You are on page 1of 13

Tinjauan Pustaka Bakteri limpadentitis Bancrofti pada Manusia Febby farihindarto 102011246 / F-3 Fakultas Kedokteran Universitas Krida

Wacana Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : Febbyfarihindarto@yahoo.co.id

Pendahuluan Filariasis adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan oleh parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori yang ditularkan melalui nyamuk. Cacing filaria termasuk dalam family filaridae yang merupakan parasit sistem peredaran darah dan limfe, otot, jaringan ikat arau rongga serosa pada vertebrata. Masa inkubasi cacing ini cukup lama lebih kurang 1 tahun. manusia, anjing dan kera merupakan hospes definitive.perioditas beradanya microfilaria didalam darah tepi bergantung pada spesies. Perioditas tersebut menunjukan adanya filarial didalam darah tepi sehingga mudah dideteksi. Mikrofilaria bancrofti ditemukan umumnya pada malam hari (nocturnal) terutama belahan bumi bagian selatan, terutama Indonesia, sedangkan diaderah pasifik ditemukan pada siang dan malam (non-periodik). Sedangkan microfilaria Brugia malayi mempunyai perioditas nocturnal. Sebab timbulnya perrioditas ini belum diketahui, mungkin dipengaruhi oleh tekanan zat asam dalam kapiler paru atau lingkaran hidup cacing filaria.1

Pembahasan
Anamnesis Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara melakukan serangkaian wawancara. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis).

a. Identitas: menanyakan nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi. b. Keluhan utama: pernyataan dalam bahasa pasien tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): jelaskan penyakitnya berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan, intermitten. Informasi harus dalam susunan yang kronologis, termasuk test diagnostik yang dilakukan sebelum kunjungan pasien. Riwayat penyakit dan pemeriksaan apakah ada demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): sebelumnya. e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah kesehatan pada anggota keluarga. f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat tinggal), faktor resiko gaya hidup (makan makanan sembarangan). Dari anamnesis didapat: a. identitas : laki-laki berusia 40 tahun b. keluhan utama : bengkak pad tungkai kiri sejak 1 bulan yang lalu c. riwayat penyakit sekarang : bengkak muncul mulai dari telapak kaki kemudian membesar sampai ke tungkai dan lama-lama terasa nyeri sehingga sulit untuk berjalan. Pasien mengeluh sering demam naik turun sejak 3 hari namun deman tidak terlalu tinggi. Saat buang air kecil, urin berwarna keputihan seperti susu. d. Riwayat penyakit dahulu : e. Riwayat keluarga ; Pemeriksaan 1. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang didapat dari kasus adalah: a. Inspeksi : bengkak pada tungkai kiri, pasien sadar sepenuhnya (compos mentis) b. Tanda-tanda vital: suhu 37,2oc, frekuensi nadi 90 x/mnt, frekuensi pernafasan 20 x/mnt, tekanan darah 110/70 mmHg, terdapat nyeri tekan.
3

Pernahkah pasien mengalami demam tifoid

2.

Pemeriksaan penunjang Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan harus diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.1 Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.1 Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe.Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital.1

Work Diagnosis Wuchereria bancrofti Periodisitas keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi tergantung spesies. Mikrofilaria W. bancrofti pada belahan bumi selatan termasuk Indonesia, umumnya ditemukan pada malam hari (nokturna ) sedangkan di daerah pasifik bersifat subperiodik diurna. Parasit ini ditularkan
4

oleh namuk Culex quinquefasciatus di daerah perkotaan dan nyamuk Anopheles serta nyamuk aedes sebagai vektor di daerah pedesaan. Dauh hidup parasit ini sangat panjang. Pertumbuhannya dalam tubuh nyamuk sekitar dua minggu dan pada manusia diduga selama 7 bulan. Mikrofilaria yang terisap nyamuk akan masuk ke lambung, melepaskan kulitnya, lalu menembus dindingnya untuk bersarang pada otot toraks dan membentuk larva stadium I. larva stadium I bertukar kulit 2 kali berturut-turut menjadi larva stadium II kemudian larva stadium III yang sangat aktif. Bentuk aktif ini bermigrasi sampai ke alat tusuk nyamuk. Melalui gigitan nyamuk maka larva stadium III ini masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Larva mengalami pergantian kulit dan tumbuh sebagai larva IV dan stadium V atau cacing dewasa.2 Perjalanan penyakit filaria limfatik dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu stadium tanpa gejala , stadiu akut dan stadium menahun. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan gejala. Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe berupa limfadenitis, limfangitis retrograd, dan khusus pada pria dapat ditemukan funikulitism epididimitis dan orkitis. Pada stadium menahun, gejala yang dapat dijumpai adalah hidrokel, limfedema dan elefantiasis.2 Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun ( Acute and Chronic Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun. Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari microfilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign). Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanyaabnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia asimtomatik.2 Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara immune diagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis. Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan
5

infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik Pasien yang datang dengan pitting edema, lihat apakah kurang dari 40 detik atau lebih dari 40 detik. Jika kurang dari 40 detik maka hipoalbuminemia yang dapatdisebabkan oleh penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan protein. Jika lebih dari 40 detik maka normoalbuminemia yang dapat disebabkan oleh venous hypertension dan identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher. Jika ada maka systemic venous hypertension (cardiac diseases) dan jika tidak maka venous insufficiency atau obstruction.3 Selain itu, perlu kita ketahui apakah edema unilateral atau bilateral. Jika edema unilateral maka lihat apakah non pitting dan non tender? Jika ya, maka kemungkinan adalah limfedema, obstruksi oleh filariasis, infeksi streptokokkus yang berulang, dan malignancy. Jika pitting dan tender, maka kemungkinan adalah trombosis, kista Baker, dan akut selulitis. Bilateral edema, perlu diketahui apakah non pitting dan non tender? Jika ya, maka kemungkinan adalah limfedema. Jika pitting dan tender, lihat apakah cepat atau lambat. Jika lambat maka kemungkinan adalah oleh venous hypertension dan identifikasi apakah ada peningkatan tekanan vena leher. Jika ada maka edema jantung. Jika tidak maka venous hypertension atau occlusion. Jika cepat maka apakah ada penurunan protein. Jika ada maka kemungkinan penurunan sintesis protein atau peningkatan kehilangan protein.3 Diagnosis Banding Brugia malayi dan Brugia timori Mikrofilaria B.malayi mempunyai periodisitas nokturna dan nonperiodik sedangkatn B.timori bersifat nokturna. B.malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris . B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk Mansonis. B.timori ditularkan oleh nyamuk A. barbirostris. Masa pertumbuhan parasit ini dalam tubuh nyamuk sekitar 10 hari dan dalam tubuh manusia kurang lebih 3 bulan. Fase perkembangan kedua parasit ini sama dengan perkembangan W.bancrofti.2 Keduanya menampakkan gejala klinis yang sama. Stadium akut ditandai dengan demam. Peradangan saluran dan kelenjar limfe yang berulang, limfangitis retrograd, tetapi tidak pernah mengenai sistem limfe alat kelamin.2

Etiologi

Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).2 Larva infektif (larva stadium 3) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk ke dalam darah, larva berubah menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak menuju kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah (inguinal danobturator), ekstremitas atas (saluran limfe aksila), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki (epididimidis, testis, kordaspermatikus). Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yangmengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rataratasekitar 5 tahun.2

Epidemiologi Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugiatimori (filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah. W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat biologik B. malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan anthropophilic. Periodisitas mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada manusia dan hewan (kera dan kucing) dapat aperiodik, sub-periodik atau periodik. 3 Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinque-fasciatus di daerah perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk, mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit hospes dan berkembang menjadi dewasa yang melepaskan mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987. 3 Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor penyakitnya adalah nyamuk. Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut Soedarto (1989) sejumlah nyamuk yang termasuk dalam genus Culex dikenal sebagai vektor penyakit menular. Culex gunguefasciatus atau Culex fatigans menyukai air tanah dan rawarawa sebagai tempat berkembang biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah pada manusia. Beberapa jenis culex lainnya berkembang biaknya berbeda-beda jenisnya baik berupa air hujan dan air lainnya yang mempunyai kadar bahan organik yang tinggi. Umumnya menyukai segala jenis genangan air terutama yang terkena sinar matahari. Menurut Hudoyo (1983) Anopheles barbirotris tempat perkembangannya adalah di air tawar yang tergenang di tempat terbuka baik alamiah (rawa-rawa) maupun buatan atau kolam, di air
8

mengalir yang perlahan-lahan ditumbuhi tanaman air. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber penularnya adalah penderita penyakit kaki gajah baik yang sudah menimbulkan gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah terdapat mikrofilaria yang dapat ditularkan oleh nyamuk.3 Menurut Menkes (2009) menyebutkan, saat ini di Indonesia tercatat 11 ribu orang menderita penyakit kaki gajah yang tampak, dimana telah terjadi pembesaran di kaki dan kelenjar getah bening lainnya. Pendudu yang terinfeksi tentunya jauh lebih banyak, mereka akan diketahui setelah dilakukan tes darah.3 Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki program pengobatan masal hasil rekomendasi WHO ini sejak tahun 1970-an dan sudah ada maping yang menunjukkan bahwa filariasis terjadi di 386 kab/kota bukan hanya di kantong-kantong tetapi sudah merata, sejak tahun 2002 juga sudah dilakukan pengobatan masal, ada sekitar 32 juta orang yang sudah meminum obat. Untuk itu menurutnya, filariasis harus diatasi secara serius karena selain menyebabkan orang menjadi tidak produktif, meskipun dapat sembuh namun akan terjadi kecacatan.3 Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis turut menentukan penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah-daerah endemi filariasis. Diantara perilaku vektor tersebut adalah :2 1. Derajat infeksi alami hasil pembedahan nyamuk alam/ liar yang tinggi 2. Sifat antropofilik dan zoofilik yang meningkatkan jumlah sumber infeksi 3. Umur nyamuk yang panjang sehingga mampu mengembangkan pertumbuhan larva mencapai stadium infektif untuk disebarkan/ ditularkan 4. Dominasi terhadap spesies nyamk lainnya yang ditunjukan dengan kepadatan yang tinggi disuatu daerah endemi 5. Mudahnya menggunakan tempat-tempat pengandung air sebagai tempat perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa.

Patogenesis Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan produk produk yang akan menyebabkan dilatasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk

limfedema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1,IL 6, TNF . Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin jugaakan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadikematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dangranulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis.3,4

Gejala Klinis Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.4 ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia.4,5

10

Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port dentre dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.5 Komplikasi Komplikasi yang dapat didapat pada penderita filariasis adalah kerusakan sistem limfe, kerusakan ginjal dengan hematuria dan proteinuria, sakit di daerah inguinal, kesulitan dalam bekerja karena rasa nyeri, disabilitas seksual, dan penolakan sosial.

Terapi Perawatan umum Istirahat ditempat tidur, bila dipindahkan kedaerh dingin akan mengurangi derajat serangan akut Pengikatan didaerah pembendungan akan mengurangi edema

Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria transien, alergi, muntah dan serangan asma. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien, hidrokel, funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5 hari
11

dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala klinis. Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik. Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia, sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita. DEC tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan peroral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darahdalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. DEC tidak diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan lemah. Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak 6mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat badanselama 10 hari. Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah. Pengobatan nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur, pengikatan di daerah pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian tungkai, perawatan kaki, pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan secara teratur untuk melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas kaki, mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi bedah, dan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi.5,6 Prognosis Pada kasus kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.6,7

Pencegahan

1. Pencegahan massal

12

Control penyakit pada populasi adalah melalui control vektor (nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun). baru-baru ini khususnya dengan dikenal pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kgBB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternative dalam menurunkan jumlah microfilaria dalam populasi.8 2. Pencegahan Individu Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi dengan penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.8 3. Strategi WHO untuk Membasmi Filariasis Limfatik Starategi Global programme to eliminate Lympatic Filariasis memiliki dua komponen: Menghentikan penyebaran penyakit (contoh; interupsi transmisi) Untuk interupsi transmisi, daerah endemic filarial harus diketahui, kemudian program pengobatan masal diterapkan untuk mengobati populasi beresiko.8 Meringankan beban penderita (contoh; control morbiditas) Untuk mengurangi beban akibat penyakit diperlukan edukasi untuk meningkatkan kewaspadaan pada pasien yang mengalami infeksi. Dengan edukasi ini diharapkan pasien akan meningkatkan hygiene local sehingga mencegah episode inflamasi akut.8

Kesimpulan Laki-laki berumur 40 tahun tersebut menderita filariasis, yakni filariasis bancrofti berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa. Filariasis digolongkan menjadi tiga, yaitu filariasis bancrofti yang disebabkan oleh parasit Wuchereria Bancrofti, filariasis malayi dan timori, serta mikrofilarianya yang menyebabkan mikrofilaremia. Gejala-gejala klinis yang terjadi berupa edema pada ekstremitas serta limfangitis dan limfadenitis sampai kepada elephantiasis dan kerusakan ginjal. Terapi yang sesuai adalah menggunakan obat dietilkarbamazin selama 12 hari sebanyak 6mg/kg berat badan dengan prognosis baik. Tindakan preventif juga diharuskan untuk mencegah penyebaran penyakit filariasis ini.

13

Daftar Pustaka 1. McCarthy J. Diagnostic of lymphatic filarial infections. London: Imperial College Press; 2002.p. 127-50. 2. Mansyur A, Triyanti K, Savitri, dkk. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2009. H.419-21 3. Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003.h. 35-44. 4. Nutmat TB, James WK. Filariasis. Tropical Infectious Disease. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2006.p 1152-9. 5. 6. Manson. Tropical diseases. London: Elsevier;s Rights Department; 2009.p. 1477-91. Magdalena LJ. Pengobatan penyakit parasitik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2005.h. 24. 7. 8. Stringer JL. Basic concepts in pharmacology. Jakarta: EGC; 2008.p.219-20. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam . Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2935.

14

You might also like