You are on page 1of 7

BAB ...

PENGELOLAAN GARIS PANTAI



Haryo Dwito Armono
(armono@oe.its.ac.id)

Prinsip Pengelolaan Garis Pantai

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000
kilometer, Indonesia harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan garis pantai
secara benar. Pengelolan garis pantai secara benar akan meningkatkan potensi
ekonomi dan lingkungan sepanjang pantai, sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin untuk kepentingan masyarakat dan permasalahan perubahan garis pantai
seperti erosi/abrasi atau akresi dapat dikurangi.

Dengan batas kewenangan yang dimiliki sebagaimana diamantkan UU No. 22/1999,
Pemerintah Daerah diharapkan dapat menyusun rencana pengelolaan garis pantai di
daerahnya masing-masing sebagai dokumen operasional pengelolaan garis pantai
dengan mempertimbangkan proses-proses alami, kebutuhan setempat tanpa
mengabaikan kepentingan lingkungan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam Buku Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Garis Pantai (DKP, 2004), rencana pengelolaan garis pantai harus
memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1. Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu dan Berkesinambungan.
Pengelolaan Pesisir secara terpadu yang dimaksud diatas adalah dengan
mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, dunia usaha, masyarakat dengan
perencanaan pembangunan daerah sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat
dilakukan secara optimal dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat. Dengan pengelolaan pesisir secara terpadu ini diharapkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir terutama yang terletak di sepanjang garis pantai dapat
dimanfaatkan dan secara berkesinambungan serta mengurangi terjadinya tumpang
tindih perencanaan, konflik pemanfaatan dan konflik yurisdiksi serta degradasi bio-
fisik.

2. Proses-proses pantai yang terjadi dalam sel dan sub sel.
Pembagian garis pantai dalam beberapa sel/sub sel perlu memperhatikan proses-
proses pantai dan pesisir. Pemahaman terhadap proses-proses alamiah yang terjadi di
pantai merupakan kunci suksesnya pengelolaan garis pantai yang baik. Dengan
pembagian garis pantai dalam beberapa sel, rekayasa pantai yang akan dilakukan
dalam implementeasi pengelolaan garis pantai dalam sebuah sel tidak akan
memperngaruhi sel yang bersebelahan. Dalam implementasinya, tidak jarang dua
wilayah administrasi yang berdekatan terletak pada satu sel/sub sel, sehingga
kerjasama antar wilayah untuk pengelolaan garis pantai secara terpadu sangat
diperlukan. Persepsi bahwa proses pantai sebagai proses statis perlu dikembangkan
menjadi persepsi pantai sebagai proses dinamis untuk adaptasi masyarakat yang lebih
tinggi.

3. Keseimbangan alam terhadap garis pantai terkait dengan sediment budget.
Dalam melakukan rekayasa pantai, keseimbangan alam yang terkait dengan sediment
budget perlu mendapatkan perhatian khusus. Suatu misal dalam pembuatan suatu
bangunan yang tegak lurus garis pantai akan mempengaruhi keseimbangan dan laju
angkutan sedimen di daerah tersebut. Selanjutnya, ketidakseimbangan laju angkutan
sediment bisa menyebabkan terjadinya erosi di suatu daerah dan akresi yang pada
daerah lain yang dapat memicu timbulnya konflik antar wilayah / masyarakat.

Pertimbangan dan Penentuan Pilihan Bangunan Pelindung Pantai

Dalam melakukan pengelolaan garis pantai, setelah dilakukan pengumpulan data,
analisis dan penentuan tujuan, maka disusunlah rencana pengelolaan yang bisa berupa
rencana usulan perlindungan garis pantai.

Dalam Coastal Engineering Manual (USACE, 2000) telah diberikan beberapa contoh
pengelolan terhadap permasalahan garis pantai yang secara ringkas ditunjukkan dalam
Gambar 1 berikut:

a. Kondisi eksisting
b. Adaptasi / Penyesuaian
c. Proteksi / Perlindungan
d. Reklamasi / Pengurugan
e. Migrasi / Mundur



Gambar 1. Berbagai upaya dalam menghadapi permasalahan garis pantai (USACE,
2000)

Apabila kondisi eksisting saat ini digambarkan dalam Gambar 1a, maka upaya-upaya
yang bisa dilakukan untuk menghadapi serangan gelombang yang bisa menyebabkan
erosi pantai dan mundurnya garis pantai ditunjukkan berturut-turut dalam Gambar 1b,
1c, 1d, dan 1e.
Gambar 1b adalah upaya yang dilakukan dengan menyesuaikan diri terhadap kondisi
alam yang ada, yaitu dengan menaikkan elevasi bangunan perumahan atau membuat
rumah panggung, apabila garis pantai semakin masuk ke daratan. Sedangkan gambar
1c menunjukkan upaya penanggulangan serangan gelombang dengan membuat
bangunan pelindung, baik yang terletak menempel garis pantai maupun terletak di
lepas pantai. Bangunan ini bertujuan untuk mengurangi energi gelombang yang
datang ke pantai, sehingga erosi pantai bisa berkurang. Selain bangunan pelindung
bisa juga diupayakan dengan merestorasi perlindungan alamiah yang ada semisal
bakau, terumbu karang atau padang lamun. Namun hal ini tentunya memakan waktu
yang cukup lama.

Gambar 1c menunjukkan upaya mengembalikan pantai ke kondisi semula dengan
melakukan pengurugan (beach fill) atau mereklamasi pantai. Kegiatan ini tentu saja
memakan biaya cukup banyak, dan juga harus memperhatikan kondisi keseimbangan
alam yang ada, semisal laju angkutan sedimen, pasang surut dan gelombang, sehingga
tidak akan menimbulkan permasalahan erosi/akresi di kemudian hari. Sedangkan pada
gambar 1d upaya yang dilakukan adalah dengan memindahkan atau memundurkan
bangunan yang ada. Hal ini dimungkinkan apabila masih ada sisa tanah/lahan di
daratan, apabila lahan yang ada sangat terbatas, tentu saja upaya ini tidak mungkin
dilakukan. Untuk itu, tata guna lahan yang terencana dengan baik dan benar sangat
penting, sehingga upaya ke-empat ini bisa terwujud.

Apabila kesemua upaya diatas tidak dimungkinkan terjadi, tidak ada pilihan lain
bahwa daerah yang berada di sepanjang garis pantai terpaska dibiarkan menurut
kondisi apa adanya dan tidak diakukan upaya-upaya penanggulanan permasalahan
pantai. Tentu saja hal ini hanya bisa dimungkinkan pada daerah-daerah pantai yang
tidak berpenghuni dan tidak memiliki nilai ekonomis. Sebaliknya untuk daerah-daerah
pantai yang padat dan memiliki nilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi, upaya-
upaya penanggulangan permasalahan garis pantai sangat perlu diperhatikan.

Sementara itu, Pope (1997) mengelompokkan pengelolaan pantai untuk
penangulangan kerusakan pantai akibat erosi dan naiknya muka air laut (banjir)
menjadi 5 upaya sebagai berikut :
1. Armoring (Perlindungan Pantai)
2. Moderation (Pengurangan Laju Erosi)
3. Restoration (Pengurugan Pantai)
4. Abstention (Dibiarkan)
5. Adaptation (Penyesuaian)
Tiga upaya pertama (Armoring, Moderation dan Restoration) dapat dikelompokan
sebagai upaya rekayasa garis pantai (engineering approaches), sementara dua upaya
terkahir (Abstention dan Adaptation) disebutnya sebagai upaya pengelolaan
(management approaches). Pada kenyataannya tidak ada satu pun upaya diatas yang
berdiri sendiri. Biasanya beberapa upaya tersebut digabungkan, misalnya
pembangunan breakwater setelah dilakukan pengurugan pantai (moderation dan
restoration).

Secara ringkas masing-masing upaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Armoring (Perlindungan Pantai)
Upaya ini sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1c diatas, dilakukan dengan
membuat batas yang jelas antara daratan dan lautan, serta upaya untuk memperkuat
garis pantai. Misalnya dengan membuat seawall, revetment, bulkhead atau tanggul
(dikes/levees). Berbeda dengan anggapan yang selama ini ada, upaya ini harus
merupakan upaya yang terakhir dilakukan apabila upaya-upaya yang lain sudah tidak
bisa dilakukan lagi. Hal ini dapat dimungkikan apabila daratan yang dilindungi
mempunyai nilai ekonomis yang tingi dan sangat perlu dilindungi dari serangan
gelombang badai (bukan gelombang biasa). Sehingga upaya ini tidak tepat untuk
daerah dengan permasalahan erosi pantai yang telah terjadi selama bertahun-tahun.

2. Moderation (Pengurangan Laju Erosi)
Upaya ini dilakukan untuk mengurangi laju hilangnya angkutan sediment di daerah
yang terkena erosi. Teknik pengurangan laju angkutan sedimen ini bisa menggunakan
groin, detach breakwater, atau reef breakwater. Upaya ini lebih tepat diaplikasikan
utuk daerah-daerah yang telah mengalami erosi kronis bertahun-tahun karena
kurangnya supply sedimen. Pemakaian groin, breakwater dan tanjung buatan sangat
tepat untuk daerah dimana angkutan sediment sejajar pantai (longshore transport)
lebih dominnan dibanding angkutan sedimen tegak lurus pantai (cross shore
transport)

3. Restoration (Pengurugan Pantai)
Untuk daerah dengan erosi kronis, dapat pula dilakukan pengurugan/pengisian
kembali pasir pantai (beach fill) sebagai penyangga untuk melindungi daratan.
Biasanya upaya ini juga dikombinasikan dengan pembuatan bukit-bukit pasir (dunes)
dengan perkuatan tanaman agar lebih stabil terhadap erosi angin. Material urugan bisa
diambil dari darat (misalnya hasil pengerugan kolam pelabuhan, sand by passing)
ataupun dari lepas pantai. Upaya ini ditunjukkan gambar 1d diatas.

4. Abstention (Dibiarkan)
Dalam beberapa hal, berbagai upaya diatas tidak perlu dilakukan karena pantai
tersebut tidak berpenghuni atau bisa jadi karena upaya-upaya penganggulangan yang
dilakukan sangat mahal biaya investasinya, sehingga tidak sebanding dengan nilai
ekonomis daerah yang dilindungi.

5. Adaptation (Penyesuaian)
Untuk daerah-daerah yang padat dihuni, persepsi bahwa proses pantai sebagai proses
statis perlu dikembangkan menjadi persepsi pantai sebagai proses dinamis, sehingga
masyarakat lebih bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Upaya penyesuaian /
adaptasi ini tidak mencegah atau memodifikasi proses erosi/akresi yang terjadi,
namun lebih ditekankan pada upaya-upaya sosialisasi kepada masyarakat untuk bisa
menerima konsekuensi tinggal disepanjang pantai serta menerima kondisi yang ada
(gambar 1b). Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menerapkan tataguna lahan,
pembatasan ijin bangunan, relokasi bangunan dan pembatasan jarak relokasi
bangunan tersebut (gambar 1e).

Tabel 1 berikut menunjukkan bebrapa upaya penangulangan permasalahan garis
pantai dengan pendekatan statis (hard engineering approcahes) dan dinamis (soft
engineering approaches). Dari tabel tersebut bisa dikaji lebih jauh, tipe bangunan
pantai apakah yang kira-kira bisa diterapkan di suatu daerah.

Tabel 1. Contoh Pemakaian Bangunan Pantai (Pope, 1997)

Upaya Statis (Hard) Dinamis (Soft) Sementara
Armoring Seawalls
Bulkheads
Revetments
Gravel Revetments Geotextile bags
Geotextile mats
Moderation Rock Groins
Sills
Breakwaters
Vegetation
Dune fixents
Floating
breakwater
Beach drain
Dune fencing
Geotextile bags
Restoration Fixed bypassing
plant
Dredging
Beach fill
Dune building
Nearshore berms

Abstention - - -
Adaptation - - -

Selanjutnya tahapan-tahapan dalam perencanaan jenis upaya teknis yang dilakukan
dalam melindungi pantai dan mengurangi kerusakan pantai akibat erosi atau banjir
dapat ditunjukkan dalam diagram sebagai berikut:

Perumusan Masalah
Maksud dan Tujuan Proyek
Kondisi Lokasi
- Hidrodinamika
- Geologi
- Ekonomis
- Lingkungan
- Sosial / Politik
Perumusan beberapa Alternatif Rencana Bangunan
- Disain awal layout bangunan
- Disain awal material bangunan
Evaluasi Alternatif Rencana Bangunan
- Analisa kinerja yang diharapkan
- Analisa Biaya dan Keuntungan (CBR)
- Analisa Dampak Lingkungan
- Kajian penerimaan masyarakat
Penentuan Alternatif Bangunan
Detail Disain Bangunan (DED)


Gambar 2. Diagram Proses penentuan jenis bangunan untuk penanggulangan
kerusakan pantai
Sejalan dengan yang disarankan dalam Buku Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Garis Pantai, langkah-langkah yang diambil adalah
i) Identifikasi permasalahan yaitu tahap perumusan masalah. Untuk itu
dilakukan kegiatan pengumpulan data dari pihak-pihak yang
berkepentingan (masyarakat pemerintah, dunia usaha). Identifikasi ini
dilanjutkan juga dengan identifikasi fisik (gelombnag, arus, pasang surut,
batimetri, garis pantai, dll), yaitu berupa pengumpulan data hidro
oseanografi daerah tinjauan, kondisi geologi, ekonomi, lingkungan dan
sosial/politik.
ii) Dari data yang telah terkumpul diusulkan berbagai alternatif rencana
bangunan yang masih berupa rencana awal layout bangunan dan potongan
melintang bangunan serta jenis material yang akan digunakan.
iii) Rencana bangunan pelindung pantai yang diusulkan ini dievaluasi dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat dengan cara konsultasi langsung ke
daerah yang perlu dilindungi. Dari sini diharapkan aspirasi dan harapan
masyarakat untuk bangunan yang akan dibuat bisa dirangkum.

Dari konsultasi yang dilakukan baru bisa diputuskan jenis bangunan yang akan
digunakan untuk pelindung pantai serta dilanjutkan dengan pembuatan Detail
Engineering Design (DED) untuk keperluan implementasi di lapangan.

Beberapa hal yang perlu diperjelas dalam proses tersebut diatas adalah berapa lama
bangunan tersebut diharapkan bisa bertahan, bagaimana kinerja bangunan yang
diharapkan oleh masyarakat, skenario penggunaan lahan di masa yang akan datang,
dampak lingkungan yang ditimbulkan, dampak bangunan terhadap sistem angkutan
sedimen, dan sebagainya.

Selanjutnya Pope (1997) merangkum filosofi bangunan pelindung pantai sebagai
berikut:
1. Tak ada satu pun bangunan pelindung pantai yang permanen. Tak satu pun
bangunan yang bisa bertahan selamanya di lingkungan pantai yang dinamis.
2. Tak satu pun bangunan pantai yang bisa digunakan untuk menanggulangi
seluruh lokasi. Bangunan yang berfungsi baik di suatu tempat belum tentu
berfungsi dengan baik di tempat lain.
3. Tak satu pun bangunan pantai yang bekerja baik pada semua kondisi. Setiap
pelindung pantai hanya didisain untuk kondisi tertentu yang terbatas, jika
batas kondisi tersebut dilampaui, maka bangunan tidak bisa berfungsi
sebagaimana yang diharapkan.
4. Tak ada bangunan pantai yang ekonomis atau murah.
5. Tapi, ada suatu cara/pendekatan yang mampu melindungi lokasi dalam jangka
waktu usia ekonomis bangunan yang efektif.
6. Ada upaya-upaya teknis yang bisa digunakan dengan bantuan proses-proses
pantai untuk mendapatkan hasil yang bisa diperkirakan.
7. Ada daerah-daerah dimana upaya manusia dalam melindungi pantai tidak
menghasilkan apapun.
8. Ada daerah dimana bangunan pantai (hard structures) lebih tepat digunakan.
9. Ada daerah dimana bangunan pantai tidak layak digunakan, soft structures
lebih tepat.
10. Ada daerah dimana tidak diperlukan bangunan perlindungan pantai.

Dari rangkumam diatas bisa disimpulkan bahwa tidak mudah merencana bangunan
pelindung pantai, banyak faktor yang harus dipertimbangkan, pun juga banyak data
dan informasi yang diperlukan untuk bisa sampai pada kesimpulan dan pemilihan
bangunan pelindung pantai yang akan digunakan.

Referensi:

1. US Army Corps of Engineers, 2000, Coastal Engineering Manual Part
2. Pope, J oan, 1997 Responding to Coastal Erosion and Flooding Damages,
J ournal of Coastal Research, Vol 13 Issue 3 p 704-710

You might also like