You are on page 1of 19

BAB III DISKUSI

Dilaporkan sebuah kasus seorang wanita usia 21 tahun dengan keluhan utama tekanan darah tinggi. Pasien ini didiagnosis P1A1 Post PartumSpt.BK (3 Jam) + IUFD + Still Birth+ Post Partum PEB + Anemia +Leukositosis + Hipoalbumin.. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pasien merupakan rujukan BPS dengan P2A0 2 jam post partum PEB. Pasien dirujuk dikarenakan tekanan darah tinggi setelah pasien melahirkan 3 jam SMRS spontan belakang kepala. Bayi perempuan lahir mati dengan berat lahir 1400 gram dan umur kehamilan 36 minggu. Pasien mengaku tekanan darah tinggi sejak umur kehamilan 8 bulan (kurang lebih 1 bulan SMRS). Tekanan darah tinggi pertama kali diketahui ketika pasien memeriksakan kehamilan untuk kedua kalinya di bidan saat umur kehamilan 8 bulan tersebut. Pasien mengaku tidak rutin memeriksakan kehamilan. Pasien ANC di bidan dan puskesmas, tidak pernah diperiksa oleh dokter spesialis kandungan, tidak pernah memeriksakan darah, air kencing ataupun USG sebelumnya. Selama hamil pasien mengaku merasa nyeri kepala sejak umur kehamilan 8 bulan, tidak ada nyeri ulu hati, tidak ada pandangan kabur, mual/muntah berlebihan baik pada awal kehamilan ataupu sebelum melahirkan juga tidak ada. Selama hamil pasien tidak ada gangguan makan, tidak pernah mengkonsumsi jamu-jamuan maupun obat-obatan. Pasien hanya meminum obat darah tinggi setelah mengetahui mengalami tekanan darah tinggi saat umur

13

kehamilan 8 bulan tersebut, tetapi pasien tidak ingat nama obat tekanan darah tersebut. Dari riwayat penyakit dahulu diketahui bahwa pasien juga mengalami tekanan darah tinggi sewaktu kehamilan sebelumnya dan mengalamikeguguran saat umur kehamilan 3 bulan. Saat psien tidak hai pasien mengaku tidak mengalami tekanan darah tinggi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg sewaktu pertama kali datang. Penulis mencoba memeriksa ulang 12 jam setelah pasien dirawat dan penulis mendapatkan hasil yang sama yaitu tekanan darah masih 160/100 mmHg. Dari pemeriksaan penunjang sewaktu pertama kali datang didapatkan kesan yang mendukung diagnosis Preeklampsi Berat (PEB) yaitu protein disptick +2 dan urinalisis potein +1. Sedangkan dari pemeriksaan darah hanya didapatkan hasil anemia dengan Hb :7,1, leukositosis dengan leukosit : 24,6 dan hipoalbumin dengan albumin plasma : 3,1 tanpa disertai kelainan pada pemeriksaan kimia darah lain. Berdasarkan definisi preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu.3 Preeklampsi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah paling sedikit 140/90, proteinuria dengan atau tanpa edema. Edema tidak lagi dimasukkan dalam

14

kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam. Preeklampsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Dari gejala-gejala klinik preeklampsi dapat dibagi menjadi preeklampsi ringan dan preeklampsi berat.5 Preeklampsia berat dibagi menjadi : preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia jika kriteria preeklampsia berat disertai peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba ditambah dengan gejala-gejala subjektif seperti nyeri
epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oliguria.

~ Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah baring. ~ Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali. ~ Oliguria < 400 ml / 24 jam. ~ Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl. ~ Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma, dan pandangan kabur. ~ Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula glisson. ~ Edema paru dan sianosis. ~ Hemolisis mikroangipatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase. ~ Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).

15

~ Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta. ~ Gangguan fungsi hepar karena peningkatan kadar enzim ALT dan AST. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lab serta urinalisis pasien diatas memenuhi kriteria preeklampsia berat (PEB). Dimana pasien memenuhi kriteria preeklampsia dengan tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110 mmHg, dimana pasien ini tekanan darahnya sewaktu datang ke VK bersalin adalah 160/100 mmHg Penyakit hipertensi adalah komplikasi paling umum dari kehamilan yang mempengaruhi 6-8% kehamilan di USA.
11

Penyakit hipertensi dalam kehamilan

juga merupakan penyebab utama mortalitas serta morbiditas maternal dan perinatal di Kanada. Prevalensi hipertensi dalam kehamilan di Los Angeles meningkat dari 40,5 kasus per 1.000 pada tahun 1991 menjadi 54,4 kasus per 1.000 pada tahun 2003.6 Preeklampsia-eklampsia sebagai salah satu penyakit hipertensi dalam kehamilan, adalah penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi pada ibu hamil. Angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5-15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di United Kingdom (UK), preeklampsia/eklampsia terhitung sebanyak 10-15% dari kematian obstetrik langsung. Di Indonesia angka kejadian preeklampsia cukup tinggi, seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ditemukan 400 -500 kasus/4000-5000 persalinan per tahun. 7,8 Menurut NICE Clinical Guideline, 2010 wanita yang memiliki risiko sedang terjadinya preeklampsia adalah yang memiliki salah satu dari kriteria di bawah ini :9

16

1) Primigravida 2) Umur 40 tahun 3) Interval kehamilan 10 tahun 4) BMI saat kunjungan pertama 35 kg/m2 5) Riwayat keluarga preeklampsia 6) Multiple pregnancies Sedangkan wanita yang memiliki risiko tinggi terjadinya preeclampsia adalah yang memiliki salah satu dari kriteria di bawah ini:9 1) Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya 2) Penyakit ginjal kronik 3) Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid 4) Diabetes Tipe 1 atau Tipe 2 5) Hipertensi kronik Selain itu berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tentang faktor resiko preeklampsia didapatkan beberapa faktor resiko. Penelitian yang dilakukan oleh Rozanna (2009) menunjukkan bahwa ibu yangberusia 35 tahun merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 2.75. Rozanna juga menunjukkan bahwa ibu yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yang tidak teratur merupakan faktor risiko terhadap preeklampsia dengan nilai OR 2.66.10 Penelitian yang dilakukan oleh Merviell (2008) menunjukkan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeclampsia dengan nilai OR 2.67. Merviel (2008) , dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR = 2,50.11

17

Penelitian yang berbeda juga dilakukan olehBodnar (2005) bahwa ibu hamil yang memiliki IMT >30 memiliki risiko tiga kali lebih besar (OR =2.9 [CI 95%:1.6, 5.3]) dibandingkan mereka yang memiliki IMT normal. Wanita yang memiliki IMT 17 dan memiliki 57% penurunan terhadap risiko kejadian preeklampsia dan wanita yang memiliki IMT 19 dihubungkan dengan 33% penurunan terhadap risiko kejadian preeklampsia.12 Dari teori di atas pasien memilki faktor reisko tinggi untuk terjadinya preeklampsi dikarenakan pada kehamilan sebelumnya pasien juga mengalami tekanan darah tinggi. Pasien memeriksakan dirinya ke bidan 2 hari SMRS karena merasa janinnya tidak bergerak. Setelah diperiksa bidan, denyut jantung janin sudah tidak didapatkan lagi, dan diberitahu kalau pasien sudah keguguran. Pasien kemudian disarankan agar bayi dilahirkan saja dan akhirnya pasien melahirkan 3 jam SMRS dengan spontan belakang kepala. Bayi perempuan berat 1400 g tanpa kelainan bawaan. WHO dan ACOG (American College of Obstetrician and Gynecologists) mendefinisikan IUFD sebagai kematian janin di dalam uterus yang terjadi pada usia kehamilan 22 minggu atau lebih dengan berat janin 500 gram atau lebih. IUFD terjadi pada 1% kehamilan secara internasional. Frekuensi IUFD meningkat pada usia ibu saat hamil diatas 35 tahun karena risiko masalah kehamilan pada ibu dan risiko kelainan genetik janin meningkat pada usia ini. Pada 50% kasus penyebab IUFD tidak diketahui. Penyebabnya dapat berasal dari ibu, janin, maupun plasenta.13

18

Penyebab dari ibu :13 Kehamilan post matur (>42 minggu) Diabetes (tidak terkontrol) Systemic lupus erythematosus Infeksi Hipertensi Preeklampsia/Eklampsia Hemoglobinopathy Advanced maternal age Rh disease Uterine rupture Antiphospholipid syndrome Acute, Severe maternal hypotension Maternal death

Penyebab dari janin :13 Gemeli/kehamilan ganda Intrauterine growth restriction Abnormalitas congenital/abnormalitas genetik Infeksi (misalnya parvovirus B19, CMV, listeria)

Penyebab dari plasenta :7 Kelainan pada tali pusat (cord accident) Lepasnya plasenta Premature rupture of membranes Vasa previa / plasenta previa
19

Berdasarkan teori di atas dapat diduga bahwa penyebab meninggalnya janin yang dikandung pasien ada dua faktor yang dapat terlihat. Dari faktor ibu, pasien menderita preeklampsi berat, dan diduga preeklampsi ini tidak terdeteksi karena pasien hanya memeriksakan kehamilannya 1 kali sebelum melahirkan. Selain itu dari berat janin yang dikandung selama 36 minggu tersebut hanya 1400 gr dan terbukti terjadi IUGR . Preeklampsi dan eklampsi merupakan komplikasi kehamilan

berkelanjutan, oleh karena itu melalui pemeriksaan kehamilan yang bertujuan untuk mencegah perkembangan preeklampsi atau setidaknya dapat mendeteksi secara dini preeklampsi dapat mengurangi kejadian kesakitan. Masih rendahnya kesadaran ibu-ibu hamil untuk memeriksa kandungannya pada sarana kesehatan, sehingga faktor-faktor yang sesungguhnya dapat dicegah atau komplikasi kehamilan yang dapat diperbaiki serta tidak segera dapat ditangani. Seringkali mereka datang setelah keadaannya buruk. Oleh karena itu (Depkes RI, 2008) menganjurkan agar setiap ibu hamil mendapatkan paling sedikit 4 kali kunjungan selama periode antenatal : 14 a. Satu kali kunjungan pada trimester pertama (usia kehamilan 14 minggu). b. Satu kali kunjungan pada trimester kedua (usia kehamilan 14-28 minggu). c. Dua kali kunjungan pada trimester ketiga (usia kehamilan 28-36 minggu dan sesudah usia kehamilan 36 minggu). Setelah melahirkan pasien tidak mengalami perdarahan berlebihan, tidak ada keluhan mata kabur, nyeri ulu hati kejang, maupun nyeri kepala. Menurut perkataan bidan kepada pasien, kontraksi rahim pasien juga bagus. Tetapi setelah

20

dipantau selama 1jam tekanan darah pasien masih tetap tinggi dan ada keluhan nyeri kepala. Lalu pasien dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin. Selama ini preeclampsia diasumsikan sebagai self-limited disease yang akan menghilang setelah bayi dilahirkan dan plasenta dikeluarkan, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa disfungsi endothelial maternal yang selama ini menjadi dasar pathogenesis terjadinya preeklampsia dapat berlangsung sampai bertahun-tahun setelah episode preeclampsia.15 Walaupun etiologi preeklampsia belum jelas, semua faktor risiko menunjukan kepada patofisologi umum yang mendominasi, yaitu disfungsi endotel .16 Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan permeabilitas vascular meningkat sehingga menyebabkan edema dan

proteinuria.Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan molekul adhesi, seperti Vascular CellAdhesion Molecule-1(VCAM1) dan Intercellular Cell Adhesion Molecule-1 (ICAM-1).14 Wanita hamil dengan preeklampsia mengalami peningkatan sensitivitas terhadap agen pressor, penurunan kadar prostasiklin (vasodilator) dan peningkatan kadar tromboksan (vasokonstriktor) dibandingkan dengan wanita hamil normal.16 Selain itu diduga bahwa respon inflamasi maternal yang berlebihan melawan antigen fetal yang dianggap asing menyebabkan terganggunya invasi trofoblas dengan defek pada remodeling arteri spiral.Hal ini menyebabkan peninggian resistensi vaskular dan penurunan perfusi plasenta.16

21

Preeklampsia ditandai dengan hipoksia plasenta dan / atau iskemia, stres oksidatif yang berlebihan, berkaitan dengan disfungsi endotel. Pelepasan faktor soluble dari plasenta yang iskemik ke dalam plasma ibu memainkan peran sentral dalam disfungsi endotel yang menjadi salah satu patogenesis paling menonjol dari penyakit ini. Data terbaru menunjukkan bahwa disfungsi endotel dalam hasil preeklamsia dari dimediasi antiangiogenik dengan tingkat sirkulasi yang tinggi dari soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) dan soluble endoglin secara bersamaan dengan rendahnya level proangiogenic seperti placental growth factor

22

(PlGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Plasenta memproduksi sFlt1 dalam jumlah besar, tetapi sel mononuclear yang bersirkulasi juga diketahui menjadi sumber tambahan aFlt1 pada preeclampsia.16 Tingkat kadar sFlt1 yang tinggi dalam sirkulasi telah dibuktikan dalam wanita dengan preeklamsia, dan kadar yang tinggi ini dapat timbul lebih dahulu dari preeklamsia itu sendiri dan tingkat keparahan preeclampsia dapat berkorelasi dengan tingginya tingkat sFlt1. Demikian sFlt1 bertindak sebagai inhibitor VEGF dan PIGF dengan cara mengikat molekul-molekul tersebut dalam sirkulasi dan jaringan target , seperti, ginjal. Konsisten dengan pengamatan ini, pemberian sFlt1 pada tikus hamil menghasilkan sindrom yang mirip preeklampsia dengan gejala hipertensi, proteinuria, dan edema.16 Kehamilan normal memicu perubahan dalam fisiologi tubuh ibu untuk mengakomodasi fetus dan plasenta. Pada kehamilan normal didapatkan perubahan sistem imun menjadi tipe respon imunTh-2 yang melindungi bayi dari respon imun Th-1 type yang dapat membahayakan bayi dengan produknya yaitu IL-2, IL12, IFN dan TNF. Inflamasi ini diduga menjadi suatu penyebab antara kejadian preeclampsia dan respon adaptif imun. Inflamasi sistemik pada preeclampsia diduga merupakan akibat dari reaksi sistem imun Th-1.16 Redman et al menyatakan bahwa preeclampsia merupakan hasil dari respon inflamasi vascular maternal yang berlebihan. Sepakat dengan pernyataan ini, beberapa penelitian memberikan hasil ditemukan penanda aktivasi neutrofil pada preeclampsia, sementara penelitian lain memberikan hasil meningkatnya respon inflamasi melalui aktivasi sistem komplemen terutama sitokin TNF dan IL-6. Meskipun begitu, beberapa penelitian gagal untuk menemukan korelasi

23

antara status inflamasi dan gejala klinis preeclampsia. Sepakat dengan pernyataan tersebut, ibu hamil dengan infeksi berat dengan inflamasi yang aktif dan tingkat sitokin yang tinggi tidak selalu menjadi preeclampsia sehingga peran inflamasi dalam menjadi penyebab utama preeclampsia masih lemah.16 Usaha untuk lebih memahami pathogenesis dari preeclampsia adalah dengan membuat model binatang untuk penyakit ini. Dengan memakai model ini, seperti model the uterine perfusion reduction dapat diketahui bahwa kejadian hipertensi, proteinuria, dan disfungsi endotel berkaitan dengan meningkatnya kadar sFLt1 dan preproendothelin. Lebih jauh lagi, pemberian endothelin type A receptor antagonist menormalkan hipertensi secara komplit pada model ini, yang berarti antagonis ini tidak memiliki efek dalam mengontrol kehamilan normal.16 Pada model kedua dimana hewan diberikan sFLt1 dalam jumlah besar untuk memberikan gejala serupa preeclampsia, terjadi peningkatan signaling endothelin dan saat diberikan endothelin antagonist respon hipertensi ini menghilang. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi yang berkaitan dengan kadar sFLt1 yang tinggi tersebut tergantung dari signaling endothelin. Soluble endoglin (sEng) merupakan faktor antiangiogenik yang diisolasi dari plasenta dan darah wanita dengan preeclampsia. sEng menghambat pengikatan of transforming growth factor (TGF)- pada reseptornya dan menurunkan regulasi sintesi nitric oxide (NO). Kombinasi dari peningkatan sFlt1 dan sEng tersebut diduga mempengaruhi produksi NO dan mengaktivasi signaling endothelin-1terlihat dengan gejala hipertensi dan disfungsi endothelial maternal.16

24

Tetapi penulis menduga pasien adalah kasus terlambat dirujuk karena pasien sempat memeriksakan kehamilan 1 kali sewaktu umur kehamilan 8 bulan walaupun hal tersebut masih kurang jika merujuk pada teori dimana pasien seharusnya memeriksakan diri minimal 4 kali. Penulis menduga pasien sebenarnya sudah menderita preeclampsia jauh sebelum pasien dirujuk. Faktor risiko pada ibu hamil menurut Depkes RI (2010) sebagai berikut :17 a. Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

b. Anak lebih dari 4. c. Jarak persalinan terakhir dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun.

d. Kurang Energi Kronis (KEK) dengan lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm, atau penambahan berat badan < 9 kg selama masa kehamilan. e. Anemia dengan haemoglobin < 11 g/dl.

25

f.

Tinggi badan < 145 cm, atau dengan kelainan bentuk panggul dan tulang belakang

g. Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini. h. Sedang/pernah menderita penyakit kronis, antara lain : tuberkulosis, kelainan jantung, ginjal, hati, psikosis, kelainan endokrin (Diabetes melitus, Sistemik lupus Eritematosus,dll), tumor dan keganasan. i. Riwayat kehamilan buruk : keguguran berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa, ketuban pecah dini, bayi dengan cacat kongenital. j. Riwayat persalinan dengan komplikasi : persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksi vakum/forseps. k. Riwayat nifas dengan komplikasi : perdarahan pasca persalinan, infeksi masa nifas, psikosis post partum (post partum blues). l. Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat cacat kongenital. m. Kelainan jumlah janin : kehamilan ganda, janin dempet, monster. n. Kelainan besar janin : pertumbuhan janin terhambat, janin besar. o. Kelainan letak dan posisi janin : lintang/oblique, sungsang pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu. Dari status pasien didapatkan bahwa penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah sebagai berikut. MRS VK Infus RL:D5 1:1/24 jam Pasang DC, balance cairan Cairan Masuk = Cairan keluar + 500 cc Nifedipin 3x10 mg bila TD > 140/90 mmHg

26

Minum Maksimal 1000 cc/24 jam Regimen MgSO4 sesuai Protap Per Oral : Cefadroxyl 3x500 mg Asam Mefenamat 3 x 500 mg Linoral 3x1

Monitoring Keluhan/ Vital Sign/ Fluksus/ Kontraksi Menurut panduan yang sudah disusun oleh Persatuan Dokter Obsgin Indonesia (POGI), Tatalaksana preeclampsia Berat adalah: o Segera masuk rumah sakit o Tirah baring miring ke kiri secara intermiten o Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5% o Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. o Pemberian MgSO4 dibagi : Loading dose (initial dose) : dosis awal Maintenance dose : dosis lanjutan

27

KASUS

Loading dose

Maintenance dose

Dihentika n 24jam pasca persalinan satu

Preeklamsi

10 g IM

5g 50% tiap 4-6 jam Bergantian bokong salah

Eklamsi

1) 4g 20% IV; 1g/menit 2) 10g 50% IM: 5g 50% tiap 4-6 jam Kuadran atas sisi luar Bergantian salah satu kedua bokong bokong - 5g IM bokong kanan (10 g MgSO4 IM dalam - 5g IM bokong kiri 2-3 jam dicapai kadar 3) Ditambah 1.0 mllidocaine plasma 4) Jika konvulsi tetap terjadi Setelah 15 menit, beri : 3, 5-6 mEq/l 2g 20% IV : 1 g/menit Obese : 4g iv Pakailah jarum 3-inci, 20 gauge

Adapun protap pemberian MgSO4di RSUD ULIN Banjarmasin adalah sebagai berikut: 21 - Loading dose (initial dose) : dosis awal: 4 gram MgSO4 diberikan secara drip. Cara pemberiannya 10 ml MgSO4 40 % atau 20 ml MgSO4 20 % dilarutkan dalam 100 ml D5% lalu diberikan secara drip dengan kecepatan 20-24 tetes permenit.

28

- Maintenance dose : dosis lanjutan: 6 gram MgSO4 diberikan secara drip. Cara pemberiannya pemberiannya 15 ml MgSO4 40 % atau 30 ml MgSO4 20 % dilarutkan dalam 500 ml D10% atau Ringer Laktat lalu diberikan secara drip dengan kecepatan 20-24 tetes permenit. o Anti hipertensi Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126 Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan. Desakan darah diturunkan secara bertahap : o Penurunan awal 25% dari desakan sistolik o Desakan darah diturunkan mencapai : o - < 160/105 atau MAP < 125 Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit o Diuretikum Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena : 1. Memperberat penurunan perfusi plasenta 2. Memperberat hipovolemia 3. Meningkatkan hemokonsentrasi

29

Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi : 1. Edema paru 2. Payah jantung kongestif 3. Edema anasarka o Diet Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih Penderita boleh dipulangkan : Bila penderita telah bebas dari gejala-gejala preeklamsi berat, masih tetap dirawat 3 hari lagi baru diizinkan pulang. Bila bayi meninggal, laktasi harus dihentikan dengan cara : a. b. pembalutan mammae sampai tertekan pemberian obat esterogen untuk supresi LH seperti tablet lynoral dan parlodel.

30

31

You might also like