You are on page 1of 48

Cermin 1998

Dunia Kedokteran
International Standard Serial Number: 0125 – 913X

121.
Asma dan Masalah
Pernapasan Lain

Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary

Artikel

5. Masalah Asma di Indonesia dan Penanggulangannya – Zul


Dahlan
10. Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial – Faisal Yunus
16. Dampak Gas Buang Kendaraan Bermotor terhadap Faal Paru
– Faisal Yunus

19. Penyakit Membran Hialin – laporan kasus – Nuchsan Umar


Lubis
21. Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia Yang Didapat di Rumah
Sakit – Zul Dahlan
26. Insidensi Tes Serologi Mikoplasma Positif di Rumah Sakit
Hasan Sadikin, Bandung – Zul Dahlan, E. Soeria Soemantri

29. Keefektifan Paduan Obat Ganda Bisafik Anti Tuberkulosis


Dinilai Atas Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan Atas Dasar
Kegiatan Pemulihan Imunitas Protektif. 3.penilaian atas dasar
kegiatan pemulihan imunitas protektif – RA Handojo, Sandi
Agung, Anggraeni Inggrid Handojo

41. Efektivitas Extra Joss® dalam Memperbaiki Kinerja Ketahanan


Kerja – Nusye E. Ismail, Frans Suharyanto, Sundari
45. Pengalaman Praktek
46. Abstrak
48. RPPIK
Setelah hampir satu tahun penerbitan Cermin Dunia Kedokteran
ikut terkena imbas badai krisis yang melanda seluruh aspek kehidupan
negara kita tercinta, kami merasa sangat berbahagia dapat mengunjungi
kembali para Sejawat sekalian yang selama ini tetap setia memelihara
relasi, baik melalui surat, kiriman naskah maupun telepon.
Kami berharap bahwa sajian kali ini, kendati lebih ramping dan
dengan naskah "lama", masih dapat menyumbangkan sesuatu bagi
peningkatan pengetahuan Sejawat sekalian terutama yang bertugas di
tempat-tempat yang jauh dari pusat-pusat pendidikan dan informasi.
Penerbitan ini juga kami maksudkan untuk sekaligus menghimbau
kembali para Sejawat agar tetap sudi berkontribusi dengan cara
menyumbangkan naskah agar mutu majalah ini bisa makin ditingkatkan.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
selama ini tetap mendukung sehingga majalah ini bisa diterbitkan
kembali. Semoga di tahun-tahun mendatang akan menjadi lebih baik
lagi.
Selamat menyongsong Tahun Baru 1999 dengan harapan dan semangat
baru.

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Cermin
Dunia Kedokteran
1998

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH REDAKSI KEHORMATAN


Prof. Dr Oen L.H. MSc
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-
KETUA PENYUNTING Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa darmo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Menteri Kesehatan,
Dr Budi Riyanto W Jakarta. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
PELAKSANA – Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo
Sriwidodo WS Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi – Prof. DR. B. Chandra
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
TATA USAHA
Surabaya.
Dodi Sumarna – Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno
SKM, MScD, PhD. – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
ALAMAT REDAKSI Bagian Periodontologi Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Universitas Indonesia, Jakarta Semarang.
Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt.
Telp. 4208171 – Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort – DR. Arini Setiawati
Laboratorium Ortodonti Bagian Farmakologi
NOMOR IJIN Fakultas Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Universitas Trisakti, Jakarta Jakarta,
Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT DEWAN REDAKSI


Grup PT Kalbe Farma
– Dr. B. Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto
PENCETAK Zahir MSc.
PT Temprint

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di- Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih P.O. Box 3117 Jakarta.
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 3
English Summary

THE EFFECTIVENESS OF BIPHA- compared to patients with strong riod even after six months treat-
SIC COMBINATION ANTITUBER- positive tuberculin reactions (≥ 16 ment. Immunological cure follow-
CULOSIS TREATMENT BASED ON mm). The achievement of immu- ing treatment with the conven-
THE ANTIMICROBIAL ACTIVITY nological cure indicates the tional regimen HS/11H2S2 was
AND ON THE RECOVERY OF occurrence of restoration of achieved not before the end of
PROTECTIVE IMMUNITY immune status which means the the twelfth month treatment
enhancement of protective period by the group of patients
immunity. that has not undergone pretreat-
RA Handoyo, Sandi Agung,
The dual drug biphasic short ment drug-susceptibility test.
Anggraeni Inggrid Handoyo course regiments of INH and RMP despite the fact that horizontal
The Indonesian Association of Pul- used by the group of patients regression had taken place
monologists. Malang. Indonesla with fully sensitive bacilli to INH already at end of the first month
The TB Center of Surabaya, Indonesia and RMP, by the group of pa- treatment perlod.The same treat-
tients with resistant bacilli to INH ment regimen used by the same
A clinical study on the efficacy and/or RMP. Mostly resistant to group of patients but that con-
of anti-tuberculosis regimens in INH only, as well as by the group sisted only of treatment failure
terms of their activity to restore of patients that has not under- cases as assessed bacteriologi-
protective immunity was con- gone pretreatment drug-sus- cally at end of the sixth month
ducted in the TB Centre of Ma- ceptibility test, was able to bring treatment period, was able to
lang, comprising 204 pulmonary about horizontal regression in the bring about horizontal regression
tuberculosis patients with positive spectrum of immune status of of 3 months duration following
sputum on smear as well as on tuberculosis since at end of the start of treatment followed by the
culture and that have not receiv- first month treatment period. Be- event of horizontal progression
ed any anti-TB drugs before. sides, immunological cure was that continued until the end of
At random, sixty-eight patients also achieved at the same time. the treatment period. Immunolo-
were allocated to a short course On the other hand, during gical cure was however not
regiumen of HR/5H2R2, 68 patients treatment with the dual drug achieved.
to a short course regimen of HR/ biphasic conventional regimen Knowledge on the event of
8H2R2 and another 68 patients to of INH and SM, immunological bacteriological and of immuno-
a conventional regimen of HS/ cure was achieved already at logical healing following the
11 H252, the end of the 3rd month treat- advent of antituberculosis che-
The activity of restoring pro- ment period only when the men- motherapy opens new prospects
tective immunity was assessed tioned regimen was used by the for doing further investigation on
on the basis of the capacity to group of patients that had fully the value of immunotherapy with
restore group immune status in sensitive bacilli to INH and SM. BCG in shortening the duration of
the spectrum of immune status of The result of the study reported treatment and stabilizing the cure.
tuberculosis from the Koch type here using the 9-month short This has to be contemplated
to the Listeria type immune status. course regimen (HR/8H,R) and especially in areas where tuber-
Immune status in tuberculosis the 12-month conventional re- culosisis endemic, and where cost
Is determined on the basis of the gimen (HS/11H2S2) revealed that of treatment and compliance
mean induration of tuberculin restorative activity of immune failure are problems.
reactions among and of the ratio status cq enhancement of pro-
of patients with normal positive tective immunity proceeded Cermin Dunia Kedokt 1998; 121: 33-34
Rah,Sa,Alh
tuberculin reactions (10-15mm) during the entire treatment pe-

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Artikel
OPINI

Masalah Asma di Indonesia


dan Penanggulangannya
Zul Dahlan
Subunit Pulmonologi Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung

PENGANTAR daerah perkotaan dan industri. Prevalensi yang tinggi ini


Asma merupakan penyakit saluran nafas yang ditandai oleh menunjukkan bahwa pengelolaan asma belumlah berhasil.
penyempitan bronkus akibat adanya hiperreaksi terhadap se- Berbagai faktor menjadi sebab dari keadaan ini yaitu berbagai
suatu perangsangan langsung/fisik ataupun tidak langsung. kekurangan dalam hal pengetahuan tentang asma, kelaziman
Tanpa pengelolaan yang baik penyakit ini akan mengganggu melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre terapi,
kehidupan penderita sehari-hari dan penyakit akan cenderung sistimatikadan pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan
mengalami peningkatan dan dapat menimbulkan komplikasi penyuluhan, serta pendanaan pengelolaan asma.
ataupun kematian. Untuk meningkatkan pengelolaan asma yang baik hal-hal
Walaupun asma merupakan penyakit yang dikenal luas di tersebut di atas harus dipahami dan dicarikan pemecahannya.
masyarakat namun kurang dipahami semestinya hingga timbul
anggapan dari sebagian dokter dan masyarakat bahwa asma EPIDEMIOLOGI ASMA
merupakan penyakit yang sederhana serta mudah diobati, dan
Definisi asma
bahwa pengelolaannya yang utama adalah obat-obatan asma
Terdapat kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara me-
khususnya bronkodilator. Timbul kebiasaan dari dokter dan
ngontrol asma. Pertama-tama timbul akibat perbedaan perspektif
pasien untuk mengatasi gejala asma saja khususnya terhadap
mengenai definisi asma serta metode dan data penelitiannya(1,2).
gejala sesak nafas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan
Ke dua. diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner
dan bukannya mengelola asma secara lengkap.
tentang adanya serangan asma dan mengi saja tanpa disertai hasil
Penderita asrna ringan dan periodik tidak menyadari meng-
tes faal paru untuk mengetahui adanya hiperreaksi bronkus
idap penyakit ini dan menduganya sebagai penyakit pernafasan
(HRB). Ke tiga, untuk penelitian dipakai definisi asma
lain atau "batuk biasa'". Gangguan batuk dan sesak dialami bila
berbedabeda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current
ada rangsangan seperti angin malam yang dingin, flu atau iritasi
asthma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan
bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-
terdapat HRB: asma persisten, bila terus menerus terdapat
mata terjadi akibat rangsangan faktor pencetus tersebut. Pemikir-
gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik
an timbul bila nafas telah berbunyi atau mengi dan mengganggu
dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi(1).
kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah
Ke empat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh
terdapat gangguan lanjut berupa emfisema alas gangguan faal
berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara,
paru hingga perlu menggunakan obat asma secara kontinyu.
daerah. kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau
Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik
sekolah/rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan) usia (anak,
haruslah dilakukan pada saat dini dengan berbagai tindakan
dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi,
pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma dan
pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin,
pemakaian,hal bisa seperlunya pada waktu serangan asma saja.
kegiatan fisik), dan tingkat berat serangan asma.
Namun pada saat ini hal tersebut masih jauh dari kenyataan.
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi Morbiditas asma
morbiditas dan moratitas asma di seluruh dunia terutama di Dilaporkan adanya peningkatan prevalensi asma di seluruh

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 5


dunia secara umum dan khususnya peningkatan frekuensi pe- utama terapi. Asma potensil untuk menjadi penyakit seumur
rawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi. Penyebab hidup dan harus diperlakukan sebagai penyakit kronik lain se-
terjadinya hal ini diduga disebabkan peningkatan kontak dan perti DM, dan hipertensi. Belum ada kerjasama berlanjut antara
interaksi alergen di rumah (asap, merokok pasif) dan atmosfir dokter dan pasien dalam upaya penegakan diagnosis dan terapi
(debu kendaraan). Kondisi sosioekonomis yang rendah asma yang benar yang diikuti upaya kelola mandiri dari pasien.
menyulitkan pemberian terapi yang baikc". Usaha penyuluhan asma yang lebih baik juga masih kurang,
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8–10% hingga tidaklah disadari bahwa komplikasi kematian akibat
pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir asma dapat dihindari.
ini meningkat sebesar 50%(4). Prevalensi asma di Jepang di- b) Pasien dan masyarakat
laporkan meningkat 3 kali dibanding tahun 1960 yaitu dari 1,2% Masyarakat masih menganggap asma penyakit tidak bisa
menjadi 3,14%, lebih banyak pada usia muda°1. Penelitian pre- disembuhkan, bersifat kronik dan cenderung progresif. Juga
valensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada tidak mengetahui cara ataupun tidak melaksanakan pencegahan
data atopi, mengi dan HRH menunjukkan kenaikan prevalensi dari serangan asma di rumah. Masyarakat umumnya
asma akut di daerah lembab (Belmont) dari 4,4%(1982) menjadi mempunyai pengertian yang salah tentang pemakaian inhaler.
11,9% (1992). Singapura dari 3,9% (1976) menjadi 13,7%(1987), Penderita asma memiliki rasa rendah diri dengan asma yang
di Manila 14,2% menjadi 22.7% (1987). Data dari daerah perifer dideritanya. Dan belum terlihat adanya usaha yang baik dalam
yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat mengontrol merokok dan menghindari alergen.
atopi sebesar 20,5%, mengi 2%, HRH 4%(1).
2) Cara Penegakan Diagnosis Asma
Serangan asma juga semakin berat, terlihat dari meningkat-
Menjadi anggapan umum bahwa diagnosis asma ditegakkan
nya angka kejadian asma rawat inap dan angka kematian. Asma
dengan adanya sesak nafas dan mengi (wheezing). Sesungguhnya
juga merubah kualitas hidup penderita dan menjadi sebab pe-
kriteria diagnosis yang dianjurkan adalah :
ningkatan absen anak sekolah dan kehilangan jam kerja. Biaya
a) Anamnesis
asma sebesar F. 7.000 Milyard di Perancis yaitu 1% dari biaya
Keterangan adanya sesak nafas paroksismal yang berulang
pemeliharaan kesehatan langsung ataupun tidak langsung.
kali, mengi dan batuk (cenderung timbul pada malam dan dini
meningkat terus(4).
hari). Gejala hilang pada saat istirahat dan remisi. Adanya faktor
Penelitian di Indonesia tersering menggunakan kuesioner
predisposisi atau presipitasi.
dan jarang dengan pemeriksaan HRB. Hampir semuanya dilaku-
b) Pemeriksaan penunjang
kan di lingkungan khusus misalnya di sekolah atau rumah sakit
Didapatkan obstruksi bronkus reversibel yang diketahui
dan jarang di lingkungan masyarakat(6). Dilaporkan pasien
dari hasil terapi, tes bronkodilatasi atau perubahan alami; hiper-
asma dewasa di RS Hasan Sadikin berobat jalan tahun 1985-
sensitifitas bronkus, diketahui dari peningkatan reaksi kontraksi
1989 sebanyak 12.1% dari jumlah 1.344 pasien dan 1993
bronkus terhadap acetylcholine, metacholin, histamin, dan lain-
sebanyak 14,2% dari 2.137 pasien. Pada perawatan inap 4,3%
lain; adanya predisposisi atopik, peninggian IgE antibodi spesi-
pada 1984/ 1985 dan 7,5% pada 1986–1989. Pasien asma anak
fik terhadap alergen lingkungan; adanya peradangan saluran
dan dewasa di Indonesia diperkirakan sekitar 3–8%, Survai
nafas, peningkatan eosinofil sputum, creola bodies(8).
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka
Diagnosis asma perlu dibuat dengan disertai tingkat ringan-
sebesar 7,6%. Hasil penelitian asma pada anak sekolah berkisar
beratnya asma.
antara 6,4% dari 4.865 anak (Rosmayudi, Bandung 1993), dan
15,15% dari 1.515 anak (multisenter, Jakarta)(6). 3) Evaluasi Asma Pre Terapi
Jarang dikerjakan diagnosis atau evaluasi asma pre terapi
Komplikasi asma
lengkap sebagai dasar paket pengelolaan asma yang sistimatik
Mortalitas asma meningkat diseluruh dunia dari 0,8/100.000
dan individual. Biasanya pasien diobati hanya berdasarkan
(1977), menjadi 1,2 (1990) dan 2,1 (1991)(7). Di Singapura di-
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengelolaan asma dalam hal
laporkan sebesar 1/10.000(2). Laporan yang terkumpul dari Indo-
ini ibarat mengobati nyeri dada sebagai suatu penyakit jantung
nesia adalah dari pasien status asmatikus dengan angka kematian
iskemik tanpa melakukan pemeriksaan EKG. Tes faal paru
di RS Sutomo Surabaya 2,9% dari 68 pasien (1978), RS Hasan
khususnya tes reversibilitas perlu ditekankan sebagai pemeriksa-
Sadikin Bandung 0,73% dari 137 pasien (1984)(6).
an yang penting untuk diagnosis dan tindak lanjut pengelolaan
asma.
MASALAH PENGELOLAAN ASMA
Penelitian Internasional menunjukkan bahwa di Inggris,
Terdapat berbagai hal yang menimbulkan masalah dalam
New Zealand, dan Australia pemeriksaan pre terapi Arus Puncak
pengelolaan asma khususnya di Indonesia :
Ekspitusi (APE) pada pasien asma dilaksanakan mendekati 100%,
1) Pengetahuan Yang Kurang Tepat Mengenal Konsep dan pengukuran rekaman rutin harian APE oleh pasien sebesar
Asma 42,1%. Penelitian asma berdasarkan Iaporan 1.197 dokter Asia
a) Para medisi termasuk Indonesia (7.1%) yang terdiri dari pulmonologis, inter-
Pengetahuan patogenesis asma yang benar bahwa peradang- nis, ahli anak dan ahli alergi mendapatkan penegakan diagnosis
an bronkus sebagai faktor dasar asma belum merata, dan belum asma yang biaya dilakukan di Asia seperti terlihat pada Tabel 1(8).
disadari bahwa mengatasi peradangan bronkus adalah tujuan Tes reversibilitas rata-rata di Asia yang dikerjakan pada 45%

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Tabel 1. Pemeriksaan diagnostik pada asma dari 12 negara Asia

Tes Tes Eosinofil Tes IgE Tes Tes prov.


Anamnesis Auskultasi
umum reversibilitas darah alergi kulit spesifik steroid po non alergi

Prosentase 91 87.5 67.4 45 11.8 27.3 24.1 21.8 9.3

pasien, oleh dokter ahli di Indonesia prosentase pelaksanaan pe- bagai aspek asma misalnya yang berkaitan dengan keadaan
meriksaan ini jauh lebih rendah walaupun tes alergi kulit di- morbiditas/mortalitas, atopi, faktor predisposisi dan pencetus,
kerjakan pada 18,1%01. penyulit, dan pengelolaannya. Penelitian umumnya baru di-
lakukan dalam bentuk kuesioner pada lingkungan terbatas. Hal
4) Sistim Pengelolaan Asma
ini merupakan hambatan untuk melakukan rencana pengelolaan
Pengelolaan asma belum menyeluruh terhadap berbagai
yang lebih terarah.
aspeknya secara sistimatik dan kontinyu. Terapi belum tuntas
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaslah bahwa perlu
dan umumnya baru ditujukan untuk mengatasi gejala asmanya
dilakukan berbagai hal antara lain, penyebarluasan
saja. Pengelolaan secara sistimatis seharusnya mencakup: a)
pengetahuan mengenai asma, pelaksanaan pengelolaan yang
Penegakan diagnosis lengkap; tingkat beratnya asma, faktor
sistimatik, serta penelitian yang baik agar dapat terlaksana
pencetus dan presipitasi. b) Kerjasama yang kontinyu antara
pengelolaan asma yang benar. Diharapkan kelak akan dapat
dokter (klinik/RS) dengan pasien dan lingkungannya (di rumah
tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik dan
dan tempat kerja). c) Upaya mengatasi bronkospasme/serangan
peningkatan produktifitas kerja pasien asma.
dengan terapi akut dan terapi pencegahan di klinik/RS dan di
rumah, pencegahan serangan dengan mengatasi faktor trigger
STRATEGI PENGELOLAAN ASMA
dan inducer. d) Pilihan obat yang tepat berupa suatu sistim
. Berbagai hal tersebut di alas diharapkan dapat diatasi dan
dengan pemilihan steroid sebagai terapi asma utama yang di-
dilaksanakan dengan suatu sistim pengelolaan asma praktis yang
tujukan untuk mengatasi inflamasi pada semua tingkat asma,
dilaksanakan bersama-sama oleh pihak medisi dan pasien
kecuali yang paling ringan(9). Pada waktu ini disarankan terapi
untuk mendapatkan suatu kontinuitas pengelolaan asma di
asma sebagai berikut: jenisnya adalah CBA (corticosteroid, b2
sarana pela-yanan kesehatan dan di rumah pasien. Dengan cara
agonis, aminofilin), terpilih dalam bentuk obat inhalasi, dengan
ini gangguan penyakit dapat diatasi dan seterusnya
dosis yang adekuat secarateratur, bilaperlu kontinyu. e)
serangannya dapat dicegah. Perlu dilaksanakan koordinasi
Tersedia pedoman tertentu bagi pasien untuk pelaksanaan di
dalam peningkatan tata cara serta upaya pengelolaan asma
rumah: membiasakan tindak lanjut dengan pengukuran APE
dengan didasarkan pada pendataan asma yang baik.
(menggunakan Peak Flow Rate Meter), melaksanakan usaha
rehabilitasi atau preventif. f) Upaya pengelolaan asma yang 1) Dasar strategi pengelolaan asma
dilakukan secara gigih dan teratur. Petunjuk Pengelolaan Asma Internasional misalnya Inter-
national Consensus Report on Diagnosis and Management of
5) Pembiayaan dan cara terapi
Asthma(9), atau Global Initiative For Asthma(10).
Obat asma inhalasi terutama obat inhalasi kortikosteroid
Pelaksanaan pedoman pengelolaan asma secara nasional di
mahal. Obat asma per oral tetap dapat dipakai asal dikontrol
Indonesia harus mengusahakan :
dengan baik.
a) pembentukan tim pelaksana asma lokal/nasional.
6) Peningkatan limn dan keterampilan dokter serta penyu- b) adaptasi pedoman asma internasional/nasional pada pema-
luhan kepada masyarakat kaian lokal dengan mempertimbangkan:
Hal ini telah Sering didengung-dengungkan namun pelak- ∗ keadaan sosioekonomis, yaitu kemampuan daya beli yang
sanaannya belum cukup. Di samping itu perlu dilakukan pe- rendah
nyiapan tenaga paramedis ataupun non medis sebagai petugas ∗ kultur, sikap pasien yang menganggap asma sebagai pe-
penyuluhan di klinik/RS. nyakit yang tidak dapat disembuhkan
7) Penelitian asma dan perencanaan pengelolaannya ∗ kebiasaan dokter dalam menulis resep; misalnya kecende-
Data studi epideminlogi membantu usaha pencegahan asma rungan memberikan sedatif atau anti alergi(2), dan pemberian
dan perencanaan peningkatan pengelolaan asma yang lebih baik. campuran obal asma yang rasional.
Untuk ini diperlukan tatacara dan koordinasi pendataan asma c) pelaksanaan petunjuk dalam bentuk protokol dan
yang baik, serta perlu dibuat protokol yang seragam agar data formulasi yang jelas.
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya secara nasional. d) kerjasama yang mantap dalam penggunaan protokol oleh
Penelitian asma yang baik antara lain dari International pusat kesehatan dan pasien agar tercapai kelola diri yang baik.
Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) yang d) evaluasi pelaksanaan pedoman pengelolaan asma(2).
diselenggarakan di 15 negara dan terdiri dari 2 bagian yaitu Telah dipublikasikan pedoman pengelolaan asma yang
kuesioner dan tes atopi serta HRB(1). baik(9,10). Di Bandung telah dikeluarkan buku Pedoman Penge-
Di Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai ber- lolaan Asma Berobat Jalan (1994) yang mencoba mengupayakan

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 7


hal tersebut(11). 5) Rencana Kegiatan
1) Rencana Jangka Pendek
2) Sarana
• Melakukan uji coba pelaksanaan pengelolaan asma terpadu
Perlu dipenuhi adanya hal-hal sebagai berikut :
pada suatu pusat percontohan pelayanan kesehatan asma
a) Sistimatika pengelolaan asma yang menyeluruh berdasar-
kan patogenesis asma yang mutakhir. • Menjajagi kemungkinan kerjasama pelaksanaan dengan :
b) Personil medik yang paham dan trampil mengelola asma. – instansi pendidikan kedokteran
c) Pemahaman dan ketrampilan penderita dalam merawat – instansi kesehatan
dirinya sendiri. – badan-badan pemerintah dan swasta yang berminat.
d) Penyediaan pusat-pusat kegiatan pengelolaan asma Serta 2) Rencana Jangka Panjang
peralatan diagnostik dan terapi yang memadai. Meluaskan usaha memasyarakatkan cara perawatan asma
3) Cara yang baik agar :
Penyediaan buku pedoman penegakan dan pengelolaan asma • dilaksanakan pula oleh pusat-pusat kesehatan lainnya
yang berdasarkan kepada patogenesis yang terbaru. • mencakup kegiatan yang lebih luas. Misalnya pendirian
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan kalangan medik perkumpulan kemasyarakatan pasien asma.
(dokter dan paramedik), serta non medik dalam mengelola asma
berdasarkan ilmu dan metoda terbaru. KEBUTUHAN SARANA
Meningkatkan pengetahuan. ketrampilan dan kerjasama dari 1) Sarana instansional:
pasien asma. kalangan masyarakat/keluarganya mengenai cara- • Klinik khusus pengelolaan asma di Rumah Sakit/pusat
cara pengelolaan asma. pelayanan kesehatan lainnya
Menganjurkan, ikut membina dan bila perlu membangun 2) Sarana Personil dan ketrampilannya:
pusat-pusat pelayanan asma (di RS, puskesmas, klinik). per- • Dokter ahli penyakit dalam/anak/paru.
kumpulan masyarakat (misalnya klub asma) dan kegiatan lain- • Dokter ahli rehabilitasi medik,
nya untuk pencapaian maksud di atas. • Dokter umum, atau dokter ahli lain yang berminat
Mengumpulkan data epidemiologi asma pada pusat-pusat • para medik, ahli fisioterapi
kesehatan yang akan bermanfaat untuk pengelolaan asma se- • personal lain yang berkecimpung dalam pengelolaan asma.
lanjutnya di Indonesia. 3) Sarana peralatan, berupa alat yang portabel ataupun tidak :
Membuat perencanaan pengelolaan asma lebih lanjut. • Evaluasi asma: spimmetri, PF Meter, tes alergi, labora-
torium (sel eosinofil, IgE). dan alat radiologi
4) Bentuk kegiatan • Alat peraga dan informasi
Pendidikan : – terapi asma: obat inhalasi dan alat bantunya
a) Personil medik – set oksigen
• Ceramah kepada personil medik pada pusat-pusat kesehatan – alat rehabilitasi medik
• Mengadakan demonstrasi/petunjuk mengenai cara-cara : – audiovisual, cetakan (brosur, booklet)
– diagnostik dan evaluasi asma di klinik/rumah. antara lain • Sarana informasi dan cetakan (brosur, kuesioner)
penggunaan Peak Flow Meter • Transportasi/honor petugas.
– pemberian terapi inhalasi atau bentuk lainnya Demi keberhasilan usaha pengelolaan asma yang baik perlu
– rehabilitasi medik paru ditegakkan motto: Kelola dan obatilah asma dan bukan hanya
– pencegahan terhadap labor pencetus asma gejalanya.
– tindakan mengatasi serangan asma akut
• Membantu pendirian klinik asma. RINGKASAN
b) Penderita atau masyarakat Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini di-
Mengadakan penyuluhan mengenai asma dengan cara : sebabkan terutama oleh pengertian yang salah mengenai asma,
• Penyuluhan langsung dan tanya jawab pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap
atau sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan
• Memberikan materi cetakan atau bentuk lainnya mengenai
lanjutan.
cara-cara pengelolaan asma yang baik :
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan strategi
− penggunaan PEFR dan cara pemeriksaan APE
pengelolaan asma berdasarkan pedoman pengelolaan yang
− cara penggunaan alat terapi yang benar lengkap dan sistimatik. Kerjasama yang erat di antara para dokter
− cara latihan paru/rehabilitasi dan petugas medik lainnya dengan penderita asma sangatlah di-
– cara-cara menghindari labor pencetus/pemberat asma perlukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Dengan
– cara pencatatan/pelaporan evaluasi terapi asma upaya ini diharapkan akan tercapai penyebarluasan cara penge-
• Pendirian pusat-pusat pelayanan kesehatan asma. lolaan asma preventif dan kuratif yang sesuai dengan perkem-
Untuk tahap permulaan bisa dilakukan oleh 2-4 orang bangan limo dan metoda pengelolaan asma yang mutakhir. Dan
personil, yaitu : dokter. perawat, fisioterapis akan tercapai pula penurunan angka morbiditas maupun mortali-
• Mengumpulkan data epidemiologik dan hasil evaluasi. tas yang diakibatkan oleh asma ataupun komplikasinya.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


KEPUSTAKAAN
6. Soena Stxmantri ES. Epidemiologi asma di Indonesia. Buku Makalah
1. Woolcock A. Epidemiology asthma - worldwide trends. Airways in Lengkap Penemuan Ilmiah Recent Advances In Respiratory Medicine.
asthma. Effects of treatment. August 1994. Penang Malaysia. Excerpta Konkemas Peikumpulan Dokter Paru Indonesia. 6-9 Juli 1995.
Medica 1995: 36-38. 7. Sly MS. Changing in asthma mortality. Ann Allerg 1994; 73. 259-768.
2. Tan WC. Asthma in South Asia-What are the issues? Strategy for reducing 8. Miyamoyo T, Mikawa H. Asthma management In Asia. The 8th Allergy
asthma mortality, by Halgate ST. Proc. 12th Asia Pacific Congress on and Respiratory Diseases Conference. Life Science Medica Co, Ltd. Marc
Diseases of the Chest. Seoul. Korea. 1992 2 I. 1994 : 10–32, 14–54, 124–158.
3. Pingleton SK. Advances in Respiratory Critical Care. J Crit Care 1966 9. Sheffer AL. International consensus Report on Diagnosis and management
1-2. of Astma. US Departement of Health and Human Services. Clinical and
4. Michel FB. Neukirch F. Housyuel J. Asthma: a world problem of public Experimental Allergy, May 1992. Vol. 2. Suppl. I.
health. Bull Acad Natl Med 1995 Feb; 199(2): 279-93. discuss. 293-7. 10. Lenfant C. Global Initiative for Asthma. Global Strategy For Asthma
(Abs.). Management And Prevention. NHLBI/WHO Workshop Report. March
5. Akiyama K. Review ofl epidemiological studies on adult bronchial asthma. 1993. National Institute of Health. Publication No.: 95-1659. Januari 1995.
National Sagamihara Hospital. Japan. Nippon Kyobu Shikkan Gakkai 11. Dahlan Z. Pedoman Pengelolaan Asma Bronkiale Berobat jalan. Balai
Zasshi 1994 Dec.; 32 Suppl. 200–10. Informasi Asma Bina Husada, Bandung, 1994.

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 9


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Manfaat Kortikosteroid
pada Asma Bronkial
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia SMF Paru
RSUP Persahahatan, Jakarta

PENDAHULUAN yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
napas yang menyebabkan sensitifnya trakea dan cabang-cabang- dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang teijadi(5).
nya (hipereaktivitas bronkus) terhadap berbagai rangsangan. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung
Rangsangan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran napas menyebabkan serangan asma, melalui sel efektur sekunder se-
yang menyeluruh dengan derajat yang bervariasi dan dapat perti eosinofil. netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi
membaik dengan atau tanpa diobati. Pada kelainan ini berperan ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens.
berbagai sel inflamasi antara lain sel mast dan eosinofil(1-3). tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi
Penyakit asma dapat terjadi pada berbagai usia baik laki-laki asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya me-
maupun perempuan. Angka kejadian asma bervariasi di berbagai nimbulkan hipereaktivitas bronkus(5). Pada Gambar 1 dapat
negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit dilihat peranan berbagai sel pada reaksi asma.
ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat-obat Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early
asma banyak dikembangkan. Di negara maju angka kesakitan asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma
dan kematian karena asma juga terlihat meningkat. reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran napas
Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh terjadi segera yaitu 10–15 menit setelah rangsangan dan meng-
karena itu obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi hilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Kortikosteroid adalah respons terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin
salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak digunakan yang bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui
dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang be- refleks vagal. Keadaan ini mudah diatasi dengan beta-2 agonis(4,5).
kerja secara topikal maupun secara sistemik. Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam
rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 16–24 jam, bahkan
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ASMA BRON- kadang-kadang sampai beberapa minggu. Fase ini disertai
KIAL dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, infla-
merupakan suatu hal yang kompleks.Hal ini terjadi karena lepas- masi netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme
nya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan bronkus. Pada fase ini peran spasme bronkus kecil, akibatnya
mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis(4,5).
basal. Berbagai faktur pencetus dapat mengaktivasi sal mast(4). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses
Selain sel mast sel lain yang juga dapat melepaskan mediator dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau
adalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel epitel jalan napas, kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan se-
netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan kitarnya, berupa(4,5) :
mengaktitkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus • Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi • Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Gambar 1. Peranan sel inflamasi pada reaksi asma(5)

Gambar 2. Fase obstruksi jalan napas pada asma(4)

eosinofil. besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak


• Edema mukosa dan eksudasi plasma. langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk
• Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada
yang mengalami hipertrofi. seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
Pada Gambar 2 dapat dilihat face obstruksi jalan napas hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi
pada asma. beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun
Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa inhalasi zat nonspesifik(7-11).
melibatkan sel mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma MEKANISME KERJA KORTIKOSTEROID PADA
terjadi melalui reteks saraf. Rangsang ujung saraf eferen vagal ASMA
(c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya neuropeptid Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui
sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related dengan pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortiko-
Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan ter- steroid dapat membentuk makrokortin dan lipo-modulin yang
jadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, bekerja menghambat fosfolipase A2 membentuk leukotrien.
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi(6). prostaglandin, tromboksan dan metabolit asam arakidonat lain(4).
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma, Pada Gambar 3 dapat dilihat cara kerja makrokortin terhadap

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 11


Klasifikasi berdasarkan etiologi
Dari segi mekanisme penyakit dan pengobatan, perlu di-
bedakan faktor-faktor yang menginduksi inflamasi dan menim-
bulkan penyempitan saluran napas dan hiperaktivitas (inducers)
dengan faktor-faktor yang dapat mencetuskan konstriksi akut
pada penderita yang sensitif (inciters). Banyak usaha dilakukan
untuk menentukan klasifikasi secara etiologi. Termasuk klasifi-
kasi ini adalah(1,3) :
• Asma intrinsik (criptogenic)
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
• Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi
genetik yang berhubungan langsung dengan IgE sel mast dan
respons eosinofil lerhadap alergen yang umum.
Klasifikasi berdasarkan berat penyakit
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
Gambar 3. Penghambatan makrokortin terhadap fosfolipase A2(4)
beratnya penyakit. Kombinasi berbagai pemeriksaan, gejala-
gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit
fosfolipase A2. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah meng- menurut beratnya. Klasifikasi ini lebih penting untuk tujuan
halangi pembentukan mediator oleh sel inflamasi, menghalangi penatalaksanaan asma. Pada klasifikasi ini beratnya ditentukan
penglepasan mediator dan menghalangi respons yang timbul oleh berbagai faktor yaitu(1,3) :
akibat lepasnya mediator(12) (Tabel l). I. Gambaran klinik sebelum pengobatan
Tabel 1. Efek kortikosteroid terhadap mediator yang timbul pada serang- • gejala
an asma(12) • eksaserbasi
• gejala malam hari
Mediator Sumber Efek
• pemberian obat inhalasi β-2 agonis
PGD2 Siklooksigenase Tidak ada
besar produk dari sel • uji faal paru
mast netrofil Menekan pembentukan II. Obat-obat yang digunakan untuk mengontrol penyakit
PAF-"acether" Basofil, makrofag, Menekan pembentukan Dari gabungan tersebut maka asma diklasifikasikan dalam
platelet, netrofil Menghambat penglepasan (Gambar 4) :
LTD4 Eosinofil Menekan pembentukan
Menghambat penglepasan 1. Intermitten
Sel mast Tidak ada 2. Persisten ringan
Histamin Sel mast Tidak ada 3. Persisten sedang
Basofil Menghambat penglepasan 4. Persisten berat
Bradikinin Kininogen di plasma Menekan pembentukan
Kininogen yang dilepaskan
oleh basofil Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan
Faktor turunan Aktivasi sistim komplemen Menghalangi penggabung- Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu
kamplemen di plasma (menerlukan an terhadap lekosit terjadi serangan yang dipantau dengan pemeriksaan APE. Kla-
adanyn netrofil)
sifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang me-
nyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak
Sebagai anti inflamasi kortikosteroid bekerja melalui bebe- terhadap pengobatan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah(3) :
rapa mekanisme(13,14), yaitu : • Asma Intermitten
• Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mem- Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Di
pengaruhi leukotrien dan prostaglandin, antara dua serangan APE normal, tidak terdapat atau ada hi-
• Mengurangi kebocoran mikrovaskuler, pereaktivitas bronkus yang ringan.
• Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi, • Asma Persisten
• Menghambat produksi cytokines, Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, se-
• Meningkatkan kepekaan reseptor β pada otot polos bronkus. rangan sering terjadi dan terdapat hiperaktivitas bronkus. Pada
beberapa penderita asma persisten yang berlangsung lama, faal
KLASIFIKASI ASMA paru tidak pernah kembali normal meskipun diberikan peng-
Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan obatan kortikosteroid yang intensif.
berdasarkan etiologi, beratnya penyakit asma dan pola waktu • Brittle Asthma
terjadinya obstruksi saluran napas. Klasifikasi ini berguna untuk Penderita jenis ini mempunyai saluran napas yang sangat
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit serta menentukan sensitif, variabilitas obstruksi saluran napas dari hari ke hari
prognosis penyakit(1,3). sangat ekstrim: Penderita ini mempunyai risiko tinggi untuk

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


efektif meskipun tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan
yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi
kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Faktor utama yang
berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak
terdiagnosisnya penyakit ini dan pengobatan yang tidak cukup.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit.
Asma dikatakan terkontrol bila(13) :
• Gejala kronik minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk ge-
jala asma malam
• Eksaserbasi minimal (jarang)
• Tidak ada kunjungan ke Unit Gawat Darurat
• Kebutuhan obatagonis β-2 minimal (idealnya tidak diperlu-
kan)
• Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
• Variasi harian APE kurang dari 20%
• Nilai APE normal atau mendekati normal
• Efek samping obat minimal (tidak ada).
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk(13) :
• Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
• Mencegah eksaserbasi penyakit
• Meningkatkan fungsi paru mendekati nilai normal dan
mempertahankan nilai tersebut
• Mengusahakan tercapainya tingkat aktivitas normal, ter-
masuk exercise
• Menghindari efek samping karena obat
• Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma jangka panjang perlu dirancang se-
demikian rupa agar penyakit dapat dikontrol dengan pemberian
obat-obatan seminimal mungkin. Pengobatan diberikan berda-
sarkan tahap beratnya penyakit.
Secara garis besar obat asma terdiri atas 2 golongan, yaitu
obat yang berguna untuk menghilangkan serangan asma, yaitu
mengurangi bronkokonstriksi yang terjadi. Obat ini disebut
obat pelega napas (reliever) yang umumnya beker sebagai
bronkodilator. Termasuk dalam golongan ini adalah(13-17) :
• Inhalasi agonis β-2 aksi singkat
• Kortikosteroid sistemik
• Inhalasi anti kolinergik
• Golongan Xantin
• Agonis β-2 oral
Obat ini diberikan pada saat terjadi serangan asma, tergan-
tung dari beratnya serangan obat dapat diberikan dalam bentuk
tunggal atau kombinasi. Pemberian dalam bentuk inhalasi lebih
dianjurkan. karena pemberian secara inhalasi mempunyai he-
berapa keuntungan yaitu(3,18) :
• Dosis rendah
• Efek samping minimal
• Bekerja terbatas pada saluran napas
Gambar 4. Klasifikasi Asma berdasarkan berat penyakit • Efek terapeutik cepat
Dikutip dari (3) • Dapat memobilisasi sekret di saluran napas
Tetapi obat ini juga mempunyai kelemahan yaitu, cara pem-
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam
berian yang kadang-kadang sulit dan harga obat yang relatif mahal.
jiwa.
Golongan obat kedua adalah obat yang dapat mengontrol
PENATALAKSANAAN ASMA asma disebut sebagai controller medications. Obat ini diberikan
Asma pada kebanyakan penderita dapat dikontrol secara setiap hari untuk jangka waktu yang lama.

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 13


Termasuk dalam golongan ini adalah(13-17) : selama 8 minggu dapat mengurangi hipereaktivitas bronkus serta
• Kortikosteroid inhalasi mencegah EIA. Empat minggu setelah penghentian obat efek
• Kortikosteroid sistemik penurunan derajat hipereaktivitas bronkus masih terlihat, tapi
• Sodium kromolin efek proteksi timbulnya ETA sudah menghilang. Tidak ada efek
• Sodium nedokromil samping pemberian obat(19).
• Teofilin lepas lambat Pada penderita asma ringan dan sedang pemberian budesonid
• Inhalasi agonis β-2 aksi lama inhalasi secara buta ganda tersamar dengan dosis 2 x 200 ug se-
• Agonis β-2 aksi lama oral lama 8 minggu menunjukkan peningkatan faal paru dan penurunan
derajat hipereaktivitas bronkus secara bermakna. Manfaat obat
• Ketotifen
masih terlihat setelah 2 dan 4 minggu pengobatan dihentikan.
• Obat anti alergen lain
Pada penelitian tersebut tidak ditemukan efek samping pada pen-
derita yang menggunakan steroid inhalasi(20).
MANFAAT KORTIKOSTEROID PADA ASMA BRON- Penelitian lain adalah membandingkan efektivitas inhalasi
KIAL beklometason dipropionat (BDP) dengan obat ketotifen oral
Obat pengontrol asma yang paling efektif adalah kortiko-
secara acak tersamar ganda. Inhalasi BDP diberikan 2 x 200 ug
steroid. Cara pemberian yang paling baik adalah secara inhalasi.
dan ketotifen diberikan 2 x I mg per oral selama 9 minggu.
Pemakaian kortikosteroid inhalasi jangka panjang dapat me-
Penelitian ini mendapatkan hasil sebagai berikut(21) :
nurunkan kebutuhan terhadap kortikosteroid sistemik. Pada
• Beklometason dipropionat dan ketotifen menurunkan de-
asma kronik berat dibutuhkan dosis inhalasi yang tinggi untuk
rajat hipereaktivitas bronkus secara sangat bermakna, tetapi
mengontrol asma. Bila dengan dosis inhalasi yang tinggi belum
beklometason memberikan efek yang lebih baik secara ber-
juga dapat mengontrol asmanya, maka ditambahkan kortiko-
makna dibandingkan dengan ketotifen.
steroid oral. Pada pemakaian kortikosteroid inhalasi jangka pan-
jang dapat timbal efek samping kandidiasis orofaring, disfonia • Manfaat pengobatan masih terlihat 2 minggu dan 4 minggu
setelah pengobatan ditentukan.
dan kadang-kadang batu. Efek samping itu dapat dicegah dengan
pemakaian spacer atau dengan mencuci mulut sesudah pemakai- • Tidak terdapat efek samping yang berarti selama pemberian
an alat. obat.
Obat kortikosteroid sistemik diberikan bila obat inhalasi Pada penderita asma akut berat ternyata pemberian kortikos-
masih kurang efektif dalam mengontrol asma. Obat sistemik teroid intravena yaitu triamsinolon asetonid 40 mg memberikan
juga diberikan pada saat terjadi serangan asma yang berat. perbaikan klinis dan faal paru yang lebih baik secara bermakna
Pemberian obat selama 5–7 hari dapat digunakan sebagai dibandingkan penderita yang tidak mendapat kortikosteroid.
terapi maksimal untuk mengontrol gejala asma. Pemberian dem- Pada kelompok penderita yang mendapat steroid, perbaikan
ikian dilakukan pada permulaan terapi jangka panjang maupun secara subjektif dan objektif terlihat setelah 4 jam pemberian
sebagai terapi awal pada asma yang tidak terkontrol atau selama obat, sedangkan kelompok yang tidak mendapat kortikosteroiud
masa perburukan penyakit(13,14). 22,17% tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian bronko-
Pemberian obat kortikosteroid jangka panjang mungkin dilator saja(22).
perlu untuk mengontrol asma persisten berat, tetapi pemberian
itu terbatas oleh karena risiko terhadap efek samping. Pemberi- PENUTUP
an inhalasi kortikosteroid jangka lama selalu lebih baik Asma adalah penyakit dengan dasar inflamasi kronik salur-
daripada pemberian secara oral maupun parenteral(13,14). an napas dan hipereaktivitas bronkus. Pengobatan asma selain
Bila pemberian oral diberikan untuk jangka lama harus di- menghilangkan atau mengurangi obstruksi saluran napas, hen-
perhatikan kemungkinan timbul efek samping. Untuk jangka daklah ditujukan pula untuk mengurangi inflamasi kronik yang
panjang pemberian obat secara oral lebih baik daripada paren- ada pada penderita asma stabil. Pada penderita yang mendapat
teral. Preparat oral golongan steroid yang bersifat short acting serangan akut kortikosteroid berguna untuk mengatasi inflamasi
seperti prednison, prednisolon dan metil prednisolon lebih baik akut yang terjadi. Kortikosteroid adalah obat antiintlamasi yang
karena efek mineralokortikoidnya minimal, masa kerja pendek sangat poten dan bermanfaat menurunkan derajat hipereaktivitas
sehingga efek samping lebih sedikit dan efeknya terbatas pada bronkus pada panderita asma.
otot. Bila mungkin prednison oral jangka lama diberikan selang Kortikosteroid inhalasi adalah obat antiintlamasi pilihan
sehari pada pagi hari untuk mengurangi efek samping. Tetapi untuk mengontrol asma. Pemberian inhalasi mempunyai ber-
kadang-kadang penderita asma berat memerlukan obat tiap hari bagai manfaat karena efektivitasnya tinggi dan efek sampingnya
bahkan dua kali sehari(13,14). minimal.
Pada suatu serangan asma akut berat pemberian kortiko-
HASIL PENELITIAN PEMBERIAN KORTIKOSTE-- steroid sedini mungkin akan mempersingkat serangan asma dan
ROID PADA PENDERITA ASMA DI RSUP PERSA- memberikan efektivitas pengobatan yang lebih baik.
HABATAN
KEPUSTAKAAN
Pemberian budesonid inhalasi pada 15 penderita asma go-
longan EIA( Exercise Induced Asthma) dengan dosis 2x200 ug 1. National Heart. Lung, Blood Institute. National Institute of Health. Inter-

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


national Consensus Report on Diagnosis and Dea nenl of Asthma, Defi- 11 Faisal Y. Hadiano M, Husaeri F. Pemeriksaan hypereaktivitas bronkus
nition. diagnosis and classification. Eur Respir J, 1992; 5: 605–7. dangan alat Astograph-laporan pendahuluan. Paru 1987 ; 7: 8–12.
2. American Thoracic Society. Medical Section of the American Lung Asso- 12. Ellin-Micallef R. Mode of action of Gluccoorticosteroids and their effects
ciation. Standard for the diagnosis and care of patients with chronic on asthmatic airways. Im Ellul-Micallef, Lam WK, Togood M. (Edit.
obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis, Advances in the use of inhaled corticoteroids. Exccrpta Medica Amster-
1987; 136: 22543. dam 1987 : 36–59.
3 National Institute of Health. National Heart Lung and Blood Institute. 13. National Instiotme of Health, National Heart Lung and Blood Institute. A
Diagnosis and Classification. In: Global Initiative for asthma 1995:45–61. six-part asthma management program. In. Global Initiative for Asthma
4. Kay AB. Basic mechanism in allergic asthma. In: Clack TJH, Mygind N. 1995 : 699–117.
Selmoa O. (Eds). Conicosteroids Treatment in Allergic Airway Disease. 14. Chung KF. Clark TIH. Conicosteroids. In: Asthma 3rd ed. eds. Clark.
Proceeding of a Symposium. Munksgaard Copenhagen 1982: 2–16. Goffrey and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992 ; 416–48.
5 So SY. Basic mechanism in allergic asthma. In. Ellul-Micallel. Lam WK, 15. Pauwels R. Non-steroidal prophylactic agents. In: Asthma 3rd. editor. ads.
Toogood 1H. (Edo). Advances in the use of inhaled conicosteroids. Clark, Caffrey and Lee. Lmdon. Chapman & Hall Medical 1992 449–61l
Excerpta Medica Amsterdam 1987: 3–0. 16. Weinberger M. Methylxanthines. In. Asthma. 3rd ed.. cd. Clark.Garrey
6 Barnes PJ. Neuropeptide and asthma. Am Rev Respir Dis (suppl) 1991; and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992; 390–415.
143: S28-S32. 17. Hall IP, Tattersfield AE. Beta-agonists. In. Asthma 3rd ed. eds. Clark.
7. Juniper EF, Frith PA. Hargreave FE. Airway responsiveness to histamine IX. Caffrey and Lee. London, Chapman & Hall Medical 1992 341 65.
and methacholin relationship to minimum treatment to consul symptoms 18. Faisal Yunus. Prinsip dasar dan peranan terapi inhalasi. Medika 1992: (1)
of asthma. Thorax 1981: 36. 575–9. 18: 25–31.
8. Faisal Yunus. Asrul Rasyid, Hadiano Mangunnegoro, EI Manuhutu. Per- 19. Hadiarto M, Faisal Y, Achmad H, Johannes R, Sulamet, EJ Manuhutu.
bandingan uji inhalasi histamin dan uji provokasi beban kerja pada pen- Usaha menurunkan hipereaktivilas bronkus pada penderila "exercise-
derita "exercise-induced asthma". MM 19911; 40. 577–10. induced asthma". Medika 1990:9: 729–42.
9. Cockroft DW. Measumment of airway responsiveness to inhaled histamine 20. Hadiarto M, Tamsil S, Faisal Y. Wiwien H. Upaya menurunkan hipereak-
or methacholine. method of continuous aerosol generation and tidal breath- tivitas bronkus pada penderita asma. Perbandingan efek budesonid dan
ing inhalatinn.In: Airway responsiveness-measurement and interpretation. ketotifen. Paru 1992:(12)1:10–8.
ed. Hargreave FE. Woolsack Ah Antra. Ontario. 1985. 22-8. 21. Mukhtar I, Faisal Y, Hadiarto M, Efek beklometason dipropionat dan
10. Woolcrek M. Test of airway responsiveness in epidemiology. In: Airway ketotifen terhadap hipereaktivitas bronkus pada penderita asma Paru 1995.
respon siveness-measurement and interpretation. ed. Hargreave FE. (15) 4:146–55.
Woolcock AJ. Asp In Ontario. 1985 136–40. 22. Nancy Hutabarat T. Penman kortikosteroid pada asma akut berat Tesis
Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta 1989.

He who accuses another of improper conduct ought to look to himself


(Plautus)

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 15


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dampak
Gas Buang Kendaraan Bermotor
terhadap FaaI Paru
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru Rumah Sakit Umum Persahabatan. Jakarta

PENDAHULUAN luaran karbon dioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses
Perkembangan dalam bidang industri dan teknologi mem- ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi.
punyai dampak positif dan negatif terhadap masyarakat. Taraf Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam
kehidupan meningkat karena tersedianya barang-barang yang paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
membantu terlaksananya pekerjaan dengan lebih baik dan cepat. pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
Transportasi juga berkembang pesat sehingga memudahkan sudah teroksigenisasi(7).
mobilitas penduduk. Dampak negatif yang terjadi timbul akibat Gangguan ventilasi terdiri atas gangguan restriksi yaitu
polusi asap pabrik dan gas buang kendaraan bermotor. Polusi gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering
tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara meningkatkan dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
kejadian asma bronkial dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (KV). Sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan para-
(PPOK) dalam masyarakat(1,2). meter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEPI ), rasio vo-
Di Indonesia kendaraan bermotor meningkat jumlahnya lume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
dari tahun ke tahun. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang paksa (VEPI/KVP), arus puncak ekspirasi (APE) dan flow vo-
mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat banyak lume curve(7,8).
bergerak di jalan. Gas buang dari kendaraan tersebut Alat spirometer dapat dipakai untuk mengukur berbagai
menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh sampai delapan puluh parameter ventilasi paru. Adanya gangguan restriksi, obstruksi
persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan maupun bentuk campuran dapat ditentukan dari hasil pemeriksa-
bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri hanya an spirometri(7,8).
20-30% saja(3).

BAHAN GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR


EFEK GAS BUANG TERHADAP PARU
Gas buang kendaraan bermotor terdiri dari berbagai gas se-
perti karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen Sulfur Dioksids (SO2)
oksida (NOx), nitrogen dioksida (NO2), ozon (O3), sulfur Sulfur dioksida terbentuk dari pembakaran bahan bakar fosil
dioksida (SO2) dan partikulat seperti hidrokarbon, plumbum seperti minyak bumi, batubara dan industri yang memakai bahan
dioksida dan senyawa organik lain. Zat yang paling banyak baku sulfur. Nilai ambang batas SO2 adalah sebesar 0.1 ppm/24
pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah jam. Zat ini merupakan salah satu komponen dalam pemben-
sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon. Ketiga zat tadi tukan hujan asam(9,10).
dapat menurunkan faal paru(4-6). Kadar SO2 dalam gas buang tergantung dari jenis bahan
Saluran napas dan paru berguna untuk proses respirasi yaitu bakar yang digunakan; sulfur dioksida yang berasal dari solar
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan penge- lima kali lebih banyak dibandingkan dengan SO2 yang terjadi

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


pada pemakaian bahan bakar bensin. SO2 lebih larut di dalam air 0,1–3 u akan sampai ke alveolus. Purtikel dengan diameter
dibandingkan dengan nitrogen dioksida. Sebagian SO2 akan kurang dari 0,1 u akan keluar masuk ke dalam paru tanpa di-
tertahan di saluran napas aTas, karena bereaksi dengan air yang endapkan, disebut sebagai partikel atau debu respirable(19).
terdapat di lapisan mukosa. Pada penderita asma, paparan SO2 Pada umumnya efek partikulat hampir sama dengan efek
sebesar 0,4 ppm selama waktu kurang dari 1 jam dapat menim- yang disebabkan oleh sulfur dioksida dan nitrogen dioksida,
bulkan bronkospasme. Pada orang normal paparan SO2 yang karena zat ini dalam saluran napas bereaksi dengan uap air
kurang dari 5 ppm tidak mempengaruhi faal paru. Lavase bronkus membentuk partikel H2SO4 dan HNO3. Partikulat bersama
dari orang normal yang dipapari dengan SO2 0,4 ppm selama polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan
20 menit menunjukkan reaksi inflamasi dan ditemukan peningkat- penurunan faal paru, sedangkan partikulat saja tidak menimbulkan
an konsentrasi antibodi(4,11). gangguan faal paru pada orang normal. Gangguan faal paru
yang terjadi adalah penurunan VEP I dan rasio VEP 2/KVP,
Nitrogen Dioksida (NO2)
yaitu gangguan obstruksi saluran napas(20,21).
Nitrogen dioksida terbentuk dari pembakaran minyak yang
tidak sempurna pada temperatur yang tinggi. Nilai ambang batas Karbon Monoksida (CO)
NO2 adalah sebesar 0,05 ppm/jam. Dampak paparan NO2 lebih Karbon monoksida adalah hasil pembakaran tidak sem-
bersifat kronik. Pada orang normal paparan NO2 1,5 ppm selama purna bahan-bahan mengandung karbon. Gas ini terbentuk pada
2 jam tidak menunjukkan penurunan faal paru yang bermakna. setiap pembakaran dan penyebab kematian penting pada keba-
Tetapi paparan melebihi 1,5–2 ppm menyebabkan peningkatan karan gedung-gedung dan ledakan di tambang-tambang. Karbon
tahanan ekspirasi dan inspirasi(11-14). monoksida berikatan kuat dengan Hb sehingga mengurangi ke-
Paparan NO2 sebesar 0,1 ppm selama waktu 1 jam mampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen. Ikatan CO de-
meningkatkan hipereaktivitas bronkus yang diukur dengan ngan Hb 200 kali lebih kuat daripada ikatan Hb dengan O2.
inhalasi metakolin sderta meningkatkan obstruksi saluran na- Peningkatan karboksi hemoglobin dalam darah menyebabkan
pas(6,12,14,15). terjadi pergeseran kurve disosiasi oksigen ke kiri. Hipoksia
Kejadian infeksi saluran napas meningkat pada orang yang jaringan dapat menyebabkan kerusakan setiap organ yang telah
terpapar dengan nitrogen dioksida. Hal itu disebabkan oleh mengalami gangguan vaskuler. Kematian atau cacat permanen
karena terjadi kerusakan silia, gangguan sekresi mukus dan terjadi oleh karena infark miokard atau infark otak(22).
fungsi makrofag alveolar serta gangguan imunitas humoral(11,13,5).
Pada penderita PPOK paparan NO2 sebesar 0,3 ppm menim- MEKANISME OBSTRUKSI SALURAN NAPAS AKIBAT
bulkan obstruksi saluran napas, sedangkan pada orang normal GAS BUANG
tidak menimbulkan gangguan yang berarti(16). Sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan partikulat yang ma-
suk ke dalam saluran napas akan bereaksi dengan air yang
Ozon (O3)
terdapat di saluran napas atas dan bawah membentuk H2SO4
Ozon terbentuk terutama akibat reaksi fotokimia antara
dan HNO3. SO2 lebih mudah larut sehingga efeknya terjadi
nitrogen oksida dan bahan organik. Pada gas buang kendaraan
pada saluran napas bagian alas, zat NO2 lebih sukar larut dalam
bermotor terdapat zat organik dan nitrogen oksida. Nilai
air, sehingga efek yang ditimbulkannya terutama terjadi di
ambang batas ozon adalah 0.08 ppm/jam. Ozon mempunyai
saluran napas bagian bawah. Asam sulfat dan asam nitrat yang
efek toksik berupa gangguan biokimia dan perubahan
terjadi merupakan iritan yang sangat kuat. Zat ini menyebabkan
morfologi saluran napas(17).
gangguan imunitas humoral, fungsi sekresi makus, peningkatan
Paparan terhadap ozon akan meningkatkan hipereaktivitas
sel polimorfonuklear dan kerusakan silia(11,13,5).
bronkus baik pada penderita asma maupun orang sehat. Pema-
Iritasi akibat gas buang dapat bersifat akut dan kronik. Ke-
paran ozon dengan kadar 0.13 ppm selama 1–2 jam pada orang
lainan yang terjadi akibat efek iritasi zat dalam gas buang di-
sehat menyebabkan penurunan volume ekspirasi paksa detik
tentukan oleh faktor-faktor berikut :
pertama (VEP I), diikuti dengan gejala batuk, sesak napas dan
a) struktur kimia
bising mengi. Paparan terhadap ozon dapat menimbulkan ke-
b) konsentrasi dalam udara
rusakan jaringan paru berupa hiperplasi sel epitel alveolar serta
c) lamanya kontak
gangguan pada bronkus terminalis(11,17,18).
d) daya larut dalam air
Setelah paparan terhadap ozon dengan kadar 0,4 ppm selama
Zat yang mudah larut dalam air umumnya mempunyai efek
2 jam, cairan lavase bronkus menunjukkan peningkatan jumlah
iritasi pada saluran napas bagian atas sedangkan yang mem-
lekosit polimorfonuklear serta makrofag alveolar(17).
punyai daya larut rendah atau tidak larut akan mengiritasi salur-
Partikulat an napas bagian bawah. Efek iritasi yang akut terjadi karena
Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 u, rangsangan pada reseptor dan menimbulkan rasa sakit sehingga
dapat berupa uap, cairan, asap maupun padat. Efek partikulat terjadi refleks penghambatan pernapasan yaitu penyempitan
terhadap saluran napas tergantung dari besar partikelnya. Par- bronkus dan refleks batuk. Pada paru dapat terjadi edema paru
tikel dengan diameter lebih besar dari 10 u sebagian besar karena perubahan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan
mengendap di saluran napas bagian atas, diameter antara 3–10 pada pembuluh darah paru, menyebabkan eksresi cairan tran-
u mengendap di percabangan bronkus dan bronkiolus, diameter sudat yang kemudian memudahkan timbulnya infeksi (dikutip

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 17


dari 23). Dalam. Pulmonologi Klinik ed.Faisa1 Yunus dkk. Bagian Pulmonologi
FKUI. Jakarta 1992: 205–20.
Iritasi kronik akan menimbulkan berbagai perubahan dalam 3 Budiraharjo H. Pencemaran Udara di DKI Jakarta.Paru 1991: 11(3): 8–12.
saluran napas yaitu(24) : 4. Keith W. Morgan C. Seaton D. Pulmonary physiology and its application
1) Di bronkus besar terjadi kelumpuhan silia hiperplasi ke- to the determination of respiratory impermanent and disability in industrial
lenjar mukosa, hipersekeksesi dan penurunan daya tahan lung disease. In: Occupational Lung Diseases. eds Morgan C. Seaton A
Philadelphia WB Saunders Co. 1984: 18–76
terhadap infeksi. 5. Viegi C. Predillettu R. Paoletti P et a1. Respiratory effect of occupational
2) Di bronkus terminalis terjadi kehilangan daya pertahanan exposure pulmonary function and airway reactivity in normal human.
paru, mempengaruhi kerja surfaktan, metaplasia sel goblet, pe- Am Rev Respir Dis 1991; 149: 522–7.
radangan dan obliterasi sel sehingga akhirnya terjadi obstruksi 6. Kulle TJ. Effect of nitrogen dioxide on pulmonary function in normal
healthy human and subjects with asthma and chronic bronchitis. In: Air
saluran napas. Pollution by Nitrogen Oxide. Amsterdam. Elsevier Scientific Publ Co.
3) Di alveolus terjadi peningkaan jumlah sel dan makrofag 1982: 477–90
yang menyebabkan penglepasan enzim pruteolitik yang menim- 7. Faisal Yunus. Peranan Pemeriksaan Faal Paru pada Penyakit Paru
bulkan kerusakan alveoli. Obstruktif. Dalam: Pulmonulogi Klinik. ed. Faisal Yunus dkk. Bagian
Pulmonologi FKUI Jakarta. 1992: 167–75.
Sel polimorfonuklear dan makrofag akan mengeluarkan 8. Carilli PA. Denson IJ. The Flow volume loop in normal subject and
oksidan yang kuat dan dapat menyebabkan kerusakan sel mukosa diffuse lung disease. Chest 1974:66: 472–7.
saluran napas dan alveolus. Kerusakan mukosa menyebabkan 9. Tjandra Yoga Aditama. Polusi Udara dan Kesehatan Paru. Paru 1991.
terjadinya edema dan hipereksresi mukus. Saluran napas yaitu 11(3): 3–7.
10. Bouer ME. Utell MJ. Hyde RW. Effects of air pollution on Corp. ln.
bronkus dan bronkiolus akan menyempit sehingga terjadi ham- Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed Cherniack Ns. WB Saunders
batan udara ekspirasi dan inspirasi. Penyempitan saluran napas Co 1991: 259–70.
menyebabkan VEP I menurun sehingga dapat menyebabkan pe- 11. Balmes JR. Emerging issues in ambient airquality and respiratory health.
nurunan tekanan arterial oksigen, peningkatan tekanan karbon Problem in Respiratory Care 1990; 3: 163–87.
12. Kao LC. Ho JHC. Ho CY et al. Personal exposure to nitrogen oxide and its
dioksida arteri dan penurunan pH(18). a association with respiratory illness in Hong Kong, Am Rev Raspir Dis
Batuk yang terjadi pada penghirupan gas buang kendaraan 1990.141(5). 19–26.
bermotor terjadi karena paparan zat pada saluran napas meng- 13. Van Easch GJ, Munzed DB. Health effect associated with nitrogen oxides.
iritasi salah satu ujung saraf sensoris nervus vagus di laring. In. Air pollution by nitrogen oxide. Elsevier Scient Publ Co. Amsterdam.
182:79–93.
Irakea, bronkus besar atau serat aferen cabang faring nervus 14. Franton MW. Morrow PE, Cox C et al. Effect of nitrogen dioxide exposing
glossopharingeal. Keadaan ini menimbulkan refleks batuk(25). on pulmotory function and airway rativity in normal human. Am Rev
Respir Dis 1991; 143(3):522–7.
PENUTUP 15. Lenci G. Wacker G. Schube U, Muller KM. Bronchiolitis obliterans
following nitrogen dioxide (NO2) inhalation. Clinical Roentgenologic-
Gas buang kendaraan bermotor mengandung bermacam- Histologic Study. Pneumoingie 1991; 44:32–6
macam gas dan partikulat. Zat terpenting yang dapat mem- 16. Morrow PE, Utell MJ. Bauer MA et al. Pulmonary performance of elderly
pengaruhi faal paru adalah sulfur dioksida, nitrogen dioksida normal subject and with chronic obstructive pulmonary disease exposed to
dan ozon. 0.3 ppm nitrogen diuoxide Am Rev Respir Dis 1992; 145(2): 291–300.
17. Keefe MJ, Bennett WD, Dewitt P et al. The effect of ozone exposure on
Penurunan faal paru terjadi oleh karena sifat iritasi dan dispersion of aerosol polutes in healthy human. subject. Am Rev Respir
merupakan oksidan yang kuat. Tergantung dari sifat kelarutan Dis 1991; 144(1); 21–30
zat dalam air, makin mudah zat itu larut maka kerusakan terjadi 18. Zwick H, Popp W, Wagner C et al. Effect ofozoneon the respiratory health.
pada saluran napas bagian atas. Zat yang sukar atau tidak larut Allergic sensitisation, and cellular immune system in children. Am Rev
Respir Dis 1991;144(5):1075–9.
akan merusak saluran napas bagian bawah. 19. Keith W, Morgan C. The Deposition and clearance of dust from the lungs:
Efek kerusakan terhadap saluran napas paru dapat bersifat theirrolein the etiologyofoccupational lungdisease, In:Occupational lung
akut dan kronik. Besar dan luasnya kerusakan tergantung pada diseases, eds. Morgan C, Seaton A. Philadelphia: W B Saunders Co. 1984:
jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan dan ada atau tidaknya 77–96.
20. Ulfvarson U, Alexanderson R. Reduction in adverse effect on pulmonary
kelainan saluran napas atau paru sebelumnya. function afterexposure to filtered diesel exhaust. Am J Int Med 1991: 17(3):
341–7.
21. Tepper B. Constock GW, Levine M. Longitudinal study of pulmonary
function in fire fighters. Am J Int Med 1991; 20(3); 307–16.
22. Season A, Morgan WK. Toxic gases and fumes. In Occupational Lung
Diseases. Eds. Morgan WK, Seaton A. Philadelphia, W.N Saundersd Co,
1984: 609–42.
23. Gatot Chandrasasmita. Inhalasi gas beracun dan penyakit paru kerja.
KEPUSTAKAAN Dalam: Pulmonologi Klinik, ed. Faisal Yunus dkk. Bagian Pulmonologi
FKUI. Jakarta 1992: 201–4.
1 Faisal Yunus. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Menahun, Maj 24. Bates DV. Air pollution and the human lung. Am Rev Respir Dis 1972;
Farmakologi dan Terapi Indon. 1959.60(3):57–62. 105:1–13.
2. Hadiarto Mangunnegoro, Faisal Yunus. Diagnosis Penyakit Paru Kerja. 25. Faisal Yunus. Penatalaksanaan Batuk. Medika 1991; 17(9): 736–41.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


LAPORAN KASUS

Penyakit Membran Hialin


H. Nuchsan Umar Lubis DSA
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Langsa. Aceh Timur

ABSTRAK
Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan pada
bayi baru lahir yang sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Perbaikan surfaktan
paru yang belum sempurna dapat memperbaiki keadaan sindrom gangguan pernapasan
idiopatik (SGPI).
Risiko penyakit membran hialin akan meninggi pada ibu menderita DM. kehamilan
< 37 minggu. lahir dengan bedah Caesar, perdarahan antepartum, asfiksi, serta riwayat
sehelumnya dengan penyakit membran hialin.
Peinberian deksametason intravena pada ibu dengan bayi kurang bulan bermanfaat
mencegah PMH.

PENDAHULUAN
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan salah satu
penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir. PMH atau
sindrom gangguan pernapasan idiopatik (SUPT) merupakan sa-
lah satu penyebab utama kematian bayi selama periode baru
lahir(1). Penyakit ini terjadi pada bayi kurang bulan karena
pematangan parunya yang belum sempurna; pada PMH tingkat
pematangan paru lebih berperan terhadap timbulnya penyakit
bila dibandingkan dengan masalah kurang bulan(2); sehingga
dengan pengelolaan yang baik bayi dengan PMH dapat dise-
lamatkan sehingga angka kematian dapat ditekan(3-4). Keber-
hasilan ini dapat dicapai dengan memperbaiki keadaan surfaktan
paru yang belum sempurna dengan ventilasi mekanik, pemberian
surfaktan dari luar tubuh, asuhan antenatal yang baik serta
pemberian steroid pada ibu kehamilan kurang bulan dengan
janin yang mengalami stres pernapasan(3-7).
Penyakit membran hialin biasanya muncul dalam beberapa antepartum, serta riwayat sebelumnya dengan penyakit membran
menu setelah bayi lahir yang ditandai dengan pernapasan cepat; hialin(10).
frekuensl lebih dari 60x/menit, pernapasan cuping hidung, Berdasarkan Foto toraks, stadium penyakit membran hialin
retraksi interkostal, supra sternal, dan epigastrium(2,8,9). Faktor adalah sebagai berikut(8,11) :
yang mempermudah terjadinya PMH adalah persalinan kurang a) Stadium dini (I); Bercak milier paru dengan diameter 0,6
bulan, asfiksia intrauterin, tindakan seksio caesaria, diabetes mm dikenal sebagai pola retikulo granular.
melitus,. dan ibu dengan riwayat persalinan kurang bulan se- b) Stadium II; Pola retikulo granular disertai bayangan
belumnya, kelahiran yang dipercepat setelah perdarahan bronkogram udara sampai lapangan perifer paru kanan dan kiri,

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 19


batas diafragma kabur. itu diputuskan untuk meneruskan terapi. Pada pukul 14.00WIB
c) Stadium III; Kedua lapangan paru tampak radio opak dengan penderita mengalami bradikardi dan dilakukan resusitasi
bronkogram udara sampai lapangan perifer paru. Batas jantung kardiopulmonal. Usaha ini tidak berhasil dan pada pukul 14.15
dan diafragma tidak tampak lagi. WIB bayi tersebut meninggal
d) Stadium IV (akhir); Bercak menjadi satu dan merata disebut
paru putih. ANALISIS KASUS
Pada kelompok kehamilan risiko tinggi, seperti pada kasus
KASUS ini kesejahteraan janin mungkin terancam apabila dibiarkan
Bayi Ny R. laki-laki bangsa Indonesia lahir di RSU Langsa/ berlangsung aterm. Di lain pihak, tindakan terminasi pada
Aceh Timur pada tanggal 11 Juni 1996, umur 56 jam, terlihat kehamilan kurang bulan sering dihadapkan kepada risiko PMH,
tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan. Bayi dirawat di oleh karena itu penentuan saat yang optimal dalam melakukan
Bagian Perinatologi Rumah Sakit Umum Langsa. tindakan terminasi kehamilan akan mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas neonatal akibat PMH. Pemeriksaan maturitas janin
Riwayat Persalinan
prenatal, khususnya maturitas paru sangat penting artinya dalam
Lahir dengan pembedahan, alas indikasi plasenta previa,
upaya mengurangi kejadian PMH seperti uji busa, (uji kocok,
gawat janin dan letak lintang. Nilai APGAR I menit dan 5 menit
uji Clements)(10).
1-3. Berat badan lahir 2450 gram, panjang badan saat lahir 43
Diagnosis penyakit membran hialin ditegakkan berdasarkan
cm.
riwayat kehamilan kurang bulan, nilai APGAR I menit 1 dan 5
Riwayat keluarga dan kehamilan menit 1-3, pemeriksaan fisik serta into toraks.
Penderita merupakan anak ke 3,Ibu berumur 34 tahun, pen- Hal yang memperberat penyakit ini ialah adanya asfiksi
didikan sarjana. Ayah berumur 37 tahun, pendidikan sarjana, intrauterin yaitu perdarahan antepartum dan letak lintang(10).
pekerjaannya pegawai negeri. Hari pertama haid terakhir tanggal Sianosis pada neonatus dapat disebabkan oleh banyak hal. Bila
10-1-1995. Pemeriksaan antenatal 6 kali, hanya minum vitamin dengan pemberian oksigen 100% sianosis hilang berarti
selama haid, penyakit selama hamil tidak ada. penyebabnya adalah kelainan paru, sedangkan jika menetap
mungkin sekali kelainan jantung menjadi penyebab(12).
Pemeriksaan fisik
Seorang bayi laki-laki, berat badan 2450 gram, panjang KEPUSTAKAAN
badan 43 cm, merintih, sesak nafas, sianosis dan apnu. Setelah
1. Levin DL. Hyaline Membrane Disease. Dalam. A Practical Guide to
dilakukan resusitasi kardiopulmonal pernapasan menjadi 65 x/ Pediatric Intensive Care, 2nd ed. St. Louis, Toronto: Princeton. 1984
menit. Refleks lemah. Kepala tidak ada kelainan, dada simetris 222–32.
dan terdapat retraksi di daerah suprasternal, interkostal dan 2. Stahlman MT Hyaline membrane disease. Dalam: Avery. Neonatology,
epigastrium. Jantung dalam batas normal. Pada auskultasi paru 2nd ed. Philadelphia, Toronto: Lippincott 1981: 376–88.
3. StarkAR, Hyaline membrane disease. Dalam: Cloherty 1P, Stale AR. reds)
suara pernapasan kurang terdengar. Perut lemas. Hati dan limpa Manual of Neonatal Cart. Boston: Little Brawn. 1985: 167–73.
tidak teraba. Anggota gerak bawah biru. 4. French NP Identification and management of RDS in the neonate.
Foto toraks disimpulkan terdapat penyakit membran hialin Disampaikan pada Kongres Nasional Perinasia II. Surabaya 27–29 Mare,
stadium III. 1986.
5. Fujiwaa T, Child S,WatanabeY.Maeta H. Morita T, Abe T. Artificial
Diagnosis kerja surfactant therapy in hyaline membrane disease. Lancet 1980; 12: 54–9.
Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan, asfiksia 6. Hallman M. Nerrh T. larvenpoa AL, Boynton B, Mannahao F, Gluck L.
Moore T. Edwads D. Exogenous human syndrome : A. Randomized
berat, penyakit membran hialin stadium III. prospective clinical trial. I Pediatr 1985; 106 963–69.
7. Menit TA, Hallman M.Holcomb, Strayer D, Bloom B, Revak S. Cochrane
Penatalaksanaan CG. Human Surfactant treatment of severe respiratory distress syndrome :
Penderita dirawat dalam inkubator, diberi IVFD KAEN I B pulmonary effluent indicators of lung infartionon. J Pediatr 1986; 108:
dengan tetesan 6-12 tetes mikro/menit, oksigen intranasal 1-2 741–48.
liter/m.Vitamin K1 mg,ampisilin 100 mg/6jam/iv.deksametason 8. Behrmon R):, Kliegman RM. Hyaline Membrane Disease, Dalam: Nelson
Textbook of Pediatrics 13th ed. Philadelphia: WB Saunders 1987 :
1.5 mg/6 jam/iv. 394–98.
Pada hari kedua perawatan didapatkan sesak napas ber- 9. Karim YA. Penanggulangan idiopatik respiratory distress syndrome,
tambah. Untuk mencegah kelelahan, oksigen intranasal dinaikkan Dalam: Hassan R, Tjokroncgom A. (ed.) Pengobaan intensif - anak.
menjadi intermiten 5 1/menit, pembersihan jalan napas serta Jakarta: FKUI, 1982: 82–88.
10. Karsono B. Pencegahan Penyakit Membrane Hialin. SindromGawat Nafas
dilakukan pernapasan ambu bag. Pemeriksaan analisis gas darah pada Neonate. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
tidak dilakukan karena alatnya tidak ada. Pemeriksaan darah tepi Anak XXXIII. Takata 8–9 Juli 1991: 19–24.
menunjukkan Hb 19,1 g/dl, gula darah 79 mg% trombosit 32.400/ 11. Tamaela LA. Aspek Radiologis Sindrom Gawat Nafas Bayi Baru Lahir.
mm3. Bayi melemah, kedua kaki kebiru-biruan dan agak Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XXXIII.
Jakarta 8–9 Juli 1991 : 25–30.
mengeras. Kesan pada waktu itu terjadi sepsis. Fungsi lumbal 12. Sukman IF. Sastroasmoro S. Penyakit dan pemeriksaan Fisis Kardio
tidak dilakukan karena keadaan umum tidak baik. Vaskuler pada Neonatus. Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit
Pada hari ketiga perawatan keadaan umum penderita ber- jantung Bawaan Pada Neonates. Pendidikan Kedokleran Berkelanjutan
tambah buruk, kesadaran menurun sampai sopor. Pada waktu Ilmu Kesehatan Anak XXXIII FKUI, Jakarta 1991 : 48–9.

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tinjauan Ulang Masalah Pneumonia


yang Didapat di Rumah Sakit
Zul Dahlan
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN terinfeksi atau belum menjalani masa inkubasi penyakit. PNO


Infeksi nosokomial merupakan keadaan yang dapat biasanya terjadi setelah dirawat lebih dari 72 jam. Penyakit ini
dialami pasien yang dirawat di rumah sakit; keadaan ini terutama terjadi pada pasien sakit berat yang tidak mampu men-
merupakan masalah RS di seluruh dunia. Di USA sebanyak ceritakan penyakitnya secara benar dan pada penderita yang pe-
5,7% pasien yang dirawat secara akut mengalami infeksi nyakit primernya mungkin menutupi atau menyerupai gambaran
nosokomial.Jumlah ini lebih besar daripada jumlah pasien yang pneumonia bakteril(4). PNO ini dapat terjadi di ruang perawatan
dirawat untuk kanker atau kecelakaan, dan 4 kali lebih banyak umum atau di ICU.
dari pasien infark miokard akut(1). Kriteria PNO diuraikan pada bagian diagnosis adalah seperti
Kekerapan infeksi nosokomial saluran nafas bawah menem- terlihat pada Tabel 5.
pati urutan ke 2 setelah infeksi saluran kemih, yaitu sebanyak
13–18% atau 6–10 episode per 1.000 perawatan di RS(2). Pen- PATOGENESIS
derita pneumonia nosokomial (PNO) sebagian besar adalah Pada pasien rawat inap penyebab infeksi dapat sampai ke
penderita sakit berat di RS yang kemudian mengalami infeksi. saluran pernafasan bawah melalui 3 cara(1) :
Penderita ini disertai dengan gangguan daya tahan tubuh, telah 1) Aspirasi cairan gaster atau orofaring yang mengandung
mendapat antibiotika sebelumnya hingga biasanya infeksi yang koloni kuman patogen.
terjadi disebabkan jenis kuman resisten. Terapi utama adalah 2) Penyebaran kuman secara hematogen ke paru misal pada
pemberian segera antimikroba terhadap kuman penyebabnya. pneumonia candidiasis.
Angka kematian PNO berkaitan dengan kondisi pasien, jenis 3) Penyebaran melalui udara oleh aerosol atau droplet yang
kuman dan terapi yang diberikan. mengandung mikroba.
Ad 1 .Merupakan cara yang paling sering terjadi akibat penurunan
INSIDEN refleks batuk dan muntah yang berhubungan dengan berbagai
PNO di ICU lebih sering daripada di ruangan umum yaitu keadaan, terutama akibat narkosa umum, sedatif. intoksikasi dan
42%: 13%, sebagian besar (47%) terjadi pada pasien yang meng- penggunaan alat bantu nafas atau tube sonde. Ventilator mekanik
gunakan ventilator mekanik. Kelompok pasien ini merupakan merupakana tempat tumbuh dan jalan masuk terpenting kuman.
bagian terbesar dari pasien yang meningal di ICU akibat PNO(3). Proses PNO tergantung pada jumlah dan virulensi kuman yang
Laporan lain menyebutkan terjadinya PN pada 22–24% pasien mencapai saluran nafas bawah dan kemampuan daya tahan
ICU yang menggunakan ventilator mekanik dalam waktu 7,9 tubuh untuk mengatasinya.
hari setelah pemakaian ventilator, dan kemudian menimbulkan Faktor risiko dapat dilihat pada Tabel 1. Urutan kejadian
kematian pada 33–42% pasien di antaranya(3). terjadinya PNO adalah seperti terlihat pada Tabel 2. Kolonisasi
orofaring biasanya terjadi oleh kuman Gram (–), dan dipacu oleh
DEFINISI penggunaan antibiotika (AB) spektrum lebar sebelumnya, pe-
Infeksi Saluran Pernafasan Nosokomial atau PNO adalah ningkatan pH lambung, penularan kuman dari pasien lain akibat
infeksi pada pasien rawat inap yang pada saat masuk RS belum tindakan petugas kesehatan(1).
Tabel 1. Faktor risiko pneumonia nosokomial Tabel 3. Mikroba penyebab pneomonia nosokomial
Brennan(1) Toews GB(4)
PN Umum (CDC)(1) PN di ICU(3) Jenis
(1994) (1987)

Usia >70 tahun Ventilasi mekanik Bakteri :


Pseudomonas aeruginosa 17 % 13,1%
Penyakit paru kronik Perawatan ICu yang lama
Staphylococcus aureus 16 % 13,0%
Penurunan kesadaran Intubasi yang lama
Enterobacter spp. 11 % 9,5%
Posisi pasien Malnutrisi pada pasien sakit berat
Klebsiella pneumonia 7% 13,4%
Aspirasi dalam jumlah banyak Peyakit paru kronik
Escherichia coli 6% 8,0%
Trauma torak Antasid dan H2 Blocker
Serratia marcescens 4% 5,1%.
Monitoring tekanan intrakranial Usia lanjut
Proteus mirabilis 3% 5,8%
Penggunaan penghambat histamin tipe II Obesitas
Enterococcus 2% 1,7%
Gangguan aliran ventilator yang sering Gangguan refleks respirasi
Staphylococcus Coag.(–) 2% 0,8%
Musim dingin Perokok
Streptococcus grup B 1%
Peralatan: Pelembab udara
Lain-lain : 24,3%
Nebuliser langsung Enteral feeding
- Anaerob 35 % 0,3%
Nasogastric feeding
- Virus 5%
Endotracheal tube
- Candida spp. 5% 4,0%
Tabel 2. Urutan kejadian pneumonia nosokomial(1)
Tabel 4. Urutan kuman penyebab tersering pada pneumonia bakteril(6)
Kolonisasi orofaring oleh kuman batang Gram (–)
Str Str Sta Esch Kl Pse Ent Ent Unae
Peningkatan pH lambung Diagnosa pn spp aur coli pn aur aer coc rob
Kolonisasi gaster oleh kuman Gr (–)
Penurunan defensif tubuh seluler dan mekanik 1. PDDM
Refluks dan aspirasi cairan gaster/orofaring Tipikal 4 – 3 1 1 – – – –
Campuran 2 – 3 3 4 1 – – 1
2. PDRS
ETIOLOGI Ruangan 1 2 3 4 4 2 1 1 1
ICU – 2 4 3 3 2 2 2 2
Bakteri adalah penyebab yang tersering dari PNO. Jenis
kuman penyebab ditentukan oleh berbagai faktor antara lain NB : Besarnya angka menunjukkan tingginya frekuensi kejadian
berdasarkan imunitas pasien, tempat dan cara pasien terinfeksi.
Kuman penyebab PNO sering berbeda jenisnya antara di ruang- DIAGNOSIS
an biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi me- Diagnosis umumnya ditegakkan secara klinis dengan kon-
lalui slang infus sering berupa Staphylococcus aureus sedangkan firmasi oleh hasil kultur cairan pleura. punksi paru atau kultur
melalui ventilator Ps. aeruginosa dan Enterobacter. darah. Namun hasil baru tersedia dalam setelah 2 hari. Diagnosis
PNO bakteril dapat dibagi atas PNI onset awal dalam waktu dengan demikian dapat dibuat menurut kriteria diagnosis PNO
kurang dari 3 hari yang sering pula didapat di luar RS, biasanya dan CDC(5).
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia (5–10%). M. catarr-
Gambaran Klinik
halis (< 5%) dan H. influenza. PNO onset lanjut bila lebih dari
Dapat berupa gambaran pneumonia bakteril akut yang di-
3 hari, Sering disebabkan oleh kuman Gr(–) aerob (60%) berupa
tandai oleh demam tinggi, batuk produktif, dahak purulen yang
K. Pneumonia. Entcrobacter spp, Serratia spp. P. aeruginosa:
produktif, dan sesak nafas. Tetapi pada pasien rawat inap tidak
atau S. aureus ( 20–25%). Kelompok kedua ini biasanya me-
selalu hal ini dapat dikaitkan secara langsung karena berbagai
rupakan kuman yang resisten terhadap antibiotika. Kuman
keadaan penyakit yang gejalanya mirip pneumonia. Berbagai
anaerob dapat ditemukan pada kedua kelompok (35%)(2).
keadaan yang mengaburkan diagnosis PNO adalah proses yang
Akhir-akhir ini sejumlah kuman baru/oportunis telah
berhubungan dengan toksik dan alergi obat atau inspirasi O2.
menimbulkan infeksi pada pasien dengan kekebalan tubuh yang
atelektasis,emboli dan intark paru, ARDS gagal jantung konges-
rendah, misal- nya Legionella. Chlamydia ,Trachomatis. TB. M
tif, dan trakheobronkitis. Pneumonia aspirasi bahan kimia bisa
atypical, berbagai jenis jamur (C albicans, Aspergillus
mirip dengan pneumonia bakteril.
fumigatus) dan vi-rus(4). Penyebab PNO pada RS besar adalah
seperti terlihat pada Tabel 3. Kriteria Diagnosis
Penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin menunjukkan bahwa Terdapat berbagai kriteria diagnosis PNO antara lain yang
semakin banyak dijumpai pasien ISNBA/pneumonia rawat inap diajukan oleh Center forDisease Control and Prevention/CDC)
yang mengidap penyakit kronik atau gangguan kesehatan lain- (Tabel 5). Acuan ini mengandalkan diagnosis kepada hasil
nya hingga disertai perubahan pola kuman. Dengan demikian kultur, gambaran radiologi dan gambaran klinik yang melihat
pneumonia bentuk tipikal yang biasa disebabkan oleh Str pneu- kepada perubahan sputum dan auskultasi.
monia lebih jarang dijumpai, sebaliknya lebih sering dijumpai
Diagnosis Empirik
bentuk yang tidak tipikal/campuran(5). Pada umumnya kuman
Pelaksanaan terapi empirik didasarkan kepada diagnosis
penyebab pneumonia yang didapat di masyarakat (PDDM)
yang terarah yang sesuai dengan patogenesis ISNBA dan al-
ataupun yang didapat di RS (PDRS/PNO) adalah imperil di-
goritma penatalaksanaan PNO. Diagnosis ini mencakup ben-
laporkan pada Tabel 4.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Tabel 5. Kriteria diagnosis pneumonia nosokomial dari CDC(1) kuman sensitif terhadap berbagai AB, maka dipilih AB dengan
Harus memenuhi satu dari 4 kriteria : aktifitas spektrum yang lebih sempit dan kurang mahal.
1. Ronkhi atau Dullness pada perkusi torak. Ditambah salah satu : Pemakaian antibiotika dapat berupa :
a. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya a) AB pemakaian tunggal. Dipakai yang paling ampuh ter-
b. Isolasi kuman dari darah
c. Isolasi kuman dari bahan yang didapat aspirasi transtrakheal, biopsi
hadap kuman dan cocok untuk pasien.
atau sapuan bronkhus b) AB kombinasi. Misalnya B laktam antipseudomonas de-
2. Gambaran radialogik berupa infiltrat baru atau yang progresif, konsoli- ngan aminoglikosida perlu diberikan bila PN diduga
dasi, kavitasi, atau efusi pleura. Dan salah satu dari a, b, atau c di atas. disebabkan oleh kuman yang resisten terutama Ps. aeruginosa
d. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
e. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM), atau peningkatan 4 kali
dan Enterobacter(1). Co-trimoxazole mempunyai aktifitas yang
titer IgG dari kuman baik terhadap kebanyakan Enterobacter spp., dengan risiko
f. Bukti histopatologik dari pneumonia kecil untuk terjadinya resistensi selama terapi. Pada saat ini
3. Pasien ≤12 tahun dengan 2 dari gejala-gejala berikut: apnea, tachypnea, aztreonam dan fluoroquinolone dicadangkan untuk pasien
bradycardia, wheezing, rhonki atau batuk. Dan disertai salah satu dari :
g. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria no 2
yang alergi atau sudah tidak mempan dengan B laktam.
di atas Pada umumnya spektrum semua AB tidak mencakup semua
4. Pasien≤12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau progresif, kavitasi. kuman penting yang biaya menjadi penyebab PNO, kecuali
konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari cefpirom dan carbapenem. Cefpirom merupakan sefalosporin
kriteria No.3 di atas.
generasi ke-4 yang spektrumnya mencakup sebagian besar kuman
Sumber : Garner et. al. Am J Infect Control 1988: (16(3) : 128–140. penyebab infeksi nosokomial di ruangan umum/ICU termasuk
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus coagulase (–). Se-
tuk manifestasi ISNBA, tingkat berat sakit (ringan, sedang atau perti halnya sefalosporin lain dan imipenem, cefpirom kurang
berat), dan kemungkinan kuman penyebab. Berdasarkan hal ini aktif terhadap Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
kemudian dilaksanakan terapi(5). (MRSA). Untuk MRSA yang diperkirakan terjadi pada 20%
daripada infeksi Staphylococcus dapat dipergunakan vancomy-
TERAPI cin(3).
Terapi terdiri dari pemberian antibiotika. terapi suportif, dan Pada PNO dengan imunitas normal terapi AB biasanya di-
pengelolaan penyakit dasar yang ada. Dalam penggunaan AB berikan selama 2 minggu, tapi bisa diperpanjang bila terdapat
secara rasional diterapkan pola berfikir "PANCA TEPAT" yaitu gangguan daya tahan tubuh. Pasien ini biasanya menyelesaikan
Diagnosis Tepat, pilihan AB yang Tepat, dan Dosis yang Tepat, terapi AB parenteral di RS dan tidak ada kesempatan untuk di-
dalam Jangka waktu yang Tepat, dan Pengertian patogenesis lakukan pengalihan obat (switch therapy) kepada bentuk oral(8).
penderita secara Tepat(7). Namun karena kuman penyebab Dapat dipergunakan dua cara dalam pemberian terapi em-
umumnya belum diketahui, maka terapi biasanya diberikan pirik, yaitu :
secara empirik tanpa menunggu kepastian kuman penyebabnya. a. Pemilihan AB berdasarkan berat ringannya keadaan sakit
Untuk melaksanakan pengobatan empirik ini perlu dipahami pasien PNO(1) (Tabel 6 dan 7).
epidemiologi dan patogenesis dengan baik agar dapat menegak- b. Berdasarkan onset terjadinya PNO (Tabel 8) (disadur dari
kan diagnosis empirik yang disertai dengan kuman penyebab PN 2).
hingga akan mengarahkan kepada terapi yang akurat. Diagnosis
empirik berdasarkan kepada anamnesis, beratnya penyakit dasar, PENCEGAHAN
saat terinfeksi di RS, data epidemiologi dan tes kepekaan dan Pencegahan PNO berkaitan erat dengan prinsip umum pen-
hasil apus Gram. Terapi empirik yang diberikan harus cukup luas cegahan infeksi, penggunaan yang tepat peralatan invasif. Perlu
spektrumnya untuk mencakup kuman yang dicurigai, baik berupa dilakukan terapi agresif terhadap penyakit pasien yang akut atau
AB tunggal ataupun kombinasi 2 jenis AB antipseudomonas, dan dasar. Pada pasien dengan gagal organ multipel (multiple organ
harus waspada terhadap problem superinfeksi dan timbulnya failure), skor Apache-II yang tinggi dan penyakit dasar yang
resistensi kuman(2). dapat berakibat fatal perlu diberi terapi pencegahan(2).
Akhir-akhir ini telah diupayakan terapi preventif dengan Dari berbagai risiko PN (Tabel 1) beberapa faktor penting
imunoterapi terhadap PNO. tidak bisa dikoreksi. Tabel 9 memperlihatkan faktor-taktor yang
Terapi supportif dan tindakan lain yang mungkin perlu di- dapat dikoreksi untuk mengurangi terjadinya PN, antara lain de-
lakukan pada PN tidak akan diuraikan lebih lanjut. ngan membatasi pemakaian tube nasogastrik atau endotrakheal
1) Pemberian Antibiotika atau memakai obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2
Pemilihan AB pada terapi empirik selalu harus dibuat sesuai dan antasid(1).
dengan pola kepekaan kuman di RS setempat. Mengingat se-
makin banyaknya kejadian resistensi kuman dan masalah biaya Nutrisi Enteral
pengobatan yang semakin tinggi, maka obat yang dipakai pada Penilaian status nutrisi yang tepat dan pembatasan pemakai-
PN perlu segera disesuaikan dan pengeluaran biaya obat sedapat- an dan pemberian nutrisi enteral dapat mengurangi risiko PNO.
nya dikurangi setelah ada hasil kultur dan kepekaan kuman(1). Pelaksanaan pemberian nutrisi enteral secara dini dapat mem-
Bila perlu ditetapkan pengalihan atau penyesuaian terapi. Bila bantu pemeliharaan epitel pencernaan dan mencegah terjadinya

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 23


Tabel 6. Terapi empirik PNO berdasarkan tingkat berat sakit(1) Tabel 8. Terapi empirik PNO berdasarkan saat onset sakit dan keadaan
klinik pasien(1)
Pilihan obat IV Keadaan klinik/sediaan gram
Kuman
Monoterapi Penyakit Antibiotika Keterangan
tersangka
B laktam 1) Tidak sakit berat; hanya terdapat kuman Gram
(–) 2) 1. Onset dini Str. pneumonia Penisilin; ampisilin; Hindari quinolon:
Aztreonam/fluoroquinolone Idem atas: alergi B laktam clindamycin; Sefalosporin - 3
Vancomycin Tidak sakit berat:hanya terdapat kuman Gram erythromycin Terhadapampisi-
(+) pada RS dengan prevalent MRSA yang H. influenza Ampisilin. linresisten 15-25%
tinggi sefalosporin 2-3 idem 50-70%
Penisilin spektrum luas Tidal, sakit berat: terdapat kuman campuran M. catarrhalis TMX-SMX;
Imipenem Idem Ciprofloxacin;
Kombinasi Erythromycin;
B laktam 3) + antianaerob 4) Tidak diintubasi:sakit berat:kuman campuran sefalosporin 2-1
B laktam 5) + aminoglikosida Diintubasi:.sakit berat kuman Gr (–) 2. Onset lanjut Kuman Gr (–);
Aztreonam + aminoglikosida Idem; alergi B laktam 3. Onset awal/ E. coli Aminoglikosida +/– Aztreonam dapat
Vancomycin/aztreonam/ Sakit berat;kuman campuran. alergi B laktam lanjut Kl. pneumonia sefalosporin 3 atau mengganti
metronidazole Keadaan klinik Enterobacteria antipseudomonas aminoglikosid.
4. Aspirasi lain penisilin ampisilin/ imipenem.
5. Penyakit da- sulbactam;ticarcillin/
Keterangan: sar (alkohol, clavulanic acid.
1) B laktan yang dipilih tergantung sensitifitas kuman terhadap obat tersebut Sirosis hati, Ps. aeruginosa Kombinasi 2 jenis idem
2) Pertimbangan terapi kombinasi bila diduga disebabkan Ps. Aeruginosa r. jompo, dari aminoglikosida/
dan Enterobacter Terapi AB) Ceftazidime/anti-
3) Sefalosporin gen. ke 3 +/– aktifitas antipseudomonas (DM; ginjal) pseudomonas
4) Antianaerob (misalnya metronidazole atau clindamycin) perlu ditambah- (di ICU) Penisilin imipenem.
kan bila dipakai sefalosporin dengan kemampuan terbatas terhadap spektrum 6. Intubasi atau ciproxin
anaerob (misalnya ceftazidime, cefoperazone, ceftriaxone). 7. Netropeni Gr(+) kokkus: Oxacillin/nafcillin: MRSA dengan
5) Sefalosporin gen. ke 3 dengan aktifitas antipseudomonas (< 5000/mm3) Staph. aureus sefalosporin 1: vancomycin:
vancomycin cefuroxim:
Tabel 7. Pilihan antibiotika pada pneumonia nosokomial(1) cefamandol
Anaerob Penicillin: Berhubungan
Golongan antibiatika Jenis clindamycin dengan aspirasi
Legionella Erythromycin Perlu
1. Beta laktam: pneumoniae > 2 minggu
a. Penisilin - stabil terhadap Cloxacillin, dicloxacillin, Methicillin,
B laktamase Nafcillin, oxacillin Anaerob, Penisilin:
b. Kombinasi B laktamase Amox-clavulanat, ampisilin-sulbaktam Str. pneumonia clindamycin.
inhibitor ampisilin
c. Penisilin antipseudomonas Carbenicillin, ticarcillin, meclozcillin. Anaerob, kuman Penisilin: clinda- Kalau curiga,
Azlocillin, piperacillin batang Gr(–) mycin + amino- terapi terhadap:
d. idem b. dengan B laktamase Ticarcillin-clavulanat, piperacillin- glikosid: cefoxitin: S. aureus
inhibitor tazobactam ampisilin/sulbactam: Ps. aeruginosa
e. Sefalosporin gen. ke 3 Cefotaxime, ceftazidime, ceftizoxime, ticarcilin/clav. acid.
ceftriaxone penisilin/ampisilln+
f. idem e - antipseudomonas Ceftazidime, cefoperazone, cefsulodine aztreonam
g. Sefalosporin gen. ke 4 & Cefpirome, cefepime Aerob Gr(–) Idem no 2 Bila perlu:
antipseudomonas batang: Imipenem.
h. Carbapenem Imipenem, meropenem Ps. aeruginosa Vancomysin
2. Aminoglikosida sistemik Amikacin, gentamisin, netilmisin. St. aureus Oxaclllin. nafcillin:
3. Monobactam Toramisin, aztreonam clindamycin
4. Fluoroquinolone Cipofloxacin, ofloxacin, fleroxacin. Gr(–) batang + Idem no. 2 Vancomycin
5. Glycopeptide Sparfloxacin, vancomysin. St. aureus untuk S. aureus
6. Antianaerob Clindamycin, metronidazole
Tabel 9. Pencegahan pneumonia nosokomial(1)
translokasi kuman, dengan peningkatan risiko distensi gaster, Mengobati penyakit dasar
kolonisasi, aspirasi dan PNO. Posisi pasien setengah Menghindari H2-blockers dan antasida
dudukdapat menurunkan risiko aspirasi(2). Meninggikan posisi kepala
Pengangkatan tube nasogastrik dan endotrakheal
Mengontrol pemakaian antibiotika
Menghindari stress bleeding
Mengontrol infeksi :
PROGNOSIS – pengawasan
PN di USA merupakan penyebab kematian ke dua yang di- – pendidikan
– mencuci tangan
akibatkan infeksi nosokomial. PN merupakan penyebab ke- – desinfektasi peralatan
matian utama oleh infeksi pada pasien yang berusia tua, pasca – perawatan saluran nafas yang benar
operatif, dan yang menjalani ventilasi mekanik(1). Dekontaminasi selektif saluran cerna

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


RINGKASAN Companion Book. Second Ed. By Fishman AP. McGraw-Hill Int. Ed..
New York. 1994; 39: 325–31.
Pneumonia nosokomial merupakan pneumonia yang terjadi 2 Craven DE, Steger KA, Duncan RA. Prevention and control of nosocomial
di rumah sakit dan menyebabkan angka kematian yang tinggi di pneumonia 2nd Ed, by Wenzel RP, Williams & Wilkins. Baltimore, 1993;
antara penderintanya terutama yang terinfeksi di ICU. Berbagai Ch 25: 580–99.
aspek penyakit ini perlu dipahami untuk dapat mengatasinya 3. Bihari DJ. Spencer RC. Bacterial infection in IntensiveCare Medicom
Excel, UK. 1995.
dengan baik. Terapi empirik perlu segera diberikan dengan 4. Toews GB. Nomcomial pneumonia. Clinic In Chest Medicine 1987; 8(3)
pemilihan antibiotika yang tepat dan selanjutnya dilakukan September: 467–80.
penyesuaian pemberian AB untuk mendapatkan hasil yang 5. Zul Dahlan. Penegakan diagnosa etiologik dinar. upaya pemberian terapi
maksimal, hingga biaya obat dapat ditekan seoptimal mungkin empirik yang terarah pada pneumonia yang diperdapat di masyarakat.
Kumpulan Naskah Lengkap Penemuan Berkola Ilmiah dan Organisasi Per-
dengan risiko angka mortalitas yang sekecil-kecilnya. Tindakan kumpulan Respimlogi Indonesia. Bandung. 2–4 September 1994.
pencegahan perlu diambil untuk mengurangi angka morbiditas 6. ES Soenuotd, Zul Dahlan. Baku Pedotmn Pengelolean dan Penelitian
penyakit, khususnya dengan mengurangi faktor risiko untuk Infeksi Salami Pemafasan Bawah Akut. Subunit Pulmonologi, Bagian/UPF
terjadinya pneumonia tersebut. IP Edam FK Unpad/RS Hawn Sadikin, Bandung, 1992.
7. Hendro Wahjono. Penggunaan antibiotika secan rn;octal pada penyakit
infeksi. Medika 1994;2:42–7.
KEPUSTAKAAN
8. Cunha BA. The antibiotic treatment of community acquired. atypical and
nodocomial pneumonia. Med Clin N Am 1995; 79(5) 581–97.
1. Brennan PJ In.Nosocomial pneumonia. Pulmonary Diseases and Disorders.

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 25


HASIL PENELITIAN

Insidensi
Tes Serologi Mikoplasma Positif
di Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung
Zul Dahlan, E. Soerie Soemantri
Subunit Pulmonologi, Bagian/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN Cara interpretasi hasil adalah sebagai berikut:


Di negara berkembang, Mycoplasma pneumonia dianggap 1) Nilai serologi Mikoplasma:
sebagai salah satu penyebab utama penyakit infeksi saluran nafas • 0,17 atau lebih tinggi : Positif sebanding dengan CF titer
akut(1), terutama usia muda dan pertengahan(2). Tetapi di negara sebesar 1 : 8 lebih. Terdapat kontak dengan Mikoplasma pneu-
yang sedang berkembang, besarnya masalah ini belum diketahui monia melalui infeksi.
karena kurangnya fasilitas laboratorium dalam penegakan • 0.17–0.27 Positifrendah.
diagnosis yaitu dengan menemukan peningkatan kadar titer • 0.28 – 1.05 Positif sedang.
complement fixing antibody empat kali lipat, selama perjalanan • 2 1.06: Positif kuat.
penyakitnya(3). Laporan kasus atau penelitian khusus untuk kasus 2) Nilai critical ratio :
infeksi ini di Indonesia sangatjarang(4). Nilai critical ratio didapat sebagai berikut :
Pada tahun 1989, kami mendapatkan kesempatan untuk me- mean mycoplasmalisa value (convalescent )
neliti insidensi infeksi Mycoplasma pneumonia di RS Hasan Critical ratio =
mean mycoplamalisa value (acute)
Sadikin Bandung berdasarkan hasil serologic yang positif. Telah mean mycoplarmali a blue (acute/
diteliti 60 subjek untuk mengetahui kadar IgG serum yang
• Critical ratio 1,47–1,64: harga terendah yang dianggap
spesifik untuk Mycoplasma pneumonia, terdiri dari 33 pasien
sangat menyokong adanya peningkatan kadar antibodi/sangat
yang menderita infeksi pernafasan bawah akut (grup A), dan 27
menyokong untuk adanya infeksi aktif. Sebanding dengan pe-
subjek pasien tanpa infeksi saluran pernafasan (grup B). Ke 27
ningkatan CF-titer 4 kali lipat.
subjek pada grup B ini terdiri dari 8 orang dengan penyakit
• Critical ratio 2 1,65: peningkatan kadar antibodi yang
paru noninfeksi, 9 orang dengan penyakit demam tifoid
sangat berguna. Sebanding dengan peningkatan CF-titer lebih
(terbukti secara bakteriologis) dan 10 orang pegawai rumah
dari 4 kali lipat.
sakit yang sehat. Hasilnya dilaprrkan di bawah ini.

BAHAN DAN CARA KERJA HASIL


Sampel serum diambil 2 kali, dengan jarak waktu antara Ke 60 subjek penelitian ini semua menetap di Bandung,
pengambilan pertama dan kedua antara 10 sampai dengan 14 berumur 18 sampai dengan 70 tahun. Grup A (dengan infeksi
hari. Tes mikoplasma yang dikerjakan sesuai dengan metode saluran pernafasan) terdiri dari 25 pria dan 8 wanita. Grup B
Whittaker, yaitu didasarkan atas metoda Elisa (Enzyme Linked (grup tanpa infeksi saluran pernafasan) terdiri dari 14 pria dan
Imunoabsorbent Assay). Tes ini didesain untuk menentukan 13 wanita. Jumlah sampel antara kedua kelompok tidak berbeda
kadar IgG spesifik terhadap Mycoplasma pneumonia dalam bermakna (p = 0.29).
serum atau untuk evaluasi sampel serum 2 x berturutan atas Hasil positif pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna
adanya kenaikan titer yang bermakna sebagai bukti kuat adanya (p = 0.28). Nilai hasil positif kelompok dengan infeksi saluran
infeksi Mycoplasma pneumonia baru. nafas tidak berbeda bermakna bila dibandingkan dengan hasil
Dibacakan di Join; International Congress of 2nd Asian Pacific Society & 5th
Indonesia Association of Pulmonology. Bali. Indonesia. Juli l4. /990

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Tabel 1. Tes Seroloxgi Mikoplasma yang rutin. Penentuan komposisi imunoglobulin spesitik serum
Nilai Tes Serologi Mikoplasma
pada fase konvalesen menggambarkan bahwa IgM, IgA. dan
IgG timbul secara berturutan. IgG timbul terakhir, tetapi juga
Kelompok Pasien Positif Negatif Total menetap paling lama(5,9).
n % n % n % Untuk mendiagnosis penyakit secara serologis, darah harus
A. Infeksi Saluran 21 63.6 12 36.7 33 100 diambil segera pada awal sakit dan diulang kembali pada hari
nafas ke 10-14 sakit, atau pada fase konvalesen. Sampel tunggal yang
B. Tanpa infeksi diambil pada akhir perjalanan penyakit dan menunjukkan titer
Saluran Nafas 19 70.3 8 29.7 27 100
1. Orang sehat 7 3 10
yang tinggi tidak dapat menentukan apakah penyakit itu baru
2. Penyakit paru lain 5 3 8 terjadi atau suatu infeksi lama. Peningkatan titer antibodi 4 kali
3 D. Tifoid 7 2 9 lipat dapat diterima sebagai bukti telah terjadinya infeksi baru.
Total 40 66.7 20 33.3 60 100
Adanya peningkatan antibodi IgM spesifik dengan indirect
fluorescent test dapat digunakan untuk deteksi penyakit baru atau
positif masing-masing subkelompok di kelompok B, yaitu sub- infeksi awal Mycoplasma pneumonia(8).
kelompok subjek sehat (70%), subkelompok dengan penyakit Test Mycoplasmalisa dari Whittaker Co., M.A. Bioproducts
paru lain (62.5%) dan pasien kelompok dengan infeksi saluran USA, adalah suatu tes serologis Elisa untuk menentukan kadar
nafas tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa IgG spesitik terhadap Mycoplasma pneumonia.
infeksi saluran pernafasan. Rata-rata keseluruhan bagi seluruh
Tabel 3. Laporan Antibodi IgG Mikoplasma di Indonesia
subjek, insidens hasil positif adalah 40 (66.7%) (Tabel 1).
Critical ratio> 1.65 ditemukan pada 3 orang (14.3%) pasien Hasil Pasitif
kelompok A dan 4 orang dari kelompok B. Hasil ini tidak berbeda Institusi n
bermakna (p > 0.2). IgG > 0.17 c. Ratio > 1.67
1. RS Cipto Mangunkusumo
Tabel 2. Critical ratio Plasmalisa > 1.65
Jakarta, 1988 200 82(41%) ?
a. < 2 tahun 12
Kelompok pasien Rasio kritis > 1.65
b. 2–11 tahun 29
A Infeksi Paru-paru 3 (14.3%) c. 12–15 tahun 41
B Non infeksi 4(21.0%) 2. RS Hasan Sadikin
1. Orang sehat 1 Bandung, 1989 60 40(66.7%) 7(11.7%)
2. Penyakit paru lain 1 – Dewasa
3. Demam tifoid 2
Total 7 (100,0%)
Angka insidens Mycoplasma pneumonia di Indonesia be-
lum diketahui. Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta
DISKUSI telah meneliti insidensi IgG spesitik mikoplasma positif pada
Mycoplasma pneumonia adalah prototipe penyebab pasien rawat nginap dan rawat jalan yang mengalami penyakit
pneumonia atipikal, di samping menyebabkan penyakit saluran paru dalam waktu 3 bulan, dari bulan Juni s/d September 1986.
nafas lain dan penyakit di luar paru antara lain pada kulit, susunan Dan 200 pasien yang berusia 2 bulan s/d 15 tahun, 129 mem-
saraf pusat, darah jantung dan sendi-sendi(3,5). Di negara barat punyai penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan 71
menyebabkan 15-20% pneumonia, bahkan mencapai 60% pada dengan penyakit paru kronis disertai batuk. Dilakukan peme-
usia sekolah dan dewasa muda. Dapatjuga terjadi infeksi usia di riksaan serum secara tunggal untuk menentukan kadar Myco-
abs 60 tahun" '. Sering gejala dan tanda klinis tidak cukupjelas plasma specific IgG secara Mycoplasmalisa (Whittaker). Hasil
untuk dapat menegakkan diagnosis adanya infeksi Mycoplasma penelitian terlihat pada Tabel 3. Ditentukan kecenderungan
pneumonia(7). peningkatan titer sesuai dengan peningkatan umur. Tidak di-
Mikoplasma adalah gram negatif, tetapi tak dapat dikenali temukan tanda infeksi mikoplasma yang patognomonik dalam
dalam sediaan dengan pulasan gram, karena itu diagnosis pasti pemeriksaan klinis, laboratorium maupun radiologis. Disimpul-
tergantung pada kultur dan/atau pemeriksaan test serologi yang kan bahwa Mycoplasma pneumonia memainkan peranan pada
spesifik (complement fixation test) atau tak spesifik (cold infeksi pernafasan akut di Bagian Anak RSCM(10).
aglutinin). Kultur dan identifikasi sangatlah lambat, hal ini Dibandingkan dengan penelitian di RSCM, pada penelitian
biasanya hanya digunakan sebagai perangkat penelitian atau kami terhadap orang dewasa mendapatkan persentasi antibodi
pada keadaan tertentu(5,7). IgG positif yang lebih tinggi (66.7%).
Beberapa reaksi serologis yang tak spesifik dan spesifik ter- Beberapa peneliti melaporkan persentasi mikoplasma po-
jadi pada infeksi Mycoplasma pneumonia. Cold hemagglutinin sitif secara serologis (IgG) pada pasien adalah 85.2% (Calandi,
adalah antibodi tak spesifik, sedangkan respons imunologi yang 1985), dan 89% (Ali, I986). Bilaterjadi suatu infeksi akut walau-
spesifik antara lain; complement fixation. growth inhibition, dan pun oleh kuman lain ia dapat menjadi aktif dan meningkatkan
radioimmunoprecipitation. Test antibodi complement fixation reaksi antibodi terhadap mikoplasma. Mungkin juga ada
cukup memuaskan untuk dipergunakan sebagai alat diagnostik mikoplasma tertentu yang bertanggung jawab atas eksaserbasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 27


bronkitis kronik(11). dalam serum 60 subjek di RS Hasan Sadikin adalah 66.7%.
Pada penelitian kami infeksi aktif mikoplasma yang di- Hanya 11.7% subjek menunjukkan suatu infeksi yang baru ter-
tunjukkan critical ratio tidak ditemukan lebih banyak pada grup jadi. Hasil ini membuktikan tingginya angka kejadian infeksi
A dibandingkan grup B. Harus dipikirkan juga bahwa ada Mycoplasma pneumonia di daerah Bandung. Peneliti di RSHS
kemungkinan respons antibodi terhadap mikoplasma dapat di- dan RSCM mengingatkan kita mengenai adanya infeksi
stimulasi oleh infeksi kuman lain. mikoplasma khususnya Mycoplasma pneumonia di Indonesia.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendukung hasil-hasil
penelitian ini.
KESIMPULAN
Angka insidens antibodi spesifik mikoplasma yang positif Dana: Kepustakaan ada pada penulis

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


HASIL PENELITIAN

Keefektifan Paduan Obat Ganda


Bifasik Anti Tuberkulosis Dinilai Atas
Dasar Kegiatan Anti Mikrobial dan
Atas Dasar Kegiatan Pemulihan
Imunitas Protektif
3. Penilaian atas dasar kegiatan pemulihan
imunitas protektif
R.A. Handojo, Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo
Malang, Indonesia

RINGKASAN
Suatu penelitian mengenai keefektifan paduan obat anti-tuberkulosis dari segi ke-
giatan pemulihan imunitas protektif telah dikerjakan di Balai Pemberantasan Penyakit
Paru-paru di Malang, meliputi 204 orang kasus tuberkulosis paru yang belum pernah
memperoleh obat-obat anti-tuberkulosis dan mempunyai dahak yang mikroskopis dan
biakan positif.
Sebanyak 68 orang memperoleh paduan obat jangka pendek HR/5H1R,, 68 orang
memperoleh paduan obat jangka pendek HR/8H2R2 dan 68 orang memperoleh paduan
obatjangka panjang HS/11H2S2.
Kegiatan pemulihan imunitas protektif dinilai atas dasar kemampuan pemulihan ke-
dudukan imunologis golongan pada spektrum kedudukan imunologis penyakit tuber-
kulosis dari kedudukan imunologis tipe Koch ke posisi kedudukan imunologis tipe
Listeria. Kedudukan imunologis golongan pada penyakit tuberkulosis ditentukan atas
dasar indurasi rata-rata reaksi tuberkulin pada golongan kasus yang diperiksa, dan pasca
perbandinganjumlah kasus dengan reaksi tuberkulin positif normal (10-15 mm) terhadap
jumlah kasus dengan reaksi tuberkulin positif kuat (≥16 mm). Perolehan kesembuhan
imunologis merupakan petanda terjadinya pemulihan kedudukan imunologis termasuk
pemulihan imunitas protektif.
Paduan obat jangka pendek ganda 6-9 bulan, bifasik yang terdiri dari INH dan RMP
digunakan oleh golongan kasus tuberkulosis yang mempunyai strain hasil baik yang
sensitif penuh terhadap INH dan RMP, yang resisten terhadap INH dan/atau RMP, se-
bagian besar resisten terhadap INH melulu maupun yang tidak diperiksa kepekaan basil
TB terhadap obat-obat yang digunakan, telah mampu menjadikan regresi horisontal pada
spektrum kedudukan imunologis penyakit tuberkulosis sudah pada akhir bulan peng-
obatan pertama, dan perolehan kesembuhan imunologis sudah pada akhir bulan peng-
obatan pertama juga.
Perolehan kesembuhan imunologis padapenggunaan paduan obatgandajangka pan-
jang bifasik yang terdiri dari INH dan SM, dimungkinkan hanya bila paduan obat yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 29


dimaksud digunakan oleh golongan kasus yang mempunyai strain hasil yang sensitif
penuh terhadap INH dan SM.
Penggunaan paduan obat jangka pendek HR/8H2R2 dan paduan obat jangka panjang
HS/11H2S2 menghasilkan pengetahuan bahwa kegiatan pemulihan imunitas protektif ber-
langsung selama seluruh kurun waktu pengobatan bahkan sesudah kurun waktu peng-
obatan enam bulan. Paduan obat HS/I IH,S, digunakan oleh golongan kasus yang tidak
mengalami pemeriksaan kepekaan hasil terhadap obat-obat yang digunakan, baru mampu
menjadikan perolehan kesembuhan imunologis pada akhir bulan pengobatan ke-12,
walaupun regresi horisontal sudah terjadi pada akhir bulan pengobatan ke-1. Paduan obat
yang lama digunakan oleh golongan kasus yang sama pula tetapi yang hanya terdiri dari
kasus-kasus kegagalan pengobatan atas dasar pemeriksaan bakteriologis pada akhir bulan
pengobatan ke-6, telah mampu menjadikan regresi horisontal yang berlangsung selama
tiga bulan sejak dimulai pengobatan dan disusul kemudian oleh kejadian progresi hori-
sontal yang berlangsung sampai akhir kurun waktu pengobatan.
Penemuan-penemuan mengenai kesembuhan bakteriologis dan kesembuhan imuno-
logis pada penggunaan paduan obat anti-tuberkulosis. membuka jalan untuk penelitian
lebih lanjut mengenai manfaat suntikan BCG (imunoterapi BCC) untuk memperpendek
kurun waktu pengobatan dan memperkokoh kesembuhan bakteriologis yang diperoleh.
Hal ini perlu dipertimbangkan terutama di daerah-daerah endemis tuberkulosis dengan
masalah biaya pengobatan serta ketaatan pengobatan yang tidak dapat diabaikan.

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA


Pemberian khemoterapi anti-mikrobial untuk kasus-kasus 1) Jumlah kasus
yang menderita penyakit infeksi. termasuk penyakit tuberkulosis Sebanyak 204 orang kasus tuberkulosis bertempat tinggal di
(TB). pada hakikatnya dimaksud untuk membantu dan mening- Kotamadya Malang, berumur 15 tahun atau lebih, dengan dahak
katkan daya-tahan imunologis tubuh host dalam usahanya me- mikroskopis dan biakan positif (M+B+), belum pernah
musnahkan patogen yang memasuki jaringan tubuhnya dan memperoleh obat-obat anti-TB sepanjang diketahui melalui
yang telah membangkitkan kelainan patologis sebagai akibat dari anamnesis yang cermat, dimasukkan dalam penelitian ini.
terjadinya cidera imunologis.
Khemoterapi anti-mikrobial perlu bekerja sama dengan daya- 2) Khemoterapi anti-tuberkulosis
tahan imunologis tubuh host untuk mewujudkan kesembuhan Pada penelitian klinis ini digunakan 3 jenis paduan obat anti-
yang sempurna (complete healing). Keberadaan daya-tahan TB, yaitu :
imunologis yang berfungsi secara adekuat mutlak diperlukan 1) Paduan obat jangka pendek 6 bulan yang terdiri dari isoniazid
untuk khemoterapi anti-mikrobial agar yang disebut belakangan (INH, H) dan rifampicin (RMP, R), diberikan tiap hari selama
ini dapat berfungsi secara optimal pula(1,2). satu bulan dan dua kali seminggu selama 5 bulan (golongan A;
Telah dibuktikan melalui suatu penelitian klinis bahwa se- HR/5H,Rt).
lain kegiatan anti-mikrobial (bakterisidal), khemoterapi anti- 2) Paduan obat jangka pendek 9 bulan yang terdiri dari INH dan
tuberkulosis (anti-TB) juga dapat mencegah terjadinya kekam- RMP, diberikan tiap hari selama satu bulan dan dua kali se-
buhan bakteriologis sesudah dihentikannya pengobatan yang minggu selama 8 bulan (golongan B; HR/8H2R2).
berhasil(3-7). Penghentian pengobatan yang berhasil berarti peng- 3) Paduan obat jangka panjang 12 bulan yang terdiri dari INH
hentian paduan obat yang telah mewujudkan kesembuhan bakte- dan streptomisin (SM, S) diberikan tiap hari selama satu bulan
riologis. Menstabilkan kesembuhan bakteriologis untuk mencegah dan dua kali seminggu selama 11 bulan (golongan C;HS/11H2S2)
kekambuhan bakteriologis merupakan usaha yang dikembang- Dosis INH adalah 400 mg/hari, diberikan selama fase peng-
kan oleh imunitas protektif. Dalam hal tuberkulosis, respons obatan tiap hari, dan 700 mg/hari selama fase pengobatan dua
imunologis mempunyai peranan yang paling penting pada pem- kali seminggu.
bangkitan imunitas protektif. Respons imunologis ini dikem- Dosis RMP adalah 450 mg/hari selama fase pengobatan tiap
bangkan melalui kegiatan dua unsur imunologis fundamental hari dan 600 mg/hari selama fase pengobatan dua kali seminggu.
yang dikenal sebagai responsimun seluler(cell mediated immune Dosis SM adalah 3/4 gram/hari selama fase pengobatan tiap
response) dan respons imun humoral (humoral immune response). hari dan 1 gram/hari selama fase pengobatan dua kali seminggu.
Respons imun seluler yang merupakan respons imun yang sangat Dosis [NH, RMP maupun SM tidak ditentukan oleh berat-
vital dalam menghadapi kuman tuberkulosis, dibangkitkan me- badan kasus, diberikan sebagai dosis tunggal pagi hari setengah
lalui kegiatan dua unsur fundamental yang dikenal sebagai sel jam sebelum makan secara fully supervised treatment dan se-
makrofag dan sel limfosit-T. bagai pengobatan jalan.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


3) Pelaksanaan uji tuberkulin dengan reaksi positif normal terhadap jumlah kasus dengan
Uji tuberkulin dikerjakan dengan PPD Rt23 dengan Tween- reaksi positif kuat sebesar sekitar 15/85.
80, 2TU/0,1 ml,disuntikkan intradermal (uji Mantoux) di lengan Golongan individu sehat tetapi tertular memperlihatkan
bawah. Pembacaan reaksi tuberkulin dikerjakan 72 jam sesudah pola reaksi tuberkulin yang mencerminkan kedudukan imuno-
suntikan dan dilaksanakan oleh seorang petugas pembaca reaksi logis yang diwarnai oleh indurasi rata-rata reaksi tuberkulin se-
tuberkulin yang terlatih. besar kurang-lebih 16 mm, dan perbandingan jumlah orang
Uji tuberkulin dikerjakan pada bulan 0 (sebelum dimulai dengan reaksi tuberkulin positif normal terhadap jumlah orang
pengobatan), pada akhir bulan ke-1, ke-3, ke-6, ke-9 dan ke-12 dengan reaksi tuberkulin positif kuat sebesar sekitar 37/63.
selama kurun waktu pengobatan aktif. Golongan individu yang telah memperoleh vaksinasi BCG
memperlihatkan pola reaksi tuberkulin yang mencerminkan
4) Pole reaksi tuberkulin
kedudukan imunologis yang diwarnai oleh indurasi rata-rata
Pola reaksi tuberkulin (the pattern of tuberculin reaction)
reaksi tuberkulin sebesar kurang-lebih 12mm, dan perbandingan
ditentukan atas dasar:
jumlah orang dengan reaksi tuberkulin positif normal terhadap
a) Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin pada golongan kasus
jumlah orang dengan reaksi tuberkulin positif kuat sebesar se-
yang memperoleh paduan obat yang sama
kitar 76/24(8,9).
b) Perbandingan antara jumlah kasus dengan reaksi tuberkulin
Pemulihan imunitas protektif dinilai atas dasar pergeseran
positif normal (10–15 mm) dan jumlah kasus dengan reaksi
(shift) pada kedudukan imunologis dari posisi tipe K ke posisi
tuberkulin positif kuat (≥16 mm) pada golongan kasus yang
kedudukan imunologis golongan orang sehat tetapi tertular, dan
memperoleh paduan obat yang sama.
seterusnya ke posisi golongan penerima BCG setelah melewati
Pola reaksi tuberkulin mencerminkan kedudukan imunolo-
titik-tengah pada spektrum imun tuberkulosis. Makin jauh per-
gis pada golongan kasus yang homogen. Kedudukan imunologis
geseran posisi kedudukan imunologis terjadi dari posisi tipe K ke
mencerminkan imunitas protektif pada golongan kasus yang
arah posisi tipe L, makin tinggi kemampuan kegiatan pemulihan
homogen.
imunitas protektif dari paduan obat yang digunakan(3,12).
5) Pemeriksaan dahak Pergeseran posisi kedudukan imunologis dari tipe K ke tipe
Pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan dikerjakan di L diwarnai oleh penemuan-penemuan sebagai berikut :
Laboratorium Mikrobiologi Brompton Hospital di London. 1) Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin menurun sampai pada
Pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan dikerjakan pada posisi kedudukan imunologis individu sehat tetapi tertular (healthy
bulan pengobatan 0, tiap akhir bulan pengobatan selama fase infected individuals), atau lebih lanjut ke arah posisi kedudukan
pengobatan aktif, tiap akhir bulan selama kurun waktu tindak imunologis golongan penerima BCG (BCC recipients) (Gam-
lanjut 12 bulan dan selanjutnya tiga bulan sekali selama 6 bulan. bar 1).
2) Peningkatan peranan makrofag yang diukur atas dasar pe-
6) Penilaian hasil pengobatan
ningkatanjumlah kasus dengan reaksi tuberkulin positif normal
Penilaian hasil pengobatan dikerjakan atas dasar hasil
dan penurunan jumlah kasus dengan reaksi tuberkulin positif
pemeriksaan dahak.
kuat (Gambar 1). Sampai titik-tengah (mid-point) spektrum
Kegagalan pengobatan (treatment failure) ditentukan atas
kedudukan imunologis penyakit tuberkulosis, jumlah kasus
dasar :
dengan reaksi tuberkulin positif normal adalah sama dengan
a) Kepositifan dahak persisten selama kurun waktu pengobat-
jumlah kasus dengan reaksi tuberkulin positif kuat. Titik-tengah
an.
ini disebut juga titik-pemutaran (the reversal point).
b) Kekambuhan bakteriologis selama berlangsung pengobatan
sesudah terjadi konversi dahak selama kurun waktu pengobatan. Gambar 1. Spektrum Kedudukan Imunologis Golongan
Konversi dahak ialah dahak biakan negatif selama 3 bulan
benurut-turut pada pemeriksaan dahak sebulan sekali. BCG TT Nx + CXR + CXR +
Kekambuhan bakteriologis ialah dahak biakan positif selama * CXR– spt – spt +
–––––––– ––––– –––––– ––––––
tiga bulan berturut-turut pada pemeriksaan dahak sebulan sekali N : 1284 5915 345 34
sesudah terjadi konversi dahak. x mm : 12,9 17,5 17,8 19,6
Kekambuhan bakteriologis selama kurun waktu tindak lanjut ≤ 15 mm 76 50 37 20 15
ditentukan atas dasar terjadinya dahak biakan positif tiga bulan ≥ 16 mm 24 50 63 80 85
berturut-turut pada pemeriksaan dahak sebulan sekali sesudah N = jumlah orang TT = titik tengah spt = sputum
dihentikan pengobatan yang berhasil. Kepositifan dahak biakan x = industri rata-rata Mx = uji mantoux
reaksi tuberkulin CXR = Chest X-ray
untuk menentukan terjadinya kekambuhan bakteriologis ialah
pertumbuhan sebanyak 10 koloni atau lebih. HASIL
7) Penilaian kegiatan pemulihan imunitas protektif 1) Jumlah kasus TB
Golongan kasus TB dengan dahak positif memperlihatkan Sebanyak 204 orang diikutsertakan pada penelitian ini.
pola reaksi tuberkulin yang mencerminkan kedudukan imunolo- Melalui penentuan secara acak (at random), sebanyak 68 orang
gis tipe K yang diwarnai oleh indurasi rata-rata reaksi tuberkulin memperoleh paduan obat jangka pendek 6 bulan (golongan A;
sebesar kurang-lebih 18 mm, dan perbandingan jumlah kasus HR/5H2R2),68 orang memperoleh paduan obat jangka pendek 9

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 31


bulan (golongan B: HR/SH,R,) dan 68 orang memperoleh pad- Tabel 1a. Sensitif terhadap INH + RMP + SM
uan obat jangka panjang 12 bulan (golongan C; HS/11H2S2).
HB/5-8H2R2(A-B1) HS/11H2S2 (C1)
Dari 68 orang yang memperoleh paduan obat jangka pendek
6 bulan, terdapat 54orang (79%) yang dapat dinilai (subgolongan Nilal p Nilal p
Bulan Jumlah X ∆X Jumlah X ∆X
terhadap terhadap
A3), 26 orang (48%) dengan strain hasil yang sensitif penuh ke- orang mm mm
bulan 0
orang mm mm
bulan 0
terhadap INH dan RMP (subgolongan A1) dan 28 orang (52%)
dengan strain hasil yang resisten terhadap INH dan/atau RMP, 0 51 17,4 26 18,6
1 49 16,4 – 1,0 <0,01 20 16,9 – 1,7 <0,01
sebagian besar resisten terhadap INH melulu (subgolongan A,). 3 55 16,4 – 0 =0,01 28 16,6 – 0,3 <0,01
Dari 68 orang yang memperoleh paduan obat jangka pendek 6 55 16,3 – 0,1 <0,01 28 16,3 – 0,3 <0.01
sembilan bulan, terdapat 58 orang (85%) yang dapat dinilai
(subgolongan B3), 29 orang (50%) dengan strain hasil yang Keterangan :
sensitif penuh terhadap INH dan RMP (subgolongan B1) dan 29 X = industri rata-rata
∆X = tambahan X
orang (50%) dengan strain hasil yang resisten terhadap INH dan/
atau RMP, sebagian besar resisten terhadap INH melulu Tabel la memperlihatkan pula bahwa pada subgolongan
(subgolongan B2). kasus yang memperoleh paduan pada HS/11H2S2 (subgolongan
Dari 68 orang yang memperoleh paduan obat jangka panjang C,) terjadi penurunan X dari 18,6 mm pada bulan 0 menjadi
12 bulan, terdapat 59 orang (87%) yang dapat dinilai (subgolon- 16,9 mm pada akhir bulan ke- I (∆X = 1,7 mm), selanjutnya
gan C,), 28 orang (47%) dengan strain hasil yang sensitif penuh menjadi 16,6 mm (∆X = 0,3 mm) pada akhir bulan ke-3 dan
terhadap INH dan SM (subgolongan C1) dan 31 orang (53%) kemudian menjadi 16,3 mm (AX=0,3 mm) pada akhir bulan
dengan strain hasil yang resisten terhadap INH dan/atau SM, ke-6. Terdapat perbedaan yang statistis jelas bermakna
sebagian besar resisten terhadap INH melulu (subgolongan C2). mengenai X antara penilaian pada bulan 0 dengan baik
Pada penilaian sampai akhir bulan pengobatan ke-6, golon- penilaian pada akhir bulan 1 (p <0,01), penilaian pada akhir
gan pengobatan A dijadikan satu dengan golongan pengobatan B bulan ke-3 (p < 0,01) maupun penilaian pada akhir bulan ke-6
(golongan A-B). Terdapat 112 orang dari subgolongan A3 B3 (p < 0,01).
55 orang dari subgolongan A,-B, dan 57 orang dari subgolongan Tabel lb menunjukkan bahwa pada subgolongan yang
A2 B2 (lihat Skema). memperoleh paduan obat HR/5-8H2R2 (subgolongan A-B1) ter-
jadi peningkatan peranan makrofag (PM) dari 27% pada bulan
Skema 0 menjadi 35% pada akhir bulan ke-1 (∆PM = 8%), selanjutnya
menjadi 40% (∆X = 5%) pada akhir bulan ke-3, dan pada akhir
bulan ke-6 dijumpai peranan makrofag yang lama yaitu sebesar
40% (∆PM = 0%). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p
> 0,05) mengenai PM antara penilaian pada bulan 0 dan baik
penilaian pada akhir bulan-bulan ke-I, ke-3 maupun ke-6.
Tabel 1b memperlihatkan bahwa pada subgolongan kasus
yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 (subgolonyan C1)
tidak terjadi peningkatan PM pada akhir bulan pengobatan ke-
1; yang terjadi bahkan penurunan PM dari 38% pada bulan 0
menjadi 20% pada akhir bulan pengobatan ke-1. Tidak terdapat
perbedaan yang statistis bermakna (p > 0,05) mengenai PM
antara penilaian pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan
pengobatan ke-1.
2) Penilaian kegiatan pemulihan imunitas protektif Tabel lb. Sensitif terhadap INH + RMP + SM
2.1) Penilaian sampai akhir bulan pengobatan ke-6
a) Pada subgolongan kasus dengan strain hasil yang sensitif HR/5-8H2R2 (A-B1) HS/11H2S2 (C1)
Bulan Jumlah PM ∆PM Nilai p Jumlah PM ∆PM Nilai p
penuh terhadap obat-obat yang dipakai. ke- orang % % terhadap orang % % terhadap
Tabel la memperlihatkan bahwa pada subgolongan kasus bulan 0 bulan 0
yang memperoleh paduan obat HR/5-8H2R2 (subgolongan A-B1) 0 51 27 26 38
terjadi penurunan indurasi rata-rata reaksi tuberkulin (X) pada 1 49 35 +8 >0,05 20 20 – 18 >0,05
akhir bulan ke-1 dari sebesar 17,4 mm pada bulan 0 menjadi 16,4 3 55 40 +5 >0.05 28 50 +30 >0,05
6 55 40 +0 >0,05 28 54 +4 >0,05
mm (∆X = 1,0 mm). Selanjutnya X ini bertahan pada 16,4 mm
(∆X = 0 mm) pada akhir bulan ke-3 dan kemudian menurun Keterangan:
menjadi sebesar 16,3 mm (∆X= 0,1 mm) pada akhir bulan ke-6. PM = peranan makrofag
∆PM = tambahan PM
Terdapat perbedaan yang statistis jelas bermakna mengenai X
antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir Peranan makrofag kemudian meningkat dari 20% pada
bulan ke-I (p <0,01), penilaian pada akhir bulan ke-3 (p = 0,01) akhir bulan pengobatan ke-I menjadi 50% pada akhir bulan
maupun penilaian pada akhir bulan ke-6 (p < 0,01). pengobatan ke-3 (APM = 30%) dan selanjutnya menjadi 54%

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


pada akhir bulan pengobatan ke-6 (∆PM = 4%). Tidak terdapat ke-6 (Tabel 2b).
perbedaan yang statistis bermakna (p > 0,05) mengenai PM Tabel 2a. Resisten terhadap INH dan/atau RMP dan/atau SM
antara penilaian pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan
pengobatan ke-3, begitu juga antara penilaian pada bulan 0 dan HR/5-8H2R2 (A-B2) HS/11H2S2 (C2)
penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-6. Bulan Jumlah PM ∆PM Nilai p Jumlah PM ∆PM Nilai p
b) Pada subgolongan kasus dengan strain basil yang resisten Ke- orang % % terhadap orang % % terhadap
terhadap INH dan/atau RMP atau terhadap INH dan/atau SM. bulan 0 bulan 0
Tabel 2a memperlihatkan bahwa pada subgolongan kasus 0 57 23 31 39
yang memperoleh paduan obat HR/5-8H2R2 (subgolongan A-B2) 1 54 50 + 17 > 0.05 30 43 + 4 > 0.05
terjadi penurunan X pada akhir bulan pengobatan ke-1 dari 16,8 3 57 44 –6 > 0,05 31 35 – 8 > 0,05
6 57 47 + 3 > 0,05 31 35 + 0 > 0,05
mm pada bulan 0 menjadi 16,2 mm pada akhir bulan pengobatan
ke-1 (∆X = 0,6 mm). Terdapat perbedaan yang statistis ber- Keterangan:
makna (p <0,05 mengenai X antara penilaian pada bulan 0 dan PM = peranan makrofag
∆PM = tambahan PM
penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-1.
Tabel 2a. Resisten terhadap INH dan/atau RMP dan/atau SM
Tabel 2b selanjutnya memperlihatkan terjadi juga pening-
katan PM pada subgolongan kasus yang memperoleh paduan
HR/5-8H2R2 (A-B2) HS/11H2S2 (C2) obat HS/11H2S2 (subgolongan C2) dari 39% pada bulan 0 menjadi
Bulan Jumlah X ∆X Nilai p Jumlah X ∆X Nilai p 43% pada akhir bulan pengobatan ke-I (∆PM = 4%), selanjut-
Ke- orang mm mm terhadap orang mm mm terhadap nya menurun menjadi 35% pada akhir bulan pengobatan ke-3
bulan 0 bulan 0
(∆PM = 8%) dan kemudian benahan pada 35% pada akhir bulan
0 57 16,8 31 17,1 pengobatan ke-6 (∆PM = 0%). Perbedaan PM antara penilaian
1 54 16,2 – 0.6 < 0,05 30 16,8 – 0,3 > 0,05 pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir bulan ke-1, pe-
3 57 16,4 + 0,2 < 0,05 31 16,4 – 0,4 > 0,05
6 57 16,2 – 0,2 = 0,01 31 16,9 + 0,5 > 0,05
nilaian pada akhir bulan pengobatan ke-3 maupun penilaian
pada akhir bulan pengobatan ke-6 tidak bermakna secara statistis
(p > 0,05).
Keterangan
X = indurasi rata-rata c) Pada subgolongan keseluruhan kasus TB.
∆X = tambahan X
Pada subgolongan keseluruhan kasus yang memperoleh
Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin ini meningkat pada akhir paduan obat HR/5-8H2R2 (subgolongan A-B2) terjadi penurunan
bulan pengobatan ke-3 (∆X = 0,2 mm) dan selanjutnya menurun X dari 17,1 mm pada bulan 0 menjadi 16,3 mm (∆X = 0,8 mm)
lagi menjadi 16,2 mm pada akhir bulan pengobatan ke-6 (∆X = pada akhir bulan pengobatan ke-1. Terdapat perbedaan X yang
0,2 mm). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistis jelas bermakna antara penilaian pada bulan 0 dan penilaian pada
(p<0,05) mengenai X antara penilaian pada bulan 0 dan penilai- akhir bulan ke- 1 (p < 0,01) (Tabel 3a).
an pada akhir bulan pengobatan ke-3 maupun antara penilaian Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin ini selanjutnya mening-
pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-6 kat menjadi 16,4 mm (∆X = 0,1 mm) pada akhir bulan peng-
(p=0,01). obatan ke-3 dan kemudian menurun menjadi 16,2 mm pada akhir
Penurunan X terjadi juga pada subgolongan kasus yang bulan pengobatan ke-6 (∆X = 0,2 mm). Terdapat perbedaan X
memperoleh paduan obat HS/11H2S2 (subgolongan C2) dari 17,1 yang statistis jelas bermakna (p < 0,01) antara penilaian pada
mm pada bulan 0 menjadi 16,8 mm (∆X = 0,3 mm) pada akhir bulan 0 dan baik penilaian pada akhir bulan ke-3 maupun
bulan ke-1, selanjutnya menjadi 16,4 mm (∆X = 0,4 mm) pada penilaian pada akhir bulan ke-6 (Tabel 3a).
akhir bulan ke-3 dan kemudian menjadi 16,9 mm (∆X= 0,5 mm) Tabel 3a. Golongan Keseluruhan
pada akhir bulan pengobatan ke-6 (Tabel 2a). Tidak terdapat
perbedaan yang bermakna secara statistis (p > 0,05) mengenai X HR/5-8H2R2 (A-B3) HS/11H2S2 (C3)
antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir Bulan Jumlah X ∆X Nilai p Jumlah X ∆X Nilai p
bulan pengobatan ke-1, pada akhir bulan pengobatan ke-3 maupun ke- orang mm mm terhadap orang mm mm terhadap
pada akhir bulan pengobatan ke-6 (Tabel 2a). bulan 0 bulan 0
Peranan makrofag terdapat meningkat pada subgolongan 0 108 17,1 57 17,1
kasus yang memperoleh paduan obat HR/5-8H2R2 (subgolongan 1 103 16,3 – 0.8 < 0,01 50 16,8 – 0,3 > 0,05
3 112 16,4 + 0,1 < 0,01 59 16,5 – 0,3 > 0,05
A-B2) dari 23% pada bulan 0 menjadi 50% pada akhir bulan 6 112 16,2 – 0,2 < 0,01 59 16,6 + 0,1 > 0,05
pengobatan ke-1 (∆PM = 27%), menurun menjadi 44% pada
akhir bulan pengobatan ke-3 (∆PM = 6%), lalu meningkat Keterangan
menjadi 47% pada akhir bulan pengobatan ke-6 (∆PM = 3%) X∆X==indurasi rata-rata
tambahan X
(Tabel 2b). Tidak terdapat perbedaan yang statistis bermakna
(p>0,05) mengenai PM antara penilaian pada bulan 0 dengan Pada Tabel 3a terlihat pula adanya penurunan X dari 17,1
baik penilaian pada akhir bulan ke-1, penilaian pada akhir bulan mm pada bulan 0 menjadi 16,8 mm (∆X = 0,3 mm) pada akhir
pengobatan ke-3 maupun penilaian pada akhir bulan pengobatan bulan ke-1 pada subgolongan keseluruhan kasus yang memper-

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 33


oleh HS/11H2S2 (subgolongan C3). Indurasi rata-rata reaksi akhir bulan pengobatan ke-6 (p < 0,01) maupun penilaian pada
tuberkulin ini selanjutnya menurun menjadi 16,5 mm pada akhir akhir bulan pengobatan ke-9 (p <0,01) (Tabel 4a).
bulan pengobatan ke-3 (∆X=0,3 mm) dan kemudian meningkat Tabel 4a. Golongan Keseluruhan
menjadi 16,6 mm pada akhir bulan pengobatan ke-6 (∆X = 0,1
mm) (Tabel 3a). Tidak terdapat perbedaan X yang statistis ber- HR/5-8H2R2 (A-B3) HS/11H2S2 (C3)
makna (p>0,05) antara penilaian pada bulan 0 dengan baik peni- Nilai p Nilai p
laian pada akhir bulan-bulan ke-1,ke-3 maupun ke-6 (Tabel 3a). Bulan Jumlah X ∆X Jumlah X ∆X terhadap
terhadap
ke- orang mm mm orang mm mm
Tabel 3b memperlihatkan bahwa pada subgolongan ke- bulan 0 bulan 0
seluruhan kasus yang memperoleh paduan obat HR/5-8H2R2 0 57 17,2 57 17,1
(subgolongan A-B3) terjadi peningkatan PM dari 34% pada bulan 1 49 16,4 – 0.8 < 0,05 50 16,8 – 0,3 > 0,05
3 58 16,3 – 0,1 < 0,01 59 16,5 – 0,3 > 0,05
0 menjadi 43% pada akhir bulan pengobatan ke-1 (∆PM = 9%). 6 58 16,1 – 0,2 < 0,01 59 16,6 + 0,1 > 0,05
Peranan makrofag ini selanjutnya menurun menjadi 42% pada 9 57 15,4 – 0,7 < 0,01 55 16,5 – 0,1 > 0,05
akhir bulan pengobatan ke-3 (∆PM = I%) dan selanjutnya 12 57 16,0 – 0,5 < 0,01
menjadi 44% (∆PM = 2%) pada akhir bulan pengobatan ke-6.
Keterangan
Tidak terdapat perbedaan PM yang statistis bermakna (p> 0,05) X = indurasi rata-rata
antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir ∆X = tambahan X
bulan-bulan pengobatan ke-1, ke-3 maupun ke-6.
Tabel 4a selanjutnya memperlihatkan bahwa pada sub-
Taber 3b. Golongan Keseluruhan golongan keseluruhan kasus yang memperoleh paduan obat HS/
HR/5-8H,R, (A-B3) HS/11H2S2 (C3)
11H2S2 (subgolongan C3) terjadi penurunan X dari 17,1 mm pada
bulan 0 menjadi 16,8 mm (∆X = 0,3 mm) pada akhir bulan
Nilai p Nilai p pengobatan ke-l; selanjutnya menjadi 16,5 mm pada akhir bulan
Bulan Jumlah PM ∆PM terhadap
Jumlah PM ∆PM terhadap
ke- orang % % bulan 0
orang % % bulan 0 pengobatan ke-3 (∆X = 0,3 mm), meningkat menjadi 16,6 mm
0 108 34 57 39 (∆X = 0,1 mm) pada akhirbulanpengobatan ke-6, menurun
1 103 43 +9 > 0,05 50 34 –5 > 0,05 men-jadi 16,5 mm pada akhir bulan pengobatan ke-9 (∆X = 0,1
3 112 42 –1 > 0,05 59 42 +8 > 0,05 mm) dan kemudian menjadi 16,0 mm pada akhir bulan ke-12
6 112 44 +2 > 0,05 59 44 +2 > 0,05
(∆X = 0,5 mm). Tidak terdapat perbedaan yang statistis
Keterangan: bermakna (p>0,05) mengenai X antara penilaian pada bulan 0
PM = peranan makrofag dengan baik penilaian pada akhir bulan ke-1 , penilaian pada
∆PM = tambahan PM akhir bulan ke-3, penilaian pada akhir bulan ke-6 maupun
Tabel 3b menunjukkan bahwa pada subgolongan ke- penilaian pada akhir bulan ke-9. Terdapat perbedaan yang
seluruhan kasus yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 statistis jelas ber-makna (p <0,01) mengenai X antara penilaian
(subgolongan C3) terjadi penurunan PM dari 39% pada bulan 0 pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-12.
menjadi 34% (∆PM = 5%) pada akhir bulan pengobatan ke-I. Pada subgolongan keseluruhan kasus yang memperoleh
Peranan makrofag ini selanjutnya meningkat menjadi 42% pada paduan obat HR/8H2R2 (subgolongan B3) terjadi peningkatan
akhirbulan pengobatan ke-3 (∆PM =8%) dan kemudian menjadi PM dari 35% pada bulan 0 menjadi 39% (∆PM =4%) pada akhir
44% (∆PM = 2%) pada akhir bulan pengobatan ke-6. Tidak ter- bulan pengobatan ke-1. Peranan makrofag ini selanjutnya me-
dapat perbedaan yang bermakna secara statistis (p > 0,05) me- ningkat menjadi 43% (∆PM = 4%) pada akhir bulan pengobatan
ngenai PM antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian ke-3, menjadi 45% (∆PM = 2%) pada akhir bulan pengobatan
pada akhir bulan-bulan pengobatan ke-1, ke-3 maupun ke-6. ke-6 dan kemudian menjadi 54% (APM = 9%) pada akhir
2.2) Penilaian sampai akhir bulan pengobatan ke-9 dan bulan pengobatan ke-9 (Tabel 4b). Tidak terdapat perbedaan
ke-12 PM yang statistis bermakna (p > 0,05) antara penilaian pada
Pada subgolongan keseluruhan kasus yang memperoleh bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-1,
paduan obat HR/8H2R2 (subgolongan B3) terjadi penurunan X penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-3 maupun penilaian
dan 17,2 mm pada bulan 0 menjadi 16,4 mm pada akhir bulan pada akhir bulan pengobatan ke-6. Terdapat perbedaan PM
pengobatan ke-1 (∆X = 0,8 mm) (Tabel 4a). Terdapat perbedaan yang statistis bermakna (p <0,05) antara penilaian pada bulan 0
yang statistis bermakna (p < 0,05) mengenai X antara penilaian dan penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-9.
pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-l. Pada subgolongan keseluruhan kasus yang memperoleh
(Taber 4a). Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin ini menurun paduan obat HS/11H2S2 (subgolongan C3) terjadi penurunan PM
menjadi 16,3 mm (∆X = 0,1 mm) pada akhir bulan pengobatan dari 39% pada bulan 0 menjadi 34% pada akhir bulan pengobatan
ke-3, selanjutnya menjadi 16,1 mm (∆X = 0,2 mm) pada akhir ke-1 (∆PM = 5%). Peranan makrofag ini selanjutnya meningkat
bulan pengobatan ke-6 dan kemudian menjadi 15,4 mm = (∆X= pada akhir bulan pengobatan ke-3 (∆PM = 8%), menjadi 44%
0,7 mm) pada akhir bulan pengobatan ke-9 (Tabel 4a). Terdapat pada akhir bulan pengobatan ke-6 (∆PM = 2%), menurun pada
perbedaan yang statistis jelas bermakna (p=0,01 sampai <0,01) akhir bulan pengobatan ke-9 menjadi 38% (∆PM = 6%) dan
mengenai X antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilai- kemudian meningkat menjadi 49% (∆PM + 11%) pada akhir
an pada akhir bulan pengobatan ke-3 (p = 0,01), penilaian pada bulan pengobatan ke-12 (Tabel 4b). Tidak terdapat perbedaan

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Tabel 4b. Golongan Keseluruhan Pada subgolongan keseluruhan kasus yang memperoleh
paduan obat HS/11H2S2 yang gagal pada akhir kurun waktu
HR/5-8H2R2 (A-B3) HS/11H2S2 (C3)
pengobatan, terjadi penurunan X dari 17,9 mm pada bulan 0 men-
Nilai p Nilai p jadi 16,8 mm pada akhir bulan pengobatan ke-1 (∆X=1,1 mm).
Bulan Jumlah X ∆X Jumlah X ∆X terhadap
terhadap
ke- orang mm mm
bulan 0
orang mm mm
bulan 0
Tidak terdapat perbedaan yang statistis bermakna (p > 0,05)
0 57 35 57 39
mengenai X antara penilaian pada bulan 0 dan penilaian pada
1 49 39 + 4 > 0,05 50 34 – 5 > 0,05 akhir bulan ke-1. Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin selanjutnya
3 58 43 + 4 > 0,05 59 42 + 8 > 0,05 menurun menjadi 14,6 mm (∆X = 2,2 mm) pada akhir bulan
6 58 45 + 2 > 0,05 59 44 + 2 > 0,05 pengobatan ke-3. Terdapat perbedaan yang statistis bermakna
9 57 54 + 9 < 0,05 55 38 – 6 > 0,05
12 57 49 + 11 > 0,05
(p < 0,05) antara X pada bulan 0 dengan X pada akhir bulan
pengobatan ke-3.
Keterangan Selanjutnya X ini meningkat menjadi 16,6 mm (∆X = 2,0
X = indurasi rata-rata
∆X = tambahan X mm) pada akhir bulan ke-6, menjadi 17,0 mm (∆X = 0,4 mm)
pada akhir bulan ke-9 dan kemudian meningkat lagi menjadi
yang statistis bermakna (p> 0,05) mengenai PM antara penilaian sebesar 17,4 mm pada akhir bulan ke-12. Tidak terdapat per-
pada bulan 0 dan baik penilaian pada akhir bulan pengobatan bedaan X yang statistis bermakna (p > 0,5) antara penilaian
ke-1, penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-3, penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir bulan pengobat-
pada akhir bulan pengobatan ke-6, penilaian pada akhir bulan an ke-6, penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-9 maupun
pengobatan ke-9 maupun penilaian pada akhirbulan pengobatan penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-12 (Tabel 5a).
ke-12 (Tabel 4b). Tabel 5b memperlihatkan bahwa pada subgolongan ke-
2.3) Penilaian pada subgolongan keseluruhan kasus dengan seluruhan kasus yang memperoleh paduan obat HS/11H2S2 yang
keberhasilan pengobatan dan dengan kegagalan peng- berhasil pada akhir kurun waktu pengobatan, terjadi penurunan
obatan PM dari 43% pada bulan 0 menjadi 38% pada akhir bulan
Tabel 5a memperlihatkan bahwa pada subgolongan kese- pengobatan ke-1 (∆PM = 5%), meningkat menjadi 41% pada
luruhan kasus yang memperoleh paduan obat jangka panjang akhir bulan pengobatan ke-3 (∆PM = 3%), menjadi 44% pada
HS/11H2S2 yang berhasil pada akhir kurun waktu pengobatan, akhir bulan pengobatan ke-6 (∆PM = 3%), menurun menjadi
terjadi penurunan X dari 17.0 mm pada bulan 0 menjadi 16,8 mm 38% pada akhir bulan pengobatan ke-9 (APM = 6%) dan ke-
pada akhir bulan pengobatan pertama (∆X = 0,2 mm). Indurasi mudian meningkat menjadi 53% pada akhir bulan pengobatan
rata-rata reaksi tuberkulin ini selanjutnya meningkat menjadi ke-12 (∆PM = 15%). Tidak terdapat perbedaan PM yang statistis
16,9 mm (∆X = 0,1 mm) pada akhir bulan pengobatan ke-3, bermakna (p > 0,05) antara penilaian pada bulan 0 dengan
menurun menjadi 16,6 mm (∆X = 0,3 mm) pada akhir bulan penilaian baik pada akhir bulan ke-1, penilaian pada akhir bulan
pengobatan ke-6, menurun menjadi 16,4 mm (∆X = 0,2 mm) pengobatan ke-3, penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-6,
pada akhir bulan pengobatan ke-9 dan kemudian menjadi 15,8 penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-9 maupun penilaian
mm (∆X = 0,6 mm) pada akhir bulan pengobatan ke-12. Tidak pada akhir bulan pengobatan ke-12.
terdapat perbedaan yang statistis bermakna (p > 0,05) mengenai Tabel 5a. HS/11H2S2 (C3) Pengobatan
X antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada
akhir bulan pengobatan ke-1, penilaian pada akhir bulan peng- Berhasil Gagal
obatan ke-3, penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-6 maupun Bulan Jumlah X ∆X Nilai p Jumlah X ∆X Nilai p
ke- orang mm mm terhadap orang mm mm terhadap
penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-9. Terdapat perbeda- bulan 0 bulan 0
an yang statistis jelas bermakna (p <0,01) mengenai X antara
0 47 43 10 20
penilaian pada bulan 0 dan penilaian pada akhir bulan peng- 1 40 38 –5 > 0,05 10 20 +0 > 0,05
obatan ke-12. 3 49 41 +3 > 0,05 10 50 + 30 > 0,05
6 50 44 +3 > 0,05 9 44 –6 > 0,05
Tabel 5a. HS/11H2S2 (C3) Pengobatan
9 48 38 –6 > 0,05 7 43 –1 > 0,05
12 49 53 + 15 > 0,05 8 25 – 18 > 0,05
Berhasil Gagal
Nilai p Nilai p Keterangan
Bulan Jumlah X ∆X Jumlah X ∆X terhadap
terhadap X = indurasi rata-rata
ke- orang mm mm orang mm mm
bulan 0 bulan 0 ∆X = tambahan X
0 47 17,0 10 17,9
1 40 16,8 – 0,2 > 0,05 10 16,8 – 1,1 > 0,05 Tabel.5b selanjutnya memperlihatkan bahwa pada sub-
3 49 16,9 + 0,1 > 0,05 10 14,6 – 2,2 < 0,05 golongan keseluruhan kasus yang memperoleh paduan obat
6 50 16,6 – 0,3 > 0,05 9 16,6 + 2,0 > 0,05 jangka panjang HS/I1H2S7 yang gagal pada akhir kurun waktu
9 48 16,4 – 0,2 > 0,05 7 17,0 + 0,4 > 0,05 pengobatan, tidak terjadi peningkatan PM (∆PM = 0%) pada
12 49 15,8 – 0,6 < 0,01 8 17,4 + 0,4 > 0,05
akhir bulan pengobatan ke-1, selanjutnya terjadi peningkatan
Keterangan PM menjadi 50% pada akhir bulan pengobatan ke-3 (∆PM =
X = indurasi rata-rata ∆X = tambahan X 30%); sesudah itu menurun menjadi 44% (∆PM = 6%) pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 35


akhir bulan pengobatan ke-6, menjadi 43% (∆PM = 1%) pada dan/atau eksogenik menyebabkan terjadinya reaksi kemunduran
akhir bulan pengobatan ke-9 dan kemudian menurun lagi men- (downgrading reaction) kedudukan imunologis pada.spektrum
jadi 25% (∆PM = 18%) pada akhir bulan pengobatan ke-12. kedudukan imunologis golongan penyakit TB berupa progresi
Tidak terdapat perbedaan PM yang statistis bermakna (p > 0,05) horisontal dari posisi kedudukan imunologis individu penerima
antara penilaian pada bulan 0 dengan baik penilaian pada akhir BCG menjadi posisi individu tertular tetapi sehat (CXR-,
bulan ke-1, penilaian pada akhir bulan pengobatan ke-3, penilai- Mx+), selanjutnyamenjadi posisi kasus-kasus TB dengan dahak
an pada akhir bulan pengobatan ke-6, penilaian pada akhir bulan negatif (CXR+, spt-) dan kemudian menjadi posisi kasus TB
pengobatan ke-9 maupun dengan penilaian pada akhir bulan dengan dahak positif (CXR+, spt+). Yang disebut paling
pengobatan ke-12. belakang ini mempunyai kedudukan imunologis yang diwarnai
oleh keberadaan imunitas protektif yang rendah (Gambar 2).
DISKUSI Pada spektrum kedudukan imunologis individual penyakit
Kasus-kasus TB paru yang diikutsertakan pada penelitian tuberkulosis, penularan tersebut menyebabkan reaksi kemun-
ini adalah kasus-kasus TB dengan kelainan radiografis di paru duran berupa progresi horisontal dari posisi individu yang
yang tergolong khronis aktif yang relevan untuk TB (CXR+) mempunyai kedudukan imunologis tipe L menjadi posisi kasus
disertai dahak yang mikroskopis dan biakan positif (spt+). Oleh yang mempunyai kedudukan imunologis tipe LK, selanjutnya
karena itu, mereka merupakan golongan yang homogen dan menjadi posisi kasus yang mempunyai kedudukan imunologis
mempunyai kedudukan imunologis yang disebut kedudukan tipe KL dan kemudian menjadi posisi kasus dengan kedudukan
imunologis tipe Koch (tipe K) atau kedudukan imunologis tipe imunologis tipe K. Kedudukan imunologis tipe L dan tipe LK
Koch-Listeria (tipe KL), yaitu gabungan kedudukan imunologis diwarnai oleh dahak yang negatif (spt-) dan kedudukan imuno-
tipe Koch dan kedudukan imunologis tipe Listeria. logis tipe KL dan tipe Kdiwarnai oleh dahak yang positif (spt+)
Dari segi kedudukan imunologis individual, kasus TB paru (Gambar 2).
yang mempunyai kedudukan imunologis tipe K, dikenal melalui Sebaliknya, pemberian khemoterapi anti-TB yang berhasil
kelainan radiografis khronis aktif yang disebut kelainan infil- menyebabkan terjadinya reaksi perbaikan (upgrading reaction)
trarif (infiltration). Kelainan infiltratif ini dapat mengalami pro- berupa regresi horisontal dari posisi kedudukan imunologis
gresi vertikal pada spektrum kedudukan imunologis individual kasus TB dengan dahak positif menjadi posisi kedudukan imu-
penyakit TB menjadi kelainan kaverne (cavitation) dan apabila nologis individu penerima BCG atau dari posisi kasus dengan
terjadi penyembuhan melalui penurupan kaverne (cavityclosure) kedudukan imunologis tipe K menjadi posisi individu dengan
terjadi pembentukan kelainan fibrotik (fibrosis) (Gambar 2). kedudukan imunologis tipe L(3,8,9).
Penilaian sampai akhir bulan pengobatan ke-6 menunjuk-
kan bahwa pada 55 orang kasus TB yang memperoleh paduan
obat HR/5-8H2R2 (A-B1) dan yang mempunyai strain basil yang
sensitif penuh terhadap INH dan RMP, telah terjadi penurunan
indurasi rata-rata reaksi tuberkulin (X) dari 17,4 mm pada per-
mulaan pengobatan menjadi sebesar 16,4 mm pada akhir bulan
pengobatan ke-1. Perbedaan ini jelas bermakna secara statistis
(p< 0,01). Indurasi rata-rata reaksi tuberkulin ini menurun lagi
menjadi 16,3 mm pada akhir bulan pengobatan ke-6. Perbedaan
X antara bulan pengobatan ke-0 dan bulan pengobatan ke-6
Gambar. 2. Spektrum kedudukan imunologis individual secara statistis jelas bermakna (p < 0,01). Golongan pengobatan
A-B1 ini terdiri dari kasus-kasus TB yang berhasil diobati
Dari segi kedudukan imunologis individual, kasus TB paru (successful treatment) pada akhir bulan pengobatan ke-6.
yang mempunyai kedudukan imunologis tipe KL, dikenal me- Penemuan tersebut menunjukkan bahwa paduan obat INH
lalui kelainan radiografis di paru berupa gabungan kelainan dan RMPjangka pendek 6-9 bulan (HR/5-8H2R2) diberikan
radiografis khronis aktif disertai kelainan radiografis akut aktif. pada kasus-kasus TB yang mempunyai hasil yang sensitif
Kelainan radiografis akut aktif ini ditampilkan sebagai kelainan penuh terhadap obat-obat yang digunakan, telah berhasil
eksudatif (exudation) yang dapat mengalami progresi vertikal menurunkan X dari X pada golongan kasus TB dengan dahak
pada spektrum kedudukan imunologis individual penyakit TB positif menjadi X antara golongan individu sehat tetapi tertular
menjadi kelainan perkejuan (caseation) dan apabila terjadi pe- dan golongan individu penerima BCG (Tabel la) (Gambar
nyembuhan dibentuk kelainan pekapuran (calcification) dan/ 3a). Penurunan X (∆X) terjadi paling besar antara bulan
atau kelainan induratif (induration) (Gambar 2). pengobatan ke-0 dan bulan pengobatan ke-1 (Tabel la).
Pada subjek-subjek dengan penularan alamiah pertama kali Selain menurunkan X, paduan obat HR/5-8H2R2 pada kasus-
(primarynatural infection)danpada individu-individu penerima kasus TB yang mempunyai strain hasil sensitif penuh terhadap
BCG (BCG recipients) dibangkitkan kedudukan imunologis obat-obat yang digunakan dan yang menunjukkan keberhasilan
golongan sebagai kedudukan imunologis tipe L yang diwarnai pengobatan pada akhir bulan pengobatan ke-6, telah pula mampu
oleh imunitas protektif (protective immunity) yang tinggi. menaikkan peranan makrofag (PM) pada pembangkitan respons
Penularan berulang yang terus-menerus secara endogenik imun seluler dari 27% pada bulan pengobatan ke-0 menjadi 35%

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Gambar 3a. Golongan kasus yang memperoleh HR/5-8H2R2 Penilaian Gambar 3b. Golongan kasus yang memperoleh HS/11H2S2. Penilaian
sampai bulan ke-6. sampai bulan ke-6.

A-Bl = golongan yang sensitif terhadap INH dan RMP A-B1 = golongan yang terhadap INH dan SM
A-B2 = golongan yang resisten terhadap INH dan/atau RMP A-B2 = gologan yang resisten terhadap INH dan/atau SM
A-B3 = golongan keseluruhan (A-B1 plus A-B2) A-B3 = golongan keseluruhan (C1 plus C2)

pada akhir bulan pengobatan ke-1, meskipun tidak bermakna Penggunaan paduan obat jangka pendek HR/5-8H2R2 oleh
(p>0.05). Selanjutnya PM ini meningkat menjadi 40% pada golongan kasus TB dengan dahak positif dan mempunyai hasil
akhir bulan pengobatan ke-6, namun tidak bermakna (p > 0,05) yang resisten primer terhadap INH dan/atau RMP, sebagian
bila dibandingkan dengan bulan pengobatan ke-0. Kenaikan besar resisten terhadap INH melulu, telah menurunkan X
PM (∆PM) terdapat paling besar antara bulan pengobatan ke-0 secara bermakna (p < 0,05) pada akhir bulan pengobatan ke-1.
dan bulan pengobatan ke-1 (Tabel lb). Pada akhir bulan pengobatan ke-6 perbedaan dengan bulan
Penemuan tersebut menunjukkan bahwapaduan obatjangka pengobatan ke-0jelas bermakna (p = 0,01) (Tabel 2a). Di
pendek HR/5-8H2R2 telah mampu meningkatkan PM dari PM samping itu, peningkatan PM sudah terjadi pada akhir bulan
pada golongan kasus TB dengan dahak positif menjadi PM pengobatan ke-1, yang dipertahankan sampai akhir bulan
pada golongan individu yang sehat tetapi tertular bila paduan pengobatan ke-6. Walaupun tidak ada perbedaan PM yang
obat itu diberikan pada golongan kasus TB yang mempunyai statistis bermakna (p> 0,05) antara bulan pengobatan ke-0
strain hasil sensitif penuh terhadap INH dan RMP; paduan obat dengan baik bulan pengobatan ke-1, bulan pengobatan ke-3
itu telah mampu memperbaiki kedudukan imunologis golongan maupun bulan pengobatan ke-6, namun telah melampaui PM
dan meningkatkan imunitas protektif sudah pada akhir bulan yang inheren pada posisi golongan individu yang sehat tetapi
pengobatan ke-1, dan pada akhir bulan pengobatan ke-6 regresi tertular dan mendekati titik tengah pada spektrum kedudukan
horisontal kedudukan imunologis golongan sudah sampai imunologis penyakit tuberkulosis (Gambar 3a).
sedikitnya pada posisi kedudukan imunologis golongan Penemuan tersebut menunjukkan bahwa paduan obat jangka
individu yang sehat tetapi tertular pada spektrum kedudukan pendek HR/5-8H2R2 digunakan oleh golongan kasus tuberkulosis
imunologis penyakit tuberkulosis. dengan dahak positif yang mempunyai strain hasil yang
Kedudukan imunologis golongan yang inheren pada resisten primer terhadap INH dan/atau RMP, sebagian besar
golongan individu yang sehat tetapi tertular adalah identik resisten terhadap INH melulu, telah mampu membangkitkan
dengan kedudukan imunologis golongan pada golongan kasus regresi horisontal pada spektrum kedudukan imunologis
TB yang telah disembuhkan secara imunologis. Pada penyakit tuberkulosis sudah pada akhir bulan pertama dan
penggunaan paduan obat jangka pendek HR/5-8H2R2 oleh mampu pula menyebabkan kesembuhan imunologis sudah pada
golongan kasus TB sensitif penuh terhadap obat-obat yang akhir bulan pengobatan ke-1 dan dipertahankan pada akhir
digunakan, kesembuhan imunologis sudah diperoleh pada akhir bulan pengobatan ke-6 (Tabel 2a dan 2b). Adalah menarik
bulan pengobatan ke-1 (Tabel la dan 1b). sekali untuk dikemukakan bahwa sebagian kecil golongan
Pada penggunaan paduan obatjangka panjang HS/11H2S2 kasus TB tersebut di alas menunjukkan kegagalan pengobatan
oleh kasus TB dengan dahak positif yang mempunyai strain dari segi bakteriologis pada akhir bulan pengobatan ke-6.
hasil TB yang sensitif penuh terhadap INH dan SM, regresi Di lain pihak, penggunaan paduan obat jangka panjang
horisontal kedudukan imunologis golongan sudah terjadi pada HS/ 11H2S2 oleh golongan kasus TB dengan dahak positif dan
akhir bulan pengobatan ke-1, kesembuhan imunologis sudah mempunyai strain hasil TB yang resisten primer terhadap INH
diperoleh pada akhir bulan pengobatan ke-3 dan dipertahankan dan/ atau SM, sebagian besar resisten terhadap INH melulu,
pada akhir bulan pengobatan ke-6. Terdapat perbedaan X yang tidak mampu menurunkan indurasi rata-rata reaksi tuberkulin
statistis jelas bermakna antara bulan pengobatan ke-0 dengan secara statistis bermakna sampai pada akhir bulan pengobatan
baik bulan pengobatan ke-1 (p <0,01), bulan pengobatan ke-3 ke-6 (Tabel 2a) dan tidak mampu pula meningkatkan PM
(p <0,01) maupun bulan pengobatan ke-6 (p <0,01). Tidak sampai pada akhir bulan peagobatan ke-6 (Tabel 2b). Namun
terdapat perbedaan PM yang statistis bermakna (p > 0,05) regresi horisontal pada spektrum kedudukan imunologis
antara bulan pengobatan ke-0 dengan baik bulan pengobatan penyakit tuberkulosis sudah terjadi pada akhir bulan
ke-I, bulan pengobatan ke-3 maupun bulan pengobatan ke-6 pengobatan ke-1 (Tabel 2a). Sebagian golongan kasus TB
(Tabel la dan lb). Peningkatan PM pada akhir bulan tersebut di atas menunjukkan kegagalan pengobatan dari segi
pengobatan ke-6 bahkan melampaui titik pertengahan (mid- bakteriologis pada akhir bulan pengobatan ke-6.
point) pada spektrum kedudukan imunologis penyakit Jadi, penggunaan paduan obat jangka panjang HS/11H2S2
tuberkulosis (Gambar 3b).
oleh kasus-kasus TB dengan dahak positif yang mempunyai (Gambar 4a). Perbedaan X yang bermakna secara statistis (p <
strain hasil TB yang resisten primer terhadap INH dan/atau SM, 0,01) antara bulan pengobatan ke-0 dan akhir bulan pengobatan
sebagian besar resisten terhadap INH melulu, tidak mampu ke-6 tetap bermakna secara statistis (p < 0,01) pada akhir bulan
menghasilkan kesembuhan imunologis pada akhir bulan peng- pengobatan ke-9. Di samping itu, perbedaan PM yang statistis
obatan ke-6 (Gambar 3b). tidak bermakna (p > 0,05) antara bulan pengobatan ke-0 dan
Paduan obat jangka pendek HR/5-8H2R2 digunakan oleh akhir bulan pengobatan ke-6 menjadi statistis bermakna (p <
golongan seluruh kasus-kasus TB dengan dahak positif (gol. A- 0,05) pada akhir bulan pengobatan ke-9. Penemuan tersebut me-
B1) telah mampu menurunkan X secara statistis jelas bermakna nunjukkan bahwa paduan obat anti-TB melanjutkan perbaikan
(p < 0,01) sudah pada bulan pengobatan ke-1 dan imunitas protektif apabila digunakan lebih lama dari 6 bulan.
dipertahankan pada akhir bulan pengobatan ke-6 (Tabel 3a). Imunitas protektif yang lebih tinggi berkemampuan lebih tinggi
Di samping itu telah terjadi peningkatan PM dari 34% pada untuk mencegah terjadinya kekambuhan bakteriologis sesudah
bulan pengobatan ke-0 menjadi 43% pada akhir bulan penghentian pengobatan yang berhasil.
pengobatan ke-1, selanjutnya menjadi 42% pada akhir bulan Gambar 4a. Golongan keseluruhan yang memperoleh HR/8H2R2 Penilai-
pengobatan ke-3 dan kemudian menjadi 44% pada akhir bulan an sampai bulan ke-9.
pengobatan ke-6. Tambahan PM (∆PM) terjadi paling banyak
pada akhir bulan pengobatan ke-1 , yaitu 9% (Tabel 3b).
Penemuan tersebut di atas berani bahwa pada penggunaan
paduan obat jangka pendek HR/5-8H2R2 oleh golongan kasus TB
dengan dahak positif tanpa pemeriksaan kepekaan strain hasil
terhadap obat-obat yang digunakan, telah membangkitkan
regresi horisontal pada spektrum kedudukan imunologis pe-
nyakit tuberkulosis sudah pada akhir bulan pengobatan ke-l dan Penggunaan paduan obat jangka panjang HS/11H2S2 oleh
telah terjadi kesembuhan imunologis pada akhir bulan ke-1 pula golongan keseluruhan kasus TB dengan dahak positif tanpa
(Tabel 3a). pemeriksaan kepekaan hasil terhadap obat-obat yang digunakan
Di lain pihak, paduan obatjangka panjang HS/11H2S2 pada telah mampu menghasilkan regresi horisontal pada spektrum
golongan keseluruhan kasus-kasus TB dengan dahak positif (gol. kedudukan imunologis penyakit tuberkulosis sudah pada akhir
C3) tidak mampu menurunkan X secara bermakna (Tabel 3a) bulan pengobatan ke-1,. namun pada akhir bulan pengobatan
sampai pada akhir bulan pengobatan ke-6 walaupun regresi hori- ke-6 belum diperoleh kesembuhan imunologis karena paduan
sontal pada spektrum kedudukan imunologis penyakit tuberkulo- obat yang dimaksud belum mampu menurunkan X secara sta-
sis sudah terjadi pada akhir bulan pengobatan ke-1 (Tabel 3a). tistis bermakna (p > 0,05) pada akhir bulan pengobatan ke-6
Di samping itu, terjadi peningkatan PM dari 39% pada bulan (label 4a). Perpanjangan kurun waktu pengobatan dengan
pengobatan ke-0 menjadi 44% (∆PM = 5%) pada akhir bulan paduan obat yang dimaksud selama 6 bulan sesudah akhir bulan
pengobatan ke-6; tidak terdapat perbedaan PM yang statistis pengobatan ke-6 menurunkan X dari 16,6 mm pada akhir bulan
bermakna (p>0,05) antara bulan pengobatan ke-0 dengan baik pengobatan ke-6 menjadi 16,5 mm (∆X = 0,1 mm) pada akhir
akhir bulan pengobatan ke-I, akhir bulan pengobatan ke-3 bulan pengobatan ke-9 dan menurun lagi menjadi 16,0 mm
maupun akhir bulan pengobatan ke-6 (Tabel 3b). Dengan lain (∆X=0,5 mm) pada akhir bulan pengobatan ke-12. Perbedaan X
perkataan, paduan obatjangka panjang HS/11H2S2digunakan yang statistis tidak bermakna (p > 0,05) antara bulan pengobat-
oleh golongan keseluruhan kasus-kasus TB dengan dahak an ke-0 dan akhir bulan pengobatan ke-6 menjadi statistis ber-
positif tanpa pemeriksaan kepekaan strain hasil TB terhadap makna (p<0,01) pada akhir bulan pengobatan ke-12 (Tabel 4a).
obat-obat yang digunakan, tidak mampu menghasilkan Di samping itu, perpanjangan kurun waktu pengobatan dengan
kesembuhan imunologis sampai akhir bulan pengobatan ke-6. paduan obat yang dimaksud selama 6 bulan sesudah akhir bulan
Penilaian pada akhir kurun waktu pengobatan menunjukkan pengobatan ke-6 meningkatkan PM dari 44% pada akhir bulan
bahwa penggunaan paduan obat jangka pendek HR/8H2R2 oleh pengobatan ke-6 menjadi 49% pada akhir bulan pengobatan
golongan keseluruhan kasus TB dengan dahak positif tanpa ke-12 (Tabel 4b). Dengan lain perkataan, perbaikan kedudukan
pemeriksaan kepekaan hasil terhadap obat-obat yang digunakan, imunologis sudah sampai pada posisi titik-tengah pada spektrum
telah menyebabkan regresi horisontal sudah pada akhir bulan kedudukan imunologis penyakit tuberkulosis (Gambar 4b).
pengobatan ke-1, kesembuhan imunologis sudah pada akhir
bulan pengobatan ke-1 dan perbaikan kedudukan imunologis Gambar 4b. Golongan keseluruhan yang memperoleh HS/11H2R2 Pe-
nilaian sampai bulan ke-12.
yang mendekati posisi titik-tengah pada spektrum kedudukan
imunologis pada akhir bulan ke-6. Perpanjangan kurun waktu
pengobatan selama 3 bulan sesudah bulan pengobatan ke-6,
menjadikan X menurun lebih lanjut dari 16,1 mm pada akhir
bulan pengobatan ke-6 menjadi 15,4 mm pada akhir bulan peng-
obatan ke-9 (∆X=0,7 mm). Di samping itu, PM telah meningkat
lebih lanjut dari 45% pada akhir bulan pengobatan ke-6 menjadi
54% (∆PM = 9%) pada akhir bulan pengobatan ke-9 (Tabel 4b)

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Penemuan tersebut di atas menunjukkan bahwa penggunaan Gambar 5b. Golongan keseluruhan kasus yang memperoleh HS/11H2R2.
Penilaian sampal bulan ke-12. Pengobatan yang gagal.
paduan obat HS/11H2S2 oleh golongan keseluruhan kasus TB
dengan dahak positif tanpa pemeriksaan kepekaan hasil terhadap
obat-obat yang digunakan baru mampu menghasilkan kesem-
buhan imunologis pada akhir bulan pengobatan ke-12; perbaikan
imunitas protektif melalui perbaikan kedudukan imunologis
golongan berlangsung selama seluruh kurun waktu pengobatan.
Dengan hanya mengikutsertakan golongan kasus TB yang
memperoleh kesembuhan bakteriologis pada akhir bulan peng-
obatan ke-6 pada penilaian keefektifan pemulihan imunitas
protektif, penggunaan paduan obat jangka panjang HS/11H2S2
oleh golongan keseluruhan kasus TB dengan dahak positif
tanpa pemeriksaan kepekaan hasil terhadapobat-obat yang
digunakan, baru mampu menjadikan kesembuhan imunologis tuberkulosis membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut
pada akhir bulan pengobatan ke-12 (Tabel 5a) berdasarkan mengenai manfaat suntikan BCG untuk memperpendek waktu
penurunan X yang statistis jelas bermakna (p <0,01) pada akhir pengobatan dengan paduan obat anti-TB. Dalam hal digunakan
bulan pengobatan ke-12. Peningkatan peranan makrofag paduan obat jangka pendek yang terdiri dari INH dan RMP oleh
melampaui posisi titik-tengah pada spektrum kedudukan golongan kasus TB dengan dahak positif tanpa pemeriksaan ke-
imunologis penyakit tuberkulosis terjadi pada akhir bulan pekaan hasil terhadap obat-obat yang digunakan, suntikan BCG
pengobatan ke-12 (Gambar 5a). sudah dapat mengganti paduan obat yang dimaksud pada akhir
Gambar 5a. Golongan keseluruhan kasus yang memperoleh HS/11H2R2. bulan pengobatan ke-3 asalkan kasus TB yang dimaksud sudah
Penilaian sampai bulan ke-12. Pengobatan yang berhasil. menunjukkan kesembuhan bakteriologis pada saat suntikan BCG
dikerjakan dan belum pernah memperoleh obat-obat anti-TB
sebelumnya. Usaha ini perlu dipertimbangkan pada daerah-
daerah dengan masalah biaya pengobatan dan ketaatan peng-
obatan. Suntikan BCG pada kasus-kasus TB dengan dahak
positif yang tidak pernah memperoleh obat-obat anti-TB sebe-
lumnya dan yang telah memperoleh kesembuhan bakteriologis
pada akhir bulan pengobatan ke-6, telah mampu meningkatkan
imunitas protektif yang diwujudkan melalui pencegahan kekam-
buhan bakteriologis sesudah penghentian pengobatan yang ber-
Dengan hanya mengikutsertakan golongan kasus TB yang hasil(13).
menunjukkan kegagalan pengobatan dari segi pemeriksaan Dari segi kemampuan pemulihan imunitas protektif, paduan
bakteriologis pada akhir bulan pengobatan ke-6, penggunaan obat ganda jangka pendek, bifasik yang terdiri dari INH dan
paduan obat jangka panjang HS/11H2S2 oleh golongan ke- RMP ternyata lebih efektif daripada paduan obat ganda jangka
seluruhan kasus TB dengan dahak positif tanpa pemeriksaan panjang, bifasik yang terdiri dari INH dan SM, terutama bila di-
kepekaan hasil terhadap obat-obat yang digunakan, telah mampu lakukan pemeriksaan kepekaan terhadap obat-obat yang di-
menghasilkan regresi horisontal pada spektrum kedudukan gunakan.
imunologis penyakit tuberkulosis sudah pada akhir bulan peng- Imunoterapidengan BCG untuk memperpendek kurun waktu
obatan ke-1. Regresi horisontal yang dimaksud hanya berlangsung pengobatan dengan paduan obat ganda, jangka panjang, bifasik,
3 bulan; setelah bulan pengobatan ke-3 terjadi progresi horison- yang terdiri dari INH dan SM, dapat dipertimbangkan bila
tal dan k yang tadinya menurun dari 17,9 mm pada bulan peng- paduan obat yang dimaksud digunakan oleh golongan kasus TB
obatan ke-0 menjadi 14,6 mm pada akhir bulan pengobatan yang mempunyai strain hasil yang sensitif penuh terhadap INH
ke-3 meningkat lagi menjadi 16,6 mm pada akhir bulan peng- dan SM, tidak pernah memperoleh obat-obat anti-TB sebelum-
obatan ke-6 dan kemudian menjadi 17,4 mm pada akhir bulan nya, dan telah sembuh bakteriologis pada akhir bulan pengobat-
pengobatan ke-12 (Tabel 5a). Di samping itu, terjadi pening- an ke-enam.
katan PM sampai pada akhir bulan pengobatan ke-3. Sesudah
bulan pengobatan ke-3 terjadi penurunan PM yang berlangsung UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada P.T. Ciba-Geigy Pharma di Indonesia
sampai akhir bulan pengobatan ke-12 (Tabel 5b). Jadi, pada atas bantuannya sehingga penelitian klinis ini dapat diselesaikan pada waktu
kasus-kasus kegagalan pengobatan, dari segi pemeriksaan bakte- yang telah ditetapkan.
riologis tidak terjadi kesembuhan imunologis; berarti tidak ter-
jadi perbaikan imunitas protektif walaupun paduan obat yang ter- KEPUSTAKAAN
kait diteruskan melebihi kurun waktu pengobatan enam bulan 1. Handojo RA. Anggraeni Inggrid Handojo. Various types of Specific
(Gambar 5b). Acquired Deficient Immune Status (SADIST fallowing various kinds of
Penemuan-penemuan mengenai kesembuhan bakteriologis microbial infection. 5a. the clinical management of diseases that may
dan kesembuhan imunologis pada penggunaan paduan obat anti- produce SARIS with lymphocyte predominance. Cermin Dania Kedokt

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 39


1994;93. 37-46.
2. Handojo RA. Anggraeni Inggrid Handojo. Various types of Specific dan atas dasar kegiatan pemulihan imunitas protektif.2. penilian atas dasar
acquired Deficient Immuns Status (SADIS) following various kinds of kegiatan anti-mikrobial paduun obat. Cumin Dunia Kedokteran (akan
microbial infection. 5b. the clinical management of diseases that may dicetak).
produce SADIS with lymphocyte depletion. Cumin Dunia Kedokt 1994; 8. Handajo RA. The spectrum of immune status in individual cases of
96.43–54. pulmonary tuberculosis. Pam 1991; 11: 20–2.
3. Handojo RA. Short course chemotherapy in Indonesia. Proceeding I of the 9. Handojo RA. The pattern of tuberculin reaction for the determination of
Eastern Regional Tuberculosis Conference of IUAT in Jakarta Indonesia. immune status in a homogeneous group of individuals. Paru 1991; 11:
1983, pp. 133–47. 19–20.
4. Hongkong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled 10. Handojo RA, Anggraeni Inggrid Handojo. Varous types of Specific
trial of 6-month and 8.month regimens in the treatment of pulmonary Acvired Deficient Immune Status (SADIS) following various kinds of
tuberculosis. The results up to 24 months. Tubercle 1979; 60: 201–10. microbial infection. I. the immune defense mechanism. Wellcome Journal
5. Singapore Tuberculosis Service/British Medical Research Council.Clinical of health 1993:5: 13–22.
trial of6-month and 4,month regimens of chemotherapy in the treatment of 11. Stanford Rs Shield Ml, Rook CAW. How environmental mycobacteria
pulmonary tuberculosis. The results up to 30 months. Tubercle 1984; 62. may predetermine the protective efficacy of BCG Tubercle 1981; 62:
95–102. 55–62.
6. East and Central Africa/British Medical Research Council. Controlled 12. Handojo RA, Anggraeni Inggrid Handojo. Various types of Specific
clinical trial of 4 short course regimens of chemotherapy (three fix-month Acquired Deficient Immune Status (SADIS) following various kinds of
and one eight-month) for pulmonary tuberculosis. Fifth Collabomove microbial infection.2. the TB-type of SADIS. W ellcome Journal of Health
study (first report). Tubercle 1983; 64: 153–166. 1993; 6: 13–20.
7. Handojo RA. Sandi Agung, Anggraeni Inggrid Handojo. Keefektifan pa- 13. Lusiana Djunaedi. Pengaruh penggunaan imuno-modulator dan imuno-
duan obot ganda bifasik anti-tuberkulose alas dasar kegiatan and-mikrobial terapi terhadap keberhasilan pengobatan. Paru 1987; 1–2: 24–7.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


HASIL PENELITIAN

Efektivitas Extra Joss®


dalam Memperbaiki Kinerja
Ketahanan Kerja
Dr Nusys E Ismail, MS*, Dr Rana Suheryanto, MS", Dr Sunderi Kustomo, MS•, Dr Wudangadi JB Hsrsono, MS
*Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia -
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRACT
.
Extra Joss , a health drink is claimed by the manufacturer to be able to improve
endurance performance and also eliminate tiredness. To prove the claim, a randomized
double blind placebo controlled clinical trial (cross over design) was carried out on 61
male workers.Thirty minutes after the workers drank Extra Joss or Placebo, Pauli Test
and Run Test were conducted.
This study reveals that Extra Joss increased the "total score" and "true score" of
Pauli Test by 21.79% (p<0,001) and 22.23% (p<0,007) respectively; and the Run Test
by 31.23% (p<0,00I).
Conclusion : Extra Joss® can improve endurance performance, either muscle or
intellectual work

PENDAHULUAN membantu pergerakan ion Kalium, Natrium, Kalsium, dan


Pada saat ini banyak minuman kesehatan yang dipasarkan Magnesium keluar masuk sel, sehingga ikut berperan dalam
dan dipromosikan dengan gencar; mengklaim mempunyai penghantaran impuls sel saraf.2,3,4 Inositol adalah salah satu vi-
khasiat bermacam-macam, yang kadang-kadang berlebihan dan tamin yang termasuk vitamin B kompleks yang di dalam tubuh
belum terbukti kebenarannya. Klaim-klaim tersebut di antaranya diubah menjadi Inositol Trifosfat. Inositol Trifosfat berfungsi
adalah dapat menghilangkan kelelahan, meningkatkan ketahanan sebagai second messenger di dalam sel yaitu dengan merangsang
kerja (endurance), meningkatkan kewaspadaan, alertness dan pelepasan ion kalsium dari tempat penimbunannya di dalam sel
(5,6)
menambah energi. . Vitamin B1, B2, B3, dan B6, adalah vitamin yang
Salah satu minuman kesehatan yang banyak dikonsumsi di dibutuhkan sebagai koenzim pada metabolisme zat-zat gizi
Indonesia saat ini adalah Extra Joss. Minuman kesehatan ini untuk menghasilkan energi 5,6. Kafein adalah stimulan Susunan
cukup banyak dikonsumsi masyarakat karena harganya yang Saraf Pusat yang kuat yang dapat meningkatkan alertness,
relatif murah dan promosinya sangat gencar. Extra Joss antara menghilangkan rasa mengantuk, menghilangkan rasa lelah, dan
lain mengklaim dapat meningkatkan ketahanan kerja dan meningkatkan konsentrasi7. Ginseng (Panaxginseng CA Meyer)
menghilangkan kelelahan, meskipun tidak ada bukti/hasil adalah suatu adaptogen yang dapat menghilangkan rasa lemas,
penelitian yang menyatakan kebenaran hal itu. dan dapat mempengaruhi status fisik maupun psikis. Ginseng
Bahan aktif atau yang diduga aktif pada Extra Joss® adalah juga merupakan suatu tonik dan penghilang rasa lelah(8,9,10).
Tzarina (100 mg per sachet), Inositol (50 mg), Vitamin B1(10 Madu banyak mengandung glukosa dan fruktosa yang
mg), Vitamin B2 (5 mg), Nikotinamid (20 mg), Vitamin B6 (5 merupakan sumber energi bagi semua sel tubuh 11,12.
mg), Kafein (50 mg), Ginseng (20 mg), dan Madu (q.s.).1 Melihat profil masing-masing komponen bahan aktif Extra
Taurine adalah asam amino yang penting untuk menstabilkan Joss tersebut di atas, klaim untuk meningkatkan ketahanan kerja
membran sel dan memelihara sel-sel otak dan sel-sel saraf memang cukup relevan, tetapi perlu dibuktikan apakah kombinasi
lainnya, serta dapat meningkatkan fungsi kognitif. Taurine juga dari komponen-komponen tersebut memang efektif.

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 41


Penelitian ini bertujuan membuktikan Extra Joss dalam kemudian kedua kelompok tersebut ditukar (cross over) dan
memperbaiki kinerja ketahanan kerja (endurance performance) dilakukan uji yang sama (Uji Pauli dan Uji Lari).
sehingga memperlambat terjadinya kelelahan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan t berpasangan
(paired t test, 2 arch /2tail) dan uji korelasi Pearson (2 arah).
BAHAN DAN CARA
Bahan HASIL PENELITIAN
Disain penelitian ini adalah Randomized Double Blind, Dari 61 orang peserta penelitian, ternyata semuanya dapat
Placebo Controlled Clinical Trial, Cross Over Design. Extra mengikuti penelitian ini sampai selesai. Umur rata-rata
Joss® yang digunakan sesuai dengan yang ada di pasaran, ke-61 orang tersebut adalah 27 tahun (95% CI 24,8-29,2). Dari
sedangkan sebagai plasebo dibuat serbuk effervescent dengan distribusi umur peserta, ternyata sebagian besar peserta
warna dan rasa yang sama dengan Extra Joss tanpa mengandung penelitian ini adalah orang muda.
bahan-bahan aktif/bahan yang diduga aktif. Baik Extra Joss Pada Uji Lari, jarak tempuh rata-rata ketika minum
maupun plasebo dilarutkan dalam segelas air (±200 ml) Populasi Plasebo 730 meter (95% CI 651,4 - 809,6 meter) sedangkan
penelitian ini adalah para karyawan yang bekerja di suatu ketika minum Extra Joss® 958 meter (95% CI 874,3 - 1041,7).
perusahaan manufaktur di Jakarta. Ukuran sampel ditentukan Perbedaan jarak tempuh rata-rata sebesar 228 meter (95% CI
berdasarkan rumus ukuran sampel minimum sebagai berikut: 156,2 - 300,0) ini secara statistik bermakna (uji t berpasangan
: t = 6,35; df = 60 ; p < 0.001). Dengan Uji Korelasi Pearson
2σ2 untuk mengetahui hubungan antara umur dengan peningkatan
n = ------------ X f (α,β)
(µ2-µ1)2
jarak tempuh (Extra Joss dibandingkan dengan Plasebo)
didapatkan nilai koefisien korelasi r =+0,15 (95% CI - 0,11 - +
Batas kemaknaan (α) = dan power (l-β)=90%. 0,39; t = 1,17; df = 59; p > 0,10).
Berdasarkan rumus tersebut didapatkan jumlah sampel Pada Uji Pauli, ketika minum Plasebo skor total rata-rata
minimum = 60. Sampel / orang percobaan yang diikutsertakan yang dicapai adalah 2464 (95% CI 2286- 2642) sedangkan skor
dalam penelitian ini adalah karyawan berjenis kelamin pria, usia yang benar rata-rata 2427 (95% CI 2245 - 2609). Ketika minum
produktif (18 - 55 tahun), tidak mempunyai cacat fisik Extra Joss skor total rata-rata 3001 ( 2798-3204 ), sedangkan
(ekstremitas, mata, dan tetinga), tidak buta huruf / angka, bukan skor yang benar rata-rata 2969 (2764 - 3174). Peningkatan
pecandu minuman berkafein, tidak menderita hiperasiditas skor total rata-rata sebesar 537 (95% CI 450 - 634). Kedua
lambung, tidak menderita hipertensi atau penyakit jantung peningkatan tersebut secara statistik bermakna (uji berpasangan
koroner, dan bukan pecandu obat-obatan perangsang SSP. Pada : t = 11,51 untuk skor total dan t = 11,79 skor yang benar; df;
hari penelitian orang tidak sedang dalam pengobatan dengan p < 0,001. Dengan Uji Korelasi Pearson untuk mengetahui
obat perangsang SSP. Berdasarkan kriteria di atas, 61 orang hubungan antara umur dengan peningkatan skor total yang
memenuhi syarat untuk mengikuti penelitian ini. dicapai (Extra Joss dibandingkan Plasebo) didapatkan nilai
koefisien korelasi r = - 0,013 (95% CI -0,26 -+0,24; t =-0,099;
Cara df = 59; p > 0,10); sedangkan untuk hubungan antara umur
Untuk menguji kinerja ketahanan kerja / tidak cepat lelah, dengan perbedaan skor yang benar didapatkan koefisien korelasi
dilakukan Uji Pauli13 dan Uji Lari.Uji Pauli dilakukan sesuai r = - 0,012 (95% Cl -0,26 -+0,24; t=-0,092; df= 59; p> 0,10).
standar di mana variabel yang dianalisis adalah skor total yaitu
jumlah angka yang berhasil dijumlahkan oleh peserta dalam PEMBAHASAN
waktu 60 menit; dan skor yang benar yaitu jumlah angka yang Kinerja ketahanan kerja (endurance performance)
berhasil dijumlahkan dengan benar oleh peserta, Uji Lari dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetika,
dilakukan dengan menyuruh orang percobaan lari secepat- jenis kelamin, umur,faktor lingkungan (suhu, ketinggian, tekanan
cepatnya dan jarak yang dapat ditempuh dicatat dalam satuan udara,polusi), faktor psikis, latihan (training), makanan, ambilan
meter. Sebelum dilakukan uji, dilakukan anamnesis dan oksigen (ventilasi paru, curah jantung), dan sebagainya.14,15.
pemeriksaan jasmani untuk mengetahui apakah orang percobaan Semua faktor-faktor tersebut akut mempengaruhi proses
memenuhi persyaratan. Sampel penelitian dibagi menjadi dua pembentukan energi.
kelompok secara acak, masing-masing 31 dan 30 orang. Pada Salah satu bahan aktif Extra Joss® adalah Kafein telah ter-
kelompok pertama, x 30 menit sebelum dilakukan uji (baik Uji bukti menimbulkan efek positif pada endurance performance15.
Lari maupun Uji Pauli) orang percobaan diberi minum satu sa- Efek ergogenik dari kafein ini diduga berkaitan dengan peran
chet Extra Joss. Pada kelompok kedua, x 30 menit sebelum kafein dalam mobilisasi asam lemak bebas yang merupakan
dilakukan uji (baik Uji Lari maupun Uji Pauli) orang percobaan bahan baku untuk sistem aerobik. Karena itu kafein mempunyai
diberi minum Plasebo. Uji Pauli dan Uji Lari dilakukan pada glycogen-sparing effect yaitu menyebabkan lebih banyak lemak
hari yang berbeda. Dipilih waktu 30 menit setelah minum Extra dibakar untuk menghasilkan energi, dan mengurangi penggunaan
Joss atau Plasebo, karena mempertimbangkan absorpsi minuman glikogen. Glycogen-sparing akan mengurangi kelelahan otot(15).
di dalam saluran cerna; selain itu, mula kerja kafein menurut Kafein juga dapat memfasilitasi transpor ion kalsium ke dalam
literamr adalah 5 - 90 menit setelah diminum(7). Satu minggu sel sehingga berperan dalam proses kontraksi otot(7). Efek

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


farmakologik lainnya dari kafein antara lain merangsang SSP, Extra Joss dapat berasal dari madu (yang kaya akan fruktosa
dan meningkatkan curahjantung. Seperti telah disebutkan di atas, dan glukosa), yang pembakarannya memerlukan koenzim
kedua hal ini juga mempengaruhi endurance performance. yang berasal dari Vitamin B1, B2, B3, dan B6. Pada penelitian
Ekstrak ginseng, yang merupakan bahan aktif Extra Joss, ini hal tersebut terbukti dari hasil Uji Lari maupun Uji Pauli,
mengandung lebih dari 200 macam zat kimia, dan bahan aktif yang hasilnya lebih tinggi ketika minum Extra Joss
yang terdapat pada ekstrak ginseng antara lain adalah ginsenosida dibandingkan ketika minum plasebo.
yang terdiri dari protopanaxadiol dan protopanaxatriol. Pada Uji Pauli skor total rata-rata yang dicapai peserta ketika
Ginseng telah terbukti dapat memperbaiki kinerja, kewaspadaan, minum Extra Joss dibandingkan dengan ketika minum Plasebo,
daya konsentrasi, menambah nafsu makan, dan menyegarkan meningkat sebesar 537 atau 21,79%; sedangkan skor yang benar
tubuh 8,9,10. rata-rata meningkat sebesar 542 atau 22,33%. Pada Uji Pauli,
Taurine merupakan asam amino yang berperan pada diperlukan koordinasi yang baik antara kerja otak dan kerja
penghantaran impuls-impuls sel saraf, sehingga bila ada otot. Pada uji ini orang yang mudah lelah akan mencapai skor total
rangsangan dari SSP maka rangsangan ini akan diteruskan yang lebih rendah daripada orang yang tidak mudah lelah.
dengan cepat ke sel-sel efektor 2,3,4. Demikian pula kelelahan akan menyebabkan lebih banyak
Vitamin-vitamin B yang ada dalam Extra Joss yaitu B1,B2, kesalahan dalam menjumlahkan angka, sehingga skor yang benar
B3, B6,dan inositol. Tiamin (Vitamin B1) di dalam tubuh akan akan lebih kecil. Dari penelitian ini terbukti bahwa Extra Joss
diubah menjadi tiamin pirofosfat yang berfungsi dalam dapat menghilangkan atau setidaknya menunda terjadinya
metabolisme karbohidrat sebagai koenzim pada dekarboksilasi kelelahan, sehingga terdapat peningkatan skor total maupun skor
asam a-keto hexose monophosphate shunt (HMP shunt) 5.6. yang benar, yang secara statistik bermakna (p < 0,001).
Riboflavin (Vitamin B2) di dalam tubuh akan bereaksi dengan Hubungan antara umur dengan peningkatan skor (baik
ATP membentuk flavin mononukleotida (FMN) dan flavina skor total maupun skor yang benar menunjukkan korelasi
adenin dinukleotida (FAD). FMN dan FAD berperan penting (korelasi sangat lemah), yaitu -0,013 (untuk skor total) dan
pada metabolisme sebagai koenzim untuk banyak macam –0,012 (untuk skor yang benar). Korelasi negatif ini
flavoprotein, beberapa di antaranya adalah flavoprotein yang menunjukkan bahwa makin tinggi usia peserta, peningkatan
mengandung logam (misalnya xantin oksidase) 55,6. skor yang dicapai makin rendah. Namun demikian, korelasi ini
Nikotinamid (vitamin B5) berfungsi di dalam tubuh setelah secara statistik tidak bermakna (p > 0,10).
dikonversi menjadi nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) Pada Uji Lari, jarak tempuh rata-rata ketika minumExtra
dan nikotinamid adenin dinukleotida fosfat (NADP). NAD dan Joss dibandingkan dengan ketika minum Plasebo berbeda 228
NADP berperan pada metabolisme protein yaitu mengkatalisis meter atau 31,23%. Perbedaan ini cukup tinggi dan secara
reaksi reduksi-oksidasiyang penting padarespirasijaringan5,6Pi- statistik bermakna (p<0,001). Hal ini menunjukkan bahwa pada
ridoksin (B6), dalam bentuk piridoksal fosfat berfungsi sebagai Uji Lari, Extra Joss terbukti efektif dalam memperbaiki kinerja
koenzim pada metabolisme asam amino, yaitu pada reaksi ketahanan fisik para peserta penelitian, sehingga mereka dapat
transaminasi, dekarboksilasi, dan rasemisasi(5.6). Inositol di dalam menempuh jarak yang lebih jauh. Hubungan antara umur
tubuh terdapat dalam bentuk fosfatidil-inositol yang merupakan pesertadengan peningkatan jarak tempuh menunjukkan korelasi
komponen dari fosfolipid membran sel dan lipoprotein plasma. positif meskipun lemah (koefisien korelasi Pearson +0,15) yang
Derivat fosfat dari inositol (misalnya inositol trifosfat) menunjukkan makin tua usia peserta, makin besar peningkatan
dilepaskan dari fosfolipid membran sel sebagai respons jarak tempuh bila minum Extra Joss. Namun demikian
terhadap berbagai macam hormon, autakoid, dan perbedaan ini secara statistik tidak bermakna (p > 0,10).
neurotransmiter. Inositol trifosfat berfungsi sebagai second Variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi hasil
messenger intrasel yaitu merangsang pelepasan ion kalsium penelitian dikontrol dengan dipilihnya sampel dengan
dari tempat penimbunannya di dalam sel (16). Jadi, Extra Joss berpasangan (cross over design) dan alokasi sampel secara
mengandung berbagai macam vitamin B yang merupakan acak (yang mendapatkan Plasebo dulu atau Extra Joss®).
vitamin-vitamin yang dibutuhkan sebagai koenzim untuk
menghasilkan energi atau sebagai second messenger di dalam
sel (5.6), sehingga juga berperan dalam mempengaruhi en- KESIMPULAN
durance performance" Bahan yang akan dibakar untuk Extra Joss® terbukti dapat memperbaiki kinerja ketahanan
menghasilkan energi juga ada di dalam Extra Joss, yaitu berupa kerja (endurance performance) baik kerja otot (Uji Lari) maupun
madu yang kaya akan glukosa dan fruktosa. Komposisi Extra kerja otak (Uji Pauli). Pada Uji Lari, Extra Joss meningkatkan
loss merupakan suatu komposisi yang ideal. Kafein dan gin- jarak tempuh sebesar 31,23% (p<0,001) dan pada Uji Pauli
seng bekerja secara sinergistik untuk meningkatkan kinerja Extra Joss meningkatkan skor total sebesar 21,79% (p<0,001)
ketahanan kerja. Taurine dan inositol membantu pergerakan ion dan skor yang benar sebesar 22,33% ((p<0,001). melihat
sehingga berperan pada penghantaran impuls-impuls sel saraf komposisinya, efek peningkatan kinerja ketahanan kerja oleh
maupun otot, juga membantu pergerakan ion kalsium sehingga Extra Joss merupakan resultan dari semua bahan aktif yang
berperan pada kontraksi otot yaitu pada proses excitation terkandung di dalamnya. Kafein (perangsang SSP) dan ginseng
contraction coupling. Selain itu, untuk meningkatkan ketahanan bekerja secara sinergistik untuk meningkatkan kinerja ketahanan
kerja dan untuk berkontraksinya otot diperlukan energi yang pada kerja. Kafein juga dapat memfasilitasi transpor ion kalsium ke

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 43


dalam sel. Taurine dan inositol membantu pergerakan ion Annual 1993. Chicago : Am Mad 1992; 2109 - 31.
6. Marcus R, Coulston AM. Water Soluble Vitamins. In: Goodman Gilman
sehingga berperan dalam penghantaran impuls-impuls sel saraf A. Rall TW, Nies AS Taylor P, eds. The Pharmacological Basic of Thera-
maupun otot, juga membantu pergerakan ion kalsium sehingga peutics. 8th ed. New York: McGraw-Hill Inc, 1992; (2): 1530– 52.
perperan pada kotraksi otot yaitu pada proses exaltation 7. Abbott FM, Abernethy D, Akalin HE, et al. Caffeine. In : Dollery SC,
contraction coupling. Selain ion, untuk meningkatkan ketahanan Goods AR, Burley D, et al, eds. Therapeutic Drugs. Edinburgh: Churchill
Livingstone, 1991; (I) : C3–C6.
kerja dan untuk berkontraksinya otot dipadukan energi yang pada 8. Owen RT. Ginseng : a pharmacological profile Drugs of today 1981; 17
Extra loss dapat berasal dari madu (yang kaya akan fruktosa (8):343–51.
dan glukosa), yang pembakarannya memerlukan koenzim yang 9. Barna. P Food or drug? The case of ginseng. Lancet 1985; September
berasal dari vitamin B1, B2, B3 dan B6. 7 : 548.
10. Staba EJ. Ginseng. Lancet 1985; December 7 : 1309–10.
11. Reynolds JEF, Parfitt K. Persons AV, Sweetman. SC Martindale. The
KEPUSTAKAAN Extra Pharmacopoeia. 31st ed. London : Royal Pharmaceutical Society,
1996; 1366.
12. Anonim. About honey. http ://www.honeybee.com.au/Honey.html
1. Bintang Toedjoe. Vademecum, Jakarta : Bintang Toedjoe, tt.
13. Utomo,AB. Pauli. In : Utomo AB, ed. Psikodiagnostik. Bandung : Biro
2. Anonim Taurine : Good for many things. Http : //www.tex-is.net/users/
Psikologi Persona. 1996; 30–4.
keking/Taurine, html.
14. Astrand PO Rodahl K. Textbook or Work Physiology. 3rded . New York :
3. Jacobs JG, Smith W. Biochemistry and physiology of taurine and tau-
McGrawHill Book Camp. 1986; 295–8.
rine derivatives. Physiol Rev 1986; 48 : 424–511.
15. Fox EJ, Bowers RW, Foss ML The Psysiological Basis of Physical Edu-
4. Schaffer SW, Kocsis JJ. Taurine : research surges after 1% years. Am
cation and Athletics. 4th ed. Philadelphia : Saunders College Publisbing
Pharm. 1979; 19(21) :36–6
1988; 635,642.
5. Bennet DR, Proudfit CM, Dickinson BD, et al. AMA Drug Evaluation

ABSTRAK
Untuk membuktikan efektifitas suatu minuman kesehatan (Extra Joss®) dalam
memperbaiki kinerja ketahanan kerja/endurance performance, pada 61 orang percobaan
dilakukan penelitian dengan disain Randomized Double Blind Placebo Controlled
Clinical Trial, cross over design. Tiga puluh menit setelah minum Extra Joss® atau
Plasebo, dilakukan uji Pauli (kerja otak dan otot) dan Uji Lari (kerja otot).
Pada penelitian ini Extra Joss ternyata meningkatkan hasil Uji Pauli, yaitu
peningkatan skor total sebesar 21,79% (p<0,001) dan skor yang benar sebesar 22,33%
(p<0,001). Pada Uji Lari, Extra Joss meningkatkan jarak tempuh 31,23% (p<0,001).
Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa Extra Joss dapat memperbaiki kinerja
ketahanan kerja, baik kerja otot maupun kerja otak.

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


Pengalaman Praktek
HEAT STROKE
Pada saat wukuf di Arafah udara sangat panas (52°C), tidak seorangpun anggota
jemaah haji yang diizinkan melaksanakan wukuf di luar tender Seorang ibu tua, jemaah
haji Indonesia, keluar dari tenda secara diam-diam. IaWukuf di tengah-tengah teriknya
matahari serta tidak membawa persediaan air untuk membasahi badan atau untuk minum.
Melihat ibu tersebut seorang dokter petugas TKHI Indonesia menghampirinya dan me-
nasehati.
Dokter : "Ibu!? Sebaiknya ibu wukuf di dalam tenda saja supaya ibu tidak kepanas-
an. Udaranya sangat panas dan berbahaya, ibu mudah kehabisan air".
Jemaah haji : "Alaaaa dokter! Dokter tau, dulu Rasulullah wukuf seperti ini, jadi saya
ikut seperti ini juga. (la membantah)
Dokter : "Mungkin ibu benar, tapi sekarang udaranya sangat panas, nanti ibu jatuh
sakit". (Dokter berusaha meyakinkan)
Jemaah haji : "Sudahlah dokter!!! Jangan urus saya, urus yang lain saja!!? (la tetap
membantah dan tidak perduli omongan dokter)
Dokter berusaha membujuk ibu tersebut berkali-kali namun tetap gagal.
Tak lama kemudian tiba-tiba si ibu tersebut kejang-kejang dan menjerit, persis seperti
ayam disembelih. Petugas TKHI segera datang memberi bantuan namun jiwa si ibu tidak
tertolong lagi dan iapun menghembuskan nafas yang terakhir karena heat stroke. (Maka-
nya jangan bandel)
dr. lmran
Banda Aceh

EFEDRIN UNTUK PEMAIN BOLA


Ketika di kota-kota besar terjadi penyalahgunaan obat sekelas morfin, ganja, ecstasy
dan lain-lain, di desa tempat saya tugas terjadi pula penyalahgunaan obat yang memang
mudah didapat di desa/puskesmas. Penyalahgunaan yang dimaksud adalah sebagai
doping. Kalau pengguna (tepatnya: penyalahguna) yang pertama dikejar-kejar polisi,
yang ke dua tidak (setidaknya di tempat saya tugas).
Ceritanya begini: di suatu sore yang cerah berlangsung pertandingan sepak bola antar
desa dalam rangka memperingati HUT ABRI 5 Oktober. Pertandingan sudah berjalan
sekitar lima hari. Setiap tim sudah berlaga 2–3 kali dan kondisi pemain-pemain sudah
mulai menurun. Ketika salah satu klub akan bertanding, salah seorang pemainnya datang
ke rumah. Katanya dia disuruh minta obat efedrin yang akan diminum pemain sebelum
bertanding. Setiap pemain minum satu tablet (efedrin 25 mg, obat Inpres untuk Puskes-
mas). Konon setelah minum obat ini para pemain akan kuat berlari, tenaganya bertambah,
dan tentu denyut jantungnya bertambah. Dan katanya obat ini sudah sejak beberapa
lama digunakan di desa-desa. Dan lebih penting lagi kesebelasannya sering menang bila
minum obat ni.
Walau sudah dijelaskan bahwa penggunaan efedrin bukan untuk olahragawan yang
mau bertanding mereka tetap minum juga karena mereka memperolehnya dari tempat
lain. Yang jadi pertanyaan adalah adakah mereka tahu bahwa obat ini termasuk obat
doping yang dilarang penggunaannya pada pertandingan-pertandingan baik nasional
maupun internasional.
Yang belum dilaksanakan adalah tes doping terhadap pemain-pemain tersebut.
karena namanya pertandingan antar desa, mana ada panitia anti doping.

Dr I Wayan Suartika
Puskesmas Bualemo, Banggai, Sulawesi Tengah

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 45


ABSTRAK
KECELAKAAN AKIBAT IN-LINE din, ondansetron dan .somatostatin un- sumsinya 5,0 fl.oz. saribuah dan 11,0
SKATING tuk mengatasi gejala-gejala putus obat. fl.oz. susu perhari.
Data berasal dari 91 rumah sakit di Obat-obat tersebut diberikan di bawah 11% anak mengkonsumsi saribuah
Amerika Serikat antara Desember 1992 anestesi umum untuk mencegah timbul- ≥12 fl.oz./hari –42% dari kelompok ini
-Juli 1993 ditelaah untuk mengetahui nya gejala putus obat. bertubuh pendek (tinggi badan kurang
kecelakaan akibat in-line skating. Setelah periodetersebut pasien masih dari persentil 20) dibandingkan dengan
Dari 206 kasus yang tercatat, 161 menggunakan naltrexon selama bebe- hanya 14% di kalangan yang konsumsi-
(78%) berhasil diwawancarai; cedera rapa bulan. nya < 12 fl.oz/hari.
tersering ialah di pergelangan tangan Inpharma 199: 1074:2 Obesitas juga lebih banyak dijumpai
(32%) berupa frakturdaerah pergelang- brw pada kelompok yang konsumsinya < 12
an tangan (25%). Kecelakaan umum- fl.oz./hari–53% vs. 32% yang beratnya
nya. terjadi di trotoar (sidewalk/drive- PROGNOSIS STROKE ISKEMIK ≥75% age & sex specific percentile dan
way) (26%), di jalan raya (22%), atau di Penelitian atas 152 pasien stroke 32% vs.9% yang beratnya 290%age &
taman/jalur sepeda (19%). Kebanyakan iskemik menunjukkan bahwa 34 (22%) sex specific percentile.
akibat hiking keseimbangan (41%), membaik dalam 48 jam pertama di Setelah variabel lain disesuaikan,
menabrak sesuatu/benda diam (40%), rumahsakit,24(19%)di antaranya dalam anak yang konsumsinya ≥ 12 fl.oz./hari
menabrak benda bergerak – umumnya 24 jam pertama. Sisanya, 84 (56%) ke- lebihpendekdibandingkan dengan yang
orang/pemain lain (I1%). Alat penga- adaannya stabil dan 34 (22%) memburuk konsumsinya < 12f1.oz/hari-86,5 vs.
man lengkap digunakan oleh 7% dari dalam 48 jam. 89,3 cm di kalangan usia 2 tahun dan
kasus kecelakaan di atas, 46% tidak Para pasien yang klinis membaik rata- 106,5 cm vs. 111,2 cm di kalangan usia
menggunakan pengaman apapun, 45% rata lebih muda (p = 0,001) dan cen- 5 tahun; selain itu juga rata-rata lebih
menggunakan pelindung lutut, 33% derung mempunyai tekanan darah yang gemuk–BMI 17,2 kg/m2 vs. 16,3 kg/m2
pelindung pergelangan tangan. 28% lebih rendah, kadar gula darah yang lebih dan ponderal index 18,4vs.16,8 kg/m3.
pelindung siku dan 20% menggunakan rendah, defisit neurologik lebih nyata Pediatrics 1997: 99(1):15-22
helm. dan dirawat di rumahsakit lebih dini. hk
Risiko cedera pergelangan tangan Tidak ditemukan pengaruh jenis/cara PENGGUNAAN ANTIKONVUL-
bagi mereka yang tidak menggunakan pengobatan terhadap perjalanan klinis SAN
pelindung adalah 10,4 (95%C1: 2.9– tersebut. Prof. Bernard Sadzol dari Belgia ber-
36,9) kali dibandingkan dengan yang Setelah 30 hari, di antara 34 pasien pendapat bahwa antikonvulsan dapat
menggunakan; risiko cedera siku bagi yang membaik,1(3%)meninggal dunia. ditunda penggunaannya setelah dua atau
yang tidak menggunakan pengaman 8 (18%) hasilnya buruk dan 27 (79%) tiga kali serangan (seizures) kecuali bila
adalah 9,5 (95%CI: 2,6-34,4) kali di- hasilnya baik dibandingkan dengan 14 jenis serangannya berbeda atau terdapat
bandingkan dengan yang mengguna- (17%),38 (45%) dan 32 (38%) di antara defisit neurologik.
kan,sedangkan penggunaan pelindung pasien yang stabil (84) dan dengan 13 Inpharma 1997;1074 : 3
lutut secara statistik tidak bermakna (38%), 17 (50%) dan 4 (12%) di antara brw
karena peningkatan risiko bagi yang pasien yang keadaannya memburuk (34).
tidak menggunakannya hanya 2,2 EFEK SAMPING LAMOTRIGIN
Stroke 1997: 28 10-4 Lamotrigin – antikonvulsan baru –
(95%CI.0,7–7,2). brw
tidak dianjurkan untuk anak di bawah
Inpharma i996; 1052:16 7
16 tahun karena risiko reaksi kulit yang
brw SARI BUAH DAN OBESITAS
dapat berbahaya; kemungkinan efek
Sejumlah 106 anak berusia 2 tahun
DETOKSIFIKASI OPIOID samping tersebut 1 di antara 50–100
dan 107 anak 5 tahun diteliti kebiasaan
Klinik-klinik di AS ada yang mena- anak, dibandingkan dengan hanya 1 di
makannya dan dihubungkan dengan
warkan program detoksitikasi opioid antara 1.000 dewasa.
pertumbuhan berat dan tinggi badan.
dalam satu hari: para pengguna opioid Risiko tersebut meningkat bila di-
Mereka rata-rata mengkonsumsi 5–9
diberi obat-obat antagonis opioid se- gunakan bersama asam valproat atau
fl.oz saribuah (juice) dan 9,8 fl.oz. susu
perti nalokson atau naltrexon dikombi- pada dosis tinggi.
per hari di kalangan usia 2 tahun; dan Inpharma 1997: 1083: 21
na.si dengan preparat lain seperti kloni- pada anak usia 5 tahun rata-rata kon- brw

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998


ABSTRAK
ORANGTUA YANG MENINGGAL PENGARUH TELEPON SELULER 95% CI: 1,10 - 3,00, p=(1,02) tanpa
DI RUMAH TERHADAP EKG memperhitungkan cara persalinan.
Selama 12 minggu paramedic di San Telepon seluler (genggam) mem- Faktor maternal lain yang mem-
Francisco, AS menemukan 387 kejadian punyai medan elektromagnetik yang pengaruhi penularan HIV ialah
seseorang ditemukan lemah (helpless) potensiil dapat mempengaruhi alat-alat penggunaan penyalahgunaan obat
atau meninggal dunia di rumahnya, yang listrik lain,.seperti alat pacu jantung. selama hamil (odds ratio 1,90; 95%
mengenai 367 orang. Usia rata-rata Sejumlah 980 orang yang mengguna- CI:1,14 - 3,10, p=0,01), kadar limfosit
(median) mereka ialah 73 tahun, 51% kan alat pacu jantung permanen meng- CD4+ rendah (kurang dari 29% limfosit
di antaranya wanita. ikuti percobaan untuk melihat pengaruh total) selama kehamilan(Odds ratio 2,82;
Angkakejadian meningkatdari 3 per tersebut; telepon genggam diaktifkan 95% CI:167 - 4,76 p<0,001) dan berat
1000/tahun untuk usia 60–64 tahun dengan kekutan maksimum, lalu di- badan lahir kurang dari 2500 gram(odds
menjadi 27 per 1000/tahun untuk usia gunakan di telinga ipsilateral dan kemu- ratio 1,86;95% CI:1,03- 3,34, p 0,04).
85 tahun atau lebih; tertinggi di kalangan dian digerakkan di atas lokasi alas pacu N. Engl.J. Med. 1996:334:1617–23
pria lebih dari 85 tahun yang tinggal jantung, sementara itu aktivitas jantung Hk
sendirian (123 per 100/tahun). 23% direkam dengan EKG; 725 orang diuji
kasus ditemukan meninggal dunia, 5% menggunakan 6 jenis telepon dan 255 FAMOTIDIN UNTUK SKIZO-
lainnya meninggal di rumah sakit. menggunakan 5 jenis telepon, sehingga FRENIA ?
Di antara yang hidup, 62% dirawat total dilakukan 5.625 percobaan; data Famotidin mungkin bermanfaat
di rumahsakit dengan rata-rata lama yang dapat diolah berasal dari 5.523 sebagai obat tambahan pasien skizof-
rawat 8 hari; 52% di antaranya me- percobaan. renia yang refrakter; hal ini didasarkan
merlukan perawatan intensif. Setelah Interferensi EKG terjadi pada 20%, pada kemungkinan efeknya terhadap
keluar dari rumahsakit, 62% tidak tetapi yang menimbulkan gejala hanya reseoptor H2 di globus pallidus yang
mampu lagi hidup independen. 7,2% dan yang pealing secara klinis relatif lebih banyak terdapat dari pada
Mortalitas sebesar 67% di kalangan hanya 6,6%. Perubahan/gejala yang pada orang normal.
yang diperkirakan telah lebih dari 72 benar-benar bermakna klinis sebesar Dosis 100 mg famotidin/hari telah
jam, dibandingkan dengan 12% di ka- 1,7% dan hanya terjadi bila telepon menghasilkan perbaikan yang nyata pada
langan yang ditemukan sebelum 1 jam. genggam tersebut diletakkan di atas atas BPRS setelah 3 minggu; selain itu juga
Penyebab kelemahan ialah ketidak- pacu jantung. Gejala yang dirasakan perbaiakan nyata terlihat berdasarkan
mampuan bangkit/kelemahan umum berupa palpitasi dan pre sinkop. Scale of Asessment of Negative Symp-
(30%), jatuh (23%), nyeri dada/napas Para peneliti berkesimpulan bahwa toms dan Clinical Global Impression
pendek (7%), perubahan mental (6%), penggunaan telepon genggam cukup Scale.
tidak responsit (5%), CV D (4%). aman, dianjurkan agar tidak menaruh Inpharma 1996:1051:8
N. Engl. J Med. 1996: 334: 1710–16 telepon genggam yang aktif di kantung Brw
Hk kemeja depan.
N. Engl. J. Med. 1997; 336: 1473-9 SALEP ANTIHIPERTENSI
Hk Suatu sediaan krim berisi ramuan
RESEP YANG TIDAK DIAMBIL PENULARAN HIV tradisional Cina dan nifedipin < 5%
Penelitian di AS menunjukkan Studi atas 525 wanim hamil HIV telah diproduksi old] perusahaan far-
bahwa pada tahun 1995, kira-kira 2% positif yang melahirkan bayi tinggal masi patungan Denmark-Cina dan di-
pasien yang menyerahkan resep ke menunjukkan bahwa pecahnya ketuban pasarkan untuk indikasi hipertensi.
apotik, tidak mengambil obatnya; jum- lebih dari 4 jam sebelum persalinan Pada studi alas 450 pasien hipertensi,
lah resep tersebut kira-kira sebanyak 40 meningkatkan risiko HIV positif pada salep digunakan satu/dua kali sehari;
jute lembar dengan nilai lebih dari US$ bayinya; transmisi HIV ke bayi adalah dikatakan menurunkan tekanan darah
1 milyar; ini berdasarkan perkiraan sebesar 25%, dibandingkan dengan sampai 24 jam tanpa efek hipotensif
bahwa rata-rata 1 resep hernilai US$ 30. hanya 14% di kalangan wanita yang pada orang-orang normotensif.
Scrip 1996:2135:19 ketubannya pecah kurang dari 4 jam Scrip 1996: 2143: 23
Brw sebelum persalinan (odds ratio 1,82; Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998 47


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Obat terpilih untuk mencegah/mengontrol terjadinya se- 6. Pneumonia nosokomial umumnya terjadi setelah dinwat
rangan asma : selama :
a) Bronkodilator inhalasi a) 48 jam
b) Kortikostnoid inhalasi b) 72 jam
c) Antibiotika a) 1 minggu
d) Bronkodi alor oral b) 2 minggu
e) Kortikoseroid oral c) 1 bulan
2. Partikel dapat mencapai alveoli bila diameternya : 7. Pneumonia tersebut paling sering terjadi akibat :
a) Lebih besar dari 10u a) Penyebaran hematogen
b) 3–10u b) Penyebaran melalui udara (droplet)
c) 0,1–3u a) Aspirasi
d) 0,01–0,1u b) Penyebaran dari infeksi sinus/hidung
e) Lebih kecil dari 0,01 u c) Imobilitas
3. Sedangkan partikel yang hanya mencapai bronkus, diame- 8. Asma merupakan penyakit pernapasan yang terutama dise-
ternya : babkan oleh :
a) Lebih besar dari 10 u a) Infeksi kuman / bakterial
b) 3–10u b) Infeksi virus
c) 0,1–3u c) Hiperreaktivitas bronki
d) 0,01–0,1u d) Reaksi autoimun
e) Lebih kecil dari 0,01 u e) Degenerasi
4. Polusi udara terutama di negara maju terutama berasal 9 Hiperreaktivitas bronki pada tes provokasi tidak ditemukan
dari: pada:
a) Industri a) Asma akut
b) Kendaruan bermotor b) Asma persisten
c) Pembakaran hutan b) Asma episodik
d) Pembakaran sampah c) Asma rekuren
e) Zat kimiawi d) Semua salah
5. Penyakit membran hialin pada bayi dikaitkan dengan ke- 10. Prevalensi asma yang meningkat diduga disebabkan oleh :
adaan : a) Peningkatan frekuensi infeksi saluYan napas
a) Prematuritas b) Polusi udara
b) Postmaturitas c) Menurunnya imunitas tubuh
c) Persalinan sectio caesarea a) Rendahnya tingkat sosioekonomi
d) Partus lama b) Meningkatnya harapan hidup
e) Eklamsi

8. C 4. B
7. C 3. B
10. B 6. B 2. C
9. C 5. A 1. B JAWABAN :

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 121, 1998

You might also like