You are on page 1of 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1 Landasan Teori Tekanan Darah

2.1.1.1 Pengertian Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung, volume, laju, dan kekentalan (viskositas). Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Muttaqim. A, 2009). Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam satuan millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sejak lama sebagai rujukan buku untuk pengukuran tekanan darah. Sebenarnya, tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas pembuluh. Bila seseorang menyatakan bahwa tekanan dalam pembuluh adalah 50 mmHg, hal itu berarti bahwa daya yang dihasilkan cukup untuk mendorong kolom air raksa yang melawan gravitasi sampai setinggi 50 mm. bila tekanan adalah 100 mmHg kolom air raksa akan didorong 100 mm. Tekanan darah sendiri merupakan tekanan pada pembuluh arteri darah ketika darah dipompa oleh jantung keseluruh anggota tubuh manusia. Terdapat

dua tekanan darah yaitu, sistole (tekanan atas), normalnya 120 mmHg dan diastole (tekanan bawah) normalnya 80 mmHg (wikipedia.com).

2.1.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah Tekanan darah tidak konstan namun dipengaruhi oleh banyak faktor secara kontinu sepanjang hari. Tidak ada pengukuran tekanan darah yang adekuat menunjukkan tekanan darah klien. Meskipun saat dalam kondisi yang paling baik, tekanan darah berubah dari satu denyut jantung ke denyut lainnya (Perry and Potter, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah menurut Perry and Potter (2005) adalah: 1. Usia Terdapat kesepakatan dari para peneliti bahwa prevalansi hipertensi akan meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini disebabkan karena pada usia tua diperlukan keadaan darah yang meningkat untuk memompakan sejumlah darah ke otak dan alat vital lainnya. Pada usia tua pembuluh darah sudah mulai melemah dan dinding pembuluh darah sudah menebal (Kiangdo, 1977 dalam Adiwibowo, T. 2009). Menurut Gray (2002) dalam Adiwibowo, T. (2009) baik pria maupun wanita 50% mereka yang berusia di atas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi (TD sistolik 160 mmHg dan diastolik 90 mmHg). Disamping itu semakin bertambah usia maka keadaan sistem kardiovaskuler semakin berkurang seperti ditandai dengan terjadinya arteriosklerosis yang dapat meningkatkan tekanan darah.

2. Stres Ansietas, takut, dan stress emosional akan merangsang saraf simpatik, yang meningkatkan frekuensi darah, curah jantung, dan tahanan perifer. Efek stimulasi simpatik meningkatkan tekanan darah. 3. Ras Frekuensi hipertensi pada orang Afrika Amerika lebih tinggi dibanding pada orang Eropa Amerika. Kematian yang dihubungkan dengan hipertensi juga lebih banyak pada orang Afrika Amerika. Kecenderungan populasi ini terhadap hipertensi diyakini berhubungan dengan genetik dan lingkungan. 4. Medikasi Banyak medikal yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tekanan darah. Salah satu golongan medikasi yang dapat mempengaruhi tekanan darah adalah analgesik narkotik, yaitu dapat menurunkan tekanan darah. 5. Variasi Diurnal Tingkat tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari. Tekanan darah biasanya rendah pada pagi-pagi sekali, secara berangsur-angsur naik pagi menjelang siang dan sore, dan mencapai puncaknya pada senja atau malam. Tidak ada orang yang pola dan derajat variasinya sama. 6. Jenis kelamin Secara klinis tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah pada laki-laki atau perempuan. Setelah pubertas, pria cenderung memiliki bacaan tekanan darah yang lebih tinggi. Setelah menopause, wanita cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia tersebut.

10

2.1.1.3 Teknik pengukuran tekanan darah Tehnik pengukuran tensi darah menurut (Muttaqim. A, 2009) sebagai berikut: 1. Cara Palpitasi (hanya untuk mengukur tekanan sistolik) a. Manset spigmomanometer yang digunakan harus sesuai dengan usia (manset anak-anak lebih kecil dibandingkan manset dewasa) b. Kenakan manset pada lengan lalu pompa dengan udara secara perlahan sampai denyut nadi di pergelangan tangan tidak teraba lagi. Kemudian tekanan didalam manset diturunkan dengan membuka lubang pemompa secara perlahan. c. Amati tekanan pada spigmomanometer d. Saat denyut nadi teraba kembali, baca tekanan pada skala

spigmomanometer, tekanan ini adalah tekanan sistolik. 2. Cara Auskultasi (untuk mengukur tekanan sistolik dan diastolik) a. Manset spigmomanometer diikatkan pada lengan atas, stetoskop di tempatkan pada arteri brakialis pada permukaan ventral siku agak bawah manset spigmomanometer. b. Sambil mendengarkan denyut nadi, tekanan dalam spigmomanometer di naikan dengan memompa udara kedalam manset sampai nadi tidak terdengar lagi, kemudian tekanan didalam sepigmomanometer diturunkan secara perlahan. c. Pada saat denyut nadi mulai terdengar kembali, baca tekanan yang tercantum pada skala spigmomanometer, tekanan ini adalah tekanan sistolik.

11

d. Suara denyutan nadi selanjutnya menjadi agak keras dan tetap terdengar sekeras itu sampai suatu saat denyutannya melemah atau menghilang sama sekali. Pada saat denyutan yang keras itu berubah menjadi lemah, baca lagi pada skala spigmomanometer, tekanan itu adalah tekanan diastolik.

2.1.1.4 Regulasi Tekanan Darah Faktor-faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah jantung, tekanan pembuluh darah perifer, dan volume atau aliran darah. Kontrol terhadap tekanan darah bergantung pada sensor-sensor yang secara terus menerus mengukur tekanan darah dan mengirim informasinya ke otak. Otak

mengintegrasikan semua informasi yang masuk dan berspon dengan mengirim rangsangan eferen ke jantung dan sistem pembuluh melalui saraf-saraf otonom. Berbagai hormon dan mediator kimiawi lokal berperan dalam mengontrol tekanan darah (Mutaqim. A, 2009).

2.1.2

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

2.1.2.1 Definisi Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan darah. Pengobatan awal pada hipertensi sangat penting karena dapat mencegah timbulnya komplikasi pada beberapa organ tubuh seperti jantung, ginjal, dan otak.

12

Penyelidikan epidemologis membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler (Mutaqim. A, 2009). Hipertensi lanjut usia dibedakan menjadi dua hipertensi dengan peningkatan sistolik dan diastolik dijumpai pada usia pertengahan hipertensi sistolik pada usia diatas 65 tahun. Tekanan diastolik meningkat usia sebelum 60 tahun dan menurun sesudah usia 60 tahun tekanan sistolik meningkat dengan bertambahnya usia (Temu Ilmiah Geriatri. 2008 dalam Winarsih. Y, 2012) Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian diatas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas: 1. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan sistolik sama atau lebih 90 mmHg. 2. Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg Sekitar 20% populasi dewasa mengalami hipertensi, lebih dari 90% diantara mereka menderita hipertensi esesnsial, primer, dimana tidak dapat ditentukan penyebab medisnya. Sisanya mengalami kenaikan tekanan darah dengan penyebab tertentu (hipertensi sekunder) seperti penyempitan arteri renalis atau penyakit parenkin ginjal, berbagai obat, disfungsi organ, tumor, dan kehamilan (Smeltzer & Bare, 2002).

13

2.1.2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi) Berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu: 1. Hipertensi esensial Tekanan darah tinggi esensial adalah tekanan darah tinggi yang tidak jelas atau belum diketahui pasti penyebabnya. Dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan, genetik, berat badan lahir rendah (Santoso. D, 2010). 2. Hipertensi skunder Hipertensi skunder adalah tekanan darah tinggi yang penyebabnya jelas di ketahui yang disebabkan karena gangguan pembuluh darah atau organ tubuh tertentu, seperti ginjal, kelenjar adrenal, dan aorta. Penyebab hipertensi sekunder sekitar 5% 10% berasal dari penyakit ginjal, dan sekitar 1% 2% karena kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Santoso. D, 2010). Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan kelompok umur menurut (Tambayong. J, 2000) Kelompok Bayi Anak Remaja Dewasa Usia 7-11 Tahun 12-17 Tahun 20-45 Tahun 45-65 Tahun >65 Tahun Normal (mmHg) 80/40 100/60 115/70 120-125/75-80 135-140/86 150/85 Hipertensi (mmHg) 90/60 120/80 130/80 135/90 140-160/90-95 160/90

14

Klasifikasi tekanan darah menurut WHO (1999) dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.2, Klasifikasi tekanan darah menurut WHO tahun 1999 Kategori Sistolik (mmHg) Tekanan darah optimal Tekanan darah normal Tekanan darah normal tinggi Hipertensi ringan Hipertensi sedang Hipertensi berat < 120 120-129 130-139 140-159 160-179 >180 Diastolik (mmHg) < 80 80-84 85-89 90-99 100-109 >110

Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 (2003) dapat dilihat pada tabel 2.2 Tabel 2.3, Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 7, 2003) Klasifikasi Sistolik (mmHg) Normal Prehipertensi Hipertensi Stage I Hipertensi Stage II <120 120-139 140-150 >150 Diastolik (mmHg) <80 80-89 90-99 >100

2.1.2.3 Etiologi Sekitar 90% hipertensi dengan penyebab yang belum di ketahui di sebut dengan hipertensi primer atau esensial, sedangkan 7% disebabkan oleh kelainan ginjal atau hipertensi renalis dan 3% disebabkan oleh kelainan hormonal atau hipertensi hormonal (Muttaqin. A, 2009).

15

Asupan natrium Asupan kalium

Factor genetik

ECV vasokontriksi autoregulasi

Stress psikologis, pengaturan abnormal terhadap nerepineprin, hipersensitivitas Aktifitas jantung

Stenosis arteri renalis Iskemia ginjal Ginjal Rennin angiotensin II aldosteron Penurunan masa ginjal

Hipertrofi otot vaskular

Curah jantung

Resistensi perifer total (TPR) Hipertensi primer (90 %) TPR Hipertensi Renalis (7%) Hipertensi hormonal dan penyebab lain

Berbagai penyakit ginjal

Retensi natrium ECV

Curah jantung

ECV

Curah jantung TPR

Bentuk hipertensi lain: kardiovaskular, neurogenik, obat Katekolamin

aldosteron

Efek peningkatan katekolamin

Tumor korteks adrenal

kortisol

Tumor korteks adrenal

Tumor medulla adrenal

Gambar 2.1, Penyebab hipertensi (Muttaqin. A, 2009).

16

2.1.2.4 Faktor Resiko Yang Menyebabkan Tekanan Darah Tinggi Tekanan darah tinggi atau hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1. Usia Semakin lanjut usia seseorang, maka tekanan darah akan semakin tinggi dikerenakan oleh beberapa faktor yaitu fungsi ginjal sebagai penyeimbang tekanan darah semakin menurun dan elastisitas pembuluh darah yang berkurang atau cenderung kaku sehingga volume darah yang mengalir sedikit dan kurang lancar. Agar kebutuhan darah di jaringan tercukupi, maka jantung harus memompa darah lebih kuat lagi, sehingga tekanan di pembuluh darah meningkat (Hananta, 2011). Pada usia yang semakin tua, pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) terganggu, sehingga banyak zat kapur yang beredar bersama darah. Banyaknya kalsium dalam darah (hypercalcidemia) menyebabkan darah menjadi lebih padat, sehingga tekanan darah menjadi meningkat (Muhummadun, 2010). Endapan kalsium di dinding pembuluh darah (arteriosclerosis) menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, aliran darah menjadi terganggu. Hal ini dapat memacu peningkatan tekanan darah (Muhummadun, 2010). Bertambahnya usia juga menyebabkan elastisitas arteri berkurang sehingga arteri tidak dapat lentur dan cenderung kaku (Muhummadun, 2010). 2. Faktor Genetik Menurut Susilo. Y, (2010) faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga tersebut mempunyai resiko menderita hipertensi, individu dengan orang tua hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar

17

untuk menderita hipertensi daripada individu yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. 3. Jenis kelamin Jenis kelamin berpengaruh terhadap kadar hormon yang dimiliki seseorang. Estrogen yang dominan dimiliki wanita diketahui sebagai faktor protektif atau perlindungan pembuluh darah, sehingga penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) lebih banyak ditemukan pada pria yang kadar estrogennya lebih rendah daripada wanita. Sedangkan seorang wanita yang telah monopouse, dengan kata lain produksi hormon estrogennya berkurang, lebih beresiko menderita tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hananta, 2011). 4. Mengkonsumsi Makanan Tinggi Lemak & Kolestrol Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan timbunan kolestrol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat pembuluh darah menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo. Y, 2011). 5. Obesitas Semakin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti bahwa volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding pembuluh darah dengan kata lain tekanan darah akan meningkat (Muhummadun, 2010). Ada dua jenis kegemukan yang berhubungan dengan hipertensi yaitu kegemukan sentral dan kegemukan perifer. Pada kondisi kegemukan sentral lemak mengumpul disekitar perut, sedangkan kegemukan perifer adalah

18

kegemukan yang merata diseluruh bagian tubuh. Meskipun demikian obesitas sentral merupakan faktor penentu yang lebih penting terhadap peningkatan tekanan darah dibandingkan dengan kelebihan berat badan perifer (Hananta. 2011). 6. Mengkonsumsi Alkohol Alkohol dapat merusak fungsi saraf pusat maupun tepi (Sheps, 2002). Apabila saraf pusat terganggu, maka pengaturan tekanan darah akan mengalami gangguan pula (Muhummadun, 2010). Alkohol juga bisa meningkatkan keasaman darah dan darah menjadi lebih kental (Sheps, 2002). Kekentalan darah ini memaksa jantung memompa darah lebih kuat lagi, agar darah dapat sampai ke jaringan yang membutuhkan dengan cukup, akibatnya tekanan darah jadi meningkat (Muhummadun, 2010). 7. Merokok Merokok dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, hal ini disebabkan karena rokok banyak mengandung zat kimia yang berbahaya bagi tubuh seperti tar, nikotin dan gas karbon monoksida (Muhummadun, 2010). Nikotin merangsang sekresi hormon adrenalin yang menyebabkan jantung berdebardebar, meningkatkan tekanan darah serta kadar kolesterol dalam darah (Muhummadun, 2010). 8. Tingginya Asupan garam Garam dapat meningkatkan tekanan darah, karena natrium dalam darah memiliki efek langsung pada peningkatan dalam darah ini dengan membentuk ikatan dengan air (H2O) yang menyebabkan jumlah atau volume cairan meningkat. Pada kondisi peningkatan cairan darah maka jantung merespons

19

dengan meningkatkan tekanan darah untuk menjamin seluruh cairan darah dapat beredar ke seluruh tubuh (Hananta, 2011). 9. Kurang olahraga Kurang olah raga dan bergerak biasanya menyebabkan tekanan darah dalam tubuh meningkat. Aktifitas fisik sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah dan aktifitas fisik dapat membuat jantung lebih kuat (Sheps, 2002). Jantung mampu memompa lebih banyak darah dengan hanya sedikit usaha (Sheps, 2002). Makin ringan kerja jantung untuk memompa darah maka makin sedikit pula beban tekanan pada arteri (Muhummadun, 2002). 10. Stres Pada saat stress seseorang akan merasa cemas dan mudah marah (Muhummadun, 2010). Saat stress tubuh melepaskan hormon catecholamine. Hormon ini berpengaruh terhadap peningkatan resistensi perifer dan pembuluh darah sehingga tekanan darah akan meningkat (Muhummadun, 2010). Pada saat keadaan stress, saraf simpatis juga merangsang pengeluaran hormon adrenalin (Sheps, 2010). Hormon ini dapat menyebabkan jantung berdenyut lebih cepat dan menyebabkan penyempitan kapiler darah tepi, hal ini bisa mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Muhummadun, 2010).

2.1.2.5 Patofisiologi 2.1.2.5.1 Patofisiologi Hipertensi Secara Umum Pengaturan tekanan arteri meliputi kontrol sistem persyarafan yang kompleks dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam mempengaruhi curah jantung dan tahanan vaskuler perifer. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi jantung. Tahanan perifer

20

ditentukan oleh diameter arteriol. Bila diameternya menurun (vasokonstriksi), tahanan perifer meningkat, bila diameternya meningkat (vasodilatasi), tahanan perifer akan menurun (Muttaqin A., 2009).

Renin Angiotensin I
Angiotensin I Converting Enzyme (ACE)

Angiotensin II

Sekresi hormon ADH rasa haus Urine sedikit pekat osmolaritas

Stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal Eksresi NaCl (garam) dengan mereabsorpsinya di ginjal di tubulus ginjal

Mengentalkan Menarik cairan intravaskuler ke ektravaskuler Volume darah Tekanan darah

Konsentrasi NaCl di pembuluh darah

Volume ektravaskuler Volume darah Tekanan darah

Gambar 2.2. Pathway Hipertensi

Selanjutnya akan dibahas mekanisme lain yang dengan efek yang lebih lama. Rennin diproduksi oleh ginjal ketika aliran darah ke ginjal menurun, akibatnya terbentuklah angiotensin I, yang akan berubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan mengakibatkan kontraksi langsung pada arteriol. Secara tidak langsung juga merangsang pelepasan

21

aldosteron, yang mengakibatkan retensi natrium dan air dalam ginjal. Respons tersebut meningkatkan volume cairan ekstraseluler, yang pada gilirannya meningkatkan aliran darah yang kembali ke jantung, sehingga meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung. Ginjal juga mempunyai mekanisme intrinsic untuk meningkatkan retensi natrium dan cairan (Muttaqin. A, 2009). Bila terdapat gangguan menetap yang menyebabkan konstriksi arteriol, tahanan perifer total dan tekanan arteri meningkat. Dalam menghadapi gangguan menetap, curah jantung harus ditingkatkan untuk mempertahankan keseimbangan system. Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi tahanan, sehingga pemberian oksigen dan nutrient ke sel dan pembuangan produk sampah sel tetap terpelihara. Untuk meningkatkan curah jantung, system saraf simpatis akan merangsang jantung untuk berdenyut lebih cepat, juga meningkatkan volume sekuncup

dengan cara membuat vasokontriksi selektif pada organ perifer, sehingga darah yang kembali ke jantung lebih banyak. Dengan adanya hipertensi kronis, baroreseptor akan terpasang dengan level yang lebih tinggi dan akan berespons meskipun level yang baru tersebut sebenarnya normal (Muttaqin. A, 2009). Pada mulanya, mekanisme tersebut bersifat kompensasi. Namun, proses adaptif tersebut membuka jalan dengan membuka jalan dapat memberikan pembebanan pada jantung. Pada saat yang sama terjadilah perubahan degenerative pada arteriol yang menanggung tekanan tinggi terus-menerus. Perubahan tersebut terjadi pada organ seluruh tubuh, termasuk jantung, mungkin akibat berkurangnya pasokan darah ke miokardium. Untuk memompa darah, jantung harus bekerja keras untuk mengatasi tekanan balik muara aorta (Muttaqin. A, 2009).

22

Akibat beban kerja ini, otot ventrikel kiri mengalami hipertropi atau membesar, terjadilah dilatasi dan pembesaran jantung. Kedua perubahan struktural tersebut bersifat adaptif, keduanya meningkatkan volume sekuncup jantung. Pada saat istirahat, respons kompensasi tersebut mungkin memadai, namun dalam keadaan pembebanan, jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh, orang tersebut menjadi cepat lelah dan nafasnya pendek (Muttaqin. A, 2009). Gangguan awal yang menyebabkan kenaikan tahanan perifer biasanya tidak diketahui, seperti pada kasus hipertensi perimer atau esensial, meskipun ada beberapa agen yang diduga sebagai penyebab. Mekanisme patologis yang terjadi adalah hipoksia akibat kegagalan sistem transportasi darah. Pada tahap berikutnya, nutrisi oksigen darah juga menurun akibat edema paru (Muttaqin. A, 2009). Hipertensi merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan peningkatan tahanan perifer. Hal ini menyebabkan penambahan beban jantung (afterload) sehingga terjadi hipertofi ventrikel kiri sebagai proses kompensasi adaptasi. Hipertrofi ventrikel kiri ialah suatu keadaan yang mengggambarkan penebalan dinding dan penambahan masa ventrikel kiri. Selain pertumbuhan miosit dijumpai juga penambahan struktur kolagen berupa fibrosis pada jaringan intertestial dan perivaskular fibrosis reaktif intramiokardial (Muttaqin. A, 2009).

2.1.2.5.2 Patofisiologi Hipertensi Pada Lanjut Usia Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan usia terjadinya penurunan elastisitas dan kemampuan meregang pada arteri besar. Tekanan aorta meningkat sangat tinggi dengan penambahan volume intravaskuler

23

yang sedikit menunjukan kekakuan pembuluh darah pada lanjut usia. Secara hemodinamik hipertensi sistolik ditandai penurunan kelenturan pembuluh arteri besar resistensi perifer yang tinggi pengisian diastolik abnormal dan bertambah masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan hipertensi sistolik dan diastolik output jantung, volume intravaskuler, aliran darah keginjal aktivitas plasma renin yang lebih rendah dan resistensi perifer. Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin

menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik pada sehingga berakibat penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri. 2008 dalam Winarsih. Y, 2012)

2.1.2.6 Manifestasi Klinis Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan apapun selain kelainan tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edama pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahuntahun. Gejala bila ada, biasanya menunjukan adanya kerusakan vaskuler dengan manifestasi sesuai sistem organ yang divaskulerisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling menyertai hipertensi. Hipertrofi ventrikel kiri sebagai respon beban kerja ventrikel saat dipaksa berkontraksi melawan tekanan sistemik yang meningkat. Apabila jantung tidak mampu lagi menahan peningkatan beban kerja, maka dapat terjadi gagal jantung kiri. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanisfestasi sebagai

24

nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azotemia (peningkatan nitrogen urea darah ( BUN ) dan kretinin) (Muttaqin. A, 2009).

2.1.2.7 Evaluasi Diagnostik Riwayat dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh sangat penting. Retina harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengkaji kemungkinan adanya kerusakan organ, seperti ginjal atau jantung, yang dapat disebabkan oleh tingginnya tekanan darah. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dikaji dengan elektrokardiografi, protein dalam urine dapat dideteksi dengan urinalisa. Dapat terjadi ketidakmampuan untuk mengkonsentrasi urin dan peningkatan nitrogen urea darah. Pemeriksaan khusus seperti renogram, pielogram intravena, arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah, dan penentuan kadar urin dapat juga dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit

renovaskuler. Adanya faktor resiko lainnya juga harus dikaji dan dievaluasi (Muttaqin. A, 2009).

2.1.2.8 Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada klien hipertensi adalah mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan, dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi. Algoritma penanganan yang dikeluarkan oleh Joint National on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure memungkinkan dokter untuk memilih kelompok obat yang mempunyai efektivitas tertinggi, efek samping paling kecil, dan penerimaan serta kepatuahan pasien. Dua kelompok

25

obat tersedia dalam terapi pilihan pertama yaitu diuretik dan penyekat beta. Apabila pasien dengan hipertensi ringan sudah terkontrol selama setahun, terapi dapat diturunkan. Agar pasien dapat mematuhi regimen terapi yang diresepkan, maka harus dicegah pemberian jadwal terapi obat-obatan yang rumit (Muttaqin. A, 2009).

2.1.1.8.1 Penatalaksanaan Farmakologi Menurut Muttaqin. A, 2009 terapi farmakologis penanganan dengan pemberian obat, Obat-obat anti hipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau dicampur dengan obat lain, obat-obatan ini diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: 1. Diuretik. Hidroklorotizaid adalah diuritik yang paling sering diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotizaid dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan. Banyak obat antihipertensi dapat

menyebabkan retensi cairan; karena itu, sering kali diuritik diberikan bersama antihipertensi. 2. Menekan simpatetik (simpatolitik) Penghambat (adrenergik bekerja di sentral simpatolitik), penghambat adrenergik alfa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai penekan simpatitik atau simpatolitik penghambat adrenergik beta, juga dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor beta. 3. Vasodilator arteriol yang bekerja langsung. Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga

26

menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi tekanan parifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja lansung untuk mengurangi edema. Reflek takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. 4. Antagonis angiotensin (ACE inhibitor). Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), yang nantinya akan dan menghambat menghambat pembentukan angiotensin II

(vasokonstriktor)

pelepasan

aldosteron.

Aldosteron

meningkatkan retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron di hambat, natrium diekskresikan bersamaa-sama dengan air. Kaptropil, enalapril, dan lisonopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi. 5. Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis). Cara kerja antagonis kalsium hampir sama dengan vasodilator. Antagonis kalsium adalah obat antihipertensi yang memperlebar pembuluh darah.

2.1.1.8.2 Penatalaksanaan Non Farmakologi Menurut (Shep, 2002 dalam Fikri. A, 2011) penatalaksanaan non farmakologis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi. Beberapa penatalaksanaan non farmakologis antara lain: 1. Olahraga Teratur Olahraga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta meningkatkan kekuatan otot terutama otot jantung. Berkurangnya lemak dan volume tubuh, berarti mengurangi resiko tekanan darah tinggi.

27

2. Penanganan Faktor Psikologis dan Stress Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah

tergantung pada beratnya stress dan sejauh mana kita dapat mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat dapat berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah. 3. Berhenti Merokok Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat antihipertensi. Obat bisa tidak bekerja dengan optimal atau tidak memberi efek sama sekali. Dengan berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat. 4. Tidak Mengkonsumsi Alkohol Alkohol dalam darah merangsang pelepasan epineprin (adrenalin) dan hormon-hormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit dan penumpukan lebih banyak natrium dan air. Minum minuman beralkohol yang berlebihan juga menyebabkan kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium dan magnesium. 5. Diet Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus membatasi asupan natrium dalam makanan. Selain membatasi natrium, mengurangi makanan berlemak, makan lebih banyak biji-bijian, buah-buahan. 6. Terapi Komplementer Cara lain untuk menurunkan tekanan darah tinggi salah satunya adalah terapi komplementer. Terapi komplementer bersifat terapi pengobatan alamiah

28

diantaranya adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapi bach flower remedy, dan refleksologi (Sustrani, Alam, Hadibroto 2005, dikutip dalam Nugroho. Y.T, 2010). Terapi herbal yang dipercaya dapat menurunkan tekanan darah tinggi adalah tumbuhan herbal antara lain bunga rosella (hibiscus Sabdariffa Linn), buah mengkudu, kumis kucing, mentimun, bawang putih, pegagan, belimbing daun dan buah alpukat, daun seledri, daun selada air, bawang putih, dan lain-lain (Shep, 2002 dalam Fikri. A, 2011). Salah satu contoh tanaman herbal yang akan dibicarakan dalam skripsi ini adalah bunga rosella (hibiscus Sabdariffa Linn). Salah satu kandungan bunga rosella yang dikenal khasiatnya sebagai diuretik adalah anthocyanin, gossipetin dan hibicin (Maryani & Kristana, 2008). Seorang ahli farmakognosi di Senegal telah merekomendasikan kelopak bunga rosella untuk menurunkan tekanan darah tinggi.

2.1.3

Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa Linn)

2.1.3.1 Deskripsi Tanaman Nama latin bunga rosella adalah Malvaceae (suku kapas-kapasan). Genus Hibiscus dan spesies Hibiscus sabdariffa Linn. Klasifikasi bunga rosella yaitu termasuk dalam kingdom (tumbuhan Plantae (tumbuhan). Super Subkingdomnya divisi adalah

Tracheobionta

berpembuluh).

Spermatophyta

(menghasilkan biji). Divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga). Kelas magnoliopsida (berkeping dua atau dikotil) (Maryani & Kristana, 2008).

29

Rosella adalah sejenis tanaman bunga-bungaan dengan tangkai panjang menjuntai ke atas. Batangnya bulat, tegak, berkayu, dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi, dan pangkal nerlekuk. Panjang daun 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm, tangkai daun berwarna hijau, dengan panjang 4-7 cm. Tinggi tanaman bunga Rosella ini bisa mencapai 0.5-3 meter. Bunganya tumbuh ketika tanaman ini dewasa. Bunga rosella berwarna merah. Bunga rosella yang keluar dari ketiak daun adalah bunga tunggal, artinya pada setiap tangkai hanya terdapat satu bunga. Bunga ini mempunyai 8 -11 helai kelopak yang berbulu, panjangnya 1 cm, pangkalnya saling berlekatan, dan berwarna merah. Mahkota bunga berbentuk corong, terdiri dari 5 helai, panjangnya 3-5 cm. Tangkai sari yang merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran pendek dan tebal, panjangnya sekitar 5 mm dan lebar sekitar 5 mm, putiknya berbentuk tabung, berwarna kuning atau merah. Buahnya berbentuk kotak kerucut, berambut, terbagi menjadi 5 ruang, berwarna merah. Bentuk biji menyerupai ginjal, berbulu, dengan panjang 5 mm dan lebar 4 mm. Saat masih muda, biji berwarna putih dan setelah tua berubah menjadi abu-abu (Maryani & Kristana, 2008).

2.1.3.2 Varietas dan Jenis Tanaman Menurut (Rahmawati. R, 2012) Bunga rosella memiliki lebih dari 100 varietas yang tersebar di seluruh dunia namun ada 2 varietas yang paling terkenal dengan budidaya dan manfaat yang berbeda antara lain: 1. Hibiscus sabdariffa var. Altisima, rosella berkelopak bunga kuning yang sudah lama dikembangkan untuk diambil serat batangnya sebagai bahan baku pulp dan karung goni.

30

2. Hibiscus sabdariffa var. Sabdariffa, rosella berkelopak bunga merah yang kini diminati petani dan dikembangkan untuk diambil kelopak bunga dan bijinya sebagai tanaman herbal dan bahan baku minuman kesehatan.

2.1.3.3 Kandungan Bunga Rosella Kandungan gizi yang terdapat pada bunga rosella antara lain: 1) Vitamin C dan A 2) Protein 3) Air 4) Karbohidrat 5) Serat 6) Kalsium 7) Fosfor 8) Betakaroten 9) Kalori Menurut DEP.KES.RI.No.SPP.1065/35.15/05, setiap 100 gr rosella segar mengandung 260-280 mg vitamin C, vitamin D, B1 dan B2, kalsium 486 mg, omega 3, magnesium, beta karotin serta asam amino esensial seperti lysine dan agrinine. Bunga rosella juga kaya akan serat yang bagus untuk kesehatan saluran pencernaan (Rahmawati. R, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Didah tahun 2005 menunjukkan bahwa kandungan antioksidan yang dimiliki oleh kelopak rosella terdiri atas senyawa aktif yaitu gossipetin, antosianin, dan glukosida hibiscin. Mekanisme kerja senyawa aktif ini membantu melancarkan peredaran darah dengan mengurangi derajat fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu kerja jantung memompa darah

31

semakin ringan dan otomatis tekanan darah menurun. Semua itu tak lepas dari peran asam organik polisakarida dan flafonoid yang terkandung didalamya. (Rahmawati. R, 2012).

2.1.3.4 Manfaat Bunga Rosella Adapun manfaat bunga rosella adalah sebagai berikut: 1) Antihipertensi Kelopak bunga rosella terbukti dapat menurunkan tekanan darah tinggi karena senyawa aktifnya terbukti secara klinis mampu mengurangi jumlah plak yang menempel pada dinding pembuluh darah dan rosella juga memiliki potensi untuk mengurangi kadar kolestrol jahat yang disebut LDL, serta dapat membantu mengurangi derajat fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu kerja jantung memompa darah semakin ringan dan otomatis tekanan darah menurun. Pemberian ekstrak kelopak rosela yang mengandung 9,6 mg anthocyanin, mampu menurunkan tekanan darah yang hampir sama dengan

pemberian captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10 gram kelopak kering dan 0,52 liter air (Herrera-Arellano, 2004). Terdapat penurunan tekanan darah sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan diastolik sebesar 10,7% setelah diberi terapi teh rosela selama 12 hari pada 31 penderita hipertensi (Haji Faraji, 1999 dalam Rahmawati. R, 2012). 2) Antikanker Bunga roselah memiliki efek antikanker dengan adanya antioksidan yang terkandung didalamnya yang paling berperan yaitu antosianin senyawa aktif yang dapat menghambat terjadinya kehilangan membran mitokondria ke

32

sitosol, jika molekul mengandung elektron seperti guanin DNA terserang, kesalahan DNA mudah terjadi, kerusakan DNA memicu oksidasi LDL, kolestrol dan lipid yang berujung pada penyakit ganas seperti kanker. Namun antioksidan dapat meredam aksi radikal bebas yang menyerang molekul tubuh yang mengandung elektron (Rahmawati. R, 2012).

2.1.3.5 Bukti Ilmiah Penelitian yang di lakukan M. Haji Faraji dan A.H. Haji Tarkhani dari Shaheed Baheshti University Of Medical Sciences and Health Services,Theran, Iran. sebanyak 54 pasien bertekanan darah tinggi di Theran Shariaty Hospital di hitung tekanan sistolik dan diastoliknya 15 hari sebelum dan sesudah pengujian. Pasien di beri konsumsi secangkir teh seduhan 3 kantum bunga rosella. Setelah 12 hari nilai sistolik pasien rata-rata turun 11,2 % tekanan diastoliknya turun 10,7%. Namun saat konsumsi rosella di hentikan 3 hari tekanan sistoliknya meningkat 7,9%, diastoliknya 5,6%. Itu membuktikan rosella memang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi (Rahmawat. R, 2012). Pemberian ekstrak kelopak rosela yang mengandung 9,6 mg

anthocyanin setiap hari, mampu menurunkan tekanan darah yang hampir sama dengan pemberian captopril 50 mg/hari. Rosela terstandar tersebut dibuat dari 10 gram kelopak kering dan 0,52 liter air (Herrera-Arellano, 2004). Terdapat penurunan tekanan darah sistolik sebesar 11,2 % dan tekanan diastolik sebesar 10,7% setelah diberi terapi teh rosela selama 12 hari pada 31

penderita hipertensi sedang (Haji Faraji, 1999). Mekanisme kerjanya senyawa aktif membantu melancarkan peredaran darah dengan mengurangi derajat

33

fiskositas (kekentalan) darah, dengan begitu kerja jantung memompa darah semakin ringan dan otomatis tekanan darah menurun.

2.1.3.6 Resep Seduhan Bunga Rosella Untuk Hipertensi Bahan : Kelopak bunga rosella kering : 3-4 kantum (10 gr) Air panas Cara pembuatan : Ambil sekitar 3-4 kantum (10 gr) bunga rosella kering, seduh dengan 200 ml air panas, kemudian aduk sambil di tekan-tekan kelopak bunganya hingga air berwarna merah, sajikan hangat, lalu minum 2x sehari (Indah S.Y dan Slamet. K, 2012). : 1 gelas (200 ml)

2.1.4

Konsep Lanjut Usia (Lansia)

2.1.4.1 Definisi Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keilat, 1999 dalam Maryam, 2008). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 tahun 1998 tentang kesehatan di katakan bahwa usia lanjut adalah seorang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008). Pengertian lansia beragam tergantung kerangka pandang individu. Orang yang berusia 35 tahun dapat dianggap tua bagi anaknya dan tidak muda lagi. Orang sehat aktif berusia 65 tahun mungkin menganggap usia 75 tahun sebagai permulaan lanjut usia (Brunner dan Suddart, 2001 dalam Azizah M.L.,2011). Menurut Surini dan Utomo (2003) dalam Azizah M.L.,2011, lanjut usia bukan

34

suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Menurut Reimer et al (1999), Stanley and Beare (2007) dalam Azizah M.L, 2011 mendefinisikan lansia berdasarkan karakteristik social masyarakat yang menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukan cirri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi. Dalam peran masyarakat tidak bias lagi melaksanakan fungsi peran orang dewasa, seperti pria yang tidak lagi terikat dalam kegiatan ekonomi produktif, dan untuk wanita tidak dapat memenuhi tugas rumah tangga. kriteria simbolik seseorang dianggap tua ketika cucu pertamanya lahir. Dalam masyarakat kepulauan pasifik, seseorang dianggap tua ketika ia berfungsi sebagai kepala dari garis keturunan keluarganya.

2.1.4.2 Klasifikasi Lanjut Usia Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, menurut (Depkes RI, 2003 dalam Maryam, 2008). 1) Pralansia (prasenilis) Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. 2) Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. 3) Lansia resiko tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

35

4) Lansia potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa. 5) Lansia tidak potensial Lansia yang tidak berdaya mencarai nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.4.3 Karakteristik Lansia Menurut Budi Anna Keliat (1998) dalam Maryam (2008) lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat 2) UU No. 13 tentang kesehatan 2) Kebutahan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adapatif hingga kondisi maladaptif.

2.1.4.4 Batasan Lanjut Usia Batasan-batasan lansia menurut WHO dalam Nugroho, (2000) di kelompokan menjadi empat meliputi: 1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-49 2) Usia lanjut (erderli), antara 60-70 tahun 3) Usia lanjut tua (old), antara 70-75 tahun 4) Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun

36

2.1.4.5 Tugas Perkembangan Lanjut Usia (Lansia) Menurut (Ericson, dalam Maryam, 2008) kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut di pengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan seharihari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang sersi dengan orangorang di sekitarnya, maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa di lakukan pada tahap perkembangan sebelumya seperti olah raga, mengembangkan hobi bercocok tanam dan lain-lain. Adapun tugas perkembangan adalah sebagai berikut: 1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun 2) Mempersiapkan diri untuk pansiun 3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya 4) Mempersiapkan hubungan baru 5) Melakukan penyesuain terhadap kehidupan sosial atau masyarakat secara santai 6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangannya.

2.1.4.6 Tipe - Tipe Lanjut Usia Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 2000 dalam Maryam, 2008). Tipe tersebut dapat di jabarkan sebagai berikut:

37

1. Tipe arif bijaksa Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, dan menjadi panutan. 2. Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. 3. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemerah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit di layani, pengkritik, dan banyak menuntut. 4. Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja. 5. Tipe bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe dependen (ketergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan serius, tipe pemarah atau frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri). Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (indeks

kemandirian Katz), para lansia di golongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia

38

mandiri sepenuhnya , lansia mandiri dengan bantuan langsung keluarganya, lansia mandiri dengan bantuan secara tidak langsung, lansia dengan bantuan badan nasional, lansia di panti werdha, lansia yang di rawat di rumah sakit, dan lansia dengan bantuan mental (Nugroho, 2000 dalam Maryam, 2008).

2.1.4.7 Mitos - Mitos Lanjut Usia Menurut (Shiriera Saul, 1974 dalam Maryam, 2008) mitos-mitos lansia antara lain adalah sebagai berikut: 1. Mitos kedamain dan ketenangan Adanya anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil kerja, dan jerih payahnya di masa muda. Berbagai guncangan kehidupan seakanakan sudah berhasil di lewati. Kenyataanya, sering ditemui lansia yang mengalami stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta penderitaan karena penyakit. 2. Mitos konservatif dan kemunduran Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi dan keberadaan berlaku. Adanya anggapan bahwa para lansia itu tidak kreatif, menolak inpvasi, berorientasi ke masa silam, kembali ke masa kanak-kanak, sifat berubah, keras kepala, dan cerewet. Kenyataanya, tidak semua lansia bersikap dan mempunyai pikiran demikian. 3. Mitos berpenyakitan Adanya anggapan bahwa masa tua di pandang sebai masa degenerasi biologis yang di sertai berbagai penyakit dan sakit-sakitan.

39

Kenyataanya, tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan berkala sehingga lansia tetap sehat dan bugar. 4. Mitos senilitas Adanya anggapan bahwa para lansia sudah pikun, kenyataanya, banyak yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak cara yang menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat. 5. Mitos tidak jatuh cinta Adanya anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan bergairah pada lawan jenis. Kenyataanya, perasaan dan emosi setiap orang berubah sepanjang masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya karena menjadi tua. 6. Mitos aseksualitas Adanya anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat, dorongan, gairah, kebutuhan, dan daya seks berkurang. Kenyataanya, kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan tetap bergairah, hal ini di buktiakan dengan banyaknya lansia yang ditinggal mati oleh pasngannya, namun msaih ada rencana ingin menikah lagi. 7. Mitos ketidakproduktifan Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktif lagi. Kenyataanya, para lansia yang mencapai kematangan, kemantapan, dan produktifitas mental maupun material.

40

2.1.4.8 Proses Menua (Ageing Proces) Ageing process (proses menua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994 dalam Maryam, 2008). Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan yang biasa di sebut sebagai penyakit degeneratif. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit.

2.1.4.9 Teori-Teori Proses Menua Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan yaitu teori biologis, teori psikologis, teori sosial, dan teori spiritual (Maryam, 2008). 1. Teori biologi Teori biologi mencangkup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang. a. Teori genetik dan mutasi Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang di program oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada

41

saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel). Pada teori biologi dikenal istilah pemakain dan perusakan (wear and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga di dapatkan terjadinya peneingkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi. b. Immunology slow theory Menurut immunology slow theori, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. c. Teori stres Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa di gunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai. d. Teori radikal babas Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

42

e. Teori rantai silang Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang meyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen, dan hilangnya fungsi sel.

2. Teori psikologi Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologi yang terjadi dapat di hubungakan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada di tunjang dari status sosialnya. Adanya penurunan diri intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognetif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan beriteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi atau reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada. Kemampuan kognetif dapat dikaitkan dengan penurunan fisiologis organ otak. Namun untuk fungsi-fungsi positif yang dapat dikaji ternyata mempunyai fungsi lebih tinggi, seperti simpanan informasi usia lanjut, kemampuan memberi alasan secara abstrak, dan melakukan penghitungan.

43

Memori adalah kemampuan daya ingat lansia terhadap suatu kejadian atau pristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang memori terdiri dari tiga hal yaitu ingatan yang paling singkat dan segera, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang. Kemampuan belajar yang menurun dapat terjadi karena banyak hal. Selain keadaan fungsional organ otak kurangnya motivasi lansia juga berperan. Motivasi akan semakin menurun dengan menganggap bahwa lansia sendiri merupakan beban bagi orang lain dan keluarganya.

3. Teori sosial Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan antara lain adalah sebagai berikut: a. Teori interaksi sosial Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. (Maus, 1954, Hommans,1961, dan Blau, 1964 dalam Maryam, 2008) mengungkapkan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas hukum pertukaran barang dan jasa. sedangkan pakar lain (Simmons,1945 dalam Maryam, 2008) mengungkapkan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar menukar. b. Teori penarikan diri Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming and Henry (1961). Kemiskinan yang di derita lansia dan menurunnya derajat kesehatan

44

mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan disekitarnya. Pada lansia juga terjadi kehilangan ganda (triple loos) yaitu: 1) Kehilangan peran (loos of rolles) 2) Hambatan kontak sosial (restriction pf contact and relationship) 3) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social moralres and values). Menurut teori ini seorang lansia dikatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri dalam menghadapi kematiannya. Pokok-pokok teori menarik diri adalah sebagai berikut: a) Pada pria, kehilangan peran hidup terutama terjadi pada masa pensiun. Sedangkan pada wanita terjadi ketika peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa serta meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah. b) Lansia dan masyarakat mampu mengambil manfaat dari hal ini, karena lansia dapat merasakan bahwa tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas c) Tiga aspek dalam teori ini adalah proses menarik diri yang terjadi sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat di hindari serta hal ini harus diterima oleh lansia dan masyarakat.

45

c. Teori aktivitas Teori aktivitas di kembangkan oleh (Palmore, 1965 dan lemon at al, 1972 dalam Maryam, 2008) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang di lakukan. Dari satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi disisi lain dapat dikembangkan, misalnya peran baru lansia sebagai relawan, kakek atau nenek, ketua RT, seorang duda atau janda serta karena di tinggal hidup pasangan hidupnya. Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa proses penuaan merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan berusaha mempertahankan prilaku mereka dimasa mudanya. d. Teori kesinambungan Teori ini dianut oleh banyak pakar sosial. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalam hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaranya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Menurut teori penarikan diri dan teori aktivitas proses penuaan merupakan suatu pergerakan dan proses searah, akan tetapi pada teori kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah, bergantung dari bagaimana penerimaan seorang terhadap status hehidupanya.

46

e. Teori perkembangan Teori ini menakankan pentingnya mempelajari apa yang telah di alami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa dengan demikin perlu di pahami teori Fruid, Buhler, Jung, dan Ericson. Sigmund Fruid meneliti tentang psikologi serta perubahan psikososial pada anak dan balita, (Ericson, 1930 dalam Maryam, 2008) membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu: 1) Lansia yang menerima apa adanya 2) Lansia yang takut mati 3) Lansia yang merasakan hidup penuh arti 4) Lansia yang menyesali diri 5) Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan 6) Lansia yang kehidupanya berhasil 7) Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri 8) Lansia yang perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan f. Teori stratifikasi usia (Wiley, 1971 dalam Maryam, 2008) menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka berdasarkan usia. Dua elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur dan prosesnya. 1) Struktur mencakup hal-hal sebagai berikut : bagaimanakah peran dan harapan menurut penggolongan usia; bagaimanakan penilaian strata

47

oleh strata itu sendiri dan strata lainnya; bagaimanakan terjadi penyebaran peran dan kekuasaan yang tak merata pada masingmasing strata, yang didasarkan pada pengalaman dan kebijakan lansia. 2) Proses mencangkup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah

menyesuaikan kedudukan seseorang dengan paran yang ada; bagaimanakah cara mengatur transisi peran secara berurutan dan terus menerus. 4. Teori spiritual Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. (James Fowler, 1999 dalam Maryam, 2008) mengunakan istilah kepercayaan sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir, menurutnya kepercayaan adalah suatu fenomena timbal-balik, yaitu suatu hubungan aktif antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan, cinta kasih dan harapan.

2.1.3.10 Penyakit yang sering di jumpai pada lansia Dikemukakan adanya empat penyakit yang sangat erat hubunganya dengan proses menua, yakni: 1. Dangguan sirkulasi darah, seperti: Hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal. 2. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes militus, klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.

48

3. Gangguan persendian, seperti: osteoatritis, gout atritis, ataupun penyakit kolagen lainya. 4. Berbagai neoplasma.

2.2

Penelitian Terkait Penelitian Aisya Rezki (2011), dengan judul pengaruh pemberian bunga

rosella untuk menurunkan tekanan darah tinggi di desa Sungkal Kanan Dusun V Deli Serdang. Dalam penelitian menunjukan tekanan darah pada penderita hipertensi sebelum diberikan seduhan bunga rosella 66,7% (8 orang) responden berada pada hipertensi ringan. Sedangkan setelah pemberian seduhan bunga rosella didapatkan 75 % (9 orang) responden tekanan darah menjadi normal, 16.7 (2 orang) normal tinggi dan hanya 8.3% (1 orang) hipertensi ringan. Hasil penelitian bivariat menunjukan ada Perbedaan tekanan darah pre dan post pemberian seduhan bunga rosella menunjukkan signifikansi dengan sistolik: t = 5.5, p = 0.000 dan diastolik: t = 6.6, p = 0.000). Penelitian Setianingsih (2010), dengan judul efektifitas terapi rosella Seduh
untuk menurunkan tekanan darah pada usia lanjut dengan hipertensi di wilayah kerja posyandu lansia kelurahan kramas kecamatan Tembalang Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas terapi Rosella seduh terhadap penurunan tekanan darah pada usia lanjut dengan hipertensi. Penelitian ini menggunakan metode quasi exsperiment one group pre test post test dengan kelompok kontrol, yaitu mengobservasi sebelum dan sesudah perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian, 93,33% responden mengalami penurunan tekanan darah yang diwakili dengan penghitungan MAP pada posisi berbaring dan duduk sedangkan posisi berdiri sebanyak 83,33 %. Kelompok kontrol tidak mengalami penurunan MAP. Nilai signifikansi yang

49

dihasilkan dari uji korelasi pearson test menunjukkan bahwa 0,000 < 0,05 pada ketiga posisi. Sehingga hipotesis Ho ditolak dan Ha diterima.

Penelitian Novi Kurniawati (2011), dengan judul perbedaan penurunan tekanan darah antara penderita hipertensi yang mengkonsumsi dan tidak mengkonsumsi seduhan bunga rosella di Paguyuban lansia RW XVI Kapas Madya Surabaya. Dalam penelitian ini desain penelitiannya analitik eksperimen dengan jenis rancangan randomized Pre Post test control Group Design. Populasi pada penelitian ini sebanyak 40 responden. Besar sampel 36 responden diambil secara simple random sampling. Variabel independen kelopak bunga rosella dan variabel dependen penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi. Data diambil pada bulan Maret 2010 dengan alat ukur tensimeter. Hasil dianalisis dengan uji t sampel bebas didapatkan (0,00) < (0,05) sehingga Ho ditolak yang berarti ada perbedaan penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi yang mengkonsumsi dan tidak mengkonsumsi seduhan bunga rosella. Penelitian Gavrila Pinastika (2009) dengan judul pengaruh pemberian seduhan kelopak kering bunga rosella (hibiscus sadariffa) terhadap tekanan darah penderita pre hipertensi dan hipertensi grade 1 yang di edukasi gaya hidup sehat. Dalam penelitian ini jumlah sample adala 40 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok (19 perlakuan dan 21 kontrol). Kelompok perlakuan di beri edukasi gaya hidup sehat dan seduhan HS dengan dosis 3gr/200ml/hari yang di minum sebelum sarapan, kelompok kontrol di beri edukasi gaya hidup sehat saja. Hasil penelitian bivariat terdapat perbedaan antara tekakan sistole pre dan post test pada kelompok perlakuan (p=0,000), tekanan sistole pada kelompok kontrol (p=0,039) dan tekanan diastole pada kelompok kontrol (p=0,038). Tidak terdapat perbedaan

50

bermakna pada tekanan diastole kelompok perlakuan (p=0,116). Komparasi penurunan tekanan sistole kelompok perlakuan dengan kontrol menunjukan adanya perbedaan bermakna (p=0,003), tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada penerunan tekanan diastole (p=0,872).

2.3

Kerangka Teori Gambar 2.3 Kerangka Tori Penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi : Usia, faktor genetik, jenis kelamin, mengkonsumsi makanan tinggi lemak & kolestrol, obesitas, mengkonsumsi alkohol,tingginya asupan garam, kurang olahraga, stress. Hipetensi Upaya menurunkan tekanan darah Non farmakologis Olahraga secara teratur Penanganan faktor psikologis dan stress Berhenti merokok Tidak Mengkonsumsi Alkohol Diet rendah lemak dan garam Terapi komplementer: terapi herbal (seduhan bunga rosella), terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapi bach flower remedy, dan refleksologi.

Farmakologis Pemberian obat yang bersifat : Diuretik Menekan simpatetik (simpatolitik Vasodilator arteriol yang bekerja langsung Antagonis angiotensin (ACE inhibitor). Penghambat saluran kalsium (blocker calcium antagonis).

Sumber: (Muhummadun, 2010), (Hananta, 2011), (Susilo. Y, 2009), (Muttaqin. A, 2009) & (Shep, 2002 dalam Fikri. A, 2011), (Sustrani, Alam, Hadibroto 2005 dalam Nugroho Y.T., 2010).

51

2.4

Kerangka Konsep

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Variable Independen

Variable Dependen

Pemberian Seduahan bunga Rosella kering (Hibiscus Sabdariffa)

Tekanan darah 1. Sistolik 2. Diastolik

Variabel Confounder Usia Jenis kelamin Ras Stress Medikasi Variasi Diurnal

52

2.5

Hipotesis Ha : Ada pengaruh pemberian seduhan bunga rosella kering (hibiscus sabdariffa) terhadap penurunan tekanan darah lansia penderita hipertensi di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar Provinsi Lampung Tahun 2013 Ho : Tidak ada pengaruh pemberian seduhan bunga rosella kering (hibiscus sabdariffa) terhadap penurunan tekanan darah lansia penderita hipertensi di Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar Provinsi Lampung Tahun 2013.

You might also like