You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.

ANAMNESIS Identitas Nama, alamat, umur, jenis kelamin, agama, kebangsaan, tanggal MRS Keluhan utama kejang Riwayat penyakit sekarang Selain kejang apakah ada keluhan lain seperti demam, batuk ataupun sakit kepala Jika ada panas bagaimana frekuensinya Panasnya pada pagi hari, siang hari atau sore hari Apakah ada penurunan nafsu makan Apakah ada penurunan berat badan

Riwayat penyakit dahulu Riwayat keluarga - Ada anggota keluarga yang menderita kejang seperti ini Riwayat kehamilan dan persalinan Penyakit yang pernah diderita ibu selama hamil, trauma perdarahan pervaginem, obat yang digunakan selama hamil Apakah pada waktu hamil ibu ada mengkonsusmsi obat-obatan

Apakah ada kelahiran sukar, spontan, tindakan (forcep/vokum) perdarahan antepartom, aspiksia dan lain-lain.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan Apakah ada gangguan perkembangan pada anak

PEMERIKSAAN Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisis harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien. Dengan penilaian keadaan umum ini dapat diperoleh kesan apakah pasien dalam keadaan distress akut yang memerlukan pertolongan segera, atau pasien dalam keadaan yang relative stabil sehingga pertolongan dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih lengkap Pemeriksaan harus mencakup :6,7 1. Gejala vital. Periksan jalan nafas, kadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang kontinu, demikian glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati dalam waktu 5 menit. Karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan oksigen dan glukosa ke otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah singkat. 2. Kulit. Perhatikan tanda trauma, simata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah karena keringat (misalnya pada hipoglikemi, syok), kulit kering (misalnya pada koma diabetic), perdarahan misalnya demam berdarah, DIC). 3. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulit kepala, hematoma disekitar mata, perdarahan di liang telingan dan hidung Pada tiap penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan neurologis.perhatikanlah sikap penderita waktu berbaring apakah tenang dan santai yang menandakan bahwa penurunan kesadaran tidak dalam. Adanya gerakan menguap dan menelan menandakan bahwa turunnya kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang terbuka dan rahan yang tergantung di dapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam. Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan yang tegas antara tingkat kesadaran. Secara umum data dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran.7

1. GCS (GLASGOW COMA SCALE) GCS digunakan untuk memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan member nilai pada respons tersebut. Tanggapan / respons penderita yang perlu diperhatikan adalah :7

Membuka Mata Spontan Terhadap bicara (Suruh pasien membuka mata) Dengan rangang nyeri (Tekan pada saraf supraorbita atau ujung jari) Tidak ada reaksi

Nilai 4 3

1 Nilai 5

Respons Verbal (Berbicara) Baik dan tak ada disorientasi (Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan) Kacau (confused) (Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat) Tidak tepat (Dapat mengucapkan kata-kata namun tidak berupa kalimat dan tidak tepat) Mengerang (Tidak mengucapkan kata-kata, hanya mengerang) Tidak ada jawaban

1 Nilai 6

Respons Motorik (Gerakan) Menuruti perintah (misalnya, suruh : angkat tangan) Mengetahui lokasi nyeri (Berikan rangsangan nyeri misalnya menekand dengan jari pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya

sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri) Reaksi menghindar Reaksi fleksi (dekortifikasi) (Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras, seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi pada nyeri ; fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada mungkin tidak ada) 4 3

Reaksi ekstensi (deserebrasi) (Dengan rangsang nyeri tsb diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spatik pada pergelangan tangan)

Tidak ada reaksi (Sebelum emmutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus diyakinkan

bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat diberikan 2. CRANIAL NERVE 1-12 Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom. 1) Cranial Nerve I (Olfaktorius)8 Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita

mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakitpenyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahanbahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.

2) Cranial Nerve II (Optikus) 8 Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna. i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity) Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan. Kartu Snellen Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6). Jari Tangan Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60. Gerakan Tangan Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/310. ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks

oksipitalis. Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri. Konfrontasi Jarak antara pemeriksa pasien : 60 100 cm. Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut. Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal. Perimetri / Kopimetri Lebih teliti dari tes konfrontasi. Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu. iii. Refleks Pupil Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius. Ada dua macam refleks pupil. Respon Cahaya Langsung Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon Cahaya Konfensional Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama. iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi) Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.

v.

Tes warna Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.

3) Cranial Nerve III(Okulomotorius) 8 Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
i.

Ptosis Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.

ii.

Gerakan bola mata Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

iii.

Pupil Pemeriksaan pupil meliputi : Bentuk dan ukuran pupil Perbandingan pupil kanan dan kiri Perbedaan pupil sebesar 1mm masih dianggap normal Refleks pupil o Refleks cahaya langsung (bersama N. II) o Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II) o Refleks pupil akomodatif atau konvergensi Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan

disuruh memfokuskan matanya pada suatu objek diletakkan pada jarak 15 cm didepan mata pasien dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi. 4) Cranial Nerve IV(Troklearis) 8 Meliputi : i. ii. iii. Gerak mata kelateral bawah Strabismus Konvergen Diplopia

5) Cranial Nerve V (Trigeminus) 8 i. Sensibilitas Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan ya setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya. ii. Motorik Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya

dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena). iii. Refleks Jaw Refleks (Refleks Rahang) Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat. Refleks Kornea Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujung nya dibuat runcing. Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata (m.Orbicularis okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar datang nya kapas ke mata tidak diketahui oleh pasien, misalnya dengan menyuruh nya melirik kearah yang berlawanan dengan arah datang nya kapas. Pada gangguan nervus V sensorik, reflex ini negative atau berkurang. Sensitifitas kornea diurus oleh nervus V sensorik cabang oftalmik. 6) Cranial Nerve VI (Abdusens) 8 Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain. 7) Cranial Nerve VII (Fasialis) 8 i. Tes kekuatan otot Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.

ii.

Memperlihatkan gigi (asimetri) Mencucukan bibir dan menggembungkan pipi

Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.

8) Cranial Nerve VIII (Vestibula Koklearis / Akustikus) 8 i. Pemeriksaan Pendengaran Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Schwabach, Rinne dan Weber. Test Schwabach Garpu tala di bunyikan kemudian ditempatkan dekat telinga penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala tersebut diletakkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan tes Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkal nya di tekankan pada tulang mastoid penderita. Suruh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu tala ditempatkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarnya, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi tulang). Test Rinne Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif. Test Weber

Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.

ii.

Pemeriksaan Vestibuler Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : Untuk Menilai Nistagmus o Hallpike Manouver Pada tes ini pasien disuruh duduk ditempat tidur periksa. Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar 30O di bawah horizon. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri, kepala diluruskan kembali, lalu ditolehkan ke kanan. Penderita disuruh agar tetap embuka matanya agar pemeriksa dapat melihat sekitarnya munul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus muncul, berapa lama berlangsung serta jenisnya. Kemudian tanyakan pada pasien apa yang ia rasakan. o Elektronistagmografi Pada pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus kalori keliang telinga dan lamanya serta cepatnya nistagus timbul dapat dicatat pada kertas, menggunakan teknik yang mirip dengan

elektrokardiografi. Untuk menilai keseimbangan o Stepping Test Penderia disuruh berjalan ditempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti jalan biasa. Sebelumnya dikatakan kepada nya bahwa ia harus berusaha agar tetap ditempat, dan tidak ebranjak dari tempanya selama tes ini. Hasil tes dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita berjarak lebih dari 1 meter dari tempat semulanya, atau badan terputar lebih dari 30O. o Past Pointing

Penderita

disuruh

merentangkan

lengannya

dan

telunjuknya

menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi sampai vertical) dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk (deviasi), demikian juga dengan gangguan cerebral.

9) Cranial Nerve IX (Glossofaringeus) & Cranial Nerve X (Vagus) Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut ah jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat. Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX). 10) Cranial Nerve XI (Asesorius) 8 Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.

11) Cranial Nerve XII (Hipoglosus) 8 Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral. Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral. Pasien diminta menekan lidah pada pipi. 3. KAKU KUDUK Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelianan rangsang selaput otak. Terdapat 3 cara untuk melakukan pemeriksaan kaku kuduk : 1) Flexi Kepala. Untuk pemeriksaan kaku kuduk dapat dilakukan dengan tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudia kepala ditekuk (flexi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk, kta dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.11 2) Brudzinski I (Brudzinskis neck sign) Untuk memeriksa tanda ini dilakukan dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positive, amka tindakan ini mengakibatkan flexi kedua tungkai. Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkai nya tidak lumpuh, tentulah tungkai tidak akan diflexikan. 11 3) Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai diflexikan pada persendian panggul, sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terflexikan, maka disebut tanda brudzinski II positive. 11 4) Tanda Kernig

Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring diflexikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90O. Setelah iyu tungkai bawah di ekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135O, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda kernig positive. Pada meningitis tandanya biasanya positif bilateral. 11 5) Tanda Lasegue Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, di bengkokan (flexi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satunya lagi harus dalam keadaan lurus (ekstensi). Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 70O sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita mencapai 70O, maka tanda lasegue positive. 11

PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan cairan serebrospinal Begitu diagnosis meningitis dicurigai, dianjurkan untuk melaukan pemeriksaan CSS segera. Satu-satunya alasan menunda pungsi lumbal adalah bila terapat kecurigaan kuat akan lesi massa intracranial. Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisa cairan serebrospinal dari pungsi lumbal. Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal Tes Tekanan LP Warna Jumlah sel Jenis sel Protein Glukosa Meningitis Bakterial Meningkat Keruh > 1000/ml Predominan PMN Sedikit Meningitis Virus Biasanya normal Jernih < 100/ml Predominan MN Normal/meningkat Biasanya normal Meningitis TBC Bervariasi Xanthochromia Bervariasi Predominan MN Meningkat Rendah

meningkat Normal/menurun

Kontraindikasi pungsi lumbal:


o

Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.

Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.

o o

Kelainan pembekuan darah. Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan memasukan jarum pada ruang interspinal.

2. Pemeriksaan Darah Lengkap

b. Pemeriksaan Radiologi Dilakukan CT Scan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial dan lateralisasi

DIAGNOSIS WORKING DIAGNOSIS Meningitis bakterialis adalah peradangan pada ruang subarachnoid (terletak dalam lapisan-lapisan jaringan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) yang disebabkan oleh bakteri. Ruang subarachnoid terletak antara lapisan tengah (mater arakhnoid) dan lapisan dalam tipis (piameter) dari jaringan (disebut meninges) yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Ruang ini berisi cairan cerebrospinal, yang mengalir melalui meninges, mengisi ruang-ruang internal dalam otak, dan membantu bantal otak dan sumsum tulang belakang.1 Ketika bakteri menyerang ruang subarachnoid, akhirnya sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap penjajah, dan sel kekebalan berkumpul untuk mempertahankan tubuh terhadap mereka. Hasilnya adalah peradangan. Peradangan yang parah dapat menyebar

ke pembuluh darah di dalam otak, kadang-kadang menyebabkan gumpalan terbentuk. Sehingga stroke dapat terjadi. Peradangan juga dapat menyebabkan kerusakan meluas ke jaringan otak, menyebabkan pembengkakan (edema) dan daerah perdarahan kecil.1 Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.1

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 1. KEJANG DEMAM KOMPLEKS Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004), membagi kejang demam menjadi dua12 Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut) Berlangsung singkat Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal Tidak berulang dalam waktu 24 jam

Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut) Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang parsial Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara bangkitan kejang12

2. ENSEFALITIS

Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme. Terminologi ensefalopati yang dulu dipakai untuk gejala yang sama, tanpa tandatanda infeksi sekarang tidak dipakai lagi. Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta, dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Gejala klinis pada umumnya didapatkan: Suhu yang mendadak menaik Seringkali ditemukan hiperpireksia Pada anak besar, seringkali mengeluh sakit kepala Muntah sering ditemukan Bisa disertai dengan kejang, baik fokal atau umum atau hanya twitching saja.

- Elektroensefalografi (EEG) sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun.

- Diagnosis dapat dilakukan dengan menemukan gejala klinis dan etiologis dari ensefalitis tersebut. Diagnosis etiologis dapat ditegakkan dengan: 1. Biakan : dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk mendapatkan hasil yang positif; dari likuor serebrospinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi); dari feses untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif. 2. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji neutralisasi. 3. Pemeriksaan patologi anatomi post mortem Hasil pemeriksaan ini juga tidak dapat memastikan diagnosis. Telah diketahui bahwa satu macam virus dengan gejala-gejala yang sama dapat menimbulkan gambaran yang berbeda. Bahkan pada beberapa kasus yang

jelas disebabkan virus tidak dapat ditemukan sama sekali tanda radang yang khas. Pada beberapa penyakit yang mempunytai predileksi tertentu, misalnya poliomielitis, gambaran patologi anatomis dapat menyokong diagnosa. EPILEPSI Merupakan suatu kondisi gangguan kronik yang ditandai oleh berulang-ulangnya bangkitan epilepsi.

Penyebab dari epilepsi adalah multifaktor,termasuk genetik dan penyebab yang didapat. Faktor genetik yang menjadi penyebab epilepsi diantaranya o Epilepsi sekunder pada tuberkulosis dan fenilketonuria. o Epilepsi primer yang disebabkan oleh gangguan eksitabilitas dan sinkronisasi neuron korteks serebri.

Lesi di otak (didapat) yang menyebabkan epilepsi sekunder diantaranya o Asfiksia o Sklerosis hipokampus o Tumor o Trauma kepala o Infeksi o Stroke

Klasifikasi epilepsi: Komisi Klasifikasi dan Terminologi International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981 membuat sistem klasifikasi berdasarkan bentuk bangkitan, yaitu: I. Bangkitan parsial/fokall yang dimulai dari satu bagian hemisfer otak Bangkitan fokal dibagi menjadi: 1. Bangkitan fokal sederhana (kesadaran tidak terganggu)

Dapat dengan manifestasi motorik, somatosensorik, atau sensorik khusus (kesemutan , keliatan cahaya, berdengung), autonomik (sensasi epigastrik, pucat, pupil dilatasi), atau psikik (ilusi, halusinasi). 2. Bangkitan fokal kompleks(kesadaran terganggu) Dapat terjadi dengan onset parsial sederhana diikuti kesadaran terganggu atau dengan kesadaran terganggu pada saat onset (dengan automatism). II. Bangkitan umum yang dimulai dari kedua hemisfer secara simultan. 1. Bangkitan absens Absens tipikal (ditandai oleh hilangnya kesadaran disertai gerakan minor seperti mengedip, twitching, berlangsung singkat biasanya kurang dari 10 detik dengan gambaran EEG khas, paku ombak 3 per detik). Absens atipik (berlangsung lebih lama, diikuti post-ictal confusion dengan EEG tidak khas/iregular). 2. Bangkitan mioklonik 3. Bangkitan klonik 4. Bangkitan tonik 5. Bangkitan tonik klonik 6. Bangkitan atonik

- EEG( elektro-ensefalografi) merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting. Kelainan dan lokasi EEG interiktal (diantara bangkitan) selain dapat membantu menegakkan diagnosis epilepsi juga dapat menentukan klasifikasi bangkitan epilepsi. - Kelainan EEG interiktal saja tidak cukup untuk mendiagnosis epilepsi sebab 1020% pasien epilepsi tidak menunjukkan kelainan EEG dan 2-3% pasien bukan epilepsi menunjukkan kelainan epilepsi. - Diagnosis pasti epilepsi baru dapat ditegakkan bila bangkitan muncul pada saat dilakukan rekaman EEG, sehingga rekaman iktal dapat direkolasikan dengan manifestasi klinis epilepsi.

Perbedaan kejang demam dengan epilepsi yaitu pada epilepsi, tidak disertai demam. Epilepsi terjadi karena adanya gangguan keseimbangan kimiawi sel-sel otak yang mencetuskan muatan listrik berlebihan di otak secara tiba-tiba. Penderita epilepsi adalah seseorang yang mempunyai bawaan ambang rangsang rendah terhadap cetusan tersebut. Cetusan bisa di beberapa bagian otak dan gejalanya beraneka ragam. Serangan epilepsi sering terjadi pada saat ia mengalami stres, jiwanya tertekan, sangat capai, atau adakalanya karena terkena sinar lampu yang tajam.

ETIOLOGI

Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.13 Streptococcus pneumonia. Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya. 13 Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan

oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.13 Neisseria meningitides Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif. 13 Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.13

Haemophilus influenzae tipe B (HIB) HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada

anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anakanak usia 1 bulan - 3th. Menjelang usia 3th, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.13 Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.13

EPIDEMIOLOGI Aspek penting yang harus dipertimbangkan mencakup usia, etnik, musim, factor penjamu, dan pola resistensi antibiotic regional diantara pathogen yang mungkin.14 Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respon imunologi terhadap pathogen spesifik yang lemah yang terkait dengan umur muda14

PATOFISIOLOGI14,15 Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme : Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial. Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.

Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bacterial. Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor). TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal. Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular. Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.

Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produkproduk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik. Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia.

Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen. Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB). Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.

PENATALAKSANAAN Meningitis adalah keadaan yang paling darurat pada bidang pediatric. Diagnosis harus dicurigai dan segera dikonfirmasi dengan lumbal punksi dalam setengah jam sampai 1 jam setelah anak masuk rumah sakit. Cairan intravena yang sesuai dan antibiotika dengan spectrum luas harus segera diberikan dalam waktu 1 jam. Dalam 12jam harus dapat diketahui bakteri penyebab yang sebenarnya dan antibiotic diubah dengan yang sesuai. Biakan darah yang diambil bersamaan dengan tindakan punksi lumbal dapat merupakan konfirmasi kuman penyebabnya.1 Pada berbagai rumah sakit digunakan antibiotic baku yang berbeda. Beberap patokan adalah :1

Sebagai pengobatan awal harud dipakai antibiotic berspektrum luas (seringkali kombinasi ampisilin dan kloramfenikol) sampai didapatkan hasil biakan dan resistensi yang sesuai. Antibiotic harus selalu diberikan melalui intravena. Lebih baik penderita dalam keadaan sedikit dehidrasi, karena ada kemungkinan terdapat edema otak sebagai ketidak sesuaian ADH. Manitol dapat bermanfaat apabila terdapat bukti peningkatan TIK yang menetap Antikonvulsan harus diberikan sebagai tindakan profilaksis. Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang dini dan pemilihan antimikroba empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen. Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat. Pasien koma atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan isi lambungnya dan dipertimbangkan untuk intubasi guna melindungi jalan nafas.15 Terapi antibiotic awal. Pendekatan terapeutik pada penderita dengan dugaan meningitis bakteri tergantung dari sifat manifestasi awal penyakit. Anak dengan penyakit yang memburuk dengan cepat selama kurang dari 24 jam, bila tidak ada kenaikan TIK, harus mendapat antibiotic segera sesudah dilakukan PL. jika ada tanda-tanda kenaikan TIK atau penemuan-penemuan neurologis fokal, antibiotic harus diberikan tanpa melakukan PL dan sebelum melakukan CT scan. Kenaikan TIK harus diobati secara bersamaan.14 Pilihan dalam terapi awal dalam kurung empiric untuk meningitis pada bayi dan anak imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan antibiotic H. influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan M. meningitides. Antibiotic harus mencapai kadar bakterisid pada CSS. Sefalosporin generasi ketiga, seftriakson atau sefotaksim, mewakili terapi baku untuk meningitis bakteri. Dosis seftriakson 100mg/kg/24 jam diberikan sehari sekali atau 50mg/kg/dosis, diberikan setiap 24 jam. Dosis sefotaksim adalah 200m/kg/24 jam, diberikan setiap 6 jam. Kedua obat mencapai kadar bakterisid tinggi pada CSS. Penderita yang alergi terhadap antibiotic betalaktam harus diobati dengan kloramfenikol 200mg/kg/24 jam, diberikan setiap 6 jam. Walaupun kloramfenikol adalah bakteriostatik terhadap banyak bakteri, obat ini bakterisid terhadap 3 kuman di atas. Penggunanaan kloramfenikol sekarang dicadangkan untuk penderita yang tidak dapat mentoleransi sefalosporin karena kadar serum perlu dipantau selama terapi dan kloramfenikol mempunyai kemungkinan pengaruh yang

merugikan seperti anemia aplastik, sindrom bayi abu-abu seperti syok, dan supresi sum-sum tulang tergantung dosis. 14 Jika penderita dicurigai meningitis gram negatif, terapi awal dapat memasukkan seftazidin dan aminoglikosid. 14 Lama terapi antibiotik. Meningitis H. influenzae tipe B tidak terkomplikasi harus diobati selama total 7-10 hari. Sesudah penentuan bahwa organisme sensitife pada ampisilin dan tidak menghasilkan betalaktamase, erapi antimikroa awal dapat dirubah ke ampisilin. 14 Jika S. pneumonia dibiakkan dari CSS, isolate harus di uji untuk resistensi penisilin. Resistensi relatif terhadap penisilin (MIC 0,1- 25% isolat S.

sejumlah kecil penderita. Meningitis yang disebabkan oleh isolate S. pneumoniae yang relative resisten dapat diobati dengan sefotaksim atau seftriakson, sedang kloramfenikol adalah obat pilihan untuk organism yang sangat resisten jika organisme sensitive terhadap antibiotic. Jika ada juga yang resisten terhadap kloramfenikol, vankomisin adalah obat pilihan. Terapi untuk meningitis pneumokokus sensitive penisilin tidak terkomplikasi harus diselesaikan dengan penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam, diberikan setiap 4 - 6 jam selama 10 14 hari. 14 Penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam selama 5 - 7 hari merupakan pengobatan pilihan untuk meningitis N. meningitides tidak terkomplikasi. Jarang isolat meningokokus menunjukkan resistensi terhadap penisilin relative (0,25 organisme ini mungkin memerlukan terapi selingan. 14 Penderita yang mendapat antibiotic IV atau oral sebelum PL dan tidak mempunyai pathogen yang dapat diketahui (pada pewarnaan gram, biakan, atau deteksi antigen) tetapi mempunyai bukti infeksi bakteri akut atas dasar profil CSSnya harus terus mendapat terapi dengan seftriakson atau sefotaksim selama 7-10 hari. Jika tanda-tanda setempat ada atau anak tidak berespon terhadap pengobatan, focus parameningeal mungkin ada dan CT scan harus dilakukan. 14 Efek samping terapi antibiotic meningitis adalah phlebitis, demam obat, ruam, muntah, kandidiasis oral, dan diare. Seftrialson dapat menyebabkan pseudolithiasis kandung empedu reversible, dapat dideteksi dengan USG abdomen. 14

Perawatan pendukung. Penilaian berulang medic dan neurologi penderita dengan meningitis bakteri sangat penting untuk mengenali tanda-tanda awal komplikasi kardiovaskuler, SSS, dan metabolik. Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan harus sering dipantau. Penilaian neurologic, termasuk reflek pupil, tingkat kesadaran, kekuatan motorik, tanda-tanda saraf cranial, dan evaluasi kejang, haru sering dibuat Selma 71 jam pertama, bila resiko komplikasi neruologis besar. 14 Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pesien meningitis. Syndrome sekresi hormone antidiuretik yang tidak tepat (SIADH, syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan jika ditemukan harus dilakukan pembatasan cairan. Pembatsan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrem dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang tepat, sampai kelebihan hormone antidiuretik pulih ; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama. 15

KOMPLIKASI16 a. Ventrikulitis b. Efusi Subdural c. Gangguan Cairan Elektrolit d. Meningitis Berulang e. Abses Otak f. Paresis, Paralisis g. Gangguan Pendengaran h. Hydrochepalus i. RM j. Epilepsi

PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada jenis bakteri nya, usia penderita, kecepatan pengobatan efektif yang dilakukan, dan efisiensi pengobatan. Angka kematian berbeda-beda pada berbagai kasus. Jika terjadi penyembuhan, biasanya sembuh sempurna, tapi biasanya diiringi oleh gejala-gejala sisa.

A. PENCEGAHAN Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas 2 bentuk, kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit serta imunisasi aktif. Sekarang kemoprofilaksis diindikasikan untuk mencegah meningitis sekunder yang disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitidis. 15 Imunisasi aktif pada H.influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis pada penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-85% pada eningitis akibat organism tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi sebagai rangkaian imunisasi tiga dosis pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 15 DAFTAR PUSTAKA

1. Penyakit Sistem Neurologis. In : Saputra L. Sinopsis Pediatri. Ed 1. Jakarta : Binapura Aksara Publisher, 2007. H 345 2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6. 3. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Pengambilan Anamnesis Kardiovaskuler. Lectures Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan Erlangga ; 2003. H. 1 2. 4. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 29. 5. Pemeriksaan umum dalam buku diagnosis fisis pada anak ; Editor, Iskandar Wahidayat, Corry S. Matondang, Sudigdo Sastrasmaro; Jakarta: Balai penerbit FKUI , 1991. 6. Tedjasukmana R. Pemeriksaan Fisik Neurologis. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2010.

7. Lumbantobing SM. Kesadaran. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 8 12. 8. Lumbantobing SM. Saraf Otak. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 21 - 84. 9. Lumbantobing SM. Refleks. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 135 - 49. 10. Lumbantobing SM. Sistem Motorik. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8. 11. Lumbantobing SM. Rangsang Selaput Otak (Iritasi Meningeal). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8. 12. Langi B. Kejang Demam. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2012. 13. http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview 14. Prober CG. Infeksi System Saraf Sentral. In : Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15. Vol 2. Jakarta : EGC, 2000. H 872 80. 15. Tureen J. Meningitis. In : Rudolph A, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Ed 20. Vol 1. Jakarta : EGC, 2006. H 610 - 4. 16. Langi B. Meningitis Bakterial. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA, 2012.

You might also like

  • Abstrak
    Abstrak
    Document1 page
    Abstrak
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Lampiran
    Lampiran
    Document13 pages
    Lampiran
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Iva
    Iva
    Document33 pages
    Iva
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Document2 pages
    Daftar Isi
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • LAPKAS
    LAPKAS
    Document1 page
    LAPKAS
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Document33 pages
    Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Case Asma Bronkiale
    Case Asma Bronkiale
    Document19 pages
    Case Asma Bronkiale
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Wawancara
    Wawancara
    Document4 pages
    Wawancara
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • CASE
    CASE
    Document12 pages
    CASE
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Lampiran IVA
    Lampiran IVA
    Document13 pages
    Lampiran IVA
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • ANAK
    ANAK
    Document13 pages
    ANAK
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Appendisitis Akut
    Appendisitis Akut
    Document33 pages
    Appendisitis Akut
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Presentasi Kasus
    Presentasi Kasus
    Document33 pages
    Presentasi Kasus
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Document48 pages
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Don Gibson
    No ratings yet
  • Wawancara
    Wawancara
    Document17 pages
    Wawancara
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • PPT
    PPT
    Document48 pages
    PPT
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Makalah Blok 22
    Makalah Blok 22
    Document29 pages
    Makalah Blok 22
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • PPT
    PPT
    Document48 pages
    PPT
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • PBL Makalah
    PBL Makalah
    Document39 pages
    PBL Makalah
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    Document20 pages
    KETUBAN PECAH DINI Case 1 DR Widiarso DONE
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Case 2
    Case 2
    Document36 pages
    Case 2
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Spss Laporan
    Spss Laporan
    Document29 pages
    Spss Laporan
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Makalah 22
    Makalah 22
    Document21 pages
    Makalah 22
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Document48 pages
    Case 1 DR - Widiarso - KPD DONE
    Don Gibson
    No ratings yet
  • Makalah PBL
    Makalah PBL
    Document60 pages
    Makalah PBL
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • KLB PENYAKIT
    KLB PENYAKIT
    Document21 pages
    KLB PENYAKIT
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • 26
    26
    Document25 pages
    26
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • PBL 20
    PBL 20
    Document29 pages
    PBL 20
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Makalah PBL Blok 20
    Makalah PBL Blok 20
    Document15 pages
    Makalah PBL Blok 20
    Stefany Fany
    No ratings yet
  • Blok 20
    Blok 20
    Document17 pages
    Blok 20
    Stefany Fany
    No ratings yet