You are on page 1of 6

Kelompok Berisiko Tinggi

Teenage/ Remaja

OLEH: MUTMAINNAH DJAMALUDDIN K111 10 024 EPIDEMIOLOGI A

JURUSAN EPIDEMIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN 2012

Kelompok Berisiko Tinggi : Teenage / Remaja A. Pendahuluan Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual. Masa remaja adalah masa transisi antara kanak-kanak dengan dewasa dan realtif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanantekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis. Populasi berisiko tinggi maksudnya adalah kelompok populasi tertentu yang mempunyai risiko lebih tinggi untuk terpapar dan menderita dari kelompok lainnya. Dalam IMS (Infeksi Menular Seksual) yang dimaksud dengan perilaku risiko tinggi ialah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai risiko besar terserang penyakit. Yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah normoseksual, homoseksual, biseksual, Streeth Youth / Anak Jalanan, pekerja seks komersial, tourism, sopir jarak jauh, pemakai napza, pegawai bank, narapidana dan teenage B. Remaja sebagai Kelompok Beresiko Tinggi Banyak remaja yang menunjukkan perilaku positif diberbagai bidang baik keilmuan, organisasi maupun bidang-bidang lainnya. Namun, tak sedikit pula remaja yang memperlihatkan sisi negative dari perilakunya sehari-hari. Contohnya saja banyak anak SMA tawuran, merokok, dan tidak sedikit yang merokok itu adalah remaja yang masih bersekolah di tingkat menengah pertama (SMP) dimana umurnya antara 12 14 tahun. Selain itu, pada zaman sekarang peredaran narkoba dikalangan remaja baik SMA maupun SMP semakin meluas. Bahkan sampai perilaku seksual bebas yang berakibat terjadinya kehamilan yang tak diinginkan, adanya tindakan aborsi, serta resiko terkena penyakit HIV/ AIDS atau penyakit menular seksual lainnya juga merupakan salah satu sisi negative remaja saat ini.

Remaja digolongkan sebagai kelompok beresiko tinggi akibat perilaku seksual bebas yang yang berakibat rawan terhadap bahaya penularan penyakit khususnya penyakit menular seksual (PMS). Masa remaja ditandai dengan perubahan-perubahan fisik, psikis maupun social yang sifatnya individual. Perubahan tersebut akan berjalan demikian pesatnya seiring dengan perubahan emosi, pola pikir, sikap dan perilaku serta timbulnya minat remaja terhadap seks ditandai mulai tertarik kepada lawan jenis masing-masing. Begitupula dengan keingintahuan mereka tentang seks yang mulai besar akibat dari pengaruh lingkungan sosialnya. Pengaruh lingkungan social tersebut bisa dari teman sebaya, maupun media massa. Menurut Freud, saat pubertas tubuh berubah sangat pesat. Ciri-ciri seksual primer dan sekunder mulai muncul. Dorongan libidinal akan meningkat dengan pesat. Dorongan libidinal tidak lagi dapat ditekan dengan mudah seprti saat masa latent, sehingga potensial menimbulkan berbagai gejolak dan konflik (Arif, 2006). Besarnya keingintahuan remaja terhadap seks tersebut mendorong mereka untuk mencari tahu di semua tempat. Terutama internet yang semakin mudah diakses. Sumber-sumber lain yang dapat diakses seperti buku-buku, film porno, maupun informasi dari teman. Namun, keingintahuan yang besar itu tidak di imbangi dengan pendidikan seksual dari guru maupun orang tua yang mengakibatkan tidak jarang remaja melangkah pada tahap percobaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas, penelitian lain tentang perilaku seksual remaja di empat kota menunjukkan bahwa 3,6% (Medan), 8,5% (Yogyakarta), 3,4 (Surabaya), dan 31,1% (Kupang) remaja telah terlibat hubungan seks secara aktif. Juga dari sumber yang sama diperoleh hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan UGM menemukan bahwa 33,5% dari responden laki-laki di kota Bali pernah berhubungan seks, sedang di desa 23,6% serta Yogyakarta kota 15,5% dan di desa sebanyak 0,5% . Aktivitas seksual selama masa remaja ( di dalam atau di luar pernikahan) menempatkan remaja dalam risiko untuk terlibat masalah seksual dan kesehatan reproduksi, seperti

kehamilan dini, aborsi yang tidak aman, IMS termasuk HIV, dan kekerasan seksual (WHO, 2006). Berdasarkan fenomena di atas maka berbagai problem kesehatan maupun sosial yang berdampak bagi remaja maupun bagi lingkungannya akibat dari perilaku seksualnya. Hal ini dapat dilihat adanya kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan akibat hubungan seksual di

luar nikah semakin meningkat dari tahun ketahun dan bahkan berlanjut sampai pada pengguguran kandungan (abortus). Dampak yang lain dari perilaku sekual remaja dapat terlihat kasus HIV/ AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Februari 1997 di Indonesia terdapat 124 kasus terinfeksi AIDS dan 393 kasus positif HIV, jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan diantaranya mengenai kelompok remaja usia 15-19 tahun dengan 3 kasus terinfeksi AIDS dan 23 kasus positif HIV. Selain HIV/AIDS, beberapa penyakit yang dapat menular melalui seksual adalah Gonore (Kencing Nanah), Herpes Genital, Klamidia. Kehamilan pada remaja sering berakhir dengan aborsi, karena memang bayi yang dikandung itu tak diinginkan kehadirannya. Komplikasi aborsi berupa robeknya rahim dan kelainan pada pembekuan darah, dimungkinkan terjadi saat remaja putri mendapatkannya tidak aman karena sarana pelayanannya ilegal. Komplikasi yang muncul bukan saja dialami ibu muda, juga menimpa janin atau bayinya, sehingga meningkatkan angka penderita maupun kematian pada keduanya. Remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, 1nilainilai dan gaya hidup mereka . Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Pengetahuan remaja mengenai IMS (Infeksi Menular Seksual) masih mengkhawatirkan. Banyak remaja yang merasa bahwa dirinya tidak akan pernah terinfeksi HIV/AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat. Dari sebuah penelitian di Jawa Timur, pengetahuan remaja tentang IMS termasuk HIV/AIDS tergolong masih rendah, baru mencapai 50 %. C. Pendidikan Seksual untuk Remaja Remaja merupakan kelompok usia masa yang kritis, karena pada usia tersebut secara biologis berada pada kondisi seksual produktif aktif, sementara belum memungkinkan remaja untuk menikah, selain masih dalam tahap pendidikan juga belum siapnya dari segi psikologis maupun ekonomis. Agar remaja tidak jatuh dalam perilaku seksual bebas maka perlu mendapat perhatian serius salah satu diantaranya adalah pendidikan seksual remaja dan kesehatan reproduksi. Selama ini problem remaja banyak terlupakan karena usaha penanggulangan dan

pencegahan PMS akibat dari seksual bebas lebih banyak ditujukan kepada kelompok resiko tinggi lainnya, seperti pada pekerja seks dan kaum homo seksual. Oleh karena itu kelompok remaja perlu mendapatkan informasi atau pengetahuan kesehatan khususnya mengenai reproduksi dan permasalahannya, sehingga perilaku seksual bebas dapat terkendali dan kelompok remaja menjadi generasi mudaa bangsa yang sehat dan berkualitas. Minimnya informasi kesehatan reproduksi remaja kerap menjadi salah satu persoalan yang membuat mereka salah dalam mengambil keputusan. Informasi kesehatan reproduksi (kespro) pada remaja harus ditingkatkan, agar kelompok kaum muda yang sedang tumbuh berkembang ini dapat memperoleh sumber informasi yang benar. Karenanya, semua remaja memerlukan dukungan dan perawatan selama masa transisi dari remaja menuju dewasa. Banyak media massa, seperti internet, televisi, koran atau majalah yang menyampaikan informasi secara bebas kepada remaja. Sementara itu, walaupun remaja telah mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima tersebut secara benar. Untuk itu, peran sekolah, orang tua, media massa

maupun pemerintah adalah memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja. Pendidikan seks bukanlah sekedar penerangan tentang seks (atau hubungan seks), melainkan sebagaimana pendidikan lainnya (pendidikan agama, pendidikan pancasila) pendidikan seks juga mengandung nilai-nilai (baik buruk, benar salah) yang harus ditransformasikan kepada subyek didik. Nilai-nilai inilah (yang berorientasi pada agama, etika dan susila) yang akan mencegah perilaku seks yang tidak bertanggung jawab (bukan malah mendorongnya). Laporan statistik di AS (1989) misalnya menunjukkan bahwa di negara tersebut telah terjadi penurunan angka kelahiran di luar nikah di kalangan remaja kulit hitam sebanyak 20 % sejak tahun 1989. Hal ini disebabkan oleh karena para remaja, orang tua dan guru sudah semakin terbuka membicarakan tentang seks, sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan (Edwards, 1998). Secara umum, kita dapat mengatasi problem dunia remaja itu dengan beberapa langkah. Pertama, mengembangkan potensi remaja dan mengarahkannya menjadi lebih optimal melalui kegiatan dan pemantauan secara terus menerus. Kedua, mengajarkan kedisiplinan, ketekunan, kemandirian, dan tanggungjawab dalam menjalankan berbagai hal. Ketiga, menanamkan nilainilai akhlak al-karimah sejak dini, serta memberikan keteladanan yang utuh dan mampu

menginspirasi dan memberdayakan mereka. Keempat, membangun komunikasi yang efektif antara orangtua dan anak, sesama dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, dan kelima, mengenalkan pendidikan seks yang benar dan Islami kepada anak. Dari kelima hal di atas, mendidikan anak usia remaja memang membutuhkan sikap yang elastis. Artinya, orangtua yang bijak tentu akan mengambil sikap yang berimbang. Ada saatnya ia berperan layaknya sahabat tempat berbagi perasaan dan gagasan. Ada kalanya ia berlaku sebagai guru yang memandu dan membimbing. Ada saatnya menerapkan disiplin yang tegas. Ada kalanya ia memberi kebebasan yang lapang kepada anak-anak remajanya. Hal ini tentu merupakan sebuah tugas yang menuntut pemahaman yang memadahi dan hati yang tulus. D. Kesimpulan Minimnya informasi kesehatan reproduksi remaja kerap menjadi salah satu persoalan yang membuat mereka salah dalam mengambil keputusan. Sehingga diperlukannya pendidikan seksual untuk kaum remaja. Pendidikan seks bukanlah sekedar penerangan tentang seks (atau hubungan seks), melainkan sebagaimana pendidikan lainnya (pendidikan agama, pendidikan pancasila) pendidikan seks juga mengandung nilai-nilai (baik buruk, benar salah) yang harus ditransformasikan kepada subyek didik.

E. Daftar pustaka http://dyansuhari.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem http://pendidikanseks.info/ Suryoputro, Antono dan Nicholas J. Ford. Zahroh S. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Makara Kesehatan). Universitas Diponegoro : veldinor23.student.umm.ac.id/download.../umm_blog_article_49.pdf

You might also like