Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa Sunda adalah salah satu dari tiga bahasa (Sunda, Jawa, Melayu-
Betawi) yang dituturkan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten. Sampai
sekarang bahasa Sunda masih memiliki banyak penutur, yaitu lebih dari
20 juta penutur. Bahasa Sunda termasuk papan atas jika dibandingkan
jumlah penutur bahasa lain di dunia. Dengan jumlah penutur yang
demikian banyak, bahasa Sunda memiliki potensi menjadi bahasa dunia.
Ditambah lagi bahasa Sunda memiliki area penyebaran yang cukup luas.
Selain mencakup hampir semua daerah di Jawa Barat dan Banten,
terdapat pula kantong-kantong bahasa Sunda (enclave) di luar wilayah
Jawa Barat dan Banten, seperti di Brebes (Jawa Tengah) dan di beberapa
pulau lain di Indonesia akibat perpindahan penduduk (transmigrasi).
Sebaran geografis bahasa Sunda yang cukup luas melahirkan berbagai
dialek, yaitu dialek Priangan, Banten, Pantura, Kuningan, Bogor, dan
Pantai Selatan. Dialek-dialek tersebut menjadi fondasi sekaligus sebagai
khazanah kekayaan bahasa Sunda.
1
daerah tersebut menetapkan bahwa bahasa daerah digunakan sebagai
bahasa pengantar pendidikan, sebagai bahasa resmi kedua setelah
bahasa Indonesia, dan penggunaan aksara daerah untuk nama-nama
tempat dan bangunan yang bersifat publik. Kedua, sekarang bahasa
Sunda diajarkan hingga jenjang pendidikan menengah atas, bahkan ada
wacana hingga perguruan tinggi. Kemudian, ada upaya lain untuk
memperkokoh bahasa Sunda, yaitu berupa penerbitan, penelitian,
pertemuan ilmiah, dan sebagainya.
2
Ketiga, rapuhnya pusat kegiatan bahasa (heartland). Pusat kegiatan
bahasa Sunda di perkotaan semakin rapuh akibat asimilasi budaya yang
memaksa penutur bahasa Sunda berkompromi dengan penutur bahasa
lain. Migrasi luar tatar Sunda yang memungkinkan terjadinya kontak
penutur bahasa Sunda dengan penutur bahasa lain memunculkan
kebutuhan bahasa pengantar lain (bahasa Indonesia). Kompromi
kebudayaan ini menunjukkan lemahnya kesetiaan bahasa (language
loyalty).
Berapa kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda? Tidak mudah untuk
menjawab pertanyaan ini karena tidak seorang pun yang dapat
menghitung secara akurat berapa jumlah kosa kata yang dimilliki bahasa
Sunda. Hal tersebut mengingat bahasa Sunda adalah bahasa yang amat
dinamis. Selain karena dalam bahasa Sunda terdapat beberapa dialek
yang tadi disebutkan, kosa kata bahasa Sunda pun banyak dipengaruhi
oleh bahasa-bahasa lain yang hidup bertetangga dengan bahasa Sunda,
misalnya bahasa Jawa dan Melayu Betawi. Di era kuno bahasa Sunda
banyak menyerap kosa kata bahasa Sansekerta dan Kawi. Di era
kemaritiman lama bahasa Arab dan Melayu banyak menambah kosa kata
3
bahasa Sunda. Di era penjajahan kosa kata bahasa Sunda bertambah
dengan masuknya kosa kata bahasa yang dibawa para penjajah terutama
Belanda. Di era kekinian kosa kata bahasa Sunda semakin bertambah
banyak dimasuki kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris akibat
pengaruh politik-bahasa pemerintah dan globalisasi. Fakta-fakta adanya
pengaruh bahasa luar terhadap bahasa Sunda dapat dicek dalam Kamus
Umum Bahasa Sunda (2007) yang disusun oleh Lembaga Basa jeung
Sastra Sunda (LBSS). Contoh kosa katanya adalah lawas (Jawa), juara
(kawi), mugia (Sansekerta), imsak (Arab), lantik (Melayu), jongos
(Belanda).
Perlu dicatat bahwa bahasa Sunda tidak sekadar sebagai bahasa yang
secara pasif menerima kosa kata asing, tetapi bahasa Sunda pun secara
aktif memperkaya kosa kata bahasa asing tersebut. Contoh yang
sederhana adalah kata ngabuburit yang sekarang ini sudah
mengindonesia. Kata ngabuburit dibentuk dari dasar burit ‘senja atau
sore’ yang mendapat awalan nga(bu)-.
4
terdapat pemisahan kosa kata halus dan kasar. Bahasa Sunda yang
tertulis dalam berbagai prasasti kerajaan Sunda kuno pun tidak mengenal
tingkatan bahasa. Berikut adalah contoh tingkatan bahasa dalam bahasa
Sunda.
Kasar Halus
dahar emam/neda ‘makan’
cokot candak ‘ambil’
indit angkat ‘pergi’
Sumber data yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah
kata bahasa Sunda yang memiliki arti banyak (jamak). Kami bertiga yang
merupakan penutur asli bahasa Sunda memilih semua kata tersebut
secara acak sebagai sampel yang akan dianalisis dalam penelitian kecil
morfologi.
5
memiliki arti banyak (jamak). Kedua, kami klasifikasikan kata-kata
tersebut berdasarkan kelas kata. Ketiga, kami deskripsikan proses
pembentukan kata bahasa sunda tersebut dengan menganalisis penanda
banyak (jamak) dalam semua kata tersebut berdasarkan beberapa buku
referensi dan pengetahuan kami bertiga yang merupakan penutur asli
bahasa sunda.
2. Teori
Untuk membantu kami menganalisis proses pembentukan kata bahasa
sunda yang memiliki arti banyak (jamak), kami menggunakan beberapa
buku referensi mengenai morfologi secara umum dan buku referensi
mengenai proses pembentukan kata bahasa sunda yang memiliki arti
banyak (jamak).
3). Lexemes are the vocabulary items that are listed in the dictionary.
(Page 18: Katamba)
4). A root is the irreducible core of a word, with absolutely nothing else
attached to it. (Page 41: Katamba)
6
(1). lexical morphemes: morphemes that carry most of the ‘semantic
content’ of utterances;
(2). function words: the function words mainly (but not exclusively)signal
grammatical information or logical relations in a sentence; (Page 41- 42:
katamba)
8). The stem is the part of a word that is in existence before any
inflectional affixes. (Page 47: Katamba)
9). A base is any unit whatsoever to which affixes of any kind can be
added. (Page 47: Katamba)
7
(1). Partial reduplication, which reduplicates only part of the morpheme.
-complementary distribution
a. Prefiks
n- teunggeul neunggeul
m- bawa mawa
8
pang- gosok pangosok
b. Infiks
9
c. Sufiks
• Prefiks –ar
Contoh :
• Infiks –ar-
10
Infiks –ar- dapat bergabung dengan morfem dasar nomina, verba, dan
adjektiva. Infiks –ar- pun mendukung makna jamak.
Contoh :
• Infiks –al-
Infiks –al- dapat bergabung dengan morfem dasar verba dan adjektiva.
Infiks –al- biasanya bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/ dan
bentuk dasar dengan fonem final /r/ pada silabe kedua. Infiks ini pun
mendukung makna gramatikal jamak.
Contoh :
Contoh:
11
imah menjadi imah-imah
3. Analisis
Sebagai penanda bentuk jamak dalam bahasa Sunda, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat terjadi dalam dua proses, yaitu proses
afiksasi (kecap rundayan) dan reduplikasi (dwilingga atau dwimurni).
• Prefiks ar-
Prefiks ar- untuk penanda jamak hanya dapat bergabung dengan bentuk
dasar adjektiva yang berawalan pada suku pertama dengan bunyi vokal.
Misalnya dalam kata {ateul} ‘gatal’ yang berkelas kata ajektiva akan
berubah menjadi {arateul} ‘gatal-gatal’ yang berkelas kata tetap ajektiva.
Hal ini membuktikan bahwa penggunaan prefiks ar- untuk penanda jamak
dalam bahasa Sunda tidak mengubah kelas kata.
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
12
Untuk beberapa dialek penggunaan prefiks –ar ini akan berubah menjadi –
arar, terutama dalam ujaran. Sama halnya seperti prefiks –ar, prefiks –
arar ini pun digunakan untuk bentuk dasar yang diawali dengan bunyi
vokal dan berkelas kata ajektiva. Prefiks –arar pun tidak mengubah kelas
kata.
Selain –arar, prefiks –ar memiliki alomorf –al yang bisa kita lihat misalnya
dalam bentuk dasar seperti {ancur} ‘hancur’ dan {ambrug} ‘roboh’.
{ancur} akan berubah menjadi {alancur}, seperti halnya prefiks –ar,
untuk bisa disisipi –al pun bentuk dasar ini haruslah yang berawalan
dengan bunyi vokal. Dalam {ancur} mengapa disisipi –al, karena pada
silabel kedua dalam {ancur} terdapat bunyi /r/. Kedua hal tersebut
Menurut Haspelmath ini termasuk pada phonological alomorphy.
• Infiks –ar-
Infiks –ar- dalam mendukung makna jamak dalam bahasa Sunda dapat
bergabung dengan bentuk dasar nomina, verba, dan adjektiva.
Contoh :
Kata {budak} yang berkelas kata nomina disisipi infiks –ar- berubah
menjadi {barudak} dengan kelas yang sama yaitu nomina.
13
bersembunyi’
Kata {nyumput} yang berkelas kata verba disisipi infiks –ar- berubah
menjadi {nyarumput} yang masih berkelas kata sama yaitu verba.
Kata {geulis} yang berkelas kata ajektiva disisipi infiks –ar- berubah
menjadi {gareulis} yang berkelas kata sama yaitu ajektiva.
Dengan melihat tiga contoh di atas terlihat bahwa infiks –ar- jika masuk
pada kelas kata apapun sebagai penanda jamak, entah itu nomina, verba,
atau ajektiva tidak mengubah kelas kata.
Nomina
N N
N N
N N
N N
N N
Verba
14
V V
V V
V V
V V
V V
Ajektiva
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
• Infiks –al-
15
Infiks –al- untuk membentuk makna gramatikal jamak hanya dapat
bergabung dengan bentuk dasar verba dan adjektiva.
Contoh :
Infiks –al- ini tidak bisa disisipkan pada nomina, misalnya {leupeut}
‘lontong’ tidak akan berubah menjadi {laleupeut} tapi biasanya akan
menjadi {leupeut-leupeut}.
Infiks –al- biasanya bergabung dengan bentuk dasar dengan fonem /l/
pada silabel pertama. Oleh karena itu, infiks –al- merupakan alomorf dari
infiks –ar-, karena infiks –al- hanya bisa bergabung dengan bentuk dasar
yg berawalan huruf lateral yaitu /l/.
Akan tetapi seringkali kita juga menemukan kata “palinter” yang di mana
{pinter} tidak bersilabel awal dengan bunyi lateral yaitu /l/. Hal ini adalah
pengecualian dari proses jamak dengan menggunakan infiks –al-. {pinter}
dapat berubah menjadi {palinter} karena infiks –al- dapat digunakan pada
bentuk dasar yang berawalan /l/ atau pada bentuk dasar yang tidak
berawalan /l/ tetapi memiliki bunyi /r/ pada silabel kedua. Menurut
Haspelmath ini termasuk pada phonological alomorphy.
16
Adj Adj
V V
Adj Adj
Adj Adj
Adj Adj
V V
V V
Contoh:
17
masih tetap berkelas kata nomina. Hal ini membuktikan bahwa bentuk
jamak dengan proses dwilingga tidak mengubah kelas katanya.
N N
N N
N N
N N
N N
N N
N N
Kita juga seringkali menemukan bentuk dwilingga seperti ini dengan kelas
kata yang tidak hanya nomina, seperti {nelek-nelek} ‘mengamati’ yang
berkelas kata verba. Tentu saja hal ini pun memang menjadi bagian dari
bentuk dwilingga tapi tidak membentuk kata jamak. Hal ini dikarenakan
dwilingga memiliki memiliki berbagai fungsi selain sebagai pembentuk
jamak.
18
Membentuk dan menunjukkan verba
Menunjukkan ajektiva
• PSEUDOJAMAK
Selain dwipurwa yang seolah menyerupai jamak, sering juga kita lihat
atau dengar seperti {curat-coret} atau {tumpa-tempo}. {curat-coret}
bukan berarti kegiatan mencoret yang dilakukan banyak orang, tapi
19
kegiatan mencoret yang berulang. Begitu juga dengan {tumpa-tempo}
yang bukan berarti kegiatan {tempo} dilakukan banyak orang tapi
menunjukkan kegiatan mencari yang biasanya dilakukan berulang-ulang.
Dalam bahasa Sunda gejala seperti ini disebut dwireka yaitu dwilingga
dengan perubahan bunyi. Bentuk yang diulang mengalami perubahan
vokal, dan perubahan bunyi vokal ini bersistem.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Basa jeung Sastra Sunda. 2007. Kamus Umum Basa Sunda.
Geger Sunten: Bandung.
20
21