You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1. Tujuan dan fungsi Buku ini ditulis dengan tujuan antara lain: a. Mendapatkan pemahaman yang sama tentang konsep pendidikan moral melalui pendekatan perkembangan kognitif yang dilakukan dengan menggunakan diskusi dilema moral di lingkungan keluarga oleh orang tua dan di lingkungan sekolah oleh para guru. b. Untuk memperoleh pemahaman yang sama tentang konsep pembentukan kepribadian, khususnya yang berkaitan dengan cara-cara berpikir moral bagi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga dapat mengatasi personality problem atau masalah kepribadian yang banyak dihadapi orang dalam pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. c. Menyamakan persepsi dan wawasan yang sama tentang cara-cara pendidikan moral yang dikembangkan berdasarkan pengembangan kognitif yang dilakukan dengan diskusi tentang dilema moral oleh orang tua di lingkungan rumah dan oleh guru di lingkungan sekolah. d. Untuk mencapai gerakan dan usaha yang sejalan dan berkesinambungan dalam pendidikan moral bagi anak yang dilakukan oleh orang tua di lingkungan rumah dan yang dilakukan guru di lingkungan sekolah demi membentuk kepribadian yang baik, sehingga terwujud komunitas masyarakat yang lebih tenteram dan damai. 2. Manfaat Buku ini diharapkan memberikan manfaat kepada: a. Para guru, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral dan pertimbangan moral, sebagai konsep pengukuran moral, pendidikan moral yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui diskusi dilema moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka

pengembangan kepribadian yang baik bagi peserta didiknya.

b. Para orang tua, sebagai panduan dalam usaha memahami konsep moral dan pertimbangan moral, konsep pengukuran moral, dan sebagai pendidikan moral yang berlandaskan pada perkembangan kognitif melalui diskusi dilema moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka pengembangan kepribadian yang baik bagi putera puterinya. c. strategi pembelajaran serta usaha Sekolah, sebagai alternatif pilihan dalam menetapkan atau menerapkan memahami konsep moral, serta pendekatan alternatif dalam pengembangan pendiddikan moral yang berlandaskan pada perkembangan moral kognitif melalui metode diskusi dilema moral, serta bagaimana cara-cara pengukurannya dalam rangka melahirkan para lulusan yang memiliki kepribadian lebih baik. d. Lingkungan masyarakat dan negara, apabila digunakan pendekatan atau strategi yang benar dalam pendidikan moral, maka akan lahir masyarakan dan warga negara yang memiliki kpribadian moral lebih baik, sehingga rasa menghormati terhadap orang lain akan lebih tinggi dan kehidupan dalam masyarakat akan lebih baik dan lebih terasa aman serta nyaman. B. Rasional Lulusan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), guru SD-MI dapat dipandang dari dua segi, yaitu segi substansi dan segi tataran kompetensi. Dari substansinya dapat dikelompokkan kedalam empat kompetensi yaitu: 1. Penguasaan Bidang Studi Pada kompetensi ini mencakup 2 sisi yaitu; 1) penguasaan disiplin ilmu dan 2) penguasaan kurikuler. Pada penguasaan disiplin ilmu berkaitan dengan penguasaan guru terhadap substansi dari dasar keilmuan bidang studi (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan PKn) yang diajarkan diSD. Penguasaan kurikuler, berhubungan dengan pemilihan, penataan, pengemasan dari materi yang diajarkan. Pada kompetensi penguasaan bidang studi ini perlu menghindari pembelajaran yang bersifat mekanistik (cookbook approach) selain itu dalam hal ini hendaknya tidak menyediakan materi dan bahan ajar yang bersifat kaku yang akan menimbulkan miskonsepsi sebagaimana sering ditemukan dilapangan.

2. Pemahaman tentang Peserta Didik Kompetensi ini merujuk pada kemampuan yang harus dimiliki guru dalam memberikan layanan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan siswa. Dalam hal ini guru harus memahami dengan baik kondisi siswa, hal ini bertujuan untuk mencapai sasaran pendidikan di SD. Ada 3 hal yang mencakup dalam pemahaman peserta didik yaitu; 1) pemahaman bahwa siswa sebagai pribadi yang unuk dengan kelebihan, kekurangan dan kebutuhannya; 2) pemahaman tentang lingkungan keluarga sosial budaya masyarakat sebagai tempat tumbuh kembang bagi siswa; 3) pemahaman tentang kemajemukan masyarakat besar Indonesia dan dunia. Ketiga unsur ini membentuk kompetensi utama bagi guru SD-MI. 3. Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik Pada kompetensi ini guru harus memiliki kemampuan pengelolaan pembelajaran yang berorientasi pada karakteristik dan kebutuhan belajar siswa. Kemampuan ini tercermin dari kecermatan dan kejelian seorang guru dalam memanfaatkan peluang yang berdampak pada pengiring pembelajaran (nurturant effects). Apabila guru memiliki kompetensi ini dengan baik maka kompetensi yang diinginkan pada siswa akan tercapai (capabilities building). 4. Pengembangan kepribadian dan Keprofesionalan Kompetensi ini dapat dicerminkan dari kemampuan guru dalam mengetahui, mengukur, dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri. Guru yang memiliki profesionalisme yang baik harus memiliki kepribadian yang baik (terstandar) sebelum ia melaksanakan tugasnya untuk membentuk kepribadian siswanya. Ditinjau dari substansi kompetensi guru SD-MI mengenai penguasaan pembelajaran yang mendidik, buku ini terkait dengan kepemilikan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran bidang studi PKn. Dengan demikian, penguasaan pembelajaran yang mendidik bagi guru PKn akan mencakup

tercapainya tujuan pembentukan kepribadian yang baik bagi para siswanya menjadi suatu hal yang harus dikuasai oleh guru.

Sebagai seorang guru yang memegang amanat untuk mengembangklan kepribadian anak bangsa, buku ini dapat membantu guru dalam pembentukan kepribadian moral yang baik yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan pada diri siswa. Sebagai guru yang mengemban tugas membentuk kepribadian, buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengajarkan kepribadian pada siswa sehingga, mampu melahirkan anak bangsa yang yang memiliki kepribadian unggul dalam kehidupannya. Dalam pemberian materi pembelajaran kepribadian dengan pertimbangan moral seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik terlebih dahulu, dan kepribadian tersebut tercermin dalam pengelolaan pembelajaran PKn. Pembentukan kepribadian yang dilakukan guru PKn dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa metode, dan strategi yang sesuai dengan perkembangan peserta dididik berdasarkan karakteristiknya. Diantara pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development) penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk mengubah cara berpikir moral (moral thinking) siswa dalam menentukan perilakunya yang didasarkan pada pertimbangan moral (moral judgment) yang dimilikinya. Perubahan cara berpikir moral siswa ini akan tampak melalui tahapan-tahapan pertimbangan moral yang ada padannya. Artinya, tinggi rendah tahapan ini akan menentukan kualitas perilaku moralnya, yang dapat dilihat dari perilaku keseharian siswa. Kepribadian (personality) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakan orang lain, akan tetapi kepribadian bukan sesuatu yang statis sebab kepribadian memiliki sifat kedinamisan yang disebut dinamika pribadi (personality dynamics). Dinamika ini sangat berkembang pesat pada diri siswa SD karena mereka pada dasarnya belum memiliki kepribadian yang matang, yaitu masa pembentukan kepribadian. Sebagai sesuatu yang memiliki kedinamisan, maka karakter kepribadian seseorang dapat berubah dan berkembang. Perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan dari pengalamn hasil belajar. Berdasarkan sifat kepribadian yang dapat berkembang tersebut, maka kepribadian adalah sesuatu yang dapat dibentuk sesuai dengan yang

diinginkan dan hal ini bisa dilakukan dilingkungan rumah dengan orang tua yang membentuk dan di lingkungan sekolah dilakukan oleh guru. Apabila para orang tua dan guru PKn mampu meletakkan dasar-dasar cara berpikir moral secara benar, maka kemungkinan adanya kontradiksi dalam pengembangan moral anak dapat dihindari. Apabila persepsi antara orang tua dan guru tidak sejalan, maka antara lingkungan satu dengan lingkungan lainnya akan merusak perilaku moralitas anak. Kesamaan persepsi, dan pola pembinaan yang serasi tentang upaya memperkenalkan dan menumbuh kembangkan cara berpikir moral pada anak sedini mungkin akan dapat membantu mereka berpikir dan berperilaku moral secara bertahap. Pembinaan pendidikan moral melalui kebiasaan dinyatakan tidak lagi cukup kuat dalam menghadapi pergeseran dan perubahan nilai-nilai pada era sekarang ini yang merupakan dampak dariperkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu buku ini penting untuk dipahami bersama oleh seluruh komponen terutama orang tua dan guru PKn, agar terbina anak bangsa yang lebih beradap dalam mengembangkan dan melestarikan kehidupan di era global ini.

BAB II ISI

KEPRIBADIAN DAN PEMBENTUKANNYA

A. Konsep dan Tipe Kepribadian Kepribadian menurut pengertiannya adalah suatu istilah yang mengacu kepada gambaran-gambaran sosial tertentu yang di terima oleh individu dari kelompoknya atau masyarakatnya. George Kelly (2005) menyatakan bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalamanpengalaman hidupnya. Menurut Gordon Allport (2005) bahwa kepribadian merupakan suatu suatu organisasi ya ng dinamis dari sitem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku individu tersebut. Menurut Paul Gunadi (2005) kepribadian di golongkan jadi lima yaitu: 1. Tipe Sanguin Memiliki ciri-ciri gairah hidup tinggi, bersemangat dapat membuat lingkungan gembira, kelemahannya sering bertindak sesuai keinginannya sendiri dan mudah dipengaruhi oarng lain. 2. Tipe Flegmatik Memiliki ciri-ciri pembawaan tenang tidak mudah emosi cenderung dapat menguasai diri, kelemahan yang dimiliki tipe ini mereka cenderung kurang mau berkorban untuk orang lain. 3. Tipe Melankolik Memiliki ciri-ciri perasaan sangat sensitiv dan cenderung ingin sempurna dalam segala hal, kelemahannya mudah dikuasai oleh perasaannya dan kurang menggunakan logika. 4. Tipe Kolerik Memiliki ciri-ciri disiplin kerja sangat tinggi dan bertanggung jawab terhadap tugas yang di embannya, kelemahannya kurang mampu merasakan perasaan dan penderitaan orang lain.

5. Tipe Asertif Memiliki ciri-ciri kritis, suka berpendapat, tetapi perasaannya halus sehingga tidak suka menyakiti orang lain. B. Faktor yang mempengaruhi Kepribadian 1. Faktor Internal Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari diri orang itu sendiri. dan faktor ini merupakan faktor genetis atau bawaan sejak lahir. 2. Faktor Eksternal Faktor ini berasal dari luar diri seseoarang dan merukalan pengaruh dari lingkungan baik keluarga maupun masyarakat selain itu faktor ini bisa berasal dari berbagai media. Levine (2005) menyatakan bahwa orang tua yang merupakan penyumbang dari dua faktor di atas memiliki pengaruh besar terhadap kepribadian anak. Pengaruh yan g terjadi di sebabkan cara mendidik anak tersebut di lingkungan keluarga. Ada sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak yaitu: 1. Penasihat moral, terlalu menekankan pada perincian, analisis dan moral. 2. Penolong, terlalu mengutamakan kebutuhan anak dan mengabaikan akibat dari tindakan si anak. 3. Pengatur, bekerja sama dengan anak dan menciptakan tugas-tugas yang akan memperbaikai keadaan. 4. Pemimpi, berupaya menghubungkan secara emosional dengan si anak dalam tiap keadaan dan mencari solusi kreatif bersama-sama. 5. Pengamat, selalau mencari sudut pandang yang menyeluruh, berupaya mengutamakan perspektif dan abjektivitas. 6. Pencemas, selalu melakukan tanya jawab mental, selalu memiliki gambaran buruk sampai mereka yakin anak benar-benar memahami situasi. 7. Penghibur, selalau menerapkan gaya yang lebih santai. 8. Pelindung, suka mengambil alih tanggung jawab selalu bersikap melindungi. 9. Pendamai, di pengaruhi kepribadian mereka yang selalu menghindar dari konflik.

Dari sembilan tipe orang tua dalam mendidik anak secara moralitas, terdapat tiga tipe yang sejalan dengan pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral, yaitu: pengatur, pengamat, dan pencemas. C. Struktur Kepribadian dan Tindakan Moral Menurut Hogan dan Bush (1984) ada dua sudut pandang tentang moral, yaitu pandangan psikologi modern. perkembangan-kognitif Kedua pandangan dan teori telah tentang berjasa

pembelajaran-sosial

tersebut

mengembangkan teorinya berkenaan dengan berbagai aspek proses ke-moral-an (moralitas). Perkembangan moral yang ada dapat dipahami dari sudut pandang teori kepribadian yang dibagi dalam beberapa aspek yaitu: 1. Struktur Kepribadian Kebutuhan manusia tentang pergaulan dan saling berhubungan secara teratur memerlukan moralitas agar terbina keteraturan. Sebaba itu moralitas, hendaknya dilihat dari dua segi, yaitu sudut pandangan sosial (moralitas tampil sebagai suatu aturan yang memverifikasi hak dan kewajiban)dan dari sudut pandangan individual, moralitas dirumuskan secara fenomenologis (orientasi pribadi secara subjektif terhadap aturan dan nilai yang berlaku dalam lingkup budayanya). 2. Perkembangan Kepribadian Perkembangan kepribadian ini berlangsung melalui tiga fase, yaitu: a. Mulai usia kelahiran sampai usia 5 tahun. b. Masa kanak-kanak dan masa remaja. c. Masa dimana manusia masuk dunia keja dan berkeluarga. Pada fase pertama anak lebih peduli terhadap gambaran dirinya sendiri sebagaimana diarahkan oleh orang tuanya (orang harus mengakui kewibawaan), fase kedua anak mulai menyesuaikan dirinya dengan rekan sebayanya (orang mengatur bagaimana ia harus bergaul dengan teman sebayanya), sedang fase ketiga dimana mereka mulai merintis tujuan hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuhnya dalam mengejar tujuan hidup yang akan dipilihnya (orang harus memantapkan gaya hidup tertentu yang hendak direalisasikannya).

3. Perbedaan Individual, Kepribadian, dan Perilaku Moral Berdasarkan kajian tentang tindakan moral dimana perkembangan moral diletakkan dalam perkembangan pribadi sebagai suatu keseleruhan, maka simpulannya sebagai berikut: a. Cara seseorang bereaksi terhadap aturan yang berlaku. b. Kepribadian seseorang mencerminkan setiap riwayat perkembangan moral. c. Kepribadian yang dimiliki orang satu dengan satunya memiliki perbedaan. d. Setiap tipe kepribadian memiliki orientasi moralnya yang khas. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peningkatan pertimbangan moral pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja baik melalui pendidikan di sekolah maupun di rumah, dapat membantu kepribadian seseorang. D. Etika, Moral, Norma, Nilai, Akhlak, dan Estetika dalam Budi Pekerti Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membicarakan nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Menurut Bertens (1999:6) etika mempunyai tiga arti: Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos, (adat-istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup (Lorens Bagus, 1996:672). Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar tidaknya atau baiktidaknya tindakan manusia. Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah seluruh kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan dengan nilai baik dan buruk. Etika dan moral mempuyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana seseorang harus melangkah dalam hidup ini.

Norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama dalam satu masyarakat dan telah tertanam secara emosional yang mendalam, sehingga menjadi norma yang tersepakati bersama. Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat menjadi objek kepentingan. Menurut Steeman (dalam Darmaputra, 1999) nilai adalah yang memberi warna kepada hidup, yang memberi kepada hidup ini titiktolak, isi, dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mempengaruhi tindakan seseorang. Nilai seseorang diukur melalui tindakan, oleh sebab itu etika sering disangkutkan dengan nilai seseorang. Akhlak adalah istilah yang berasal dari kata bahasa Arab yang memiliki arti budi pekerti. Akhlak mengajarkan tentang hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia. Sedangkan Budi Pekerti berasal dari bahasa sansekerta dan memiliki persamaan dengan Tata Krama. Estetika (aesthetic) adalah hal yang berhubungan dengan keindahan, dan hal tersebut dapat diwujudkan dalam niat, keindahan dalam proses dan keindahan dalam hasil. Keindahan ini merupakan hal yang menjadi bagian yang dari nilai yang perlu dimiliki siswa. Sebab itu pendidikan budi pekerti semestinya juga memasukkan nilai-nilai estetika sebagai bagian dari yang sepatutnya diajarkan. E. Hubungan Kepribadian dengan Moral, Nilai, dalam Budi Pekerti. Kepribadian yang dimiliki oleh seseorang akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, etika, moral, norma, nilai, dan estetika, yang dimiliki seseorang akan akan menjadi landasan perilakunya dan membentuk menjadi budi pekerti sebagai wujud norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral secara mendasar mendukung untuk mewujudkan nilai positif dan menolak mewujudkan nilai dan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh pendidikan budi pekerti. Seperti

10

moral budi pekerti memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian, kepribadian yang baik dapat mengapresiasinilai-nilai yang terkandung dalam budi pekerti. Dalam arti lain, penanaman nilai budi pekerti yang baik sejak dini akan membantu membentuk kepribadian yang berbudi pekerti yang luhur.

11

BAB III MORAL DAN PERTIMBANGAN MORAL

A. Konsep Moral dan Teori Pendidikan Moral 1. Konsep Moral Menurut Harshorne dan May dalam (Kohlberg, 1971) bahwa pendidikan moral di sekolah dikategorikan menjadi dua, yaitu: a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas, tidak mempengaruhi perbaikan perilaku moral. b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai yaitu pengaturan tentang aturan-aturan berperilaku benar dan baik di sekolah sedikit berpengaruh terhadap pembentukan moral sebagaimana yang dikehendaki. Dari penelitian yang dilakukan diinterprestasikan bahwa pendidikan moral di sekolah tidak efektif, hal tersebut disebabkan oleh karakter moral telah dibentuk lebih awal di rumah karena pengaruh orangtua. Pendidikan moral bertujuan membina terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap orang. Artinya, pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturanaturan benar dan salah atau mengetahui tentang ketentuan-ketentuan baik dan buruk, tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku seseorang. Karena itu, evaluasi keberhasilannya harus menggunakan perwujudan perilaku moral sebagai ukurannya.perilaku moral. Untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui pertimbangannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak saja, melainkan harus melihat pertimbangan-pertimbangan moral yang medasari keputusan perilaku moral itu, dengan demikian tinggi rendahnya moral yang dimiliki seseorang dapat diukur. Piaget (dalam Lee, 1971) menyatakan bahwa perkembangan tingkat pertimbangan moral seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dipengaruhi dari orang tua dan teman sebaya, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat intelektual. Kedua faktor tersebut

12

tidak dapat dipisahkan karena pertumbuhan tingkat perkembangan moral memerlukan keseiringan satu dengan lainnya. Perilaku moral sebenarnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran seseorang, karena tersimpan dalam cara-cara berpikirnya. Artinya untuk mengetahui keadaan moral seseorang yang sebenarnya, maka seseorang yang mengamati mungkin bisa tersesat oleh fenomena yang ditunjukkan oleh perilaku nyata seseorang. Sebab, perilaku moral tidak cukup bila hanya diukur melalui tindakan moral secara objektif yang bisa diamati, tetapi juga harus dilihat melalui pertimbangan moral yang bersumber dari pemikiran moralnya. 2. Teori Pendidikan Moral Dewey (dalam Kohlberg, 1977) menyatakan bahwa pada dasarnya tujuan pendididkan adalah mengembangkan kemampuan intelektual dan moral. Shaver (1972) mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak. Kemampuan tersebut terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai yang bersifat humanis. Karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai beban dan tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan moral dan membantu siswa mengembangkan cara-cara berpikirnya dalam

menetapkan keputusan moralitasnya. Goods (1945) menegaskan bahwa negara yang mengakui agama dan sekolah agama, maka pendidikan moral disekolah diajarkan melalui pendidikan agama atau sekolah agama, sedangkan negara yang mengakui agama, pendidikan moral diajarkan melalui pendidikan kewarganegaraan atau civics. Dengan demikian negara Indonesia merupakan negara yang memberikan perhatian dalam pembinaan moral. Sebab selain mengajarkan agama sekolah juga memberikan pendidikan moral. Ardhana (1985) menyatakan bahwa melalui pengajaran tentang moral di sekolah merupakan usaha yang dilakukan dari pihak sekolah untuk menanggulangi kebobrokan moral, baik secara preventif maupun represif agar peserta didik tidak mengalami kebobrokan moral. Rosjidan (1990) dari

13

penelitiannya yang menggunakan responden siswa,orang tua, dan guru, mengungkapkan bahwa faktor penyebab adanya perilaku moral yang negatif dari para siswa ialah karena kurang efektifnya pendidikan moral di sekolah. Ryan (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga teori tentang

pengembangan moral di sekolah yaitu: pertama teori perkembangan kognitif, menurut teori ini moral manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan urutan tahap-tahap perkembangan berdasarkan tingkat-tingkat pertimbangan moral. Urutan tersebut tetap yaitu, dari tingkatan yang rendah menuju kearah yang lebih tinggi. Teori kedua adalah teori belajar sosial (social learning theory) teori ini memandang bahwa manusia seperti kertas kosong yang siap ditulisi masyarakat dan membentuk pengalamannya. Pengertian lain dari teori ini adalah bahwa perilaku moral seseorang merupakan perilaku baik dan buruk yang ditetapkan oleh kelompok masyarakat dan mereka juga menetapkan sanki-sanksi sosial, Maccoby (1980) pada teori ini berbeda dengan teori perkembangan kognitif yang mengutamakan taraf berpikir dan penalaran moral dari siswa. Teori ketiga adalah teori psikoanalitik, menurut teori ini perilaku moral manusia ditentukan oleh tiga faktor yang terdapat dalam diri seseorang yaitu: id, ego, dan super-ego. Id merupakan sesuatu yang terdapat pada diri sesorang yang mendorong individu untuk berperilaku mengikuti nafsu (animalistuc urges and desire), ego merupakan penentu terbentuknya perilaku riil, sedangkan super-ego merupakan pengembang elemen pendorong dan berfungsi sebagai agen pengendali yang memberikan pertimbangan dan selaku kontrol kepada individu apakah hal yang dilakukan tersebut baik atau buruk (Ryan, 1985:3408). Dari beberapa teori yang dikemukakan maka pemerintah melalui pendidikan formal berusaha mengembangkan pendidikan moral melalui pelajaran PKn di tiap-tiap sekolah. B. Tujuan pendidikan Moral Frankena (1971) menyatakan, tugas program pendidikan moral

menyampaikan dan mempertahankan moral sosial, meningkatkan kemampuan

14

berpikir moral secara maksimal. Pada tahun 1971, Kohlberg menggabungkan tujuan pendidikan moral dengan tujuan pendidikan Civivs (Pendidikan Kewarganegaraan). Tujuan pendidikan moral, dapat ditemukan dalam cakupan isi dan tujuan yang dikehendaki oleh bidang studi PKn yang diajarkan di sekolah, yaitu yang bersumber dari nilai-nilai sila kedua Kemanusiaan yang adil dan Beradap. Strommen (1983) menyatakan, bahwa tujuan pendidikan moral di sekolah mengefektifkan meningkatan dan mengembangkan pertimbanganpertimbangan siswa. Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan moral di sekolah dapat membantu siswa mempertinggi tingkat pemikiran, pertimbangan dan penalaran moralnya. C. Moral dalam Pembelajaran Setiap pembelajaran adalah masalah moral, disini seorang guru dapat menetapkan suatu prinsip dasar bahwa tujuan dari pembelajaran yang berhasil ialah penyesuaian moral secara konstruktif terhadap kehidupan siswa. Selam ini kesalaha yang dilakukan para guru adalah melakukan jalan pintas untuk mencapai tujuan pembelajaran tanpa memperhatikan implikasi moral dari proses pembelajaran bagi siswa. Untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan moral, guru harus berperan sebagai pembelajar sekaligus pendidik, dan melaksanakan pembelajaran untuk mengubah cara siswa memandang dirinya sendiri dan orang lain. Jika berhasil, maka pembelajaran akan mampu mengubah cara berpikir moral siswa. Moral dalam pembelajaran akan dapat diwujudkan oleh guru yang memiliki kompetensi, dan kompetensi yang harus dimiliki adalah; kompetensi personal, kompetensi profesional, kompetensi sosial, kompetensi intelektual, dan kompetensi spiritual. Dari kelima kompetensi yang ada dapat dilihat dalam empat bentuk kompetensi yaitu; 1) Penguasaan bahan ajar, 2) Pemahaman tentang peserta didik, 3) Penguasaan pembelajaran yang mendidik, dan 4) Pengembangan kepribadian dan keprofesionalan. Perwujudan dari kinerja guru pada kegiatan pembelajaran adalah; 1) keinginan untuk menampilkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, 2) senantiasa memelihara dan meningkatkan citra keguruannya, 3) senantiasa mengembangkan diri, 4) mengejar kualitas profesi, 5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.

15

Moral pembelajaran dapat diwujudkan bila guru memiliki kepribadian yang menunjang dalam melaksanakan keprofesionalannya. Kepribadian guru tidak hanya menjadi dasar baginya untuk bertingkah laku yang bermoral, tetapi juga sekaligus menjadi model keteladanan bagi para siswanya untuk dicontoh dan dikembangkan. Oleh karena itu, kepribadian guru perlu dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai moral. D. Menyikapi dan Melaksanakan Etika dan Moral dalam Pembelajaran Penyikapan pada umumnya mengandung unsur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan terhadap objek yang disikapinya (Prayitno dan Erman, 1999). Unsurunsur kognisi yang mendasari penyikapan terhadap etika dan moral pembelajaran antara lain sebagai berikut: 1. Keyakinan bahwa siswa sebagai makhluk sosial yang sedang berkembang sarat dengan masalah etika dan moral. 2. Pemahaman bahwa dalam proses pembelajaran siswa dapat belajar dari berbagai macam sumber, termasuk guru yang penuh dengan muatan etika dan moral. 3. Pemahaman bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru mampu memberikan manfaat pada siswa karena didasarkan kepada etika dan moral pembelajaran. 4. Pertimbangan dan pemikiran yang cermat, jernih, teliti, manusiawi, dan penuh tanggung jawab dan dilandasi etika-moral akan mampu membelajarkan siswa menuju pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Penyikapan-penyikapan secara afeksi tersebut secara lebih lanjut dapat secara nyata diwujudkan dalam bentuk perlakuan terhadap siswa. bentuk-bentuk perlakuan itu antara lain: 1. Membelajarkan siswa yang dipercayakan kepadanya dengan penuh tanggung jawab dan dilandasi etika dan moral pembelajaran. 2. Mengembangkan wawasan tentang etika dan moral pembelajaran secara rinci dalam pola perilaku guru terhadap siswa. 3. Mengembangkan strategi dan menerapkan teknik-teknik yang tepat untuk mengatasi permasalahan siswa yang dilandasi etika dan moral pembelajaran.

16

4. Mengkaji upaya pelaksanaan pembelajaran yang dilandasi etika dan moral, melalui penelitian tindakan. Acuan guru dalam menerapkan etika moral pada siswa dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: 1. Guru harus berusaha mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangkaprasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi hubungan dengan siswa dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional

(pembelajaran), atau bahkan merugikan siswa. 2. Guru dalam membelajarkan siswa, harus tetap menjaga standar mutu layanan atau profesinya, sehingga dapat dihindari kemungkinan penyimpangan tugas yang tidak sesuai dengan etika dan moral pembelajaran. 3. Guru dalam membelajarkan siswa, harus memperlihatkan sifat-sifat

keserhanaan, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, sadar diri, dan tidak boleh dogmatis, serta harus penuh dengan rasa tanggung jawab. 4. Guru harus bersifat terbuka terhadap saran dan kritik yang diberikan kepadanya, dan harus mengusahakan mutu kinerja yang tinggi. 5. Guru harus menghormati harkat dan hak-hak pribadi, dan menempatkan para siswanya di atas kepentingan pribadinya. 6. Guru dalam kegiatan pembelajaran, tidak membeda-bedakan siswa (dalam memberikan layanan). 7. Dalam menjalankan tugasnya, guru harus dapat menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral pembelajaran. 8. Dalam pembelajaran mengutamakan penampilan prima secara fisik, mudah tersenyum, dan secara psikis berkepribadian empatik, simpatik, dan tutur bahasa yang jelas, baik, dan benar. 9. Sekolah dan guru harus dapat menciptakan iklim yang kondusif (bersih, indah, asri, dan nyaman) dan suasana akademik yang menarik, dengan didukung oleh fasilitas yang berfungsi mendukung proses pembelajaran yang beretika dan bermoral dinamis dan terarah.

17

E. Nilai-Nilai dan Profesi Guru Ada empat nilai yang berkembang dalam masyarakat, yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu, nilai moral, nilai sosial, nilai undang-undang dan nilai agama. Nilai moral adalah segala nilai yang berhubungan dengan konsepkonsep baik dan buruk. Nilai-nilai moral juga sering muncul dalam nilai sosial. Guru hendaknya memperhatikan derajat pentingnya suatu nilai

dibandingkan dengan nilai lainnya. Menghargai orang lain adalah nilai yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan nilai-nilai yang lain. Apakah ada nilainilai dasar yang harus di anut oleh guru? ada beberapa sifat kepribadian yang harus dimiliki oleh guru, misalnya dapat menerima orang lain, berpikiran terbuka, berpandangan luas, menghargai orang lain, obyektif, dan menyadari keadaan diri sendiri. Sikap-sikap tersebut memiliki latar belakang dasar seperti sikap toleransi, menghormati martabat orang lain, percaya terhadap diri sendiri, dapat dipercaya, jujur, dan suka menolong orang lain dalam kesulitan. Nilai-nilai ini telah diterima sebagai dasar untuk hidup bermasyarakat pada umumnya, termasuk dalam cerminan sikap guru pada proses pembelajarn di kelas. Seorang guru harus memiliki sikap jujur pada dirinya sendiri, tidak boleh meninggalkan nilai-nilai sosial, nilai moral, dan nilai spiritual. Seorang guru juga memiliki hak nilai mana yang akan dipakai dan nilai mana yang akan ditinggalkan, tetapi seorang guru harus mengenal dirinya sendiri, memngenal dirinya sendiri, mengenal nilai-nilai yang dimilikinya dan mengikuti nilai-nilai tersebut dengan jujur. Tugas guru adalah membantu membelajarkan siswa dengan berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang dimilikinya.

18

BAB IV PERTIMBANGAN MORAL

A. Karakter Pertimbangan Moral Tahap pertimbangan moral, ditetapkan pada dua hal yaitu; 1) apa yang didapatkan seseorang sebagai sesuatu yang berharga pada setiap isu moral dan bagaimana ia menetapkan nilai-nilai; 2) mengapa seseorang menetapkan sesuatu itu sebagai hal yang berharga, dan alasan-alasan apa yang ia berikan pada penilaian itu adalah merupakan penentu struktur tingkat pertimbangan moral seseorang. Kedua hal tersebut menentukan eksistensi struktur tingkat pertimbangan moral seseorang. Struktur tingkat perkembangan moral dari seseorang itu menentukan keputusan moral atau perilaku moralitasnya. B. Tingkat Pertimbangan Moral Adapun tingkat pertimbangan moral berdasarkan kajian ini adalah sebagai berikut; 1. Tingkat Pra-konvensional Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan serta label baik atau buruk, dan benar atau salah. Namun hal ini dilihat dari akibat fisik atau kenikmatan akibat perbuatannya (hukuman atau kerugian, keuntungan atau ganjaran serta pertukaran hadiah). Disamping itu, juga dipengaruhi oleh pengaruh kekuatan fisik dari mereka yang menentukan aturan atau label itu. Pada tahap ini dibagi menjadi dua bagian sebagai dua tingkat yang paling berdekatan, yaitu; a. Orientasi hukuman dan kepatuhan Akibat-akibat fisik dari perbuatannya adalahmenentukan baik buruknya perbuatan itu, entah apapun arti atau nilai akibat perbuatan itu bagi kemanusiaan tidak dihiraukan. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkannya) mempunyai nilai

19

padanya. Artinya tidak atas dasar rasa hormat kepada aturan moral yang mendasarinya yang didukung oleh hukuman dan otoritasnya. b. Orientasi instrumental relatif Perbuatan benar, merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan terkadang juga kebutuhan dari orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan pasar. Unsurunsur sikap fair hubungannya bersifat timbal balik; kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisik dan pragmatis, dan ada elemen kewajaran. Tindakan timbal balik tejadi seperti hal, kamu garuk punggungku, nanti akan ku garuk punggungmu!. Artinya, menggaruk atau tidak menggaruk yang diperbuat bukan karena loyalitas, rasa terima kasih, atau rasa keadilan. 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini, seseorang semata-mata menuruti atau memenuhi harapan keluarga, kelompoknya, atau bangsa tanpa mengindahkan akibat langsung dan nyata. Sikapnya bukan saja mau menyesuaikan diri pada harapan-harapan orang tertentu atau dengan ketertipan sosial, akan tetapi sekaligus sikap ingin loyal dan sikap ingin menjaganya, sehingga ia secara aktif mempertahankan , mendukung, membenarkan ketentuan, serta mengidentifikasi dirinya dengan orang atau kelompok yang ada didalamnya. Pada tahap ini dibagi menjadi dua bagian yaitu; a. Orientasi masuk kelompok anak manis atau anak baik Perilaku baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta mendapat persetujuan dari mereka. Banyak usaha konformitas dengan gambaran-gambaran stereotipe yang ada pada mayoritas, atau dengan perilaku yang dianggap lazim atau umum. Perilaku, sering dinilai menurut intensitasnya. Dia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi hal penting dan utama. Dia berusaha untuk diterima oleh lingkungannya dengan bersikap manis.

20

b. Orientasi hukum dan ketertiban Adanya orientasi pada otoritas, peraturan-peraturan yang telah ditetapkan atau aturan yang telah pasti dengan berusaha memelihara ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta memelihara ketertiban sosial yang ada, demi ketertiban itu sendiri. 3. Tingkat Pasca-konvensional, Otonom atau Berprinsip Pada tahap ini terdapat usaha yang jelas untuk mengartikan nilainilai dan prinsip-prinsip moral yang sahih dan mampu menerapkannya, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang memegang prinsipprinsip itu serta terlepas juga dari apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok atau tidak. Pada tahap ini juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu; a. Orientasi kontrak sosial legalitas Pada umumnya kelompok tahap ini menekankan pada unsur yang berkenaan dengan kemanfaatan dan mementingkan kegunaan. Perbuatan yang baik cenderung ditentukan dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan yang sudah dikaji secara kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas, bahwa nilai-nilai dan opini pribadi iturelatif dan karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang telah disetujui secara konstitusional dan secara demokratis, hak tak lain merupakan nilai-nilai dan opini pribadi. Akibatnya, terdapat penekanan pada pandangan legalistis, tetapi juga menekankan bahwa hukum dapat diubah atas dasar rasional demi kemaslahatan masyarakat (tidak secara kaku atau mempertahankannya, yaitu orientasi hukum dan ketertiban). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban.

21

b. Orientasi prinsip kewajiban Pada tahap ini, yang baik diartikan sebagai yang cocok dengan suara hati sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri dengan berpedoman kepada pemahaman kekomprehensifan secara logis, universalitas, disertai kekonsistenan yang ajeg. Pada dasarnya, prinsip-prinsip itu bukan aturan-aturan konkret, tetapi abstrak dan etis. Inti moralitas berupa prinsip-prinsip universal tentang keadilan, pertukaran hak, dan persamaan hak asasi manusia yang mengacu kepada usaha penghormatan martabat manusia sebagai person individu (Kohlberg, 1977:130). Struktur tingkat pertimbangan moral sebagaimana

dikemukakan di atas, selanjutnya dapat dipahami melalui interpretasi sebagai berikut; 1) Motif moral terutama didasarkan pada usaha untuk

menghindarkan diri dari hukuman. 2) Motif moral terutama berupa usaha untuk memperoleh ganjaran atau agar perbuatan baiknya memperoleh imbalan. 3) Kesadaran moral berfungsi sebagai upaya agar tidak disalahkan atau agar tidak dibenci oleh kelompoknya atau oleh kelompoknya secara mayoritas. 4) Kesadaran moral berfungsi sebagai upaya membebaskan diri dari teguran pejabat yang memegang kekuasaan, disamping itu juga untuk melestarikan aturan-aturan umum serta membebaskan diri dari rasa bersalah yang merupakan akibatnya. 5) Motif moral terletak pada keinginan untuk mempertahankan penghargaan ayau hormat pengamat yang tiada berpihak, ia melakukannya sebagai usaha mempertahankan kesejahteraan umum. 6) Konformitas terhadap prinsip moral berfungsi untuk

menghindarkan diri dari rasa bersalah yang timbul dari dalam dirinya sendiri.

22

BAB V PENERAPAN PENDEKATAN PERKEMBANGAN MORAL KOGNITIF MELALUI PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH

A. Pendidikan Moral dalam PKn Dinyatakan bahwa pendidikan budi pekerti terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran di sekolah, terutama dalam mata pelajaran PKn. Artinya, pendidikan budi pekerti dimasukkan dalan mata pelajaran PKn dan nilainilainya dipraktikkan atau ditanamkan oleh semua guru di sekolah melalui seluruh tindak tanduknya, baik di dalam maupun di luar kelas, walaupun demikian, mata pelajaran PKn diharapkan dapat menjalankan tugas pendidikan budi pekerti itu. Karena itu, peningkatan pertimbangan moral yang juga merupakan bagian dari suatu usaha pembentukan kepribadian yang baik adalah dapat dilakukan melalui mata pelajaran PKn yang diajarkan di sekolah, yaitu; 1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) Pendekatan ini mengusahakan agar siswa mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan, mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang dapat digunakan pada pendekatan ini antara lain; keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, serta bermain peran. 2. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral

development approach) Pendekatan ini menekankan pada tercapainya tingkat pertimbangan moral yang tinggi sebagai hasil belajar. Guru dapat menjadi fasilitator dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi dilema moral, sehingga anak tertantang untuk membuat keputusan tentang moralitasnya. Mereka diharapkan mencapai tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi sebagai hasil pemikiran moralnya. Cara yang dapat digunakan dalam menerapkan pendekatan ini antara lain melakukan

23

diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstak. 3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) Pada pendekatan ini menekankan agar siswa dapat menggunakan kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, siswa dalam menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubunghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain; diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan penelitian. 4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai orang lain. Pendekatan ini juga dapat membantu siswa untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain selain itu dapat membantu siswa dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini antara lain; bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang bertujuan mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok. 5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong siswa untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan masyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini

24

adalah metode proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup bermasyarakat, dan berorganisasi. B. Bahan Ajar Dilema Moral dalam PKn Bahan ajar pendidikan moral dengan menggunakan metode diskusi dilema moral berdasarkan pendekatan perkembangan moral kognitif berupa teks dilema moral. Teks dilema moral yang digunakan sebagai bahan ajar dapat dibuat sendiri oleh para guru dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik di sekolah. Untuk satu kali pertemuan, guru dapat membahas satu dilema moral. Bahan ajar yang dikembangkan harus memiliki tujuan untuk mengembangkan daya pikir moral kognitif para peserta didik secara wajar, sehingga tingkat perkembangan moralnya dapat meningkat sesuai pemikirannya sendiri. Artinya, tidak dibenarkan para guru memberikan petunjuk bahwa cara berpikir moral inilah yang benar dan cara berpikir moral yang lain adalah salah. Cara-cara seperti ini akan menyebabkan peserta didik menerima secara terpaksa (tidak jujur dan berpura-pura setuju). Jika hal tersebut terjadi maka pembelajaran dengan menggunakan pendekatan perkembangan moral kognitif menjadi gagal karena dianggap mengandung unsur indoktrinasi maupun pemaksaan secara halus. Bahan ajar pendidikan moral dengan menggunakan teks dilema moral melalui metode diskusi dilema moral berdasarkan pendekatan perkembangan moral kognitif tersebut dapat dilihat dari beberapa contoh dilema moral yang disajikan. C. Strategi Pembelajaran Peningkatan Pertimbangan Moral Adapun langkah-langkah pelaksanaan pendidikan moral yang diajar dengan menggunakan metode diskusi dilema moral berdasarkan pendekatan perkembangan moral kognitif adalah sebagai berikut; 1. Menyajikan Dilema Guru menyiapkan/menetapkan teks dilema moral dan kemudian mempresentasikan dilema moral itu untuk dipecahkan, langkah yang dilakukan guru adalah;

25

a. Teks dilema moral dibacakan dan kemudian dijelaskan makna istilah-istilah yang dianggap sulit untuk membantu pemahaman para siswa. b. Mengelompokkan fakta-fakta yang tak dapat diubah sebagaimana yang terdapat dalam teks dilema moral. c. Menetapkan pernyataan dilema moral dalam bentuk pertanyaan atau meminta siswa untuk memikirkannya sebagai bahan diskusi. 2. Melakukan Pemilihan Tanggapan Langkah-langkah yang dilakukan guru adalah; a. Memberi tanggapan sementara atas tanggapan yang disampaikan oleh para siswa. b. Memilih dan menetapkan tanggapan sementara dari siswa. c. Memilih dan menetapkan alasan atau pertimbangan sementara atas pilihan tindakan moral yang diajukan siswa. d. Diakhiri dengan mengusulkan alternatif pilihan yang diajukan Pada tahap ini guru mengarahkan siswa agar mau menetapkan suatu keputusan moral yang bersifat sementara dalam menghadapi dilema moral yang ada sesuai pemikiran masing-masing siswa. 3. Membentuk Diskusi Kelompok Kecil Guru mengorganisasikan terselenggaranya diskusi kelompok kecil antara 4-8orang siswa. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah; a. Mencari alasan atau pertimbangan-pertimbangan moral atas

keputusan moral yang telah dipilih oleh siswa. b. Menetapkan urutan pertimbangan-pertimbangan yang diperoleh dan memilih pertimbangan yang paling diyakini kebenarannya. c. Menulis pertanyaan-pertanyaan yang dianggap perlu untuk

dipecahkan. 4. Memimpin Diskusi Kelas Pada tahap ini, guru mengorganisasi terselenggaranya diskusi kelas, yang meliputi kegiatan sebagai berikut;

26

a. Mencari dan menyatakan akibat-akibat dari keputusan yang ditetapkan. b. Mengungkapkan dan menghubungkan dengan dilema-dilema moral sebelumnya dan dilema-dilema moral yang serupa. c. Memeriksa pertanyaan-pertanyaan mengangkat antara isu-isu lain dengan cara

mengklarifikasikan,

tertentu,

mengulas

pertanyaan, dan menganalisis akibat-akibat yang lebih bersifat universal. Dalam hal ini, guru memperhatikan penalaran para siswa dalam memecahkan dilema moral. Memberi kesempatan siswa untuk mengemukakan pendapat sebagai hasil penalarannya dan mendengarkan penalaran temannya, sehingga terjadi diskusi diantara mereka. Dalam kegiatan oembelajaran ini siswa akan memikirkan pertimbangan dan penalaran moral yang berkembang dalam diskusi yang dilakukan. 5. Menutup Diskusi Pada tahap ini, guru menutup diskusi kelas, meliputi kegiatankegiatan berikut; a. Di dalam kelas mengarahkan siswa agar mampu meringkas pertimbangan-pertimbangan moral, memberikan tanggapan,

mengajukan pertanyaan, dan memilih satu pertimbangan moral yang dianggap paling baik yang didapat dari pilihannya sendiri. b. Di luar kelas, menghimbau para siswa untuk mencari dilema moral yang lain dan ditulis beserta penyelesaiannya. Siswa memikirkan kembali pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dan pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh teman-temannya. Guru mengarahkan diskusi agar siswa menemukan pertimbangan moral yang dianggap baik menurut pemikirannya. Siswa diminta meringkas pertimbangan moral yang muncul, kemudian memilih salah satu pertimbangan moral tersebut yang dianggap paling menarik baginya. Beberapa langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan di atas merupakan pelaksanaan pendidikan moral yang berdasarkan

27

pendekatan perkembangan kognitif melalui diskusi dilema moral pada siswa sekolah dasar. D. Contoh-contoh Dilema Moral 1. Contoh Dilema Moral 1 Sumun adalah seorang anak laki-laki berumur 13 tahun. Pada suatu hari ia menyatakan pada ayahnya bahwa dia ingin mengikuti study tour yang akan diadakan sekolahnya, pada akhir tahun pelajaran. Study tour itu rencananya akan menghabiskan waktu 5 hari. Ayah Suman berjanji, ia boleh mengikuti study tour itu, asal ia menabung uangnya sendiri untuk seluruh biaya keperluan study tour tersebut. Dengan demikian, Suman berusaha memanfaatkan sisa waktunya setelah pulang dari sekolah untuk menjadi pengantar susu. Ia bekerja keras, dan akhirnya ia berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp 300.000,- dan cukup untuk keperluan biaya study tour yang akan diikutinya. Akan tetapi, pada saat study tour itu akan dilaksanakan, ayah Suman berubah pikiran. Beberapa teman ayahnya, mengajak ayah Suman untuk menonton suatu karapan sapi, dan ayah Suman kekurangan biaya untuk menonton karapan sapi tersebut. Karenanya, ia meminta uang tabungan Suman sebagai hasil pengantar susu itu. Suman bersitegang akan mengikuti Studi tour, dan karenanya ia menolak permintaan ayahnya itu. Seandainya kamu adalah Suman, apakah kamu akan menyerahkan uang itu, atau menolak untuk menyerahkan uang itu? mengapa demikian, jelaskan alasan pertimbangan kamu! 2. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 1 Jika saya adalah Suman, maka saya.. Alasan dan pertimbangan saya adalah... Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotivasi pengembangan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain sebagai berikut;

28

a. Bolehkah seseorang ingkar janji? Mengapa? b. Bolehkah orang tua ingkar janji pada anaknya? Mengapa? c. Tidakkah ayah Suman ingkar terhadap janjinya sendiri? d. Bolehkah seseorang berbuat tidak adil? Mengapa? e. Adilkah ayah Suman? Mengapa? f. Apakah tidak sepatutnya ayah Suman memberi contoh berbuat jujur kepada si Suman anaknya? Mengapa? g. Bagaimanakah akibatnya, jika Suman meniru perilaku ayahnya yang ingkar janji itu? Mengapa? h. Bagaimanakah akibatnya, jika semua orang ingkar janji? Mengapa? i. Apakah ayah Suman termasuk orang yang berbuat baik? Mengapa? j. Apakah ayah Suman termasuk orang yang bersikap dan bertindak adil terhadap sesama manusia? Mengapa? k. Apakah ayah Suman termasuk orang yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan? Mengapa? l. Apakah ayah Suman yang ingkar janji itu termasuk seseorang yang memiliki kepribadian yang baik? Mengapa demikian? 3. Contoh Dilema Moral 2 Pada suatu hari, Dinna bertemu dengan seorang temannya yang amat miskin. Ternyata itumengeluh kepada Dinna, bahwa sejak kemarin pagi sampai sore ini ia belum makan karena tidak ada makanan di rumahnya. Kemudian, Dinna pergi ke toko roti yang ada di seberang jalan, dan karena ia tidak mempunyai uang, maka dia menunggu sampai penjual roti itu membelakanginya. Lalu ia mencuri sepotong roti tersebut dan memberikannya kepada temannya itu. Pada hari yang sama di tempat yang berbeda, Sumini seorang gadis remaja masuk kesuatu toko. Dia melihat sebuah pita tali rambut kecil yang bagus sekali di atas sebuah meja di toko itu. Dia membayangkan betapa cantiknya jika rambutnya dihiasi dengan pita itu. Sebab itu, ketika wanita penjaga toko itu berdiri membelakanginya, ia mencuri pita itu lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

29

Menurut kamu, manakah yang lebih jelek antara Dinna yang mencuri sepotong roti atau Sumini yang mencuri sepotong pita tali rambut? Mengapa demikian, jelaskan alasan dan pertimbangan kamu! 4. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 2 Menurut pendapat saya Dengan alasan dan pertimbangan. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotivasi pengembangan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain adalah sebagai berikut; a. Samakah jeleknya, orang yang mencuri dalam mumlah yang banyak dengan jumlah yang sedikit?Mengapa? b. Samakah jeleknya, orang yang mencuri untuk kebutuhan makan karena lapar dengan kebutuhan untuk keindahan?Mengapa? c. Samakah jeleknya, mencuri untuk menolong orang yan g kelaparan dengan menolong orang untuk keindahan? Mengapa? d. Samakah jeleknya, mencuri untuk kepentingan diri sendiri dengan mencuri untuk kepentingan kemanusiaan? Mengapa? e. Manakah yang lebih jelek, orang yang membiarkan orang lain kelaparan dengan orang yang berani mengambil resiko demi keselamatan orang lain dengan cara mencuri? Mengapa? f. Manakah yang lebih baik, teman yang mengatakan; Kamu lapar urusan kamu, saya tidak peduli Biarlah kamu mati kelaparan, asal saya tidak dihukum Biarlah saya dihukum, asal kamu tidak mati kelaparan Saya rela dihukum, asal nyawa kamu terselamatkan Saya rela dihukum, demi nilai-nilai kemanusiaan 5. Contoh Dilema Moral 3 Ada dua orang pemuda mendapatkan kesulitan. Mereka secara diam-diam mau meninggalkan kota dalam keadaan tergesa-gesa dan membutuhkan uang. Marsus pemuda yang lebih tua mendobrak sebuah toko dan mencuri uang sebanyak Rp 10.000,-.

30

Suman yang lebih muda mendatangi seseorang yang terkenal suka memberi pertolongan kepada orang lain di kota iti. Suman berkata kepada orang itu bahwa ia dalam keadaan sakit berat dan membutuhkan uang sebanyak Rp 10.000,-. Sebenarnya, ia sama sekali tidak sakit, dan bermaksud tidak akan membayar kembali uang yang dipinjamnya itu. Meskipun orang tersebut tidak begitu mengenal Suman tetapi ia mau meminjamkan uangnya kepada Suman. Marsus dan Suman lari meninggalkan kota, masing-masing membawa uang sebanyak Rp 10.000,-. Menurut kamu, manakah yang lebih jelek, ,mencuri seperti Marsus atau menipu seperti Suman? Mengapa demikian, jelaskan alasan dan pertimbangan kamu! 6. Tanggapan Terhadap Dilema Moral 3 Menurut pendapat saya.. Alasan dan pertimbangan saya... Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan guru untuk memotifasi mengembangkan moral kognitif siswa dalam pembelajaran, antara lain adalah, sebagai berikut; a. manakah yang lebih bernilai menghormati hak orang lain antara mencuri dan menipu? Mengapa? b. Manakah yang lebih baik, mengambil milik orang dengan dengan diketahui orang yang bersangkutan, dengan mengambil milik orang tapi tidak diketahui sipemiliknya? Mengapa? c. Manakah yang lebih membingungkan, diketahuinya orang yang merugikan dengan tidak diketahui orang yang merugikan? Mengapa? d. Manakah yang lebih buruk akibatnya terhadap ketenteraman kehidupan bermasyarakat antara mencuri dan menipu? Mengapa? e. Bagaimana akibatnya jika semua orang saling mencuri? f. Dapatkah seseorang ditipu oleh semua orang?

31

E. Contoh Pelaksanaan Ujian 1. Jawablah secara berurutan, dimulai dari tes dilema moral nomot 1 sampai dengan nomor 3! 2. Sebelum kamu menjawab, bacalah terlebih dahulu teks soal dilema moral ini dengan teliti sehingga, kamu benar-benar memahami isi atau maksud teks tersebut! 3. Setelah dimengerti, berikan tanggapanmu dengan memberikan

keputusan moral yang kamu anggap paling benar, paling baik, paling cocok, dan paling sesuai dengan pikiranmu! 4. Berilah alasan atau pertimbangan yang jelas, mengapa keputusan moral itu yang kamu pilih atau kamu tetapkan! 5. Alasan atau pertimbangan yang kamu berikan paling sedikit dua alasan/pertimbangan! 6. Jika kamu tidak memahami tentang isi teks dilema moral, maka kamu dapat menanyakan kepada guru! 7. Selama berlangsung tidak dibenarkam kamu bertanya atau menjawab pertanyaan teman-temanmu! Di bawah ini akan diberikan contoh tes dilema moral yang bisa digunakan guru sebagai bahan diskusi tentang dilema moral Contoh Tes Dilema Moral 1 Dadang berbohong pada ayahnya, dengan mengatakan bahwa ia hanya memiliki uang tabungan hasil kerjanya sebanyak Rp 100.000,-. Dikatakannya juga bahwa uang tersebut bahkan belum cukup bagi keperluan biaya berkemah yang akan diikutinya. Kemudian, ia pergi berkemah dengan membawa uang sebanyak Rp 250.000,- jumlah uang yang sebenarnya ia miliki. Dadang memiliki kakak bernama Amin. Sebelum berkemah Dadang memberitahukan kepada Amin tentang jumlah uang yang dia miliki sebenarnya. Dadang juga mengatakan kepada kakaknya bahwa ia telah berbohong kepada ayahnya.

32

Seandainya kamu adalah Amin sebagai kakak Dadang, apakah kamu akan memberitahukan hal tersebut kepada ayahmu, ataukah tidak? Mengapa demikian, jelaskan alasan dan pertimbangan kamu! Tanggapan Terhadap Tes Dilema Moral 1 Seandainya saya adalah Amin sebagai kakaknya Dadang, maka saya. Alasan dan pertimbangan saya.. Contoh teks dilema moral dan contoh tes dilema moral yang disajikan guru dalam pembelajaran bersifat tentatif. Artinya, hal itu dapat dikembangkan sendiri oleh guru yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan nyata di lapangan.

33

BAB VI PENINGKATAN PERTIMBANGAN MORAL ANAK DI RUMAH MENUJU TERBENTUKNYA KEPRIBADIAN ANAK

A. Kesiapan Orang tua Memiliki kepribadian yang mantap dalam nuansa moralitas bagi orang tua dalam suatu rumah, bukan merupakan hal yang mudah. Nilai-nilai yang terkandung dalam moral tidak gampang diterapkan dalam cara berpikir dan bertindak dalam suatu keluarga. Tidak jarang seorang ayah tidak mampu melakukan hal tersebut kepada anak, dan seorang ibu juga tidak mampu melakukan hal tersebut terhadap anak. Adanya hal tersebut timbul bukan hanya karena memang secara fakta mereka berbeda posisi, rasa tanggung jawab, fungsi, dan tugasnya yang masing-masing berbeda. Tetapi juga karena secara empirik orang tua memiliki cara berpikir moral sendiri yang relatif berbeda. Perbedaan tersebut terjadi karena latar belakang pendidikan serta latar kelurga yang berbedabeda. Dengan demikian, penerapan moral yang menjadi dasar berpikir moralitas menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan di rumah. Dengan adanya hal tersebut, orang tua dalam lingkungan keluarga harus memiliki kemauan dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Kurang pengertiannya orang tua sebagai sosok panutan di lingkungan rumah menjadikan pembentukan kepribadian melalui pertimbangan moral bagi anak-anak akan gagal. B. Penerapan Prinsip-Prinsip Moralitas Adapun prinsip-prinsip penerapan moralitas pada anak dapat dilaksanakan di lingkungan sekolah ataupun di lingkungan keluarga. Adapun yang dapat diterapkan guru maupun orang tua antara lain; 1. Gunakan sebutan Orang lain selain dirinya Sebenarnya, semua orang adalah orang lain. Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal ada orang dekat dan orang jauh, famili dekat atau famili jauh. Bahkan ada orang yang dianggap orang

34

asing atau orang tak dikenal. Kenyataan ini menjadikan kaburnya nilainilai kesamaan dalam prinsip ajaran moral. Untuk mengurangi pembedaan sebagaimana disebutkan di atas, maka gunakan sejak dini kata-kata orang lain pada diri anak, agar mereka mau dan mampu memberi rasa hormat kepada semua orang siapapun orangnya. Jika seorang guru melihal siswa memukul seorang temannya, dan orang tua melihat anak memukul adiknya atau siapa saja, maka nyatakan kepada si anak dengan pernyataan; Tidak benar seseorang menyakiti orang lain, dalam hal ini baik guru maupun orang tua hendaknya disarankan agar tidak menyebut nama atau identitas akan tetapi lebih menekankan dengan kata orang lain .Hal tersebut bertujuan agar anak dapat menghormati orang lain secara universal. Jika guru dan orang tua menginginkan siswa dan anak memiliki kepribadian yang benar, luhur, dan terpuji, maka jangan ajarkan pada mereka untuk menegakkan prinsip persamaan dan rasa saling terima dengan menggunakan kata orang lain bagi semua orang, karena hal ini merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. 2. Tegakkan kebenaran dan kejujuran Banyak anak setelah menuju masa remaja tidak mau

mendengarkan kata-kata orang tuanya. Hal ini disebabakan anak kurang menaruh kepercayaan terhadap orang tua yang disebabkan orang tua baik sengaja maupun tidak sengaja terlalu sering berbuat sesuatu yang mengarah kepada ketidakjujuran dan mengandung nilai kebohongan. Seorang anak yang sudah mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, maka mereka cenderung kurang mempercayai orang tua yang bagi mereka kurang bisa dipercaya. Tetapi bagi orang tua yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara jujur dan benar, maka anak akan tetap lebih mempercayainya dari siapapun juga. Dengan mempertahankan kebenaran dan kejujuran maka kondisi dalam lingkungan rumah akan dapat meningkatkan cara berpikir moral anak (moral kognitif) dengan lebih baik. Kondisi rumah seperti ini yang dapat

35

melahirkan kepribadian yang benar, luhur, dan terpuji. Oleh sebab itu apapun dan bagaimanapun tegakkan kebenaran dan kejujuran di dalam kehidupan rumah, karena dengan demikian akan melahirkan kepribadian yang tanguh dan terpercaya pada anak. 3. Ciptakan suasana terbuka untuk berdialog Banyak model suasana dan lingkungan keluarga yang dipraktikkan orang tua, yaitu diantaranya model terbuka, cukup terbuka, dan tertutup. Ketiga model ini berimplikasi kepada bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi yang terdapat dalam suatu lingkungan keluarga. Apapun dan bagaimanapun bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi dalam suatu rumah tangga itu tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Dalam teori tingkat pertimbangan moral yang berlandaskan pada pendekatan moral kognitif, menghendaki model keluarga yang terbuka dimana seluruh anggotanya memiliki prinsip hidup demokratis yang berprinsip pada nilai kemerdekaan, kesamaan, dan saling terima selain itu dalam berpikir dan berbuat semua anggota keluarga dalam posisi yang sama dan sederajat. Semua anggota keluarga, mengembangkan rasa hormat kepada sesama manusia, tanpa merasa dan melihat lebih tua atau lebih muda. Tidak ada dalam pikiran mereka aku yang berkuasa, atau aku mengerti aku yang menentukan segala keputusan. Dalam suasana keluarga yang terbuka dan demokratis, maka banyak kesempatan untuk berdialog menanggapi persoalan hidup yang dianggapnnya mengandung nilai konflik. Dialog-dialog yang dilakukan dalam lingkunga rumah dengan topik-topik nilai kemanusiaan sangat membantu peningkatan pertimbangan moral bagi anak. Untuk itu, gunakanlah kesempatan yang cukup besar ini untuk membantu anakanak dalam meningkatkan pertimbangan moralnya, sehingga menjadikan mereka memiliki kepribadian yang benar, luhur, serta terpuji.

36

C. Arus Bawah Moral Kewajiban kita semua adalah berusaha mengetahui moral anakanak kita. Tentu saja, ada anak-anak kita yang terjebak dalam arus bawah moral dengan cepat. Sekarang ini masih ada diantara kita dan anak-anak kita yang tampak jahat, anak-anak yang sudah tidak terlalu baik, yang terus berbuat jahat, serta anak-anak yang terus menuruti dorongan nafsunya, banyak menuntut dan tidak peka, terkungkung dalam dirinya sampai tak mengerti orang lain. Oleh sebab itu yang terbaik ketika kita mendekati masalah moral, adalah apa yang ingin kita tawarkan pada anak, merupakan hal yang harus kita pikirkan, selain itu kita juga harus pikirkan hal apa yang kita inginkan pada si anak serta hal apa yang tidak kita inginkan pada si anak untuk mereka miliki. Nilai moral man yang kita tolak dan kita anggap kurang baik bagi anak dan nilai moral mana yang dianggap tepat untuk anak agar akhlak dan kepribadiannya menjadi cemerlang. Biasanya ciri dari orang yang tidak begitu baik adalah penyerangan diri yang hebat dan merusak. Bahkan ketegangan antara harga diri yang wajar dengan dengan kesibukan diri yang membuat kita terisolir akan membuat kita kehilangan pandangan terhadap kewajiban kita pada orang lain (kita tidak lagi mampu melihat orang lain). Beberapa diantara kita celakanya jatuh menjadi korban arus bawah moral, kehilangan posisi, serta hanyut dalam kehidupan yang menuruti hasrat dan suasana pikiran. Apabila hal tersebut terjadi maka seseorang akan sedikit dalam perhatian terhadap hak-hak orang lain sehingga cenderung egois pada lingkungan. D. Contoh Beberapa Perilaku Guru yang Dianggap Kurang Bermoral Berikut ini dicontohkan beberapa perilaku guru yang mungkin dianggap kurang bermoral atau kurang memiliki etika. 1. Berbicara yang kurang sopan di depan siswa. 2. Merokok di depan siswa. 3. Ingkar janji. 4. Tidak mentaati peraturan sekolah.

37

Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa baik guru maupun orang tua harus memberikan contoh moral yang baik bagi anak atau siswa, karena guru serta orang tua menjadi panutan bagi anak-anak dalam segala hal dan aspek kehidupan.

38

Analisis Isi buku

Judul Buku

: Pembentukan Kepribadian Melalui Peningkatan Pertimbangan Moral

Pengarang

: Dr. Sjarkawi, M.Pd

Tahun Terbit : 2006 Halaman Penerbit : 151 Halaman : Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan

Dari tujuan penulisan buku ini sangatlah tepat karena memiliki tujuan ingin mencapai wawasan dan persepsi yang sama tentang cara pendidikan moral pada anak yang dilakukan oleh guru di lingkungan sekolah dan orang tua di lingkungan rumah, demi tujuan terbentuknya kepribadian yang baik yang memiliki tujuan akhir mewujudkan masyarakat yang lebih tenteram dan damai. Dilihat dari manfaat yang ingin ditujukan oleh penulis buku yaitu diharapkan buku ini bermanfaat bagi para guru, orang tua, sekolah serta masyarakat. Oleh sebab itu semua aspek perlu mempelajarai dan mengkaji buku ini sebagai salah satu acuan membentuk kepribadian anak melalui pembelajaran pertimbangan moral. Pada tipe-tipe kepribadian yang ditunjukkan pada buku ini hendaknya tidak hanya disebutkan pengertiannya saja akan tetapi beserta contoh-contih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Adanya pemberian contoh nyata akan memudahkan orang tua dan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan rendah lebih memahami tentang bentuk-bentuk atau tipe-tipe dari kepribadian, karena orang tua dan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan rendah lebih memahami contoh-contoh langsung daripada memahami konsep-konsep dari sebuah pengertian. Selain itu pengertian dari etika, moral, norma, dan nilai hendaknya juga diberikan contoh nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Adanya hal tersebut akan memudahkan

39

pembaca dalam mempelajari tentang apa itu etika, moral, norma, dan nilai. Selain itu tidak ada kerancuan dalam mengartikan antara etika dan moral karena sering sekali kita mengartikan tindakan seseorang dengan sebutan tak bermoral sama dengan tak beretika padahal makna antara keduanya berbeda, oleh sebab itu contoh dalam kehidupan sehari-hari sangat penting bagi pembaca buku ini dalam mengkaji isi buku ini. Pada buku ini terdapat keefektifan pendidikan moral di sekolah yang diteliti oleh Harshorne dan May pada tahun 1928-1930 yang tertuang dalam bukunya Kohlberg dengan pernyataanpendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama di kelas, tidak mempengaruhi perbaikan moral dari seorang anak . Dari peryataan tersebut yang ditulis pada buku ini saya kurang sependapat dengan pernyataan tersebut, karena apa? sedikit apapun pendidikan karakter dan agama yang diberikan baik di lingkungan sekolah ataupun keluarga bahkan pada lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi perilaku moral seorang anak. Adanya contoh sederhana dalam kehidupan kita yaitu seorang anak yang sering berbuat anarkis di lingkungannya dapat diberikan pendidikan agama dengan cara menyekolahkan anak tersebut kepesantren. Kehidupan pesantren yang cenderung lebih mengutamakan pembelajaran tentang

pendidikan agama dan pendidikan karakter secara sedikit demi sedikit akan mampu mengubah perilaku anak tersebut menuju kearah yang lebih baik. Secara keseluruhan buku ini isinya sangat membantu bagi pembaca dalam memahami tentang pembentukan kepribadian melalui peningkatan

pertimbangan moral. Akan tetapi merujuk dari tujuan dan manfaat yang ditulis penulis dari buku ini masih terdapat kekurangan-kekurangan yang menurut saya harus ditulis dalam buku ini. Adanpun kekurangan-kekurangan dari buku ini adalah sebagai berikut: 1. Seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan rendah akan kesulitan mempelajari serta mengkaji buku ini karena, pada pengertian-pengertian sebuah hal tidak disertai dengan contoh-contoh yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari karena dengan contoh yang ada maka akan memudahkan pembaca dari kalangan awam.

40

2. Jika salah satu manfaat dari buku ini ditujukan pada orang tua maka hendaknya penerapan pendekatan perkembanagan moral tidak dominan pada pendidikan moral yang diajarkan di sekolah akan tetapi porsi dari pendidikan moral tersebut juga harus mencakup pihak-pihak yang bisa menjadikan manfaat buku ini yaitu guru, orang tua, masyarakat, sekolah, dan negara. 3. Strategi pendidikan pengembangan pembelajaran moral dalam buku ini hanya ditujukan pada pembelajaran di kelas saja padahal proposionalnya pendidikan pengembangan moral juga ditujukan pada pelaksanaan di lingkungan keluarga (rumah) serta masyarakat dan negara pada umumnya. 4. Contoh-contoh penyajian diskusi dengan dilema moral dan contoh dari tes dilema moral dalam buku ini terlalu banyak menurut kami sebagai pembaca cukup tiga sampai empat sudah cukup. 5. Pada sub bab contoh guru yang dianggap kurang bermoral, contoh yang diberikan kebanyakan kurang tepat dan tidak sesuai dengan tujuan serta manfaat dari buku ini. Seharusnya contoh yang diberikan bersifat menyeluruh yaitu dari tindakan kurang bermoral yang ditunjukkan oleh guru Anak Usia Dini, guru SD, guru SMP, SMU, serta Dosen.Selain itu kekurangan yang ada pada buku ini adalah contoh-contoh real pada kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sekolah, keluarga, serta masyarakat tentang perilaku-perilaku yang berhubungan tentang moral kurang dikemukakan. Seharusnya merujuk pada tujuan dan manfaat penulisan buku ini contoh-contoh real yang terjadi dalam kehidupan di anggkat sehingga memudahkan bagi siapa saja yang membacanya. 6. Semoga dengan membaca buku kini kita sebagai guru dan orang tua bisa mengambil manfaat dan pelajaran tentang pertimbangan moral dan bisa menjadikan kita semua dapat mendidik anak-anak bangsa menjadi generasi yang bermoral dan didasari karakter yang kuat.

41

You might also like