You are on page 1of 6

PERJUANGAN SATU LANGKAH KECILKU Aku berasal dari kampung terpencil di pedalaman daerah, akan tetapi sejak kecil

aku sudah bercita-cita ingin melanjutkan sekolah ke Ibu Kota, namun melihat kenyataan hidup yang saya alami sekarang ini rasanya mustahil tuk menggapai mimpiku itu, ibuku selalu berpesan Cobalah tuk melangkah walau hanya sejengkal dari telapak tanganmu, setiap mendengar kata-kata itu aku selalu terobsesi untuk sekolah diluar daerah asal ku, apapun resikonya aku ingin melangkah dari tempatku berdiam diri walau hanya sejengkal dari telapak tanganku. Langkah kecilku yang pertama adalah setelah lulus SD nanti aku harus melanjutkan ke SMP di Kecamatan sebelah yang lebih dekat dengan pusat keramaian, saat itu di wilayah kami yang menjadi satu-satunya pusat keramaian adalah pasar. Namun kusadari, kendala yang harus kuhadapi adalah jarak yang harus ku tempuh sekitar 10 Km sedangkan satu-satunya angkutan umum disana adalah angkot, lebih parahnya lagi angkot di sana bubar setelah jam 5 sore, entah kenapa mungkin para supirnya takut jika melewati jalan-jalan dikampung kami yang begitu mencekam ketika di malam hari. Satu hal yang pasti ketika aku baru masuk SMP adalah yang membuat hati ini semakin pilu dan resah. Ternyata kami sebagai siswa baru mendapat jam sekolah siang, ini artinya kami masuk pukul 12.30 dan pulang pukul 16.55, sempat merenung sejenak dan berfikir ternyata aku hanya memiliki waktu 5 menit untuk mendapatkan angkot terakhir, sedangkan perjalanan dari sekolah ke halte angkot adalah sekitar 10 menit, terlebih mungkin keadaan angkot yang sudah dipenuh penumpang karena banyak ibu-ibu dari pasar yang ingin pulang juga, sempat kubayangkan anak seusiaku harus rela bergelantungan di pintu angkot hanya demi mendapatkan angkot terakhir dan pulang ke rumah. Hari-hari pertama SMP pun dimulai, seperti yang sudah kuprediksikan untuk mendapatkan angkot terakhir aku harus berlari secepat-cepatnya demi mengejar waktu 5 menit yang sangat singkat itu. Dan memang benar juga, anak seusiaku harus bergelantungan di pintu angkot bersama orang-orang yang usianya

jauh diatas usiaku. Aku tidak sempat berfikir besarnya resiko bergelantungan di pintu angkot, bisa mungkin tersambar kendaraan lain atau tertusuk ranting-ranting pohon di pinggir jalan, orang tuaku sempat khwatir dengan keadaanku yang seperti ini, namun mereka tidak bisa berbuat banyak, ku yakinkan mereka bahwa hal seperti ini hanya untuk setahun saja, tahun berikutnya sudah jelas tak akan lagi terjadi hal seperti itu. Selesai SMP aku harus melanjutkan ke SMA, cita-citakku yang dulu belum terhapus sedikitpun dari benak pikiranku, langkah selanjutnya adalah aku harus melanjutkan sekolah ke pusat kota Cirebon yang jaraknya sekitar 30 Km dari kampungku. Halang rintang memang selalu ada dimana-mana, kali ini kendalanya adalah urusan administrasi pendaftaran, ternyata kami sebagai anak non-domisili kota hanya diberi jatah 10% oleh pihak panitian penerimaan siswa baru. Sangat memilukan memang, setelah aku mengetahui bahwa pendaftar sekolah yang ku pilih mencapai 1000 orang, namun daya tampung yang tersedia hanyalah sekitar 300 orang, ini artinya 1 bangku diperebutkan oleh 3 sampai 4 orang. Hari-hari penantian pun dimulai, pengumuman hasil seleksi masuk SMA telah dipajang di depan koridor ruang panitia, saat itu orang-orang saling berdesakan ingin melihat hasil seleksi, baik orang tua maupun siswa-siswinya. Tubuhku yang kecil ini mencoba menerobos kerumunan, dorong-dorongan, bau keringat dan asap rokok bercampur menjadi satu di dalam kerumunan tersebut. Sampai akhirnya kuraihlah papan pengumuman tersebut, namun untuk mempersingkat waktu, aku mulai melihat satu per satu nama di daftar yang lebih dekat dengan jarak pandangku. Tak terasa 15 menit telah berlalu, rasanya badanku terasa sangat lemas karena diantara daftar yang aku lihat belum ku temukan juga namaku, aku sempat berfikir untuk mencari namaku di sisi yang lain tetapi mustahil, karena sisi itu memuat daftar nama siswa dengan nilai tertinggi, pada saat itu daftar diurutkan menurut ranking nilai tertinggi. Tetapi apa salahnya mencoba, kulihat satu persatu daftar nama dari mulai urutan pertama, tiba-tiba tubuhku bergetar hebat, jantung berdenyut sangat kuat, sempat membisu sejenak ketika melihat namaku tertera di

urutan ke-41, dengan segera aku keluar dari kerumunan, tak bias kubendung air mata keharuan, aku bergegas pulang ke kampung untuk membawa kabar bahagia ini. Aku merasa perjalanan di SMA ternyata lebih panjang dibandingkan dengan SMP, kali ini benturan biaya yang harus kuhadapi, bukan hanya biaya SPP atau administrasi sekolah saja, tetapi biaya transportasi yang lebih menguras kantong melebihi uang jajanku. Bila harus menggunakan angkutan umum uang yang harus kukeluarkan dapat mencapai 10-15rb setiap harinya. Namun bila menggunakan motor yaitu satu-satunya kendaraan yang keluarga saya miliki hanya menghabiskan 1 liter bensin saja setiap harinya. Terlebih bila nge-kost, biaya hidup bisa lebih tinggi untuk pembayaran tempat kos dan makan. Sampai akhirnya aku meminta izin kepada orang tuaku untuk pergi kesekolah dengan membawa motor. Ibuku sangat khawatir dengan keputusanku ini karena jalan yang harus kulalui bukanlah jalan raya biasa namun jalan raya pantura, tempat kendaraan-kendaraan besar berlalu-lalang, tak sedikit dari mereka yang memacu dengan kecepatan tinggi, jalan yang memang cukup berbahaya untuk orang-orang sepertiku terlebih SIMpun tak punya, tapi mau bagaimana lagi, ini semua demi menekan anggaran pengeluaran keluarga. Berangkat pukul 5.30 dan pulang jam 3 sore sudah menjadi kebiasaan diriku sebagai siswa perantauan yang nekat pulang pergi dalam sehari, tawaran demi tawaran dari teman yang mengajak nge-kost bareng tak ku hiraukan, aku sadar selama aku masih kuat untuk system PP kenapa tidak. Kehujanan, ban bocor, mengantuk di jalan, sampai hampir kecelakaan sudah menjadi makanan sehari-hariku di jalan raya. Namun dalam hatiku aku yakin, ini semua dapat ku lewati dengan mudah bila ada niat yang kuat. Tak pernah kubayangkan, prestasiku bobrok di kelas XI SMA, terakhir di semester 4 aku mendapat rangking 16 memalukan bukan? Baru kali ini aku mengecewakan orang tuaku, tak kuasa ku melihat padamnya senyuman mereka, untungnya kejadian ini membekas hanya 1 minggu lamanya. Tibalah saat mendekati masa liburan habis aku mencoba bangkit kembali, kali ini aku berfikir

keras, aku akan meminta sesuatu yang besar kepada orang tuaku dengan janji jika aku mendapatkan itu, aku akan sukses ke depannya. Ketika kami sedang bersantai, ku hampiri mereka yang sedang mengobrol di ruang keluarga dengan memasang tatapan yang menjanjikan, tanpa basa-basi aku langsung berkata Mah, Pak, Irfan mau ikut Bimbel, Irfan janji kalau ikut Bimbel Irfan akan belajar dengan sungguh-sungguh. Suasana menjadi hening sejenak, dengan segera aku menyodorkan brosur bimbel tersebut, sudah kusiapkan rincian biaya yang termurah karena aku sadar keadaan ekonomi keluargaku saat ini. Setelah membujuk sedemikian rupa akhirnya mereka mengizinkanku untuk mengikuti bimbel, mereka berusaha ketar-ketir mencari biaya agar bisa membayar biaya bimbel tersebut. Hari-hariku pun berubah total, jadwal harianku semakin padat, kali ini aku sudah kelas XII dan tentunya akan menghadapi UN, pihak sekolah telah menyiapkan jadwal tambahan untuk menggejrot cara belajar kami yaitu dengan mengadakan jadwal pengayaan pagi dan sore. Imbasnya aku harus berangkat dari rumah usai waktu sholat Subuh dan pulang malam tepat sebelum waktu sholat Maghrib. Sekolah menjadwalkan pulang pengayaan adalah pukul 16.00, namun karena adanya akktifitas bimbel membuatku harus pulang jam 6 sore. Bagiku itu bukanlah sebuah masalah yang rumit, dengan niat dan tekad yang kuat serta melihat hasil kedepan, aku yakin semua ini tidak ada apaapanya dengan kesuksesan yang kuraih nanti. Beberapa bulan lagi kami kelas XII akan menghadapi UN dan SNMPTN. Cara belajar kami pun berubah drastis pada saat itu, salah satu temanku rela pulang larut malam demi mengikuti kelas bimbel berkali-kali, aku pun tak mau kalah, setiap hari aku selalu mengdakan janji dengan guru-guru bimbelku, aku rela pulang larut malam karena ini semua demi masa depanku. Masa-masa UN telah berlalu, Alhamdulillah sekolahku lulus dengan persentase seratus persen. Perang kami sebagai siswa-siswi kelas XII belum selesai, kali ini yang harus kami hadapi adalah SNMPTN, bimbel-bimbel disana pun kian penuh oleh pendaftar baru yang ingin sukses di SNMPTN Tulis.

Bimbelku pun mulai meng-intensifkan cara belajar siswa-siswinya. Aku menjadi terobsesi ingin masuk Universitas Indonesia setelah mendengar cerita orang tuaku yang saudara-saudaranya sukses juga masuk UI. Aku tak pernah memikirkan ketatnya persaingan masuk UI, yang ada dibenakku adalah aku harus berusaha, dan berdoa karena pada hakikatnya rezeki dan takdir itu ada di tangan Tuhan. Keyakinan dan kepercayaanku semakin kuat seiring mendekati hari H ujian SNMPTN Tulis, tak lupa aku terus berusaha mengasah kemampuanku, merelakan waktu luangku demi belajar disertai doa yang tak henti-hentinya kepada Allah SWT, aku memohon diberikan jalan yang terbaik dalam menjalani hdupku ini. Usai sudah pelaksanaan ujian SNMPTN yang berlangsung selama dua hari tersebut, banyak diantara rekan-rekanku yang bereluh-kesah memikirkan akan lolos atau tidak, namun aku tetap berusaha tabah, semua yang telah kukerjakan kuikhlaskan kepada Yang Maha Pencipta sekaligus Maha Penentu. Seiring berjalannya waktu, mendadak keyakinanku menjadi down setelah melihat kenyataan yang tidak kuketahui sebelumnya, mulai dari jumlah peserta SNMPTN sampai daya tampung yang disediakan sangatlah jauh, hatiku serasa sesak karena aku menyadari bahwa pilihanku adalah Universitas yang sangat wah di mata masyarakat. Aku sempat berfikir, orang sepertiku mungkin gagal melawan mereka-mereka yang lebih cerdas terutama mereka yang berasal dari kota besar, aku merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka. Selama 1 bulan lamanya aku terus memanjatakan doa kepada Yang Maha Kuasa, memohon diberikan jalan yang terbaik, jujur saja pada waktu itu aku belum punya cadangan perguruan tinggi lain, baik PTN maupun PTS, SNMPTN adalah satusatunya harapanku dapat melanjutkan studi pada saat itu. Tibalah waktunya, 6 Juli pukul 19.00 adalah hari yang sangat menegangkan bagiku, tak berdebar memang saat itu, namun badan terasa sangat lemas. Tetika kubuka pengumuman, aku sempat kaget saat melihat tulisan Selamat, Anda diterima dalam seleksi SNMPTN 2012. Ku refreshkan page lalu membukanya kembali, aku takut ini hanyalah sebuah fatamorgana belaka, dan

ternyata tulisan itulagi, masih tak percaya kubuka dengan menggunakan situs mirror, dan hasilnya memang benar aku LULUS!. Dengan girang namun penuh dengan keharuan aku loncat dari tempat duduku dan langsung bersjud syukur mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Saat itu juga kuberitahukan kepada orangtuaku bahwa aku diterima di Universitas impian yaitu Universitas Indonesia, aku langsung memeluk ibuku, tak bisa kubendung air mata yang keluar sambil mengucapkan Terima Kasih mah, atas nasehatmu yang dulu.

You might also like