You are on page 1of 30

OMBAK BESAR

Pearl S. Buck

Kino tinggal di sebuah rumah pertanian. Pertanian itu terletak di lereng sebuah
gunung di Jepang. Sawah-sawahnya diberi teras batu yang bertingkat-tingkat, masing-
masing tampak seperti anak tangga lebar yang menuju ke gunung. Berabad lalu leluhur
Kino membangun dinding-dinding batu itu untuk menahan longsornya tanah.
Di atas seluruh sawah itu berdiri sebuah rumah pertanian yang merupakan rumah
Kino. Kadang ia merasa jalan menanjak ke rumah itu sulit dilalui, terutama ketika ia
bekerja di sawah paling bawah dan ingin makan malam. Tapi setelah ia makan di
malam hari dan di pagi hari, ia merasa bersyukur tinggal di tempat setinggi itu karena ia
dapat memandang ke bawah, ke laut biru luas di kaki gunung.
Gunung itu menjulang sangat curam dari dalam samudera, hingga hanya terdapat
segaris pesisir sempit di kakinya. Di garis pantai itu terdapat sebuah desa nelayan
tempat ayah Kino menjual sayuran dan beras, serta membeli ikan. Dari jendela
kamarnya Kino memandang ke arah atap-atap rumbia di desa, berjajar membentuk dua
garis tak rata di kedua sisi jalan kerikil. Rumah-rumah ini berhadapan satu sama lain,
dan rumah-rumah yang dekat dengan laut tidak memiliki jendela menghadap ke laut.
Karena Kino senang memandang ombak, ia sering bertanya-tanya mengapa orang-orang
desa tidak demikian, tapi ia tak pernah tahu hingga ia bertemu Jiya, anak seorang
nelayan.
Jiya tinggal di rumah paling ujung dari barisan rumah yang dekat dengan laut, dan
di rumahnya juga tidak ada jendela menghadap ke laut.
“Mengapa tidak?” Kino bertanya, “Laut itu indah.”
“Laut adalah musuh kami,” jawab Jiya.
“Bagaimana bisa?” tanya Kino, “Ayahmu menjala ikan dari laut dan menjualnya,
dengan itulah kalian bisa hidup.”
Jiya hanya menggeleng. “Laut adalah musuh kami,” ulangnya, “kami semua tahu
itu.”
Ini sungguh sulit dipercaya. Pada hari-hari yang cerah, setelah menyelesaikan
pekerjaannya, Kino lari menuruni jalan setapak sepanjang teras batu dan menjumpai
Jiya di pantai. Mereka melepas pakaian mereka dan terjun ke dalam air laut yang jernih,
dan berenang menyeberang ke sebuah pulau kecil yang mereka anggap milik mereka.
Sebenarnya pulau itu milik seorang bangsawan tua yang tak pernah mereka lihat,
kecuali dari jarak jauh. Kadangkala di senja hari ia muncul dari gerbang istananya dan
berdiri memandang laut. Saat itu mereka dapat melihatnya, bertumpu pada tongkatnya,
janggut putihnya melambai tertiup angin. Ia tinggal dalam istananya di balik pagar
tinggi dari anyaman bambu, di sebuah bukit kecil di luar desa. Kino maupun Jiya belum
pernah memasuki gerbang itu, namun kadang jika gerbang terbuka mereka mengintip ke
dalam taman. Taman itu lebih indah dari apapun yang dapat mereka bayangkan.
Tanahnya bukan tertutup rumput, melainkan lumut hijau tua yang diteduhi pohon-pohon
pinus dan bambu, dan tiap hari tukang kebun menyapu lumut itu dengan sapu bambu
hingga tampak bagai karpet beludru. Mereka melihat Bangsawan Tua itu berjalan di
kejauhan dalam jubah kelabu keperakan, kedua tangan bertaut di balik punggungnya,
kepala putihnya tertunduk. Ia memiliki wajah keriput dan tampak ramah, tapi ia tak
pernah melihat mereka.
“Tak apakah jika kita menggunakan pulaunya tanpa ijin?” hari ini Kino bertanya
ketika mereka mencapai pantainya yang berpasir putih.
“Ia sendiri tak pernah menggunakannya,” jawab Jiya, “Hanya rusa keramat yang
tinggal di sini.”
Pulau itu penuh dengan rusa keramat. Mereka tidak takut pada manusia, karena
tak ada yang menyakiti mereka. Ketika mereka melihat kedua bocah itu mereka
berdatangan, mengendus tangan-tangan mereka untuk minta makanan. Kadangkala
Kino mengikat kaleng kecil berisi kue di pinggangnya dan memberikannya pada rusa-
rusa. Tapi ia jarang punya uang, jadi sekarang ia meraih pucuk kercut muda dan
memetiknya untuk mereka. Rusa-rusa itu sangat menyukainya dan meletakkan kepala
mereka yang lembut di tangan Kino sebagai tanda terimakasih.
Kino sangat ingin bermalam sesekali di pulau itu, tapi Jiya tak pernah bersedia.
Bahkan jika mereka hanya menghabiskan sore di sana, Jiya seringkali menengok ke
arah laut.
“Apa yang kaucari?” tanya Kino.
“Hanya memeriksa apakah samudera akan marah,” jawab Jiya.
Kino tertawa. “Konyol,” katanya, “Samudera tak bisa marah.”
“Ya, ia bisa,” Jiya berkeras, “Kadang-kadang dewa samudera tua mulai bergulung
di dasar samudera dan mengangkat kepala dan bahunya, dan ombak berlarian maju-
mundur. Lalu ia berdiri tegak dan meraung dan bumi bergetar di bawah air. Saat itu aku
tak mau ada di pulau ini.”
“Tapi mengapa ia harus marah pada kita?” tanya Kino, “Kita cuma dua bocah
kecil, dan kita tak pernah berbuat salah padanya.”
“Tak seorangpun tahu mengapa samudera marah,” ucap Jiya gelisah.
Tapi hari ini samudera jelas tidak marah. Cahaya matahari berkilauan menembus
air jernih, dan bocah-bocah itu berenang dalam riak ombak yang keperakan. Di bawah
mereka air bermil-mil dalamnya. Tak ada yang tahu persis berapa dalam, karena entah
berapa panjang tali yang diturunkan oleh para nelayan, dengan diberati besi, tak pernah
ada yang menyentuh dasarnya. Air begitu dalam, dan daratan melandai langsung ke
kedalaman samudera yang tak terukur. Ketika Kino menyelam, ia menyelam dalam –
dalam – dalam, hingga ia mencapai air tenang yang sedingin es. Hari ini ketika rasa
dingin itu mencengkeram tubuhnya ia mengerti mengapa Jiya takut, dan ia segera
meluncur naik menuju ombak dan matahari.
Di pantai ia membaringkan tubuh dan kembali gembira, dan ia bersama Jiya
mencari kerikil, biru dan hijau jamrud, merah dan emas. Mereka membawa keranjang
kecil dianyam menyerupai tas, yang mereka ikatkan di pinggang dengan benang, dan
mereka mengisinya dengan kerikil. Ibu Jiya sedang membuat jalan setapak dari kerikil
di taman batunya, dan tak ada kerikil yang lebih cemerlang dari kerikil di Pulau Rusa.
Ketika mereka bosan dengan pantai mereka pergi ke hutan pinus di belakangnya
dan mencari gua.
Ada sebuah gua yang selalu mereka datangi. Mereka tidak berani masuk terlalu
dalam, karena gua itu menurun ke bawah samudera. Mereka tahu ini, dan di ujung gua
mereka dapat melihat samudera memenuhinya bagai kolam raksasa dan air tampak
pasang-surut. Airnya kadangkala berpendar dan bersinar lemah seolah ada lampu yang
dinyalakan jauh di bawah permukaan. Suatu kali seekor ikan yang berkilauan tergeletak
mati di karang. Dalam gua yang gelap ikan itu bersinar di tangan mereka, tapi ketika
mereka membawanya ke tempat terang, warna-warnanya hilang menjadi kelabu biasa.
Ketika mereka membawanya kembali ke gua, ikan itu berkilauan lagi.
Namun seasyik apapun mereka bermain di pulau itu, Jiya sering menengok ke
matahari. Kini ia berlari ke pantai dan melihat matahari tenggelam di barat dan ia
memanggil Kino.
“Ayo cepat–kita harus berenang pulang.”
Ke dalam samudera yang merona oleh matahari, mereka terjun bersama. Air terasa
hangat dan lembut menyokong mereka, dan mereka berenang bersebelahan
menyeberangi selat lebar itu. Di pesisir ayah Jiya telah menunggu. Mereka melihatnya
berdiri, tangan menaungi mata dari langit yang menyilaukan, mencari mereka. Ketika
kepala-kepala hitam mereka muncul dari air ia berteriak memanggil dan mengarungi air
untuk menjemput mereka. Ia mengulurkan tangan pada keduanya, menarik mereka dari
ombak-ombak putih yang memecah.
“Kau tidak pernah seterlambat ini, Jiya,” katanya khawatir.
“Kami tadi di dalam gua, Ayah,” kata Jiya.
Namun ayah Jiya merangkul pundaknya. “Jangan pulang terlambat lagi,” katanya,
dan Kino, dengan heran, memandangnya serta melihat betapa nelayan sekuat inipun
takut pada kemarahan laut.
Ia mengucapkan selamamt malam dan mendaki bukit menuju rumahnya, dan
menemui ibunya telah siap menyajikan makan malam di meja. Masakannya berbau lezat
– nasi hangat yang wangi, sup ayam, ikan coklat.
Tak ada seorangpun yang mengkhawatirkan Kino. Ayahnya sedang
membersihkan diri, menyiram air ke wajah dan kepalanya dengan gayung, sedangkan
adik perempuannya, Setsu, sedang menyiapkan sumpit.
Dalam beberapa menit mereka semua duduk di tikar bersih mengelilingi sebuah
meja rendah, dan kedua orang tua mengisi mangkuk anak-anak dengan makanan. Tak
seorangpun bicara, karena tidak sopan berbicara sebelum makanan disajikan dan semua
orang memperoleh makanan.
Tapi ketika makan malam selesai dan ayah Kino sedang minum sedikit anggur
hangat dari cangkir mungil, sedangkan ibunya mengumpulkan mangkuk nasi berlapis
pernis hitam, Kino berpaling ke ayahnya.
“Ayah, mengapa Jiya takut pada samudera?” ia bertanya.
“Samudera sangat besar,” jawab ayah Kino, “Tak seorangpun tahu di mana
awalnya dan di mana ujungnya.”
“Ayah Jiya juga takut,” kata Kino.
“Kita tak mampu memahami samudera,” kata ayahnya.
“Aku bersyukur kita hidup di daratan,” Kino melanjutkan, “Tak ada yang perlu
ditakuti di pertanian kita.”
“Tapi orang juga bisa takut pada daratan,” jawab ayah. “Kau masih ingat gunung
berapi besar yang kita kunjungi musim gugur lalu?”
Kino ingat. Setiap musim gugur, setelah selesai masa panen, keluarganya pergi
berlibur. Mereka selalu berjalan kaki, bahkan Setsu yang masih kecil. Mereka
membawa bekal makanan dan alas tidur di punggung mereka, dan memegang tongkat
tinggi untuk membantu mendaki lereng gunung, dan melupakan semua tugas harian,
lalu berjalan ke tempat-tempat wisata terkenal. Di rumah, seorang tetangga yang baik
menjaga rumah dan ayam-ayam mereka. Musin gugur lalu mereka berkunjung ke
sebuah gunung berapi besar, duapuluh mil jauhnya. Kino tak pernah melihat gunung itu
sebelumnya, tapi ia sering mendengar tentang gunung tersebut, dan kadangkala di hari
yang cerah, jauh di kaki langit, ia dapat melihat awan kelabu berbentuk kipas. Itu adalah
asap dari gunung berapi, ayah memberitahunya. Kadangkala bumi bergetar bahkan
hingga di rumah pertanian. Penyebabnya juga gunung berapi itu.
Ya, ia masih ingat mulut gunung yang menguap lebar. Ia telah melihat ke dalam
dan tak menyukai apa yang dilihatnya. Lingkaran asap kuning dan hitam bergulung-
gulung di dalamnya, dan sebuah sungai putih yang terdiri atas batuan leleh merayap
pelan dari salah satu sudut. Ia ingin kabur, dan bahkan kini di malam hari, ketika ia
nyaman berselimut katun lembut dalam alas tidurnya di lantai bertikar, ia bersyukur
gunung berapi itu begitu jauh dan ada paling sedikit tiga gunung di antaranya.
Kini ia memandang ayahnya di seberang meja rendah. “Haruskah kita selalu takut
pada sesuatu?” tanyanya.
Ayahnya balas memandang. Ia adalah seorang kuat dengan tubuh kurus yang liat
dan otot-otot lengan serta betisnya terbentuk oleh kerja keras. Tangannya kasar tapi ia
menjaganya tetap bersih, dan ia tak memakai apapun di kakinya selain sandal jerami.
Jika ia memasuki rumah, ia bahkan melepas sandal ini. Tak ada yang bersepatu di
dalam rumah. Begitulah mereka menjaga lantai tetap bersih.
“Kita harus belajar hidup berdampingan dengan bahaya,” ia kini berkata pada
Kino.
“Maksud Ayah samudera dan gunung berapi tak mampu menyakiti kita jika kita
tidak takut?” Kino bertanya.
“Tidak,” jawab ayah, “Bukan begitu. Samudera di situ dan gunung berapi di sana.
Memang benar bahwa kapanpun samudera bisa mengamuk dan gunung berapi bisa
meletus. Kita harus menerima kenyataan ini, tapi tanpa rasa takut. Kita harus berkata,
‘Suatu saat aku pasti mati, dan pentingkah jika aku mati karena samudera atau gunung
berapi, atau karena aku menjadi tua dan lemah?’ “
“Aku tak ingin memikirkan hal itu,” kata Kino.
“Kau benar, tak perlu memikirkan itu,” kata ayahnya. “Maka janganlah takut. Jika
kau takut, kau memikirkan mereka sepanjang waktu. Nikmatilah hidup dan jangan takut
pada kematian–begitulah cara hidup orang Jepang yang baik.”
Begitu banyak hal dalam hidup untuk dinikmati. Kino bersenang-senang setiap
hari. Di musim dingin ia pergi bersekolah di desa nelayan, dan ia duduk sebangku
dengan Jiya. Mereka belajar membaca, berhitung, dan semua hal lain yang dipelajari
anak-anak di sekolah. Namun di musim panas Kino harus bekerja keras di pertanian,
karena ayahnya butuh bantuan. Bahkan Setsu dan Ibu ikut membantu ketika bibit padi
harus ditanam di sawah yang tergenang air, dan mereka juga membantu ketika padi
telah masak serta harus dipotong, diikat, dan ditebah. Di waktu-waktu itu Kino tak
sempat lari menuruni lereng gunung untuk bertemu Jiya. Ketika hari berlalu ia sangat
lelah hingga sering tertidur saat makan malam.
Tapi ada pula hari-hari ketika Jiya terlalu sibuk untuk bermain. Terdengar kabar
dari para nelayan di pesisir bahwa serombongan ikan sedang melewati selat itu, lalu
semua perahu nelayan dari tanjung dan teluk tergesa mengangkat sauh serta berlayar
menuju laut lepas. Di pagi buta, kadang begitu pagi hingga hanya diterangi cahaya
bulan yang sedang tenggelam, Jiya dan ayahnya berlayar dengan perahu mereka
menyeberangi laut keperakan, untuk menurunkan jala ketika fajar tiba. Jika mereka
beruntung, jala akan menjadi begitu berat oleh ikan hingga mereka mengerahkan
segenap tenaga untuk mengangkatnya, dan segera lantai perahu gemerlapan oleh ikan
yang meronta-ronta.
Kadangkala, jika saat itu bukan musim tanam atau panen, Kino pergi bersama Jiya
dan ayah Jiya. Sungguh menyenangkan bangun pada malam hari dan membungkus
dirinya dengan jaket berbantalan hangat yang diikatkan di sekitar pinggang. Sepagi
apapun ia bangun, ibunya selalu bangun juga, dan memberinya semangkuk nasi panas
dan pasta kacang merah serta teh panas sebelum ia berangkat. Lalu ibu menyiapkan
bekal makan siangnya dalam kotak kayu kecil yang bersih, nasi dingin dan ikan dan
sedikit acar bit.
Melalui teras-teras batu pada jalan setapak pegunungan Kino berlari lurus ke
pelabuhan sempit tempat perahu-perahu nelayan terapung naik-turun dalam air pasang.
Jiya dan ayahnya telah ada di sana, dan dalam beberapa menit perahu itu telah meluncur
di antara karang-karang menuju laut terbuka. Layar-layar terpasang dan dengan angin
penuh, mereka melaju lurus ke langit fajar. Kino meringkuk di lantai belakang busur
perahu dan merasakan hatinya melambung oleh sukacita dan gairah. Pesisir tertinggal
makin jauh di belakang mereka dan perahu itu menunggangi gelombang samudera yang
besar dan dalam. Tak lama kemudian mereka bertemu dengan seluruh armada perahu
nelayan, lalu bersama mereka berpacu mengejar sekelompok besar ikan. Rasanya
seperti seekor burung dalam kawanan, terbang menuju langit. Betapa menyenangkan
rasanya, mengangkat ikan-ikan itu! Pada saat-saat seperti itu Kino merasa Jiya lebih
beruntung dari dirinya. Panen ikan jauh lebih mudah daripada panen padi.
“Andai saja ayahku seorang nelayan,” ia akan berkata pada Jiya. “Bodoh benar
membajak dan menanam serta memotong bundel-bundel padi, padahal aku dapat
menjadi seperti ini dan memungut ikan dari laut.”
Jiya menggelengkan kepala. “Tapi ketika badai datang, kau akan berharap dirimu
kembali ke daratan,” katanya. Lalu ia tertawa. “Bagaimana rasanya ikan tanpa nasi?
Bayangkan kau hanya makan ikan saja!”
“Kita membutuhkan baik petani maupun nelayan,” kata ayah Jiya.
Pada hari-hari ketika langit cerah dan angin sepoi-sepoi, samudera terhampar
begitu tenang dan biru hingga sulit dipercaya ia dapat menjadi kejam dan marah.
Namun demikian, bahkan Kino tak pernah benar-benar lupa, di bawah permukaan yang
biru itu air begitu dingin dan hijau. Ketika matahari bersinar air dalam itu diam. Namun
ketika air dalam itu bergerak dan terangkat dan menggeliat, ah, saat itu Kino bersyukur
ayahnya seorang petani dan bukan nelayan.
Lalu, suatu hari, bumilah yang membawa ombak besar itu. Jauh di bawah bagian
terdalam samudera, bermil-mil di bawah air hijau yang diam, api berkobar di jantung
bumi. Dingin air yang bagai es tak sanggup menyejukkan api itu. Bebatuan meleleh dan
mendidih di bawah kerak dasar samudera, di bawah air yang membebaninya, namun
mereka tak dapat menerobos keluar. Akhirnya uap itu menjadi begitu kuat hingga
menyembur keluar lewat mulut gunung berapi. Hari itu, ketika sedang membantu
ayahnya menanam lobak, Kino melihat langit tertutup awan pada separuh
ketinggiannya.
“Lihat, Ayah!” ia berseru. “Gunung berapi itu memanas lagi!”
Ayahnya berhenti dan menatap cemas ke langit. “Ia tampak sangat marah,”
katanya. “Sebaiknya aku tidak tidur malam ini.”
Sepanjang malam sementara yang lain tertidur, ayah Kino tetap berjaga. Ketika
hari sudah gelap, langit menyala merah dan bumi bergetar di bawah rumah pertanian. Di
desa nelayan bawah, cahaya di rumah-rumah kecil menunjukkan bahwa petani-petani
lain juga berjaga. Telah turun-temurun para ayah berjaga mengawasi bumi dan laut.
Pagi tiba, fajar aneh yang menyala-nyala. Langit merah serta kelabu, dan bahkan
di pertanian sini bara dan abu berjatuhan dari gunung berapi itu. Kino merasakan
sesuatu yang aneh, ketika ia menginjakkan kaki telanjangnya ke tanah, tanah terasa
panas di bawah kakinya. Di rumah, ibu telah menurunkan semua benda yang dapat jatuh
dan pecah dari dinding, dan sedikit piringnya yang bagus dibungkusnya dalam jerami di
keranjang serta diletakkan di luar.
“Akankah kita mengalami gempa bumi, Ayah?” Kino bertanya ketika mereka
makan pagi.
“Aku tak tahu, anakku,” jawab ayahnya. “Bumi dan laut sedang berjuang bersama
melawan api di dalam bumi.”
Tak ada perahu nelayan mengangkat sauh pada pagi musim panas yang gerah itu.
Tak ada angin. Laut terhampar mati dan tenang, seolah minyak telah dituangkan di atas
air. Warnanya kelabu keunguan, halus dan indah, namun ketika Kino memandangnya ia
merasa takut.
“Mengapa laut berwarna seperti itu?” tanyanya.
“Laut mencerminkan langit,” jawab ayahnya. “Laut dan bumi dan langit – jika
mereka bekerjasama melawan manusia, akan sungguh berbahaya bagi kita.”
“Ke mana para dewa pada saat seperti ini?” tanya Kino. “Apakah mereka tidak
peduli pada kita?”
“Ada saat-saat para dewa membiarkan manusia menjaga dirinya sendiri,” jawab
ayahnya. “mereka menguji kita, untuk mengetahui seberapa jauh kita mampu
menyelamatkan diri kita.”
“Dan jika kita tidak mampu?” tanya Kino.
“Kita harus mampu,” jawab ayahnya. “Ketakutan belaka yang melemahkan
manusia. Jika kau takut, tanganmu gemetar, kakimu lumpuh, dan otakmu tak dapat
menyuruh tangan dan kaki berbuat sesuatu.”
Tak seorangpun beranjak dari rumah pada hari itu. Ayah Kino duduk di ambang
pintu, mengawasi langit dan laut yang berminyak, dan Kino tinggal di dekatnya. Ia tak
tahu apa yang sedang dilakukan Jiya, namun ia membayangkan bahwa Jiya, seperti
dirinya, berada di dekat ayah Jiya. Begitulah jam-jam berlalu hingga tengah hari.
Pada tengah hari ayah Kino menunjuk ke lereng gunung. “Lihatlah istana
Bangsawan Tua,” katanya.
Di tengah lereng gunung pada bukit kecil tempat istana itu berdiri, Kino kini
melihat bendera merah perlahan naik ke puncak sebuah tiang tinggi dan tergantung
lemas berlatar langit kelabu.
“Bangsawan Tua memperingatkan semua orang agar siap sedia,” lanjut ayah Kino.
“Telah dua kali aku melihat bendera itu dinaikkan, keduanya sebelum kau lahir.”
“Siap sedia untuk apa?” Kino bertanya dengan suara ketakutan.
“Untuk apapun yang akan terjadi,” jawab ayah Kino.
Pada pukul dua siang langit mulai menghitam. Udara begitu panas seolah sedang
terjadi kebakaran hutan, namun tak ada tanda-tanda kebakaran semacam itu. Kilauan
gunung berapi berkobar di puncaknya, merah darah berlatar hitam. Bunyi lonceng
bernada rendah berdentang di perbukitan.
“Lonceng apa itu?” Kino bertanya pada ayahnya, “Aku tak pernah mendengar itu
sebelumnya.”
“Lonceng itu berbunyi dua kali sebelum kau lahir,” jawab ayahnya. Itu adalah
lonceng kuil dalam dinding-dinding istana Bangsawan Tua. Ia memanggil orang-orang
agar mengungsi dari desa dan berlindung dalam dinding-dindingnya.”
“Apakah mereka akan datang?” tanya Kino.
“Tidak semuanya,” jawab ayahnya. “Para orang tua akan mencoba menyuruh
anak-anak mereka pergi, namun anak-anak tak akan mau meninggalkan orang tua
mereka. Para ibu tak akan mau meninggalkan para ayah, dan para ayah akan tinggal
bersama perahu-perahu mereka. Tapi beberapa orang akan lebih memilih hidup.”
Lonceng itu terus berdering mendesak, dan tak lama kemudian muncullah dari
desa barisan orang-orang, hampir semuanya anak-anak, mulai mendaki menuju bukit
kecil.
“Andai saja Jiya datang,” kata Kino. “Apakah menurut Ayah ia akan menemuiku
jika aku berdiri di ujung teras dan melambaikan ikat pinggang putihku?”
“Coba saja,” kata ayahnya.
“Ikutlah denganku,” mohon Kino.
Makan Kino dan ayahnya berdiri di ujung teras dan melambai. Kino melepaskan
secarik kain putih dari pinggangnya yang dipakainya sebagai pengganti ikat pinggang,
mengenggamnya dalam kedua tangan, tinggi di atas kepalanya.
Jauh di bawah bukit Jiya melihat dua sosok dan lambaian kain putih berlatar langit
gelap. Ia menangis ketika mendaki, dan berusaha agar tidak menangis. Ia tak mau
meninggalkan ayahnya, namun karena ia adalah anak termuda, kakak laki-laki dan ibu
dan ayahnya berkata bahwa ia harus pergi ke gunung. “Kita harus membagi tugas,” kata
ayah Jiya. “Jika samudera menyerah pada api itu, kau harus hidup menjadi penerus
kami.”
“Aku tidak mau hidup sendirian,” kata Jiya.
“Kewajibanmu adalah mematuhiku, sebagai putra orang Jepang yang baik,” ayah
Jiya berkata kepadanya.
Jiya telah lari keluar rumah, menangis. Kini ketika ia melihat Kino, ia
memutuskan untuk pergi ke sana dan bukan ke istana, dan ia mulai berpacu mendaki
bukit ke pertanian itu. Setelah keluarganya sendiri, ia mencintai ayah Kino yang kuat
dan ibunya yang baik hati. Ia tak memiliki saudara perempuan dan ia pikir Setsu adalah
gadis paling cantik yang pernah dilihatnya.
Ayah Kino mengulurkan tangan untuk membantu Jiya memanjat dinding batu dan
Kino baru saja akan menyerukan ucapan selamat datang ketika tiba-tiba angin topan
muncul dari samudera. Kino dan Jiya berpegangan bersama dan melingkarkan lengan
mereka ke pinggang ayah Kino.
“Lihat – lihat – apa itu?” Kino menjerit.
Cincin ungu dari samudera seolah terangkat dan bangkit menantang awan. Selarik
langit terang hijau keperakan tampak bagai fajar, menggantung rendah di atas laut.
“Semoga dewa-dewa menyelamatkan kita,” Kino mendengar ayahnya
menggumam. Lonceng istana mulai berdentang lagi, dalam dan berulang. Ah, tapi
akankah orang-orang mendengarnya di tengah raungan angin? Rumah-rumah merka tak
memiliki jendela yang menghadap ke laut. Tahukah mereka apa yang akan terjadi?
Di bawah kedalaman air samudera, bermil-mil di bawah dingin itu, bumi akhirnya
menyerah pada api. Ia menggeram dan membelah terbuka dan air dingin jatuh ke
tengah-tengah batuan yang mendidih. Uap menyembur keluar dan mengangkat
samudera tinggi ke langit dalam sebuah ombak besar. Ombak itu berpacu menuju
pesisir, hijau dan padat, berbuih putih di ujung-ujungnya. Ia naik, makin tinggi dan
makin tinggi, mengangkat tangan-tangan dan cakar-cakarnya.
“Aku harus memberitahu ayahku!” jerit Jiya.
Namun ayah Kino memeganginya erat-erat dengan kedua tangan. “Sudah
terlambat,” katanya tegas.
Dan ia tidak melepaskan Jiya.
Dalam beberapa detik, di depan mata mereka ombak membesar dan datang makin
dekat, makin dekat, makin tinggi dan makin tinggi. Udara penuh oleh raungan dan
teriakannya. Ombak itu berpacu di atas air samudera yang datar dan diam, dan sebelum
Jiya dapat menjerit lagi ombak itu telah mencapai desa dan menutupinya entah seberapa
dalam dengan air yang bergulung-gulung liar, hijau dengan tepian buih putih kejam.
Ombak itu melaju naik ke lereng gunung, hingga bukit kecil tempat berdirinya istana
menjadi sebuah pulau. Semua orang yang masih mendaki di jalan setapak tersapu bersih
– bercak-bercak kecil hitam, terombang-ambing dalam air yang jahat. Ombak itu melaju
naik ke gunung hingga Kino dan Jiya melihat riak-riak airbergulung di dinding-dinding
teras tempat mereka berdiri. Lalu dengan suara hisapan yang keras, ombak itu menyapu
mundur kembali, surut ke samudera, menyeret segalanya serta, pohon-pohon dan batu-
batu dan rumah-rumah. Mereka berdiri, sang pria dan dua anak laki-laki, terdiam
sepenuhnya, berpegangan satu sama lain, menghadap ke arah ombak saat ia perlahan
menjauh. Ombak itu menyapu desa dan perlahan kembali ke samudera, mereda,
tenggelam ke dalam ketenangan yang besar.
Di pantai tempat desa pernah berdiri tak satu rumahpun tersisa, tak ada patahan
kayu maupun dinding batu yang rubuh, tak ada jalan kecil dengan deretan toko, tak ada
pelabuhan, tak ada satupun perahu. Pantai itu begitu bersih dari rumah, seolah tak
seorang manusiapun pernah tinggal di sana. Semua yang pernah ada kini tiada.
Jiya melolongkan tangisan liar dan Kino merasakannya melorot ke tanah. Ia tak
sadarkan diri. Yang telah dilihatnya terlalu berat baginya. Yang diketahuinya, tak
mampu ditanggungnya. Keluarga dan rumahnya telah hilang.
Kino mulai menangis dan ayah Kino tak menghentikannya. Ia membungkuk dan
merengkuh Jiya dalam lengannya serta membawanya masuk ke rumah, dan ibu Kino
lari keluar dapur serta membentangkan kasur dan ayah Kino membaringkan Jiya di
atasnya.
“Lebih baik ia tak sadarkan diri,” katanya lembut. “Biarkan ia tetap begini hingga
jiwanya sendiri yang membangunkannya. Aku akan duduk di sisinya.”
“Aku akan mengurut tangan dan kakinya,” kata ibu Kino sedih.
Kino tak mampu berkata-kata. Ia masih menangis dan ayah membiarkannya
menangis selama beberapa saat. Lalu ia berkata pada istrinya:
“Panaskan sedikit sup nasi untuk Kino dan masukkan sedikit jahe ke dalamnya. Ia
merasa dingin.”
Nah, Kino tak sadar bahwa ia memang merasa dingin hingga ayahnya bicara. Ia
gemetaran dan tak dapat berhenti menangis. Setsu masuk. Ia tak melihat ombak besar
itu, karena ibu telah menutup jendela dan menarik tirai hingga menutupi pandangannya
ke laut. Namun kini ia melihat Jiya terbaring pucat-pasi dan diam.
“Apakah Jiya meninggal?” tanyanya.
“Tidak, Jiya hidup,” jawab ayahnya.
“Mengapa ia tidak membuka matanya?” tanyanya lagi.
“Ia akan segera membuka mata,” jawab ayahnya.
“Jika Jiya tidak meninggal, lalu mengapa Kino menangis?” Setsu bertanya.
“Kau terlalu banyak bertanya,” kata ayah kepadanya. “Kembalilah ke dapur dan
bantu ibumu.”
Maka Setsu kembali lagi, mengisap jari telunjuknya, serta menatap Kino dan Jiya
ketika ia lewat, dan tak lama kemudian ibu masuk dengan sup nasi panas dan Kino
menelannya. Ia merasa hangat kini dan ia dapat berhenti menangis. Namun ia masih
ketakutan dan sedih.
“Apa yang akan kita katakan pada Jiya saat ia bangun?” ia bertanya pada ayahnya.
“Kita tak akan bicara,” jawab ayahnya. “Kita akan memberinya makanan hangat
dan membiarkannya beristirahat. Kita akan membantunya merasa bahwa ia masih
memiliki rumah.”
“Di sini?” tanya Kino.
“Ya,” jawab ayahnya. “Aku selalu menginginkan seorang putra lagi, dan Jiya akan
menjadi putra itu. Segera setelah ia menyadari bahwa di sinilah rumahnya, maka kita
harus membantunya memahami apa yang telah terjadi.”
Maka mereka menunggu hingga Jiya terbangun.
“Kurasa Jiya tak akan pernah bahagia lagi,” kata Kino penuh duka.
“Tidak, ia akan bahagia suatu hari nanti,” kata ayahnya, “karena hidup selalu lebih
kuat dari kematian. Ketika ia bangun, Jiya akan merasa bahwa dirinya tak bisa bahagia
lagi. Ia akan menangis dan menangis dan kita harus membiarkannya menangis. Tapi ia
tak bisa selalu menangis. Setelah beberapa hari ia akan berhenti menangis sepanjang
waktu. Ia hanya akan menangis selama beberapa waktu. Ia akan duduk diam dan
bersedih. Kita harus mengijinkannya bersedih dan kita tak boleh memaksanya bicara.
Namun kita akan mengerjakan pekerjaan kita dan hidup seperti biasa. Lalu suatu hari ia
akan merasa lapar dan ia akan makan sesuatu yang dimasakkan ibu kita, sesuatu yang
istimewa, dan ia akan mulai merasa lebih baik. Ia tidak akan menangis lagi di siang
hari, hanya di malam hari. Kita harus membiarkannya menangis di malam hari. Namun
sepanjang waktu, tubuhnya akan memperbarui diri. Darah yang mengalir di urat-
uratnya, tulang-tulangnya yang sedang tumbuh, dan benaknya mulai berpikir lagi, serta
menghidupkannya lagi.”
“Ia tak bisa melupakan ayahnya dan ibunya dan kakaknya!” seru Kino.
“Ia tak bisa dan seharusnya tak melupakan mereka,” kata ayah Kino. “Seperti ia
hidup dengan mereka hidup, begitu pula ia akan hidup dengan kenyataan bahwa mereka
meninggal. Suatu hari ia akan menerima kematian mereka sebagai bagian dari
hidupnya. Ia akan berhenti mencucurkan air mata. Ia akan membawa keluarganya dalam
kenangan dan pikirannya. Daging dan darahnya adalah bagian dari mereka. Selama ia
hidup, mereka juga akan hidup dalam dirinya. Ombak besar datang, namun telah pergi.
Matahari bersinar lagi, burung-burung bernyanyi, dan bumi bersemi. Lihatlah ke laut
sekarang!”
Kino memandang keluar pintu yang terbuka, dan melihat samudera gemerlapan
dan halus. Langit kembali biru, hanya beberapa gumpal awan di cakrawala menandakan
apa yang telah terjadi – selain pantai yang kosong itu.
“Betapa kejamnya langit bisa begitu cerah dan laut begitu tenang!” kata Kino.
Namun ayahnya menggelengkan kepala. “Tidak, sungguh hebat bahwa setelah
badai samudera menjadi tenang, dan langit kembali biru. Bukan samudera maupun
langit yang membuat badai jahat itu.”
“Siapa yang membuatnya?” tanya Kino. Ia membiarkan air mata bergulir di
pipinya, karena begitu banyak yang tak sanggup ia pahami. Namun hanya ayahnya yang
melihat air mata itu dan ayahnya mengerti.
“Ah, tak seorangpun tahu siapa yang membuat badai jahat,” jawab ayahnya. “Kita
hanya tahu bahwa mereka datang. Ketika mereka datang kita harus menghadapinya
seberani kita bisa, dan setelah mereka pergi, kita harus merasakan kembali betapa
indahnya hidup. Setiap hari dalam hidup kini lebih berharga daripada hidup sebelum
badai datang.”
“Tapi keluarga Jiya – ayahnya dan ibunya dan kakaknya, dan semua nelayan yang
baik, yang telah hilang –“ Kino berbisik. Ia tak dapat melupakan mereka yang telah
meninggal.
“Sekarang kita harus memikirkan Jiya,” ayah mengingatkannya. “Ia akan
membuka mata kapan saja dan kita harus ada di sisinya, kau menjadi saudaranya, dan
aku menjadi ayahnya. Panggillah ibumu juga, dan Setsu.”
Kini mereka mendengar sesuatu. Mata Jiya masih tertutup, namun ia terisak dalam
tidurnya. Kino lari menjemput ibunya dan Setsu dan mereka berkumpul di sisi tempat
tidur, berlutut di lantai agar cukup dekat pada Jiya ketika ia membuka mata.
Dalam beberapa menit, sementara mereka semua mengawasi, kelopak mata Jiya
bergerak-gerak di atas pipi pucatnya, dan kemudian ia membuka matanya. Ia tak tahu di
mana ia berada. Ia memandang dari satu wajah ke wajah lainnya, seolah mereka orang
asing. Lalu ia memandang ke balok kayu di langit-langit dan mengitari dinding putih di
ruangan itu. Ia memandang ke selimut berbunga-bunga biru yang menutupinya.
Talk seorangpun dari mereka berkata-kata. Mereka terus berlutut di dekatnya,
menunggu. Namun Setsu tak dapat tinggal diam. Ia bertepuk tangan dan tertawa. “Oh,
Jiya sudah kembali!” serunya. “Jiya, apakah kau mimpi indah?”
Suara Setsu membuat Jiya terbangun sepenuhnya. “Ayahku – ibuku –“ bisiknya.
Ibu Kino meraih tangannya. “Aku akan menjadi ibumu sekarang, Jiya sayang,”
katanya.
“Aku akan menjadi ayahmu,” kata Ayah Kino.
“Aku saudaramu sekarang, Jiya,” Kino ragu-ragu.
“Oh, Jiya akan tinggal bersama kita,” kata Setsu penuh sukacita.
Lalu Jiya pun paham. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke pintu yang
terbuka menghadap ke langit dan laut. Ia memandang ke sisi bukit tempat desa nelayan
dulu berdiri. Hanya ada pantai, dan yang tersisa dari duapuluh rumah lebih hanyalah
sedikit tiang fondasi dan batu-batu besar. Ombak kecil yang lembut dengan bermain-
main membawa kayu ringan pembangun rumah-rumah itu, melemparkannya ke pasir
dan menyambarnya kembali.
Keluarga itu telah mengikuti Jiya dan kini mereka berdiri di sekitarnya. Kino tak
tahu harus berkata apa, karena hatinya teriris oleh saudara-sahabatnya itu. Ibu Kino
mengusap matanya, dan bahkan Setsu kecil tampak sedih. Ia meraih tangan Jiya dan
mengelusnya.
“Jiya, aku akan memberimu bebek piaraanku,” katanya.
Namun Jiya tak mampu bicara.
Ia terus memandang ke arah samudera.
“Jiya, kaldu nasimu mulai dingin,” kata ayah Kino.
“Kita semua harus makan sesuatu,” kata ibu Kino. “Aku punya ayam lezat untuk
makan malam.”
“Aku lapar!” seru Setsu.
“Ayo, putraku,” kata ayah Kino pada Jiya.
Mereka membujuknya dengan lemah-lembut, berkumpul di sekitarnya, dan
mereka kembali memasuki rumah. Di ruangan yang nyaman dan menyenangkan itu
mereka duduk mengitari meja.
Jiya duduk bersama yang lain. Ia terjaga, ia dapat mendengar suara-suara keluarga
Kino, dan ia tahu bahwa Kino duduk di sampingnya. Namun di dalam ia merasa masih
tidur. Ia sangat lelah, begitu lelah hingga tak ingin bicara. Ia tahu ia tak akan pernah
melihat ayah dan ibunya lagi, atau kakaknya, atau tetangga dan teman-teman di desa. Ia
mencoba untuk tidak memikirkan mereka atau membayangkan tubuh-tubuh sunyi
mereka, hanyut di bawah ombak yang meninggi.
“Makanlah, Jiya,” bisik Kino. “Ayamnya lezat.”
Mangkuk Jiya terletak di depannya, tak tersentuh. Ia tidak lapar. Namun ketika
Kino memohon padanya, ia mengangkat sendok porselennya dan minum sedikit sup.
Sup itu panas dan lezat, dan ia menghirup aromanya dalam hidung. Ia minum lebih
banyak lalu ia mengambil sumpit dan makan sebagian daging dan nasinya. Benaknya
tak mampu berpikir, namun tubuhnya muda dan kuat dan bersyukur atas makanan itu.
Ketika mereka semua selesai makan, Kino berkata, “Apakah kita sebaiknya pergi
ke sisi bukit, Jiya?”
Namun Jiya menggelengkan kepala. “Aku ingin pergi tidur lagi,” katanya.
Ayah Kino mengerti. “Tidur baik untukmu,” katanya. Dan ia membimbing Jiya
kembali ke tempat tidurnya, dan ketika Jiya telah membaringkan diri, ayah Kino
menyelimutinya dan menutup panel-panel pintu geser.
“Jiya belum siap untuk hidup,” ia memberitahu Kino. “Kita harus menunggu.”

Tubuhnyalah yang lebih dulu membaik, dan ayah Kino, mengawasi Jiya dengan
lembut, tahu bahwa tubuh itu akan menyembuhkan benak dan jiwanya. “Hidup lebih
kuat dari kematian,” berulangkali ia berkata pada Kino.
Namun setiap hari Jiya masih lelah. Ia tak mau berpikit maupun mengingat – ia
hanya mau tidur. Ia bangun untuk makan lalu tidur lagi. Dan ketika ibu Kino melihat
hal ini ia membimbing Jiya ke kamar tidur, dan Jiya selalu tenggelam ke dalam kasur
empuk yang ditebarkan di lantai dalam kamar sepi dan bersih itu. Ia tertidur hampir
dalam sekejap dan ibu Kino menyelimutinya serta beranjak pergi.
Selama hari-hari ini Kino merasa tak bersemangat bermain. Ia bekerja keras di
samping ayahnya di ladang. Mereka tak banyak bicara, dan tak seorangpun dari mereka
ingin memandang ke arah laut. Sudah cukup sekadar melihat bumi, gelap dan subur di
bawah kaki mereka.
Suatu sore, Kino mendaki bukit di belakang pertanian dan memandang ke arah
gunung berapi. Awan asap tebal itu telah lama hilang, dan langit selalu cerah kini. Ia
lebih senang karena tahu gunung berapi sudah tak marah lagi, dan ia turun kembali ke
rumah. Di ambang pintu ayahnya sedang mengisap rokok sorenya yang biasa. Di dalam
rumah ibu sedang memandikan Setsu.
“Apakah Jiya sudah tertidur lagi?” tanya Kino pada ayahnya.
“Ya, dan itu baik untuknya,” jawab ayahnya. “Tidur akan menguatkan dirinya,
dan ketika bangun ia akan sanggup berpikir dan mengingat.”
“Tapi haruskah ia mengingat kesedihan semacam itu?” tanya Kino.
“Ya,” jawab ayahnya. “Hanya dengan berani mengingat orang tuanyalah ia akan
bahagia lagi.”
Mereka duduk bersama, ayah dan putra, dan Kino masih mengajukan pertanyaan
lain. “Ayah, tidakkah kita ini bangsa yang sangat sial karena hidup di Jepang?”
“Mengapa kau pikir begitu?” ayahnya balas bertanya.
“Karena gunung berapi ada di belakang rumah kita dan laut di depan, dan ketika
mereka bekerjasama berbuat jahat, membuat gempa bumi dan ombak besar, maka kita
tak tertolong. Selalu begitu banyak yang menjadi korban.”
“Hidup di tengah bahaya berarti mengerti betapa indahnya hidup,” jawab ayahnya.
“Tapi jika kita menjadi korban bahaya itu?” tanya Kino cemas.
“Hidup dengan hadirnya kematian membuat kita berani dan kuat,” jawab ayah
Kino. “Itulah mengapa bangsa kita tak pernah takut pada kematian. Kita terlalu sering
melihatnya dan kita tak takut padanya. Mati sedikit lebih lambat atau sedikit lebih cepat
bukan masalah. Tapi hidup dengan penuh keberanian, mencintai hidup, menyaksikan
betapa indah pepohonan dan gunung-gunung, ya, dan bahkan laut, menikmati pekerjaan
karena dapat menghasilkan makanan untuk hidup – dalam hal-hal ini kita orang Jepang
adalah bangsa yang beruntung. Kita mencintai hidup karena kita hidup dalam bahaya.
Kita tak takut pada kematian karena kita mengerti bahwa kehidupan dan kematian
saling membutuhkan.”
“Apa itu kematian?” tanya Kino.
“Kematian adalah gerbang yang sangat besar,” kata ayah Kino. Wajahnya sama
sekali tidak sedih. Sebaliknya, ia tampak tenang dan bahagia.
“Gerbang – di mana?” tanya Kino lagi.
Ayah Kino tersenyum. “Dapatkah kau mengingat saat-saat kau dilahirkan?”
Kino menggelengkan kepala. “Aku masih terlalu kecil.”
Ayah Kino tertawa. “Aku ingat betul. Oh, betapa sulitnya terlahir ke dunia,
pikirmu! Kau menangis dan menjerit-jerit.”
“Tak maukah aku dilahirkan?” tanya Kino. Hal ini sangat menarik baginya.
“Kau tak mau,” ayah berkata padanya sambil tersenyum. “Dulu kau hanya ingin
tinggal di dalam rumah hangat dan gelap tempat mereka-yang-belum-lahir. Namun tiba
waktunya untuk dilahirkan, dan gerbang kehidupan terbuka.”
“Apakah dulu aku tahu bahwa itu gerbang kehidupan?” tanya Kino.
“Kau tak tahu apapun tentang gerbang itu, jadi kau takut terhadapnya,” jawab
ayahnya. “Tapi lihatlah betapa bodoh dirimu! Di sini kami menunggumu, orang tuamu,
yang telah mencintaimu dan tak sabar menyambut kedatanganmu. Dan kau hidup
dengan sangat bahagia, bukan?’
“Hingga ombak besar datang,” jawab Kino. “Kini aku takut lagi karena kematian
yang dibawa ombak besar itu.”
“Kau hanya takut karena kau tak tahu apapun tentang kematian,” jawab ayahnya.
“Tapi suatu hari kelak kau akan heran mengapa kau takut, seperti hari ini kau heran
mengapa kau takut dilahirkan.”
Sementara mereka bicara senja telah turun, dan kini dari lereng gunung mereka
melihat cahaya berkedip-kedip. Kunang-kunang telah bermunculan, namun cahaya ini
bergerak lurus mendaki jalan setapak menuju rumah mereka.
“Lihat siapa yang datang!” seru Kino.
“Seorang tamu,” jawab ayahnya. “Tapi siapa kira-kira?”
Dalam beberapa menit mereka melihat bahwa tamu tersebut adalah Bangsawan
Tua, datang dari istana. Pelayan laki-lakinya yang membawa lentera, namun Bangsawan
Tua berjalan sangat tegap di belakangnya, dengan bantuan tongkat panjang. Mereka
mendengar suara Bangsawan Tua dalam keremangan senja.
“Apakah ini rumah petani Uchiyama?” tanya Bangsawan Tua.
“Benar,” jawab pelayannya, “dan petani itu sedang duduk di depan pintu dengan
putranya.”
Mendengar ini ayah Kino berdiri, begitu pula Kino.
“Silakan, Tuan yang Terhormat,” kata ayah Kino, “apa yang dapat kulakukan
untukmu?”
Bangsawan Tua melangkah maju. “Apakah di sini ada seorang remaja putra
bernama Jiya?”
“Ia sedang tidur di rumahku,” kata ayah Kino.
“Aku ingin melihatnya,” kata Bangsawan Tua. Siapapun dapat melihat bahwa
Bangsawan Tua ini adalah orang yang terbiasa dipatuhi. Namun ayah Kino hanya
tersenyum.
“Tuan, remaja itu sedang tidur dan saya tak dapat membangunkannya. Ia
menderita karena kehilangan seluruh keluarganya saat ombak besar datang. Kini tidur
dapat menyembuhkannya.”
“Aku tak akan membangunkannya,” kata Bangsawan Tua. “Aku hanya ingin
melihatnya.”
Maka ayah Kino memandu Bangsawan Tua berjingkat-jingkat ke kamar tempat
Jiya tidur, dan Kino ikut bersama mereka. Pelayan itu mengangkat lentera, ditudungi
dengan tangan agar cahayanya tidak jatuh ke mata Jiya yang tertutup. Bangsawan Tua
memandang ke anak laki-laki yang tertidur itu. Jiya sungguh tampan walaupun sangat
pucat dan lelah. Ia termauk tinggi untuk usianya dan tubuhnya kuat, dan wajahnya
menunjukkan kecerdasan selain ketampanan.
Bangsawan Tua menatapnya lalu mengisyaratkan pada pelayan untuk
memandunya pergi. Mereka kembali lagi ke pintu dan di sana Bangsawan Tua itu
berpaling ke ayah Kino.
“Sudah menjadi kebiasaanku ketika ombak besar datang untuk memelihara
mereka yang menjadi yatim piatu. Tiga kali ombak itu datang, tiga kali pula aku
mencari anak-anak yatim dan janda-janda, dan aku telah menafkahi serta memberi
perlindungan pada mereka. Namun aku telah mendengar tentang Jiya ini dan aku ingin
melakukan sesuatu yang lebih untuknya. Jika ia juga baik selain tampan, aku akan
mengangkatnya sebagai putraku sendiri.”
“Tapi Jiya milik kami!” seru Kino.
“Ssst,” seru ayahnya. ”Kita hanya orang miskin. Jika Bangsawan Tua
menginginkan Jiya kita tak boleh berkata bahwa kita tak akan menyerahkannya.”
“Tepat sekali,” kata Bangsawan Tua. “Aku akan mendidiknya dan memberinya
pakaian bagus serta mengirimnya ke sekolah yang baik, dan ia dapat menjadi orang
besar dan kehormatan bagi seluruh wilayah kita, bahkan bagi bangsa ini.”
“Tapi jika ia tinggal di istana kami tak dapat bermain bersama lagi,” kata Kino.
“Kita harus memikirkan kebaikan Jiya,” kata ayah Kino. Lalu ia berpaling ke
Bangsawan Tua. “Tuan, Anda sungguh baik hati telah menawarkan ini untuk Jiya. Saya
berencana untuk mengangkatnya sebagai putraku sendiri, kini setelah ia kehilangan
orang tua kandungnya, namun saya hanyalah petani miskin dan saya tak dapat berpura-
pura bahwa rumah saya sebagus rumah Anda, atau bahwa saya mampu mengirim Jiya
ke sekolah yang baik. Esok ketika ia bangun, saya akan memberitahunya tentang
tawaran Anda yang baik ini. Jiya yang akan memutuskan.”
“Baiklah,” kata Bangsawan Tua. “Tapi biarkan ia datang dan mengatakannya
sendiri padaku, agar aku tahu apa yang ia rasakan.”
“Tentu saja,” jawab ayah Kino dengan bangga. ”Jiya akan berbicara atas namanya
sendiri.”
Betapa tak senangnya Kino kini, berpikir bahwa Jiya mungkin akan meninggalkan
rumah ini dan tinggal di istana! “Jika Jiya pergi, aku tak akan punya saudara laki-laki,”
katanya pada ayah.
“Kau tak boleh mementingkan dirimu sendiri, Kino,” jawab ayahnya. “Kau harus
mengijinkan Jiya membuat pilihannya sendiri. Tidak benar jika kau membujuknya.
Kino, aku melarangmu bicara pada Jiya tentang hal ini. Ketika ia bangun aku akan
bicara sendiri padanya.”
Ketika ayahnya setegas itu Kino tak berani melawan, maka dengan sedih ia pergi
tidur. Ia kira jika ia menarik selimut menutupi dirinya maka ia tak akan tidur
semalaman, namun karena dirinya masih muda dan lelah ia segera jatuh tertidur.
Walaupun demikian, segera setelah bangun di pagi hari ia teringat pada Jiya dan
pilihan yang harus dibuatnya. Ia bangkit dan mandi dan berpakaian dan melipat
selimutnya serta meletakkannya di lemari tempat selimut itu disimpan sepanjang hari.
Ayahnya telah berada di ladang, dan ke sanalah Kino pergi dan menemuinya. Saat itu
adalah pagi ramah yang indah, dan kabut halus menutupi samudera hingga tak ada air
yang terlihat.
“Apakah Jiya sudah bangun?” tanya Kino pada ayahnya setelah mereka saling
mengucapkan selamat pagi.
“Belum, tapi ia akan segera bangun, kukira,” jawab ayahnya. Ia sedang menyiangi
hamparan kol dengan hati-hati dan Kino berlutut untuk membantunya.
“Haruskah kau memberitahunya tentang Bangsawan Tua hari ini?” Kino
memohon.
“Aku harus memberitahunya segera setelah ia bangun,” jawab ayahnya. “Tidak
adil membiarkan Jiya terbiasa menganggap rumah ini sebagai rumahnya. Ia harus
membuat pilihan itu sekarang, sebelum ia sempat menancapkan akar barunya.”
“Bolehkah aku ada di sana ketika Ayah bicara padanya?” tanya Kino kemudian.
“Tidak, putraku,” jawab ayahnya. “Aku sebaiknya bicara berdua saja dengannya
dan memberitahunya semua kelebihan yang dapat diberikan orang kaya seperti
Bangsawan Tua dan betapa sedikitnya yang dapat kita orang miskin berikan.”
Kino tak mampu menahan tangis. Ia pikir ayahnya sangat keras. “Tapi Jiya pasti
akan pergi!” ia terisak.
“Kalau begitu ia harus pergi,” kata ayahnya.
Mereka pergi ke rumah untuk makan, namun Kino hampir tak bisa makan. Setelah
makan pagi ia kembali ke ladang, karena ia tak ingin bermain. Ayahnya tinggal di
rumah, dan mereka dapat mendengar Jiya bangkit.
Untuk waktu lama Kino tinggal di ladang, bekerja sendirian. Air mata hangat
menetes dari matanya ke tanah, namun ia terus bekerja, sudah berniat tak akan pergi ke
rumah hingga ia dipanggil. Lalu ketika matahari hampir mencapai puncak langit, ia
mendengar suara ayahnya. Ia segera bangkit dan berjalan menyusuri jalan setapak di
antara teras-teras hingga ia mencapai jalan masuk ke rumah. Di sana ayahnya berdiri
bersama Jiya. Wajah Jiya masih pucat namun matanya merah. Ia telah menangis hari
ini, walaupun hingga saat ini ia sama sekali belum pernah menangis.
Ketika ia melihat Kino air matanya mulai mengalir lagi. “Jiya, kau tak boleh
khawatir mengapa kau mudah menangis,” ayah Kino berkata dengan lembut. “Hingga
kini kau tak dapat menangis karena kau belum sepenuhnya hidup. Kau terluka terlalu
dalam. Tapi hari ini kau mulai hidup, maka air matamu mengalir. Itu bagus untukmu.
Biarkan air matamu keluar dan jangan hentikan mereka.”
Lalu ia berpaling ke Kino. “Aku telah memberitahu Jiya bahwa ia tak boleh
memutuskan hingga ia melihat bagian dalam istana itu. Aku ingin agar ia melihat
semua yang dapat diberikan Bangsawan Tua padanya sebagai rumah. Jiya, kau tahu
bagaimana rumah kami – empat kamar ini dan dapur, pertanian kecil ini, tempat kami
harus bekerja keras untuk memperoleh makanan kami. Kami hanaya memiliki apa yang
dapat dihasilkan oleh tangan kami.”
Ayah Kiino mengangkat kedua tangannya yang keras dan terbiasa bekerja. Lalu ia
melanjutkan, “Kino, kau akan pergi bersama Jiya, dan ketika kau melihat istana itu kau
harus membujuknya agar tinggal di sana, demi kebaikannya.”
Kino mendengar ini dan merasa bahwa tugsa yang dibebankan padanya itu sangat
berat. Namun ia hanya berkata, “ Aku akan pergi mandi, Ayah, dan mengenakan
pakaianku yang bagus.”
“Tidak,” kata ayahnya. “Pergilah sebagai dirimu – kau adalah putra seorang
petani.”
Maka kedua anak laki-laki itu menuruni lereng gunung, dan menghindari pantai
yang kosong, mereka pergi ke istana itu. gerbangnya terbuka dan tamannya adalah yang
terindah. Seorang tukang kebun sedang menyapu hamparan lumut hijau.
Ketika tukang kebun itu melihat mereka ia menghampiri mereka. “Kalian mau
apa?” tanyanya.
“Ayahku menyuruh kami menemui Bangsawan Tua,” Kino ragu-ragu.
“Apakah kau anak Uchiyama?” tanya tukang kebun.
“Ya,” jawab Kino, “ dan ini Jiya, yang diinginkan Bangsawan Tua untuk datang
dan tinggal di sini.”
“Silakan ikuti aku,” kata tukang kebun. Ia membungkuk ke arah Jiya dan
membuat suaranya terdengar sopan.
Kedua anak laki-laki itu mengikutinya menyusuri jalan setapak yang lebar dan
bertabur kerikil. Di atas kepala mereka cemara-cemara tua menghamparkan cabang-
cabang bengkok mereka. Jauh di balik hutan matahari menyinari taman bunga dan
sebuah kolam dengan air terjun.
“Betapa indahnya!” Kino berbisik sedih.
Jiya tak menjawab. Ia terus berjalan, kepalanya terangkat tinggi. Ketika mereka
mencapai rumah mereka melepaskan sepatu mereka dan mengikuti tukang kebun masuk
melewati sebuah pintu besar. Di dalam sini tukang kebun berhenti, dan seorang pelayan
laki-laki muncul serta menanyakan maksud kedatangan mereka. Tukang kebun berbisik
dan pelayan laki-laki itu mengangguk. “Ikuti aku,” katanya pada kedua anak itu.
Maka mereka mengikutinya melalui lorong-lorong yang lebar. Dinding-
dindingnya terbuat dari kayu polesan yang bagus, tidak dicat, namun halus dan
keperakan. Di bawah kaki mereka, tikar anyaman berlapis yang bagus terasa lebih
empuk daripada lumut di bawah pepohonan. Pintu-pintu geser di kedua sisi lorong
tersebut terbuka untuk menunjukkan kamar-kamar yang indah, dan di tiap kamar
terdapat satu jambangan bunga, lukisan gulung yang elok, beberapa buah perabot
polesan berwarna gelap. Baik Jiya maupun Kino belum pernah melihat rumah semacam
itu. Kino kehilangan kata-kata. Kini bagaimana mungkin ia berharap bahwa Jiya tak
akan mau tinggal di istana itu?
Lalu jauh di sana mereka melihat Bangsawan Tua duduk di sisi sebuah meja kecil.
Meja itu diletakkan di depan pintu geser yang terbuka ke arah taman, dan Bangsawan
Tua sedang menulis. Ia memegang kuasnya tegak di tangan kanan dan dengan hati-hati
ia melukis huruf-huruf pada sebuah gulungan kertas, kacamatanya yang berbingkai
perak bertengger di hidungnya.
Ketika kedua anak laki-laki itu mendekat ia mengangkat wajah dan melepas
kacamatanya serta meletakkan kuasnya. “Apakah kalian ingin tahu apa yang telah
kutulis?” tanyanya.
Baik Kino maupun Jiya tak dapat menjawab. Rumah besar ini, kesunyiannya,
keindahannya, semua ini berada pada tempatnya sebagai latar bagi Bangsawan Tua itu
sendiri. Ia tinggi dan kurus, dan rambut serta janggutnya putih. Wajah dan tangannya
indah. Tulang-tulangnya rapuh dan kulitnya halus dan coklat. Ia tampak penuh harag
diri bagai seorang raja, namun matanya yang gelap bijaksana layaknya mata
cendekiawan tua.
“Ini bukan puisiku sendiri,” katanya. “Ini adalah ajaran seorang laki-laki dari
India, tapi aku sangat menyukainya hingga aku melukisnya di gulungan ini untuk
digantung di ceruk itu, tempat aku dapat melihatnya setiap hari.” Ia mengangkat
gulungan itu dan membacakan kata-kata ini:
“Anak-anak Tuhan sungguh berharga, namun sungguh ganjil – Sungguh baik,
namun sungguh picik.”
Ia memandang kedua anak itu. “Bagaimana pendapatmu tentang itu?” katanya.
Mereka berpandangan satu sama lain. “Kami tak memahaminya, Tuan,” akhirnya
Jiya berkata. Karena ia sedikit lebih tua dari Kino, ia merasa harus bicara.
Bangsawan Tua menggelengkan kepala dan tertawa lembut. “Ah, kita semua
adalah anak-anak Tuhan,” katanya. Lalu ia meletakkan kacamatanya dan menatap Jiya
dengan tajam. “Jadi?” katanya. “Maukah kau menjadi putraku?”
Jiya menjadi sangat merah. Ia tak menyangka akan menerima pertanyaan itu
begitu mendadak dan langsung.
Bangsawan Tua mengerti bahwa ia sulit bicara. “katakan ya atau tidak,” katanya
pada Jiya. “Itu tidak sulit diucapkan.”
“Aku akan berkata – tidak!” kata Jiya. Lalu ia merasa bahwa ini terlalu kasar.
“Aku berterima kasih padamu, tapi aku memiliki rumah – di pertanian,” tambahnya.
Ah, bayangkan perasaan Kino ketika mendengar kata-kata ini! Ia lupa sama sekali
tentang ombak besar dan semua kesedihan yang dibawanya, dan selama sesaat ia
dipenuhi sukacita yang murni. Lalu ia teringat rumah pertanian yang kecil, keempat
kamar dan dapur tuanya.
“Jiya,” katanya sungguh-sungguh, “ingatlah betapa miskinnya kami.”
Bangsawan Tua menyunggingkan senyum kecil yang separuh sedih. “Mereka
jelas-jelas sangat miskin,” katanya pada Jiya. “Dan di sini, kau tahu, kau akan memiliki
semuanya. Kau bahkan dapat mengundang anak petani ini untuk datang dan bermain
sesekali, jika kau mau. Dan aku bersedia jika kau memberi keluarga itu uang. Kau
layak, sebagai anakku, menolong orang miskin.
“Di mana semua orang lain yang selamat dari ombak besar itu?” tiba-tiba Jiya
bertanya.
“Beberapa ingin pergi, dan mereka yang ingin tinggal berada di halaman belakang
bersama pelayan-pelayanku,” jawab Bangsawan Tua.
“Mengapa kau tidak mengundang mereka ke rumah besar ini dan menjadi putra
serta putrimu?” tanya Jiya.
“Karena aku tak menginginkan mereka sebagai anakku,” Bangsawan Tua berkata
dengan agak marah. “kau anak laki-laki yang cerdas dan tampan, dan mereka bilang kau
adalah anak laki-laki terbaik di desa ini.”
Jiya memandangnya. “Aku tidak lebih baik dari yang lainnya,” katanya. “Ayahku
seorang nelayan.”
Bangsawan Tua mengambil kacamata dan kuasnya lagi. “Baiklah,” katanya. “Tak
punya putra pun tak apa.”
Pelayan laki-laki itu memberi isyarat pada mereka, dan tak lama mereka telah
kembali berada di taman.
“Bodoh sekali kau ini!” kata pelayan pada Jiya. “Bangsawan Tua kami ini
sungguh sangat baik. Kau akan mendapatkan semuanya di sini.”
“Tidak semuanya,” jawab Jiya.
Mereka keluar dari gerbang menyeberangi lereng gunung kembali ke rumah
pertanian. Setsu sedang berada di luar dan ia lari untuk menemui mereka, lengan
kimono berwarna cerah beterbangan di belakangnya dan kakinya berdetak-detak dalam
sandal kayu.
“Jiya sudah pulang!” serunya. “Jiya – Jiya –“
Dan Jiya, melihat wajah kecil bahagia Setsu, membentangkan lengan dan
memberinya pelukan besar. Untuk pertama kali Jiya merasakan kenyamanan merayap
ke dalam hatinya yang sedih, dan kenyamanan ini datang dari Setsu, yang mirip dengan
hidup itu sendiri.
Santapan siang merekatelah siap dan ayah Kino datang dari ladang, dan setelah
membasuh diri mereka semua duduk bersama untuk makan.
“Betapa kau telah membuat kami bahagia!” kata ayah Kino pada Jiya.
“Sungguh bahagia,” kata ibu Kino.
“Sekarang aku punya saudara laki-laki,” kata Kino.
Jiya hanya tersenyum. Diam-diam kebahagiaan mulai hidup dalam dirinya,
dengan cara yang tak dimengerti maupun diketahuinya. Makanan yang lezat itu
menghangatkannya dan tubuhnya menyambut makanan itu. Di sekitarnya, cinta
keempat orang yang menerimanya berkilau bagai api hangat dan mengundang di
perapian.

Waktu berlalu. Jiya tumbuh dewasa di rumah pertanian menjadi pemuda yang
tinggi, dan Kino tumbuh di sisinya, kokoh dan kuat, namun tak pernah setinggi Jiya.
Setsu juga tumbuh, dari gadis kecil jahil dan suka tertawa menjadi gadis cantik yang
anggun dan keras hati. Namun waktu, betapapun lamanya, telah terbagi menjadi dua
bagian oleh ombak besar itu. Orang-orang bicara tentang “waktu sebelum” dan “waktu
sesudah” ombak besar. Ombak besar telah mengubah hidup semua orang.
Selama bertahun-tahun tak seorangpun kembali untuk tinggal di pantai kosong itu.
Air pasang naik dan surut, menyapu pasir tiap hari hingga bersih. Badai datang dan
pergi, namun tak pernah lagi ada ombak yang sebesar ombak besar. Lalu orang mulai
berpikir mungkin tak akan ada lagi ombak besar semacam itu. Beberapa nelayan yang
dulu mendengarkan dentang lonceng dan selamat bersama istri dan anak-anaknya telah
pergi ke pisisr-pesisir lain, dan mereka telah membuat perahu-perahu nelayan yang
baru.
Namun seiring berjalannya waktu setelah ombak besar itu, mereka mulai berkata
pada diri mereka bahwa tak ada pantai yang sebagus pantai yang lama. Di sana, kata
mereka, airnya dalam dan ikan-ikan besar datang dalam kelompok besar hingga ke
dekat pantai. Mereka tak perlu pergi jauh ke tengah laut untuk mencari tangkapan. Selat
di antara pulau itu sangat kaya.
Kini Kino dan Jiya juga tak lagi sering pergi ke pantai. Sekali dua kali mereka
berjalan menyusuri tempat jalan dulunya berada, dan Jiya mencari-cari benda
kenangandari rumahnya yang mungkin telah didamparkan kembali ke pesisir. Namun
tak ada apapunyg dapat ditemukan. Gelombang di atas air dalam itu terlalu keras, dan
bahkan mayat pun tak kembali. Maka kedua anak laki-laki itu, kini pemuda, tak sering-
sering mengunjungi pantai terbengkalai itu. ketika mereka pergi berenang di laut, meeka
berjalan menyeberangi pertanian ke sisi bukit yang lain.
Namun Kino memperhatikan bahwa Jiya selalu memandang keluar pintu setiap
pagi dan ia memandang ke pantai kosong itu, mencari-cari dengan matanya seolah
sesuatu akan kembali suatu saat nanti. Suatu hari ia benar-benar melihat sesuatu. Kino
sedang berada di pintu, memakai sepatunya, ketika ia mendengar Jiya berseru dengan
suara keras, “Kino, kemarilah!” Cepat-cepat Kinoa pergi dan Jiya menunjuk ke bawah
lereng bukit. “Lihat, apakah seseorang sedang membangun rumah di pantai?”
Kino memandang dan mengerti bahwa itu sungguh terjadi. Dua orang laki-laki
sedang memalu tiang-tiang ke dalam pasir, dan seorang perempuan serta seorang anak
berdiri di dekatnya, menonton. “Mungkinkah mereka akan membangun lagi di pantai
itu?” serunya.
Namun menonton saja tak cukup bagi mereka. Mereka lari menuruni bukit ke
pantai dan pergi menghampiri kedua laki-laki itu. “Apakah kalian sedang membangun
rumah?” seru Jiya.
Kedua laki-laki itu berhenti bekerja dan yang lebih tua mengangguk. “Ayah kami
dulu tinggal di sini dan kami bersamanya. Selama bertahun-tahun ini kami telah tinggal
di rumah-rumah samping istana serta menangkap ikan di pesisir lain. Kini kami sudah
lelah tak punya rumah sendiri. Lagipula, ini masih pantai terbaik untuk menangkap
ikan.”
“Tapi bagaimana jika ombak besar datang?” tanya Kino.
Kedua laki-laki itu mengangkat bahu. “Dulu pernah ada ombak besar pada masa
kakek buyut kami. Semua rumah tersapu bersih, namun kakek kami kembali. Pada masa
ayah kami ombak besar datang lagi, namun kami kembali.”
“Bagaimana dengan anak-anakmu?” tanya Kino cemas.
“Ombak besar tak akan pernah kembali lagi,” kata kedua laki-laki itu. Lalu
mereka mulai memalu tiang-tiang ke pasir lagi.
Selama itu Jiya tak mengucapkan sepatah katapun. Ia berdiri mengamati pekerjaan
mereka, wajahnya tampak merenung dan aneh. Ombak besar dan kesedihan yang
dibawanya telah mengubah Jiya selamanya. Tak pernah lagi ia tertawa dengan mudah
atau bicara seenaknya. Ia telah belajar hidup dengan kenyataan bahwa ayah-ibu dan
kakaknya meninggal, seperti apa yang diramalkan ayah Kino, dan ia tak lagi menangis.
Ia memikirkan mereka tiap hari dan ia tak merasa mereka jauh darinya atau ia jauh dari
mereka. Wajah mereka, suara mereka, cara ayahnya bicara dan memandang, senyum
ayahnya, tawa kakaknya, semua masih ada bersamanya dan akan tetap begitu
selamanya. Namun semenjak ombak besar itu ia bukan lagi seorang anak. Di sekolah ia
mempelajari semua yang ia bisa dengan sungguh-sungguh, dan kini ia bekerja keras di
pertanian. Ia menghargai secara mendalam segalanya yang baik. Karena ombak besar
telah begitu kejam, ia tak tahan thdp kekejaman, dan ia tumbuh menjadi laki-laki terbaik
dan paling lemah-lembut yang pernah dilihat Kino. Jiya tak pernah bicara tentang
kesepiannya. Ia tak ingin siapapun menjadi sedih karena kesedihannya. Ketika ia
mentertawakan beberapa tipuan Setsu, atau ketika Setsu meledeknya, tawanya sungguh
mengagumkan karena begitu penuh dan nyata.
Kini ketika ia berdiri menonton rumah baru dibangun dibangun di pantai, ia
merasakan kesenangan yang kuat. Sungguhkah orang-orang akan kembali berkumpul di
pantai ini untuk membuat desa? Benarkah melakukan hal itu?
Pada saat ini terdengar keributan di lereng bukit. Mereka mendongak dan melihat
itu adalah Bangsawan Tua, datang perlahan menuruni jalan setapak kerikil. Ia kini
sungguh sangat tua, dan ia berjalan dengan susah payah. Dua pelayan memapahnya.
Pembangun yang lebih tua melempar palu batunya. “Bangsawan Tua datang,” ia
memberitahu yang lain. “Ia pasti sangat marah, kalu tidak ia tak akan meninggalkan
istananya.”
Siapapun dapat melihat bahwa Bangsawan Tua itu marah. Ia mencengkeram
tongkat panjangnya, dan ketika ia sudah dekat dengan mereka ia menarik janggutnya
dan menggerak-gerakkan alisnya. Tubuhnya sekurus batang bambu, dan dengan angin
yang meniup rambut dan janggut panjangnya yang putih, ia tampak seperti dewa tua
dari kuil.
“Kalian anak-anak bodoh!” ia berseru dengan suara tuanya yang tinggi. “Kalian
meninggalkan keamanan dinding-dindingku dan kembali ke pesisir berbahaya ini untuk
membangun rumah, seperti yang dilakukan ayahmu sebelumnya. Ombak besar akan
datang dan menyapu kalian ke samudera lagi!”
“Ia tak akan datang, Tuan Besar,” pembangun yang lebih tua berkata lunak.
“Ia akan datang!” Bangsawan Tua berkeras. “Aku telah menghabiskan hidupku
mencoba menyelamatkan orang-orang bodoh dari ombak besar. Tapi kalian tak akan
selamat.”
Tiba-tiba Jiya bicara. “Ini rumah kami. Walaupun berbahaya, terancam oleh
gunung berapi dan laut, di sinilah kami dilahirkan.”
Bangsawan Tua memandangnya. “Apakah aku mengenalmu?” tanyanya.
“Tuan, saya pernah ke istana Anda,” jawab Jiya.
Bangsawan Tua mengangguk. “Kini aku ingat dirimu. Dulu aku menginginkanmu
sebagai putraku.”
“Ah, kau membuat kesalahan besar, anak muda! Kau bisa saja tinggal di istanaku
selamanya dan anak-anakmu akan aman di sana. Ombak besar tak pernah mencapaiku.”
Jiya menggelengkan kepala. “Istana Anda juga tidak aman,” katanya pada
Bangsawan Tua. “Jika bumi berguncang cukup keras, istana Anda akan runtuh juga.
Tak ada tempat lari bagi kita yang hidup di pulau-pulau ini. Kita berani karena kita
harus begitu.”
“Ha,” para pembangun berkata, “kau benar,” dan mereka kembali untuk memalu
tiang-tiang fondasi.
Bangsawan Tua memutar matanya beberapa kali. “Jangan memintaku
menyelamatkan kalian jika lain kali ombak besar datang,” ia berkata pada semuanya.
“Tapi Anda akan menyelamatkan kami,” kata Jiya lembut, “karena Anda begitu
baik.”
Bangsawan Tua menggeleng-geleng mendengar kata-kata ini dan tersenyum.
“Sayang sekali kau tak mau jadi putraku,” katanya dan ia kembali ke istana dan
menutup gerbangnya.
Sedangkan Kino dan Jiya, mereka kembali ke rumah pertanian, namun seluruh
keluarga dapat melihat bahwa Jiya menjadi gelisah sejak hari itu. Mereka mengira ia
akan menjadi seorang petani, karena ia telah mempelajari segalanya tentang tanah, dan
ayah Kino memberi kepercayaan besar padanya. Namun Jiya berubah menjadi pelupa,
dan suatu hari ayah Kino bicara padanya ketika mereka sedang bekerja di ladang.
“Aku tahu kau anak yang terlalu baik untuk sengaja jadi pelupa,” katanya.
“Katakanlah apa yang mengganggu pikiranmu.”
“”Aku menginginkan sebuah perahu,” kata Jiya. “Aku ingin kembali menangkap
ikan.”
Ayah Kino sedang membentuk sebuah alur. “Hidup lebih kuat dari kematian,”
katanya pelan.
Sejak hari itu, keluraga itu tahu bahwa suatu hari nanti Jiya akan kembali ke laut,
dan ia akan membangun rumahnya sendiri di pantai. Satu persatu tujuh rumah baru kini
didirikan, rumah-rumah kayu rapuh milik para nelayan yang dapat diangkat seperti
mainan dan dihancurkan serta dibuang jauh-jauh oleh ombak besar. Tiap keluarga
membangun di tanah yang menjadi milik mereka sebelum ombak besar datang, dan
akhirnya tinggal satu bagian tanah yang kosong. Tanah itu kini milik Jiya, karena tanah
itu pernah menjadi milik ayahnya.
“Ketika aku memiliki perahu, maka aku akan membangun rumahku di sana,” kata
Jiya suatu malam pada keluarga di pertanian itu.
“Aku akan membayar gajimu mulai hari ini,” kata ayah Kino. “Kau telah menjadi
seorang laki-laki dewasa.”
Sejak hari itu Jiya menabung gajinya hingga ia memiliki cukup uang untuk
membeli perahu. Perahu itu bagus, langsing dan kuat, dari kayu yang tahan cuaca, dan
layar-layarnya baru. Di hari ia mendapatkan perahu itu, ia dan Kino berlayar jauh
hingga ke selat, dan Jiya tak pernah sebahagia itu sejak ombak besar datang. Kino tak
dapat melupakan dingin yang dalam dan diam dari air tak berdasar di bawah perahu
mereka. Namun Jiya hanya memikirkan sukacita karena memiliki perahu sendiri, dan
Kino tak mau merusak sukacitanya dengan menunjukkan rasa takut.
“Aku selalu tahu bahwa aku harus kembali ke laut,” katanya pada Kino.
Lalu sebagai kejutan bagi Kino, Jiya menjadi sangat merah. “Menurutmu Setsu
akan takut tinggal di pantai?” tanyanya pada Kino.
Kino terkejut. “Mengapa Setsu harus tinggal di pantai?” tanyanya.
Jiya menjadi makin merah, namun ia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
“Karena di sanalah aku akan membangun rumahku,” katanya tegas. “Dan aku ingin
Setsu menjadi istriku.”
Itu adalah sebuah berita yang begitu mengherankan hingga Kino tak tahu harus
berkata apa. Setsu adalah adik perempuannya, dan ia tak percaya Setsu cukup tua untuk
menjadi istri siapapun. Atau, sejujurnya, ia tak dapat membayangkan siapapun
menginginkan Setsu sebagai istri. Ia ceroboh dan suka meledek dan jahil dan ia masih
senang menyembunyikan barang-barang Kino hingga ia tak dapat menemukannya.
“Bodoh sekali kau mau menikahi Setsu,” ia kini berkata pada Jiya.
“Aku tak setuju denganmu,” kata Jiya, tersenyum.
“Tapi mengapa kau menginginkannya?” Kino mendesak.
“Karena ia membuatku tertawa,” kata Jiya. “Ialah yang membuatku melipakan
ombak besar. Bagiku – ia adalah hidup.”
“Tapi tidak pandai memasak,” kata Kino. “Bayangkan bagaimana ia membiarkan
nasi gosong karena ia lari keluar untuk melihat sesuatu!”
“Aku tak keberatan dengan nasi gosong,” kata Jiya. “Dan aku akan lari keluar
bersamanya untuk melihat apa yang dilihatnya.”
Kino tak berkata apa-apa lagi, namun ia tetap memandang sahabatnya. Jiya, ingin
membangun rumah, menikahi Setsu! Ia tak dapat mempercayainya.
Ketika mereka pulang Kino pergi menemui ayahnya. “Tahukan Ayah bahwa Jiya
ingin menikahi Setsu?”
Ayahnya sedang menjaga benih-benih, karena saat itu sudah musim semi lagi.
“Aku telah melihat sesuatu terjadi di antara mereka,” katanya, tersenyum.
“Tapi Jiya terlalu baik untuk Setsu,” kata Kino.
“Setsu sangat cantik,” kata ayahnya.
Kino terkejut. “Dengan hidung bodohnya itu?”
“Aku percaya Jiya mengagumi hidung Setsu,” kata ayahnya tenang.
“Aku tak memahaminya,” jawab Kino. “Lagipula, ia akan menyembunyikan
barang-barang Jiya dan meledeknya dan membuatnya menderita.”
“Apa yang membuatmu menderita akan membuat Jiya bahagia,” kata ayahnya.
“Aku juga tak memahami itu,” kata Kino bijak.
“Suatu hari nanti kau akan paham,” kata ayahnya, tertawa. “Kau ingat aku pernah
berkata padamu bahwa hidup lebih kuat dari kematian? Jiya telah siap untuk hidup.”

Di hari awal musim panas saat Jiya dan Setsu menikah, Kino masih belum paham,
karena hingga hari terakhir Setsu masih nakal dan jahil, dan bahkan pada hari
pernikahannya ia menyembunyikan sisir Kino di bawah tempat tidurnya. “Kau terlalu
konyol untuk menikah,” kata Kino pada Setsu ketika ia menemukan sisirnya. “Aku
kasihan pada Jiya.”
Mata coklat Setsu yang besar mentertawakannya dan ia menjulurkan lidah
kecilnya yang merah pada Kino. “Aku akan selalu manis pada Jiya,” katanya.
Namun ketika pernikahan selesai dan seluruh keluarga mengantar pasangan
pengantin baru itu menuruni bukit ke rumah baru di pantai, Kino mulai merasa sedih.
Rumah pertanian akan sangat sepi tanpa Setsu dan Kino akan merindukannya. Tiap hari
ia akan menemui Jiya dan seringkali ia akan menangkap ikan bersamanya. Namun Setsu
tak ada lagi di dapur pertanian, di kamar-kamar, di taman. Ia bahkan akan merindukan
ledekan-ledekannya. Ia menjadi sangat serius. Bagaimana jika ombak besar datang lagi?
Di rumah baru kecil yang cantik itu ia berpaling ke Jiya. “Jiya, bagaimana jika
ombak besar datang lagi?’ tanyanya.
“Aku telah menyiapkan diri untuk itu,” kata Jiya. Ia memandu mereka melalui
rumah kecil itu ke kamar yang menghadap ke laut, kamar terbesar di rumah itu, tempat
mereka beristirahat di malam hari dan makan serta bekerja di siang hari.
Seluruh keluarga berdiri di sana, dan sementara mereka menonton, Jiya menggeser
sebuah pintu di dinding. Di depan mata mereka terhampar samudera, bergelombang dan
menggeliat dalam angin senja. Matahari tenggelam ke dalam air, dalam awan-awan
merah dan emas. Mereka menatap ke seberang air dalam itu dlaam kesunyian.
“Aku telah membuka rumahku ke arah samudera,” kata jiya. “Jika ombak besar itu
kembali, aku akan siap. Aku tidak takut.”
“Kau kuat dan berani,” kata ayah Kino.
Dan mereka kembali ke pertanian, meninggalkan Jiya dan Setsu untuk menempuh
hidup baru dalam rumah baru di pantai yang lama.

You might also like