerjaan di Jakarta, ia menempuh Bogor-Jakarta bolak-balik dengan sepeda motor. Kami curiga ia tidur sedikit itu karena umur. Semakin tua tubuh, kita semakin tak mengantuk. Kian uzur, tubuh kita tak membutuhkan istirahat lebih. Tapi, kata Mbah Man, ia sudah tidur sedikit sejak di pesantren di Sumenep. Saat remaja, ia pindah ke kampung ibunya di Situbondo, lalu kawin dan merantau ke Jakarta di usia 40. Bekerja apa saja, terutama kerja otot jadi kuli angkut. Sampai hari ini, ia makan apa saja. Sore makan durian, malamnya tak segan menyantap gulai kambing, juga rokok dan kopi yang tak henti. Dan ia tak limbung akibat kolesterol menyumbat pembuluh darah. "Setelah makan yang enak-enak itu, saya makan pepaya, itu saja penawarnya," katanya tadi malam, sewaktu kami mengobrol di pos satpam. Tentu saja bukan cuma pepaya yang membuat tubuhnya liat di usia senja. "Kuncinya pikiran ringan," katanya. Mbah Man selalu gembira. Ia bercanda dengan siapa saja. Setua itu, dia bisa tiba-tiba bilang, "Terus gue harus bilang wow, gitu?" Dan, ini yang penting, "Saya tak pernah menilai orang lain." Dengan menilai, katanya, pikiran akan membuat standar untuk diri sendiri dan orang lain, lalu timbul iri, kemudian dengki, arkian benci. Sikap begini, kata Mbah Man, membuat pikiran dan hati tak bebas. Mbah Man karena itulah tak gampang sakit hati. Jika ia dipecat dari pekerjaan karena dinilai tak becus, ia akan menerima dan berpikir bukan rezekinya.

Karena sikap sumeleh seperti itu, Mbah Man banyak teman. Sebab itu pintu rezekinya terbuka lebar. Enam anaknya ia sekolahkan, sudah mandiri, dan punya pekerjaan tetap. Dan, saya kira, Mbah Man masih sehat di usia tua itu karena disokong istrinya yang pengertian. Sejak dinikahinya 50 tahun lalu, Mbah Putri hanya sekali mencarinya, ketika Mbah Man tak pulang tiga hari karena keasyikan main gaple. "Jangan-jangan kami awet berumah tangga itu karena Mbah Putri tak pernah menuntut apa pun dari saya," katanya. Mata Mbah Man masih menyala ketika saya menguap berkali-kali menjelang pukul 12 malam. Saya pamit karena besok harus kerja. Saya, yang belum 40 tahun, butuh tidur setidaknya 5-6 jam sehari agar di kantor tak tersiksa menahan kantuk. Saya berdoa semoga Mbah Man panjang umur dan selalu sehat juga terus bergembira, seperti arti namanya.

Mitos Gilgamesh dan Banjir Jakarta


Jum'at, 07 Februari 2014 Endang Suryadinata, Penggemar Sejarah

Sebagaimana sejarah berulang, demikian pula banjir di Jakarta. Setelah banjir besar pada 2002 dan 2007, Ibu Kota RI kini kebanjiran lagi. Banjir selama Januari dan Februari sudah membawa dampak multidimensi, dari jalan rusak, terendam, dan macet. Lalu air bersih sulit, beragam penyakit muncul, dan berbuntut kerugian ekonomi. Sejarah umat manusia salah satunya memang ditandai dengan banjir atau air yang menggenangi permukaan tanah. Dari Yunani hingga Cina, ada mitologi banjir. Kita tentu tahu kisah air bah Nabi Nuh. Sebelum era agama-agama samawi, di Mesopotamia (Irak kuno) juga ada kisah Gilgamesh, yang juga diperintah membangun bahtera agar selamat dari banjir besar. Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh sama-sama disatukan dalam benang merah bahwa di Kota Ur, yang saat ini dikenal sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di sebelah selatan Mesopotamia-saat ini bernama Tall Far'ah-menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu memang terjadi banjir besar di kota itu, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania 1922-1930. Al-Quran dan Injil menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Tuhan, bahkan berani melawan Tuhan, banjir besar didatangkan sebagai hukuman. Ini masih diyakini. Di media sosial, misalnya, banyak komentar menyebut maraknya korupsi, kemaksiatan, serta praktek bisnis atau politik yang menghalalkan segala cara menjadi penyebab banjir Jakarta. Jika menengok sejarah, sejak awal abad ke-20, sudah ada upaya melawan banjir di Jakarta (dulu bernama Batavia). Ada nama Prof Dr Herman van Breen, yang tercatat sebagai perintis melawan banjir. Dia menyusun rencana pencegahan banjir, yang dibentuk kantor dinas pengairan pemerintah kolonial Belanda pada 1918. Itu dilakukan setelah Batavia dilanda banjir besar yang merenggut banyak nyawa. Van Breen bersama timnya menyusun konsep yang sistematis untuk menanggulangi banjir di seluruh wilayah Batavia, yang luasnya 2.500 hektare. Van Breen berhasil menyusun strategi pencegahan banjir. Dia berhasil mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air yang masuk kota. Namun, sebagai ibu kota negeri ini sejak 1945, perluasan kota seperti menjadi keniscayaan.

Bayangkan luas Jakarta sekarang mencapai 65 ribu hektare. Jadi puluhan kali lipat dibanding luas pada masa Van Breen. Luasnya kota tentu mengundang kompleksitas permasalahan. Ada penelitian yang menyebutkan, konon, kebiasaan membuang sampah sembarangan di Jakarta menjadi penyebab banjir. Ada yang menyalahkan hujan, meski menurut BMKG curah hujan dua bulan terakhir justru lebih rendah dibanding tahun lalu. Gubernur Jokowi menyalahkan kiriman banjir dari Bogor, sebagaimana para Gubernur Jakarta terdahulu. Sedangkan yang lain, ganti menyalahkan Jokowi. Nah, daripada saling menyalahkan, mari belajar dari Nabi Nuh atau Van Breen bagaimana menghadapi air bah secara bijak, dengan mencari solusi yang tepat. Jika rekayasa cuaca atau hujan tidak efektif, mungkin rencana Jokowi membangun sembilan waduk bisa dicoba. Atau kita terima banjir ini bukan sebagai bencana, sehingga kita perlu berdamai dengan banjir?

Binatangisme dan Politik Kita


Jum'at, 07 Februari 2014 M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not accidentally is either beneath our notice or more than human. (Aristotle, Politics) Ketika foto seekor singa mati tergantung di kandangnya di Kebun Binatang Surabaya beredar di media massa baru-baru ini, saya teringat akan novel George Orwell, Animal Farm. Tetapi, lebih dari itu, lebih teringat judul terjemahannya oleh Mahbub Djunaidi, Binatangisme (1983). Judul yang terakhir itu tampak lebih provokatif ketimbang aslinya, walaupun pesan utama Orwell tak jauh pula dari upayanya mengingatkan kita semua akan ekspresi-ekspresi politik kebinatangan dan bahaya totalitarianisme. Tapi tentu semua itu merupakan sindiran belaka bagi politik manusia yang sering kali lebih kejam. Mahbub Djunaidi banyak mengajak kita membandingkan politik dengan binatang. Tulisannya yang berjudul "Dinamisasi via Binatang" (Tempo, 26 Maret 1972), barangkali merupakan kolomnya yang pertama kali menyinggung peran binatang dalam modernisasi, isu yang populer ketika itu. Namun kolomnya, "Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?" (Tempo, 9 Juni 1973), tampak lebih menukik. Dalam tulisan ini, ia mencatat perumpamaan W. Trotter (1916), bahwa orang Jerman itu bak serigala, sedangkan orang Inggris melantik singa sebagai simbol nasionalnya. Tapi, G.J. Renier (1931) mencatat orang Inggris lebih garang di negeri jajahan, bukan kampung halaman. Soal simbol binatang ini, kata Mahbub lagi, Cina dimisalkan naga, dan bagaimana pula dengan bangsa kita? Seumpama hewan apakah dia? Dia menulis, dari sudut beranak-pinak, Indonesia lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat dalam hal angka kelahiran. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, lebih tepat bebek, walau tidak selamanya perlambang buruk. Kalimat "bebek pulang sore ke kandang sendiri", isyarat masyarakat makmur adanya. Lagi pula, kata Mahbub, UUD tak menyinggung nama hewan. Tidak garuda, tidak pula banteng. Garuda, kata Yamin (almarhum), "sebenarnya lambang pembangun dan pemelihara". Katanya pula, kitab Morawangsa dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di Madagaskar memandang hewan ini sebagai lambang pemelihara. Kalau banteng, secara resmi bukan perlambang bangsa, seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang demokrasi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Kalimat-kalimat Mahbub itu segera kita tangkap bahwa tidaklah politik itu lepas sama sekali dari simbol-simbolnya. Binatang pun tak selalu berkonotasi negatif sebagai simbol politik.

Soal perilaku binatang yang perlu dipelajari tersendiri, Mahbub sebagai kolumnis berlatar belakang politikus, menulis saran menarik dalam artikelnya, "Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini" (Kompas, 18 Maret 1981). Dalam artikelnya tersebut, pendekar kolom yang telah wafat pada 1995 itu menulis begini: Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, "Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia." Ya, Mahbub mengajak kita ke rumusan klasik filsuf Yunani, Aristoteles, bahwa manusia itu sejatinya "binatang sosial". Kalau tidak ada rem atau batasan-batasan aturan main yang ketat, yang tidak sekadar etika, bisa jadi naluri kebinatangan sosial inilah yang merambah ke ranah politik kita. Apalagi sistem kepolitikan yang ada demikian longgar bagi praktek-praktek pragmatisme-transaksional yang menjangkau lapisan-lapisan masyarakat secara luas. Masih dalam kolom Buku Petunjuk, mungkin petuah Mahbub agar kita barang setengah jam berdiri di depan kandang monyet-barangkali bisa menjadi inspirasi untuk memilih pemimpin. Kata dia, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan." Dalam pemilu atau pilpres, tentu kita tidak sedang memilih monyet. Tapi tidak ada salahnya kalau ranah karakter kepolitikan binatang sedemikian, jadi bahan pertimbangan. Calon pemimpin yang akan kita pilih, pun belum tentu yang "paling perkasa dan paling mampu membanting lainnya". Mungkin yang paling cerdas, kendatipun definisi cerdas itu luas.

Gerobak
Sabtu, 08 Februari 2014 Irfan Budiman, @IrfanBud

Menyantap kembali ketoprak semestinya menjadi nostalgia yang menyenangkan. Di masa kecil, saya sangat menikmati duduk di bangku si penjual makanan yang terdiri atas bihun, tauge, dan ketupat yang digulingkan dalam bumbu kacang ini. Gerobak ketoprak, tempat si penjual melayani para pembelinya, teramat unik. Ukurannya besar-mungkin karena tubuh saya masih kecil. Namun, yang sangat menarik adalah bentuknya yang mirip perahu. Ya, layaknya sebuah perahu, di bagian belakang ada dapur, yakni kompor untuk memanaskan tahu. Bagian depannya berbentuk moncong, seperti kepala perahu. Adapun bagian kiri dan kanannya adalah tempat si penjual mengulek bumbu. Di depannya adalah kami, para pembeli. Di atas papan yang memanjang itu, pembeli duduk berjajar menikmati makanan yang khas dengan bawang putih itu. Kini semuanya nyaris hilang. Gerobak perahu yang sangat mempesona itu telah berubah menjadi sebuah gerobak yang tampil seadanya. Tak ada lagi moncong yang mempesonakan itu. Warna biru dan merah yang menjadi ciri khas gerobak ini pun hilang. Persis seperti gerobak kebanyakan penjual makanan lainnya. Pedagang punya alasan. Selain ongkos pembuatannya lebih murah, mereka bisa lebih mudah berkeliling. Saat mereka mangkal, gerobak baru ini tidak terlalu banyak makan tempat. Memang, bukan hanya perkembangan zaman yang membuat semuanya menjadi compact.Mereka pun membutuhkan fleksibilitas bergerak sehingga bisa menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Mereka melakukan banyak modifikasi gerobak. Sebagian pedagang bakso melakukan modifikasi ekstrem. Mereka membuang roda dan menaikkan gerobaknya ke atas motor. Mereka berjualan dengan sepeda motornya. Si penjualnya pun rela duduk di ujung jok dekat setang karena sebagian joknya habis termakan oleh modifikasi gerobak yang berada di sisi kiri-kanan joknya. Namun, bapak penjual bakso ini juga punya alasan. Dia ingin berkeliling dan bisa menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Pedagang lainnya, seperti penjual siomay ataupun sayur-mayur yang menjadi sahabat kaum ibu, juga menyulap gerobaknya menjadi lebih compact dan bisa dipasangkan di sepeda motornya.

Tapi itu juga belum cukup. Penjual roti pun tidak lagi berteriak brood atau boti, melainkan menekan tombol untuk membunyikan rekaman potongan jingle produk mereka. Pedagang es krim, bacang (penganan dari beras yang dibungkus daun), sampai pedagang ayam goreng pun melakukan hal yang sama. Musik yang keluar dari speaker layaknya brand identity produk ini. Suara musik itu membedakan dengan pukulan kentongan dari penjual mi dokdok, suara piring dengan sendok dari tukang ketoprak, atau mangkuk yang dipukul dengan sendok oleh penjual es atau bubur sumsum. Semua produk butuh identitas untuk dirinya. Usaha mereka memang harus lebih keras lagi. Maklum, pesaingnya tidak lagi dari kalangan mereka sendiri. Restoran makanan cepat saji atau pedagang makanan berwaralaba menggempur berbagai tempat. Mereka pun mampu mengantarkan barang dagangannya hingga ke depan rumah. Hanya dengan menekan nomor-nomor telepon, makanan yang dipesan bisa segera sampai di rumah pemesan dalam keadaan hangat. Bisakah dilawan? Gerobak nan compact dan modifikasi sepeda motor adalah cara mereka berupaya untuk tidak kehilangan pelanggan.

Murry Sang Legenda


Sabtu, 08 Februari 2014 E.H. KARTANEGARA, Wartawan

Satu set drum Ludwig putih seolah berdiri dalam kesendirian di antara ingar-bingar musik rock di panggung besar Jambore Band IMK, di Istora Senayan, Jakarta, 7 November 1970. Ribuan penonton, yang saat itu mulai keranjingan hard rock, sama sekali tak menyangka dari balik drum itu akan muncul kejutan yang gemanya bukan hanya menjangkau masa depan perkembangan band di Indonesia, melainkan juga melahirkan legenda baru seorang penabuh drum. Drummer itu tak lain adalah Kasmuri, yang kemudian dipanggil Murry. Kejutan lebih besar datang dari Koes Plus. Metamorfosis Koes Bersaudara (KB) itu dengan "berani" membawakan lagu ciptaan mereka, Derita dan Manis dan Sayang, yang waktu itu belum begitu dikenal publik. Di mata Erwin Gutawa, yang menggarap album dan konser "Salut untuk Koes Plus", permainan drum Murry sangat modern (Rolling Stone, November 2008). Pukulannya jernih, bertenaga, bernas, galak, berani, dan memiliki fill-in yang mantap. Kemunculan Koes Plus dalam Jambore Band itu sebenarnya didasari oleh sikap "rendah hati." Di panggung musik pop Indonesia, grup musik anak-anak Koeswoyo bukan lagi kelas jambore. Sejak 1962, mereka mengibarkan bendera KB, yang sudah populer dengan sejumlah hit seperti Bintang Kecil, Pak Tani, Pulau Bali, Telaga Sunyi, Bis Sekolah, dan Dara Manisku. Mereka merupakan grup musik pertama dalam sejarah musik pop Indonesia yang berformat band, bukan sekadar pengiring penyanyi sebagaimana banyak kelompok musik lain sezamannya. KB merupakan band pelopor yang dalam lipatan sejarah politik Orde Lama menanggung dosa subversif: dituduh apolitis, kontra-revolusi, dan anti-nasionalisme, "hanya" karena memainkan musik ngak-ngik-ngok, rock and roll. Mereka (Tonny, Nomo, Yon, dan Yok) dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Dalam telaah Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Budaya, dan Politik di Indonesia (2001), untuk pertama kalinya sebuah band pop menjadi korban kemelut politik. Ini merupakan sebuah preseden ganjil sekaligus buruk yang hanya terjadi di Indonesia. Dibebaskan dari penjara pada September 1965, hal ini malah menyulut nyali mereka untuk melakukan perlawanan lewat musik. KB yang semula memainkan musik pop manis berubah

menjadi keras dengan meneriakkan Poor Clown dan To Tell So Called All the Guilties (1967). Ini merupakan dua lagu keras pertama dalam sejarah musik pop Indonesia (E.H. Kartanegara, "Lagu Keras, Perlawanan Sebisanya", Koran Tempo, 14 September, 2002). Lagu-lagu mereka lekas populer di kalangan kaum muda lewat stasiun-stasiun radio amatir yang menjamur di berbagai kota, bersamaan dengan euforia gerakan perlawanan pelajar dan mahasiswa selepas tumbangnya rezim Orde Lama. Bintang mereka mencorong terang, tapi sekaligus meredup. Pemain drum Nomo Koeswoyo, yang kemudian diikuti Yok, berhenti bermain musik. Hidup sebagai pemusik tak jelas masa depannya. Dia memilih berbisnis. Bagi Tonny, arsitek utama KB, problem besar bukan kemiskinan, melainkan musikalitas. Hampir tak mungkin mempertahankan musikalitas KB dengan mengandalkan harmoni duet vokal Yon dan Yok, yang menjadi trade mark dan kelak melegenda. Duet Yon-Yok tak ubahnya John-Paul dalam The Beatles yang tak tergantikan oleh siapa pun. Saat krisis itulah muncul nama Kasmuri, drummer grup musik Patas. "Mas Tonny naksir banget permainan Murry. Pukulannya keras, karakternya kuat," tutur Yon. Bersama Murry dan pemain bas baru, Totok AR, mereka menelurkan rekaman album pertama: Dheg Dheg Plas (1969). Perhatikan diksi judul itu: artikulasi bunyi drum Murry. Itulah esensi, filosofi, dan makna distingtif kata "plus" di belakang nama "Koes" yang akhirnya menjadi paten Koes Plus. Ais Suhana, sahabat Murry sejak 1975 dan sering "mengawal" konser Koes Plus, mengenang Murry sebagai pemain drum yang tidak pernah rewel soal alat. Drum putih itu simbolisasi, penghormatan etis Tonny kepada Murry. Menurut Ais, kelebihan Murry sebagai legenda adalah kepribadiannya. "Dia sangat rendah hati, ikhlas, loyal, hidupnya sederhana. Saat miskin dia tak malu jualan nasi uduk," tutur dia. Totalitasnya dalam berkarya melampaui batas seorang profesional. Ribuan penggemar yang membentuk klub-klub dan komunitas, yang bangga menyebut diri sebagai Koes Plus Mania, merasakan kehangatan pergaulan Murry yang rajin menyapa dan mengunjungi mereka di berbagai kota. Kepribadian itu adalah sisi humanis dan makna altruistik Murry yang memegang kredo "a man behind the drum". Gitaris Led Zeppelin, Jimmy Page, menyebut keunggulan para legenda bukan cuma pada kepiawaian dan keunggulan teknis. Mereka memiliki dignity. "You are on your own." Mereka memainkan musik yang tak bisa dipelajari di sekolah dan harus dipelajari sendiri dengan totalitas kemampuan diri sendiri pula. Di situlah, kata dia, letak daya tariknya, sehingga musik itu bermartabat. Saat Murry meninggal (1 Februari 2014), martabat yang menjadikan Koes Plus distingtif itu bermakna: menyejarah. Banyak nilai diwariskan oleh para legenda yang, meminjam istilah

Kuntowijoyo (2006), selayaknya menjadi ilmu, buku, dan riwayat "sejarah kejiwaan." Bukan cuma selesai begitu ditulis pada selembar halaman obituari.

Ibu Negara
Sabtu, 08 Februari 2014 Gracia Dwinita, Penulis

Baru-baru ini, sebagian pemilik akun media sosial Instagram menggunjingkan aktivitas Ibu Negara Ani Yudhoyono. Dalam bahasa Inggris, istri presiden disebut first lady atau "nyonya pertama". Istilah ini sepertinya mengurangi beban moral dibanding istilah "ibu negara" yang mengandaikan sebagai ibu yang merawat negara. Seakan-akan ini adalah jabatan yang mensyaratkan kemampuan dan moralitas tertentu. Padahal, jabatan ini hanya ada karena yang bersangkutan kebetulan adalah istri dari laki-laki yang menjadi presiden. Kita tidak sungguh-sungguh mengetahui kerja Ibu Negara, kecuali bahwa ia terlihat aktif dalam kegiatan sosial ini-itu dan terlihat bersanggul dan berkebaya di sebelah presiden. Perbedaannya, kini kita bisa berkomunikasi langsung dengan Ibu Negara. Pencitraan menjadi semakin kompleks, karena tiap gerakan Ibu Negara di ruang publik dapat tersiar tanpa filter. Indonesia yang pernah memiliki presiden perempuan membuat kita bisa membandingkan istri dan suami presiden. Istri presiden seakan tidak dapat mengembangkan identitas sosialpolitiknya, meskipun memiliki kesempatan. Selama 30 tahun, Ibu Tien Suharto hanya dikenal sebagai perempuan yang membawa "wahyu" sehingga suaminya dapat berkuasa. Apakah istri presiden Indonesia lainnya dapat membangun identitas sosial dan politiknya sendiri? Sementara itu, almarhum Taufik Kiemas sebagai bapak negara tidak perlu aktif dalam organisasi suami-suami kabinet gotong royong, namun berperan dalam partai dan menjabat Ketua MPR, ketika istrinya tidak lagi menjadi presiden. Istri presiden seharusnya memiliki identitasnya atau program sosial-politiknya, terlepas dari suaminya. Carla Bruni, mantan Ibu Negara Prancis, meneruskan kariernya sebagai penyanyi. Hillary Clinton adalah contoh Ibu Negara yang mengembangkan program politiknya sendiri. Ia menjadi senator New York dan Menteri Luar Negeri pada masa kepemimpinan Obama. Sayangnya, sejarah menuliskan istri-istri diktator ikut menindas. Elena, istri presiden Rumania Nicolae Ceausescu selama 25 tahun, ditembak bersama suaminya pada Natal 1989 atas kejahatannya terhadap kemanusiaan. Elena membangun identitasnya sebagai penguasa ilmu dan teknologi di Rumania dengan memalsukan 17 gelar doktor, menjadi pejabat partai, serta hidup mewah di tengah penderitaan perempuan Rumania. Ia mendapat inspirasi dari istri diktator lainnya (Elena bertemu Jian Qing, istri Presiden Cina, Mao Zedong, pada 1971). Jian Qing menyingkirkan saingan politik dan mencari posisi dengan cara-cara suaminya. Pada 1966, Jiang Qin menempati posisi wakil ketua revolusi kebudayaan. Keinginannya

harus selalu terpenuhi (kolam renangnya di Canton harus hangat saat kota terkena badai salju). Ia dihukum pada 25 Januari 1981 dan bunuh diri. Tidak ada data yang menunjukkan apakah presiden Indonesia dipertimbangkan berdasarkan siapa istrinya. Namun perempuan, khususnya istri presiden dan istri pejabat pada umumnya sampai tingkat terbawah, terpaksa menjalani fungsi istri dalam organisasi, terutama dalam institusi istri militer. Sebagai negara patriarkis yang menganut ibuisme, peran wajib perempuan sebagai istri dan ibu harus dipertontonkan. Mereka tidak mempunyai pilihan kecuali yang telah ditetapkan secara sosial. Bagaimana perempuan Indonesia dapat menemukan identitas dan kesetaraannya melalui panutan seperti ini?

Darurat Jalan Rusak


Senin, 10 Februari 2014 Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta.

Akibat banjir bandang yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, kerusakan jalan tak terelakkan lagi. Memperbaiki jalan rusak, yang jumlahnya massal dan waktunya berbarengan, memang bukan perkara gampang. Langkah tanggap darurat yang dilakukan oleh Presiden Yudhoyono untuk memperbaiki jalan rusak, patut dihargai. Dari sisi pembiayaan, seharusnya Presiden Yudhoyono mendorong mewujudkan sebuah instrumen kebijakan yang bernama road fund alias dana jalan. Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah mengusung adanya road fund. Berbasis road fund itu, segala dana kerusakan jalan bisa diambilkan dari dana road fund yang dikelola secara independen dan tepercaya (trust body). Jika ada jalan rusak, langsung diambilkan dari slot dana dari kantong road fund tersebut, tanpa harus menunggu berlama-lama dari APBN/APBD, yang terbukti jumlahnya sangat terbatas dan mekanisme pencairannya pun berbelit-belit. Inilah salah satu penghambat renovasi jalan rusak menjadi sangat lama dan tambal-sulam pula. Sementara itu, jika dibiarkan tanpa perbaikan, dampak kerusakan jalan kian eskalatif. Setidaknya ada dua sumber dana yang bisa dijadikan sumber road fund, yakni pajak kendaraan bermotor dan/atau pajak bahan bakar minyak. Ini potensi pendapatan yang sangat besar. Kita hitung saja, saat ini secara nasional terdapat tidak kurang dari 60 juta kendaraan bermotor, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai sebesar 10 juta unit untuk sepeda motor dan 1 juta unit untuk mobil pribadi. Sedangkan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi saja mencapai 46 juta kiloliter. Di negara-negara Eropa Barat, hal ini sudah lazim dikenakan, yakni bernama gasoline tax (untuk pajak bahan bakar) dan congestion pricing/road pricing untuk pajak kendaraan bermotor. Keduanya dimasukkan ke satu kotak bernama road fund. Kebijakan road fund dalam jangka panjang akan sangat bermanfaat, tidak hanya untuk merenovasi jalan rusak, tapi juga untuk pembangunan jalan baru. Sehingga jalan sebagai infrastruktur pembangunan akan mengalami percepatan. Apalagi jika pemerintah secara perlahan terus mengurangi besaran slot subsidi bahan bakar minyak, kemudian dikonversikan langsung untuk merenovasi kerusakan dan/atau membangun jalan. Sisi teknis yang lain-dan ini tidak boleh dilupakan-adalah membangun sistem drainase di sepanjang jalan, termasuk jalan tol sekalipun. Sebab, kerusakan jalan akibat banjir/hujan deras juga dipicu oleh jeleknya fungsi sistem drainase. Akibatnya, air hanya menggenang di sepanjang jalan, tidak teralirkan melalui drainase (termasuk di sekitar Istana). Perbaikan dan/atau pembangunan jalan, tanpa diiringi dengan pembangunan sistem drainase, hanya akan mempercepat kerusakan jalan.

Sebagai infrastruktur, jalan adalah alat vital urat nadi perekonomian. Akses jalan yang memadai adalah prasyarat mutlak untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Politik pembangunan infrastruktur jalan harus bersifat komprehensif dan sinergis, tak hanya bersifat tambal-sulam dan sektoral. Tidak cukup hanya menggelontorkan sejumlah dana, tapi tanpa keberpihakan politik anggaran yang jelas.

Panggung Librisida
Senin, 10 Februari 2014 Munawir Aziz, Alumnus Sekolah Pascasarjana UGM

Nalar apa sebenarnya yang mengukuhkan gerakan librisida? Pembantaian buku (librisida) dalam sejarahnya digerakkan oleh iktikad buruk memandang pengetahuan dan tipikal vandalisme. Membantai buku, dengan segala macam modelnya: merusak, membakar, melarang peredaran, hingga membubarkan paksa diskusi buku, merupakan catatan hitam dalam sejarah peradaban manusia, di mana pun dalam wangsa apa pun. Pembantaian buku merupakan kabar buruk dalam historiografi pengetahuan umat manusia. Kabar buruk itu kali ini datang dari Surabaya. Jumat (7 Februari 2014) sore, sekumpulan orang yang berjubah dan mengatasnamakan kelompok agama menggeruduk gedung Perpustakaan C2O, yang sedianya menyelenggarakan diskusi buku karya Herry A. Poeze. Hasil riset Poeze-sejarawan Belanda-yang mendokumentasikan pikiran dan gerak sejarah Tan Malaka, menjadi topik perbincangan. Buku Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (edisi 4, penerbit Obor) sedianya menjadi teks pemicu. Tapi diskusi buku ini terpaksa dibatalkan karena ancaman dari orang-orang yang mengatasnamakan FPI (Front Pembela Islam). Gerakan kekerasan untuk menghajar sebuah perhelatan diskusi hasil riset sejatinya adalah bagian dari pembantaian buku. Dalam perkembangan peradaban di muka bumi ini, pembantaian buku menjadi catatan hitam dalam historiografi pengetahuan. Fernando Baez (2013) dengan jeli mencatat tragedi-tragedi pembantaian buku dalam sejarah umat manusia. Baez dengan jeli melacak asal mula perkembangan buku, serta titik historis di mana buku dibantai dengan kekerasan. Justru-menurut Baez-mereka yang menyebut dirinya kaum intelektual, berjasa dalam agenda pembantaian buku. Kaum intelektual membantai bukubuku yang tidak segaris dengan alam pikirannya, dengan ideologinya. Penghancuran National Library of Bagdad, Irak, terjadi pada detik-detik runtuhnya kekuasaan Saddam Hussein antara tanggal 9 dan 10 April 2003. Pembantaian buku pada masa Antik di Sumeria, 4100-3300 SM, merupakan catatan arkeologis terkait dengan librisida. Catatan sejarah ini membuka tabir gelap sejarah pembantaian buku, yang telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Di bagian periode yang lain, vandalisme menjadi motif untuk membakar dan merusak buku dalam sejarah pengetahuan manusia. Buku karya Marco Kartodikromo, Student Hidjo, juga dibantai oleh penguasa kolonial, pada paruh pertama abad XX. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer juga terkena nasib yang sama: dibantai oleh penguasa dan rezim militer. Politik ideologi Orde Baru yang menganggap segala macam hal yang berbau komunis wajib diberangus menjadi pemicu pembantaian buku oleh rezim Soeharto. Akibatnya, hingga kini,

komunisme merupakan bayang-bayang misterius bagi sebagian warga negeri ini. Tidak adanya data penyeimbang menjadi penyebab misteri tentang peristiwa September 1965. Tragedi pembantaian buku sejatinya wajib dihentikan, jika ingin pengetahuan berkembang. Librisida merupakan catatan hitam di tengah usaha membangun pengetahuan dan peradaban negeri ini. Semoga kasus di Perpustakaan C2O Surabaya menjadi yang terakhir dalam tragedi librisida di negeri ini. *

Pemimpin dan Bahasa Rakyat


Senin, 10 Februari 2014 Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Ketika melihat daftar calon presiden, yang meskipun belum resmi tapi popularitasnya sudah diteliti, terbentuk suatu klasifikasi dalam kepala saya, yakni (1) pemimpin elitis; (2) pemimpin merakyat; dan (3) pemimpin nanggung. Seperti apakah pemimpin elitis itu? Sebagai pribadi sudah jelas elegan: bukan sekadar bahasa Inggrisnya fasih dan bahasa Indonesianya tidak beraksen, busana formal maupun nonformalnya tidak pernah "salah", dan pengorbanan dirinya untuk tetap tersenyum kepada orang yang paling menjengkelkan sangat mengharukan, tapi juga bahwa sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan seolah-olah "otomatis demokratis". Sebagai nilai tambah, bisa disebutkan bahwa keluarganya pun elitis, yang sekali sebut semua orang sudah tahu, barangkali orang tua atau kakek-neneknya ngomong Belanda, dan wajar pula bisa memainkan repertoar musik klasik dengan salah satu instrumen. Jika mau "merakyat", doi mungkin bisa nge-blues. Kenapa tidak? Mungkin memang tidak semua buku wajib dalam peradaban Barat (Shakespeare? Tolstoy?) telah dibacanya, tapi semua "buku global" mutakhir, dari Francis Fukuyama, Stephen Hawking, sampai Dan Brown, ada kemungkinan sudah-karena bisa disambar di bandara. Dilengkapi pendidikan di luar negeri yang semestinyalah tamat, si doi adalah prototipe pemimpin ideal. Namun kenapa popularitasnya kemper alias berlari paling belakang dalam balapan? (Indonesia Indicator, April-Desember 2013). Jawaban ditunda dengan memperhatikan para pemimpin yang tergolong merakyat. Biasanya mereka bukan lulusan luar negeri, bahasa Inggris pas banderol, bahasa Indonesianya mencerminkan bahasa daerah yang dikuasainya, cara berbusana pokoknya ikut yang banyak, jauh lebih spontan ketimbang elegan, dan lebih mengikuti naluri beserta "nalar berdasarkan pengalaman" ketimbang mengacu prinsip-prinsip "demokrasi". Pemimpin seperti ini mengandalkan "musyawarah dan mufakat" ketimbang voting, dalam arti mencermati peranan sistem nilai tradisional dalam berorganisasi, tanpa harus berkonfrontasi dengan demokrasi itu sendiri. Pemimpin merakyat tidak cuma satu jenisnya, ibarat gaya tari Jawa, sama-sama kesatria, ada yang alusan, ada yang gagahan. Dalam wayang orang, wawansabda tokoh-tokoh alusan menunjukkan tingginya peradaban, tetapi jika dialog macet dan terjadi konflik, klimaks pertunjukan adalah gaya gagahan yang memperlihatkan pula kaki menendang. Prosedur ini diikuti dengan setia oleh pemimpin merakyat, dan adegan menendang itu jarang diperlukan. Jika ada pemimpin gagahan yang suka menendang sebagai pesaing, dalam situasi damai pemimpin alusan itulah yang lebih menenteramkan.

Sikap "pura-pura elegan" justru selalu terdapat pada para pemimpin "nanggung". Benar berijazah, tapi intelektualitasnya pas-pasan; inteligensia mungkin tinggi, tapi tanpa keberanian moral untuk melakukan perubahan. Pemimpin seperti ini memang "nanggung", tidak elitis dan tidak merakyat. Asalnya memang dari rakyat, tetapi doi punya ekspresi seperti mengingkarinya, selalu berusaha menunjukkan diri sebagai berkelas elite-yang hanya mampu dicapai (dengan membeli) simbol-simbolnya saja. Betapa pun, dalam kekosongan "pasar pemimpin", pemimpin nanggung ini bisa mengecoh, dan hanya kemunculan pemimpin merakyat akan menunjukkan belangnya. Pemimpin elitis sebetulnya bisa sangat dipercaya integritas moralnya dan nyaris memiliki semua, kecuali satu hal, yakni bahasa rakyat-itulah kekurangannya yang vital sekaligus fatal dalam persaingan dengan pemimpin merakyat. Bahasanya bahasa diskusi, kelas sosial yang tertunjukkan oleh cara berbahasanya terlalu berjarak dari orang kebanyakan, sehingga gagasan-gagasan barunya yang paling membumi pun tidak dapat ditangkap dengan baik. Bersaing dengan pemimpin merakyat maupun pemimpin nanggung, pemimpin elitis tidak akan menang. Kenapa? Pasar politik sama saja dengan pasar bisnis, para pemimpinnya dipasarkan, terutama melalui media, dan para konsumen menanggapi trik-trik pemasaran ini seperti menghadapi barang komoditas sehari-hari: bahwa para konsumen itu membeli berdasarkan politik identitasnya sendiri, yakni seberapa jauh para pemimpin yang dipasarkan itu dapat mengukuhkan keberadaan dirinya. Maka para konsumen hanya akan memilih pemimpin yang bahasanya mewakili bahasa mereka, seorang pemimpin yang kepadanya mereka bisa melakukan identifikasi diri mereka. Berlangsung konversi dari "konsumsi saya adalah saya" menjadi "pemimpin saya adalah saya". Adalah bahasa, bukan dalam pengertian linguistik, melainkan dalam segala penanda yang meruap daripadanya, terutama cara berpikirnya, yang pertama-tama akan dirujuk oleh rakyat, yang sedang memilih-milih pemimpin mana yang bisa menjadi representasi dirinya. *

Menghidupkan Ciliwung
Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB Harry Surjadi, Pendiri Amrta Institute for Water Literacy Berita banjir menyita halaman surat kabar, majalah, dan waktu siar televisi ataupun radio. Tidak ada penjelasan sedikit pun "apa itu banjir". Media berasumsi semua pembaca, pendengar, dan pemirsa sudah tahu pengertian banjir. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mendefinisikan banjir sebagai "peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai" (Pasal 1 ayat 7). Definisi ini masih tidak menjelaskan banjir dengan pas. Danau Sentarum, Kalimantan Barat, saat musim kemarau menjadi dataran kering. Danau Sentarum bisa dijelajahi dengan sepeda motor sampai bagian tengah danau karena danau mengering. Ketika musim hujan, seluruh wilayah Danau Sentarum penuh dengan air. Apakah Danau Sentarum kebanjiran? Tidak. Banjir terjadi ketika air merendam lingkungan buatan manusia. Jika air merendam wilayah yang tidak ada manusianya atau lingkungan hidup tanpa manusia, namanya bukan banjir. Cara mengatasi banjir sederhana: jangan membuat rumah di dataran banjir (floodplain). Namun prakteknya tidak sesederhana itu karena sungai sebenarnya hidup. Sungai yang hidup (living river) itu dinamis, menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai yang hidup berkelok-kelok, dan kelokan ini bisa berubah. Sungai Ciliwung, yang terpecah menjadi 13 anak sungai, sudah sekarat. Aliran anak Ciliwung di utara sudah mati. Airnya hitam, berbau, dan tidak punya oksigen. Sungai Napa melintasi wilayah California bagian tengah sebelum berakhir di Teluk San Francisco, Amerika Serikat. Setelah penduduk Kota Napa 22 kali kebanjiran dalam kurun 150 tahun, pemerintah federal menugaskan US Army Corps of Engineers (Corps) untuk mengatasi banjir di daerah aliran Sungai Napa. Corps mengajukan sungai yang lebih dalam dan lurus melintasi Kota Napa. Tiga kali warga menolak usul Corps, yakni pada 1976, 1977, dan setelah banjir besar pada 1986. Warga Napa membentuk Community Coalition for Napa Flood Management yang kemudian menyepakati rencana mengatasi banjir dengan menerapkan prinsip living river (sungai yang hidup), yaitu prinsip yang menghargai pentingnya kehidupan ikan dan kehidupan liar lainnya, keterkaitan antara sungai dan dataran banjir, serta hubungan manusia dengan sungai itu. Program itu memindahkan lebih dari 70 rumah dan 30 gedung komersial, menyediakan 160 hektare wilayah genangan, 60 hektare lahan basah musiman, dan mengembalikan 243 hektare

dataran banjir yang sebelumnya dilindungi dari air dengan tanggul. Hasilnya: lebih dari 3.000 bangunan terlindungi dari banjir 100 tahunan, biaya asuransi turun drastis, bisnis-bisnis baru yang berkaitan dengan sungai bermunculan, dan 37 jenis ikan berkembang biak dengan subur. Mengatasi banjir Jakarta berarti menghidupkan kembali Ciliwung. Menghidupkan Ciliwung bukan hanya secara ekologis (ikan dan makhluk air bisa hidup). Menghidupkan Ciliwung juga berarti mengembalikan nilai sosial, ekonomi, dan politik sungai itu. Langkah pertama, menentukan seberapa luas dan di mana saja dataran banjir dengan menggunakan data banjir periodik dan data satelit. Tidak boleh ada bangunan di dataran banjir. Salah satu daerah dataran banjir yang perlu dinormalkan adalah pesisir utara Jakarta. Kesalahan penguasa lama adalah memberikan izin alih fungsi dataran banjir di utara menjadi perumahan mewah, sehingga tersisa suaka margasatwa Muara Angke seluas 25 hektare. Batalkan rencana reklamasi pantai utara Jakarta dan pembuatan polder. Membangun polder atau dinding tinggi di sebelah utara Jakarta malah akan menyulitkan air genangan mengalir ke laut. Dan lupakan ide membuat saluran bawah tanah. Selain biayanya mahal, secara logika air tidak mungkin mengalir ke tempat yang lebih tinggi tanpa pompa. Langkah kedua, bangunan di daerah banjir (berdasarkan peta daerah banjir), di sepanjang sempadan Ciliwung di Jakarta, harus dipindahkan. Rehabilitasi pinggir sungai berlanjut hingga ke bagian hulu Ciliwung di Bogor, mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011. Tanggung jawab dan program di wilayah hulu (Jakarta) berbeda dengan di hilir (Depok dan Bogor hingga Gunung Gede Pangrango). Lanjutkan pembongkaran bangunan (vila) yang tidak sesuai dengan RTRW-RBWK di Puncak, Bogor. Alokasikan juga sebagian wilayah hulu (Depok, Bogor, dan Puncak) untuk danau. Daerah Sempur di Bogor sangat cocok untuk dijadikan danau yang bisa menampung cukup banyak air Ciliwung. Langkah ketiga, mengeluarkan peraturan yang lebih pro-lingkungan dan memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan sebagai roh dari peraturan. Misalnya, ubah ketentuan iuran sampah. Kalau sebelumnya iuran sampah flat, harus diubah sesuai dengan jumlah sampah yang dibuang. Anjuran mengolah sampah organik sendiri menjadi relevan dan ada insentif bagi keluarga yang tidak menghasilkan sampah. Slogan baru: kurangi sampah. Menghidupkan kembali Sungai Ciliwung bukan pekerjaan setahun-dua tahun. Ini merupakan pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan konsistensi, termasuk konsistensi kepemimpinan di daerah-daerah yang dilalui Ciliwung. Dan jangan lupa libatkan warga dengan selalu memberikan informasi. *

Menyoal Dana Optimalisasi


Selasa, 11 Februari 2014 | 01:05 WIB W. Riawan Tjandra, Pengajar Universitas Atma Jaya Dana optimalisasi pada 2014 untuk tambahan belanja bagi seluruh kementerian/lembaga dianggarkan senilai Rp 27 triliun. Angka itu meningkat dibanding pada tahun-tahun sebelumnya, yang hanya berkisar Rp 11-13 triliun. Dana Rp 27 triliun itu didapat dari berbagai penghematan belanja. Misalnya, nilai belanja pegawai turun Rp 12,7 triliun dari Rp 276,7 triliun dalam RAPBN 2014 awal menjadi Rp 264 triliun dalam APBN. Begitu juga dengan belanja barang-sebelumnya mencapai Rp 203,7 triliun-turun Rp 1,8 triliun menjadi Rp 201,9 triliun. Belanja subsidi turun Rp 2,6 triliun, dari sebelumnya Rp 336,2 triliun menjadi Rp 333,7 triliun. Hal ini terjadi terutama akibat penurunan nilai subsidi energi sebanyak Rp 2,6 triliun menjadi Rp 282,1 triliun. Istilah "dana optimalisasi" muncul dari salah satu ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 32/PMK.02/2013, yang menggunakan istilah hasil optimalisasi, yaitu hasil lebih atau sisa dana yang diperoleh setelah pelaksanaan dan/atau penandatanganan kontrak dalam suatu kegiatan yang target sasarannya telah dicapai. Secara "cerdik", dana optimalisasi disisipkan sebagai klausul dalam Permenkeu tersebut sebagai tindak lanjut peluang perubahan anggaran yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, dan PP Nomor 90 Tahun 2012 tentang Penyusunan RKA Kementerian/Lembaga. Dana optimalisasi tersebut, jika dicermati secara mendalam, sejatinya hanya merupakan kemasan baru dari Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang pernah diatur melalui Permenkeu Nomor 25/PMK.07/2011 dan Permenkeu Nomor 140/PMK.07/2011 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011 (DPPID). DPID dan DPPID tersebut telah membuka praktek-praktek korupsi politik karena memungkinkan Badan Anggaran DPR menjadi "pemain" dalam alokasi kedua jenis dana tersebut dan menyeret sejumlah nama anggota Badan Anggaran DPR dalam kasus korupsi. DPR, yang seharusnya menjadi pengawas, justru menjadi pemain dalam alokasi anggaran tersebut. Sementara pada masa tersebut dana politik itu diatur dalam peraturan khusus, kini melalui dana optimalisasi, ketentuan yang membuka peluang terjadinya korupsi politik yang nyaris identik dengan sebelumnya disisipkan dalam mekanisme peraturan yang mengatur masalah perubahan anggaran. Peluang perubahan anggaran yang diatur dalam beberapa pasal dalam Permenkeu Nomor 32/PMK.02/2013 memungkinkan terjadinya praktek-praktek korupsi politik yang sejenis dengan kasus DPID dan DPPID.

Modus korupsi politik melalui DPID/DPPID pada masa lalu, yang kini berubah wujud menjadi dana optimalisasi, menyerupai modus dana "gentong babi" (pork barrel) yang di beberapa negara dimanfaatkan oleh politikus untuk memperluas dan memperkuat basis dukungan politik mereka dalam pemilihan umum. Keberadaan dana optimalisasi yang sudah telanjur dilegalkan melalui Permenkeu Nomor 32/PMK.02/2013 diindikasikan tak lepas dari strategi pembiayaan politik dari para politikus dalam menyongsong hajatan politik pada 2014. Cara-cara ala pork barrel tersebut tak urung akan melanggengkan siklus korupsi politik di negeri ini, yang akan menyebabkan Trias Politika di negeri ini menjelma menjadi "Trias Koruptika" dengan "bancakan" dana optimalisasi sembari berpesta demokrasi. *

Balada Pemasang Baliho


Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB Putu Setia, @mpujayaprema Mobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai alat peraga calon legislator. Pan Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh, terserah mau dipasang di mana," kata sang sopir. Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh menjamur. Mesin cetaknya bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp 15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon dianggap lebih mahal dan sudah kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya kebun bambu. Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan pula baliho yang tumbang oleh angin, tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau dirobohkan orang-ia tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya. Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan dukungannya", lalu ada wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya gombal. "Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering meludah ketika memasang bentangan bambu pada baliho itu. Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya, dia kaget. Wajah perempuan itu dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit," ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal sebagai pemain drama gong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa mengangguk-angguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat, tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena saya orang waras." Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel Lelga dan Camel Petir, keduanya penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa wajah Tanah Air? Dia tak bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung, gubernur bank sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?

Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya ampun, dia jadi caleg?" Cetakan digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan pejabat. Entah ia berkuliah di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos. Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang baliho kalau yang dipajang itu orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka enggan memasang baliho, atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka tidak dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma membatin.

Menjaga Warisan Arkeologi


Rabu, 12 Februari 2014 Djulianto Susantio, Arkeolog

Arkeologi dipandang sebagai ilmu yang kering karena sering diidentikkan dengan penanganan benda-benda budaya masa lampau dari dalam tanah saja. Negara kita yang sangat luas, dengan masa lampau yang cemerlang, menjadikan ladang penelitian begitu beragam. Hal itu pula yang menyebabkan arkeologi sebenarnya tidak kering. Yang kering justru anggaran yang diterima dari pemerintah untuk konservasi. Di lain pihak, kita menghadapi kendala minimnya apresiasi masyarakat terhadap warisanwarisan masa lampau. Kemungkinan banyaknya pelecehan terhadap warisan-warisan arkeologi disebabkan oleh masih sangat terbatasnya tenaga arkeolog yang ada. Bayangkan, kita memiliki 30-an provinsi, sebaliknya jumlah arkeolog yang ada begitu minim. Ada berbagai penyebab kelangkaan tenaga arkeolog. Pertama, karena penerimaan tenaga arkeolog tidak dibuka setiap tahun, meskipun satu per satu arkeolog senior mulai pensiun. Di pihak lain, para arkeolog muda enggan ditempatkan di daerah terpencil. Masalah penghasilan bisa saja menyebabkan banyak arkeolog enggan berkiprah di bidangnya. Begitulah, sejak dulu banyak sekali pencemaran atau pelecehan terhadap warisan-warisan arkeologi karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan lain sebagainya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan masyarakat. Di banyak tempat, terlihat pola pikir masyarakat sudah berubah, umumnya menjadi konsumtif dan ekonomis. Karena pola pikir inilah ketidakpedulian sering terjadi. Meskipun di suatu tempat ada situs, misalnya, bila mereka ingin menanam, ya, mereka akan tetap menanam. Kasus seperti ini selalu berulang di perkebunan kentang yang terdapat di situs Percandian Dieng. Masyarakat di sekitar Trowulan umumnya tahu bahwa bata-bata merah yang tersisa adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mengapa mereka tetap menggerusinya untuk dijadikan bahan baku pembuatan semen merah, ya, karena masalah ekonomi dan kebutuhan perut: konsumtif dan ekonomis. Bukan hanya rakyat kecil, pengusaha kelas kakap pun sama saja. Situs Rancamaya di daerah Bogor sudah banyak disorot di media cetak sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apa yang terjadi kemudian? Di area situs tetap berdiri berbagai perumahan mewah, sehingga

menenggelamkan upaya pemahaman akan masa lampau masyarakat Sunda. Padahal banyak intelektual terdapat di jajaran perusahaan real estat itu. Mereka seolah-olah tidak tahu, tidak mau tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau peduli, entahlah. Memberdayakan masyarakat tentu bukanlah hal yang mudah. Padahal, kalau masyarakat sadar betul bahwa di daerahnya terdapat situs, yang untung adalah masyarakat sekitar juga. Artinya begini, bila situsnya terpelihara, maka bisa mendatangkan wisatawan, sehingga desa tersebut menjadi terkenal. Banyak wisatawan berarti banyak lapangan pekerjaan. Berbicara arkeologi tentulah tidak bisa dipisahkan dari kepariwisataan. Memberdayakan masyarakat juga tidak ubahnya meningkatkan taraf hidup mereka. Menjaga warisan arkeologi sekaligus meningkatkan kegiatan pariwisata, jelas perlu rumusan-rumusan tertentu.*

Kemerdekaan Pers
Rabu, 12 Februari 2014 Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme

Pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini mengemuka dalam setiap momen Hari Pers Nasional, 9 Februari. Dalam perjalanannya, pers acap dipandang secara tidak proporsional. Benar, doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada saat yang sama keberlangsungan pers selalu disudutkan oleh penguasa. Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampu menjalankan fungsi pers sebagai bagian dari proses check and balance terhadap penggunaan kekuasaan di Indonesia. Namun, ketika pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang penguasa mengecamnya, sehingga pers (baca: media) kehilangan independensi, kehilangan pembaca, pendengar, pemirsa, dan iklan. Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik pencitraan. Sementara itu, harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, peran pers menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapatkan berita, mengolah dan menyusun berita, serta menyiarkan berita. Dengan demikian, semua bentuk pengerdilan otoritas pers, baik pembatasan bersifat preventif maupun represif yang dilakukan tanpa mengikuti prinsip demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang sewenang-wenang, karena itu dilarang. Selama ini pers atau media dianggap terlalu "kebablasan" dan kerap mengkritik pemerintah. Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula robohnya pilar pers kita. Sebab, media tidak mungkin mengkritik pemerintah tanpa dasar, karena ketika pers "ngawur" memberitakan kebobrokan suatu rezim tanpa didukung oleh fakta, secara alamiah pers akan ditinggalkan masyarakat. Pers dijamin tidak akan dipercayai lagi kredibilitasnya. Pemerintah tidak perlu pusing menanggapi jamaknya kritik dari media. Sebab, pemerintahan yang baik akan tetap baik di mata masyarakat, kendati media menjelek-jelekkannya. Cukuplah menjawab kritik itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah terkuras habis hanya karena polemik tentang politik pencitraan, sementara agenda besar yang direncanakan terbengkalai. Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan sejatinya akan menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, pengecaman atas fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter,

sehingga berpotensi memunculkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, pers sebagai unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi, yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan masyarakat. Seperti kita ketahui, masyarakat banyak mengetahui informasi penting, terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah, karena peran media. Ketika pers menjalankan perannya dalam memberi kritik yang obyektif dan berimbang kepada penguasa, sesungguhnya pers sedang mewakili suara masyarakat. Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara. *

Sistem Penyiaran Belum Optimal


Rabu, 12 Februari 2014 Sabam Leo Batubara, Koordinator Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000

Sebagai hasil gerakan reformasi, sistem penyelenggaraan penyiaran kita sudah cukup baik. Regulasinya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Persoalan pokoknya, terjadi banyak pelanggaran terhadap sistem oleh sejumlah stasiun televisi, tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mampu menegakkan sanksi yang adil dan "memaksa" penyelenggara penyiaran untuk menghormati dan mentaati aturan main penyiaran. Ketidakmampuan itu ditunjukkan oleh bagaimana KPI menyikapi pelanggaran oleh enam dari 10 stasiun televisi nasional. Temuan KPI tentang pelanggaran sudah cukup akurat dan benar, tapi sanksinya tidak efektif melindungi kepentingan masyarakat. Menjawab pengaduan masyarakat terhadap enam stasiun televisi, KPI mengeluarkan keputusan berikut ini. Pertama, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis kepada enam stasiun televisi berikut ini karena dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). Siaran iklan "ARB_Golkar versi 49 Tahun Golkar" yang ditayangkan TV One (24/10/2013) dan ANTV (25/10/2013) dinilai telah memenuhi unsur kampanye yang dilarang disiarkan di luar masa kampanye resmi. Program Kuis Kebangsaan yang hadiahnya disediakan oleh WIN_HT (1/12/2013) dinilai melanggar P3&SPS karena dibiayai oleh Partai Hanura. Program Kuis Indonesia Cerdas di Global TV (26/11/2013) dinilai melanggar karena dibiayai Partai Hanura. Siaran Iklan "WIN_HT versi Pakaian Adat" di MNCTV (30/11/2013) dinilai melanggar karena disiarkan di luar masa kampanye resmi. Program siaran jurnalistik Headline News pukul 11.00 WIB di Metro TV (11/11/2013) dan juga banyak ditemukan dalam program berita lain, dinilai telah melanggar larangan pemanfaatan program siaran untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok pemilik lembaga penyiaran. Beberapa iklan Metro TV dinilai melanggar karena disiarkan (11/11/2013) di luar masa kampanye resmi. Tapi KPI tidak memberi sanksi, hanya meminta Metro TV tidak lagi menayangkan iklan-iklan tersebut. Kedua, KPI menilai keenam stasiun televisi melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan

dan atau kelompoknya. Pelanggaran TV One dan ANTV karena kuantitas dan frekuensi iklan kampanye. Pelanggaran oleh RCTI, Global TV, MNC TV, dan Metro TV karena pemberitaan. Paradoksnya, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis hanya kepada Metro TV dan tidak memberi sanksi kepada lima media lain. KPI hanya memintanya mempedomani P3&SPS. Bagaimana KPI mampu mengawal media penyiaran dalam upaya mewujudkan well informed voters dalam Pemilu 2014, jika media penyiaran yang tidak netral dan mengutamakan kepentingan golongan tertentu tidak diberi sanksi yang lebih berat? Ke mana arah penyiaran jika, dalam menyikapi pelanggaran peraturan dan P3&SPS, KPI hanya mampu memberi sanksi sebagaimana dicontohkan? Jawabannya, pelanggaran akan berlanjut terus. Dan, kepentingan masyarakat luas dirugikan terus. Arah penyiaran hanya mungkin dikembalikan ke tujuan keberadaannya jika KPI dipaksa mengubah sikapnya. Dari terkesan menjadi alat bagi kepentingan sejumlah pemilik stasiun televisi menjadi perpanjangan kepentingan masyarakat luas. KPI harus terlebih dulu menghormati dan menaati wewenang dan fungsi yang diberikan UU Penyiaran kepada lembaga negara independen itu, yakni: melaksanakan wewenang untuk memberi sanksi yang adil terhadap pelanggaran peraturan dan P3&SPS penyiaran dan melaksanakan fungsinya mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam upaya mendisiplinkan penyelenggara stasiun televisi untuk menghormati dan menaati regulasi penyiaran, patut dipertimbangkan langkah-langkah berikut. Pertama, sanksi administratif teguran tertulis yang dikeluarkan seharusnya juga mewajibkan media terkait untuk menayangkan isi pokok keputusan KPI. Tujuannya agar pemberian sanksi itu menjadi pengetahuan masyarakat dan agar media itu tidak mengulangi lagi kesalahannya. Kedua, karena pelanggaran peraturan tentang isi siaran wajib netral dan tidak mengutamakan golongan tertentu juga terkait dengan karya jurnalistik, KPI dalam pengambilan keputusan seharusnya menyertakan Dewan Pers. Karena pelanggaran peraturan itu bukan hanya sekadar pelanggaran P3&SPS, tapi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius, yakni melanggar UU Penyiaran Pasal 36 ayat (4), KPI seharusnya mengajukan perkara tersebut ke jalur hukum untuk memberi hukuman, didenda, dan atau siarannya dihentikan sementara/dibekukan untuk waktu tertentu, atau izin penyiarannya dicabut berdasarkan UU Penyiaran Pasal 55 ayat (2). Pilihan hukuman tergantung kepada bobot kesalahan. Bagaimana mengupayakan sistem penyiaran terselenggara optimal? KPI tidak harus menunggu UU Penyiaran yang baru, atau menunggu fatwa Mahkamah Agung. Yang dibutuhkan KPI adalah kejujuran dan keberanian melakukan actions melaksanakan

wewenang untuk memberi sanksi kepada stasiun televisi sejalan dengan fungsinya mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Usman, Harun, dan Susilo


Kamis, 13 Februari 2014 Raymond Kaya, Wartawan di SCTV Tiga nama, yakni Usman, Harun, dan Susilo, memang tidak berhubungan, tapi paling tidak nama mereka belakangan ini bisa dikaitkan dengan nama sebuah negara, Singapura. Usman dan Harun, nama keduanya diabadikan pada sebuah kapal kelas fregat ringan jenis Nakhoda Ragam buatan Inggris. Penamaan KRI Usman Harun ini kemudian menuai protes dari Singapura karena latar belakang sejarah. Pengeboman yang dilakukan keduanya di MacDonald House, Orchard Road, Singapura, pada 1965 menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Pengeboman ini dianggap pemerintah Singapura sebagai sebuah tindakan teroris. Tapi, bagi Indonesia, tindakan yang dilakukan kedua prajurit KKO (kini Marinir) ini dianggap sebagai bagian dari strategi perang. Kini Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia berkata di media, "Kalau Singapura dan Malaysia tidak ekspor BBM, dalam waktu lima hari, kita (Indonesia) bisa meninggal. Sebab, kita punya banyak pesawat tempur. Nah, itu mau diisi apa kalau bukan BBM. Mau diisi air?" Ucapan Susilo ini bukan tanpa bukti. Pada 2013, Indonesia mengimpor BBM dengan total biaya US$ 28,56 miliar atau sekitar Rp 285 triliun. Dari jumlah itu, nilai impor BBM dari Singapura US$ 15,145 miliar atau sekitar Rp 151 triliun. Selama ini, Singapura memiliki penyulingan minyak tercanggih di dunia. Ini baru dari sisi energi, belum dari sisi telekomunikasi, investasi, dan lain-lain. Pendek kata, Indonesia bergantung pada Singapura. Jadi, di satu sisi, Indonesia boleh melakukan apa saja sebagai sebuah negara yang berdaulat, apalagi untuk sebuah nama kapal perangnya. Bahkan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun tak berniat datang ke Singapore Airshow karena ada 100 perwiranya yang undangannya dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Singapura. Tapi, apakah hanya karena alasan pengeboman pada 1965 itu pemerintah Singapura melontarkan ketidakpuasannya? Sebuah negara diperhitungkan bukan dari sekadar memiliki wilayah yang besar, tapi memiliki besar-besaran lain, seperti kondisi ekonomi, politik, dan pemimpin bangsanya. Sebuah negara yang besar seperti Indonesia seharusnya menjadi big brother di kawasannya-di Asia Tenggara. Kini, Indonesia terlihat unggul dalam konteks perang propaganda politik dengan ungkapan "keluhan Singapura kami catat" atau "penamaan Usman Harun hak kita" dan lain-lain. Tapi

sebenarnya Indonesia tidak mampu secara pasti meredam "omelan" Singapura itu. Sebuah ironi, ketika Singapura yang tidak memiliki minyak mentah sanggup mengekspor BBM, karena memiliki kilang minyak yang canggih, dan sebaliknya dengan Indonesia. Sebuah ironi, ketika banyak pengusaha Indonesia lebih memilih bertransaksi di Singapura, karena pajak yang lebih murah dan disimpan di bank-bank yang dianggap lebih aman. Belum lagi urusan kesehatan, fashion, hingga wisata. Jadi, tuntutan Singapura untuk mengubah nama KRI Usman Harun bukanlah sebuah retorika politik yang hanya didasarkan pada emosi masa lalu, tapi bisa membuat negara lain bergantung kepadanya. Paling tidak, itu yang diungkap oleh Wamen Susilo, "Kita punya banyak pesawat tempur. Nah, itu mau diisi apa kalau bukan BBM. Mau diisi air?"

Suksesi
Kamis, 13 Februari 2014 A.B. Susanto, Chairman The Jakarta Consulting Group Tahun 2014 kita kembali memasuki masa suksesi kepemimpinan nasional. Dari masa ke masa, kita selalu ingin tahu bagaimana suksesi yang baik itu, yang lancar, tanpa gejolak besar, dan tentunya harapan kita soal kualitas kepemimpinannya yang juga makin meningkat. Untuk menangani hal yang besar, kadang tidak ada salahnya kita belajar dari persoalan yang besarannya (magnitude) lebih kecil. Saya ingin menawarkan pengalaman mengelola suksesi di dalam perusahaan keluarga. Dalam pendekatan The Jakarta Consulting Group, awalnya semua calon pemimpin harus mengikuti assessment agar didapat gambaran yang menyeluruh mengenai kompetensi kepemimpinannya (leadership competency). Untuk metodenya, kami menggunakan cara yang kami kembangkan sendiri, di mana dimensi digali dan psikometrinya diukur dengan menggunakan eksekutif Indonesia, karena kami berpendapat, untuk hal-hal yang berkaitan dengan manusia dan organisasi, aspek nilai dan budaya mempunyai keterkaitan yang erat. Setelah itu, disesuaikan dengan kriteria para calon pemimpin yang dikembangkan sebelumnya, diberikan kesempatan bagi masing-masing kandidat untuk memperbaiki kompetensinya, yang dalam bahasa mudahnya adalah keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang mendukung untuk mencapai kecakapan yang diperlukan. Adalah suatu prasyarat bahwa para calon pemimpin besar harus pernah memimpin dalam arti kata sebenarnya. Ini agar ia mempunyai feeling bagaimana memimpin manusia sebagai anak buah dengan segala kompleksitasnya dan secara tidak langsung sebagai "penguasa" suatu bidang atau wilayah kerja tertentu yang akan berhubungan dinas dengan pemimpin lain secara horizontal dan vertikal, sehingga akan terbentuk penerimaan atau penolakan di dalam birokrasi organisasi. Lebih lanjut, setiap calon penerus harus mempunyai mentor yang bukan hanya mengawasi, menegur, dan mengoreksi bila perlu, tapi juga menjadi tempat untuk menimba pengetahuan, terlebih untuk hal-hal "yang tidak ada di buku", hal-hal yang lebih merupakan pelajaran hidup (life lesson). Kami juga berpendapat, untuk setiap calon penerus, pantas dan perlu dikembangkan jalur karier yang bersifat pribadi, sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Sebagai pucuk pelingkup dari sederetan kegiatan sebelumnya guna memoles kepribadian, kepemimpinan, dan kinerjanya, perlu dicarikan pelatih-bukan sekadar pelatih (coach), tapi super-coach yang mempunyai pengalaman yang berisi dan rekam jejak yang nyata, seperti Sir

Alex Ferguson. Dalam dunia politik, kita mengenal sosok semacam ini pada diri seorang Lee Kuan Yew, yang menjadi super-coach bagi Goh Chok Tong dan Lee Hsien Liong, bukan? Dengan ini, kita juga diingatkan bahwasanya salah satu bagian dari kepemimpinan adalah tahu saat untuk menghadirkan sosok pemimpin baru serta mengurangi intensitas kemunculan dan bersuara, agar semua pengikut terarah pada pemimpin yang baru, walau barangkali masih memberi dukungan secara tertutup apabila diperlukan. Hal ini akan menimbulkan penerimaan yang luas di berbagai kalangan pihak-pihak eksternal organisasi. Lalu terpulang pada kita semua, bukan hanya partai-partai dan institusi-institusi politik yang lain, bagaimana memanfaatkan hal ini dalam pengelolaan suksesi kepemimpinan nasional.

Korupsi Institusional dan Distorsi Demokrasi


Kamis, 13 Februari 2014 Roby Arya Brata, Dosen Pascasarjana UI Korupsi institusional merupakan masalah serius yang mengancam negara demokrasi. Korupsi jenis ini meruntuhkan integritas, kinerja, dan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi. Melalui pendistorsian proses demokrasi dan kebijakan publik, dibandingkan dengan jenis korupsi konvensional, korupsi institusional memiliki dampak yang lebih merusak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi, karena patologi demokrasi ini merupakan bentuk korupsi yang legal (legal corruption) dan menjadi bagian formal-integral proses pemerintahan, kita sering kali mengabaikan dampaknya. Kita telanjur menganggap korupsi institusional sebagai bagian dari bisnis yang normal dan aturan main dari proses demokrasi. Padahal, bila kita tidak menangani masalah korupsi institusional ini dengan serius, saya memperkirakan dalam waktu 10 tahun Indonesia akan menjadi negara demokrasi yang gagal (failed democratic state). Tanda-tanda negara ini menuju negara demokrasi gagal akibat korupsi institusional telah terjadi. Para pemimpin dan kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat, namun lebih mementingkan dan melindungi kepentingan korup kelompok dan korporasi tertentu adalah sebagian dari tanda-tanda itu. Karena itu, selama masalah korupsi institusional tidak diatasi, demokrasi hanyalah ilusi. Perbedaan mendasar antara korupsi institusional dan jenis korupsi konvensional seperti suap terletak pada legalitas dari tindakan korup itu. Bila korupsi konvensional digolongkan dalam jenis korupsi ilegal (illegal corruption), korupsi institusional merupakan bentuk korupsi yang legal (legal corruption). Dalam ilmu politik kontemporer, korupsi konvensional biasanya digolongkan ke dalam tiga kategori (Brown 2004), yaitu pemahaman berdasarkan jabatan publik, kepentingan publik, dan pasar. Pengertian berdasarkan jabatan publik, memandang korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan personal. Definisi berdasarkan kepentingan publik, melihat korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan publik. Sedangkan pemahaman pasar (market-centred) mempersepsikan korupsi sebagai berfungsinya pasar bebas dalam transaksi kewenangan publik, terutama bila tidak ada aturan yang jelas yang mengatur tindakan korup itu.

Menurut Lawrence Lessig, profesor hukum dan etika dari Universitas Harvard (2013:2), korupsi institusional terjadi ketika ada pengaruh strategik dan sistemik yang legal, bahkan etis, yang menghambat efektivitas dan meruntuhkan kepercayaan publik pada suatu institusi. Berbeda dengan korupsi konvensional yang ilegal, korupsi institusional bersifat legal/tidak (selalu) melibatkan transaksi suap (illicit payment). Karena bersifat legal inilah korupsi institusional sulit dijangkau hukum. Korupsi institusional sudah menjadi bagian integral dari hukum dan kebijakan publik (yang korup) itu sendiri. Akibatnya, dampak korupsi institusional jauh lebih merusak karena hasil dari transaksinya berupa keputusan dan kebijakan publik yang mengikat dan merugikan masyarakat luas. Ada tiga bentuk utama korupsi institusional. Pertama, korupsi ketergantungan (dependence corruption), yaitu hubungan saling ketergantungan antara pejabat publik dan pihak swasta/ketiga dalam relasi kekuasaan. Keputusan dan kebijakan publik untuk melindungi kepentingan pemberi sumbangan dana kampanye dan partai politik adalah salah satu contohnya. Kedua, korupsi ideologi (ideology corruption), yakni keputusan yang terkorupsi oleh ideologi yang diyakini oleh pembuat keputusan. Dan ketiga, apa yang saya sebut "pengaruh kekuasaan korup (corrupt power influence)". Potensi tekanan korup DPR dan eksekutif pada KPK, melalui pemangkasan anggaran dan pelemahan kewenangan KPK, misalnya melalui revisi KUHAP, bisa jadi merupakan bentuk korupsi institusional. Selain itu, saya menduga kasus Bank Century melibatkan korupsi institusional. Dalam kasus ini, Bank Century sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapat fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP), karena rasio kecukupan modal (CAR) bank itu hanya 2,02 persen. Padahal, berdasarkan Peraturan BI Nomor 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP, syaratnya adalah CAR minimal harus 8 persen. Namun kemudian, untuk tujuan korup pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini, Bank Indonesia secara legal mengubah Peraturan BI tersebut dari semula 8 persen menjadi CAR positif. BPK menduga perubahan ini hanya rekayasa agar Bank Century mendapat FPJP. Lalu, apa solusinya? Penguatan transparansi dan akuntabilitas publik dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah solusi utama. Biaya politik harus ditekan. Sumbangan kampanye dan partai politik harus transparan dan berasal dari APBN, bukan dari pihak swasta/korporasi. Aturan tentang konflik kepentingan dan peran masyarakat sipil dan media harus diperkuat. *

Perbandingan Dua Film G30S


Jum'at, 14 Februari 2014 Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Film The Act of Killing dinominasikan Piala Oscar 2014 sebagai film dokumenter terbaik. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional mengatakan film itu menggambarkan Indonesia yang kejam. Sebetulnya penilaian pemerintah Indonesia terhadap film tersebut akan terbantu bila dibandingkan dengan film Pengkhianatan G30S/PKI dalam berbagai aspek, termasuk penggambaran kekerasan. Kedua film tersebut sungguh luar biasa dalam hal jumlah dan kekhasan penonton. Film Pengkhianatan G30S/PKI (selanjutnya disingkat PG) ditonton oleh jutaan penonton selama 14 tahun (1984-1997). Film The Act of Killing (selanjutnya disingkat AK, pada majalah Tempo disebut Jagal) diputar di hampir semua pertemuan ilmiah yang diadakan pengamat Indonesia di Benua Australia, Asia, Eropa, dan Amerika selama dua tahun belakangan. Saya sendiri berkesempatan menyaksikan film ini pada seminar mengenai Indonesia di Melbourne, Canberra, Jakarta, Singapura, dan Los Angeles. Di Indonesia, film ini diputar di depan publik terbatas di beberapa perguruan tinggi dan lembaga advokasi. Keduanya memperoleh penghargaan nasional dan internasional. Arifin C. Noer mendapat penghargaan sebagai penulis skenario terbaik dalam Festival Film Indonesia 1984. Pada 1985, film PG dinyatakan sebagai film unggulan terlaris dalam Piala Antemas, ditonton sekitar 700 ribu orang-rekor terbanyak yang bertahan sampai 1995. Sementara itu, AK telah menyabet penghargaan dalam festival film di Istambul, Valenciennes, Warsawa, Barcelona, dan kini dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar. Film PG, yang berdurasi 4 jam, adalah film termahal di Indonesia saat pembuatannya pada 1983 (Rp 800 juta). Sedangkan film AK, dengan durasi 2,5 jam dibuat setelah melakukan riset selama delapan tahun. Film PG melukiskan secara detail tentang pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pada 1 Oktober 1965. Sedangkan film AK menggambarkan secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S. Film PG merekonstruksi tragedi 1965 sesuai dengan versi pemerintah, film AK mendekonstruksi narasi yang dibangun dan disosialisasi secara intensif selama Orde Baru. Pada 30 September 1998 malam, film ini tidak ditayangkan lagi oleh TVRI. Saya diberi tahu oleh Sri Mulyono Herlambang bahwa PP AURI (Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia)-lah yang meminta agar pemutaran film tersebut dihentikan.

Ariel Heryanto dalam kolom berjudul "Film, Teror Negara, dan Luka Bangsa" menulis, "Karena bertujuan mendramatisasi kekejaman komunis dan menciptakan kebencian terhadap mereka, film ini penuh adegan kekerasan. Sebuah berita koran berjudul 'Demam dan Menjerit ketika Nonton Film G30S/PKI' melaporkan trauma para siswa yang pernah menyaksikan film wajib ini." (Yogya Post, 30/9/1990) Masih menurut Ariel Heryanto, film the Act of Killing merupakan "film paling dahsyat, dan secara politis terpenting, tentang Indonesia yang pernah saya saksikan". Dalam AK, secara santai para pembantai 1965 mengumbar kebanggaan bersaksi tentang kekejaman yang mereka lakukan. Sambil mengejek film Pengkhianatan G30S/PKI yang dianggap menyesatkan, mereka bersaksi pernah melakukan kejahatan yang lebih keji.... Seorang tokoh dalam Jagal mengaku "Yang kejam itu bukan PKI. Yang kejam kita, ha-ha-ha..." Klaim itu dibuktikan dengan mengisahkan secara detail, mempertontonkan alat-alat yang mereka pakai untuk membantai, tahap demi tahap pembantaian, serta reka ulang tindak kejahatan di beberapa lokasi kejadian yang mereka lakukan sendiri. Tujuan pembuatan film Jagal, menurut sutradara Joshua Oppenheimer: "Jagal mengungkap mengapa kekerasan yang kita harapkan menjadi tak terbayangkan bukan hanya tetap tak terbayangkan, tapi juga rutin dikerjakan dan dipertontonkan. Jagal adalah sebuah upaya untuk memahami kekosongan moral yang memungkinkan para pelaku genosida disambut meriah di televisi publik dengan sorakan dan senyuman. Jagal adalah sebuah seruan untuk meninjau ulang penghiburan diri gampangan bahwa kita adalah "orang baik" yang memerangi "orang jahat" hanya karena kita mengatakan demikian. ...Ini bukan kisah tentang Indonesia belaka. Ini adalah kisah tentang semua orang di dunia." Film AK bukanlah film ilegal lantaran tidak memiliki izin produksi/sirkulasi serta tidak melewati lembaga sensor film sebagaimana halnya film komersial, melainkan film akademis non-komersial. Sampai saat ini film tersebut tidak diperjualbelikan, melainkan dibagikan secara gratis kepada pihak yang berminat. Seandainya film The Act of Killing dinyatakan sebagai pemenang Piala Oscar untuk film dokumenter terbaik, bagaimana sebaiknya sikap pemerintah Indonesia? Pertama, mengapresiasi keberhasilan tersebut walaupun dari fakta historis terdapat beberapa ketidakakuratan dalam film itu. Kedua, dari aspek kekejaman dan kekerasan, film Penghianatan G30S/PKI yang diputar sepanjang Orde Baru lebih berdampak mengerikan.

Generasi Galau
Jum'at, 14 Februari 2014 Iwel Sastra, Komedian @iwel_mc

Kontroversi hari Valentine selalu berulang tiap tahun. Ada yang menyambut gembira, ada juga yang menolak perayaan hari kasih sayang itu. Teman saya menolak keras perayaan hari Valentine. Dasar penolakannya bukan karena dalil agama, melainkan karena dia jomblo. Menurut dia, kasih sayang itu merupakan pelanggaran berat HAM alias Hak Asasi Menjomblo. Bagi kaum jomblo, tanggal 14 Februari bukanlah hari kasih sayang, melainkan hari penyiksaan. Jomblo adalah sebutan untuk seseorang yang belum punya pasangan. Ada juga yang memberikan julukan orang menjomblo dengan sebutan duafa cinta. Jomblo sering dihubungkan dengan kata galau. Penyebabnya adalah seseorang yang menjomblo hatinya tak menentu, sehingga menimbulkan perasaan galau. Ketika melihat sepasang kekasih jalan berdua, langsung galau. Nonton film India, langsung galau. Dengerin musik melow, langsung galau. Apalagi terima undangan pernikahan, langsung super-galau sambil mikir, "ngasih angpau berapa ya?" Sekarang ini virus galau tidak hanya melanda kaum jomblo, tapi juga melanda banyak orang. Bisa jadi inilah penyebab acara-acara penuh joget seperti YKS alias Yuk Keep Smile menjamur. Anak-anak remaja menghibur diri dengan menjadi penonton tayangan musik pagi hari yang diselingi candaan sehari-hari pembawa acaranya. Dari masa ke masa, istilah terhadap sebuah generasi berubah. Dulu dikenal istilah generasi bunga, kemudian muncul generasi X yang dilanjutkan dengan generasi Y. Sekarang populer istilah generasi Flux. Saya mengutip tulisan Rene Suhardono tentang generasi Flux. Rene menulis, berbeda dengan Gen-X atau Gen-Y yang bersifat demografis, Gen-Flux cenderung psikografis. Lebih lanjut Rene menuliskan, Gen-Flux tidak terbebani keharusan punya sebutan karyawan, freelancer, konsultan, atau entrepreneur, semua julukan itu sama sekali tidak penting. Dari tulisan Rene, saya menyimpulkan Gen-Flux adalah generasi anti-galau. Kenyataannya justru kita masuk pada era generasi galau. Fenomena ini kalau dipikirkan malah membuat kita ikut-ikutan galau. Penyebab munculnya generasi galau sebenarnya berhubungan erat dengan persoalan bangsa yang belum bisa diatasi pemerintah. Kenaikan harga BBM, kenaikan harga elpiji, listrik yang masih suka padam di beberapa wilayah, misteri impor beras Vietnam, dan berbagai masalah yang bikin galau lainnya. Presiden SBY menyadari betul bahwa dia belum bisa mengatasi

sepenuhnya rasa galau ini dengan kebijakan yang tepat karena Presiden SBY sendiri juga dirundung galau oleh berbagai persoalan internal partai Demokrat yang dipimpinnya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menghibur dengan tweet motivasi melalui akun Twitter @SBYudhoyono. Untuk membawa generasi galau menjadi generasi Flux yang penuh keoptimisan dan jauh dari galau, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa menawarkan solusi anti-galau. Namun kehadiran pemimpin yang bisa mengobati rasa galau ini belum terlihat. Prabowo, Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, dan sejumlah calon presiden lainya masih galau menanti kepastian secara resmi maju sebagai calon Presiden. Jokowi, yang dijagokan sebagai calon presiden, masih galau menunggu restu Bu Mega. Sedangkan Bu Mega masih galau untuk memutuskan maju atau memberikan kepada Jokowi. *

Tongsis
Jum'at, 14 Februari 2014 Yos Rizal Suriaji @yosrizals

Hari Valentine tiba. Pemilik sebuah akun Instagram menulis hal yang ingin ia rayakan ketika hari kasih sayang itu datang. "Candle light dinner dengan pacar. Setelah itu selfie bersama. Tongsis sudah kusiapkan, kok," ujarnya sambil memajang foto tongsis yang baru dibelinya. Gambar yang ia pamerkan: sepotong tongkat dengan panjang sekitar 1 meter dengan ujung dudukan sebuah telepon seluler. Sudah banyak orang tahu istilah selfie (self-potrait). Sejak Presiden Barack Obama ber-selfieria dengan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt di pemakaman Nelson Mandela pada Desember tahun lalu, istilah ini kian populer. Selfie bahkan sudah resmi masuk kamus Oxford. Aktivitas memotret diri sendiri itu kadang disebut juga dengan selca (self camera) atau selka. Dalam aplikasi berbagi foto Instagram, ada pemilik akun yang hampir setiap hari berselkaria. Ia memotret wajahnya puluhan kali dari berbagai sisi, dari delapan penjuru mata angin. Ia juga memajang gambar tubuh. Berkali-kali pula ia memotret betis yang ia banggakan-dari kaki yang masih berambut sampai yang dicukur habis. Komplet. Seluruh lekuk diri sendiri tersedia dalam etalase akun itu. Hebatnya, para follower-nya rajin memberi komentar: amazing, wow, beautiful... Nah, tongsis yang disebut gadis yang bersiap merayakan Valentine itu tampaknya akan melanggengkan ekshibisi diri sendiri tersebut. Tongsis-kependekan dari tongkat narsismelayani hasrat ber-selfie secara lebih kolosal. Bukan cuma diri sendiri, melainkan "berjemaah". Dengan memasang kamera di ujung tongkat, lalu memencet tombol dari jarak jauh dengan teknologi bluetooth, maka tak ada yang tertinggal untuk difoto. Semua bisa masuk satu frame gambar. Semua bisa "narsis" bersama-sama. Beberapa komunitas hobi kini kerap menenteng tongsis ketika berkumpul. Monopod ini seolah menjadi senjata penting yang tak boleh dilupakan. Di ujung pertemuan, tongkat itu dikeluarkan. Lalu, orang-orang pun memasang pose andalan masing-masing saat sesi selfpotrait bersama. Orang di luar komunitas tak perlu lagi membantu memotret. Semua bisa mereka kerjakan sendiri. Saya tak sedang risau akan fenomena orang-orang yang begitu bangga pada diri sendiri, pada tubuh sendiri, dan pada komunitas mereka sendiri itu. Ini zaman teknologi digital yang memudahkan orang mengekspresikan diri. Tampil cantik, glamor, heboh, begitu gampang

diekspose berkat inovasi-inovasi teknologi ponsel pintar. "Me time" mendapat ruang yang mahaluas di jagat media sosial. Wabah selfie ini justru telah membuka ceruk bisnis yang menggiurkan. Kehadiran tongsisterutama setelah Ani Yudhoyono ikut mempopulerkan monopod ini di akun Instagramnyamembuat pencetus nama tongsis, Babab Dito, kaya mendadak. Ia bisa membeli rumah dan mobil dari berjualan tongkat ajaib ini. Kios-kios aksesori ponsel pun kebanjiran permintaan alat berharga Rp 200-250 ribu itu. Saya cuma heran, jarang orang mengungkapkan penilaiannya secara jujur terhadap selfie yang bertaburan di jejaring media sosial. Selfie berjemaah dengan aba-aba "pasang muka jelek!" beramai-ramai yang menampilkan wajah-wajah manyun, misalnya, secara fotografi jelas kerap tak menarik. Tapi tetap saja jepretan itu diberi acungan jempol dan komentar "cool, nice picture" dan seabrek pujian lain. Sebaliknya, bila ada yang berusaha jujur, ia justru dengan cepat ditendang dari daftar teman. Menyedihkan. *

Ibu Kota dan Wibawanya


Sabtu, 15 Februari 2014 Asikin Hasan Kurator

Di Washington, D.C., layar iklan produk industri dilarang mengisi ruang-ruang publik. Bahkan baliho berisi foto presiden dan anggota legislatif, apalagi pendakwah agama, tak punya tempat barang secuil pun. Ruang publik adalah milik publik yang harus bersih dari kepentingan kaum saudagar, propaganda para politikus, organisasi massa, dan kelompok tertentu. Foto-foto presiden Amerika hanya bisa kita temukan dalam bentuk kartu pos, dan produk ekonomi kreatif lainnya di dalam toko-toko seni rupa, ditempatkan setara dengan foto-foto Marylin Monroe atau Elvis Presley, simbol budaya pop Amerika era 60-an. Ibu kota itu tergambar sebagai lahan terbuka, hutan kota yang lebat, taman-taman dengan banyak kursi tempat warga mengaso sejenak, atau menikmati keindahan dan kenyamanan lingkungan sekitarnya. Pemandangan dominan pada ibu kota itu adalah puluhan museum, monumen, patung para pendiri Amerika, dan tokoh pejuang kemanusiaan. Semua menunjukkan sikap dan cara warga Amerika mendudukkan wibawa dan kehormatan ibu kota mereka. Pada 16 Mei 1956, ketika pertama kali Presiden RI Sukarno melihat Monumen Washington dan kawasan terintegrasi di sekitarnya, ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya. Ia menaruh perhatian begitu penting pada monumen, tempat di mana orang akan selalu mengenang hal berharga dalam kehidupan berbangsa. Monumen serupa itu, menurut Bung Karno, hanya bisa dibangun oleh mereka yang bermental patriot komplet. Istilah itu menunjuk pada semangat totalitas bahwa setelah merdeka, pembangunan bangsa tak cukup hanya dari segi pangan dan papan semata, tapi juga dalam seni-budaya. Pembangunan ruang publik dan elemen di atasnya adalah seni budaya itu sendiri. Dalam perjalanan 50 hari di Eropa dan Amerika itu, Sukarno terinspirasi mendirikan Monumen Nasional (Monas) dan taman kota. Menurut dia, selain kebanggaan, rakyat berhak mendapatkan pemandangan yang menyehatkan bagi matanya, sebagaimana mereka juga berhak berjalan kaki dengan nyaman dan aman di atas trotoar. Di tengah krisis ekonomi dengan inflasi hingga 650 persen ketika itu, Bung Karno seolah melawan teori Abraham Maslow soal jenjang kebutuhan dasar manusia. Bagi Bung Karno, kebutuhan manusia akan seni dan budaya setara dengan kebutuhan dasar lainnya. Keyakinan itulah yang dipegangnya untuk membangun ruang-ruang publik dan proyek yang kita kenal sebagai "mercusuar", membangun apa yang ia sebut sebagai monumen trimatra yang dapat dilihat seribu tahun ke depan.

Sayang Sukarno terlalu cepat pergi, sebelum semua cita-citanya terwujud. Rezim baru yang menggantikannya segera mengalihkan proyek ideal itu ke pembangunan ekonomi dan industri semata, sekaligus keberpihakan pada layar iklan. Kritik Srihadi Sudarsono dalam lukisannya tentang Jakarta yang penuh layar iklan produk Jepang di era 1970-an adalah sebuah tanda awal wibawa Ibu Kota Jakarta telah kandas dilantak kuasa modal dan kepentingan industri. Lukisan itu membuat marah Gubernur DKI Ali Sadikin dengan mencoret lukisan tersebut-belakangan ia meminta maaf kepada pelukisnya. Celakanya, wajah ibu kota tak hanya dipenuhi layar iklan pelbagai produk industri. Baliho raksasa foto presiden, menteri kabinet, bersaing dengan foto-foto besar pendakwah agama, calon anggota legislatif, dan bendera-bendera partai politik. Pernahkah mereka yang memasang gambar tersebut mengevaluasi sekali saja; apakah publik senang atau justru muak dengan citra yang ditampilkan semena-mena itu? Sesungguhnya konsep campuran pada pengembangan Kota Jakarta adalah salah satu pintu dari buruk rupa ini. Memang konsep campuran memudahkan kita untuk mendapatkan pelbagai kebutuhan sehari-hari. Tapi ia justru menjadi sumber kekacauan tata ruang itu sendiri, seperti tecermin pada layar iklan yang menguasai seantero kota. Pemerintah DKI akhirnya menempatkan diri seperti polisi lalu lintas. Penertiban Pasar Tanah Abang yang monumental, tak diikuti dengan kawasan lainnya. Jalan-jalan lebar di kawasan Kemayoran yang menjadi pasar dadakan sempat ditertibkan sesaat, kini kembali seperti semula. Pada malam hari kawasan itu berubah menjadi pasar liar yang konon dibekingi aparat, preman, dan ormas tertentu. Sistem campuran yang membiarkan kota tumbuh mengikuti keinginan bebas pelbagai kelompok, dan berujung pada kekacauan, berbeda dengan National Capitol Park System, rancangan yang mendasari hidup Kota Washington, D.C., yang terasa konservatif demi menjaga wibawa ibu kota. Kendati sudah puluhan presiden Amerika silih berganti, Washington tetap seperti sediakala; menyerupai sebuah taman yang tak hanya indah, nyaman, tapi juga ruang bagi publik untuk belajar. Di dalam kota itu telah disiapkan puluhan museum seni rupa dan ilmu pengetahuan, monumen sejarah, dan perpustakaan yang dapat diakses publik seluas-luasnya. Kurang-lebih seperti Washington, D.C. itulah ibu kota Jakarta yang pernah dibayangkan oleh Bung Karno. *

Bumi Satu, Manusia Banyak


Sabtu, 15 Februari 2014 Benni Setiawan, Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta

Bencana telah menjadi menu harian bangsa Indonesia. Tampak tak ada sejengkal tanah tersisa tanpa sentuhan banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan letusan gunung berapi. Manusia yang mendiami tanah pun meratapi kepiluan, menangisi kepergian orang tersayang dan hilangnya harta benda. Alam tampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya kepada manusia. Belum tuntas menyelesaikan bencana Gunung Sinabung, Karo, Sumatera Utara, kini ada 19 gunung kembali aktif dan berstatus waspada serta siaga. Dan Gunung Kelud pun meletus pada 13 Februari. Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuh sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta. Sudah lama kita mendengar kata kosmologi, yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukan chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas (Komaruddin Hidayat, 2006). Karena itu, meminjam istilah filsafat antroposentrisme-yang memandang kebaikan dan kebenaran bersumber dari manusia-- selayaknya akal budi manusia mampu membaca "kekuasaan" alam ini. Akal budi akan menuntun manusia menuju kesalehan, bukan hanya kesalahen individu, tapi juga kesalahen sosial. Sebaliknya, tanpa akal budi ini, manusia akan terperosok ke lubang kenistaan. Manusia akan terjatuh dari sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim) menjadi seburuk-buruk penciptaan (syarrul ummah). Selain itu, tampaknya kita perlu menyimak gagasan Aldo Leopold (1994) tentang etika bumi. Baginya, istilah bumi ini merujuk pada segala sesuatu yang hidup pada semua obyek natural dan proses yang membentuk ekosistem tertentu. Setiap individu adalah bagian dari suatu komunitas alami dan adalah absurd menganggap bahwa orang tak punya kewajiban komunitasnya sendiri.

Etika bumi memperluas pengertian komunitas hingga mencakup tanah, air, flora, dan fauna atau---secara kolektif-bumi. Berhubung etika itu bersendikan presumsi bahwa individu adalah anggota suatu komunitas dengan bagian lain yang interdependen. Ide etika bumi di atas mengajak manusia menyadari bahwa ia terintegrasi satu sama lain. Jika manusia satu merusak, akan mengakibatkan kerugian bagi yang lain. Manusia selayaknya menyadari bahwa posisinya mempengaruhi keberadaan orang lain. Tuhan tentu mempunyai alasan mengapa hanya menciptakan bumi satu dan memperanakkan manusia hingga banyak. Tuhan tampaknya ingin menguji seberapa amanat manusia menjaga yang satu. Jika gagal, manusia seharusnya malu. *

Jatiwangi, Fukuoka, dan UU Desa


Sabtu, 15 Februari 2014 Seno Joko Suyono senojokosuyono@gmail.com

Mungkin baru pertama kali ada seorang camat dan lurah dari Indonesia berbicara di Fukuoka Asia Art Museum, Jepang. Itu yang terjadi pada Minggu lalu. Camat Jatiwangi, Ono Haryono, dan Lurah Desa Jatisura, Ginggi Syarif Hasyim--keduanya pejabat desa di bawah Kabupaten Majalengka--diundang mengikuti pameran seni rupa kontemporer: Mapping the Unmapped. Museum Fukuoka meminta mereka mempresentasikan kegiatan seni kontemporer di desanya. Awalnya adalah kedatangan kurator Masahiro Ushiroshoji di acara Festival OK Video di Galeri Nasional yang digagas komunitas Ruang Rupa. Ia tertarik dengan video karya Jatiwangi Art Factory (JAF). Video itu menayangkan bagaimana camat menggalang ribuan warga desa berikrar setia pada genting. Jatiwangi dikenal sebagai kawasan pembuat genting. JAF sendiri adalah sebuah komunitas yang didirikan seniman Arief Yudhi. Sejak 2006, ia aktif mengundang senimanseniman internasional untuk residensi. Dan hasilnya tak terduga, perupa dari Brasil sampai Mongolia mau tidur di rumah penduduk, mengikuti pembakaran tanah liat tradisional, lalu menciptakan karya. Undangan Museum Fukuoka semakin meyakinkan Camat dan Lurah bahwa memang visi-visi kreatif JAF perlu didukung. Apalagi menyongsong penerapan Undang-Undang Desa Tahun 2015. Seperti kita ketahui, undang-undang ini akan membawa perubahan besar pada wajah desa kita. Ada 72.944 desa yang bakal diberi Rp 1,2 miliar setiap tahun. Desa-desa bisa membuat badan-badan usaha sendiri, pabrik-pabrik seperti di Cina, atau apa saja demi kemajuan desa. Kini Peraturan Presiden (Perpres)--pedoman pengimplementasian UU Desa--tengah digodok. Yang menjadi soal adalah bila desa tak memiliki program terencana semenjak awal. Sebuah desa yang tak siap, bisa terlanda konflik dan korupsi. Sebelum Pak Camat dan Pak Lurah berangkat ke Fukuoka, saya sempat bertanya apa yang mereka bayangkan tentang UU Desa? Pertama-tama mereka berpendapat harus digunakan untuk mengembangkan sumber daya dan infrastruktur desa. Jatiwangi sendiri lima tahun ke depan akan berubah. Sebuah bandara internasional dibangun di kawasan Kertajati, yang hanya lima belas menit dari Jatiwangi. Juga ratusan pabrik tekstil akan didirikan di sekitar Majalengka.

"Itu akan mengubah pola sosial budaya kami," kata Pak Lurah. Ia berkisah, pada 1980-1990an, di Jatiwangi ada sekitar tiga ratusan pabrik genting. Mereka menguasai suplai perumahan Jawa Barat. Tapi, kemudian krisis. Dan kini tinggal 100-an. Itulah sebabnya Camat membayangkan di masa depan bakal memanfaatkan semua sarana itu dan merevitalisasi kerajinan tanah liat serta menjadikan industri kreatif dengan menggunakan jaringan internasional yang dimiliki JAF. Mungkin, Jatiwangi adalah contoh kecil. Desa ini sedikit banyak memiliki bayangan ke depan. Entah terlaksana atau tidak. Minggu lalu, dua belas perupa Polandia dari Kota Poznan dipimpin kurator Krzystof Lukomski yang selama 8 hari menginap di markas JAF, juga mewawancarai aparat-aparat desa mengorek harapan dan kecemasan mereka. Kita duga ratusan atau mungkin ribuan desa lain di seantero Indonesia masih belum memiliki orientasi saat dana dikucurkan, masih meraba-raba apa program mereka. Undang-undang desa adalah sebuah eksperimen besar yang menantang. *

You might also like