You are on page 1of 17

lesi jaringan lunak rongga mulut

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 PERAWATAN LESI JARINGAN LUNAK RONGGA MULUT BLOK KURATIF DAN REHABILITATIF III Disusun oleh: Kelompok Tutorial V 1. Simon Yonanda Putra (101610101005) 2. Riangga Rosepetredeni (101610101017) 3. Karina Ardiny (101610101022) 4. Dewi Majidah (101610101030) 5. Cut Gusti Ayu (101610101036) 6. Wardatul Jannah (101610101037) 7. Ardian Pradana (101610101064) 8. Ade Ivin D. (101610101065) 9. Vivi Felicia (101610101069) 10. Vitta Permata Sarie (101610101075) 11. Nur Lely Yaumil Q. (101610101076) 12. Fatkhur Rizki (101610101088)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2013


KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Perawatan Lesi Jaringan Lunak Rongga Mulut Skenario 1 Blok Perawatan Kuratif dan Rehabilitatif Kedokteran Gigi III. Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun menyampaikan terima kasih kepada: 1. drg. Depi Praharani, M.Kes. selaku dosen pembimbing tutorial yang telah berkenan membimbing penyusun, sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Penyusun juga menerima kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan laporan ini. Dan penyusun berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat. Jember, 26 Februari 2013

Penyusun

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................i KATA PENGANTAR .........................................................................................ii DAFTAR ISI ........................................................................................................iii STEP 1 ...................................................................................................................1 STEP 2 ...................................................................................................................1 STEP 3 ...................................................................................................................1 STEP 4 ...................................................................................................................4 STEP 5 ...................................................................................................................4 STEP 6 ...................................................................................................................4 STEP 7 ...................................................................................................................4 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................18

1.

2.

3.

4.

STEP 1 Burning mouth sensation (BMS): Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3 anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar, gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris. Kanker nasofaring: Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat mengaktifkan virus tersebut). Apthous stomatitis: Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis. Terapi radiasi: Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan menyebabkan degenerasi asinar, fibrosis, dan atropi.

STEP 2 1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ? 2. Apa efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ? 3. Apa terapi yang sesuai pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?

1. a. b. c. d. 2. a. b.

1) 2) 3) 4) c.

d.

e.

f.

3. a. 1) 2) 3) 4)

STEP 3 Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ? Evaluasi jaringan periodonsium dan gigi yang mejadi karies infeksi serta merawat karies bila ada. Kontrol plak. Hidup sehat, contoh: olah raga dan makan makanan yang begizi. Foto panoramik untuk mengetahui kelainan yang ada. Efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ? Mukosa tampak eritomathous dan terdapat perbahan histologi dan fisiologi. Perubahan pada kelenjar ludah rongga mulut karena xerostomia yang disebkan karena sel asinar yang terganggu karena radiasi, jadi volume saliva turun, protein saliva naik, PH rendah dan bakteri meningkat. Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva adalah: Dosis <10 gray dapat menyebabkan penurunan volume saliva Dosis 10-15 gray dapat menyebabkan hiposalivasi Dosis 15-40 gray dapat menyebabkan reduksi sliva semakin nyata dan reversibel Dosis > 40 gray dapat menyebabkan kerusakan sel kelenjar saliva memperparah kelenjar salivasi Osteoradionekrosis adalah nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh radiasi. Gejalanya adalah rasa sakit yang berdenyut-denyut, tulang yang nekrosis dengan adanya fistula orokutaneus dan sequester, fraktur patologis, supurasi, dan halitosis karena adanya jaringan yang nekrosis. Mukositis yaitu rasa nyeri pada saat menelan mukosa tampak berwarna putih yang terpinya yaitu denga makan makanan yang bernutrisi, pemberian obat kumur, obat sedatif dan vitamin C serta kontrol OH, pakai anastesi lokal serta antiseptik. Gigi dapat terjadi mengalami hiperemia sensitif terhadap termis dan dapat terjadi gangguan erupsi gigi yang sedang berkembang tumbuh. Karies radiasi juga dapat terjadi untuk melindungi terjadinya karies radiasi tersebut menggunakan pasta gigi yang berflour atau flour topikal. Kasus TMJ dapat dilatih membuka dan menutup mulut. Efek samping dari terapi radiasi dapat diminimalkan dengan penggunaan radioprotektor amyfostine. Dalam penelitian, amyfostine dapat melindungi mice, rat, guinea pig, anjing dan monyet dari dosis radiasi yang mematikan. Jaringan normal yang dapat dilindungi oleh amyfostine yaitu kelenjar saliva, sumsum tulang, ginjal, kulit, mukosa oral, sistem imun, testis, dan esofagus. Terapi pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ? Terapi BMS: Dapat disesuaikan pada penyebabnya yaitu ada 4: Sistemik Lokal Idiopatik Psikologi Contoh yang dapat dilakukan yaitu:

1) 2) 3) 4) 5) b. 1. 2. 3.

Meningkatkan asupan nutrisi pada pasien yang defisiensi nutrisi Mengotrol penyakit sistemik Mengganti resep obat yang menyebabkan BMS Xerostomia dapat memakai obat kumur Depresi menggunakan obat anti depresan Terapi apthous stomatitis Menggunakan obat kortikosteroid topikal, analgesik dan anti mikroba. Menggunakan clorheksidin Terapi dapat difokuskan pada simtom, kausatif atau suportif.

STEP 4 Mapping: STEP 5 Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan pasien yang sedang melakukan terapi radiasi, pra-terapi, selama terapi, dan pasca radiasi yang berhubungan dengan kedokteran gigi. STEP 6 Mandiri STEP 7 Penatalaksanaan Efek Samping Pada Rongga Mulut Dari Radioterapi Secara Umum: 1. Pra Radioterapi Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital serta yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan. Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/ penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari. Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet yang tidak kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumurkumur dengan khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting, 2009). 2. Selama Radioterapi Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan kepala, dokter gigi melakukan perawatanperawatan terhadap efek samping di rongga mulut: a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti.

b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang mengandung mineral besi. c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B. d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan restorative gigi. e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular joint, sehingga otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya. f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009). 3. Pasca Radioterapi Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat, melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien (Ginting, 2009). Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS) Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk menerangkan adanya keluhan rasa terbakar pada lidah, palatum, atau bibir. Dimasa lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan diestesia oral digunakan untuk menerangkan kondisi ini (Lewis, 1998). Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya suatu abnormalitas. Kadang-kadang pasien menunjukkan daerah yang dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla lingual yang menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998). Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri: Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi hari tetapi akan terasa bila hari telah siang. Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun dan menetap sampai penderita tidur lagi. Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat yang tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan (Lewis, 1998). Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. pengobatan awal meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu kita perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998). Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini dengan defisiensi nutrisi dan diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-kumur (Lewis, 1998). Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup member penjelasan kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada gangguan serius terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg sekali seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan (Lewis, 1998). a.

Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas anxiolytic, antidepresan dan relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas parafungsional. Pada umumnya prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya baik, asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara keseluruhan, pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis, 1998). b. Penatalaksanaan Mukositis Oral Mukositis: Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di mukosa oral yang terjadi pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang berdekatan dengan rongga mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya infeksi lokal dan sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan komplikasi perawatan kanker yang sangat berpengaruh padaa terapi kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan dengan dosis terapi (Vera, 2007).

Gambar 1. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B) lateral lidah yang terjadi pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa di lidah yang menerima radiasi dan kemoterapi. Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung sitotoksik terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan mengenai struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab, pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring, sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003). Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada pasien dengan tumor primer di rongga mulut, orofaring atau nasofaring, pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan, pasien yang menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi radiasi fraksinasi (Lalla, 2008). Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan timbulnya mukositis oral pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau radiasi untuk kanker di regio kepala

dan leher. Faktor-faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik yang terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis jaringan epitel, kebersihan rongga mulut yang terkait dengan mikroba oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005). Penatalaksanaan Mukositis Oral: Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Beberapa upaya penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang dikembangkan. Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis mukositis oral yang disebutkan dalam Panduan Mukositis Oral mencakup: asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi (Lalla, 2005). Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mukositis akibat kemoterapi atau radiologi adalah: 1. Oral care protocol Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan yang bertujuan menjaga kesehatan mulut. Oral care protocol dapat membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi, karena dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan, serta mencegah infeksi. 2. Agen kumur Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis. Secara umum, agen kumur digunakan untuk membilas debris dan membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus memiliki karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak membuat mulut kering. Zat yang dapat berperan sebagai pembersih mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat, campuran normal saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan beberapa jenis herbal tertentu. 3. Pelindung mukosa Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses penyembuhan dan regenerasi sel. 4. Agen antiseptik Yang termasuk dalam agen anti septik antara lain chlorhexidine, hidrogen peroksida, dan povidone iodine. 5. Agen anti inflamasi Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi yang terjadi akibat mukositis. Beberapa agen anti inflamasi diantaranya kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral. 6. Agen topikal Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan proteksi mukosa secara topikal, diantaranya adalah lidocaine, capsaicine, dan morfin topikal. c. Penatalaksanaan Xerostomia

Xerostomia merupakan istilah untuk keadan mulut yang kering, sama seperti xeroptalmia yang digunakan untuk mata yang kering dan xerodemia untuk kulit yang kering (Gayford,1990). Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. Penyakit kelenjar saliva primer meliputi sindrom Sjorgen, kerusakan pasca radiasi, atau anomali pertumbuhan. Penyebab sistemik sekunder dari xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehidrasi, atau terapi obat (Lewis, 1998). Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi (Amerongan, 1991).

Dosis <10 Gray 10-15 Gray 15-40 Gray >40 Gray

Gejala Reduksi tidak tetap sekresi saliva Hiposalia yang jelas dapat ditunjukkan Reduksi masih terus berlangsung, reversibel Kerusakan irreversibel kelenjar

Tabel 1. Hubungan antara dosis dan penyinaran dan sekresi saliva Menurut Gayford (1990) penatalaksanaan xerostomia untuk kasus yang ringan dapat dirawat dengan cara banyak minum. Selain itu larutan kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat digunakan untuk pasien tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat membantu pada keadaan yang parah, larutan ini tidak berbahaya bila tertelan pasien karena dapat membantu mendorong makanan ke esofagus. Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan tergantung keparahan dari xerostomia. Bila xerostomia disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan adalah mengganti obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi xerostomia berat dapat digunakan obat perangsang saliva maupun zat pengganti saliva. Sekresi saliva dapat dirangsang dengan pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang melaui sistem syaraf parasimpatism seperti pilokarpin, karbamilkolin, dan betanekol. Selain itu, salivix yang berbentuk tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium fosfat, lycasin dan sorbitol juga dapat merangsang produksi saliva. Permen karet yang mengandung xylitol juga dapat menginduksi sekresi saliva (Amerongan, 1991). Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi keluhan mulut kering, maka digunakan zat pengganti saliva. Pengganti saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube), spray (Saliva Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki persyaratan antara lain bersifat reologis, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan menghambat demineralisasi, mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan yang baik (Amerongan, 1991). Menurut Greenberg (2003), terapi yang dapat dilakukan untuk perawatan pasien yang mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi 4 kategori, antara lain: 1. Terapi preventive

2.

3.

4.

d.

Terapi preventive ini bukan bertujuan untuk mencegah terjadinya xerostomia, melainkan mencegah terjadinya infeksi lain akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada pasien xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi. Frekuensi aplikasi fluor bisa dimodifikasi, tergantung keparahan disfungsi kelenjar saliva dan perkembangan karies. Selain itu, terapi antijamur juga dapat diberikan karena pada pasien xerostomia resiko infeksi rongga mulut termasuk candidiasis lebih tinggi. (Greenberg, 2003). Terapi simtomatik Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting. Berkumur dengan air dapat membantu melembabkan rongga mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat mengiritasi mukosa kering yang sensitif (Greenberg, 2003). Stimulasi secara lokal Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan terapi xerostomia. Mengunyah akan menstimulasi aliran saliva secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi produk yang mengandung gula dan pemanis karena dapat meningkatkan resiko karies (Greenberg, 2003). Stimulasi secara sistemik Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi saliva. Contohnya antara lain: bromhexidine anetholetrithione pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl (Greenberg, 2003). Penatalaksanaan Karies Radiasi Perubahan pada saliva akibat radioterapi menyebabkan resiko karies gigi pada passien yang mengalamai radioterapi meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan pH saliva, dimana pH saliva yang asam merupakan tempat yang cocok dalam perkembangan bakteri kariogenik, seperti Streptococcus Mutans dan Lactobacillusyang dapat menyebabkan terjadinya demineralisasi gigi secara berlahan (OBrien, 1982). Selain itu pada pasien radioterapi pulpa gigi yang terkena radiasi mengalami hyperemia pulpa sehingga gigi menjadi sangat sensitive terhadap rangsang panas dan dingin ( OBrien, 1982). Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine seperti dengan menghilangkan seluruh plak dan melkukan penyikatan gigi dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1% secara topikal dapat mengurangi resiko terjadinya karies radiasi, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan gel floride 2 kali sehari efektif dalam mencegah karies radiasi. Selain itu, penggunaan obat kumur berfloride atau kombinasi dengan khlorhexidine juga efektif jika dilakukan setiap hari (Kielbassa, 2006).

Tabel 2. Perawatan gigi sebelum selama dan sesudah radioterapi pada pasien kanker kepala dan leher (Kielbassa, 2006). e. Penatalaksanaan Osteoradionekrosis dan Trismus Osteoradionekrosis: Mekanisme kerusakan sel-sel tulang sampai saat ini masih dalam perdebatan, apakah kerusakan sel-sel tulang karena efek langsung radioterapi kanker daerah kepala dan leher terhadap sel-sel tulang atau karena efek sekunder radioterapi yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tulang. Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan osteoklas sehingga terjadi peningkatan aktifitas lisis sel tulang. Radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan dinding arteri yang mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh darah yang kecil. Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan hiposeluler. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan tulang rentan mengalami infeksi dan nekrosis (Vissink et al, 2003). Penatalaksanaan Perawatan Osteoradionekrosis: Pencegahan timbulnya osteoradionekrosis merupakan tindakan yang sangat penting. Pengendalian yang tepat dan bimbingan perawatan bagi periodontium benar-benar sangat diperlukan. Jika pencabutan gigi di bagian rahang yang disinar tak dapat dihindarkan, tindakan ini harus dilakukan oleh ahli bedah mulut (Maxymiw et al, 1989).

Selama pelaksanaan radioterapi kanker daerah kepala dan leher, dokter gigi melakukan perawatan-perawatan terhadap efek samping di rongga mulut yang diantaranya adalah perawatan yang dilakukan untuk osteoradionekrosis. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar tulang dengan didukung terapi antibiotik (Vissink et al, 2003). Trismus: Trismus menurut Mosby Dental Dictionary (2004) adalah kejang pada otot mastikasi yang menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka mulut. Trismus dapat terjadi karena invasi dari kanker tersebut ke otot mastikasi, saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok mandibular), TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk terapi kanker di kepala dan leher sering menyebabkan trismus pada pasien (Stubblefield, 2011). Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran, dimungkinkan terjadinya fibrosis dari otot yang dapat menyebabkan terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala seperti trismus dan nyeri (Dhanrajani, 2002). Kesulitan membuka rahang bawah meningkat kemungkinannnya menyebabkan trismus saat pasien menerima radiasi dengan dosis melebihi 10 Gy tiap fraksi pada daerah otot pterigoid (Stubblefield, 2011). Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksanaan trismus tergantung dari gejala yang timbul dan dirasakan oleh pasien. Biasanya trismus menyebabkan rasa tidak nyaman dan disfungsi dari rahang. Tingkatannya bervariasi dari ringan sampai parah, namun yang sering adalah ringan. Jika pasien mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka terapi yang dilakukan adalah: Terapi dengan panas Terapi ini dilakukan dengan cara meletakkan handuk basah yang panas pada daerah yang terkena selama 15-20 menit setiap jam. Pemberian analgesic Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul saat trismus sekaligus memberikan efek antiinflamasi. Selain itu, dapat digunakan juga analgesic golongan narkotik untuk meredakan nyeri jika tidak mengalami perbaikan. Pemberian muscle relaxant Pemberian muscle relaxant yang dianjurkan adalah diazepam 2.5-5 mg tiga kali sehari. Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, dimana pasien dianjurkan untuk berlatih membuka dan menutup mulut secara periodic untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien dianjurkan untuk latihan membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula kea rah lateral selama 5 menit setiap 3 - 4 jam sehari (Dhanrajani, 2002). Anastesi dapat membantu mengatasi masalah trismus namun hanya untuk waktu yang singkat. Jika diperlukan suatu tindakan perawatan gigi saat terjadi trismus dapat dilakukan cara ini untuk membantu dalam melakukan perawatan. Penggunaan alat untuk merawat trismusyang dianjurkan adalah stacked tongue depressor, corkscrew device, dan alat lain yang di gunakan secara komersial misalnya TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System (TB) dan juga Dynasplint Trismus System (DTS) ( Stubblefield, 2011). Tongue depressor Corkscrew device

1.

2.

3.

a. b.

c. TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System d. Dynasplint Trismus System

DAFTAR PUTAKA Amerongan A.V.N. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2002. Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis and Treatment. Dent Update 2002; 29: 8894. Eilers, J. 2004. Nursing intervention and supportive car for the prevention and treatmen of oral mucositis associated with cancer treatment. Oncology Nursing Forum. 31(4). P 13-28. Gayford, J.J dan Lewis, Michael. 1990. Tinjauan Klinis Ilmu Penyakit Mulut. Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine).Jakarta: EGC. Ginting Rehulina, Ivanameilyn. 2009. Efek Samping Radioterapi Kanker Daerah Kepala dan Leher Pada Rongga Mulut.Dentica Dental Journal. Vol. 14. Jakarta. Hal 82-86. Greenberg, M.S et al. 2003. Burkets Oral Medicine. 10th edition. Hamilton Ontario: Bc Decker Inc. Kielbassa Andrej M, dkk. 2006. Radiation-related damage to dentitition. Germany. Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2005. Oral Mucositis. Dent Clin Nort Am. 49(1):167-84. Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2008. Management Of Oral Mucositis In Patients With Cancer. Dent Clin Nort Am.52(1):61-viii. Leung WK, Dassanayake, Yauu JYY, Jin LJ, Yam WC, Samaranayake LP. 2003. Oral Colonization, Phenotypic, And Genotypic Profiles Of Candida Species In Irradiated, Dentate, Xerostomic Nasopharyngeal Carsinoma Survivors. J Clin Microbial. 38(6): 2219-26. Lewis, MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika. Maxymiw WG, Wood RE. 1989. The Role Of Dentistry In Head And Neck Irradiation. Scientific Journal. 55: 193-8. OBrien, Richard C. 1982. Dental Radiography : An Introduction for Dental Hygienist and Assistants. Philadhelpia: W. Saunders Company. Stubblefield, Michael D. 2011. Radiation Fibrosis Syndrome: Neuromuscular and Musculoskeletal Complications in Cancer Survivors. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Vol. 3. P. 1041-1054. Veraa-Llonch M, Oster G, Ford CM, Lu J, Sonis. 2007. Oral Mucositis And Outcomes Of Allogeneic Hematopoietic Stem-Cell Transplatation In Patients With Hematologic Malignancies. Support Care Cancer.15(5): 491-6. Vissink A, Burlage FR, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP. 2003. Prevention And Treatment Of The Consequences Of Head And Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med. 14(3): P. 187-94.

Vissink A, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP. 2003. Oral Sequelae Of Head And Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med. 14(3). P. 199-212.

Diposkan 23rd March 2013 oleh Dewi Majidah

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)


Ditulis pada April 8, 2011

[Definisi] Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan ulser suatu kelainan yang ditandai dengan berulangnya ulser dan terbatas pada mukosa rongga mulut pasien tanpa adanya tanda-tanda penyakit lainnya (Lynch et al., 1994). Berbagai klasifikasi RAS telah diajukan, tetapi secara klinis kondisi ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe; minor, mayor, dan hipetiformis. Semua tipe ulserasi dihubungkan dengan rasa sakit dan presentasi klinis dari lesinya. Ulser minor memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan paut. Ulser mayor memiliki diameter lebih besar dari 1 cm dan akan membentuk jaringan parut pada penyembuhannya. Ulser herpetiformis dianggap sebagi suatu gangguan klinis yang berbeda, yang bermanifestasi dengan kumpulan ulser kecil yang rekuren pada mukosa mulut (Lynch et al., 1994; Lewis & Lamey , 1998). [Etiologi dan Patogenesis] Etiologi dan patogenesis RAS belum diketahui pasti. Ulser pada RAS bukan oleh karena satu faktor saja (multifaktorial) tetapi dalam lingkungan yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari trauma, stres, hormonal, genetik, merokok, alergi, dan infeksi mikroorganisme atau faktor imunologi (Scully et al., 2003: Kilic, 2004). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat bicara, kebiasaan buruk (brukism), atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang terlalu panas. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya RAS pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung (Houston, 2009). Pada beberapa wanita mengalami rekurensi RAS setiap bulan yang berhubungan dengan perubahan hormon, selalu ditandai dengan peningkatan kadar progesteron saat fase luteal siklus menstruasinya. Pada wanit sekelompok RAS sering terlihat di masa pra menstrual bahkan banyak

mengalami berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor homonal antara lain hormon estrogen dan progesteron (Lewis & Lamey , 1998). Beberapa mikroorganisme di dalam rongga mulut diduga juga berperan penting dalam patogenesis RAS, terutama golongan Streptococcus. Berdasar penelitian terdahulu, kecenderungan lebih besar untuk terjadi reaksi hypersensitivitas tipe lambat terhadap Streptococcus sanguis diantara pasien RAS (Lynch et al., 1994). [Gambaran Klinis] Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput kuning keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberap ahri atau bulan. Karateristik ulser yang sakit terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring (Banuarea, 2009). Minor Recurrent Aphthous Stomatitis Sebagian besar pasien (80%) menderita bentuk minor (MiRAS), yang ditandai oleh ulser bulat atau oval, dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang erimatus (Gambar 1). Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasr mulut. Ulserasi bias tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas (Lewis & Lamey , 1998).

Gambar 1. Gambaran klinis minor RAS pada mukosa labial (Scully & Felix, 2005)

Mayor Recurrent Aphthous Stomatitis Stomatitis aptosa mayor yang rekuren (MaRAS), yang diderita oleh kira-kira 10% dari penderita RAS, lebih hebat daripada MiRAS. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin (Gambar 2 dan 3). Tanda pernah adanya MaRAS berupa jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi (Lewis & Lamey , 1998). Lynch

et al. (1994) mengatakan bahwa pasien dengan ulser mayor mengalami lesi yang dalam dengan diameter 1-5 cm.

Gambar 2. Gambaran klinis mayor RAS pada mukosa palatal lunak (Scully & Felix, 2005)

Gambar 3. Gambaran klinis mayor RAS (Scully & Felix, 2005)

Menurut Langlai & Miller (2000), ulser seringkali multiple, terjadi pada palatum lunak, tsucea tonsil, mukosa bibir, mukosa pipi, lidah dan meluas ke gusi cekat. Biasany lesi asimetri dan unilateral. Gambaran ulsernya yaitu ukuran besar, bagian tengah nekrotik dan cekung, tepinya merah meradang. Ulserasi Herpetiformis Tipe RAS yang terakhir adalah ulserasi herpetiformis (HU). Istilah herpetiformis digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer. Tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi aptosa (Lewis & Lamey , 1998). Gambaran mencolok dari penyakit ini adalah erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala jarum yang membesar, bergabung dan menjadi tidak jelas batasnya (Gambar 4). Ukurannya berkisar 1-2 mm sehingga dapat dibedakan dengan aptosa namun tidak adanya vesikel dan gingivitis bersama sifat kambuhan membedakannya dari herpes primer (Gambar 5) dan infeksi virus lainnya (Langlais & Miller, 2000; Porter & Leao, 2005 ).

Gambar 4. Gambaran klinis RAS herpetiformis pada dasar lidah (Scully & Felix, 2005)

Gambar 5. Gambaran klinis infeksi herpes simplex pada permukaan ventral lidah (Porter & Leao, 2005)

[Diagnosis] Diagnosis RAS berdasarkan pada penampilan klinis ulser serta riwayat penyakitnya. Perhatian harus khusus ditujukan pada umur terjadinya, lokasi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan kelainan pencernaan, haid, stress, serta makanan harus dicatat (Lewis & Lamey , 1998). [Terapi dan Perawatan] Banyak obat-obatan, termasuk vitamin, obat kumur antiseptik, steroid topikal dan imunomodulator sistemik, dianjurkan sebagai pengobatan untuk RAS. Kombinasi vitamin B1 dan vitamin B6 diberikan selama 1 bulan dianjurkan sebagai penatalaksaan tahap awal. Namun, beberapa pasien memberikan respon yang baik terhadap obat kumur khorhexidin serta kortikosteroid topikal (hidrokortison hemisuksinat atau betametason natrium fosfat). Penggunaan terapi anxiolitik atau rujukan untuk hipnoterapi dapat memebantu penderita yang diperkirakan memiliki faktor preipitasi berupa stress (Lewis & Lamey , 1998). Obat-obat sitemik seperti levamisole, inhibitor monoamine oksidase, thalidomide, atau depsone, digunakan untuk penderita yang sering mengalami ulserasi oral yang serius. Tetapi, penggunaan

obat-obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati berdasarkan pertimbangan efektivitas serta efek sampingnya (Lewis & Lamey , 1998).

Ali Taqwim, Mahasiswa Profesi Kedokteran Gigi Universitas Jember

You might also like