You are on page 1of 3

(Sebuah Cerita Belum Berjudul) Dikemas 16/06/2004 oleh Editor Segera setelah bercinta dengan suamiku aku selalu

mandi. Membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Membilas tubuhk u dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Berlama-lama di bawah kucuran shower, hi ngga aku yakin bahwa tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, telah benarbenar bersih. Saat air yang mengalir menuju lubang pembuangan air di sudut kamar mandi sudah tidak lagi berwarna hitam oleh karena kotoran yang tadinya lekat pa da tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, melainkan telah berwarna benin g, bersih dari kekotoranku. Seumur hidupku aku hanya bercinta dengan suamiku saja, dan seumur hidupku aku se lalu mandi segera setelah bercinta dengannya. Aku hanya tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku. Membuat nafasku se sak mencium baunya yang busuk menyengat, membuat perutku mual melihat noda-noda hitam menjijikkan yang menempel di tubuh, dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Segera setelah mandiku selesai, kurendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tad i kupakai. Aku juga tidak tahan dengan kotoran yang melekat di sprei, sarung ban tal, dan bajuku. Seperti halnya aku tidak tahan kotoran yang sama yang melekat d i tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Segera setelah bercinta dengan suamiku, aku mandi, lalu merendam sprei, sarung b antal, dan baju yang tadi kupakai sebelum bercinta dengannya. Tengah malam sekal ipun. Suamiku berkali-kali bilang bahwa aku butuh menemui psikiater. Aku menolaknya, b erkali-kali juga, bahwa aku bukan orang gila. Aku adalah orang yang tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku, sp rei, sarung bantal, dan bajuku. Itu tidak berarti gila, bukan? *** Aku sedang membilas tubuhku. Sebentar lagi aku selesai. Sejak dua bulan terakhir lalu suamiku baru menyentuhku lagi kali ini. Itu pun ka rena aku yang menggodanya. Dia selalu saja merasa bersalah setiap kali kami sele sai bercinta, melihatku segera berlari menuju ke kamar mandi, mendekam beberapa lama di sana. Apalagi bila dia tahu aku belum bisa mencapai puncakku. Kadang dia tidak bisa dibohongi. Saat aku mengatakan sudah, padahal aku belum mendapatinya . Lebih seringnya dia terkena tipuanku. Yang terakhir, sebelum hari ini, dua bul an yang lalu. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, suamiku menyentuhku, mendap ati kebutuhannya, dan sangat merasa bersalah karenanya. Dua bulan yang lalu tera khir kali, sebelum hari ini, aku sengaja ingin suamiku menyentuhku, sengaja memb erikan kebutuhannya, membohonginya, dan kemudian sesak dan mual oleh kotoran yan g melekat di tubuhku, rambutku sampai ujung kuku kakiku, spreiku, sarung bantalk u, dan bajuku. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, selesai aku mandi kulihat suamiku tercenung di pinggir tempat tidur, meratapi apa yang telah terjadi. Setiap kali aku seperti mengalami deja vu, tapi sebenarnyalah sebuah kenyataan y ang memang selalu saja berulang lagi. Aku hampir selesai. Saat ini pun aku seperti mengalami deja vu. Saat ini pun seb

enarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi. Aku sudah ham pir selesai. Sebentar lagi aku selesai. Lalu mendapati suamiku. Dia suamiku, aku menyayanginya dengan kesungguhan hatiku. Tentu saja, dia suamik u. Aku mengerti kebutuhannya. Tentu saja dia suamiku, aku sangat memahaminya. Ak u akan lebih merasa sakit bila dia sampai melakukannya dengan orang lain. Mencam pakkan komitmen kami berdua, bahwa seks adalah dan hanyalah karena cinta. Tapi t idak akan mungkin, karena aku yakin tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pik irnya. Untuk memikirkannya pun, sungguh, aku berani bersumpah, tidak akan mungki n. Sebentar lagi aku selesai. Aku sudah membilas tubuhku. Dari rambut sampai ujung kuku kakiku. *** "Berkali-kali ibu kan sudah bilang, jaga tubuhmu, tangan laki-laki itu kotor! Ko tor itu ya kotor, sekali kotor tetap kotor! Kotor itu menjijikkan! Berulang kali ibu bilang, jauhi kekotoran agar kamu tidak ikut menjadi kotor, agar kamu tetap suci, bersih! Dasar gadis bodoh, sia-sia ibu mendidikmu selama ini! Sekarang li hat dirimu, lihat! Tubuhmu sudah kotor, tubuhmu sudah ternoda, bau! Demi Tuhan, kamu sudah menjadi sundal! Segera kamu minta ampun pada Tuhan, siapa tahu Tuhan masih mau mengampuni kebodohanmu ini! Cepat, segera mandi, yang bersih! Gosok se luruh tubuhmu, biar luruh semua kotoranmu!" Ibu memergoki Ridwan, pacarku kala itu, Ketua OSIS di SMP-ku, mencium pipiku seb elum dia pulang setelah mengantarku sampai di pintu pagar. *** Aku segera lari ke kamar mandi. Aku tahu Susi mengejarku. Tidak kupedulikan teri akannya. Tidak kupedulikan juga tanya keheranan teman-temanku yang lain. Aku sud ah tidak tahan lagi, perutku mual, nafasku sesak. Aku sudah tidak tahan lagi. Ak u sangat ingin mandi. "Kenapa, Ya?" tanya Susi keheranan. Dia melihatku terengah-engah memegangi pingg iran bak mandi. "Masuk angin, Sus...," jawabku. "O... Mau selesein nontonnya dulu, apa kuantar pulang saja?" "Aku pulang saja ya, Sus?" "Oke. Ayuk. Minum obat, lalu istirahat. Paling besok sembuh." Setelah ujian Ebtanas SMA, kami sekelas berkumpul di rumah Susi mengadakan perpi sahan. Aku menonton laki-laki bersetubuh dengan perempuan untuk yang pertama kal inya. *** Aku mendengar ibu melenguh lirih dari depan pintu kamarnya malam itu. Aku bisa p astikan ibu hanya sendirian. Ibu tidak akan pernah lagi membiarkan laki-laki men yentuh tubuhnya, setelah bapakku melakukannya padanya dengan paksa. Ibu melenguh sendirian. ... Aku mendapati orgasme kali pertamaku malam itu.

*** Aku sudah selesai menggosok ujung kuku kakiku. Aku telah menemukan tubuhku kemba li bersih. Air yang mengalir ke lubang pembuangan di sudut kamar mandi sudah ber warna bening. Aku sudah bersih. Aku sudah hampir selesai. Suamiku pasti sudah te rlalu lama menungguku keluar dari kamar mandi dengan cemas. Aku sudah hampir sel esai. Aku sudah bersih. Aku akan bilang tidak apa-apa, sudah dua bulan dia tidak mendapatkan kebutuhannya. Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih. Sebentar lagi aku selesai. ... Aku kembali mendengar ibu melenguh lirih. ... Aku orgasme. ... Aku sudah selesai. Sukoharjo, 26 April 2004

You might also like