You are on page 1of 2

February 16, 2008

Tadzkirah dan Pelarangan Buku


Insan Budi Maulana
Advokat, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana,
Dosen di UI dan IBII

Undang-Undang Hak Cipta No 6 Tahun 1982 (UUHC) merupakan UUHC yang pertama kali disahkan setelah
Indonesia merdeka. UUHC itu lalu direvisi menjadi UUHC No 7 Tahun 1987 dan direvisi lagi dengan UUHC
No 12 Tahun 1997. Terakhir diubah menjadi UUHC No 19 Tahun 2002.

UUHC memberikan perlindungan terhadap ciptaan atau karya-karya di bidang seni, sastra, dan ilmu
pengetahuan. Karya-karya itu akan mencakup karya tulis, karya lisan, karya pertunjukan, karya siaran, karya
film, karya seni dalam berbagai bentuk, dan karya-karya lainnya.

Konsideran dan pengesahan UUHC itu bertujuan agar berkembang kemampuan intelektual yang mampu
menghasilkan karya-karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan
kemakmuran tidak hanya bagi para penciptanya, tetapi juga masyarakat dan bangsanya. Bukan hanya itu,
UUHC juga memberikan perlindungan hukum kepada pencipta dan atau para pemegang hak ciptanya. Secara
implisit, UUHC memberikan kebebasan berekspresi bagi pencipta untuk menghasilkan karya-karya di bidang
seni, sastra, dan ilmu pengetahuan walau tidak bersifat absolut.

Kebebasan berekspresi diharapkan mampu menghasilkan karya-karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan
sehingga dapat mengharumkan bangsa dan negara yang kerap kali terjegal oleh sikap paranoid pemerintah,
terutama Kejaksaan Agung. Tidak sedikit karya-karya dari hasil kemampuan berpikir bangsa sendiri yang
berupa buku-buku novel dan/atau buku sejarah telah dilarang terbit di Tanah Air oleh Kejaksaan Agung
dengan menggunakan Penetapan Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan
Terhadap Barang-barang Cetakan Yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Penpres No 4/1963).

Larangan Kejaksaan Agung terhadap karya-karya tulis terjadi karena karya itu dianggap dapat mengganggu
ketertiban umum, kesusilaan, norma-norma agama, kepentingan nasional, atau biasa disebut 'sara' (suku,
agama, ras, dan antargolongan) walau instansi itu mungkin belum memahami makna dan melakukan kajian
yang mendalam terhadap karya-karya yang dilarang tersebut. Kerapkali larangan peredaran suatu buku
merupakan promosi gratis sehingga buku itu menjadi terkenal dan laku sehingga bersifat bertolak belakang
dari keinginan pemerintah.

Tindakan pelarangan buku sejarah dan novel pada masa lalu yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan
menggunakan Penpres No 4/1963 sesungguhnya bertentangan dengan UUHC. UU ini secara tegas
menyatakan bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu. Ciptaan itu timbul secara otomatis dari hasil
kemampuan intelektual pencipta yang bersifat khas atau unik, dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undngan yang berlaku (pasal 1 angka 1 jo pasal 2 ayat [1] UUHC).

UUHC juga mengatur bahwa hak cipta dapat dialihkan karena pewarisan, hibah, wasiat, atau perjanjian
tertulis, atau sebab lainnya yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan demikian, jelas hak cipta
merupakan hak kebendaan tidak berwujud yang tidak bisa 'diberedel' serampangan melalui Penpres No
4/1963.

Berbeda dengan sistem hak cipta di negara lain, sistem hak cipta Indonesia selain mengatur pembatasan dan

http://hotinfo.jawabali.com/blbi/kasus-blbi-akan-dimasukkan-ke-program-star-25
larangan terhadap suatu ciptaan, juga mengamanatkan pembentukan Dewan Hak Cipta untuk membantu
pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta pembinaan hak cipta (pasal 48 UUHC).
Dalam pasal 17 secara tegas menyatakan bahwa pemerintah melarang setiap ciptaan yang bertentangan
dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta
ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

Dewan ini yang terdiri dari wakil pemerintah, organisasi, profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki
kompetensi di bidang hak cipta seharusnya mampu memberikan 'pencerahan' agar Kejaksaan Agung memiliki
alasan rasional dan hukum yang kuat sebelum menyatakan karya-karya seni, sastra, atau ilmu pengetahuan
dilarang diumumkan, diperbanyak atau diedarkan. Tidak sekadar menggunakan Penpres No 4 Tahun 1963
untuk melarangnya. Disayangkan hingga kini Dewan Hak Cipta belum lagi terbentuk walau UUHC telah
disahkan lebih dari lima tahun lalu.

Pelarangan Tadkirah
Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menganggap bahwa kitab sucinya adalah Alquran, Hadis, dan Tadzkirah.
Yang terakhir merupakan hasil pemikiran Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan ia dianggap nabi juga oleh JAI.
Dalam kitab itu dikatakan bahwa barang siapa yang tidak mempercayainya sebagai nabi akan dianggap sesat
(Republika online, 7 Januari 2008).

Apabila dianalogikan dan diterapkan sebagai suatu karya tulis dengan pendekatan hak cipta maka karya MGA
seharusnya juga dilarang diedarkan dan atau dipublikasikan di Tanah Air karena karya tulis itu merupakan
penistaan terhadap umat Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan menimbulkan akibat
sebagaimana diatur dalam pasal 17 UUHC. Untuk mengisi kekosongan Dewan Hak Cipta maka tidak keliru
apabila Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimintakan pandangan dan menelaah karya tulis Mirza Ghulam
Ahmad itu.

Jika memang benar MUI setelah menelaahnya dengan saksama dan cermat berkesimpulan bahwa kitab itu
bersesuaian dengan ketentuan yang disebut dalam pasal 17 UUHC maka seharusnya Kejaksaan Agung tidak
perlu bimbang untuk melarang peredaran, perbanyakan, dan pengumuman Tadzkirah tersebut. Dengan adanya
pelarangan kitab itu, selayaknya pula Kejaksaan Agung tidak ragu untuk melarang penistaan agama Islam
yang dianut oleh JAI.

Tentu dibutuhkan kesabaran yang tinggi bagi umat Islam yang tidak menyetujui keberadaan aliran MGA dan
diharapkan MUI dan Forum Umat Islam (FUI) yang selama ini gencar melakukan penolakan keberadaan
aliran MGA tidak terprovokasi melakukan tindakan anarkis dan tidak terjadi lagi pengalaman buruk JAI di
beberapa tempat pada waktu yang lalu. Bagaimana pun mereka adalah sebangsa dan setanah air.

Pendekatan dan pencerahan kepada para JAI secara manusiawi, dialogis, dan kultural diharapkan akan
menyentuh batinnya agar kembali dari jalan yang sesat. Sikap tegas serta pemahaman yang benar dari
Kejaksaan Agung terhadap kitab Tadzkirah dan JAI tentu sangat diharapkan sehingga masalah JAI dapat
diselesaikan dengan cepat dan benar. Jika pelarangan buku sejarah dan novel-novel dapat dengan mudah
dilakukan oleh Kejaksaan Agung, selayaknya persoalan Tadzkirah dan JAI juga dapat dilakukan dalam waktu
yang tidak lama.

http://hotinfo.jawabali.com/blbi/kasus-blbi-akan-dimasukkan-ke-program-star-25

You might also like