You are on page 1of 20

PRODUKSI BIOETHANOL DARI BONGGOL PISANG MELALUI PROSES FERMENTASI Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bioteknologi

Disusun Oleh :

AHMAD SAZALI 140410100078

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2013

BAB 1 PENDAHULUAN

Salah satu energi alternatif yang menjanjikan adalah bioetanol. Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi. Ethanol atau ethyl alkohol C2H5OH berupa cairan bening tak berwarna, terurai secara biologis (biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yg besar bila bocor. Ethanol yg terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air. Ethanol adalah bahan bakar beroktan tinggi dan dapat menggantikan timbal sebagai peningkat nilai oktan dalam bensin. Dengan mencampur ethanol dengan bensin, akan mengoksigenasi campuran bahan bakar sehingga dapat terbakar lebih sempurna dan mengurangi emisi gas buang (seperti karbonmonoksida/CO). Etanol pada umumnya dibuat secara kimiawi, namun metode ini kurang ramah lingkungan. Oleh karena itu, etanol perlu diproduksi menggunakan bantuan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Etanol hasil fermentasi menggunakan mikroorganisme dikenal sebagai bioetanol. Bioetanol dapat dibuat dengan cara peragian (fermentasi) terhadap bahanbahan yang mengandung pati atau gula. Sumber pati dapat berupa jagung, ubi kayu, kentang, ganyong, gembili, bit dan lain-lain (Rama Prihandana dkk., 2007: 26). Pemanfaatan pati dari ubi kayu, gembili, garut, sagu, dan jagung menjadi etanol telah banyak dilakukan. Salah satu bahan berpati yang belum dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan etanol adalah bonggol pisang. Bonggol pisang memiliki komposisi 76% pati, 20% air, sisanya protein dan vitamin. Bonggol pisang diperoleh dari semua jenis pisang, diantaranya pisang kepok, pisang raja, pisang susu, dan pisang ambon yang buahnya telah dipanen. Selain dari pohon pisang yang telah dipanen buahnya, bonggol pisang juga dapat diperoleh dari pohon pisang yang telah cukup tua. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman pisang yang cepat menjadikan ketersediaan bonggol pisang sangat melimpah, sehingga mempunyai potensi yang baik sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.

Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme yang mampu menghasilkan alkohol. Mikroorganisme yang sering digunakan adalah Sacharomyces cereviceae. Salah satu inokulum atau starter yang mengandung mikroorganisme S. cereviceae dikenal sebagai tablet ragi. Tablet ragi digunakan untuk membuat berbagai macam makanan fermentasi seperti tape ketan atau singkong, tempe, oncom, serta brem cair atau padat. Pada umumnya ragi yang digunakan untuk membuat makanan fermentasi seperti tape dan tempe mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme, yaitu khamir, kapang dan bakteri. Campuran beberapa jenis mikroorganisme pada ragi tape memberi keuntungan dalam memfermentasi bonggol pisang menjadi bioetanol. Hal ini disebabkan adanya enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme lain yang dapat membantu menghidrolisis pati menjadi glukosa. Proses fermentasi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah konsentrasi ragi dan lama fermentasi. Menurut Penelitian dari Eko Prasetyo,( 2012 ) waktu permentasi dan konsentrasi oftimum dalam permentasi bonggol pisang adalah 4 hari fermentasi dan kadar ragi 0.6 Kandungan nutrisi pada berbagai jenis pisang berbeda sehingga akan menghasilkan jumlah bioetanol yang berbeda pula, oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan jenis bonggol pisang apa yang menghasilkan bioetanol optimum. Bila jenis bonggol yang menghasilkan bioetanol optimum ditemukan maka akan memudahkan dan memberi efisiensi yang terbaik dalam memproduksi bioetanol.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PISANG Batang pisang dapat digunakan sebagai bahan dasar kertas daur ulang, bahan anyaman kerajinan, dan pakan ternak. Jantung pisang dapat digunakan sebagai bahan makanan seperti dendeng jantung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai produk olahan makanan, seperti nata dan roti. Bagian bonggol pisang juga bermanfaat sebagai bahan baku obat, yaitu dapat mengobati penyakit disentri, pendarahan usus, obat kumur serta untuk memperbaiki pertumbuhan dan menghitamkan rambut (Rosdiana 2009 ). Bonggol pisang dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya yang menyerupai pati tepung sagu dan tepung tapioka. Potensi kandungan pati bonggol pisang yang besar dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan akar alternatif, yaitu bioetanol. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki potensi hasil yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Rama Prihandana, 2007: 26). Batang pisang sebagian berisi air dan serat (selulosa) , disamping mineral, kalium, fosfor, dan lain-lain. Komposisi kimia batang pisang dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu komposisi tanah, frekuensi pemotongan, fase pertumbuhan, pemupukan, iklim setempat dan ketersediaan air. Serat batang pisang mengandung 63% selulosa, 20% hemiselulosa dan 5% lignin (Wijaya, 2002)

2. PATI Pati merupakan salah satu polisakarida yang terdapat dalam semua tanaman, terutama dalam jagung, kentang, biji-bijian, ubi akar, padi, dan gandum (Hardjono Sastrohamidjojo, 2005: 90). Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk spesies tumbuhan. Butir pati dapat ditunjukkan dengan mikroskop cahaya biasa dan cahaya

terpolarisasi, serta dengan difraksi sinar-X terlihat struktur kristal yang sangat beraturan (De Man, 1997: 190). Pati terdiri atas dua macam polisakarida yang keduanya merupakan polimer dari glukosa. Polimer glukosa tersebut tersusun dari unit satuan -D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosidik dan ikatan -1,6 glikosidik pada percabangan rantainya. Kedua polimer glukosa tersebut adalah amilosa dan amilopektin (Anna Poedjiadi dan Titin Supriyanti, 2006: 35-36). Amilosa mempunyai molekul yang berbentuk lurus dari satuan-satuan glukosa dan terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan -(1,4) glikosidik. Sifat khas dari amilosa adalah kemampuannya untuk mengikat iod, karena membentuk kompleks biru tua. Amilosa dapat mengikat 20% bobot iod. Amilosa (Gambar 1) lebih mudah terhidrolisis daripada amilopektin.

Gambar 1. Sebagian Struktur Amilosa Amilopektin (Gambar 2) merupakan polimer glukosa dengan susunan yang bercabangcabang, karena adanya ikatan -(1,6) glikosidik pada titik tertentu dalam molekulnya, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Rantai cabang yang demikian itu dapat mengandung 200-3000 satuan glukosa hingga mempunyai berat molekul relatif 500.000. Amilopektin akan memberikan warna merah bila ditambahkan larutan iodin dan mengandung 20-30 sisa glukosa serta mempunyai bobot molekul relatif 50.000-1.000.000 (Aisjah Girindra, 1990: 40).

Gambar 2. Bagian Molekul Amilopektin

Proses hidrolisis pati yaitu pengubahan molekul pati menjadi monomernya atau unit-unit penyususnya seperti glukosa. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada suhu, pH, dan waktu reaksi tertentu. Pemotongan rantai pati oleh asam lebih tidak teratur dibandingkan dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim. Hasil pemotongan oleh asam adalah campuran dekstrin, maltosa dan glukosa, sementara enzim bekerja secara spesifik sehingga hasil hidrolisis dapat dikendalikan (Trifosa, 2007). Enzim yang dapat digunakan dalam proses hidrolisis pati adalah amilase. Enzim amilase merupakan endoenzim yang menghidrolisis ikatan a- 1,4- glukosida secara spesifik.

3. BIOETHANOL Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat juga diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang mangandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium (Khairani, 2007). Bioetanol dapat dihasilkan dari biomassa yang mengandung komponen pati atau selulosa, seperti singkong, umbi garut, ubi jalar, tepung sagu, dan ganyong. Dalam dunia industri, etanol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran minuman keras, serta bahan baku farmasi dan kosmetika (Erliza Hambali, dkk, 2007: 39).

Bahan baku pembuatan bioetanol ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a. Bahan sukrosa Bahan - bahan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nira, tebu, nira nipati, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete. b. Bahan berpati Bahan - bahan yang termasuk kelompok ini adalah bahan - bahan yang mengandung pati atau karbohidrat. Bahan - bahan tersbut antara lain tepung tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain - lain. c. Bahan berselulosa (lignoselulosa ) Bahan berselulosa (lignoselulosa) artinya adalah bahan tanaman yang mengandung selulosa (serat), antara lain kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain.

Berdasarkan ketiga jenis bahan baku tersebut, bahan berselulosa merupakan bahan yang jarang digunakan dan cukup sulit untuk dilakukan. Hal ini karena adanya lignin yang sulit dicerna sehingga proses pembentukan glukosa menjadi lebih sulit (Khairani, 2007). Berdasarkan kadar alkoholnya etanol dapat dibagi menjadi tiga grade sebagai berikut : 1. Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%. 2. Grade netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi. 3. Grade bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99,5%.

Bioetanol secara umum dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran bahan bakar untuk kendaraan. Grade bioetanol harus berbeda sesuai dengan pengunaanya. Bioetanol yang menpunyai grade 90% - 96,5% volume digunakan pada industri, grade 96% - 99,5% digunakan dalam campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Besarnya grade bioetanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus betul betul kering dan anhydrous supaya tidak menyebabkan korosi, sehingga bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5% - 100% (Khairani, 2007). Bioetanol yang digunakan sebagai bahan bakar mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya lebih ramah lingkungan, karena bahan bakar tersebut memiliki nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan 94. Hal ini menyebabkan bioetanol dapat menggantikan fungsi zat aditif yang sering ditambahkan untuk memperbesar nilai oktan.

Zat aditif yang banyak digunakan seperti metal tersier butil eter dan Pb, namun zat aditif tersebut sangat tidak ramah lingkungan dan bisa bersifat toksik. Bioetanol juga merupakan bahan bakar yang tidak mengakumulasi gas karbon dioksida (CO2) dan relatif kompetibel dengan mesin mobil berbahan bakar bensin. Kelebihan lain dari bioetanol ialah cara pembuatannya yang sederhana yaitu fermentasi menggunakan mikroorganisme tertentu (Mursyidin, 2007). Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Bioetanol diproduksi melalui proses fermentasi gula, baik yang berupa glukosa, sukrosa, maupun fruktosa dengan bantuan ragi (yeast) terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis. Pada proses ini gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida (Erliza Hambali, dkk, 2007: 40). Bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin berbasis petrochemical (Erliza Hambali, dkk, 2007: 50). Karakteristik bioetanol tersebut antara lain : 1. Mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi gas rumah kaca. 2. Memiliki nilai oktan yang lebih tinggi, sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif, seperti metil tertiary butyl eter dan tetra ethyl lead. 3. Mempunyai nilai oktan 96-113, sedangkan nilai oktan bensin hanya 85-96. 4. Bioetanol bersifat ramah lingkungan, karena gas buangnya rendah terhadap senyawasenyawa yang berpotensi sebagai polutan, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca. 5. Bioetanol mudah terurai dan aman karena tidak mencemari air. 6. Sebagai sumber energi dapat diperbaharui (renewable energy) dan proses produksinya relatif lebih sederhana dibandingkan dengan proses produksi bensin.

4. FERMENTASI Proses fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara aerobik, yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi terutama adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu (Fardiaz, 1992). Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan kegiatan mikroba tertentu dengan tujuan mengubah sifat bahan agar dihasilkan suatu yang bermanfaat (Widayati dan Widalestari, 1996). Perubahan tersebut karena dalam

proses fermentasi jumlah mikroba diperbanyak dan digiatkan metabolismenya didalam bahan tersebut dalam batas tertentu . Menurut Judoamidjojo dkk. (1992), menyatakan bahwa beberapa langkah utama yang diperlukan dalam melakukan suatu proses fermentasi diantaranya adalah : a. Seleksi mikroba atau enzim yang sesuai dengan tujuan. b. Seleksi media sesuai dengan tujuan. c. Sterilisasi semua bagian penting untuk mencegah kontaminasi oleh mikroba yang tidak dikehendaki. Saccharomyces Hemiascomycetes, cerevisiae merupakan yeast yang termasuk dalam Sub kelas famili

ordo

Endomycetales,

famili

Saccharomycetaceae,

Saccharoycoideae, dan genus Saccharomyces (Frazier dan Westhoff, 1978). Saccharomyces cerevisiae merupakan organisme uniseluler yang bersifat makhluk mikroskopis dan disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk metabolisme Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan sejumlah gula, diantaranya sukrosa, glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa dan maltotriosa (Lewis dan Young, 1990). Saccharomyces cerevisiae merupakan mikrobia yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4 32oC (Kartika et.al.,1992). Manusia memanfaatkan Saccharomyces cereviseae untuk melangsungkan fermentasi, baik dalam makanan maupun dalam minuman yang mengandung alcohol. Jenis mikroba ini mampu mengubah cairan yang mengandung gula menjadi alcohol dan gas CO2 secara cepat dan efisien (Sudarmadji K., 1989).

BAB III METODELOGI PENELITIAN

1. Alat dan Bahan yang digunakan Bahan yang digunakan Bahan Bahan yang digunakan yaitu limbah Bonggol Pisang, Enzim Selulase berasal dari fungi Aspergillus niger, Yeast Saccromyces Cerevisiae, Aquadest, dll. Parameter yang digunakan Massa bahan baku : 50 gram pH : 4 5 Waktu hidrolisis : 24 jam Volume Enzim : 1, 3, 5, 7, dan 9 ml Waktu fermentasi : 1, 3, 5, 6, dan 7 hari Pembuatan Enzim Selulase A. Penyiapan Inokulum 100 ml media cair (media cair ini terdiri dari sukrosa 12,5%, (NH4)2SO4 0,25 %, KH2PO4 0,2 %). pH media cair diatur dengan HCl hingga pH 3. Ujung kawat ose dicelupkan ke dalam etanol 96 % lalu dipanaskan pada api bunsen sampai berwana merah. Biakan Aspergillus niger dari media PDA diambil dengan menggunakan kawat ose lalu dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh. Pekerjaan ini dilakukan di ruang aseptik. Media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu 30C selama 24 jam. B. Produksi Enzim selulase dalam media cair padat Kulit pisang dicacah dan dikeringkan kemudian dihaluskan.

Menimbang 20 gram Kulit Pisang dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml dan menambahkan nutrisi urea 0,03 gr, MgSO4.7H2O, 0,005 gr, KH2PO4 0,0023 gr.

80 ml aquadest ditambahkan dalam media tersebut pH diatur hingga pH 5 lalu media disterilkan di dalam autoclave pada suhu 120 C selama 15 menit. Media yang telah disterilkan kemudian didinginkan. Suspensi spora aspergillus niger ditambahkan sebanyak 10 ml pada media tersebut. Media diinkubasi pada suhu 30 oC dengan waktu fermentasi 96 jam.

C. Pengambilan Enzim Hasil fermentasi diekstrak dengan aquadest sebanyak 100 ml lalu di letakkan pada rotari shaker 150 rpm selama 1 jam Cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan menggunakan kertas saring. Enzim yang diperoleh kemudian disimpan di lemari pendingin dan siap digunakan

Pretreatment Bonggol Pisang Memotong Bonggol pisang lalu dikeringkan di panas matahari dan oven. Menggiling / menghaluskan bonggol Pisang sampai ukuran tertentu. Menimbang 50 gram bonggol Pisang, memasukkan kedalam erlemeyer 500 ml. Menambahkan 100 ml H2SO4 1 % dan menutup rapat erlenmeyer dengan gabus kemudian dipanaskan dalam autoclave pada suhu 121 oC selama 30 menit. Memisahkan fase airnya sehingga tersisa fase seluligninnya Menambahkan 100 ml NaOH 4 % dan menutup rapatnya lalu dipanasi kembali pada suhu 121 oC selama 30 menit. Mencuci fase solidnya dengan air beberapa kali.

Proses Hidrolisis Enzimatik Hasil pretreatment dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml lalu ditambahkan 100 ml aquadest dan mengatur pH 4 5. Kemudian dipanaskan dalam autoclave pada suhu 100 oC selama 30 menit. Bubur bonggol pisang dibiarkan menjadi dingin. Menambahkan enzim selulase sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 9 ml (sesuai perlakuan) kedalam bubur Bonggol pisang tersebut lalu menutup rapat erlenmeyer dengan gabus. Kemudian diletakkan pada rotary shaker 160 rpm selama 24 jam.

Proses Fermentasi Bubur Bonggol pisang yang telah dihidrolisis ditambahkan dengan 4 gr Saccaromyces Cerevisiae dan diaduk pada 150 rpm sampai homogen. Setelah itu menghubungkan erlemeyer 500 ml yang berisi bubur Bonggol pisang tersebut dengan selang karet dan ujung selang dimasukkan kedalam air agar tidak terjadi kontak langsung dengan udara. Selanjutnya larutan difermentasikan selama 1 hari, 3 hari, 5 hari, 6 hari dan 7 hari (sesuai dengan perlakuan). Selanjutnya memisahkan larutan dengan bubur Bonggol pisang sehingga diperoleh cairan alkohol + air.

Destilasi (Pemurnian etanol) Merangkai dan menyalakan peralatan destilasi dengan benar. Cairan hasil fermentasi lalu dimasukkan kedalam labu destilasi. Temperatur pemanas dijaga pada suhu 80 oC. Proses destilasi dilakukan selama 1,5 2 jam sampai etanol tidak menetes lagi. Mengukur destilat (etanol) yang didapat.

Penentuan kadar Etanol Untuk menganalisa kadar alkohol (etanol) yang didapat digunakan analisa density. Analisa density ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer, piknometer yang digunakan adalah piknometer 5 ml pada suhu kamar.

Penentuan Kadar Glukosa Untuk analisa kadar glukosa yang di dapat, analisa dilakukan dengan menggunakan Metode Luff Schoorl.

Gambar 3. Rangkaian alat hidrolisa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi pati bonggol pisang Bonggol pisang sebagai bahan baku pati dikupas dan dibersihkan dari kotoran. Bonggol pisang kemudian dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan cara dijemur dan dianginanginkan sampai kering. Bonggol pisang dibuat kering bertujuan agar lebih awet dan menghilangkan kandungan airnya sehingga diperoleh bonggol yang kering dan dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku Bonggol pisang kering digiling dengan mesin penggiling atau ditumbuk dengan penumbuk sehingga menjadi serbuk halus. Serbuk bonggol pisang lalu disaring atau diayak sehingga diperoleh pati yang homogen.

2. Hidrolisis pati menjadi glukosa Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dalam proses pembuatan bioetanol, karena proses ini menentukan jumlah glukosa yang dihasilkan untuk kemudian dilakukan fermentasi menjadi bioetanol. Menurut Musanif (2008), prinsip hidrolisis pati adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa atau monosakarida yaitu glukosa (C6H12O6). Pemutusan ikatan pada pati atau karbohidrat menjadi glukosa dapat menggunakan beberapa metode diantaranya aitu metode kimiawi (hidrolisis asam) dan metode enzimatis (hidrolisis enzim). Metode kimiawi dilakukan dengan cara hidrolisis pati menggunakan asam-asam organik, yang sering digunakan adalah H2SO4, HCl, dan HNO3. Hasil pemotongan oleh asam adalah campuran dekstrin, maltosa dan glukosa (Trifosa, 2007). Metode hidrolisis menggunakan asam ini memiliki kelemahan diantaranya tidak ramah lingkungan, karena residu yang dihasilkan dari proses hidrolisis asam akan mencemari lingkungan. Menurut Hajiyah (2005), proses asam akan menghasilkan produk yang tidak ramah lingkungan, yaitu meningkatkan nilai COD dalam air. Hidrolisis asam juga bersifat toksik apabila terhirup dalam waktu yang lama sehingga terakumulasi dalam tubuh dan menyebabkan berbagai penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian. Kelemahan yang lain dari penggunaan

asam adalah glukosa yang dihasilkan relatif kecil jumlahnya. Meurut Judoamidjojo et.al., (1989), hidrolisis pati dengan dengan asam hanya memperoleh sirup glukosa dengan ekivalen dekstrosa (DE) sebesar 55, hal ini disebabkan katalis asam hanya menghidrolisis secara acak. Konversi asam untuk membuat sirup glukosa dengan DE diatas 55 akan mengakibatkan molekul gula bergabung kembali dan menghasilkan bahan pembentuk warna seperti 5-hidroksimetil furfural atau asam levulinat (Judoamidjojo et.al., 1989).

Proses hidrolisis menggunakan katalis asam juga memerlukan suhu yang sangat tinggi agar hidrolisis dapat terjadi. Menurut judoamidjojo et.al., (1989), bahwa hidrolisis pati dengan asam memerlukan suhu tinggi, yaitu 120 - 160 oC. Berdasarkan kelemahan tersebut proses hidrolisis pati menggunakan asam jarang digunakan. Metode hidrolisis pati yang lebih sering digunakan adalah secara enzimatis dengan menggunakan enzim. Enzim yang umumnya digunakan adalah amilase, seperti a-amilase dan glukoamilase. a- amilase dapat menghidrolisis ikatan a- 1,4-glukosida secara spesifik. Hasil hidrolisis tersebut diteruskan oleh glukoamilase yang dapat mengidrolisis ikatan a- 1,4-glukosida dan a- 1,6-glukosida menghasilkan glukosa. Glukoamilase ditambahkan dalam hidrolisis enzimatis agar proses pengubahan pati menjadi glukosa lebih banyak dihasilkan, karena glukoamilase dapat memutus ikatan pada pati yang belum terputus oleh penambahan a- amilase. Glukoamilase dapat menghidrolisis ikatan a-1,4glukosida, tetapi hasilnya b- glukosa yang mempunya konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh a- amilase, sehingga glukosa yang dihasilkan akan bertambah banyak atau melimpah (Nurdianti, 2007). Enzim amilase dapat diperoleh dari tanaman (kecambah barley, ubi jalar, kacang kedelai dan gandum), dan dari hewan yang terdapat dalam kelenjar pankreas. Kedua sumber enzim tersebut tidak potensial untuk memproduksi enzim, karena tanaman dan hewan memiliki beberapa kelemahan untuk dijadikan sebagai sumber enzim. Enzim dari tanaman menurut Hajiyah (2005), bergantung pada variasi musim, konsentrasi rendah, dan membutuhkan biaya proses yang tinggi sedangkan enzim dari hewan memiliki persediaan yang terbatas dan adanya persaingan dengan manusia untuk pemanfaatan yang lain, sehingga perlu dicari sumber yang mampu menghasilkan enzim dalam jumlah yang tinggi dan menguntungkan secara ekonomis. Mikroorganisme merupakan sumber yang paling banyak digunakan dalam menghasilkan enzim, karena mikroorganisme mudah untuk dikembangbiakan dan secara ekonomis menguntungkan.

Menurut Fibriyantama (2005), mikroorganisme dapat dijadikan sebagai sumber enzim yang baik karena selain menguntungkan secara ekonomis, mikroorganisme memilki siklus hidup yang relatif lebih pendek sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan.

3. Fermentasi glukosa menjadi bioetanol Proses hidrolisis pati dengan metode enzimatis dan metode katalis asam akan menghasilkan glukosa sebagai bahan pembuatan bioetanol. Bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk mengatasi krisis energi. Pembuatan bioetanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi glukosa menjadi bioetanol yang bersifat anaerob yaitu, tidak memerlukan okasigen(O2). Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 4 32oC (Kartika et.al.,1992). S. cereviceae akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Asam piruvat, selanjutnya mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi asetaldehid dan mengalami reaksi dehidrogenasi menjadi bioetanol (Musanif, 2008). Bonggol pisang Kepok diasumsikan memiliki kandungan pati yang berbeda. Hal ini mengingat ketiganya berasal dari varietas yang berbeda. Hasil analisis kandungan alkohol atau bioetanol menunjukan hasil yang tidak terlampau berbeda satu dengan yang lain. Kisaran konsentrasi yang diperoleh adalah lebih kurang 0,5 %. Konsentrasi tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh oleh Eko Prasetyo (2012) . Meskipun masih dirasa belum memuaskan dilihat dari kandungan pati dalam bonggol pisang yang berkisar 71 %. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui jenis komponen pati yang ada pada bonggol pisang. Pengetahuan mengenai jenis pati yang ada memberikan gambaran mudah atau tidak pati tersebut untuk diubah menjadi gula oleh ragi. Pemberian ragi 0,6 % dari berat substrat telah mengacu pada penelitian Eko Hasil tersebut telah diperoleh dari oftimasi variasi penggunaan ragi NKL pada fermentasi bonggol pisang Kepok. Faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam fermentasi bonggol pisang adalah derajat keasaman dan kadar gula. Seperti diketahui bahwa derajat

keasaman member pengaruh terhadap tingkat pertumbuhan mikroorganisme, termasuk ragi. Lingkungan yang terlalu asam atau basa membuat mikroorganisme sulit untuk beradaptasi. Gula merupakan energy pertumbuhan mikroorganisme. Meskipun penggunaan ragi dipilih karena keuntungan ganda yaitu mampu mengubah pati menjadi gula dan mengubah gula menjadi alkohol. Akan tetapi kandungan gula awal yang diduga sangat rendah,akan menyebabkan agen mikroorganisme pengubah gula menjadi alkohol mengalami kematian awal secara besar besaran. Pada awal fermentasi mikroorganisme yang ada dalam ragi tape akan mengalami fase adaptasi. Pada fase ini mikroorganisme yang ada pada ragi tape (kapang,khamir dan bakteri) berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bila dalam lingkungan terdapat komponen yang belum dikenal mikroorganisme, maka mikroorganisme akan memproduksi enzim ekstraseluler untuk merombak komponen tersebut (Tjahyadi Purwoko 207:33). 4. Destilasi Bioetanol Bioetanol hasil proses fermentasi dipisahkan dengan cara disaring, kemudian filtrat didestilasi sehingga dapat dihasilkan bioetanol yang bebas dari kontaminan atau pengotor yang terbentuk selama proses fermentasi. Bioetanol yang dihasilkan dari destilasi pertama biasanya memiliki kadar sebesar 95 %. Menurut Musanif (2008), destilasi merupakan proses pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya, titik didih etanol murni sebesar 78oC, sedangkan air adalah 100oC, dengan pemanasan larutan pada suhu rentang 78 - 100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume. Bioetanol dengan konsentrasi 95 % belum dapat dijadikan sebagai bahan bakar. Menurut Nurdyastuti (2008), bioetanol yang digunakan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus benar-benar kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5 100 % volume. Oleh karena itu, bioetanol hasil destilasi harus ditambahkan suatu bahan yang dapat menyerap atau menarik kandungan air yang masih terdapat dalam bioetanol, bahan yang sering digunakan diantaranya yaitu, CaCO3, dan zeolit atau dilakukan destilasi vakum, sehingga dapat dihasilkan bioetanol yang lebih murni yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar. Bioetanol memiliki banyak manfaat karena dicampurkan dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif dalam mengurangi emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar minyak (bensin). Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin 90 % sering disebut gasohol E-10 yang memiliki angka oktan 92 dibanding dengan premium hanya

87-88. Bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dibandingkan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE).

DAFTAR PUSTAKA

Aisjah Girindra. (1990) Biokimia. Jakarta: Gramedia. De Man, J. M. (1997). Kimia Makanan. Bandung: ITB pres. Eko Prasetyo (2012). Pengaruh Konsentrasi Ragi Tape dan Lama Fermentasi dalam Pembuatan Bioetanol menggunakan Substrat Bonggol Pisang. Yogyakarta: FMIPA Kimia UNY. Erliza Hambali, Siti Mudjalipah, Armansyah Haloman Tambunan, Abdul Waries Pattiwiri, Roy Hendroko. (2007). Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agromedia Pustaka Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fibriyantama, W. Isolasi, Pemurnian dan Penentuan Beberapa Sifat Amilase yang Dihasilkan oleh Kapang Aspergillus oryzae 6005. Skripsi Fakultas Sains dan Teknik Jurusan MIPA Program Studi Kimia UNSOED. Purwokerto. Frazier, W.C dan W.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Mc Graw Hill Publishing Co.ltd. New Delhi. India. Hajiyah, N. 2005. Isolasi, Pemurnian, dan Penentuan Beberapa Sifat Amilase yang Dihasilkan oleh Kapang R3. Skripsi Fakultas Sains dan Teknik Jurusan MIPA Program Studi Kimia UNSOED. Purwokerto. Hardjono Sastrohamidjojo. (2001). Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty Judoamidjojo, R.M., E.G. Said, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebuda Kartika, B., A.D. Guritno, D. Purwadi, D. Ismoyowati. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Khairani, Rini. 2007. Tanaman Jagung Sebagai Bahan Bio-fuel http://www.Macklintmip unpad. net/ Biofuel/ Jagung/ Pati.pdf. Lewis, M.J and T.W. Young. 1990. Brewing. Chapman and Hall. New York. 256 PP.

Mursyidin,

D.

2007.

Ubi

Kayu

dan

Bahan

Bakar

Terbarukan.

http://www.banjarmasin.net/pedoman%Bahan%bakar%berbarukan. Musanif, J. 2008. Bioetanol. Jurnal Bio-fuel. Nurdianti, F. 2007. Evaluasi Aktivitas Enzim Glukoamilase dari Aspergillus oryzae Dengan Ubi Jalar dan Ubi Kayu Sebagai Substrat. Skripsi Fakultas Sains dan Teknik Jurusan MIPA Program Studi Kimia UNSOED. Purwokerto. Nurdyastuti, I. 2008. Teknologi Proses Produksi Bioetanol. Jurnal Prospek Pengembangan Biofuel. Prihandana, Rama., dkk., (2007), Bioetanol Ubi Kayu, Bahan Bakar Masa Depan, Agromedia Pustaka, Jakarta Rosdiana, R. 2009. Pemanfaatan Limbah dari Tanaman Pisang. http://www.onlinebuku.com. Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 1989. Prosedur analisa untuk bahan makanan dan pertanian. Edisi ketiga. Liberty: Yogyakarta. Tjahjadi Purwoko. (2007). Fisiologi Mikroba. Jakarta: Bumi Aksara. Trifosa, D. 2007. Konversi Pati Jagung Menjadi Bioetanol. Skripsi Program Studi Kimia FMIPA ITB. Bandung. Wijaya, 2002. Pengembangan teknologi papan komposit dari limbah batang pisang. Jurusan teknologi hasil hutan. IPB. Bogor. Widayati, E. dan Y. Widalestari. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. PT. Trubus Agrisarana. Surabaya.

You might also like