You are on page 1of 2

Kompas, 9 Februari 2008

Pak Harto Telah Pergi

Franz Magnis-Suseno

Di saat-saat Pak Harto pergi, jelas kelihatan betapa besar arti sosok itu—positif
maupun negatif—bagi bangsa Indonesia. Masyarakat begitu peduli. Ada yang sedih.
Ada yang dengan tulus memaafkan. Ada juga pameran kepedulian yang meragukan. Dan
ada yang tegas menyatakan tidak dapat memaafkan.

Menurut saya, demi kejujuran, paling perlu diakui adalah hak, bahkan kewajaran
sikap mereka yang tidak mau memberi maaf. Berbeda dengan ketulusan banyak rakyat
biasa, ajakan pemaafan berbagai figur beken menimbulkan pertanyaan. Bukankah
mereka dulu ikut beruntung dari pemerintahan Soeharto, ikut kebagian rampasannya,
atau setidaknya tidak pernah mengalami kekejamannya? Mereka bisa memaafkan apa?

Tentunya, mereka yang bisa memberi maaf adalah yang ayah atau ibunya dibunuh, yang
tanah atau rumahnya dirampas, yang bertahun-tahun di penjara atau dibiarkan hidup
di tahanan, yang berpuluh-puluh tahun dikenakan stigmatisasi dan diskriminasi,
yang anak dan cucu-cucunya dicap ”tak bersih lingkungannya”! Kita yang lain
seharusnya mengakui lebih dulu para korban Orde Baru itu sebagai korban—yang
hingga kini belum tuntas terjadi—baru kita berhak memaafkan Orde Baru.

Meski demikian, bahwa Pak Harto adalah pemimpin kaliber dunia, itu tidak dapat
disangkal. Soeharto-lah yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran di tahun
1960-an dan mengembalikannya sebagai negara yang dikagumi. Soeharto pula yang
menempatkan Indonesia sebagai mitra terpercaya di antara negara-negara Asia
Tenggara.
Namun, Pak Harto akhirnya jatuh karena pengaruh koruptif keluarganya. Rakyat
mengetahui hal itu. Pamrih kekeluargaan diam-diam menggerogoti wawasan Soeharto
sebagai negarawan. Karena itu, begitu krisis ekonomi menghantam, dukungan terhadap
Soeharto amblas, ia lengser.

Bukan diktator
Atas diri Pak Harto, saya terkesan dua hal.
Pertama, sampai akhir kekuasaannya, Pak Harto menolak dikultuskan. Bahkan, julukan
”bapak pembangunan”—dicetuskan Ali Moertopo—disambut dingin.
Kedua, Pak Harto tidak mau mengerahkan tentara untuk menyapu bersih mahasiswa dan
pengunjuk rasa. Jika itu terjadi, pada Mei 1998, Jakarta bisa bermandi darah,
seperti Tien-A-Men tahun 1989 atau Bangkok 1992. Namun, tiba waktunya, Pak Harto
pergi secara gracefully.

Pak Harto bukan seorang ”diktator haus darah” seperti yang kadang digambarkan pers
luar negeri. Selama pemerintahannya, orang biasa—kecuali yang terkena proyek—tidak
merasa takut.
Pers yang dikuasai ketat tetap mampu mempertahankan mutu yang, misalnya, di
negara-negara tetangga tidak tercapai.
Pak Harto tidak memakai pembunuhan politik sebagai sarana (ternyata, kekhawatiran
bahwa ”petrus”—penembakan ribuan preman di Jawa tahun 1980-an yang harus
dipertanggungjawabkan Pak Harto—dipakai untuk ”membereskan” beberapa oposan tidak
jadi nyata). Di bawah Pak Harto tidak ada polisi pikiran yang mengontrol apa yang
dipercayai seseorang.

Namun, terhadap mereka yang dianggap melawan atau misalnya mengkritik Ibu Tien,
istrinya, Pak Harto tidak kenal ampun. Terasa bayang-bayang kode etik perang
Bharata Yudha di mana tidak ada ampun terhadap mereka yang ada di pihak Kurawa.
Karena itu, Pak Harto dingin terhadap seruan untuk mengusut pelanggaran hak-hak
asasi oleh militer. Media yang melampaui batas ditutup. Oposan pelbagai aliran
dipenjarakan.

Berbagai pembunuhan
Namun, atas berbagai pembunuhan mengerikan 1965-1966, kekejaman di Timor Timur, di
Aceh, di Papua, peristiwa berdarah Tanjung Priok, Talangsari, Santa Cruz, dan
banyak kebrutalan serta ketakberperikemanusiaan lain seperti pembunuhan Marsinah
atau pembebasan tanah Kedung Ombo, sejauh mana Pak Harto bertanggung jawab?
Yang jelas, sebagai pemimpin, Pak Harto bertanggung jawab atas apa yang terjadi
dalam wilayah kekuasaannya. Pak Harto seratus persen bertanggung jawab atas
kebijakan Orde Baru terhadap jutaan masyarakat yang dicap ”terlibat G30S/PKI”. Ia
bertanggung jawab atas invasi ke Timor Timur serta atas impunity yang dinikmati
ABRI.
Berbagai pembunuhan yang memuncak antara November 1965 dan Januari 1966 setidaknya
menjadi tanggung jawab Pak Harto selaku Panglima Kopkamtib. Minimal ia membiarkan
dinamika di lapangan berlangsung sendiri (Sarwo Edhi dengan RPKAD-nya tidak
memerlukan petunjuk, begitu pula pemuda di Jawa Timur, Bali, Flores, Sumatera
Utara, dan lainnya, menyisiri desa-desa untuk membunuh ”orang PKI”).

Pasca-G30S
Namun, masalah berbagai pembunuhan pasca-G30S amat tidak sederhana.
Pada tahun 1965 bangsa Indonesia terpecah dua: mereka yang pro-nasakom-kiri-
komunis merasa di atas angin (terlihat dalam kemunculan mereka yang agresif dan
menakutkan) dan mereka yang takut terhadap mereka. Saat itu, saya sendiri amat
khawatir Indonesia akan menjadi komunis. Suara Jenderal Soeharto di RRI pada malam
tanggal 1 Oktober 1965 melegakan saya. Berita-berita yang kemudian didesas-
desuskan di Yogya tentang terjadinya pembunuhan atas kader-kader komunis dalam
kesadaran saya seakan tergeser oleh kecemasan jangan-jangan, seperti sesudah
Madiun, nasakom dan komunis dan segala keborokan tahun-tahun itu akan menang lagi.
Maka, bagi saya, tanggal 11 Maret 1966 menjadi hari gembira. Dukungan saya
terhadap Pak Harto baru merosot tahun 1970-an.
Menurut saya, sikap kejam pasca-G30S hanya bisa dimengerti berdasar kenyataan,
mayoritas bangsa Indonesia merasa terlibat pertarungan hidup-mati ”melawan”
komunis. Segala pertimbangan kemanusiaan seakan tersingkir oleh perasaan lega,
ABRI meniadakan ancaman itu.

Bagaimana menilai Pak Harto


Ada faktor kedua mengapa prestasi luar biasa pemerintahan Soeharto disertai
kekejaman dan pelanggaran HAM yang mengejutkan: kemerosotan negara hukum serta
belum adanya kesadaran, apalagi jaminan institusional, akan HAM. Indonesia sudah
menjadi negara kekuasaan murni dan, kecuali segelintir orang, tidak ada peduli.
Dalam situasi ini segala cara untuk mencapai tujuan akan dipakai dan dibenarkan.
Bagaimana kita menilai Pak Harto pribadi adalah hak masing-masing. Yang tampak
mendesak: membangun kesadaran di masyarakat akan kedaulatan hukum dan HAM sebagai
syarat etika politik. Justru karena Pak Harto, dengan segala segi terang dan
gelapnya, tidak bisa dilepaskan dari kita semua, kesalahan pemerintahannya tidak
boleh ditutup-tutupi.

Franz Magnis-Suseno Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,


Jakarta

* * *

You might also like