You are on page 1of 5

Glucose Levels and Risk of Dementia Kadar Glukosa dan Resiko Demensia

Paul K. Crane, M.D., M.P.H., Rod Walker, M.S., Rebecca A. Hubbard, Ph.D., Ge Li, M.D., Ph.D., David M. Nathan, M.D., Hui Zheng, Ph.D., Sebastien Haneuse, Ph.D., Suzanne Craft, Ph.D., Thomas J. Montine, M.D., Ph.D., Steven E. Kahn, M.B., Ch.B., Wayne McCormick, M.D., M.P.H., Susan M. McCurry, Ph.D., James D. Bowen, M.D., and Eric B. Larson, M.D., M.P.H.

Latar belakang Angka obesitas meningkat seiring dengan peningkatan angka diabetes Hubungan antara obesitas dengan diabetes yang merupakan faktor resiko campuran terhadap demensia Efek obesitas yang merupakan resiko terjadinya demensia meliputi gangguan pada metabolisme tubuh Rendahnya pemahaman akan konsekuensi obesitas dan diabetes yang secara epidemik sangat berpotensial dalam insidensi demensia Oleh karena latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan mencari hubungan antara kadar glukosa dengan resiko terjadinya demensia dengan metode kohort prospektif dan kualitatif. Hipotesisnya adalah adanya hungungan kadar glukosa dengan resiko demensia.

Metode Subjek Penelitian berjumlah 2581 yang dipilih secara acak dari anggota Group Health Cooperative. Subjek berusia 65 tahun atau lebih saat terlibat pada tahun 1994-1998. Selanjutnya bertambah 811 subjek yang terlibat pada tahun 2000-2002. Subjek penelitian yang terlibat adalah yang telah di follow-up minimal satu kali, minimal 5 tahun terlibat dalam penelitian, dan minimal telah 5 kali diukur glukosanya atau glycated hemoglobin. Jumlah subjek penelitian yang terlibat adalah 2067. Prosedur penelitian dilakukan oleh Instutional review boards of Group Health and the University of Washington, dan subjek penelitian diminta untuk mengisi surat persetujuan. Tiga dari peneliti yang terlibat berperan untuk melengkapi data, analisis data, dan menjaga akurasi hasil. Penulis bertanggung jawab dalam diskusi hasil. Penilaian demensia dilakukan tiap dua tahun menggunakan Cognitive Abilities Screening Instrument dengan skor antara 1-100. Pasien dengan skor kurang dari 85 selanjutnya di evaluasi

secara klinis dan psikometrik, termasuk evaluasi neurophysiologi. Hasil terdiri atas kumpulan hasil evaluasi, hasil lab, dan hasil imaging yang selanjutya didiskusikan dalam konferensi consensus. Diagnosis demensia dan kemungkinan penyakit Alzhaeimer telah ditentukan dalam kriteria dasar penelitian ini. Terdapat beberapa faktor resiko demensia yang diukur dalam penelitian ini, antara lain kadar glukosa, diabetes, apolipoprotein-e genotype, dan faktor lainnya. Kadar glukosa diukur berdasarkan data klinis, termasuk glukosa puasa, glukosa acak, dan kadar glycated hemoglobin yang diukur secara komputerisasi. Rata-rata nilai glukosa perhari didapatkan dari nilai glycated hemoglobin dengan metode hierarichal Bayesian framework. Selanjutnya nilai glukosa yang didapat dan rata-rata nilai glukosa perhari dikombinasikan dan hasilnya yang digunakan sebagai alat ukur kadar glukosa. Diabetes merupakan faktor resiko yang juga dipertimbangkan dalam penelitian ini. Peneliti mengklasifikasikan diabetes berdasarkan treatment yang sudah didapatkan oleh pasien. Pasien yang dapat terlibat sebagai subjek penelitian adalah pasien yang mendapatkan resep pengobatan dalam setahun minimal dua kali dan onset treatment dihitung sejak peresepan yang kedua. Apolipoprotein-e genotype (APOE genotype) terdapat pada 1818 subjek (88%). Status APOE diukur menggunakan metode yang sudah terstandarisasi dan di kategorikan berdasarkan ada tidaknya alel e4. Faktor resiko lain yang dipertimbangkan dapat menjadi faktor perancu hubungan kadar glukosa dengan resiko demensia adalah latihan fisik berdasarkan jenis dan frekuensinya dalam seminggu. Latihan fisik 3 kali seminggu atau lebih dikategorikan sebagai latihan fisik rutin. Selain itu, status merokok, riwayat fibrilasi atrial, dan tekanan darah juga merupakan faktorfaktor lain yang diukur. Jika didapatkan tekanan darah melebihi normal atau hipertensi maka di klasifikasikan menjadi hipertensi terkontrol atau tidak. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara statistik. Penelitian ini menggunakan model stratifikasi cox regresi dengan standar error yang ditentukan dari hubungan kadar glukosa dan insidensi demensia. Sumbu x menyatakan usia pasien. Stratifikasi dilakukan berdasarkan status diabetes dan penyakit cerebrovaskular. Pada penelitian ini control yang digunakan adalah usia saat terlibat dalam penelitian, penelitian kohort, tingkat pendidikan, tingkat latihan fisik,

tekanan darah dan status penyakit arteri koronaria, fibrilasi atrial, merokok dan treatment untuk hipertensi. Penelitian ini menggunakan beberapa analisis sensitivitas, uji yang digunakan untuk mengetahui interaksi antara kadar Glukosa berdasarkan jenis kelamin dan usia saat masuk dalam penelitian, hasil pemeriksaan klinis, nilai rata-rata kadar glukosa selama 5 tahun, ada tidaknya keberadaan alel APOE 4, perubahan parameter distribusi dalam Bayesian framework untuk komputerisasi paparan yang ada.

Hasil Karakteristik dasar dari 2067 subyek penelitian selama 5 tahun nilai tengah kadar glukosa pada kelompok tanpa diabetes adalah 101 mg/dl, sedangkan pada kelompok dengan diabetes 175 mg/dl. Berdasarkan hasil penelusuran selama 6,8 tahun terdapat perkembangan demensia pada 524 subyek dengan 450 subyek adalah kelompok tanpa diabetes sampai akhir penelitian dan 74 berasal dari kelompok diabetes sampai akhir penelitian. Total 403 subyek penelitian memiliki kemungkinan mengalami penyakit Alzheimer pada akhir penelusuran, 55 subyek memiliki demensia karena penyakit pembuluh darah dan 66 subyek mengalami demensia karena penyebab lainnya. Hubungan antara rata-rata kadar glukosa selama 5 tahun dan perkembangan demensia menunjukkan bahwa diantara subyek tanpa diabetes resiko demensia meningkat seiring dengan peningkatan kadar glukosa. Rata-rata kadar glukosa adalah 115 mg/dl memiliki resiko demensia 1,18 kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata glukosa 100 mg/dl. Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa tertinggi akan meningkatkan resiko demensia. Rata-rata kadar glukosa 190 mg/dl memiliki resiko demensia 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kadar glukosa 100 mg/dl. Hasil analisis menunjukkan resiko demensia berhubungan dengan rata-rata kadar glukosa selama 5 tahun maupun periode antara 5 sampai 8 tahun. Rata-rata kadar glukosa yang tinggi berkorelasi pada 2 periode waktu tersebut. Tidak terdapat bukti perbedaan efek berdasarkan jenis kelamin dan usia subyek baik di kelompok diabetes maupun non diabetes, tetapi terdapat perbedaan efek berdasarkan usia subyek saat mulai terlibat dalam penelitian, namun efek tersebut tidak signifikan. Terdapat peningkatan resiko yang berhubungan antara kelompok dengan kadar glukosa yang tinggi maupun yang

rendah, terutama pada kelompok usia yang lebih tua saat mulai mengikuti penelitian. Penilaian tentang ada tidaknya genotip APOE tidak mempengaruhi hasil pengamatan.

Diskusi Berdasarkan hasil penelitian dengan metode kohort dengan subyek komunitas, peneliti menemukan bahwa kadar glukosa yang tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko demensia dalam populasi dengan maupun tanpa diabetes. Hasil ini konsisten berdasarkan analisis sensitivitas. Pada penelitian-penelitian sebelumnya hanya dilakukan pengukuran atas resiko demensia pada kelompok diabetes dengan hasil yang berbeda anatara tiap penelitian atau tidak konsisten. Banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara peningkatan kadar glycated hemoglobin atau kadar glukosa postprandial dan hasil yang berhubungan dengan demensia, seperti perubahan volume hipokampus dalam neuroimaging atau penurunan kemampuan kognitif. Namun tidak terdapat penelitian sebelumnya yang mengevaluasi kadar glukosa sebagai fenomena variasi waktu. Penelitian ini menggunakan Hierarchical Bayesian Model untuk mengembangkan variasi waktu dalam penilaian kadar glukosa. Pendekatan ini dapat digunakan dalam klinis untuk menilai kadar glukosa darah puasa, acak dan kadar glycated hemoglobin untuk menentukan nilai paparan glukosa. Penelitian ini mendapatkan hasil yang monoton akan peningkatan hubungan antara kadar glukosa dan resiko demensia pada kelompok tanpa diabetes. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar glukosa berhubungan dengan resiko demensia meskipun tanpa didasari oleh penyakit diabetes. Kadar glukosa yang tinggi dapat berkontribusi pada peningkatan resiko demensia melalui beberapa mekanisme, termasuk hiperglikemi akut dan kronis, resisten insulin, peningkatan penyakit pembuluh darah kecil pada system saraf pusat. Perkembangan demensia pada populasi diabetes mirip dengan populasi tanpa diabetes selama terdapat peningkatan kadar glukosa. Mekanisme yang mendasari hubungan antara peningkatan kadar glukosa terhadap demensia masih membutuhkan klarifikasi dari penelitian-penelitian selanjutnya. Beberapa penyebab demensia antara lain penyakit Alzheimer, penyakit pembuluh darah, penyakit Lewybody maupun kombinasi diantaranya.

Kesimpulan Terdapat bukti kadar glukosa yang tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko demensia.

You might also like