You are on page 1of 124

Alexander Kristian D. I.

Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang


(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
(STUDI di POLTABES MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ALEXANDER KRISTIAN D. I. SILAEN
NIM : 040200172
DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA







FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
(STUDI di POLTABES MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
ALEXANDER KRISTIAN D. I. SILAEN
NIM : 040200172
DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA
Disetujui oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair, SH, M.Hum)
Nip.131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum
2008
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum
Nip. 131 803 347 Nip. 132 300 076

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan
semoga Tuhan tetap melindungi pada hari yang akan datang.
Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan
studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan
menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis memberanikan diri untuk
menyusun suatu skripsi dengan judul Peran Kepolisian Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) dengan melakukan Studi di POLTABES
Medan.
Kepada Ayahanda Hasiholan Silaen, SH, dan Ibunda Rosmawaty Siagian BA,
terima kasih atas kasih sayang, doa, dan dukungannya, baik dukungan moril maupun
materil. Abangku Pahala Kiki Silaen SE, Msc, Kakakku Mardiana Yolanda Isabela
Silaen, SH, dan Adekku Henry Kristian D. I. Silaen terima kasih atas Cinta,
dukungan dan doanya. Skripsi ini penulis persembahkan buat kalian semua, semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkat dan rahmatnya kepada kalian semua.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membreri dukungan serta doanya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan
dan pandangan dalam pengerjaan skripsi ini ;
3. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
dan Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing,
mengarahkan dan memberikan masukan, pandangan yang berguna kepada
penulis sehingga skripsi ini selesai ;
4. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum selaku Pembimbing II yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan,
pandangan yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai ;
5. Seluruh Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;
6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpusatakaanserta para Pegawai
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;
7. Ibu Sah Udur S. selaku Panit Lindung POLTABES Medan beserta seluruh staf
POLTABES Medan yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
melakukan riset
8. Keluarga Besar Op. Manakko Silaen, Uda Thurman dan Nanguda, Adik-adik
kecilku Billy, Ivana, Ruthlin, Namboru Marnako dan keluarga, Uda Sahat dan
keluarga, uda Edy dan Keluarga serta Keluarga besar Op. Tua Raja Siagian, Op.
tersayang, Tulang tulangku, Tulang Belsasar, Tulang Horas, Tulang Saud
beserta keluarga, keluarga Pak Tua dan Mak Tua Catherine Pandjaitan, Rahulina
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Siahaan, Saturia Sitorus, Para Abang, kakak, dan adek sepupuku terima kasih
untuk doa, dukungan serta nasehat-nasehat indahnya kepada penulis. selalu!
9. Kepada My Soulmate Tercinta Agnes Natalia Simamora dan keluarga; Opung,
Tante dan Soraya, terima kasih atas cintanya, dukungannya, kasih sayang dan
perhatian serta kebaikannya.
10. Kepada teman-teman senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan Thomas,
Josia, Simon, Navo, Dedy, Firman, Gina, Endang, Fritzko, Alto, Januardo, dan
teman teman kampus selurunya, khususnya angkatan 2004 Regular ;
11. Kepada sahabat-sahabatku sepanjang hidup yang tidak akan bisa kulupakan
sampai kapanpun; Revindra, Richard, Simon Unggul WaU, Navo, Ando, Aprit,
Daniel, Heryatmo, Roy, Venansius, Yoseph, terima kasih untuk dukungan kalian
dan persahabatan kita yang telah berlangsung lama.
12. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu ;
Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka penulis
menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis
mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua.
Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
kita semua. Dan ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dan diterapkan
oleh penulis untuk Nusa dan Bangsa.


Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Harapan Penulis semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melindungi kita
semua.

Medan, Mei 2008
Penulis


Alexander Kristian D. I. Silaen
















Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI .. v
ABSTRAKSI .. vi
BAB I PENDAHULUAN .. 1
A. Latar Belakang .... 1
B. Permasalahan .. 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .. 6
D. Keaslian Penulisan .. 7
E. Tinjauan Kepustakaan . 8
1. Pengertian Kejahatan dan Tindak Pidana ... 8
2. Kebijakan Penanggulangan kejahatan .... 15
3. Pengertian Polisi . 21
4. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) ... 23

F. Metode Penelitian . 30
1. Jenis Penelitian ... 30
2. Jenis Data dan sumber data 30
3. Metode Pengumpulan Data 31
4. Analisis Data .. 31
G. Sistematika Penulisan ... 32


Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG (HUMAN TRAFFICKING) .............. 34

A. Faktor Penyebab Human Trafficking
a. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) ........... 34

b. Lokasi Tujuan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trraficking) . 38

c. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trrafficking) . 45

B. Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) 49
1. Modus Menawarkan Pekerjaan ..... 53
2. Modus Penipuan dan Penculikan ........... 54
3. Modus Adopsi 56
C. Dampak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) .. 57
1. Dampak Fisik ........... 57
2. Dampak Non Fisik .... 58

BAB III PERATURAN-PERATURAN YANG BERKAITAN
DENGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG (HUMAN TRAFFICKING) ... 59

A. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
dalam Instrumen Internasional ...... 59

B. Tndak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
menurut KUHP .......... 69

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
menurut Undang-undang nomor 21 Tahun 2007 ...... 83
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


D. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Menurut Perda Nomor 6 Tahun 2004 .. 87

BAB IV PERAN KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(HUMAN TRAFFICKING) (Studi di Poltabes Medan) .. 99

A. Peran dan Tanggung Jawab Polisi dalam menangani Kasus
tindak pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Wilayah Hukum Kota Medan 99

B. Faktor-faktor penghambat dan pendukung yang
dihadapi Kepolisian dalam menangani tindak pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Wilayah Kota
Medan 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN . 107
A. Kesimpulan 107
B. Saran .. 109

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN









Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


ABSTRAKSI

- Alexander K. D. Silaen *
- Nurmalawaty, SH, M.Hum **
- Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum **

Kasus perdagangan orang merupakan kasus kejahatan yang sangat sulit
untuk ditekan dan dicegah perluasannya, dikarenakan kasus ini telah mencakup
daerah Nasional bahkan internasional. Peran aparat penegak hukum melalui pihak
Kepolisian sangat diharapkan di dalam mengkaji dan memberantas tindak pidana
perdagangan orang ini, dan untuk itu pihak Kepolisian sangat membutuhkan
dukungan dan bantuan dari segala pihak. Permasalahan yang diangkat dalam
penulisan skripsi ini meliputi karakteristik dan modus operandi tindak pidana
perdagangan orang, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana
perdagangan orang, dan peran Kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana
perdagangan orang.
Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris, yang dilakukan
dengan cara memberikan gambaran terhadap masalah perdagangan orang ini, dengan
menitikberatkan kepada permasalahan mengenai peran dari Kepolisian didalam
menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Dimana metode pengumpulan
data yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang berasal dari buku-buku,
situs internet maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul
skripsi ini. Selain itu juga diadakan penelitian lapangan yaitu dengan melakukan
pengamatan, dan penelitian yang dianalisis dengan metode kualitatif dan kuantitaif
adalah untuk mendapatkan data-data yang relevan dan terpadu.
Secara keseluruhan penulisan skripsi ini menitikberatkan kepada para
pelaku (trafficker) perdagangan orang yang meliputi agen, calo atau sindikat yang
didasarkan kepada modus menawarkan pekerjaan, penipuan, dan penculikan dan
juga adopsi. Peraturan yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini
sendiri meliputi peraturan nasional dan internasional yang dimulai dari KUHP,
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang,
dan Peraturan daerah (Perda) Propinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang
tindak pidana perdagangan perempuan dan anak hingga protocol dan konvensi PBB.
Dalam hal untuk mencegah semakin maraknya tindak perdagangan orang ini, peran
kepolisian sangat dibutuhkan untuk menindak para pelaku secara tegas dan
menjatuhi hukuman yang pantas dan sesuai dengan ketentuan peraturan dan hukum
yang berlaku.
_________________________________________________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
** Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan


Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perempuan dan Anak, serta permasalahannya kerap lekat dengan kehidupan
kita, baik dalam lingkaran keluarga, lingkungan, pembinaan pendidikan, masyarakat
maupun kita terlepas sebagai individu. Apakah individu tersebut berdiri pada
pijakan hukum, birokrasi maupun elemen lainnya.
Perlindungan terhadap anak dan perempuan memang menjadi tanggung jawab
kita, tanpa harus melemparkan bagian yang lebih besar terhadap salah satu pihak
sehingga apapun yang menjadi permasalahan merupakan salah satu bentuk dari
masalah kita yang memerlukan perhatian serius.
Diantara berbagai masalah anak dan perempuan yang paling mendesak adalah
Perdagangan Manusia (Trafficking in person). Trafficking dalam pengertian
sederhana merupakan sebuah bentuk perdagangan modern. Tidak hanya merampas
Hak azasi korban, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan,
siksaan fisik, kerja paksa, penyakit dan trauma psikis, bahkan cacat dan kematian,
tapi juga menjatuhkan harga diri dan martabat bangsa.
Trafficking atau perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak,
merupakan jenis perbudakan pada era modern ini. Setiap tahun diperkirakan ada dua
juta manusia diperdagangkan, dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak.
Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan dan anak, terkait erat dengan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


kriminalitas transnasional, dan dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat
1
Indonesia merupakan Negara yang terbesar dan berada diurutan ke 3
.
2
Dalam ketentuan lain sudah banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah
pusat maupun daerah dalam penghapusan perdagangan manusia, sebut saja
Keputusan Presiden nomor 88 Tahun 2002 tentang, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang perlindungan anak, untuk daerah Sumatera Utara saja sudah ada
Peraturan Daerah nomor 6 Tahun 2004, Rencana Aksi Propinsi Sumut nomor 24
Tahun 2005, namun berbagai peraturan tersebut dirasa juga belum maksimal tanpa
, yaitu
negara yang diasumsikan tidak serius menangani masalah Traficking, tidak memiliki
perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan menolong
korban, serta tidak memiliki perundang-undangan untuk melakukan penghukuman
pelaku perdagangan manusia. KUHP hanya memiliki satu pasal saja yaitu Pasal 297
yang mengatur secara eksplisit tentang perdagangan perempuan dan anak, namun
ancaman pidananya masih terlalu ringan, apalagi perdagangan anak juga belum
diantisipasi oleh Undang-undang nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak. Jelas hal
ini sangat memalukan, dan harus segera ada langkah-langkah konkret dari
pemerintah untuk memiliki perangkat pencegahan, perlindungan dan pertolongan
korban serta penghukuman yang diperlukan untuk memberantas perdagangan
manusia.

1
http://www.uid.ac.id/index.php?module=MyFileSharing&func=download&id=88, diakses
tanggal 7 maret 2008
2
http://www.antara.co.id/arc/2007/6/14/as-akan-tetap-bantu-ri-perangi-human-trafficking/,
diakses tanggal 9 maret 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


ada implementasi yang jelas dan sosialisasi yang konkret bagi para pelaksana
Advokasi Traficking.
Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak
Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh
keberadaannya. Berdasarkan hukum di Negara kita sendiri menyatakan bahwa
perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang
yang diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal
324-337 KUHP).
Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
meng-akselerasi terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan
untuk menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang
baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in person), yang secara tertutup dan
bergerak diluar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan cepat
berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan sangat halus menjerat
magsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara
sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.
Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya
masuk dalam jurang prostitusi (PSK atau Perempuan Seks Komersil), eksploitasi
tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi pelaku umumnya dilakukan oleh
agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan
baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan
pekerjaan.
3
Hasil studi International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa di
dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu, sekitar 9,5
juta pekerja paksa berada di Asia sebagai wilayah pekerja paksa yang paling besar.
Sisanya, tersebar sebanyak 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660 ribu orang di
sub-sahara afrika, 260 ribu orang di Timur-Tengah dan Afrika Utara, 360 ribu di
negara-negara industri, dan 210 orang di negara-negara transisi. Dari kornab kerja
paksa itu 40-50 persennya merupakan anak-anak yang berusia dibawah umur 18
tahun.

4
Perdagangan manusia semakin marak dikarenakan keuntungan yang
diperoleh pelakunya sangatlah besar, bahkan menurut PBB perdagangan manusia ini
adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia. Negara Indonesia
sendiri telah lebih dari satu dekade ini menjadi negara terbesar kedua dalam hal
perdagangan manusia khususnya perempuan yang di jadikan sebagai PSK ataupun
Tenaga Kerja lainnya. Tenaga kerja asal indonesia itu, 90 persennya bekerja sebagai
pekerja Rumah Tangga di negara malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, korea
Selatan, dan Timur Tengah.
5

3
www.Ifip .org/report/traffickingdata in indonesia table pdf, diakses tanggal 10 maret 2008
Dengan demikian perdagangan tenaga kerja
perempuan dan anak sangat mungkin dialami warga negara indonesia.
4
Dalam laporan UNICEF tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual
atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 s/d 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat diseluruh
wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Trafficking in person report yang diterbitkan oleh Deplu
AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya
penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Lihat dalam www.elsam.or.id Perdagangan
manusia dalam rancangan KUHP.
5
Republika, 12,3 Juta Orang Kerja Paksa, - Jumat, 13 Mei 2005.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Didasari berbagai hal yang telah terjadi diatas, disadari bahwa peran dari
seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum
khususnya Kepolisian yang langsung berhadapan dengan berbagai kasus
perdagangan orang ini dilingkungan, diharapkaan dapat mencegah atau setidaknya
menggurangi terjadinya kejahatan perdagangan orang yang terjadi di masyarakat.
Peran Kepolisian sangat dibutuhkan didalam menanggulangi tindak pidana
Trafficking ini secara cepat, sehingga tidak semakin meresahkan masyarakat.
Menyadari juga terhadap hal-hal tersebut diatas dan mengingat peliknya
masalah perlindungan terhadap kasus-kasus trafficking serta kompleksnya hal-hal
yang harus ditangani didalamnya, maka mendesak untuk dilakukan penelitian
terhadap faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong dan penarik terjadinya
perdagangan manusia serta pengkajian terhadap peran dari aparat penegak hukum
khususnya pihak Kepolisian didalam menerapkan perannya terhadap
penanggulangan tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking).

B. Permasalahan
Perdagangan orang atau Trafficking merupakan bentuk pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), permasalahan ini tidak hanya merupakan orang-
perorang saja, tetapi juga telah menyentuh sensitifitas nasional bahkan internasional.
Maka untuk itu permasalahan-permasalahan ini perlu dirumuskan melalui
pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas secara konkret dan menyeluruh.
Adapun permasalahan yang dapat diajukan dalam menyikapi masalah
perdagangan orang (Human Trafficking) ini adalah :
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


1. Bagaimanakah Karekteristik dilihat dari faktor, Modus Operandi dan
dampak tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) ?
2. Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) ?
3. Bagaimanakah peran Kepolisian terhadap Penanggulangan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Karekteristik dan Modus Operandi dari kejahatan
perdagangan Orang (Human trafficking)
2. Untuk mengetahui Peraturan-peraturan apa saja yang berkaitan dengan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
3. Untuk mengetahui peran Kepolisian di wilayah hukum Kota Medan terhadap
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human trafficking)
C.2. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi perkembangan hukum di indonesia.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk :
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah, Peradilan dan Praktisi
hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi
b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap pelarangan tindakan
Kejahatan Perdagangan Orang atau Trafficking

D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini tentang Peran Kepolisian terhadap Penanggulangan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) (Studi di Poltabes Medan).
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi literature sepanjang yang diketahui
belum dilakukan penulisan yang membahas tentang permasalahan perdagangan
orang atau Human Trafficking yang dimaksudkan penulis dalam penulisan ini,
walaupun sepanjang yang kita ketahui ada judul yang juga berbicara tentang Human
trafficking, namun judul dan objek pembahasan serta permasalahan yang
dibicarakan tidaklah sama, dan apabila dikemudian hari ada judul skripsi yang sama,
maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kejahatan dan Tindak Pidana
a. Pengertian Kejahatan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk
menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif,
yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang
disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai
suatu kejahatan pula
6
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan
pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan
kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si
penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban
. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima
sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih
menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri
tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana.
7
J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti
sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat,
sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan
masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat
.
8
M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum
.

6
Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan upaya penanggulangannya,
http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=48
0, diakses tanggal 11 maret 2008
7
Ibid
8
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


dapat dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan
seterusnya
9
W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang
sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara
berupa pemberian penderitaan
.
10
Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran
norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai
perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan
(negara bertindak)
.
11
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa,
kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan
penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian
dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai
oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan
anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan
hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu
.
12
Edwin: H. Sutherland menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling
bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut
kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut
.
13

9
Ibid
10
Ibid
11
Ibid
12
J.E Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro, Paradoks dalam Kriminogi, Buku Obor, jakarta
1995, hal 14
13
Edwin H. Sutherland, Principles of Criminology, Nova, 1989, hal 189
. Unsur-unsur
tersebut adalah :
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus
dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana
3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang
merugikan
4. Harus ada maksud jahat (mens rea)
5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu
hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan
6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang
undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.
7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut
penggunaannya masing-masing
14
a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma
dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan
norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut
dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman,
cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk
membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu
pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan
:

14
Syahruddin Husein, Op.cit, hal 2
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya
yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.
b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa.
Setiap dosa diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang
berdosa.
c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiii tidak membedakan
dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan
kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda. Menurut
Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan
dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum)
dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam
wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum
dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan
suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya
sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam
rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan
atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan
manusia dan terlepas dari undang-undang. Contohnya adalah
pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum
diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai
suatu kejahatan.
b. Pengertian Tindak Pidana
Sekalipun Hukum Pidana memberikan perhatian utama pada tingkah
laku atau perbuatan manusia, khususnya karena perbuatan manusia
merupakan penyebab utama terjadinya pelanggaran atas tertib hukum,
pembuat undang-undang Belanda berbeda dengan pembuat undang-undang
di Jerman, yaitu mereka tidak memilih istilah perbuatan tindak
(handeling) melainkan fakta (feit Tindak Pidana). Alasan pilihan ini
dapat kita baca dalam notulasi komisi De Wal. Dalam catatran-catatan
komisi tersebut, pengertian Feit mencakup omne quod fit, jadi keseluruhan
kejadian (perbuatan), termasuk kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya
yang relevan.
15
Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan
keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan
pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus
merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
(toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.

16

15
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia, Jakarta, hal 85
16
Ibid
Dengan cara diatas dapat
merangkum pengertian tindak pidana dan pengertian ini dalam dirinya sudah
memadai. Meskipun demikian, dengan tujuan merumuskan tindak pidana
sebagaimana dimengerti dalam sistem hukum pidana Belanda, kita dapat
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


mengembangkan penjelasan yang ada. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya
dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen: yang mencakup dalam
hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan
kondisi yang dirumuskan didalamnya perilaku mana dilarang oleh undang-
undang dan diancam dengan sanksi pidana. Beranjak dari sini kita dapat
mengabstraksikan syarat-syarat umum, yaitu sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid), kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung
jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvatbaarheid).
Kita nanti akan melihat bahwa ketika undang-undang
memformulasikan berbagai bentuk tindak pidana serta unsur-unsurnya, maka
kita tidak akan menyinggung hal-hal diatas. Bahkan pokok diatas tidak
diuraikan dalam bagian umum pada suatu undang-undang dalam hukum
pidana, sekalipun untuk menyatakan bersalah menurut hukum pidana apalagi
menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan
umum diatas tentu akan sulit. Tetapi kita tetap dapat mengandaikan sistem
unsur-unsur permusan tindak pidana pada pihak lain, sebagaimana diuraikan
lebih lanjut melalui doktrin dan putusan-putusan pengadilan (rechtspraak),
dalam praktiknya berfungsi dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan
banyak konflik. Berkenaan dengan ini kita akan melihat bahwa HR (Heit
Reeglement) pada suatu masa mengakui bahwa kesalahan dalam arti
ketercelaan tindakan tertentu merupakan unsur utama yang dipersyaratkan
untuk menetapkan apakah seorang terdakwa dapat dipidana atau tidak.
Dengan cara sama, HR (Heit Reeglement) tidak lagi membatasi penentuan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


ukuran dapat dipidananya suatu perbuatan hanya berdasarkan undang-
uindang, melainkan menghendaki agar hal itu dinilai berdasarkan hukum,
sekalipun ada beda pendapat tentang apa yang dimaksuskan dengan hukum.
Namun dalam hal ini pun pada prinsipnya berlaku persyaratan bahwa agar
suatu perbuatan dapat dipidana, unsur melawan hukum harus terkandung
didalamnya.
2. Kebijakan Penaggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah
politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G.
Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
17
a. penerapan hukum pidana (criminal law application)

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and
punishment/mass media)
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat
dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal'
(bukan/diluar hukum pidana).
Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut
dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal.

17
http://www.google.com/search?q=cache:IgJ:www.traffickinginpersons.com/+Hoefnagels+p
eter=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses tanggal 12 mei 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat
jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum
kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan
represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas. Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih
bersifat akan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-
suburkan kejahatan. Beberapa aspek sosial yang diidentifikasikan sebagai faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah "urban
crime")
18
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan
yanag tidak cocok/serasi;
, antara lain:
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek
(harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya
ketimpangan-ketimpangan sosial;
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

18
Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan
adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/ kelemahan
dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan;
f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang
mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi
tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;
g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,
keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan
obat bius dan penadahan barang-barang curian;
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan
(hak) atau sikap-sikap tidak toleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata dengan "penal'. Disinilah keterbatasan jalur penal clan oleh karena ltu
harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah lewat jalur
kebijakan sosial. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup
luas dari pembangunan.
Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting
karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB, bahwa pembangunan itu sendiri
dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu :
a. Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang,
tidak memadai/tidak seimbang;
b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;
c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh/
integrasi. Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat
perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa (social hygiene),
baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun
kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak
dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Soedarto pernah juga
mengemukakan bahwa kegiatan Karang Taruna dan kegiatan Pramuka
dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama
merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi
kejahatan
19

19
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, penerbit Alumni, hal 27
. Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media
penyuluhan keagamaan adalah sangat penting dalam memperkuat
kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan
kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama
yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yanag
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


sehat jiwa/rohaninya tapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan
lingkungan sosial yang sehat. Pembinaan dan penggarapan kesehatan
jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan
rohani/mental, tapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan
hidup kemasyarakatan. Ini berarti penggarapan kesehatan masyarakat
atau lingkungan sosial yang sehat tidak harus berorientasi pada
pendekatan religius tapi juga berorientasi pada pendekatan identitas
budaya nasional. Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh
dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan
menggali berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri,
dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang
juga mempunyai potensi efek-preventif. Sumber lain itu misalnya media
pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan
istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari
aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini Soedarto menyatakan
bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu
termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh preventis bagi
penjahat (pelanggar hukum). Sehubungan dengan hal ini, kegiatan
razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat
tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau
kegiatan komunikatif-edukatif dengan masyarakat perlu diefektitkan.
Kegiatan operasi-operasi untuk pemberantasan kejahatan bukan
merupakan hal yang baru di kepolisian, misalnya operasi/razia pemilikan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


senjata api gelap, operasi penembakan pelaku kejahatan (residivis) dan
lain-lain. Kegiatan ini mempunyai tujuan ganda yakni pertama sebagai
upaya jangka pendek untuk dalam waktu singkat menekan peningkatan
angka kejahatan dan kedua menciptakan pemenuhan kebutuhan warga
masyarakat atas rasa aman. Kegiatan itu seringkali juga memperlihatkan
tanggapan kelembagaan apart keamanan atas kecemasan bahkan rasa
takut atas kejahatan (fear of crime) yang diyakini dalam proses
pengendalian sosial.
Keberhasilan dan efektivitas langkah-langkah operasional polisi jelas hanya
dapat dicapai dengan dukungan kedua aspek lain yaitu lingkungan tempat polisi
bekerja dan faktor intern polisi. Dalam hubungan itu, maka hubungan polisi dengan
masyarakat harus senantiasa diperhitungkan kedalam rencana-rencana operasi dan
dikonkritkan dalarn bentuk tim kerja ini memerlukan syarat telah berjalannya
pengembangan gagasan mengenai tanggung jawab bersama atas bekerjanya tata
peradilan pidana dan telah terciptanya pengertian bersama dengan masyarakat.
Faktor intern polisi yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas serta
efektivitasnya, yakni perbandingan rasional antara sumber daya yang dicapai.
Persyaratan lainnya terletak pada unsur operasional, seperti stabilitas patroli
dalam wilayah-wilayah geografsis yang rawan serta interaksi maksimal dengan
masyarakat dan unsur-unsur organisasional seperti kesatuan supervisi dan
peningkatan profesionalisme. Penghukuman yang merupakan pencegahan dari segi
represif juga tidak boleh mengabaikan segi pembinaan dengan dasar pemikiran
bahwa prilaku hanya mungkin melalui interaksi maksimal dengan kehidupan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


masyarakat dan pelaksanannya tidak dapat dipisahkan dari strategi perencanaan
sosial yang lebih luas. Perlu juga kiranya penyuluhan hukum bagi masyarakat yang
bertujuan untuk sedikit demi sedikit mengurangi proses stigmatisasi atau proses
pemberian cap terhadap pelanggar hukum dan bekas narapidana.
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu
ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang
seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya
upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi
meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali
sebagai warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan
kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam
lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi
yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan
dimanfaatkan seluruh potensidukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya
untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita
adaIah bagian dari masyarakat.
3. Pengertian Polisi
Istilah Polisi pada mulanya berasal dari perkataan Yunani Politeia
yang berarti pemerintahan Negara. Seperti yang diketahui bahwa dahulu
sebelum masehi Yunani terdiri dari kota-kota yang disebut Polis. Pada
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


waktu itu pengertian Polisi adalah menyangkut segala urusan Pemerintah atau
dengan kata lain arti polisi adalah urusan pemerintahaan.
20
Di indonesia dapat diketahui pengertian polisi terdapat dalam undang-
undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 yang
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

21
Tugas polisi menurut Van Vollenhoven dalam bukunya Staatsrecht Overzee,
halaman 270 yang dirumuskan oleh R. Wahjudi dan B. Wiriodihardjo sebagai
berikut :

Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
22
a. Mengawasi secara pasif terhadap pelaksanaan kewajiban publik warga
negara.

b. Menyidik secara aktif terhadap tidak dilaksanakannya kewajiban publik
para warga negara.
c. Memaksa warga negara dengan bantuan Peradilan agar kewajiban-
kewajiban publiknya dilaksanakan.
d. Melakukan paksaan wajar kepada warga negara agar melaksanakan
kewajiban-kewajiban publiknya tanpa bantuan peradilan.
e. Mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah dilakukan atau
tidak dilakukannya.

20
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIk, Jakarta; 1972, hal 13.
21
Undang-undang Kepolisian Negara Reublik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
22
R. Wahjudi dan B. Wiriodihardjo, Pengantar Ilmu Kepolisian, Akabri. Pol,
Sukabumi;1975,hal 12.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Menurut C.H. Neiwhius untuk melaksanakan tugas-tugas pokok polisi
itu memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu :
23
a. Fungsi Preventif untuk pencegahan yang berarti bahwa polisi itu
berkewajiban melindungi warga negara beserta lembaga-lembaganya,
ketertiban, dan ketaatan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan
jalan mencegah dilakukannya perbuata-perbuatan yang dapat dihukum dan
perbuata-perbuatan lainnya yang pada hakikatnya dapat mengancam dan
membahayakan ketertiban dan ketentraman umum.

b. Fungsi Represif atau pengendalian yang berarti bahwa polisi berkewajiban
menyidik perkara-perkara tindak pidana, menangkap pelakunya dan
menyerahkan kepada penyidikan untuk penghukuman.
Menurut undang-undang Pokok Kepolisian Negara Nomor 2 Tahun 2002
tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
24


4. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Belum ada rumusan yang memadai tentang Human Trafficking atau
kejahatan Human trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk

23
Ibid, hal 19
24
Undang-undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomoe 2 Tahun 2002.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


menujukkan bahwa tindak pidana perdagangan manusia tersebut adalah sebuah
kejahatan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya KUHP,
Undang-undang Perlindungan anak, Undang-undang Buruh Migran, dan lain-
lain. Karena itu, upaya memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam perundang-
undangan di indonesia adalah langkah yang positif.
25
Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Human Trafficking
dikenal juga Human Trafficking Victims Protection ACT TVPA yang

Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan tentang
kejahatan trafficking atau perdagangan orang (Human Trafficking) yang
terdapat dalam Undang-undang ini menjadi rujukan utama. Pasal 1 angka 1
menyebutkan:
Human Trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Sebelum lahirnya UU ini Pengertian Human trafficking atau Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang umumnya paling banyak dipakai adalah
pengertian yang diambil dari protokol PBB untuk mencegah, menekan dan
menghukum pelaku Trafficking terhadap manusia, khususnya perempuan dan
anak (selanjutnya disebut Protokol Trafficking).

25
www.Elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


menyebutkan tentang Tindak Pidana Human trafficking berat atau tindak
pidana perdagangan orang yang berat, yang meliputi
26
a. Perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara
paksa dengan cara penipuan atau kebohongan atau dimana seseorang
dimintai secara paksa melakukan suatu tindakan sedemikian, belum
mencapai usia 18 tahun; atau
:
b. Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan
seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan,
penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjeratan utang
atau perbudakan.
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah Human
trafficking
27

26
//www.google.com/search?q=cache:slnwf2l4mjcJ:indonesiaacts.com/002/%3Fp%3D7+mafia
+perdagangan+incar+daerah+miskin&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id, diakses tanggal 10 mei 2008.
27
Chairul Bariah Mozasa, 2005, Aturan-aturan hukum Trafficking, USU Press, hal 9
:
Human Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across
national and international borders, largerly from developing countries and some
countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and
girl children into sexually or economically oppressive and explotative situations
for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other
illegal activitise related to trafficking, such as forced domestic labour, false
marriages, clandestine employment and false adoption. (Perdagangan Orang
adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang dilintas nasional dan
perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara-negara yang
berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa
wanita dan anak-anak perempuan bekerja dibidang seksual dan penindasan
ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan
sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan
dengan perdagangan seperti pembantau rumah tangga, perkawinan palsu,
pekerjaan gelap, dan adopsi).


Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) mendefinisikan istilah
perdagangan (trafficking):
Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian,
penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan
menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan
atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk
menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa
atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di
mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama
kali.

Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa istilah Perdagangan orang
(Human trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut
28
a. Rekrutmen dan /transportasi manusia;
:
b. Diperuntukkan bekerja atau jasa / melayani
c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan
Pengertian Human trafficking dari Protokol PBB pada Desember Tahun
2000 yaitu untuk mencegah, menekan, dan menghukum pelaku terhadap
manusia, khusunya perempuan dan anak (Protocol to prevent, suppress, and
punish trafficking in persons especially women and children, supplementing the
United Nations Convention against transnational organized crime, December
2000). Pemerintah indonesia telah menandatangani protokol ini.
Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima
tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan
lainnya, dengan cara menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan
mengiming-iming) korban menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau

28
Ibid, hal 10
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan
tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau
menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan izin/persetujuan dari
orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban
dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga (mengeksploitasi) korban
(irwanto dkk.2001:9).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan:
a. Pengertian Human Trafficking mencakup kegiatan pengiriman tenaga
kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari
lingkungan tempat tinggalnya atau (sanak) keluarga. Tetapi pengiriman
tenaga kerja yang dimaksud disini tidak harus atau tidak selalu berarti
pengiriman ke luar negeri.
b. Meskipun Human Trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang
bersangkutan, izin tersebut sama sekalli tidak menjadi relevan (tidak
dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut)
apabila terjadi penyalahgunaan atau apabila korban berada dalam posisi
tidak berdaya (misalnya karena terjerat hutang), terdesak oleh kebutuhan
ekonomi (misalnya membiayai orang tua yang sakit), dubuat percaya
bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau
diperdaya.
c. Tujuan Human Trafficking adalah eksploitasi, terutama eksploitasi
tenaga kerja (dengan memeras habis-habisan tenaga yang diperkerjakan)
dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan atau menjual kemudaan,
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang
bersangkutan dalam transaksi seks).
Pengertian sindikat perdagangan manusia (Human trafficking) menurut
Rebecca Surtees dan Martha Wijaya adalah sindikat Kriminal, yaitu
merupakan perkumpulan dari sejumlah orang yang terbentuk untuk melakukan
aktivitas kriminal.
Dari pengertian di atas, sindikat kriminal itu perbuatannya harus dilakukan
lebih dari satu orang dan telah melakukan perbuatan tindak pidana dalam
pelaksanannya. Dalam aktivitas sindikat perdagangan perempuan dan anak ini
kegiatannya selalu dilakukan secara terorganisir.
Pengertian terorganisir menurut pendapat para sarjana adalah sebagai
berikut
29
a. Donald cressey: kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang
mempercayakan penyelengaraannya pada seseorang yang mana dalam
mendirikan pembagian kerjanya yang sedikit, di dalamnya terdapat seorang
penaksir, pengumpul, dan pemaksa.
:
b. Michael Maltz: Kejahatan terorganisir adalah suatu kejahatan yang
dilakukan lebih dari satu orang yang memiliki kesetiaan terhadap
perkumpulannya untuk menyelenggarakan kejahatan. Ruang lingkup dari
kejahatan ini meliputi kekejaman, pencurian, korupsi monopoli, ekonomi,
penipuan, dan menimbulkan korban.

29
Chairul Bariah Mozasa,2005, Aturan-aturan hukum Trafficking, USU Press, hal 11
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


c. Frank hagan: Kejahatan terorganisir adalah sekumpulan orang yang memulai
aktivitas kejahatannya dengan melibatkan diri pada pelanggaran hukum
untuk mencari keuntungan secara ilegal dengan kekuatan ilegal serta
mengikatkan aktivitasnya pada kegiatan pemerasan dan penyelewengan
keuangan.
Trafficking manusia untuk berbagai tujuan telah berlangsung cukup lama,
sejak dahulu kala hingga abad 21 ini, dari kerajaan jawa yang membentuk
landasan bagi perkembangan perempuan dengan meletakkan mereka sebagai
barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dengan menunjukkan adanya
kekuasaan dan kemakmuran. Kegiatan ini berkembang menjadi lebih
terorganisir pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Bahkan kini, di alam
kemerdekaan dan dalam era globalisasi, kegiatan tersebut tidak semakin
menyurut justru semakin marak.
30

Tujuan Tindak Pidana Perdagangan Orang / Human Trafficking

30
Kebijakan Penghapusan Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak, oleh
Deputi Bandung Koordinator Pemberdayaan Perempuan Kementrian Koordinator Bandung
Kesejahteraan Indonesia (2002:1).
di
Indonesia ialah perdagangan antardaerah/pulau dan antar negara. Indonesia
adalah negara kepulauan yang mempunyai ribuan pulau-pulau dan bermacam
suku-suku, sehinga sangat memudahkan terjadinya trafficking dalam lingkup
domestik, dari beberapa provinsi dimana kasus trafficking domesitik terjadi,
tempat-tempat wisata yang berbatasan dengan negara lain, seperti Sumatera
Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Jakarta, Bali dan Jawa Timur
merupakan daerah tujuan.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009



F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris.
Metode penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal. Pada penelitian ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan prilaku
manusia yang dianggap pantas.
31
2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data
primer. Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-
undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana perdagangan orang
seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah yang terkait
dengan tindak pidana perdangangan orang dan beberapa sumber dari
situs internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.


31
Amiruddin, Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 118.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


c. Bahan Hukum Tersier
Semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan
yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain
Sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam Penulisan skripsi ini dipergunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang berasal
dari buku-buku, makalah-makalah, situs internet maupun peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan.
Dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke Poltabes
Medan dengan teknik wawancara dengan Panit Lindung Poltabes
Medan Ipda Sah Udur S.
4. Analisis Data
Data sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk menjawab permasalahan skripsi ini, yaitu dengan apa yang
diperoleh dari penelitian dilapangan yang kemudian dipelajari secara utuh
dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009



G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu :
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan.
2. BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
Dalam bab karakteristik Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Human
Trafficking ini akan dibahas mengenai faktor-faktor penyebab Human
Trafficking, Modus Operandi dan Tindak Pidana Human Trafficking dan
juga dampak dari Human Trafficking
3. BAB III PERATURAN-PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN
TRAFFICKING)
Dalam bab ini akan memaparkan tentang peraturan-peraturan yang beraitan
terhadap tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking yang
meliputi Human Trafficking dalam instrumen internasional, Human
Trafficking menurut KUHP, dan Human Trafficking menurut Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2007.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


4. BAB IV PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN
TRAFFICKING)
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil wawancara terhadap pihak
kepolisian mengenai peran dan tanggung jawab yang dihadapi polisi sebagai
penyidik dalam menangani dan menanggulangi kasus Tindak Pidana
Perdagangan orang atau Human Trafficking diwilayah hukum kota madya
medan dan faktor-faktor penghambat yang dihadapi Kepolisian dalam
menangani tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking tersebut.
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan diberikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penulisan skripsi ini dan hasil dari studi lapangan. Kesimpulan ini
diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada, selain itu
dalam bab ini juga akan diberikan saran-saran yang diharapkan dapat
membantu menyelesaikan atau paling tidak diharapkan mengurangi masalah-
masalah yang dibahas dalam skripsi ini.







Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009





BAB II
KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN
TRAFFICKING)


A. Faktor Penyebab Human Trafficking
1. Pelaku Trafficking (Trafficker)
Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak bahkan
bayi sebagai korban, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak sebagai yang
memperdagangkan (trafficker). Para germo, majikan atau pengelola tempat
hiburan adalah pengguna yang mengeksploitasi korban untuk keuntungan mereka
yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga korban tidak menyadarinya.
Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki hidung belang atau pedofil yang
mengencani perempuan dan anak yang dipaksa menjadi pelacur, atau penerima
donor organ yang berasal dari korban perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang
(trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga
melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali
tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang
32
Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah
adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta
secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan


32
http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, diakses tanggal 12
mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke
industri seks. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga,
teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam
perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen,
membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi
perbatasan secara ilegal.
Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam kondisi
eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan
fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan
utang. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506
KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan
bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan
membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan
mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun). Calo pernikahan adalah trafficker
manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus
dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang
bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan
dilangsungkan.
Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar
menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di
sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka
untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan
menjerat anaknya dalam lipatan utang. Suami adalah trafficker manakala ia
menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk
mengeksploitirnya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status
budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

Pelaku yang Canggih dan Terorganisasi
Pelaku dalam kejahatan perdagangan manusia telah dibahas dalam berbagai
penelitian. Dari banyak penelitian yang pernah dilakukan maka sebagian besar
mensinyalir bahwa para pelaku tersebut merupakan sindikat perdagangan manusia
yang wilayahnya mencakup berbagai belahan dunia dan bersifat Internasional.
Mengacu pada kejahatan-kejahatan Human Trafficking yang sudah banyak terjadi,
maka didalamnya dapat disimpulkan ada tiga pihak yang berperan yaitu korban,
pihak yang mengambil keuntungan dari perdagangan manusia (the person who
achieve the concent of person having control overanother person) serta orang yang
dibayar atau memperoleh keuntungan (person who has been giving or recieving of
payment or benefits) dari perdagangan manusia itu. Sepintas keterangan-keterangan
dari para pelaku yang diperoleh dari berabgai kasus kejahatan trafficking yang
pernah terjadi di dapat
33
3. WNA
:
1. Orang tua atau Kerabat
2. Makelar

33
http://www.google.com/search?q=cache:wOECvohZ5IgJ:www.traffickinginpersons.com/+T
rafficking+in+persons&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses tanggal 17 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


4. Sindikat yang terorganisir
5. Perusahaan angkutan laut
6. Aparat kepolisian
7. Agen tenaga kerja
8. Penduduk Setempat
9. Bidan
10. Pemilik perumahan Real Estate
11. Pemilik tempat penampungan agen tenaga kerja
12. Keterlibatan tokoh masyarakat/instansi pemerintah
Mengacu pada terminologi yang ada dalam hukum pidana, para pihak tersebut
di atas dapat digolongkan dalam bentuk penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal
55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 melingkupi pelaku, pembujuk atau orang yang
menyuruh dengan tekanan atau paksaan. Kriteria ini bila mengacu pada syarat di
atas dapat digolongkan dalam pihak yang mengambil keuntungan dari perdagangan
manusia (the person who achieve the concent of person having control over another
person) serta orang yang dibayar atau memperoleh keuntungan (person who has
been giving or recieving of payment or benefits . Dalam kasus , peran ini dilakukan
oleh Orangtua, Makelar, Sindikat dan Bidan. Khusus bagi pelaku orangtua, studi
kecil yang dilakukan di sebuah desa di J awa Barat menunjukan bahwa orangtua
yang terlibat dalam memperdagangkan anak mereka sendiri biasanya mendapat
dukungan dari mekanisme pasar yang melibatkan peran para tokoh masyarakat baik
formal maupun informal.
2. Lokasi Tujuan Trafficking
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun: orang-orang
dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada
dalam kondisi rentan, seperti misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari
keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka
yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi,
politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi
seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau
meninggal dunia; anak-anak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual;
para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban
penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari
orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap
bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih. Agen dan calo
perdagangan orang mendekati korbannya di rumah-rumah pedesaan, di keramaian
pesta-pesta pantai, mall, kafe atau di restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam
kelompok dan seringkali menyaru sebagai remaja yang sedang bersenang-senang
atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut di bawa ke tempat
transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan
pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau
calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri,
mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen
termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan dibuat
memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang,
mereka ditakut-takuti atau diancam.
Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa
minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian mereka
dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan
mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak
yang tidak mereka mengerti isinya. J ika menolak, korban diminta membayar
kembali biaya perjalanan dan tebusan dari agen atau calo yang membawanya.
Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh
korban. Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber dalam
perdagangan orang. Berdasarkan berbagai studi, ditengarai bahwa ada beberapa
propinsi di Indonesia yang utamanya merupakan daerah sumber namun ada
beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang juga diketahui sebagai daerah
penerima atau yang berfungsi sebagai daerah transit
34

34
Rachmad Syafaat, dkk. Dagang Manusia, Lappera, Yogyakarta, 2003, hal 72
;
Berdasarkan kasus-kasus yang ditemui, tujuan perdagangan manusia di
Indonesia adalah daerah-daerah didalam dan luar negeri. Meski secara umum daerah
primadona tujuan perdagangan untuk dalam negeri meliputi kota-kota besar dan
kota-kota atau pulau tujuan wisata. Sementara di luar negeri kasus yang menonjol
didapati di Malaysia dan Timur Tengah. Meski demikian kasus-kasus di beberapa
negara lain seperti Hongkong dan Jepang juga ditemui.

Tujuan lokal meliputi :
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Riau, Batam, Belawan, Tanjung Balaikarimun, Dumai, Palembang, Solo,Bandar
Baru, Sibolangit, Deli Serdang, Tanjung Baru, Surabaya, Jogjakarta, Denpasar
Tujuan Luar Negeri meliputi :
Malaysia (Kuala Lumpur dan Serawak), Perbatasan Brunai Darussalam,
Hongkong,Taiwan, Jepang dan Australia

Pekerja Domestik dan Pekerja Seksual
Dari kasus-kasus yang diperoleh, perdagangan manusia sebagian besar bertujuan
menjadikan korbannya sebagai pekerja domestik (pembantu rumah tangga) dan
pekerja seksual. Sejak sekitar tahun 1980-an banyak tenaga kerja yang pergi ke luar
negeri ataupun ke kota-kota besar untuk menjadi pembantu rumah tangga, untuk
mencari kehidupan yang lebih baik.
35
Banyak dari mereka (pekerja-pekerja tersebut) tergiur dengan cerita sukses
(bagi yang belum mempunyai pengalaman) rekan-rekan mereka yang telah bekerja
di luar negeri. Besarnya uang yang dibayangkan akan diperoleh sehingga mampu
membantu keluarga di desa membuat mereka rela meninggalkan kampungnya.
Bahkan ada para ibu rela meninggalkan anak dan suaminya di kampung. Salah satu
kisah sedih yang dialami seorang TKW yaitu ketika pulang ke Indonesia menjumpai
suaminya telah menikah dengan wanita lain dengan menggunakan uang yang selama
ini dikirimnya dari Singapura bahkan sampai membangun rumah, sedangkan anak
mereka ditelantarkan di rumah neneknya. Para perempuan yang akhirnya menjadi


35
HAM dalam Praktek: Panduan melawan perdagangan anak, Bangkok: GAATW, 1999
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pekerja domestik pada awalnya diiming-imingi janji, selanjutnya dipekerjakan
sebagai pembantu adalah fenomena yang berlangsung sejak lama.
Dalam kasus pengiriman tenaga kerja wanita asal Indonesia, banyak terjadi
penipuan dimana awalnya mereka ditawari pekerjaan sebagai buruh pabrik, pelayan
restoran dan sebagainya, namun kenyataannya mereka kemudian dijadikan
pembantu rumah tangga atau pekerja seksual. Menurut wakil bupati Nunukan
Kasmir Foret, hal itu terjadi karena umumnya TKI Indonesia berpendidikan rendah
dan tidak memiliki ketrampilan khusus sehingga pekerjaan yang dilakukan biasanya
menjadi buruh di perkebunan dan pembantu
rumah tangga.
36
Dalam kenyataannya banyak TKW asal Indonesia ditipu dan akhirnya dipaksa
menjadi pelacur di Tawau, Malaysia Timur.

37
Sebuah penelitian di Sumatera Utara
menemukan kasus anak-anak yang mejadi pengungsi dari Aceh yang ada di Medan.
Banyak calo yang mencari anak di lokasi pengungsi dengan kedok akan mengadopsi
anak padahal mereka menjualnya ke keluarga yang membutuhkan pembantu rumah
tangga. Lokasi pengungsian yang kondisinya sangat memprihatinkan dan tidak
seriusnya penanganan pihak aparat menyebabkan para orangtua rela menyerahkan
anaknya pada orang lain yang tidak dikenal untuk diadopsi.
38

36
Media Indonesia, Banyak TKW dari Indonesia dipaksa Jadi WTS di Tawao, 23 oktober 2002
37
Ibid
38
Komnas Perempuan, Peta kekerasan perempuan di Indonesia, hal 142
Penjualan perempuan-
perempuan muda untuk tujuan eksploitasi seksual menjadi tujuan utama dalam hal
perdagangan manusia yang korbannya adalah remaja. Gadis-gadis muda antara 13
hingga 18 tahun menjadi sasaran para pelaku penjualan perempuan ini. Modus
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


operandi yang digunakan untuk menjerat korban bermacam-macam. Mulai dari
penjualan yang dilakukan oleh orangtua atau saudaranya karena alasan ekonomis
sebagaimana beberapa kasus yang terjadi di Jawa Timur, penculikan, atau janji-janji
yang dilakukan oleh para calo. Para calo ini diantaranya adalah ibu-ibu muda yang
banyak beroperasi di pusat-pusat perdagangan, tempat para remaja ini biasa
menghabiskan waktunya.
Banyak cerita tragis tentang nasib mereka yang sudah menjadi korban. Anak-
anak perempuan yang dieksploitasi, ternyata ada sebagian dari mereka yang
kemudian menikmati profesi ini. Hal ini terjadi dalam kasus perdagangan domestik.
Namun berbeda dalam hal korban perdagangan manusia di luar Indonesia. Ada yang
dijerat hutang yang tak terselesaikan, disekap di hotel-hotel di Tawau dan Serawak
dimana mereka harus melayani puluhan pelanggan setiap malamnya. Untuk
melarikan diri adalah suatu pekerjaan dengan resiko berat karena disinyalir adanya
kerjasama antara pelaku dan aparat.
Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus perdagangan remaja ini
terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh aparat. Faktor usia menjadi faktor
penentu. Aturan hukum hanya membatasi batasan usia anak sampai dengan 18 tahun
padahal kasus-kasus penjualan remaja yang banyak terjadi justru berkisar antara usia
antara 18-20 tahun yang menurut hukum pidana Indonesia merupakan usia dewasa.
Menurut hukum pidana Indonesia Hal tersebut menyebabkan kurangnya upaya
penanggulangan perdagangan remaja dan lemahnya penegakan hukum terhadap para
pelaku disebabkan oleh kurangnya pengetahuan hukum masyarakat dan penegak
hukum tentang berbagai peraturan yang mengatur perdagangan perempuan.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Meskipun belum terdapat suatu definisi pasti mengenai perdagangan manusia dan
rumusan resmi berkaitan dengan hal tersebut, bukanlah suatu alasan bagi para aparat
penegak hukum untuk membiarkan kasus perdagangan perempuan, karena
perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana. Sebagai contoh rumusan dalam Pasal
297 KUHP mengatur bahwa tindakan memperdagangkan perempuan dan anak laki-
laki diancam dengan pidana selamanya 6 tahun, yang dapat menjadi suatu sarana
guna menjerat perbuatan tersebut diatas
39
Kasus yang ditemui dan dianggap amat berpotensi sebagai peluang bagi
terjadinya korban perdagangan manusia adalah anak-anak yang berstatus yatim piatu
.

Adopsi Ilegal, Pekerja Anak dan Penjualan Organ Tubuh
Perdagangan anak merupakan salah satu isu yang marak dibicarakan dalam hal
yang berkaitan dengan perdagangan manusia di Indonesia. Dengan tujuan yang
beraneka ragam mulai dari perdagangan bayi dengan tujuan adopsi, diambil organ
tubuhnya, dijadikan budak dan lain sebagainya. Anak-anak, baik perempuan
maupun laki-laki berpotensi menjadi korban perdagangan manusia. Anak-anak
tersebut berusia 3 hingga 20 tahun dan dipekerjakan di ladang-ladang perkebunan
sebagai buruh tanpa upah, pembantu rumah tangga dan pekerjaan-pekerjaan lain.
Anak-anak ini menjadi primadona
karena mereka lebih mudah diatur daripada orang dewasa dan biaya yang
dikeluarkan pun relatif lebih sedikit (misalnya makanan yang tidak sebanyak
konsumsi orang dewasa).

39
Hasil Wawancara/Penelitian di Poltabes MS dengan Panit Lindung, Sah Udur S, tanggal 24
maret 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


yang berada di daerah pengungsian/daerah konflik. Salah satunya adalah anak-anak
yatim piatu yang berada di pengungsian di Poso. Ketiadaan orangtua, bantuan bagi
pengungsi yang makin-hari makin berkurang dan status yang tidak jelas menjadi
peluang bagi para calo-calo untuk memperdagangkan mereka pada orang-orang
yang berminat. Mulai dari tujuan mulia misalnya diadopsi hingga untuk dijadikan
budak di perkebunan-perkebunan.
40
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan Perdagangan Orang (Human
Trafficking)

Terhadap kasus perdagangan bayi dan anak-anak, terdapat juga pola lain yaitu
dengan alasan adopsi. Agaknya model modus operandi yang satu ini harus
dipertanyakan apakah pola adopsi yangdimaksud sudah sesuai dengan hukum
perdata dimana harus diputus dengan suatu putusan pengadilan. Peneliti melihat
bahwa yang dimaksud adopsi dari kasus-kasus yang ada adalah model pengangkatan
anak yang tidak melalui jalur hukum.
Hal ini tentunya tidak memberikan jaminan bagi anak apakah ia akan diasuh
sebagaimana layaknya anak adopsi yang seharusnya atau tidak. Untuk kasus
penjualan organ tubuh, peneliti belum berhasil menemukan berita yang mengungkap
masalah ini. Menurut peneliti, kasus semacam ini memang sulit untuk diketahui
karena berkaitan dengan rumah sakit dan dokter yang mempunyai wilayah yang
sangat tertutup dan dilindungi dengan berbagai aturan dan kode etik yang sulit
difahami oleh masyarakat awam.


40
Maraknya Perdagangan orang sebagai budak, Republika 07 Agustus 2000
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dalam Keputusan Persiden Republik Indonesia nomor 88 Tahun 2002 tentang
Rencana aksi nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak,
menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan orang atau kejahatan
trafficking, yaitu:
1. Kemiskinan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecenderungan jumlah
penduduk miskin terus bertambah dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada
tahun 1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada
tahun 2002.
2. Ketenagakerjaan
Sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung
pula terus meningkat dari 1,8 juta pada akhir tahun 1999 menjadi 17,6% pada tahun
2000
3. Pendidikan
Survei sosial ekonomi nasional tahun 2000melaporkan bahwa 34 % penduduk
indonesia berumur 10 tahun ke atas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah,
34,2% tamat Sddan hanya 15% yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun
2000 terdapat 14 anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan
ke SLTP karena alasan pembiayaan.
4. Migrasi
Menurut konsorsium peduli buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) sepanjang
tahun 2001cpenempatan buruh migran keluar negeri mencapai sekurang-kurangnya
74.616 orang telah menjadi korban trafficking.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


5. Kondisi Keluarga, Pendiidkan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan
akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif
merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga.

6. Sosial Budaya
Anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sehendak orang
tuanya, ketidak-adilan jender, atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah
masih tumbuh di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa.
7. Media massa
Media masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan
informasi yang lengkap tentang trafficking, dan belum memberikan kontribusi yang
optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit
justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang
mendorong menguatnya kegiatan trafficking dari kejahatan susila lainnya.
Banyak faktor yang mendorong orang terlibat dalam perdagangan manusia,
yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu supply (penawaran) dan demand (permintaan)
Dari sisi Supply (Penawaran) antara lain
41
a. Trafficking merupakan bisnis yang menguntungkan. Dari indusitri seks saja
diprkirakan US 1,2 3,3 milyar per tahun untuk indonesia. Hal ini menyebabkan
kejahatan internasional terorganisir menjadi prostitusi internasional dan jaringan
perdagangan manusia sebagai fokus utama kegiatannya.
:

41
http://www.google.com/search?q=cache:AM34cQKitX4J:www.menkokesra.go.id/pdf/deputi
3/human_trafficking_ind.pdf+Dr.+Alwi+Shihab+terhadap+trafficking&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id
halaman 34, diakses tanggal 18 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


b. Kemiskinan telah mendorong anak-anak tidak sekolah sehingga kesempatan
untuk memiliki ketrampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks
komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi
masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian anak
dan ibu sebagai tenaga kerja wanita, yang dapat menyebabkan anak terlantar
tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban.
c. Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan
kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam
lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam
dunia prostitusi.
d. Konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak remaja,
sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. Akibat
konsumerisme, berkembanglah kebutuhan untuk mencari uang banyak dengan
cara mudah.
e. Pengaruh sosial budaya seperti pernikahan di usi muda yang rentan perceraian,
yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersal. Adanya
kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anakanak secara homoseksual
ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang atau
membuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual
dan bahkan memperkuatnya.
f. Kebutuhan para majikan akan pekerja yang murah, penurut, mudah diatur, dan
mudah ditakut-takuti elah mendorong naiknya demand terhadap pekerja anak
(pekerja jermal di Sumatera Utara, buruh-buruh Pabrik/Industri di kota-kota
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


besar, di perkebunan, pekerja tambang permata di Kalimantan, perdagangan, dan
perusahaan penangkap ikan). Sering kali anak-anak bekerja dalam situasi yang
rawan kecelakaan dan berbahaya.
g. Perubahan struktur sosial yang diiringi oleh cepatnya
industrialisasi/komersialisasi, telah meningkatkan jumlah keluarga menengah,
sehingga meningkatkan kebutuhan akan perempuan dan anak untuk
dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Dalam yang tertutup dari luar,
anak-anak itu rawan terhadap penganiayaan fisik maupun seksual. Selain
dipaksa bekerja berat tanpa istirahat, mereka diperlakukan kasar jika mengeluh.
h. Kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan pariwisata
seks, termasuk yang mendorong tingginya permintaan akan perempuan dan
anak-anak untuk bisnin tersebut. Ketakutan para pelanggan terinfeksi virus
HIV/AIDS menyebabkan banyak perawan muda direkrut untuk tujuan itu. Pulau
Batam telah menarik orang asing, tidak saja untuk membuka usaha, tetapi juga
untuk pelayan seksual yang mudah didapat dan murah. Gadis-gadis belia dari
jawa dan sumatera dengan gencar direkrut untuk memenuhi kebutuhan para
pengusaha yang kebanyakan berasal dari Korea dan Singapura. Bali sebagai
daerah wisata, banyak merekrut gadis-gadis lokal dan juga dari tempat-tempat
lain di indoensia untuk eksploitasi secara seksual, biasanya oleh turis-turis asing.
Indonesia dan Taiwan adalah tujuan kedua wisatawan seks dari Australia.
Dengan maraknya AIDS, anak-anak menjadi laku, harga anak perawan sangat
maha, dan dengan adanya resesi, membuat anak perawan keluarga miskin
menjadi sangat potensial untuk dijual.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009





B. Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Dari hasil pengamatan Komnas Anak di beberapa kota, aktor-aktor pada
umumnya yang terlibat dalam perdagangan anak adalah orang tua, kakak, adik,
tetangga, sahabat, calo tenaga kerja, sindikat terorganisir di dalam negeri, aparat
negara tingkat lokal maupun nasional, agen penyalur tenaga kerja dalam dan luar
negeri, serta kalangan bisnis hiburan. Keterlibatan aparat pada umumnya antara
lain berkaitan dengan pembuatan akte lahir atau identitas asli tapi palsu bagi si
korban.
42
Di samping itu, anak-anak yang direkrut pada umumnya berpendidikan
rendah, tidak berpengalaman, masih polos, tetapi cantik, setidak-tidaknya
berkulit bersih. Sedangkan modus operandi rekrutmen yang digunakan para agen
atau calo biasanya menggunakan berbagai bentuk rayuan, menjanjikan berbagai

Latar belakang korban pada umumnya anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin di pedesaan atau di kawasan kumuh perkotaan, anak-anak putus
sekolah, korban kekerasan rumah tangga baik fisik, psikis dan seksual termasuk
perkosaan, para pencari kerja, anak jalanan perempuan, korban penculikan,
janda cerai akibat kawin muda, dan dorongan kuat untuk bekerja dari orang tua
atau lingkungannya.

42
www.humanrights.go.id/index_HAM.asp%3Fmenu%3Dnews%26id%3D3404+Perdagangan
+Orang+menurut+Komnas+HAM&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, di akses t anggal 1 mei
2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


kesenangan dan kemewahan, menipu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan
wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik,
menyekap atau memperkosa, menawarkan pekerjaan dan mengadopsi. Para agen
atau calo ini pada umumnya bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 3-4 orang
dan menyatu sebagai remaja yang sedang bersenang-senang.
43
Modus perdagangan orang (Human Trafficking) yang dikatakan canggih
dan yang sering muncul adalah eksploitasi seksual (prostitusi), eksploitasi
tenaga (gaji rendah) dan adopsi illegal (penjualan bayi). Modus operandinya

Anak-anak yang direkrut kemudian dibawa ke tempat transit atau ke
tempat tujuan dalam bentuk rombongan, dengan menggunakan pesawat terbang
atau kendaraan lain, tergantung tujuannya. Biasanya, agen atau calo menyertai
mereka dalam perjalanan dan menanggung biaya perjalanan sepenuhnya.
Untuk keluar negeri, mereka pada umumnya dilengkapi dengan visa turis
tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk masalah keuangan.
Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan
yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan
korban untuk kembali pulang, mereka seringkali ditakut- takuti atau diancam.
Di tempat tujuan, anak-anak sebelum dipekerjakan ditempatkan di rumah
penampungan lebih dulu untuk beberapa minggu. Mula-mula anak-anak
dipekerjakan di bar, restauran, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah
hiburan lain. Setelah beberapa hari, barulah mulai dilibatkan dalam
kegiatan prostitusi.

43
http://www.iworkd.org/index.php?action=news.detail&id_news=73&judul=Bisnis%20hara
m%20perdagangan%20manusia, diakses tanggal 3 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


yang semakin canggih, akan dengan mudah dapat memperangkap calon korban
khususnya segmen penduduk muda yang biasanya mudah tergiur oleh bujuk
rayu dan janji manis, iming-iming bekerja
ditempat yang baik dengan gaji menggiurkan dan sebagainya.
Dalam keadaan yang seperti ini perempuanlah yang sangat sering terjerat
oleh para sindikat perdagangan orang (Human Trafficking). Usia rata-rata
mereka berada di bawah 20 tahun dan mereka dipaksa melayani lelaki hidung
belang agar mendapat segala biaya selama perjalanan ke berbagai
lokasi pelacuran di Singapura dan Malaysia. Termasuk biaya germo, living cost,
dan segala kebutuhan hidupnya dijamin sindikat trafficking ini.
Selain itu, modus trafficking lainnya adalah dengan cara menjual organ
tubuh para korban. Para korban dioperasi, selanjutnya ginjal maupun organ
tubuh lainnya diambil untuk diperdagangkan kepada jaringan sindikat
trafficking. Modus penjualan organ tubuh ini telah terjadi di beberapa daerah di
Indonesia. Yang menarik dari modus operandi perdagangan manusia adalah
bahwa proses pengangkutan terhadap korban tidak selalu dilakukan secara
ilegal. Bisa saja proses pengiriman dilakukan secara legal, tetapi tujuannya
adalah untuk eksploitasi.
Dalam kepustakaan, terdapat perbedaan yang cukup tajam antara
trafficking in persons dengan smuggling
44

44

. Smuggling lebih menekankan
pada pengiriman secara ilegal orang dari suatu negara ke
negara lain, yang menghasilkan keuntungan bagi smuggler.
http://www.lfip.org/laws822/docs/Perdagangan%20manusiaSentraHAMfeb28.pdf, diakses
tanggal 5 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dalam pengertian smuggling tidak terkandung adanya eksploitasi
terhadap orang. Inti dari pengertian smuggling adalah adanya pengiriman
orang secara ilegal dari suatu negara ke negara lain. Trafficking memiliki targe
t khusus, yaitu orang yang dikirim merupakan objek ekploitasi.
Modus yang dikembangkan sindikat, para calo, dan orang-orang yang
terbiasa melakukan tindak kejahatan memperdagangkan orang (perempuan dan
anak) cenderung sangat beragam. Pola umum yang berlaku biasanya adalah
bujuk rayu dan tipu daya kepada korban dan keluarganya. Ditengah makin
langkahnya kesempatan kerja yang tersedia di desa dan tekanan situasi krisis,
memang tidak banyak pilihan yang dapat dikembangkan perempuan dan
penduduk miskin di Desa. Seorang calo yang sudah berpengalaman niscaya
sudah tahu persis bagaimana menghadapi orang-orang yang kehidupan sehari-
harinya sengsara seperti mereka. Tawaran gaji besar, godaan gaya hidup kota
besar yang serba gemerlap, dan setumpuk iming-iming yang memabukkan, bagi
perempuan dan keluarga miskin di pedesaan adalah hal yang terlampau mewah
untuk ditingallkan begitu saja. Bisa di bayangkan, hati siapa yang tak tertarik
jika seorang calo menawarkan kerja diluar negeri dalam tempo 2-3 tahun sudah
akan membuat perempuan miskin bisa membawa pulang uang puluhan dan
bahkan seratus juta rupiah lebih.
Seorang calo yang sudah terbiasa mencari korban-korban trafficking
baru, mereka biasanya bekerja sebagai pengijon atau tengkulak. Adapun cara
kerja ( modus Operandi ) yang biasanya di pergunakan pelaku untuk menjerat
korbannya yaitu:
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009




a. Modus Menawarkan Pekerjaan
Dalam menawarkan dan membujuk korban agar tertarik mencari
kerja di kota besar atau diluar negeri, salah satu yang manjur adalah
menyandera perasaan psikologi korban. Didalam menawarkan pekerjaan
kepada si korban, sindikat-sindikat trafficking ini mempunyai maksud yang
tersembunyi dan jahat dibelakangnya. Sindikat-sindikat trafficking ini
merusak dan menyandera psikologis korban dengan lilitan hutang, bujuk
rayu, dan iming-iming gaji besar adalah kombinasi strategi yang biasanya
dikembangkan para calo untuk menundukkan hati korban agar menerima
tawaran pekerjaan yang diberikan. Seorang perempuan yang berasal dari
keluarga miskin dan kemudian terjerat utang yang menumpuk, tentu tidak
ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali nekat mencari kerja dan
menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh sindikat trafficking yang dirasa
bakal menguntungkan. Pada akhirnya melalui cara atau modus menawarkan
pekerjaan ini, para calo berhasil menipu banyak perempuan yang tergiur
dengan berbagai pekerjaan dengan janji gaji dan pembayaran yang sangat
memuaskan.
45

45

Yang kemudian pada akhirnya perempuan-perempuan ini
bukan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya, melainkan
mereka dijadikan sebagai bahan eksploitasi seksual diberbagai tempat
http://www.google.com/search?q=cache:b4XCl9hHS7UJ:groups.yahoo.com/group/beritalin
gkungan/message/6799+Modus+menawarkan+pekerjaan+dalam+perdagangan+orang&hl=id&ct=cln
k&cd=7&gl=id, diakses tanggal 18 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pelacuran atau lokalisasi, dan sangat sulit sekali bagi mereka untuk dapat
lari, keluar atauapun kembali lagi ke daerah asalnya, karena kuatnya jaringan
dan rantai serta rencana dari sindikat-sindikat perdagangan orang tersbut.
b. Modus Penipuan dan Penculikan
Modus lain yang biasa dikembangkan pihak sindikat untuk mencari
korban trafficking baru adalah melalui pendekatan khusus yang lebih
cenderung kepada penipuan dan penculikan. Pada dasarnya dalam
menerapkan modus ini, para sindikat trafficking ini menggunakan tipudaya
atau penipuan melalui kata-kata ataupun tindakan kepada korbannya yang
kemudian nantinya dibawa pergi atau diculik. Dan dalam hal ini yang
biasanya menjadi korban adalah kebanyakan perempuan yang menjadi
korban penipuan dari sindikat-sindikat yang bersembunyi atau menyamar
sebagai seorang laki-laki yang baik dan memacari perempuan tersebut
dengan kata-kata manis, dan sebagian besar korban dari modus ini dalam hal
penculikan adalah anak-anak, baik anak-anak yang diculik langsung dari
rumah, sekolah, jalan-jalan ataupun anak-anak yang menjadi korban tindak
kekerasan dirumahnya, entah korban child abuse, niscaya akan sangat mudah
terperdaya oleh rayuan para calo. Dalam hal modus penipuan terhadap
perempuan yang melalui pendekatan khusus dengan mengandalkan seorang
laki-laki, biasanya sangat diandalkan peran laki-laki muda yang cukup gagah
dan berlente. Mula-mula korban akan didekati dan diajak berpacaran.
Modus ini dari segi waktu memang lebih membutuhkan ketelatenan
tersendiri. Pada satu titik dimana pelaku sudah mulai dipercaya oleh keluarga
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


korban, maka biasanya baru pada saat itu serangan mulai dilancarkan. J ika
korban termasuk mudah diperdaya, maka dengan cepat korban akan nurut-
nurut saja ketika diajak pelaku pergi ke luar desa untuk mencari pekerjaan di
kota besar. Sementara itu, untuk korban yang agak sulit dirayu, modus yang
dikembangkan pelaku biasanya dengan cara memacari korban dan merayu
korban hingga mau melakukan hubungan intim semacam tindakan dating
rape. Perempuan atau anak perempuan yang sudah kehilangan kegadisannya,
karena direngut pelaku biasanya pilihannya tidak lagi banyak.
46

46

Kejadian
semacam ini biasanya banyak dialami korban trafficking yang dipekerjakan
di tempat-tempat hiburan dan lokalisasi. Anak perempuan yang sudah tidak
lagi perawan, maka perasaan dan ketergantungan kepada pelaku akan sangat
besar, sehingga apapun akan mereka lakukan agar si pelaku tidak
meninggalkan dirinya. Perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban
rayuan gombal pelaku trafficking seperti ini biasanya baru menyadari
kekeliruannya ketika sudah berhasil dibawa keluar desa oleh sang pacar yang
penipu itu, karena begitu tiba di kota biasanya mereka akan di jual ke
mucikari atau pengelola tempat hiburan lainnya. Di kota besar yang jauh dari
desa, sang pacar yang semula penuh dengan rayuan, jangan kaget kalau tiba-
tiba berubah kasar, dan keluar sifat aslinya karena apa yang ia lakukan
selama ini memang hanya kamuflase untuk menipu korban agar dapat diajak
keluar desa dan kemudian diperdagangkan.
www.komnaspa.or.id/pdf/BEBERAPA%2520ISU%2520HUKUM%2520%2520KEJAHAT
AN%2520PERDAGANGAN%2520ORANG.pdf+Modus+Penipuan+dan+penculikan+dalam+perdag
angan+orang&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses tanggal 20 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


c. Modus Adopsi
Dalam modus ini , para sindikat-sindikat perdagangana orang
(perempuan dan anak) ini biasanya berperan kepada dua profesi yaitu
Babysitter atau penjaga dan perawat anak dan yang kedua adalah menjadi
Orang tua asuh. Sebagai babysitter atau penjaga dan perawat anak, para
sindikat trafficking atau calo-calo ini melihat keadaan atau situasi dari suatu
kelurga yang bisa mereka masuki untuk mengurus anak anak ketika kedua
orang tua si anak sibuk mengurus pekerjaan atau kegiatan diluar. Dalam hal
sebagai babysitter, si calo untuk beberapa hari bekerja layaknya sebagai
seorang perawat anak, tetapi pada akhirnya si calo akan mencuri dan
melarikan si anak untuk kemudian di jual atau didagangkan. Dalam situasi
lain para calo-calo ini juga dapat berperan sebagai Orang Tua Asuh untuk
mengelabui rumah-rumah yayasan atau yatim piatu. Para calo ini menyamar
sebagai sepasang suami-isteri yang hendak mengadopsi anak dari suatu
rumah yayasan atau yatim piatu, yang kemudian anak-anak yang mereka
adopsi itu nantinya dilarikan dan kemudian dijual atau didagangkan kepada
orang-orang yang ingin membelinya atau bahkan dikirim keluar negeri untuk
diperkerjakan disana.

C. Dampak dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
1. Dampak Fisik
Dampak fisik dari perdagangan orang (Human Trafficking) ini
berdampak kepada tubuh atau jasmani si korban yang bisa dikatakan telah
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


rusak karena mendapat penganiayaan atau tindakan-tindakan penyiksaan
ataupun perilaku-perilaku lain yang tidak sewajarnya seperti eksploitasi
seksual, pelacuran atau pemerkosaan, pencabulan, dan lain-lain. Dengan kata
lain dampak dari perdagangan orang (anak dan perempuan) ini sangat
merugikan bagi si anak dan perempuan yang menjadi korban.
47
2. Dampak Non-Fisik
Apabila
dengan adanya pandangan masyarakat yang menganggap pentingnya
keperawanan. dengan demikian si anak akan mengalami tekanan secara
psikis yang akan menghambat perkembangan dirinya. oleh karena itu
perdagangan perempuan harus diwaspadai dan pelakunya harus dihukum.
selain itu pandangan masyarakat yang mengobjekkan perempuan (yang
berasal dari budaya Patriarki) juga harus pelan - pelan diberantas. J ika tidak
perdagangan anak perempuan akan terus ada.
Dampak non-fisik dari perdagangan orang (perempuan dan anak) ini
berdampak kepada mereka yang melakukan perdagangan anak perempuan,
dimana bagi mereka akan dikenakan tuntutan hukum sesuai dengan pasal
296 atau 297 kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
ancaman hukuman maksimal 6 tahun. atau menurut pasal 298 KUHP jika
sipelaku terbukti melakukan perbuatan tersebut padahal ia bekerja, ia juga
dapat dipecat dari pekerjaannya. selainnya menurut pasal 35 KUHP pelaku
juga bisa kehilangan hak milik dan dipilih dalam pemilu, hak mencari

47
indonesiaacts.com/002/%3Fp%3D5+dampak+fisik+dari+perdagangan+orang&hl=id&ct=cln
k&cd=1&gl=id, diakses tanggal 07 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pencaharian, hak dalam perwalian dan sebagainya, dan yang pada akhirnya
akan berakhir di dalam buih (penjara), sedangkan bagi si korban sendiri
secara Non-fisik dalam pikirannya dan perasaanya si korban merasa dirinya
tidak berguna lagi karena merasa dirinya telah rusak dalam arti si korban
terganggu secara psikisnya dan perasaanya atau psikologinya
(kejiwaannya)
48

akibat tindakan-tindakan yang diterimanya selama menjadi
korban trafficking.










48
www.icrponline.org/wmprint.php%3FArtID%3D237+dampak+nonfisik+dari+perdagangan+
orang&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id, diakses tanggal 17 mei 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009




BAB III
PERATURAN-PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(HUMAN TRAFFICKING)
A. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) dalam Instrumen
Internasional
Instrumen Internasional
Terdapat berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah human
trafficking. Instrumen-instrumen tersebut adalah
49

49
WpjSIMNmRjkJ:thinkprogress.org/2006/02/22/legally requiredinvestigation/+Intternational
+regulation+of+human+trafficking&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id, diakses tanggal 17 mei 2008 hal 1
:
Universal Declaration of Human Rights;
International Covenant on Civil and Political Rights;
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights;
Convention on the Rights of the Child and its relevant Optional Protocol;
Convention Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination
of the Worst Forums of Child Labor (ILO No. 182)
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women;
United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking in Persons
especially Women and Children supplementing the Convention against
Transnational Organized Crime;
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


SAARC Convention on Combating Trafficking in Women and Children for
Prostitution.
Dalam Article 4 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan
bahwa no shall be held in slavery or servitude: slave trade shall be prohibited in
all their forms. Ketentuan dalam Article 4 secara jelas melarang perbudakan dan
perdagangan budak. Larangan perbudakan juga terdapat dalam The International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dengan kalimat yang berbeda
tetapi memiliki makna yang sama dengan ketentuan sebagaimana terdapat dalam
Article 4 (UDHR), Article 8 (ICCPR) secara jelas menyatakan bahwa no one shall
be held in Slavery: Slavery and the slave-trade in all their forms shall be
prohibited
50

50
Ibid, hal 9
. Dengan demikian jelas bahwa perbudakan merupakan suatu larangan.
Dalam UDHR dan ICCPR, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan
slavery. Pengertian slavery, menurut Convention of Slavery (1926) adalah the
status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the
rights of ownership are exercised. Dalam pengertian ini termasuk pula membeli,
menjual, dan mengadakan transportasi terhadap orang (-orang) dengan maksud
untuk melakukan eksploitasi, guna memperoleh keuntungan. Hukum Humaniter
Internasional, menentang dan melarang segala bentukslavery. Bahkan, masalah
yang berkaitan dengan slavery dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional,
selain kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity). Oleh karena itulah, masalah ini menjadi masalah yang penting
bagi setiap negara untuk melakukan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pelarangan dalam hukum nasionalnya, sekalipun dalam keadaan perang ataupun
keadaan darurat.
Perkembangan secara internasional, telah membawa masalah slavery ini ke
dalam permasalahan international. Slavery telah berkembang sebagai jus
cogens.
51
Demikian pula dalam International Criminal Court (ICC) Statute,
enslavenent dan sexual slavery dikatakan sebagai kejahatan. Menurut ICC,
enslavement diartikan sebagai the exercise of any or all of the powers attaching
to the right of ownership over a person.
International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) telah
memutuskan bahwa enslavement termasuk dalam pengertian crimes against
humanity.
52
Termasuk dalam hal ini adalah the exercise of such power in the course of
Trafficking in persons, in particular women and children.

53
Dalam kaitannya dengan sexual slavery, ICC memberikan batasan sebagai
berikut

54
1. The perpretator exercised any or all of the powers attaching to the right of
ownership over one or more persons, such as by purchasing, selling, landing, or
bartering such a person or persons or by imposing on them a similar
deprivation of liberty (Para pelaku melakukan beberapa usaha dengan mencabut
:

51
Jus cogens diartikan sebagai: a norm accepted and recognized by the international
community as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified
only by a subsequent norm of general international law having the same character. Article 53
Vienna Convention.
52
Article 7 (2) International Criminal Court.
53
Consideration Of The Issue of Persons, Background Paper, 11 12 November 2002, New
Delhi, India.
54
Ibid, hal 16
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


hak dari seseorang seperti pembelian, penjualan, perdagangan atau penukaran
dari seorang dengan orang yang lain atau dengan memperdayakan mereka
dengan mencabut kebebasan yang mereka miliki).
2. The perpretator caused such person or persons to engage in one or more acts of
sexual nature (Para pelaku menyebabkan beberapa orang (yang menjadi korban
perdagangan orang tersebut) dipesan sebagai pelaku dari pekerja seksual).
Selain masalah yang berkaitan dengan perbudakan, terdapat beberapa
instrumen internasional yang memberikan perlindungan bagi wanita dan anak-anak.
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW), merupakan konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi wanita dari
segala bentuk kekerasan, yang mungkin dapat terjadi karena dia adalah seorang
wanita. Dalam Article 6, secara jelas menyatakan bahwa States Parties shall take
all appropriate measures, including legislation, to suppress all forms of traffic in
women and exploitation of prostitution of women. Ketentuan dalam Article 6 ini
merupakan himbauan agar negara-negara lebih memperhatikan masalah yang
berkaitan dengan human trafficking, khususnya yang berkaitan dengan wanita.
Masalah traffic in woman dan prostitution of woman sangat bertentangan
dengan rasa kemanusiaan dan sangat berbahaya bagi individu yang bersangkutan
serta keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itulah, negara peserta harus
memberikan sanksi pidana kepada setiap orang yang
55

55
Pasal 6 atau Article 6 CEDAW
:
(1) mencari, memindahkan, ataupun mengajak orang lain, dengan tujuan untuk
aktivitas prostitusi, meskipun orang yang bersangkutan menyetujui;
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


(2) mengeksploitasi orang lain sebagai prostitusi, meskipun orang tersebut
menyetujui.
Konvensi ILO nomor. 29 Tahun 1930 mencantumkan pengertian force or
compulsory labour sebagai all work or service which is exacted from any person
under the manace of any penalty, and for which the said person has not offered
himself voluntarily. Lebih dari 25 tahun kemudian, ILO menyetujui instrumen
tambahan, yang kemudian disebut sebagai Abolition of Forced Labour Convention
No.105 (1957). Dalam konvensi tersebut, yang dimaksud dengan suppression of
forced labour adalah political coercion, labour discipline, or rasial, national or
religious discrimination; as a method of mobilizing and using labour for purposes of
economic development; an as punishment for having participated in
strikes.
56
Permasalahan yang berkaitan dengan anak, tidak lepas dari perhatian
masyarakat internasional. Isue-isue yang berkaitan dengan tenaga kerja anak,
perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah-masalah yang perlu
mendapatkan perhatian. Pendek kata, segala bentuk eksploitasi anak haruslah
mendapatkan perhatian dari semua negara.
(Penindasan dari pekerja paksa adalah kekerasan politik, disiplin pekerja,
atau rasis, perbedaan kewarganegaraan atau agama; termasuk didalamnya mobilisasi
dan penggunaan pekerja untuk tujuan mengembangkan perekonomian; dan
penghukuman bagi mereka yang berpartisipasi atau ikut dalam pemogokan atau
melanggar peraturan).

56
Force Labour, Child Labour and Human Trafficking In Europe: An ILO Perspective,
Technical Paper for the EU/IOM STOP European Conference on Preventing and Combating
Trafficking In Human Beings, 18-20 September 2002, Brussels, Belgium

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Convention on the Rights of the Child (CRC), merupakan salah satu konvensi
yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Dalam
Article 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan child, adalahevery human
being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child,
majority is attained earlier. Berdasarkan ketentuan ini, selanjutnya ditentukan
adanya keharusan bagi negara untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan
terhadap anak.
Melihat ketentuan yang terdapat dalam CRC nampak bahwa CRC belum
mengatur secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan anak. Anak, seharusnya
dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomis, eksploitasi seksual, maupun dari
segala bentuk sexual abuse.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam CRC kemudian dilengkapi dengan
Optional Protocol to the Convention on the Rights of The Child. Protocol ini
memperluas pengertian yang berkaitan dengan sale of child, child prostitution,
dan child pornography. Larangan Trafficking dan eksploitasi anak, mendapat
perhatian pula di dalam ILO Convention on the Worst Form of Child Labour.
Berkaitan dengan pekerja anak-anak, ILO menyetujui instrumen yang berkaitan
dengan Minimum Age Convention No. 138. Seiring dengan perkembangan pekerja
anak-anak, kemudian dibentuklah Worst Forms of Child Labour Convention No.
182, tahun 1999. Worst Forms of child Labour diartikan sebagai all forms of
slavery or practices similar to slavery, such as the sale and trafficking in children,
debt bondage and selfdom and forced or compulsory labour, including forced or
compulsory recruitment of children for armed conflict. (Bentuk paling buruk dari
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pekerja anak diartikan sebagai segala bentuk dari perbudakan atau beberapa praktek
yang sama dengan perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, lilitan
hutang dan tekanan terhadap dirinya atau paksaan yang diwajibkan kepada si
pekerja, termasuk paksaan yang diwajibkan dalam hal perekrutan anak dalam
konflik perang).
Hukum internasional, juga memberikan perlindungan kepada individu-
individu, sebagai migrant atau pekerja migrant. Instrumen internasional yang
berkaitan dengan hal tersebut adalah Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of Their Families. Dalam konvensi ini
dinyatakan bahwa The right to life of migrant workers and members of their
families shall be protected by law. Perlindungan hukum tidak hanya dari negara
penerima saja tetapi juga dari negara di mana pekerja tersebut berasal.
Perlindungan terhadap migrant workers, merupakan perluasan dari hak-hak
asasi manusia yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Yang menjadi masalah
adalah illegal migrant worker, sebagaimana dikemukakan oleh Leonard M.
Hammer, bahwa the situation of illegal migrant workers is especially problematic,
exemplify[ing] the jurisdictional struggle between state sovereignty and its control
over immigration versus obligation on the State to uphold the human rights of all
individuals found within a States territory.
57

57
Leonard M. Hammer, Migrant Workers in Israel: Towards proposing a Framwork of
Enforceable Customary International Human Rights, Netherlands Quaterly of Human Rights, 1999,
hal. 5.

(Situasi dari pekerja migrant ilegal
pada khususnya merupakan suatu problema, Sebagai contoh adalah dalam hal
perjuangan juridiksi antara suatu kedaulatan negara dan hal itu dapat mengendalikan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


imigran pada masa globalisasi disuatu negara untuk lebih menghargai hak-hak hidup
dari setiap individu tanpa melihat dari mana asalnya atau wilayahnya).
Selain memiliki hak untuk dilindungi secara hukum, migrant worker pun
memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mendapatkan perlindungan.
Hal-hal apa yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :
1. No migrant worker or member of his or her family shall be held in slavery or
servitude. (Bukan pekerja migran atau anggota keluarganya baik laki-laki
maupun wanita akan digunakan sebagai budak atau kerja paksa).
2. No migrant worker or member of his or her family shall be required to perform
forced or compulsory labour. (Bukan pekerja migran atau anggota keluarganya
baik laki-laki maupun wanita akan dipaksa atau diwajibkan sebagai pekerja).
Konvensi tersebut dimaksudkan agar migrant workers terbebas dari segala
bentuk perbudakan, serta tekanan-tekanan. Negara harus memberi sanksi kepada
setiap orang/kelompok orang yang melakukan kekerasan kepada migrant workers.
Menyimak apa yang telah dipaparkan di atas, nyatalah bahwa human
trafficking sangat penting untuk diperhatikan dan ditangani bersama. Untuk itu,
lembaga-lembaga internasional telah pula mengatur masalah tersebut dalam
instrumen internasional.
Dalam Article 3 Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In
Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime, trafficking diartikan sebagai
berikut :
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Trafficking in persons shall mean the recruitment, transportation,transfer,
harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other
forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a
position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to
achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose
of exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation,
forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the
removal of organs. (Perdagangan orang berarti perekrutan, pengangkutan,
pergantian, pengiriman atau penerimaan orang, baik dengan menggunakan ancaman
ataupun paksaan atau bentuk dan cara lain dari kekerasan, abdosi, penipuan atau tipu
muslihat, atau dengan kekerasan/kekasaran dari kekuatan pada suatu posisi yang
pada akhirnya menimbulkan luka atau dengan memberikan atau menerima
pembayaran dan keuntungan untuk mencapai izin sehingga bisa mengendalikan
seseorang yang satu dengan yang lainnya, untuk tujuan mengeksploitasi dan
pelacuran dan segala bentuk dari eksploitasi seksual, paksaan terhadap pekerja dan
pelayanan, perbudakan dan berbagai praktek yang sama dengan perbudakan, kerja
paksa ataupun penjualan organ tubuh).
Pengertian Trafficking in persons memiliki berbedaan dengan apa yang
disebut sebagai smuggling, yang diartikan sebagai berikut : Smuggling of
migrants shall mean the procurement, in order to obtain, directly or indirectly, a
financial or other material benefit, of the illegal entry of a person into a State Party
of which the person is not a national or permanent resident.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dari paparan pengertian tersebut di atas, terdapat peerbedaan yang cukup
tajam antara Trafficking in persons dengan smuggling. Smuggling lebih
menekankan pada pengiriman secara illegal orang(-orang) dari suatu negara ke
negara lain, yang menghasilkan keuntungan bagi smuggler. Dalam pengertian
smuggling tidak terkandung adanya eksploitasi terhadap orang (-orang).
Mungkin akan terjadi bahwa akan terdapat korban dalam pengiriman itu, tetapi
itu bukanlah merupakan hal yang mendasar. Inti dari pengertian smugglingadalah
adanya pengiriman (transport) orang (-orang) secara illegal dari suatu negara ke
negara lain. Sedangkan Trafficking memiliki target khusus, yaitu orang (-orang)
yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Dengan demikian, sejak awal telah
terdapat keinginan untuk mengekploitasi orang (-orang). Adanya unsur deception
dan coercion merupakan unsur yang esensiil dalam Trafficking in persons.
58
Satu instrumen lagi yang perlu mendapatkan perhatian adalah South Asian
Association for Regional Cooperation (SAARC) Convention on Preventing and
Combating Traffiking in Women and Children for Prostitution.

59

58
Frank Laczko, Amanda Klekowski von Koppenfels dan Jana Barthel, Trafficking in Women
from Central and Eastern Europe: A Review of Statistical Data, European Conference On Preventing
AndCombating Trafficking In Human Beings: Global Challenge For 21 st Century, Brussels,
Belgium, September 2002, hal. 2.
59
SAARC diadopsi pada Bulan Januari 2002, dengan negara anggota: Bangladesh, Bhutan,
India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka.

SAARC
dimaksudkan untuk mencegah dan membasmi perdagangan wanita dan anak,
dengan tujuan untuk prostitusi. Sangat disadari bahwa di wilayah Asia Selatan telah
banyak terjadi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi, yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi. Oleh karena itu,
negara-negara yang tergabung dalam SAARC, diharuskan untuk melakukan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


pemberantasan dan pencegahan terhadap aktivitas ini, dengan cara menetapkan
aktivitas ini sebagai kejahatan yang dapat dipidana.
B. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) menurut KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Meski UU tentang Hak Asasi Manusia, yang menjadi payung dalam
perlindungan HAM di Indonesia baru diundangkan dan diberlakukan pada tahun
1999, namun bukan berarti sebelumnya tidak ada peraturan perundang-undangan
yang memberikan perlindungan HAM, khususnya dalam masalah human
Trafficking. Dalam KUHP yang mulai berlaku pada tahun 1918
60
Dalam memahami pasal ini sangat penting untuk diketahui arti dari kata
memperniagakan. Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan
penjelasan mengenai kata ini. R. Soesilo dalam penjelasan terhadap pasal ini
dapat dijumpai
sejumlah pasal yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahan pun perdagangan
manusia dianggap sebagai perbuatan yang tidak manusiawi yang layak mendapat
sanksi pidana.
1. Pasal 297 KUHP
Seperti telah disebutkan di atas, Pasal 297 KUHP secara tegas melarang dan
mengancam dengan pidana perbuatan memperdagangkan perempuan dan anak laki-
laki. Ketentuan tersebut secara lengkap berbunyi: Memperniagakan perempuan dan
memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya
enam tahun.

60
KUHP Indonesia asalnya adalah Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie
(Staatsblad 1915 No. 732), yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


mengatakan bahwa:
61
Apabila penjelasan Soesilo ini digunakan sebagai pegangan untuk menafsirkan
pasal 297 KUHP, maka ruang lingkup pasal tersebut menjadi sempit, karena hanya
mencakup perdagangan perempuan untuk tujuan prostitusi. Akan tetapi penjelasan
Soesilo ternyata diperkuat oleh Noyon-Langemeyer (jilid II halaman 542) seperti
dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro, yang secara tegas mengatakan bahwa:
yang dimaksudkan dengan perniagaan atau perdagangan
perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk
menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya
mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan ke luar negeri yang
maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran
62
perdagangan perempuan harus diartikan sebagai: semua perbuatan yang langsung
bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan tergantung dari
kemauan orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan
perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga (prostitusi). Terhadap penjelasan
Noyon-Langemeyer ini, Wirjono Prodjodikoro menyimpulkan bahwa dalam
pengertian tersebut tidak termasuk suatu perdagangan budak belian pada
umumnya.

63

61
R. Soesilo, 1995, KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor:
Politea), hal.217.
62
Wirjono Prodjodikoro, 1980, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung: PT Eresco),
hal.128.
63
Ibid., hal 129.

Dengan penjelasan-penjelasan itu, menjadi terang bagi kita bahwa Pasal 297
KUHP pada dasarnya memang terbatas bagi perdagangan perempuan (dan anak
laki-laki di bawah umur) untuk tujuan prostitusi. Kesimpulan ini tentunya akan
menjadi lebih kuat lagi apabila kita lihat dari penempatan Pasal 297 KUHP dalam
Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dan berada dibawah Pasal 296 KUHP
tentang mucikari.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dengan kondisi seperti ini, akan timbul pertanyaan sehubungan dengan
banyaknya kejadian dalam masyarakat yaitu perdagangan perempuan bukan untuk
tujuan prostitusi; apakah berarti tidak mungkin dijerat dengan pasal ini? Pertanyaan
yang selanjutnya muncul adalah apakah penerapan suatu pasal, hanya dapat
dilakukan sesuai dengan tujuan pembentukannya,walaupun kondisi masyarakat
sudah berubah dan menuntut lebih dari itu?
Permasalahan lain yang ada dalam pasal ini adalah tentang batas usia belum
dewasa bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP
tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum
dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di
bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di
bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan usia 12
tahun, 15 tahun, 17 tahun. Dengan demikian tidak ada patokan yang jelas untuk
unsur ini. Apabila kita berpegang pada usia dewasa menurut BW, maka belum
berusia 21 tahun atau belum menikah lah yang menjadi batas untuk menentukan
bahwa orang tersebut belum dewasa. Akan tetapi bila kita mengikuti UU
Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), maka batas usia belum dewasa adalah belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
64
Mengenai hal ini tentunya harus ada satu ketentuan yang tegas tentang batasan
usia, karena ketentuan yang ada menentukan batasan yang berbeda-beda sesuai
dengan hal yang akan diatur dan tujuan yang ingin dicapai.


64
Lihat Pasal 47 UU No. 1/1974, yang mengatakan bahwa anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


2. Pasal 301 KUHP
Pasal ini melarang dan mengancam pidana paling lama 4 tahun penjara,
seseorang yang menyerahkan atau membiarkan tinggal pada orang lain, seorang
anak yang umurnya di bawah 12 tahun yang dibawah kuasanya yang sah, sedang
diketahuinya anak itu akan dipakai untuk atau akan dibawa waktu mengemis atau
dipakai untuk menjalankan perbuatan kepandaian yang berbahaya atau pekerjaan
yang berbahaya atau pekerjaan yang merusakkan kesehatan.
Pasal ini khusus bagi perbuatan yang korbannya adalah anak-anak di bawah 12
tahun, dengan pelakunya adalah orang yang mempunyai kuasa yang sah atas anak
tersebut, misalnya orang tua, wali. Bila kita hubungkan dengan Pasal 297 KUHP,
maka pasal ini subyeknya terbatas pada orang yang punya kuasa yang sah terhadap
anak tersebut; batasan usia korban lebih jelas yaitu di bawah 12 tahun; dan tujuan
pemindahan penguasaan si anak lebih luas, tidak semata-mata untuk prostitusi.


3. Pasal 324 KUHP
Pasal ini melarang perdagangan budak belian, dengan sanksi pidana penjara
selama-lamanya 12 tahun
65

65
R. Soesilo, perbudakan di Indonesia secara hukum sudah dihapus sejak 1 Januari 1860
(berdasarkan pasal 169 Indische Staatsregeling)
. Meskipun yang menjadi obyek dari larangan dalam
Pasal 324 sudah dihapus secara hukum, tetapi sampai saat ini pasal tentang larangan
perdagangan budak belian ini belum dicabut. Hal ini dapat dimengerti karena dalam
kenyataannya praktik perdagangan budak terus berlangsung, baik pada jaman
penjajahan maupun dalam alam kemerdekaan. Kata perdagangan dalam pasal ini
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


tidak harus ditafsirkan membeli dan kemudian menjualnya kembali. Perbuatan
membeli saja atau menjual saja sudah masuk dalam lingkup ketentuan pasal ini.
Disamping itu juga dalam pasal ini ada unsur keterlibatan pelaku tidak harus
langsung, bahkan lebih dipertegas lagi dengan adanya unsur turut campur dalam
perdagangan budak belian ini diancam pidana yang sama. Kata turut campur dalam
pasal ini harus diartikan sebagai terjadinya penyertaan yang diatur dalam Bab V
Buku I KUHP, yang bentuknya dapat berupa menyuruh, menggerakkan, turut
melakukan ataupun membantu melakukan. Bagi mereka peserta itu berarti diancam
pidana yang sama dengan pelaku.
66

66
Khusus untuk pembantuan, berarti ada penyimpangan dari asas pemidanaan untuk
pembantuan. Lihat Pasal 57 ayat (1) KUHP: selama-lamanya pidana pokok bagi kejahatan dikurangi
dengan sepertiganya, dalam hal membantu melakukan kejahatan.


Jadi lingkup keberlakuan pasal ini sangat luas, padahal 3 pasal berikut setelah
pasal ini, yaitu Pasal 325, 326 dan 327 KUHP telah mengatur perbuatan-perbuatan
orang tertentu yang terlibat secara khusus dalam tindak pidana Pasal 324.
4. Pasal 325 KUHP
Pasal ini melarang nakhoda menggunakan kapalnya untuk mengangkut budak
belian, dengan sanksi pidana penjara selama-lamanya 12 tahun; dan kalau sang
budak meninggal ia dikenai pidana 15 tahun penjara.
Pasal ini berlaku khusus bagi nakhoda yang terlibat dalam perdagangan budak
belian. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah (1) menjalankan pekerjaan
sebagai nakhoda padahal mengetahui kapal digunakan untuk menjalankan
perdagangan budak belian; atau (2) memakai kapal untuk perdagangan budak belian.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Apabila dianalisis perbuatan yang diancam pidana dan menghubungkannya
dengan berbagai bentuk penyertaan yang diatur dalam Bab V Buku I KUHP, maka
dapat disimpulkan bahwa untuk perbuatan pertama nakhoda berkedudukan sebagai
orang yang membantu melakukan tindak pidana Pasal 324 KUHP. Sementara bila
perbuatan jenis kedua yang dilakukan, maka dalam konstruksi penyertaan nakhoda
adalah seorang pelaku atau orang yang turut melakukan. Satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah adanya penyimpangan pemidanaan dari asas pembantuan.
Tidak seperti yang ditetapkan dalam Pasal 57 KUHP, nakhoda yang membantu
dalam tindak pidana perdagangan budak diancam pidana yang sama dengan
pelakunya. Bahkan ada pemberatan baginya yang tidak dikenakan pada pelaku
tindak pidana Pasal 324 KUHP sekalipun dengan ancaman pidana menjadi
selama-lamanya 15 tahun penjara bila ada budak yang mati karena pengangkutan
yang dilakukannya.
5. Pasal 326 KUHP
Pasal ini mengancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun bagi
mereka yang bekerja sebagai anak buah kapal padahal mengetahui bahwa kapal itu
dipakai untuk perdagangan budak belian. Pasal yang berlaku khusus bagi anak buah
kapal
67

67
Menurut Pasal 93 ayat (3) KUHP, anak buah kapal (perahu) adalah sekalian orang yang ada
di kapal (perahu) menjadi opsir atau kelasi.
ini melarang perbuatan (1) masuk bekerja sebagai anak buah kapal padahal
mengetahui kapal digunakan untuk perdagangan budak; (2) dengan kemauan sendiri
tetap menjadi anak buah kapal sesudah mengetahui kapal digunakan untuk
perdagangan budak. Apabila dikaitkan dengan konsep penyertaan, maka keterlibatan
anak buah kapal adalah sebagai orang yang membantu melakukan tindak pidana
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Pasal 324 KUHP. Seperti juga halnya dengan nahkoda, ancaman pidana bagi anak
buah kapal yang berkedudukan sebagai pembantu tindak pidana, nampaknya
ditetapkan secara khusus. J adi menyimpang dari asas pembantuan, yang mengurangi
1/3nya dari pidana bagi pelaku. Akan tetapi bila dibandingkan dengan nahkoda atau
ketentuan turut campur (dalam hal ini membantu) dalam tindak pidana Pasal 324
KUHP, ancaman pidana bagi anak buah kapal jauh lebih ringan.
Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah ketentuan konsep gabungan
tindak pidana yang pasti harus dipergunakan apabila kita menghadapi persoalan
tindak pidana oleh anak buah kapal ini. Pada saat itu akan ada 2 ketentuan yang
mungkin diterapkan, yaitu Pasal 324 KUHP dan Pasal 326 KUHP untuk satu
perbuatan yang dilakukan. Dalam penentuan ancaman pidananya diperlukan
kecermatan untuk memilih apakah Pasal 324 KUHP atau Pasal 326 KUHP yang
harus kita pergunakan.
68
6. Pasal 327 KUHP
Bila kita berpegang pada ketentuan Pasal 63 ayat (1) maka
pidana penjara 12 tahun yang harusdiancamkan. Akan tetapi dengan mengingat sifat
ketentuan umum (Pasal 324 KUHP) dan khusus (Pasal 326 KUHP), maka ancaman
pidananya hanya 9 tahun sesuai bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP.
Pasal ini melarang orang dengan biaya sendiri atau orang lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung, turut campur dalam menyewakan, memuati atau
menanggung asuransi sebuah kapal yang diketahuinya dipakai untuk menjalankan
perdagangan budak belian; sanksinya penjara selama-lamanya 8 tahun. Tidak

68
Sebenarnya kasus ini juga dijumpai pada saat kita menggunakan pasal 325 KUHP.Akan
tetapi karena ancaman pidana, baik pasal 324 maupun 325 adalah 12 tahun maka tidak menjadi
terlampau menimbulkan persoalan. Walaupun demikian, dalam hal tersebut tetap pasal 325 yang
harus dijadikan dasar penentuan pidana 12 tahun itu, sesuai Pasal 63 ayat (2) KUHP.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


berbeda dengan 2 Pasal sebelumnya, pasal ini mengancam dengan pidana
keterlibatan seseorang dalam tindak pidana perdagangan budak dengan cara turut
campur dalam (1) menyewakan, (2) memuati atau (3) menanggung asuransi kapal
yang diketahuinya dipakai untuk perdagangan budak belian. Dibandingkan dengan 2
Pasal sebelumnya, yaitu Pasal 325 dan 326 KUHP, pidana yang diancamkan paling
ringan, yaitu 8 tahun sejalan dengan asas pembantuan, pidana pokok Pasal 324
KUHP dikurangi 1/3nya.
Sama halnya dengan permasalahan dalam Pasal 326 KUHP bila dihadapkan
dengan Pasal 324 KUHP, maka yang harus diberlakukan adalah Pasal 327 bila yang
disewakan, dimuati, diasuransikan adalah kapal. Sebaliknya bila alat transportasinya
selain kapal, maka Pasal 324 yang berlaku.
7. Pasal 328 KUHP
Pasal ini melarikan atau menculik orang; sanksinya pidana penjara selama-
lamanya 12 tahun. Pasal ini bukan pasal yang langsung mengatur tentang
perdagangan manusia, tetapi berkaitan erat dengan perdagangan manusia, karena
penculikan merupakan salah satu cara untuk membawa korban masuk
dalamperdagangan manusia. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah
melarikan atau menculik orang. Pada waktu melarikan atau menculik itu, si pelaku
harus mempunyai maksud untuk membawa korban dengan melawan hak di bawah
kekuasaannya sendiri atau kekuasaan orang lain atau menjadikannya terlantar. Oleh
karena melarikan atau menculik orang ini merupakan salah satu cara untuk
membawa korban dalam perdagangan manusia, maka apabila terjadi perdagangan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


manusia melalui cara ini, si pelaku akan dikenai ketentuan gabungan tindak pidana
(Pasal 65 KUHP).
8. Pasal 329 KUHP
Pasal ini menetapkan sanksi pidana penjara selama-lamanya 7 tahun pada
orang yang dengan sengaja dengan melawan hak membawa orang ke tempat lain
dari yang dijanjikan untuk bekerja. Pasal ini dimaksudkan untuk menanggulangi
masalah penipuan dalam mencari pekerjaan. Bila dihubungkan dengan masalah
human trafficking, maka unsur yang penting dan harus dibuktikan adalah
penipuannya itu karena pada awalnya pasti telah ada persetujuan dari korban untuk
dibawa bekerja ke suatu tempat. Hal ini Perlu mendapat perhatian, karena pada
dasarnya perdagangan manusia harus tanpa persetujuan korban.
9. Pasal 330 KUHP
Pasal ini melarang orang melarikan orang yang belum dewasa dari kuasanya
yang sah, dengan sanksi pidana penjara selama-lamanya 7 tahun, dan apabila
dilakukan dengan tipu daya atau kekerasan atau ancaman kekerasan, atau korbannya
berumur dibawah 12 tahun, sanksinya ditambah menjadi 12 tahun. Pasal ini serupa
dengan Pasal 328, yang merupakan salah satu cara untuk membawa korban masuk
dalam perdagangan manusia. Hal yang membedakannya adalah orang yang dilarikan
masih belum dewasa dan tidak ada unsur maksud membawa orang itu dengan
melawan hak di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain atau agar orang itu
terlantar. Satu unsur penting yang harus dapat dibuktikan dari pasal ini adalah
pelaku yang melarikan korban; dan bukan korbannya sendiri yang melarikan diri
atas kemauannya.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


10. Pasal 331 KUHP
Pasal ini mengancam dengan sanksi pidana penjara selama-lamanya 4 tahun
atau 7 tahun, jika umur si anak kurang dari 12 tahun, orang yang dengan sengaja
menyembunyikan orang belum dewasa yang dicabut atau mencabut dirinya dari
kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang sah menjaganya. Perbuatan
yang dilarang dalam pasal ini adalah menyembunyikan korban yang telah dicabut
dari kekuasaan yang sah atas anak itu. Pencabutan atas kuasa yang sah mungkin
dilakukan oleh si anak atas kemauannya sendiri atau oleh orang selain si pelaku,
atau oleh si pelaku sendiri. Walaupun perbuatan itu dilakukan tanpa didahului oleh
cara-cara yang secara limitatif ditentukan dalam definisi perdagangan manusia
menurut protocol, asalkan penyembunyian itu dimaksudkan untuk eksploitasi maka
dapat dikategorikan sebagai human trafficking.
69
11. Pasal 332 KUHP

Pasal ini mengancam dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun, orang
yang melarikan perempuan yang belum dewasa tanpa persetujuan orang tua atau
walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu dengan maksud memilikinya dengan
atau tanpa nikah. Ancaman pidananya menjadi 9 tahun bila perbuatan itu dilakukan
terhadap perempuan melalui tipu, kekerasan atau ancaman kekerasan. Perbuatan
yang dilarang dalam pasal ini adalah melarikan perempuan. Seperti halnya pada
Pasal 331, bila si perempuan belum dewasa meskipun dengan kemauannya sendiri,
maka perbuatan itu dapat masuk kategori perdagangan perempuan bila tujuan

69
Harus kembali diingat, definisi human trafficking menurut protocol II mengecualikan
digunakannya sarana-sarana yang ditentukan secara limitative, selama korbannya dibawah usia 18
tahun dan dilakukan untuk tujuan eksploitasi.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


melarikan itu untuk dieksploitasi. Sementara bila pelarian itu dengan persetujuan si
perempuan setelah digunakannya tipu, kekerasan, atau ancaman kekerasan, dapat
masuk pula dalam kategori perdagangan manusia asalkan tujuannya untuk
eksploitasi. Hal ini selaras dengan pengecualian dalam ketentuan dari protocol yang
mengatakan bahwa persetujuan dari korban untuk dieksploitasi harus dianggap tidak
pernah ada, bila untuk memperolehnya digunakan cara-cara seperti kekerasan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan. Dalam penggunaan ketiga pasal di atas, perlu
digarisbawahi batasan usia belum dewasa dari si korban. R. Soesilo dalam KUHP
terjemahannya selalu menyatakan, belum dewasa adalah belum umur 21 tahun atau
belum pernah kawin.
70
12. Pasal 333 KUHP
Sementara seperti telah dipaparkan di atas UU Perkawinan
menentukan belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah sebagai batasan
usia belum dewasa. Protocol II mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di
bawah 18 tahun. Adanya lebih dari satu batasan usia belum dewasa dengan kriteria
yang berbeda-beda akan menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum.
Pasal ini menetapkan sanksi pidana penjara selama-lamanya 8 tahun bagi orang
yang merampas kemerdekaan orang lain, dan yang memberikan tempat menahan
orang itu. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah dengan sengaja (1)
merampas kemerdekaan (menahan) seseorang atau (2) meneruskan penahanan atau
(3) memberikan tempat untuk menahan, dengan melawan hak.

70
Lihat R. Soesilo dalam menjelaskan pasal 330 dan 332 KUH, KUHP serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Perbuatan merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan penahanan
(yang berarti menyembunyikan) merupakan perbuatan yang masuk dalam lingkup
perdagangan manusia, bila dilakukan untuk tujuan eksploitasi dan dilakukan dengan
cara ancaman kekerasan, kekerasan, paksaan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan
atau posisi rentan.
Sedangkan untuk perbuatan memberikan tempat untuk menahan, berarti dapat
masuk kategori membantu perdagangan manusia, karena ia memberikan sarana
untuk terjadinya tindak pidana itu. Ancaman pidana bagi orang yang membantu
tindak pidana Pasal 333 KUHP adalah sama dengan pelaku, yaitu pidana penjara
selama-lamanya 8 tahun. Berarti disini juga terjadi penyimpangan terhadap asas
pembantuan.
Dalam Rancangan KUHP juga telah dirumuskan beberapa pasal yang
berkaitan dengan perdagangan manusia. Pasal-pasal dalam RUU KUHP ini pada
dasarnya bertitik tolak dari KUHP yang sekarang berlaku, seperti yang telah
dipaparkan di atas. Hanya saja ada beberapa yang diubah baik mengenai unsurnya
maupun ancaman pidananya; meskipun tidak sedikit pula yang sama presis dengan
ketentuan KUHP yang berlaku.
Adapun Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut
KUHP, yaitu sebagai berikut:
a. Memperniagakan anak perempuan dan anak laki-laki (untuk tujuan
Prostitusi), terdapat dalam Pasal 297 KUHP
b. Menyerahkan anak untuk dieksploitasi, terdapat dalam Pasal 301 KUHP
c. Memanjakan Perniagaan Budak, terdapat dalam Pasal 324 s/d 328 KUHP
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


d. Melarikan orang (penculikan), terdapat dalam Pasal 328
e. Dengan melawan dan membawah orang ketempat lain dari yang di janjikan
untuk melakukan suatu pekerjaan pada tempat tertentu, terdapat dalam Pasal
329 KUHP
f. Dengan sengaja mencabut orang belum dewasa dari kuasanya yang syah
(penjualan Bayi), terdapat dalam Pasal 330 dan 227 KUHP
g. Menyembunyikan orang dewasa yang dicabut dari kuasanya yang syah,
terdapat dalam Pasal 331 KUHP
h. Melarikan perempuan (anak-anak dan dewasa), terdapat dalam Pasal 332
KUHP
i. Merampas kemerdekaaan orang atau meneruskan penahanan dengan
melawan hukm, terdapat dalam Pasal 333 KUHP
j. Dengan melawan hak memaksa untuk melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan diperlukan, terdapat dalam Pasal 335 KUHP
k. Setiap orang menggerakkan, membawa, menempatkan atau menyerahkan
laki-laki dibawah umur 18 tahun atau perempuan kepada orang lain untuk
melakukan perbuatan cabul atau pelacuran atau perbuatan melanggar
kesusilaan lainnya, sanksi penjara 7 tahun atau denda, terdapat dalam Pasal
433 ayat (1) KUHP
l. Dengan menjanjikan perempian tersebut memperoleh pekerjaan, tetapi
ternyata diserahkan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul,
palacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan pidana lainnya, maka pidana
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


penjara menjadi paling lama 9 tahun, terdapat dalam Pasal 433 ayat (2)
KUHP.
C. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) menurut Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2007
Undang-undang ini mencakup pelanggaran pidana perdagangan orang
yang diawali tindakan perekrutan, pengangkatan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Dengan hadirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, setiap
pelanggaran perdagangan orang diberikan sanksi pidana penjara dan pidana denda.
Sehingga mampu menjerat dan menghukum yang sepadan para pelaku kejahatan
perdagangan orang, agar pelaku baik perorangan maupun korporasi dapat jera untuk
melangkah melakukannya.
Adapun Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang ini terdiri dari 9 Bab yang meliputi 67 Pasal,
yang pada intinya mencakup Pencegahan, Pemberantasan dan Penanganan, yang
terdiri dari 2 aspek, yatiu:
a. Aspek Non Pro Justisia, yaitu;
a. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


b. Aspek Pencegahan dan Penanganan
c. Aspek Kerja sama dan Peran serta Masyarakat
b. Apek Pro Justisia, yaitu; Merupakan Aspek Pemidanaan atau Hukum Materil
dan Aspek Hukum Acara Pidana
Adapun secara menyeluruh Undang-undang ini berisi dan menceritakan
tentang beberapa aspek yang terdapat di dalam beberapa pasal berikut ini
71
1. Aspek Tindak Pidana Perdagangan Orang
;
Secara garis besar aspek ini memuat tentang berbagai macam dan cara
serta jenis-jenis dari Tindak Pidana Perdagangan orang yang dimulai dari
perekrutan, pengangkutan hingga nantinya diperkerjakan, baik itu yang ditujukan ke
dalam atau ke luar negeri, yang mana baik itu dilakukan dengan unsur penipuan,
pembujukan, pemanfaatan ataupun kekerasan bahkan yang dilakukan secara
korporasi, yang mana kesemuanya itu terdapat didalam Pasal 2 hingga Pasal 18
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini. Pada Pasal 2 hingga Pasal 18 Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2007 ini, pada dasarnya berisikan mengenai ketentuan-
ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, baik
Pidana Penjara, Kurungan ataupun Denda. Bagi pelaku Human Trafficking yang
melakukan tindak pidana baik yang mengakibatkan seseorang mengalami
eksploitasi ataupun yang melakukan kegiatan perdagangan orang yang dimulai dari
percobaan, pemanfaatan, pengiriman bahkan korporasi terhadap tindak pidana
perdagangan orang akan dijatuhkan pidana denda paling sedikit 120 juta rupiah dan

71
UU Nomor 21 Tahun 2007, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


paling banyak 600 juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama seumur hidup.

2. Aspek Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Aspek ini bercerita mengenai berbagai Tindak Pidana Kejahatan yang
bersifat menghalangi pemeriksaan terhadap kejahatan perdagangan orang yang
terjadi, atau dengan kata lain berusaha mencegah, merintangi dan bahkan
menggagalkan suatu penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka, dan juga aspek ini berisikan berbagai tindak pidana lain yang terjadi dan
mendukung terhadap terjadinya tindak pidana kejahatan perdagangan orang, yang
mana aspek ini dimulai dari pasal 19 hingga 27 Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007. Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa berbagai tindakan yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang dan bahkan bersifat menghalangi akan
dipidana dengan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 600
juta rupiah, dan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun.
3. Aspek Penyidikan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan
Aspek ini berisikan mengenai Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana perdagangan Orang, termasuk
didalamnya pemeriksaan alat bukti, saksi dan korban. Aspek ini dimulai dari pasal
28 hingga pasal 42 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.
4. Aspek Perlindungan Saksi dan Korban
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Didalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, seorang korban dan saksi
perlu mendapat perlindungan sebagaimana tercantum, antara lain:


1. Ruang Pelayanan Khusus (Pasal 45)
2. Pusat Pelayanan Terpadu (Pasal 46)
3. Mekanisme Pembayaran Restitusi (Pasal 48-50)
4. Rehabilitasi untuk pemulihan Korban (pasal 51)
5. Rumah Perlindungan sosial/pusat trauma (Pasal 52)
Disinilah sangat penting peran masyarakat untuk membantu memberikan
perlindungan kepada saksi korban. Adapun aspek ini meliputi Pasal 43 hingga pasal
55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.
5. Aspek Pencegahan dan Penanganan
Aspek ini meliputi 2 hal yaitu:
a. Program Pencegahan (Pasal 57)
b. Pembentukan Gugus Tugas (Pasal 58)
6. Aspek Kerjasama Internasional Dan Peran Serta Masyarakat
Dalam Aspek ini berisikan tentang berbagai upaya dari Pemerintah dengan
mengadakan Kerjasama Internasional dalam menyelenggarakan pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Aspek ini juga bercerita
mengenai peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan korban
tindak Pidana perdagangan Orang. Aspek ini terdapat dalam Pasal 59 hingga 63
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


7. Aspek lain yang meliputi:
a. Ketentuan Umum (Pasal 1)
b. Ketentuan Peralihan (Pasal 64)
c. Ketentuan Penutup (Pasal 65-67)
D. Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) menurut
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2004 Propinsi Sumatera Utara.
Ada beberapa definisi tentang trafiking in person (perdagangan perempuan
dan anak), tetapi yang paling banyak diadopsi pengertiannya di Indonesia adalah
dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafiking in Persons Especially
Women and Children, supplementing the United National Convention Againt
Transnational Organiced Crime yang menyatakan bahwa:
72
Trafiking in person adalah rekruitmen, transportasi, pemindahan,
penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau
pencurangan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang retan, ataupun
penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut, untuk dieksploitasi,
minimalnya dieksploitasi untuk prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual
lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang
menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ tubuh.


72
www.biropemberdayaanperempuan.com, hal 1
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Masalah perdagangan perempuan dan anak sebenarnya sudah cukup lama
berlangsung, namun belum menjadi perhatian yang serius. Kasus tersebut
belakangan ini semakin merebak dan semakin tidak berperikemanusiaan dalam
bentuk-bentuk eksploitasi korban seperti perbudakan dan pengambilan organ tubuh.
Tindakan ini jelas illegal dan melanggar hak-hak azasi manusia. Disamping itu
dampaknya sangat besar dan berjangka panjang, seperti gangguan fisik dan mental,
rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan tidak dikehendaki, infeksi HIV/AIDS
dan penyakit-penyakit menular seksual lainnya dan sebagainya.
Mengingat rantai perdagangan perempuan dan anak ini panjang, kuat,
terorganisir, lintas daerah/negara, maka upaya pemberantasannya memerlukan
kebijakan, strategi dan program yang komprehensif, responsif gender, berbasis
HAM dan faktor penyebab, terintegrasi, multisektor dan berkelanjutan.
73
Trafficking merupakan perbudakan modern di Abad 21, banyak korban
trafiking menderita dan dampak negatif dari kegiatan itu. Oleh karenanya harus
dihapuskan karena:

a. Trafiking melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
b. Trafiking untuk industri seks selain menimbulkan dampak kemanusiaan,
biaya sosial maupun ekonomi yang tinggi, juga menyebarkan penyakit
kelamin dan HIV/AIDS.
c. Trafiking untuk tujuan pelacuran anak, merampas hak, masa depan dan
merusak SDM.

73
Ibid hal 2
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


d. Trafiking sering terjadi karena dokumen imigrasinya tidak lengkap,
dipalsukan, dirampas agen atau majikan, korbannya mendapat perlakuan
hukuman.
e. Trafiking banyak memasukkan migran yang kurang berkualitas,
f. Perempuan dan Anak adalah yang paling banyak menjadi korban Trafiking,
menjadikan mereka beresiko jelek, mengancam kualitas penerus bangsa.
Dalam menyikapi masalah trafiking perempuan dan anak, Pemerintah
Indonesia telah menyatakan komitmen, yang salah satunya adalah lahirnya RAN
(Rencana Aksi Nasional) Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan
Anak dan Pembentukan Gugus Tugas Nasional yang tertuang dalam Keppres No.
88 Tahun 2002, serta berbagai kebijakan lainnya yang bertujuan untuk
menyelamatkan perempuan dan anak dari berbagai bentuk ketindasan. Disamping
itu terdapat pula kebijakan koordinasi penanganan korban kekerasan secara nasional
seperti adanya Kesepakatan Bersama antara Meneg PP, Menkes, Mensos dan
Kapolri tentang pelayanan terpadu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
termasuk korban kekerasan-trafiking. Rancangan Undang-undang tentang trafiking
atau perdagangan orang juga sudah lama bahas di DPR-RI dan kini semakin
diintensifkan guna percepatan penetapannya.
Di Sumatera Utara hasil dari perjuangan dan kerja keras bersama dari
segenap pihak telah dapat menerbitkan 2 Perda antara lain Perda No. 5 Tahun 2004
tentang Pencegahan dan Penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi
anak dan Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Perempuan dan Anak. Kita semua berharap kedua Perda ini dapat dijadikan payung
dan kekuatan hukum untuk mencegah dan menindak pelaku-pelaku trafiking.
Pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan anak ini
harus melibatkan semua pihak : Pemerintah, keluarga dan lingkungan terdekat,
masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, ormas, organisasi
profesi), juga penyelenggara negara lainnya (legislatif dan yudikatif) yang
dilaksanakan secara terpadu dan terencana dengan baik.
Dalam rangka pengajuan konsep Ranperda, sebelumnya Biro
Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu bekerjasama dengan Instansi terkait dan
LSM telah beberapa kali mengadakan pertemuan untuk penyusunan Draft Ranperda
tentang penghapusan trafiking.
Penulisan kata trafiking dalam Perda ini yang berasal dari bahasa Inggris
yaitu trafficking yang sudah direduksi ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata
trafiking sebagaimana yang tercantum dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan
Anak. Hal tersebut untuk membedakan antara perdagangan orang dan perdagangan
barang. Istilah perdagangan adalah untuk perdagangan barang yaitu sale sedang
perdagangan perempuan dan anak disebut trafiking
Secara garis besar, maksud dan tujuan Ranperda tentang Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak ini diajukan/ diusulkan adalah:
74

74
Ibid hal 3

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


a. Sebagai respon terhadap komitmen global dan nasional mengenai upaya
pencegahan dan penghapusan segala bentuk perdagangan orang sekaligus
respon atas permasalahan trafiking yang terjadi di Sumatera Utara
b. Agar Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kab/ Kota,
masyarakat, LSM, dan organisasi sosial lainnya menyelenggarakan upaya
pencegahan, penghapusan dan penanggulangan terjadinya segala bentuk
trafiking perempuan dan anak.
c. Peraturan Daerah ini nantinya akan menjadi dasar pelaksanaan kegiatan
Gugus Tugas Daerah dalam rangka upaya pencegahan, penghapusan dan
penanggulangan trafiking perempuan dan anak.
d. Untuk melakukan tindakan segera dan berkesinambungan dalam upaya
pencegahan, penghapusan dan penanggulangan trafiking perempuan dan
anak mengingat semakin meningkatnya korban trafiking di Sumatera Utara
membina dan membangun kerjasama dan koordinasi pada tingkat pusat,
antar propinsi, antar instansi lintas sektor, organisasi masyarakat dan
pemerintah kab/ kota
Secara kronologis, perjalanan Perda No. 6 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak adalah sebagai
berikut:
75
Pada awal beroperasi Biro Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu
(pertengahan 2002) kami langsung dihadapkan dengan Rapat Regional untuk
penyusunan Draft RUU Trafficking yang diselenggarakan di Medan oleh


75
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI. Sejak itu kami mengamati fenomena
trafficking di Sumatera Utara dan berkeinginan kuat untuk mencegah dan
menanggulanginya. Akan tetapi kami masih sangat minim data/ informasi mengenai
hal tersebut.
Ternyata di lapangan, rekan-rekan LSM antara lain Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) dan Pusaka Indonesia telah melakukan penyusunan
konsep Perda Trafiking dan mendiskusikannya dengan instansi pemerintah yang
dianggap relevan seperti Biro Bina Sosial Setdapropsu dan Dinas Pemuda dan Olah
Raga Propsu.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, akhirnya kami bertemu dimana pihak
PKPA dan Pusaka Indonesia membawa konsep tersebut untuk kami bahas dan
usulkan bersama-sama. Akhirnya kami membentuk Tim Kecil yang terdiri dari LSM
secara terbatas dan instansi pemerintah yang juga terbatas.
Dalam pembahasan awal ini yang paling alot adalah menyamakan persepsi,
setelah sama maka selanjutnya pekerjaan ini menjadi lebih mudah dan lancar. Salah
satu faktor yang menguntungkan disini adalah bahwa pada dasarnya semua pihak
sependapat dan berkomitmen untuk membuat Perda tersebut, sehingga perbedaan
persepsi, pendapat dan sudut pandang yang didebatkan dengan alot tetap menuju
jalan searah sehingga tidak menjadi pemecah dalam Tim, bahkan menjadi penguat
jaringan kerja karena semakin mengenal satu sama lain.
Pembahasan demi pembahasan dilakukan oleh Tim bertempat di Biro
Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu. Hasil kerja Tim ini diajukan ke pertemuan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


besar dengan mengundang berbagai elemen secara luas, baik instansi pemerintah
maupun LSM
Semenjak disyahkannya Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak pada tanggal 6 Juli 2004 dan
diundangkan di Medan pada tanggal 26 Juli 2004, maka Propinsi Sumatera Utara
telah mempunyai perangkat hukum tentang penghapusan dan menentang trafiking
sekaligus sebagai upaya pencegahan.
Kegiatan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 3 pilar yang saling
berkaitan, yaitu peningkatan kapasitas, penyadaran masyarakat dan penguatan
jaringan kerja. Seluruh kegiatan diarahkan untuk upaya : pencegahan, penanganan
kasus/pelayanan korban (hukum, psikis dan medis), reintegrasi korban dan pasca
kasus/masa depan korban.

Kebijakan Pempropsu dalam Penghapusan Human Trafficking
terhadap Perempuan dan Anak
Gambaran Umum Kasus Trafficking di Sumatera Utara
Penyebaran kasus Trafficking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia
baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok
yang paling banyak menjadi korban Trafiking, hal ini akan mengancam kualitas
penerus bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya
dimata dunia.
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dalam masalah Trafficking ini, Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah
asal/pengirim sekaligus daerah transit dan daerah tujuan.
76
Secara menyeluruh kegiatan penanganan trafiking di Sumatera Utara
dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dan lembaga
donor, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam satu rangkaian
program/kegiatan yang disusun secara terpadu. Kegiatan yang dilakukan dapat
dikelompokkan dalam 3 pilar yang saling berkaitan, yaitu peningkatan kapasitas,
Hal ini berkaitan dengan
posisi geografis daerah Sumatera Utara yang strategis dan mempunyai aksesibilitas
tinggi ke jalur perhubungan dalam dan luar negeri serta kondisi perkembangan
daerah Sumatera Utara yang cukup baik di berbagai bidang.
Bentuk paktek Trafiking yang berkembang dan ditangani di Provinsi
Sumatera Utara sebagian besar untuk kepentingan prostitusi dan bentuk pekerjaan
terburuk seperti buruh perkebunan, pekerja anak di sektor perikanan lepas pantai,
pekerja rumah tangga, tempat hiburan malam, pengemis jalanan, serta
penculikan/penjualan bayi. Korban Trafiking ini pada umumnya berasal dari
keluarga miskin, berpendidikan rendah dari pinggiran kota dan pedesaan. Modus
operandinya sebagian besar adalah bujukan atau iming-iming, yang merupakan
pembohongan atau penipuan.

Upaya Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang di Sumatera Utara

76
http://www.Trafficking.co.id/arc/2007/6/14/Sumutdaerah-rafficking/, diakses tanggal 04
maret 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


penyadaran masyarakat dan penguatan jaringan kerja.
77
a. Upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan, antara lain :
Seluruh kegiatan diarahkan
untuk upaya : pencegahan, penanganan kasus/pelayanan korban (hukum, psikis dan
medis), reintegrasi korban dan pasca kasus/masa depan korban.
1. Penerbitan Peraturan Daerah No.5 tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak.
2. Penerbitan Peraturan Daerah No.6 tahun 2004 tentang Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
3. Penerbitan Peraturan Gubernur No.24 tahun 2005 tentang Rencana Aksi
Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak; serta
pembentukan Gugus Tugas Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak.
4. Sosialisasi Peraturan Daerah tersebut dan Peraturan yang berkaitan seperti
prosedur berkerja ke luar negeri, dll kepada aparat dan masyarakat.
5. Sosialisasi dan kampanye trafiking ke dan melalui tokoh agama, tokoh
masyarakat, organisasi kemasyarakatan/LSM dan masyarakat luas secara
langsung atau tatap muka.
6. Penyebarluasan informasi melalui leaflet dan poster.
7. Dialog interaktif baik langsung maupun melalui radio dan televisi.
8. Publikasi di berbagai event dan media, baik langsung maupun mendorong
insan pers untuk melakukannya melalui himbauan, pelibatan, pendekatan
personal hingga perlombaan.

77
http:/google/kebijakan-pempropsu-dalam-penghapusan-trafficking.com, diakses tanggal 04
maret 2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


9. Membuat pola koordinasi penanganan trafiking dan engimplementasikannya
10. Membentuk dan mengoperasikan Tim Pengarusutamaan Gender dan Tim
Pengendalian Pemberangkatan dan Pemulangan TKI.
11. Melakukan rapat-rapat koordinasi antar stakehorlders/anggota Tim dalam
rangka upaya pencegahan, termasuk dalam peningkatan pemeriksaan dan
proses dokumen dan keberangkatan.
12. Melakukan kerjasama kegiatan dan memperkuat sinergitas serta penyamaan
persepsi dalam upaya pencegahan.
13. Mendorong Kabupaten/Kota dan pihak berwenang dalam pemantauan
aktivitas keluar masuk orang/barang baik pada jalar-jalur resmi maupun tidak
resmi/tradicional, terutama pada sepanjang pantai selat Malaka.
14. Memperluas jaringan kerja ke luar daerah/negara untuk koordinasi,
konsultasi dan kerjasama.
15. Melaksanakan dan mengikuti berbagai pertemuan dalam dan luar
daerah/negara untuk peningkatan pengetahuan dan perluasan jaringan kerja.
16. Melakukan kegiatan pengembangan ketrampilan/pelatihan bagi anak/ remaja
putus sekolah.
17. Meningkatkan kegiatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan usaha
mikro dan kecil serta upaya peningkatan angka partisipasi sekolah.
b. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban, antara
lain :
78

78


www.ifip.org/penanggulangan/penyelamatan-perlindungan/korban, diakses tanggal 04 maret
2008
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


1. Penegakan hukum (penindakan pelaku ; penyelamatan, perlindungan dan
pendampingan korban)
2. Pelayanan bantuan hukum, psikologis dan medis
3. Perlindungan dan penampungan sementara,
4. Pelatihan/simulasi penanganan korban bagi stakeholders / anggota Tim
5. Sosialisasi, seminar, kampanye, konfrensi, dll, guna mengajak partisipasi
masyarakat dan semua pihak untuk menanggulangi masalah trafiking
(melaporkan, membantu aparat, membantu korban, dll)
6. Melakukan koordinasi antar stakeholders dalam dan luar daerah/negara
dalam upaya penanganan kasus dan pelayanan korban
c. Upaya yang dilakukan dalam rangka reintegrasi korban, antara lain :
1. Penguatan terhadap korban
2. Penguatan terhadap korban
3. Sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka upaya penerimaan korban
kembali ke masyarakat/keluarga.
4. Pendekatan terhadap keluarga korban untuk kesiapan keluarga untuk
menerima korban kembali.
5. Melakukan pemulangan korban ke daerah asal/keluarga.
6. Melakukan kerjasama antar stakeholders dalam upaya reintegrasi korban
d. Upaya yang dilakukan dalam rangka penataan masa depan korban, antara lain
1. Pelatihan ketrampilan bagi korban
2. Bantuan modal usaha/peralatan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


3. Melakukan koordinasi dan kerjasama dalam upaya membantu korban untuk
menata kehidupannya.
Kegiatan-kegiatan tersebut diatas semuanya telah dilakukan, namun belum
mampu menjangkau semua masyarakat dan semua korban, karena keterbatasan-
keterbatasan yang ada diberbagai bidang, baik SDM maupun dana, sarana dan
prasarana. Oleh karena itu Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mengembangkan
jaringan lebih luas lagi agar dapat melakukan kegiatan penanganan trafiking dengan
lebih luas pula.





BAB IV
PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
(STUDI DI POLTABES MEDAN)

A. Peran dan Tanggung Jawab Polisi dalam penanggulangan tindak pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Wilayah Hukum Kota Medan
Pada dasarnya Tindak Pidana Perdagangan Orang ini meliputi berbagai ruang
lingkup penegak hukum yang dimulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan hingga
berakhir di pengadilan melalui putusan Hakim. Tapi dalam kenyataanya yang sangat
berperan besar dalam mengungkap, mencari dan menemukan kasus-kasus Tindak
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Pidana Perdagangan Orang ini adalah pihak kepolisian, dikarenakan pihak
Kepolisianlah yang menerima dan memproses terlebih dahulu segala laporan
mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di masyarakat, dan juga
pihak Kepolisianlah yang mencari dan mencegah terjadinya kejahatan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di masyarakat, bahkan menangkap dan
memproses terlebih dahulu perkara atau kasus dari orang-orang yang dianggap
sebagai pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang ini. J adi secara garis besar, pihak
Kepolisian memiliki Peran dan Tanggung J awab yang besar di dalam menangani
kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di Kota Medan.
Didalam mengkaji dan menangani kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan
Orang ini, pihak Kepolisian tidak hanya bersifat menunggu terhadap laporan-
laporan dari kasus-kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilaporkan oleh
masyarakat, tetapi juga aktif di dalam mencari kasus-kasus Perdagangan Orang, dan
biasanya bila ada masyarakat yang dari luar Sumatera atau Medan yang merasa
ditipu dengan ditawarin pekerjaan, maka Kepolisian akan menyelidiki pihak-pihak
yang terkait. Pada awalnya pihak Kepolisian di dalam menangani kasus
Perdagangan Orang ini lebih mengutamakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
KUHP seperti yang terdapat di dalam Pasal 297 KUHP tentang Perdagangan Anak,
dan Pasal 324 KUHP tentang Perdagangan Budak dan pelaku juga dapat dijerat
dengan menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, tetapi setelah keluarnya undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka pihak Kepolisian pun sudah mulai beralih
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


dan menggunakan undang-undang yang baru ini di dalam menangani kasus-kasus
Tindak Perdagangan Orang.
79
Secara garis besar terdapat beberapa ketentuan atau pasal yang langsung
terkait dan berhubungan dengan peran Kepolisian didalam menindaklanjuti tindak
pidana perdagangan orang di Poltabes Medan, seperti tertuang didalam Pasal 28
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam pasal ini disebutkan mengenai peran
Kepolisian didalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang dalam hal
penyidikan yang harus sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Selain itu
juga terdapat ketentuan lain yang menyebutkan tentang peranan kepolisian, seperti
yang tertuang didalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 yang
menyebutkan bahwa korban perdagangan orang yang dipaksa untuk ikut di dalam
kejahatan perdagangan orang tidak dapat dipidana sepanjang terdapat bukti-bukti
yang cukup dan keterangan-keterangan yang jelas, maksudnya bagi para orang-
orang yang menjadi korban dari kejahatan tindak pidana perdagangan orang seperti
dipaksa untuk ikut dalam kejahatan perdagangan orang atau tanpa orang itu sadari
bahwa ia bekerja ditempat penampungan korban perdagangan orang tersebut, maka
bagi orang-orang tersebut pihak kepolisian menyatakan bahwa mereka tidak dapat
dipidana sepanjang pihak kepolisian tidak menemukan bukti-bukti dan keterangan
yang memberatkan bagi mereka.

80
Dalam hal pihak Kepolisian di dalam melakukan proses pemeriksaan dan
penyidikan terhadap kasus perdagangan orang ini, pihak kepolisian sangat
mengharapkan peran serta masyarakat bahkan korban sendiri dalam memberikan


79
Wawancara dengan Panit Lindung Poltabes MS Ipda Sah Udur S, tanggal 24 Maret 2008
80
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


informasi yang jelas sehingga dapat mempermudah dan memperlancar penyidikan.
Didasari kepada Pasal 22 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007, maka pihak
kepolisian dapat menangkap atau menjerat pihak-pihak atau orang-orang yang tidak
mau bekerja sama dengan Kepolisian sementara ia mengetahui tindak pidana
tersebut.
81
Didalam menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi di
Kota Medan ini, pihak Kepolisian berusaha mencegahnya dengan terus-menerus
memberikan penyuluhan-penyuluhan di sekolah-sekolah, dan di daerah-daerah atau
kawasan-kawasan masyarakat Kota Medan baik yang padat ataupun jarang
penduduknya, bahkan di daerah terpencil sekalipun, serta berdasarkan Hukum
menindak para Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan tegas untuk
membuktikan efek jera kepada yang lain.
Pasal ini sangat mendukung tugas Kepolisian di dalam menuntaskan
proses hukum dari pelaku perdagangan orang.
82
1. Poltabes LP/1770/X/2007/Tbs-Labuhan tanggal 24 Oktober 2007 tentang
terjadinya Tindak Pidana Memperdagangkan Anak Perempuan dibawah umur,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 KUHP Jo Undang-undang Nomor 23
Tahun tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atas nama Pelapor Nasaruddin
Harahap. Status kasus ini sendiri telah P-21, dalam arti telah sampai kepada
putusan oleh Hakim. Pada dasarnya kasus ini terjadi atas laporan Nasaruddin
Harahap kepada Poltabes Labuhan atas dasar penculikan terhadap anaknya oleh
Adapun beberapa Kasus perdagangan
orang yang pernah ditangani oleh Poltabes Medan dalam kurun waktu 2 tahum
terakhir ini, yaitu;

81
Ibid
82
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


tetangganya yaitu Sukawati. Kasus ini bermula ketika Endang yang masih
dibawa umur (15 tahun) dan duduk dikelas 1 Sekolah Menengah Atas ditawarin
pekerjaan dengan penghasilan tinggi oleh Sukawati tentangganya. Atas dasar
bujuk rayu dan penipuan akhirnya Sukawati berhasil membawa lari Endang.
Setelah itu pelapor atas nama Nasaruddin melaporkan hal tersebut ke Poltabes
Labuhan Batu, dan setelah dilakukan proses penyidikan dan pemeriksaan serta
pengejaran oleh pihak Kepolisian akhirnya tertangkaplah Sukawati. Sukawati
sendiri mengaku bahwa pada dasarnya Endang akan dijualnya atau
diperdagangkannya ke daerah Malang, J awa Timur sebagai PSK (Perempuan
Seks Komersil). Berdasarkan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian
didapatlah bahwa tindak kejahatan yang dilakukan oleh Sukawati merupakan
tindak pidana perdagangan orang yang memperdagangkan anak dibawah umur
untuk tujuan pelacuran. Setelah menempuh berbagai proses hukum mulai dari
pemeriksaan, penyidikan, penuntutan dan persidangan, akhirnya dijatuhilah
hukuman penjara selama 5 tahun melaui putusan hakim di pengadilan negeri
medan.
2. Poltabes LP/II/2008/Tabes Kota
Melanggar Pasal 2 Jo 10 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 Jo Undang-
undang Nomor 3 tahun 1997, atas nama pelapor Ivona Gultom. Dalam kasus ini,
Ivona Gultom yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang
melaporkan tindak kejahatan tersebut ke Poltabes Medan. Pada dasarnya Ivona
Gultom ditipu oleh pelaku tindak pidana kejahatan tersebut dengan dasar
pemberian pekerjaan. Pelaku berjanji kepada Ivona untuk memberikan pekerjaan
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


jika Ivona mau mengikutinya, dan pelaku sendiri adalah merupakan teman si
korban. Kemudian korban atau Ivona dibawa oleh pelaku ke daerah Brastagi
untuk dijanjikan suatu pekerjaan. Tetapi bukan pekerjaan yang didapat si
korban, melainkan korban diberikan kepada orang lain untuk dijual dan
dipekerjakan sebagai PSK (Perempuan Seks Komersil). Atas dasar inilah si
korban atau Ivona melaporkan tindak pidana kejahatan yang didapatnya kepada
Poltabes medan. Poltabes medan sendiri telah melakukan pengejaran dan
pemeriksaan serta penyidikan terhadap kasus ini, dan status kasus ini sendiri
masih berada dalam tahap pelimpahan atau pengiriman berkas perkara ke Jaksa
Penutut Umum untuk dilakukan pemeriksaan perkara lebih lanjut.
Pada proses penanganan, pencarian, pemerikasaan ataupun penangkapan
terhadap pihak-pihak dari pelaku tindak pidana perdagangan orang ini, pihak
Kepolisian berhak dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil segala tindakan
yang perlu, bahkan penyadapan alat komunikasi sekalipun. Dikarenakan
perdagangan orang ini sudah dilakukan antar daerah bahkan antar negara, sehingga
penyadapan ini sangat perlu dilakukan untuk mencari bukti dan mengungkap
jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang, dan hal ini tertuang pada Pasal 31
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007.
83
B. Faktor-faktor penghambat dan pendukung yang dihadapi Kepolisian
dalam menangani tindak pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)
di Wilayah Kota Medan



83
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Dalam kenyataan di kehidupan sehari-hari di masyarakat, Tindak Pidana
Perdagangan Orang ini sangat sulit untuk di jerat terutama dalam hal menangkap
pelakunya dan membuktikan adanya suatu kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
yang terjadi di Kota Medan. Dalam hal ini Pihak Kepolisian di dalam
mengungkapkan kasus Perdagangan Orang ini sangat membutuhkan dukungan dan
bantuan dari segala pihak, baik masyarakat maupun aparat Penegak Hukum yang
lain seperti Kejaksaan dan Pengadilan, dimana pihak Kepolisian sangat berharap
terjalin kerjasama yang kooperatif diantara Pihak Kepolisian dan Kejaksaan serta
Pengadilan untuk saling koordinasi tentang berkas-berkas yang belum lengkap
sampai vonis pelaku Tindak Pidana.
84
Didalam menangani kasus Perdagangan Orang ini, pihak kepolisian juga
sering menemukan faktor-faktor penghambat yang tidak jarang menghalangi
penanganan terhadap kasus Perdagangan Orang ini. Faktor-faktor penghambat ini
dilihat dari korban kejahatan kebanyakan adalah perempuan, sehingga penghambat
tersebut datang dari korban sendiri yang masih takut untuk melaporkan masalahnya,
dan takut berusaha lari dari pelaku untuk mencari bantuan, dan juga dalam kasus
Perdagangan Orang ini tidak ada saksi melihat dan mengetahui kejadian tersebut.

85

84
Ibid
85
Ibid

Dalam hal kasus perdagangan orang ini kebanyakan korbannya adalah perempuan,
dan biasanya korban tersebut dalam kondisi ketakutan dan trauma sehingga sangat
sulit untuk memberikan informasi, maka pihak kepolisian melalui Pasal 45 Undang-
undang nomor 21 tahun 2007 mengatur tentang tempat penerimaan khusus atau
ruang pelayanan khusus untuk memberikan perlindungan kepada korban sehingga
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


korban merasa aman dan bebas untuk menceritakan tindak pidana perdagangan
orang yang dirasakannya tanpa rasa takut.
86
Namun didalam mengatasi kasus perdagangan Orang ini, pihak Kepolisian
juga mendapat bantuan dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait dan juga
masyarakat. Dan dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini,
pelaku dapat ditindak tegas dengan ancaman hukumann yang lebih tinggi dan berat,
dan banyak pihak-pihak yang terkait yang bisa bekerja sama dengan Kepolisian
yaitu Instansi terkait dan SM Pemerhati Perempuan dan Anak.

Tidak hanya kepada korban dari tindak pidana perdagangan orang yang harus
dilindungi, tetapi pihak Kepolisian juga melakukan perlindungan kepada para saksi-
saksi yang mengetahui informasi tentang perdagangan orang tersebut, termasuk juga
keluarga dari si korban. Perlindungan ini diberikan agar memberi contoh kepada
korban-korban yang lain untuk tidak takut untuk melapor kepada pihak Kepolisian,
dan hal ini diatur pada Pasal 47 Undang-undang nomor 21 Tahun 2007.
87










86
Ibid
87
Ibid
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009














BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Perdagangan Orang ini melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak
bahkan bayi sebagai korban, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak
sebagai yang memperdagangkan (trafficker). Pelaku-pelaku ini bisa meliputi
orang-orang terdekat seperti orang tua dan kerabat, selain itu terdapat juga
pelaku yang canggih dan terorganisasi yang melibatkan sindikat-sindikat
yang terorganisir, instansi terkait dan bahkan tokoh masyarakat. Para korban
Trafficking ini di bawa dan ditujukan serta diperdagangkan baik ke dalam
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


maupun ke luar negeri, yang mana mereka digunakan sebagai pekerja-
pekerja kasar, pembantu rumah tangga bahkan sebagai pekerja seks
komersial. Adapun factor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan
perdangangan orang ini yaitu kemiskinan, ketenagakerjaan, pendidikan,
migrasi, kondisi keluarga, sosial budaya, dan media massa. Pada umumnya
di dalam melakukan kejahatan Perdagangan Orang ini, para pelaku
menawarkan berbagai modus untuk mendapatkan korbannya seperti
menawarkan pekerjaan, penipuan dan penculikan dan juga adopsi. Dampak
dari tindak perdagangan orang ini sendiri tidak hanya dirasakan oleh
pemerintah dan aparat penegak hukum yang berusaha mengurangi kejahatan
perdagangan orang ini, tetapi juga berakibat kerugian secara fisik dan non-
fisik kepada para korban tindak perdagangan orang tersebut.
2. Terhadap Tindak perdagangan orang (Human Trafficking) terdapat berbagai
ketentuan dan peraturan-peraturan atau instrumen-instrumen, baik instrumen
internasional maupun nasional. Secara instrumen internasional dapat dilihat
dari Universal Declaration of Human Rights, protocol-protocol dan konvensi
PBB serta peraturan-peraturan dan konvensi-konvensi internasional lainnya,
sedangkan melalui instrumen nasional dapat dilihat dari KUHP serta undang-
undang nomor 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang dan Peraturan
Daerah (PERDA) Propinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang
tindak pidana perdagangan perempuan dan anak.
3. Peran dan tanggung jawab kepolisian didalam menangani kasus-kasus
perdagangan orang di kota medan ini adalah dengan mencegah semakin
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


banyaknya kejahatan perdagangan orang yang terjadi di kota medan dengan
menindak secara tegas pelaku-pelaku tindak pidana perdagangan orang
tersebut. Dan didalam melaksanakan tanggung jawabnya tersebut, pihak
Kepolisian tidak hanya mendapat faktor pendukung dari adanya kerjasama
yang terkoordinasi dan saling terkait antara para aparat penegak hukum yang
lain dan masyarakat, tetapi tidak jarang juga terdapat faktor penghambat
yang tidak lain datang dari korban kejahatan perdagangan orang itu sendiri,
yang kurang berani dan tidak terbuka didalam memberikan informasi dan
keterangan-keterangan lain terhadap pihak Kepolisian.


B. SARAN
Sebagai saran dapat saya rangkumkan dalam hal-hal berikut ini:
1. Selain menggunakan peraturan hukum nasional, sebaiknya kita juga harus
lebih banyak lagi mengadaptasi konvensi-konvensi internasional sebagai
bahan pertimbangan untuk mengatasi masalah perdagangan orang (Human
Trafficking) yang sudah semakin komplek.
2. Faktor-faktor sebagai pendorong terjadinya perdagangan orang (Human
Trafficking) harus lebih dipahami secara menyeluruh, seperti misalnya
didalam faktor sosial-budaya, seharusnya dipahami bahwa mendapatkan
kekayaan, kedudukan yang tinggi bukan merupakan hal yang mutlak bagi
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


seseorang boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum, dan didalam
faktor ekonomi dimana kemiskinan menjadi alasan utama untuk melakukan
kegiatan perdagangan orang ini, dan seharusnya pemerintah dapat
menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak agar masalah
kemiskinan ini dapat diatasi dengan baik.
3. Upaya pencegahan terhadap perdagangan orang ini, diharapkan dapat benar-
benar dilaksanakan agar perdagangan orang ini dapat diatasi dengan lebih
cepat. Dalam hal melakukan perlindungan dan penanganan hukum terhadap
masalah ini, diharapkan agar kepada pihak-pihak yang terkait dapat
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya secara serius dan benar-benar
dilaksanakan.


DAFTAR PUSTAKA
Bawengan, W. Gerson, 2000, Pengantar Psikologi Kriminal, Djambatan, Jakarta
E. Utrecht, 1962, Hukum Pidana II, Universitas Bandung, Bandung
Husein, Syahruddin, makalah Kejahatan dalam Masyarakat dan upaya
penanggulangannya

Haris, Abdul, 2005, Gelombang Migrasi dan Jaringan Perdagangan Manusia,
Pustaka Pelajar, Jakarta

Irianto, Sulistyowati, 2005, Perdagangan Perempuan, Obor indonesia, Bandung
Jan Remmelink, 2000, Hukum Pidana, Gramedia, Jakarta
Mozasa, Chairul Bariah, 2005, Aturan-aturan hukum Trafficking, USU Press
Prodjodikoro, Wirjono, Agustus 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
Refika Aditama, Bandung
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009



Polak, Leo, 1981, Hukuman Sebagai Perbuatan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sahetapy, J.E dan Reksodiputro, B. Marjono, 1983, Paradoks dalam Kriminogi,
Buku Obor, Jakarta

Sutherland, H. Edwin, 1989, Principles of Criminology, Nova, Jakarta
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni
Syafaat, Rachmad dkk, 2003, Dagang Manusia, Lappera, Yogyakarta
Shihab, Alwi, 30 maret 2005, makalah Permasalahan Trafficking, Jakarta


HARIAN SURAT KABAR/KORAN ATAU MAJALAH
Media Indonesia, 23 oktober 2002, Banyak TKW dari Indonesia dipaksa Jadi WTS
di Tawao

Republika, Jumat, 13 Mei 2005, 12,3 Juta Orang Kerja Paksa
Republika, 07 Agustus 2000, Maraknya Perdagangan orang sebagai budak

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak-anak

INTERNET :
http://www.uid.ac.id/index.php?module=MyFileSharing&func=download&id=88,
diakses tanggal 7 maret 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


http://www.antara.co.id/arc/2007/6/14/as-akan-tetap-bantu-ri-perangi-human-
trafficking/, diakses tanggal 9 maret 2008

www.Ifip .org/report/traffickingdata in indonesia table pdf, diakses tanggal 10 maret
2008

www.biropemberdayaanperempuan.com

www.ifip.org/penanggulangan/penyelamatan-perlindungan/korban

Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan upaya
penanggulangannya, http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Dow
nloads&file=index&req=getit&lid=480, diakses tanggal 11 maret 2008

www.Elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP

htmhttp://www.google.com/search?q=cache:slnwf2l4mjcJ:indonesiaacts.com/002/%
3Fp%3D7+mafia+perdagangan+incar+daerah+miskin&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=i
d, diakses tanggal 10 mei 2008.

http://www.google.com/search?q=cache:IgJ :www.traffickinginpersons.com/+Hoefn
agels+peter=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses tanggal 12 mei 2008

http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, diakses
tanggal 12 mei 2008

http://www.google.com/search?q=cache:wOECvohZ5IgJ:www.traffickinginpersons.
com/+Trafficking+in+persons&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses tanggal 17
mei 2008

http://www.google.com/search?q=cache:AM34cQKitX4J:www.menkokesra.go.id/p
df/deputi3/human_trafficking_ind.pdf+Dr.+Alwi+Shihab+terhadap+trafficking&hl=
id&ct=clnk&cd=1&gl=id halaman 34, diakses tanggal 18 mei 2008

www.humanrights.go.id/index_HAM.asp%3Fmenu%3Dnews%26id%3D3404+Perd
agangan+Orang+menurut+Komnas+HAM&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses
tanggal 1 mei 2008

http://www.iworkd.org/index.php?action=news.detail&id_news=73&judul=Bisnis%
20haram%20perdagangan%20manusia, diakses tanggal 3 mei 2008

http://www.lfip.org/laws822/docs/Perdagangan%20manusiaSentraHAMfeb28.pdf,
diakses tanggal 5 mei 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


http://www.google.com/search?q=cache:b4XCl9hHS7UJ:groups.yahoo.com/group/b
eritalingkungan/message/6799+Modus+menawarkan+pekerjaan+dalam+perdaganga
n+orang&hl=id&ct=clnk&cd=7&gl=id, diakses tanggal 18 mei 2008

www.komnaspa.or.id/pdf/BEBERAPA%2520ISU%2520HUKUM%2520%2520KE
J AHATAN%2520PERDAGANGAN%2520ORANG.pdf+Modus+Penipuan+dan+p
enculikan+dalam+perdagangan+orang&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id, diakses
tanggal 20 mei 2008

indonesiaacts.com/002/%3Fp%3D5+dampak+fisik+dari+perdagangan+orang&hl=id
&ct=clnk&cd=1&gl=id, diakses tanggal 07 mei 2008

www.icrponline.org/wmprint.php%3FArtID%3D237+dampak+nonfisik+dari+perda
gangan+orang&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id, diakses tanggal 17 mei 2008

WpjSIMNmRjkJ:thinkprogress.org/2006/02/22/legally requiredinvestigation/+Intter
national+regulation+of+human+trafficking&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id, diakses
tanggal 17 mei 2008 halaman 1





LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA DENGAN PANIT LINDUNG POLTABES MS
HASIL WAWANCARA
1. Apakah Bapak/Ibu mengenal atau mengetahui tentang keberadaan atau
diberlakukannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang?
Ya, mengetahui tentang keberadaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


2. Bagaimanakah selama ini sebelum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini
lahir atau berlaku, pihak Kepolisian dalam menangani Kejahatan Tindak Pidana
perdagangan Orang menggunakan peraturan atau undang-undang apa?, dan
bagaimanakah substansi atau isi dari peraturan dan undang-undang atau
peraturan tersebut serta penerapannya dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
Perdagangan Orang di kota Medan?
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 atau diberlakukan,
Kepolisian menggunakan KUHP, yaitu pasal 297 KUHP tentang Perdagangan
Anak-anak yang belum cukup umurdan Pasal 324 KUHP tentang Perniagaan
budak, kemudian pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang perlindungan Anak-anak
3. Bagaimanakah Peran dan Tanggung Jawab Kepolisian dalam menangani Kasus
tindak pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Wilayah Hukum Kota
Medan?
Peran dan Tanggung Jawab Kepolisian dalam menangani Trafficking di
wilayah Kota Medan yaitu mencegah terjadinya Tindak Pidana tersebut dengan
memberikan penyuluhan-penyuluhan di sekolah-sekolah serta berdasarkan
Hukum menindak para pelaku Tindak Pidana dengan tegas untuk membuktikan
efek jera kepada yang lain
4. Apakah Faktor-faktor penghambat yang dihadapi Kepolisian dalam menangani
tindak pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Wilayah Kota Medan?
Faktor-faktor penghambat yaitu dilihat dari korban kejahatan kebanyakan
adalah perempuan, sehingga penghambat tersebut datang dari korban sendiri
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


yang masih takut untuk melaporkan masalahnya, dan takut untuk berusaha lari
dari pelaku untuk mencari bantuan. Juga dalam kasus Perdagangan Manusia
tidak ada saksi yang melihat dan mengetahui kejadian tersebut
5. Apakah Faktor-faktor pendukung yang dihadapi Kepolisian dalam menangani
tindak pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Wilayah Kota Medan?
Faktor-faktor pendukung yaitu dengan keluarnya undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 pelaku dapat ditindak tegas dan ancaman hukumannya lebih tinggi,
kemudian banyak pihak-pihak terkait yang bisa bekerja sama dengan kepolisian
yaitu Instansi terkait danLSM Pemerhati Perempuan dan Anak.
6. Bagaimana menurut Bapak mengenai materi yang ada didalam Undang-undang
Nomor 21 tahun 2007 ini?
Materi yang ada didalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 sudah
lengkap dan dengan tegas merumuskan pengertian dan mengatur unsur-unsur
Perdagangan Orang secara rinci baik itu tindakannya, cara
melakukannyamaupun tujuannya
7. Bagaimana tanggapan bapak mengenai materi atau isi dari pasal 18, pasal 22,
pasal 31, pasal 45, dan pasal 47 dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2007
tersebut?
Pasal18 Pasal 18 ini mengatur tentang korban Perdagangan Orang yang
dipaksa untuk ikut dalam kejahatan tersebut, misalnya yang bekerja
ditempat penampungan korban perdagangan orang tersebut.
Pasal 22 Pasal 22 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini untuk menjerat
orang-orang yang tidak mau bekerjasama dengan Kepolisian
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


sementara ia mengetahui tindak pidana tersebut. Pasal ini mendukung
tugas kepolisian untuk menuntaskan proses hukum pelaku
Perdagangan Orang.
Pasal 31 Pasal 31 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 ini mendukung tugas
Kepolisian untuk mengungkap kasus Perdagangan Orang dimana
sekarang ini kasus Perdagangan Orang sudah dilakukan antar daerah
bahkan antar negara, jadi penyadapan perlu dilakukan untuk mencari
bukti dan mengungkap jaringan pelaku Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
Pasal 45 Karena dalam kasusu Tindak Pidana Perdanganan Orang, korban
kebanyakan perempuan dan biasanya korban dalam kondisi ketakutan
dan trauma sehingga pasal 45 ini mengatur tentang tempat
penerimaan khusus untuk memberikan perlindungan kepada korban
sehingga korban merasa aman dan bebas untuk menceritakan Tindak
Pidana perdagangan Orang yang dirasakannya tanpa rasa takut
Pasal 47 Pasal ini mengatur kewajiban Kepolisian untuk memberi
perlindungan kepada korban, saksi maupun keluarga korban,
sehingga memberi contoh kepada korban-korban yang lain untuk
tidak takut melapor kepada kepolisian.
8. Selama dalam Proses Tindak Pidana Perdagangan Orang ini, pihak Kepolisian
mendapatkan bantuan dari mana saja?, apakah Pihak Pemerintah Daerah, LSM
atau mungkin Peranan dan Partisipasi dari Masyarakat?
Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.
USU Repository 2009


Selama dalam proses Tindak Pidana Perdangangan Orang Poltabes MS
menjalin kerja sama dengan pihak lain yaitu Instansi terkait baik Pemerintah
Daerah maupun LSM
9. Bagaimanakah hubungan Pihak Kepolisian dengan Kejaksaan dan pengadilan
dalam menyelesaikan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang, apakah ada
hambatan?
Hubungan Pihak Poltabes MS dengan Kejaksaan dan Pengadilan terjalin
kerjasama dimana saling koordinasi tentang berkas-berkas yang belum lengkap
sampai vonis pelaku Tindak Pidana
10. Apakah selama ini pihak Kepolisian aktif dalam mencari kasus-kasus atau
kejadian-kejadian dari Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terjadi, seperti
berupaya dalam pencegahan terhadap perdagangan orang, Dalam arti pihak
kepolisian tidak bersifat menunggu sebelum kejadian itu terjadi.
Ya, kepolisian aktif dalam mencari kasus-kasus Perdagangan Orang, biasanya
bila ada masyarakat yang dari luar Sumatera / Medan yang merasa ditipu dengan
ditawarin pekerjaan, maka kepolisian akan menyelidiki pihak-pihak yang
terkait.

You might also like