MAKALAH Pembaruan Agama dan Sekularisasi dalam Islam OLEH: LUTHFI ASSYAUKANIE The rst ideas of religion arose not from a contemplation of the works of nature, but from a concern with regard to the events of life, and from the incessant hopes and fears, which actuate the human mind. David Hume, The Natural History of Religion Setiap kali berbicara tentang agama, kita seperti terkena myopia, penyakit mata yang tak mampu melihat benda-benda jauh. Sebagaimana produk-produk budaya manusia lainnya, agama adalah sesuatu yang amat baru dalam rentang sejarah alam raya yang panjang. Kita menjadi begitu antroposentris ketika bicara tentang agama, seolah-olah sejarah bermula dari manusia, lebih khusus lagi manusia beragama. 1 Benar bahwa agama memainkan peran penting dalam sejarah manusia, tapi kehadirannya baru dirasakan setelah ratusan ribu tahun manusia hidup tanpa agama. Kita tak bisa lagi melihat nasib agama dalam perspektif pendek itu. Wacana tentang apakah agama akan mati atau hidup tidak bisa dilihat dalam perspektif quantum, tapi harus dilihat dalam perspektif relativitas umum. Kita berada dalam dunia quantum, hidup bersama agama dan bukan-agama sekaligus. Kita tidak bisa menilai sesuatu yang terus bergerak bersama kita, berperilaku ganda, seperti cahaya. Saya menganalogikan perbincangan tentang agama dan sekularisasi seperti pembicaraan di dunia sub-atomik. Pertanyaan apakah kita hidup di dunia yang sekular atau religius sama seperti pertanyaan para ilmuwan apakah cahaya itu gelombang atau partikel. Cahaya adalah gelombang dan partikel sekaligus. Begitu juga, kita adalah religius dan sekular pada saat yang sama. Seperti cahaya, kita bergerak dan berperilaku ganda, kadang menjadi sekular, kadang menjadi religius. Menjadi sekular atau religius bukanlah pilihan, tapi merupakan bagian dari proses psiko-biologis yang deterministik. Agama adalah salah satu inovasi manusia yang paling handal, untuk terus bertahan hidup, di dunia yang brutal dan tak mengenal belas kasihan. 1 Bacalah Bibel atau al-Quran. Kisah penciptaan dimulai dari Adam, makhluk pertama dan sekaligus pendiri agama. Menurut Islam, Adam bukan sekadar manusia pertama, tapi juga seorang nabi. 2 Makalah Diskusi | Januari 2011 Evolusi Agama Makalah ini akan menjadi sangat panjang kalau saya berbicara tentang asal- usul dan evolusi agama. Karena itu, saya akan membatasi diri pada sejarah agama sejauh ia relevan dengan tema utama kita, yakni sekularisasi. Saya juga tak akan berpanjang lebar membahas perdebatan seputar teori sekularisasi. Dua pembicara terdahulu, saudara Ioanes Rakhmat dan Trisno Sutanto sudah menjelaskan cukup detil tentang isu ini. 2 Jika ingin mengetahui lebih jauh, silahkan rujuk kedua makalah itu, khususnya makalah Ioanes Rakhmat yang dengan bagus menginventarisir pandangan-pandangan pro dan kontra seputar sekularisasi. Saya melihat perdebatan tentang teori sekularisasi sangat melelahkan dan jalan di tempat. Kedua-dua argumen sama meyakinkan atau sama-sama tidak meyakinkan. Tidak ada yang menang dalam perdebatan itu. Kita semua tetap sama bingungnya seperti sebelum perdebatan tentang teori sekularisasi itu dimulai. Menurut saya, sekularisasi dan desekularisasi tidak bisa dilihat dalam skala waktu seratus atau dua ratus tahun. Pergerakan budaya dan peradaban manusia yang panjang tak bisa dilihat dalam perspektif pendek. Dunia kita tidak bisa dipilah-pilah secara tajam dalam katagori sekular dan non-sekular, agama dan non-agama. Sekularisasi dan desekularisasi telah ada sejak lama. Tarik menarik antara yang rasional dan irasional sudah mulai sejak institusi-institusi agama muncul. Kadang yang sekular berjaya, kali lain yang religius yang menang. Saya kira ada yang kurang dalam perdebatan tentang sekularisasi yang dilakukan para sosiolog selama setengah abad terakhir. Pada satu sisi, mereka meramalkan (atau menginginkan) musnahnya agama-agama akibat proses modernisasi dan rasionalisasi di dunia modern. Pada sisi lain, mereka kecewa, karena munculnya institusi-institusi modern, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meluasnya birokrasi yang rasional tidak diiringi dengan matinya agama. Alih-alih berbicara tentang kematian agama, mereka berbicara tentang wafatnya sekularisasi. 3 Yang kurang dari cara pandang biner semacam itu adalah: agama, pada satu sisi, didenisikan secara kaku sebagai sebuah produk irasional, yang karenanya akan tergerus seiring berjalannya rasionalisasi di dunia modern. Pada sisi lain, dunia modern yang rasional dianggap hanya cocok untuk orang- orang sekular, sementara kaum beragama perlahan-lahan akan terpinggirkan. Kenyataannya, agama tidak melulu bersifat irasional, kaum beragama tidak melulu merasa kontradiktif ketika mereka bersentuhan dengan dunia sains dan ilmu pengetahuan. Agama selalu dilihat sebagai faktor eksternal yang dengan mudah begitu saja dilepaskan. Para sosiolog sepertinya mengabaikan bahwa agama tumbuh dalam diri manusia lewat proses evolusi yang panjang. Jika teori sekularisasi berbicara tentang manusia secara umum dan bukan tentang individu-individu, sudah saatnya mereka mendengarkan apa kata para ilmuwan mutakhir tentang agama. 2 Lihat makalah mereka: Ioanes Rakhmat, Sekularisasi & Desekularisasi; Trisno Sutanto, Menyelamatkan Sekularisasi, Menyelamatkan Agama, disampaikan dalam diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik. Salihara, 2 Desember 2010. 3 Seperti bisa dibaca dalam tulisan Rodney Stark, Secularization, R.I.P dalam Sociology of Religion 60 (3) (1999), hh. 249-273. 3 Makalah Diskusi | Januari 2011 Dalam dua dekade terakhir, muncul beragam literatur tentang agama yang ditulis oleh para saintis. Para astrosikawan semacam Carl Sagan, Paul Davies, dan Stephen Hawking, berbicara tentang konsep penciptaan dan Tuhan yang membuka kembali perdebatan lama tentang kosmologi. Sementara para ahli biologi evolusioner dan syaraf (neuroscience) semacam Richard Dawkins, Stephen Jay Gould, Daniel Dennett, Steven Pinker, dan Sam Harris, berbicara tentang peran agama dalam diri manusia. Manusia sebagai bagian dari evolusi alam raya yang panjang melewati berbagai tahap perkembangan sik dan psikis yang berimplikasi pada kehidupannya dan kehidupan di sekelilingnya. Agama adalah salah satu tahap dalam perkembangan manusia sebagai buah dari reaksi pergulatannya dengan dunia di sekelilingnya. Ada banyak teori tentang munculnya agama-agama. David Hume, seperti yang bisa kita lihat dari kutipan di atas, meyakini bahwa agama adalah respon manusia atas peristiwa menakutkan yang dialaminya. Ketakutan yang berlebihan kemudian mendorong mereka mencari pegangan dengan menciptakan konsep- konsep yang dapat membuat mereka tenang. Para ahli biologi kemudian mengkonrmasi teori Hume dengan mengatakan bahwa agama adalah salah satu cara manusia untuk bertahan hidup dari dunia yang brutal. Tentu saja ada banyak cara untuk survive dalam menghadapi tantangan alam. Ketika manusia tak mampu lagi berlindung dari serangan misteri yang bertubi-tubi, mereka menemukan agama sebagai penjelas dan obat yang menenangkan. Bukti-bukti biologis tentang agama sebagai fenomena alam diuraikan dengan sangat baik oleh Daniel Dennett dalam Breaking the Spell. 4 Menurutnya, agama merupakan fenomena baru dalam sejarah manusia yang panjang. Usia agama modern dalam bentuknya yang kita lihat sekarang tak lebih dari 6000an tahun, jika kita merujuk awal mula tradisi Judaisme. Agama primitif bermula sejak 35.000 ribu tahun silam, dimulai ketika manusia mulai mengadakan ritual penguburan orang mati. Ras manusia (hominid) sendiri telah berevolusi sejak 2,4 juta tahun silam. 2 juta tahun sebagai makhluk primitif (habilis, ergaster, erectus, mauritanicus, rhodesiensis, neanderthalensis), dan hampir setengah juta tahun sisanya sebagai manusia modern (homo sapiens). Dalam rentang yang panjang itu, manusia tak mengenal agama atau konsep-konsep yang kemudian kita sebut sebagai agama. FIGUR 1: LINIMASA SEJARAH AGAMA Masa Peristiwa Keterangan 33000 SM Ritual penguburan jenazah Dimulai oleh Neanderthal yang mulai mengalami kepunahan. Homo Sapien melanjutkan tradisi ini. 25000 SM Penggunaan pewangi pada jenazah Manusia modern (homo sapien) 9831 SM Revolusi Neolitik Perubahan dari tradisi berburu ke pertanian. Menjamurnya perayaan dan pesta. 7500 SM Pendirian rumah-rumah ibadah di Anatolia Turki 4 Daniel Dennett. Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon. New York: Viking, 2006. 4 Makalah Diskusi | Januari 2011 4000 SM Tradisi Judaisme bermula Penciptaan Adam dan Hawa 3108 SM Krishna lahir Hinduisme muncul 3100 SM Stonehenge mulai dibangun Monumen batu di Inggris 2635 SM Pembangunan piramida Mesir 2085 SM Ibrahim lahir Ibrahim Ishak Yakub Yusuf sebagai pendiri tradisi Judeo-Kristen-Islam 2000 SM Yakub lahir Nama lain Yakub adalah Israel, darinya nama Bani Israel muncul. 1391 SM Musa lahir Yahudi 1100 SM Zoroaster lahir Zoroasterisme muncul 1040 SM Daud lahir Yahudi 563 SM Gautama Budha lahir Buddhisme 551 SM Konfusius lahir Konfusianisme muncul 1 M Yesus/Isa lahir Palestina 570 M Muhammad lahir Islam muncul 1469 M Guru Nanak lahir Sikhisme muncul 1517 M Marthin Luther mengumumkan 95 Tesis Protestantisme muncul 1817 M Bahaullah lahir Agama Bahai muncul 1835 M Mirza Ghulam Ahmad lahir Ahmadiyah muncul Ketika pertama kali muncul, bentuk agama primitif sangat sederhana. Sejalan dengan cara hidup manusia yang terbatas, cara mereka mempersepsi dan mengabstraksi persoalan juga terbatas. Ada kaitan erat antara perkembangan agama dan bahasa. Semakin kompleks suatu bahasa, semakin kompleks agama suatu suku/bangsa. 5 Agama-agama modern (Judeo-Kristen dan Hindu-Budha) adalah agama-agama yang muncul dalam peradaban dengan bahasa yang sudah kompleks. Konsep-konsep yang dilahirkannya pun jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan gama-agama primitif. Kekuatan agama-agama modern adalah daya adaptasinya dan upayanya untuk mengikuti perkembangan manusia. Bahkan ketika peradaban suatu bangsa punah, agama bangsa itu terus hidup dan menyebar ke luar batas geogranya. 6 Seleksi alam tak hanya berlaku pada primata dan hewan melata. Tapi juga pada agama dan institusi-institusi sosial. Agama yang bisa bertahan adalah agama yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Agama-agama monoteis, khususnya Kristen dan Islam, cukup pandai dengan mengikuti petuah Charles Darwin bahwa yang bisa bertahan hidup adalah yang paling pas, survival of the ttest. Reformasi agama yang terjadi pada dua agama ini, adalah kata lain 5 Steven Pinker. The Language Instinct. New York: HarperPerennial, 1995. 6 Ini bisa kita lihat dengan jelas pada Islam. Meski peradaban bangsa Arab pernah jaya dan kemudian hancur, agama Islam yang dianutnya tidak ikut punah. Sebaliknya, bahkan menyebar luas ke negara-negara lain. 5 Makalah Diskusi | Januari 2011 dari adaptasi terus-menerus yang dilakukan masing-masing agama itu. Tanpa reformasi, keduanya mungkin sudah mengalami kepunahan, ditelan perubahan dunia yang kurang bersahabat. Agama-agama monoteis agaknya cukup pandai belajar dari kegagalan agama-agama kuno yang hilang ditelan bumi akibat tak mampu beradaptasi dengan dunia baru. 7 Yang keliru dari teori sekularisasi adalah menganggap agama-agama monoteis tak punya mekanisme pertahanan diri menghadapi dunia modern, dunia yang sekular. Agama-agama monoteis disamakan dengan agama-agama primitif yang akan tergerus oleh perubahan zaman akibat tak mampu beradaptasi. Yang terjadi justru sebaliknya, agama-agama monoteis menyediakan perangkat untuk dirinya berubah terus-menerus. Para teolog Kristen menyebutnya reformasi (reformation) sementara para teolog Muslim menyebutnya pembaruan (tajdid). Reformasi dan pembaruan adalah kata lain dari adaptasi, konsep kunci yang bisa menjelaskan bagaimana makhluk hidup bisa bertahan menghadapi perubahan zaman. Pembaruan Agama Sebagai Adaptasi Dengan penjelasan di atas, saya ingin menegaskan bahwa pertanyaan apakah dunia kita sedang mengalami desekularisasi tidaklah relevan. Desekularisasi adalah istilah yang buruk yang berusaha menjelaskan sesuatu dengan bukti- bukti yang tak cukup. Sama seperti sekularisasi, desekularisasi adalah konsep kabur yang lebih banyak membingungkan ketimbang menjelaskan. 8 Jika yang dimaksud dengan sekularisasi adalah matinya agama, itu tak akan terjadi, setidaknya dalam 500 atau 1000 tahun ke depan. 9 Jika yang dimaksud dengan desekularisasi adalah kebangkitan agama, sejak dulu agama sudah bangkit dan memainkan perannya yang penting dalam kehidupan manusia. Sekularisasi dan desekularisasi adalah dua istilah yang tak menjelaskan apa-apa dalam konteks pembicaraan agama dan perannya bagi manusia. Saya lebih senang berbicara tentang kelenturan agama dan upayanya untuk terus bertahan dalam menghadapi gempuran sains dan ilmu pengetahuan. Agama suatu saat mungkin akan mati. Yang jelas tidak sekarang, tidak juga dalam waktu dekat. Jika teori sekularisasi itu masih ingin dipakai, ia harus diletakkan dalam perspektif makrokosmos yang besar dan bukan pada tataran mikrokosmos di mana kita hidup sekarang. Sekarang ini, lebih baik kita berbicara tentang upaya agama bertahan menghadapi perubahan zaman, lebih baik kita berbicara tentang cara agama menyelamatkan diri dari serangan modernisasi yang datang bertubi-tubi. Jose Casanova punya penjelasan menarik mengapa agama bisa terus bertahan dan mampu menyeruak ke ruang-ruang publik. Dengan melakukan studi di empat negara (Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika Serikat), dia menyimpulkan bahwa salah satu kunci sukses mengapa agama akhir-akhir ini mendominasi ruang-ruang publik bukan karena para pemeluknya melakukan 7 Ada puluhan bahkan ratusan agama pada masa peradaban kuno di Mesir dan Mesopotamia. Sebagian besar agama-agama itu hilang tak berbekas digantikan oleh agama-agama baru yang lebih eksibel dan mampu bertahan dari perubahan zaman. 8 Karena alasan ini, Rodney Stark menganjurkan agar kita jangan lagi menggunakan istilah sekularisasi, karena begitu kaburnya dan tak bermaknanya. Lihat tulisan dia, Secularization R.I.P. 9 Menurut Daniel Dennett, manusia berada pada tahap puncak dalam beragama. Dalam rentang evolusi yang panjang, manusia masih akan terus membutuhkan agama, setidaknya dalam 500 atau 1000 tahun ke depan. Agama-agama besar baru berusia 3000an tahun, mungkin perlu waktu yang sama untuk benar-benar punah. 6 Makalah Diskusi | Januari 2011 perlawanan, tapi justru karena mereka melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial-politik yang dihadapinya. Kaum beragama berusaha beradaptasi dan memahami setiap konsep-konsep baru yang berkembang di dunia modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia, persamaan, dan kebebasan. Jika mereka menemukan kontradiksi, mereka akan menafsirkan ulang doktrin-doktrin lama yang mereka anut agar sesuai dengan semangat zaman yang mereka hadapi. Casanova mencontohkan bagaimana umat Katolik di Amerika Serikat, meskipun minoritas tapi memiliki peran yang cukup signikan. Alih-alih mengekslusi diri, umat Katolik di sana berusaha berintegrasi dengan nilai-nilai Amerika yang mereka hadapi. Dia menulis: Orang-orang Katolik Amerika harus selalu membuktikan loyalitas mereka yang absolut kepada agama sipil Amerika agar bisa diterima oleh negara dan tanpa harus ditanyai tentang kesetiaan mereka terhadap Vatikan. Jangan terkejut kalau gereja Katolik Amerika merupakan gereja yang paling Amerika, maksudnya yang paling patriotis, dibanding seluruh denominasi yang ada dan yang paling Vatikan di antara gereja-gereja Katolik di negeri itu. 10 Penjelasan Casanova itu bisa dipakai untuk melihat fenomena kebangkitan agama-agama di dunia, termasuk di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Agama mendominasi ruang-ruang publik bukan karena mereka melakukan perlawanan terhadap dunia modern, tapi justru karena mereka berusaha memeluk dan mengikuti perkembangan dunia modern. Tentu saja, dalam proses adaptasi ini tidak ada yang sepenuhnya sekular dan yang sepenuhnya agama. Karena dalam situasi seperti ini, seperti kata Casanova, para pendeta bisa menjadi religius dan sekular sekaligus. 11
Proses adaptasi bukanlah perkara mudah. Orang-orang Barat telah melakukannya sejak lama dan sampai hari ini mereka terus melakukannya. Gerakan Reformasi yang dimulai Luther, Calvin, dan Zwingli, sebetulnya adalah upaya untuk menjawab tantangan zaman. Ajaran Katolik dinilai tak lagi mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Perlawanan Vatikan terhadap ilmuwan dan penolakan mereka terhadap temuan-temuan ilmu bukan membuat mereka berjaya, tapi justru terpuruk. Semakin gereja melawan perubahan zaman, semakin mereka ditinggalkan pengikutnya. Salah satu semangat dasar Reformasi Kristen adalah mengoreksi kekeliruan-kekeliruan doktrin Vatikan sambil terus berusaha memahami keadaan yang terus berubah. Gerakan protes terhadap gereja Katolik ini kemudian disebut Protestan dan menjadi simbol bagi pembaruan keagamaan di dunia Kristen. 12 Di dunia Islam, proses adaptasi terhadap dunia yang berubah telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam. Berbeda dengan Kristen, pembaruan atau reformasi dalam Islam bukanlah sebuah gerakan sosial, tapi merupakan bagian dari doktrin yang diimani para sarjana dan intelektual agama ini. Konsep pembaruan (tajdid) yang kini sering diperbincangkan sebetulnya adalah konsep lama yang pernah sangat populer pada masa-masa awal sejarah peradaban Islam. Tajdid intinya adalah pembaruan, yakni pembaruan atas doktrin dan pemahaman agama 10 Jos Casanova. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press, 1994, h. 168. 11 Ibid, h. 13. 12 Tak tahan menghadapi kritik dan protes, gereja Katolik akhirnya ikut melakukan pembaruan dari dalam. Gerakan pembaruan yang dimotori oleh Ignatius Loyola (14911556) ini menjadi langkah awal dunia Katolik untuk beradaptasi dengan dunia modern. 7 Makalah Diskusi | Januari 2011 yang dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Para ulama menyadari betul bahwa wahyu telah terputus sejak meninggalnya Nabi, sedangkan persoalan yang dihadapi manusia semakin kompleks. Keterbatasan halaman kitab suci bukanlah alasan untuk menjadi mandek. Manusia punya akal yang bisa diandalkan untuk memahami dan meneruskan peran wahyu yang terputus. Sepanjang sejarahnya, Islam berkali-kali melakukan pembaruan, baik dalam hal yang terkait dengan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Sebagian upaya pembaruan itu berdampak luas ke tengah masyarakat, sebagain lainnya gagal. Salah satu upaya pembaruan yang berhasil adalah diterimanya konsep-konsep yang sebelumnya dianggap bertentangan dengan Islam, seperti konsep khilafah dan sistem demokrasi. Sebelum abad ke-20, konsep khilafah menjadi paradigma politik satu-satunya yang bisa diterima kaum Muslim. Melawannya berarti penyimpangan dan bisa dianggap sesat atau bahkan kar. Khilafah diyakini sebagai doktrin politik paling fundamental dalam Islam. Namun, pada pertengahan tahun 1920an, konsep khilafah mengalami tantangan. Dengan semakin populernya konsep negara-bangsa, sejumlah ulama mulai memikirkan ulang konsep khilafah. Pada mulanya, gagasan memikirkan ulang konsep khilafah ditentang sebagian besar ulama. Namun, dengan semakin besarnya dorongan dari realitas politik, para ulama itu menyerah. Kurang dari tiga dekade setelah perdebatan itu terjadi, puluhan negara Muslim mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka yang berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi, bukan teokrasi. Sekularisasi dan Pembaruan Agama Penolakan dan penutupan khilafah secara resmi oleh Mustafa Kamal Ataturk merupakan peristiwa simbolik pertama sekularisasi yang terjadi di dunia Islam. Setelah peristiwa ini, beban psikologi kaum Muslim lebih ringan untuk menjalankan sekularisasi dalam aspek-aspek lain kehidupan mereka. Tentu saja, dengan ditutupnya khilafah Usmaniyah, tidak serta merta agama menjadi tidak penting di dunia Islam. Sebaliknya, kaum Muslim justru sedang berusaha mempertahankan agama agar terus berkiprah dan diterima pemeluknya. Bayangkan jika lembaga-lembaga agama terus mengecam penutupan khilafah dan menolak konsep negara-bangsa, sudah pasti mereka akan ditinggalkan dan tak akan punya peran. Sambil menerima penutupan khilafah mereka menafsirkan ulang format politik dalam Islam. Perlahan-lahan mereka bisa menerima demokrasi dan ikut serta meramaikan pestanya (pemilihan umum). Peristiwa penolakan khilafah itu bisa disebut sebagai sekularisasi, sementara upaya kaum Muslim untuk terus-menerus menghadirkan nilai- nilai agama ke ruang-ruang publik sekular yang telah mereka terima sebagai desekularisasi. Sepanjang hampir satu abad terakhir, proses sekularisasi dan desekularisasi ini terus terjadi di dunia Islam. Sebagian negara tampak lebih menonjol aspek sekularnya, seperti yang bisa dilihat pada Turki, Indonesia, dan Nigeria. Sebagian lain tampak lebih menonjol aspek agamanya seperti terlihat pada Iran, Arab Saudi, dan beberapa negara Arab lainnya. Sekularisasi dan desekularisasi adalah proses tarik-menarik yang terus terjadi di dunia Islam sampai hari ini. Seperti gerakan reformasi yang terjadi di dunia Kristen, pembaruan dalam Islam membantu memperlancar proses sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim. Sejak abad ke-19, salah satu agenda penting gerakan pembaruan Islam adalah memahami ulang doktrin-doktrin Islam klasik agar sesuai dengan semangat zaman. 8 Makalah Diskusi | Januari 2011 Upaya pembacaan dan pemahaman ulang ini memberi ruang bagi nilia-nilai klasik untuk terus hidup di dunia modern. Para pembaru Muslim, sejak Rifaat al-Tahtawi di Mesir, hingga Nurcholish Madjid di Indonesia, percaya pada kaedah bahwa Islam bisa hidup dalam semua keadaan (Islam salih li kulli zaman wa makan). Dan salah satu cara mempertahankan kaedah ini adalah memperbaharui terus doktrin-doktrin Islam agar tetap cocok dengan perubahan zaman. Para pembaru Muslim adalah orang yang paling antusias menyaksikan perkembangan sains dan teknologi modern. Mereka sangat optimis memandang dunia modern dan meyakini bahwa modernitas mampu membawa manusia dari dunia kebodohan dan keterbelakangan. Kemajuan hanya mungkin dilakukan dengan mengadopsi modernisasi. Agama, sebagai salah satu komponen budaya suatu masyarakat, harus ikut dalam langgam modernisasi yang terus berproses. Alih-alih meninggalkan agama, para pembaru Muslim justru membawa agama dan mendorongnya sejauh ia bisa diterima di ruang-ruang publik. Kaum modernis adalah para pendakwah modernitas bagi masyarakat agama dan sekaligus penebar nilai-nilai agama bagi dunia modern. Dalam proses tawar-menawar antara tradisi dan modernitas, antara agama dan sekularisme, sebenarnya tidak ada yang dimenangkan. Sampai saat ini, tidak ada satupun negara Muslim yang benar-benar menerapkan sekularisme secara total. Turki sebetulnya merupakan pengecualian, tapi melihat perkembangan politik mutakhir di mana partai-partai berkecenderungan agama (seperti AKP) memenangkan Pemilu, masa depan sekularisme di Turki mulai dipertanyakan. Kendati demikian, saya tidak melihat bahwa kemenangan partai-partai berbasis agama di Turki sebagai kekalahan sekularisasi, seperti selama ini disangka sebagian orang. Menurut saya, di tengah semakin gencarnya tuntutan terhadap demokrasi dan keinginan untuk mengurangi peran militer, yang terjadi di Turki sesungguhnya adalah munculnya kekuatan-kekuatan Islam reformis, yakni Islam yang menyeruak ke ruang-ruang publik dengan membawa nilai-nilai agama yang termodernkan. Selama ini, sekularisasi yang terjadi di Turki adalah sekularisasi yang koersif, yang dikawal oleh kekuatan militer. Dengan semakin besarnya tuntunan masyarakat akan demokrasi, lambat-laun Turki akan menemukan jalurnya sendiri menjalankan sekularisasi yang lebih alamiah. Politik adalah salah satu agenda paling penting yang menjadi perhatian para pembaru Muslim sejak awal abad ke-20. Pemisahan agama dan negara yang disimbolisasikan dengan penutupan khilafah dan dukungan terhadap konsep negara-bangsa adalah langkah awal dalam pembaruan politik Islam. Agenda selanjutnya adalah mengkampanyekan demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang mungkin diadopsi oleh kaum Muslim. Pada paruh pertama abad ke-20, demokrasi menjadi perdebatan panas di kalangan Muslim. Tapi lima dekade kemudian, demokrasi tidak lagi menjadi persoalan. Hanya kelompok-kelompok kecil radikal yang tak bisa menerima demokrasi. 13 Mayoritas kaum Muslim bisa menerima demokrasi dan menganggapnya sebagai sistem terbaik dari sistem- sistem politik yang ada lainnya. Di negara-negara Muslim, sekularisasi dan desekularisasi hadir bersama demokrasi. Berkat demokrasi, kebangkitan agama muncul di Turki. Berkat demokrasi, partai-partai Islam mendapat tempat di Indonesia. Berkat demokrasi, kelompok-kelompok Islam menyeruak ke ruang-ruang publik di Mesir. Demokrasi membawa berkah dan sekaligus membuat gerah. Atas nama 13 Seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). 9 Makalah Diskusi | Januari 2011 demokrasi, kelompok mayoritas mendesak dibuatnya aturan yang sesuai dengan selera mereka. Atas nama demokrasi, suatu kelompok merasa berhak untuk menonjolkan dan memamerkan identitasnya di ruang-ruang publik. Munculnya simbol-simbol keagamaan, seperti jilbab dan busana Muslim, adalah bagian dari ekspresi identitas yang diperjuangkan lewat demokrasi. Penutup Dari uraian di atas, saya ingin menyimpulkan beberapa hal. Pertama, perbincangan tentang apakah agama akan berakhir atau terus hidup dalam beberapa masa ke depan tak bisa dilihat hanya dari perspektif sosiologis. Kekeliruan teori sekularisasi (dan juga desekularisasi) selama ini adalah melihat agama sebagai gejala sosiologis semata yang tak terkait dengan faktor- faktor lain yang lebih substansial dalam diri manusia, seperti kodrat biologis dan kondisi psikologis manusia dalam rentang evolusi yang panjang. Temuan- temuan sains terbaru tentang perilaku manusia dan evolusi kesadaran tak bisa diabaikan dalam menilai masa depan agama. Nasib agama tak bisa dikaitkan semata-mata dengan modernisasi dan pembangunan, tapi juga dengan respon- respon psikologis manusia yang dinamis. Perbincangan nasib agama harus diletakkan dalam kerangka evolusi manusia yang lebih luas dan tidak dalam rentang dinamika yang sempit. Kedua, dalam perspektif evolusi manusia yang panjang, berbicara tentang kematian agama menjadi absurd, karena agama-agama monoteis baru mengalami bulan madu dan tampaknya akan terus bertahan hingga beberapa ratus tahun ke depan. Kita mungkin harus menunggu 500 atau 1000 tahun lagi untuk membuktikan apakah agama-agama yang ada sekarang bakal benar- benar lenyap. Jika agama-agama primitif bisa bertahan ribuan tahun, agama- agama modern yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, mungkin bakal mampu bertahan lebih lama lagi. Ketiga, keberlangsungan (survival) agama-agama modern bukan terletak pada resistensinya dalam menghadapi perubahan zaman, tapi justru pada eksibilitas dan upayanya untuk terus bradaptasi dengan lingkungannya. Agama-agama yang melakukan perlawanan akan mati, tak tahan menghadapi perubahan zaman. Tapi agama-agama yang melakukan reformasi atau pembaruan, akan hidup dan bisa diterima. Apa yang para sosiolog sebut sebagai desekularisasi sebetulnya bukanlah kebangkitan suatu agama, tapi lebih tepat sebagai upaya agama untuk mendapatkan tempat di dunia modern yang terus berubah. Beberapa aspek dari desekularisasi sebetulnuya tidak sepenuhnya anti-sekular, tapi justru menundukkan agama dalam kerangka sekularitas. Ini bisa dilihat dari upaya kaum Muslim untuk terus-menerus menjustikasi konsep-konsep baru seperti demokrasi, persamaan, dan hak asasi (yang notabene merupakan produk dunia sekular), agar sesuai dengan tuntutan modernitas. Disampaikan dalam Diskusi Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Dunia Islam di Komunitas Salihara, Rabu 19 Januari 2011. Makalah ini tidak disunt- ing. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun. Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 Indonesia t: +62 21 7891202 f:+62 21 7818849 www.salihara.org