You are on page 1of 30

i

MAKALAH PERBANDINGAN SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DENGAN KUHP DAN RUU KUHP INDONESIA DALAM HAL PIDANA DAN PEMIDANAAN

DOSEN PENGASUH : INDANG SULASTRI, S.H., LL.M Oleh:

NAMA NIM

: ERIK SOSANTO : EAA 110 039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM 2013

LEMBAR PENGESAHAAN

DISUSUN OLEH :

NAMA

NIM

TTD

ERIK SOSANTO

EAA 110 039

............

ii

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan Yang Maha Esa karena atas izinnyalah penulis masih diberikan kesempatan atas selesainya penyusunan makalah ini sebagai tambahan ilmu, tugas dan pedoman yang berjudul Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan. Dalam penyusunan makalah ini saya mengumpulkan dari berbagai sumber buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan yang memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali kekurangan-kekurangan baik dalam penulisan, pemakaian kata, redaksional kalimat dan bahkan dalam penggunaan aturan-aturan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, hal mana ini disebabkan terbatasanya kemampuan dan pengetahuan penulis miliki, Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan penulisan makalah lebih lanjut. Akhir kata penulis berharap semoga penyusunan dan penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

iii

iii

Palangka Raya, 7 Januari 2014 Penulis,

ERIK SOSANTO EAA 110 039

iv

iv

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL............................................................................................. HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... KATA PENGANTAR .......................................................................................... DAFTAR ISI ......................................................................................................... i ii iii v

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 1.4. Metode Penulisan ......................................................................................... 1.5. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 1.6. Sistematika penulisan ................................................................................... BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 2.2 Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon .................... Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ........................ 8 6 1 3 3 4 4 4

BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 3.2. Saran ............................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA 23 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembaharuan hukum pidana nasional (criminal law reform) yang sudah dimulai sejak tahun 1963 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan suatu KUHP yang tambal sulam (baik dengan pendekatan evolusioner, global maupun kompromi antara keduanya), melainkan diharapkan terbentuknya KUHP nasional yang berkepribadian Indonesia yang sangat menghormati nilai-nilai agamis dan adat, bersifat modern dan sesuai pula dengan nilai-nilai, standard dan asas serta kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Dalam perkembangannya, pemikiran tentang latar belakang dan proses pembaharuan KUHP tidak hanya didasari keinginan untuk menggantikan

karakteristik kolonial dari KUHP yang merupakan copy dari KUHP Belanda 1886, namun dilandasi pula dengan semangat demokratisasi hukum dalam arti luas yang ingin mempertimbangkan baik aspirasi-aspirasi infrastruktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi internasional. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa, pengaruh kolonial dalam hukum pidana terjadi secara sistematis melalui asas konkordansi, doktrin, text-book dan jurisprudensi pengadilan Belanda. Sepanjang berkaitan dengan aspirasi internasional, dalam hal ini bisa berbentuk standard, asas maupun nilai-nilai dan norma, baik yang masih bersifat soft law pada tahap-tahap enunctiative, declarative and prescriptive maupun dalam bentuk hard law pada tahap-tahap enforcement and criminalization.

Usaha pembaharuan KUHP, di samping ditujukan terhadap pembaharuan dan peninjauan kembali terhadap 3 (tiga) permasalahan utama dalam hukum pidana, yaitu perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act), perumusan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan perumusan sanksi baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment), juga berusaha secara maksimal memberikan landasan filosofis terhadap hakikat KUHP, sehingga lebih bermakna dari sisi nilai-nilai kemanusiaan (humanitarian values) baik yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana (offender) maupun korban (victim). Salah satu substansi muatan dalam Usaha pembaharuan KUHP juga banyak mengakomodir dari Sistem hukum anglo-saxon yaitu sutau sistem hukum yang di dasarkan pada hukum yang tidak tertulis dan yurisprudensi, yakni keputusankeputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim dikemudian. Berdasarkan uraian singakt diatas tadi, maka penulis mencoba untuk sedikit menguraikan beberapa substansi muatan dalam pembaharuan KUHP yang mengakomodir dari Sistem hukum anglo-saxon, Dengan judul PERBANDINGAN SISTEM HUKUM ANGLO SAXON DENGAN KUHP DAN RUU KUHP INDONESIA DALAM HAL PIDANA DAN PEMIDANAAN.

1.2 Perumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan isu hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini, maka perumusan masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon ?. 2) Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ?. Terhadap dua rumusan masalah tersebut, penulis melakukan pembatasan dengan mengacu pada perspektif kajian Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan. 1.3 Tujuan Penulisan Hakekat kegiatan penulisan adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan, karena manusia pada dasarnya selalu ingin tahu sebab dari suatu rentetan akibat. Demikian pula halnya dengan penulisan karya bidang tulis hukum, berupa makalah, sesungguhnya tidak lepas dari adanya suatu tujuan yang ingin dicapai yaitu sebagi berikut : 1) Mengetahui dan memahami Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon 2) Mengetahui dan memahami Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan.

1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut : 1) Sebagai media untuk menambah wawasan. 2) Bahan referensi aktual . 3) Bahan bacaan dan pengetahuan 1.5 Metode Penulisan Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku referensi yang berhubungan dengan Hukum Pidana dan Perbandingan Hukum Pidana dalam pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang perspektif kajian Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematiaka penulisan makalah ini mempunyai makna deskripsi secara garis besar akan hal-hal yang mendasari isu hukum berupa rumusan masalah untuk dilakukan analisis untuk selajutnya dikembangkan dan diberikan pemahaman bersifat komprehensif sebagimana tersarikan dalam 3 (BAB) yaitu sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bermaterikan latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN Merupakan uraian dalam bentuk analisis hukum secara normatif yang ditujukan untuk memberikan penjelsan secara komprehensif terhadap 2(hal) permasalahan yang dirumuskan pada bab I yaitu : 1) Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon ?. 2) Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan KUHP dan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan ?. BAB III PENUTUP Pada BAB penutup ini penulis mencoba mensarikan hal-hal yang telah dideskripsikan pada BAB I-BAB II didepan, dalam bentuk suatu kesimpulan dan dilengkapi saran-saran sebagai masukan positif bagi semua pihak.

BAB II PEMBAHASAN 2.1.Negara-negara Yang Menganut Sistem Hukum Anglo Saxon Sistem hukum anglo-saxon adalah sutau sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yakni berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. sistem hukum ini diterapakan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (dengan nama KUHP : Criminal Code Of Canada) kecuali provinsi quebec) Philipina (dengan nama KUHP : Revised Penal Code), Malasiya (dengan nama KUHP : Penal Code Of Malaysia) dan Amerika Serikat (dengan nama KUHP : United America Criminal Code / U.S Code) walaupun negara bagian louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon. Selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga menerapkan Sitem Hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan (dengan nama KUHP : Islamic Republic of Pakistan Penal Code), India (dengan nama KUHP : Indian Penal Code), dan Nigeria (dengan nama KUHP : Nigerian Criminal Code) yangh menerapkan sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya penerapanya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.

Di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar dari pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena mampu mewakili rasa keadilan dari masyarakat sekalipun bench dan bar merupakan pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris ke masayarakat industri. Dengan demikian di inggris pada masa revolusi lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang berwibawa di negara-negara common law hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan semula di tangani oleh the court of chancery, the court of chancery ini digunakan oleh raja untuk menhadapai kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian menghasilakan perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lain pihak. secara historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu pelanggaran hukum. Di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum publik dan hukum privat.

2.2.Perbandingan Sistem Hukum Anglo Saxon dengan RUU KUHP Indonesia dalam Hal Pidana dan Pemidanaan Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di Indonesia juga berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi penduduknya yang mayoritas muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut pula dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam. Sifat keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan telah dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya. Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa Kontinental

sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai civil law system. Ada beberapa catatan penting tenatng Perbandingan KUHP dengan RUU KUHP indonesia yang sekarang, yaitu sebagai berikut : 1. KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan, akan tetapi didalam RUU KUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal 54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. 2. RUU KUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat (1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2)

10

mengatur mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan sebagai berikut : a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. l. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 3. Pada pasal 56 RUU KUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak 56, sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari

11

pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai perubahan dan penyesuaian pidana , namun RUU KUHP mengatur akan hal itu yang terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana. Dengan memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk adanya suatu remisi. 4. Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RUU KUHP mengatur tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) -(4). Pasal ini dicantumkan bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa, yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RUU KUHP juga mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif. 5. Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi diatur didalam pasal 61 dan 62 RUU KUHP yang mengatur tentang pelaksanaan putusan (penintensier). RUU KUHP pada pasal 63 ayat (1)-(3) mengatur tentang

12

ketentuan waktu permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP. 6. Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1) RUU KUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Dan pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan menentukan berat ringannya pidana. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RUU KUHP. Ketentuan ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan / pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang tersendiri. Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 10 huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-hak tertentu dan

pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RUU KUHP, yaitu : pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. 7. Pasal 67 ayat (2)-(5) RUU KUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai

13

pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan bagi Tentara Nasional Indonesia. 8. KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RUU KUHP menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) (3) yaitu: mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan; terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP akan tetapi dijelaskan dalam RUU KUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan syarat-syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan

14

atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 9. Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di dalam KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang mana ada pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan minimum khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratusjuta rupiah); dan f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81 RUU KUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda, kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RUU KUHP, pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.

15

10. Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal ini terdapat di dalam RUU KUHP pasal 86 ayat (1)-(7) , hal ini terkait dengan perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1)-(7) RUU KUHP. Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di dalam pasal 87 RUU KUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati, sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RUU KUHP ada hal-hal yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. 11. Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RUU KUHP mengatur mengenai penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana

16

selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. 12. Pada pasal 91 RUU KUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait dengan pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal 35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RUU KUHP, ini merupakan hal baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak atas Korporasi. Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan, jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan

17

pengumuman putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RUU KUHP. 13. Pada pasal 100 RUU KUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti kepada masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP. KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut sistem Double Track System, berbeda dengan RUU KUHP yang menganut sistem ini. Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada pasal 101-112 RUU KUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya. Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RUU KUHP mengatur bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 115 RUU KUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan. Pasal 116 mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan; atau pidana teguran keras; b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana pembinaan di luar lembaga(diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana kerja

18

sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal 120); ataupidana pengawasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ; c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124): pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ; pidana penjara (diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10 tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal 127). Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan; b. pembayaran ganti kerugian; atau c. pemenuhan kewajiban adat. 14. Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan dan memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang, perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136 RUU KUHP. Pasal 132-133 RUU KUHP mengatur tentang hal yang memperingan ditetapkannya pidana dan hal-hal pidana yang yang meringankan dapat pidana dengan yang

maksimum

dijatuhkan. Faktor

memperingan pidana meliputi:

19

a. percobaan melakukan tindak pidana; b. pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelahmelakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; g.tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau g. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana dan terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut : a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;

20

b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama-sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; h. pengulangan tindak pidana; atau i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. . Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur tentang faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama dan ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada ayat (1). Sebagai berikut : 1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).

21

2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Terhadap RUU KUHP Indonesia ada beberapa sistem hukum pidana indonesia yang dipengaruhi oleh sistem hukum anglo saxon, yaitu : 1) Pasal 32 ayat (1) menegaskan berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) atau asas mens rea sebagai syarat pemidanaan; Pada ayat (2) pasal yang sama diatur asas vicarious liability, sedangkan ayat (3) mengatur asas strict liability apabila ditentukan oleh undang-undang; (Penjelasan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3) terbalik); Pemisahan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf penting karena alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan. Dengan demikian terdapat penegasan berlakunya pendekatan dualistis, sebagaimana yang terjadi pada system Anglo Saxon yang membedakan actus reusdan mens rea. Catatan Tentang RUU KUHP Oleh : Prof. Dr. Muladi, Sh. (Ketua Panitia Penyusunan RUU KUHP). 2) Dimungkinkan pula untuk mengubah pidana (atau tindakan) dengan melihat pada perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan [Pasal 53 ayat (1)], yang tidak boleh menjadi lebih berat dan memerlukan persetujuan narapidana. Perubahan ini dilakukan dengan putusan pengadilan dan mengingatkan kita pada model indeterminate sentence di Amerika serikat (pendekatan kriminologi).

22

3) Lembaga pembebasan bersyarat bagi narapidana (Pasal 67) telah diberi baju baru, sehingga lebih merupakan lembaga parole di Amerika Serikat. Narapidana sekarang menjadi klien pemasyarakatan Dengan Harapan Bahwa Falsafah/Konsepsi Pemasyarakatan Dapat Lebih Baik Dilaksanakan. Catatan Tentang RUU KUHP Oleh : Prof. Dr. Mardjono Reksodiputro, SH. MH.

23

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan Kita memahami bahwa tujuan pembaharuan KUHP nasional adalah untuk mewujudkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, selain untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di samping itu, tujuan pembaruan KUHP adalah untuk menyesuaikan materi hukum pidana nasional dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Dan sekarang, perkembangan kehidupan kita bernegara, sedang bergerak tertatih-tatih menuju demokrasi. Pembaruan hukum pidana dengan demikian harus diletakkan dalam kerangka perkembangan tersebut, yaitu memperkuat landasan bagi kehidupan bernegara secara demokratis. 3.2 Saran a. RUU KUHP ini harus ini harus diletakkan ke dalam bagian proyek besar Reformasi saat ini. Seharusnya inilah yang menjadi politik hukum pidana (criminal law politics) RUU ini. Revisi dalam konteks criminal law politics inilah yang lebih diperlukan, ketimbang revisi pada persoalan semantik dan tetek bengek lainnya. Sebab politik hukum pidana inilah yang menentukan jaminan terhadap civil liberties dan fundamental freedom warga negara.

24

b. Revisi RUU KUHP ini harus ditempatkan pula dalam rangka mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen penekan bagi rezim yang berkuasa. Makanya, penyusunan RUU ini harus sedapat mungkin mendekatkan KUHP yang baru itu pada standar baku hukum pidana modern, yang pada akhirnya membuat kita dapat berdiri sama tegak dan duduk sama rendah di tengah pergaulan antar bangsa. c. Berkaitan dengan poin rekomendasi di atas, maka kriminalisasi yang dirumuskan dalam RUU ini harus menghindari jebakan overcriminalization, dan karena itu kriminalisasi yang mengarah kepada victimless crime dalam RUU ini harus ditinjau kembali. Tetapi semua ini tergantung pada kita semua. Nasib RUU KUHP ini terletak pada itikad dan kemauan kita untuk membawanya kemana : ke arah demokrasi atau tidak?

25

DAFTAR PUSTAKA

http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes. Di Akses 11 Desember 2012 http://freepages.genealogy.rootsweb.ancestry.com/~irishancestors/Law/Codification.h tml . di akses 11 Desember 2012 http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/01/perbandigan-kuhp-indonesia-dengan.html . di akses 11 Desember 2012 http://united-america.org/code_criminal/article_0000.htm. . di akses 11 Desember 2012

You might also like