You are on page 1of 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 GAMBARAN UMUM KANKER SERVIKS DAN FAKTOR RESIKONYA 2.1.1.

Definisi Kanker serviks uterus adalah keganasan yang paling sering ditemukan dikalangan wanita. Penyakit ini merupakan proses perubahan dari suatu epitelium yang normal sampai menjadi karsinoma invasif yang memberikan gejala dan merupakan proses yang perlahanlahan dan mengambil waktu bertahun-tahun. 1 Serviks atau leher rahim/mulut rahim merupakan bagian ujung bawah rahim yang menonjol ke liang sanggama (vagina). Kanker serviks berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya menjadi karsinoma in-situ (KIS), kemudian berkembang lagi menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan KIS dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker. Dari displasia menjadi karsinoma in-situ diperlukan waktu 1-7 tahun, sedangkan karsinoma in-situ menjadi karsinoma invasif berkisar 3-20 tahun. Kanker ini 99,7% disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) onkogenik, yang menyerang serviks. Berawal terjadi pada serviks, apabila telah memasuki tahap lanjut, kanker ini bisa menyebar ke organ-organ lain di seluruh tubuh penderita. 1,3 2.1.2. Gejala Klinis Kanker Serviks Tidak khas pada stadium dini. Sering hanya sebagai fluor dengan sedikit darah, perdarahan postkoital atau perdarahan pervagina yang disangka sebagai perpanjangan waktu haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofitik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat. Pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut : Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan

Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal.

Timbulnya perdarahan setelah masa menopause. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.

Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.

Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.

2.1.3. Faktor Penyebab Dan Faktor Resiko Kanker Serviks a. Faktor Penyebab Penyebab utama kanker serviks adalah virus yang disebut Human Papilloma (HPV). HPV tersebar luas, dapat menginfeksi kulit dan mukosa epitel. HPV dapat menyebabkan manifestasi klinis baik lesi yang jinak maupun lesi kanker. Tumor jinak yang disebabkan infeksi HPV yaitu veruka dan kondiloma akuminata sedangkan tumor ganas anogenital adalah kanker serviks, vulva, vagina, anus dan penis. Sifat onkogenik HPV dikaitkan dengan protein virus E6 dan E7 yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel sehingga terjadi lesi pre kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker. b. Faktor Resiko Pola hubungan seksual. Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun juga dapat dijadikan sebagai faktor resiko terjadinya kanker serviks. Hal ini diduga ada hubungannya dengan belum matangnya daerah transformasi

pada usia tesebut bila sering terekspos. Frekuensi hubungan seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya resiko pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. (Schiffman,1996). Faktor keturunan Sama seperti jenis kanker lainnya, kanker serviks juga terpengaruh faktor keturunan. Seorang wanita dengan riwayat keluarga pernah terkena kanker memiliki risiko hingga 3 kali lebih besar terserang kanker yang sama. Menstruasi pertama di usia dini Normalnya wanita mengalami menstruasi pertama di usia 12-13 tahun. Wanita muda yang mengalami menstruasi pertama di usia kurang dari 12 tahun cenderung memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi. Kadar estrogen yang lebih tinggi dari normal ini memiliki resiko terhadap kanker serviks. Obesitas Wanita dengan masa tubuh yang lebih tinggi dimana memiliki kadar lemak yang tinggi telah terbukti meningkatkan kadar estrogen, yang mengarah ke perkembangan kanker endometrium dan serviks. Indeks masa tubuh atau body mass index, dapat dihitung dengan cara berikut ini:

Keterangan: Underweight = <18.5 Normal weight = 18.522.9 Overweight = 23-24,9 Obesity I = 25,0-29.9 Obesity II = 30.0 Wanita dengan indeks masa tubuh overwight hingga obesity memiliki resiko lebih tinggi untuk kanker serviks. Paritas Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin sering melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks. Penelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV.

Merokok Beberapa penelitian menunjukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding seperti pola hubungan seksual. Penemuan lain

memperlihatkan ditemukannya nikotin pada cairan serviks wanita perokok bahan ini bersifat sebagai komponen dan bersama-sama dengan karsinogen yang telah ada selanjutnya mendorong pertumbuhan ke arah kanker. Perokok aktif maupun pasif memiliki resiko yang hampir sama, karena perokok pasif juga menghirup asap rokok tanpa filtrasi. Kontrasepsi hormonal Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983 (Schiffman,1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasif terdapat pada pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat kaitannya dengan hal tersebut. 3. Penggunaan kontrasepsi ormonal tidak jarang pula ditemukan displasia serviks, adapula penelitian yang mengatakan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal jangka panjang dapat menurunkan asam folat dalam tubuh. Pasangan seksual Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga merupakan faktor resiko yang lain. 3

2.2 DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DAN KRIOTERAPI WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker serviks, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 5, 6 Deteksi dini kanker serviks meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif.5 Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.1 Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut seperti pemeriksaan pap konvesional, kolposkopi, dan inspeksi visual yang lebih mudah utnuk dilakukaan dengan lebih murah. Inspeksi visual terdiri dari Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan Inspeksi Visual dengan Lugol Iodin (VILI). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) maksudnya adalah melihat serviks secara langsung tanpa alat pembesaran setelah pengusapan serviks dengan asam asetat 3-5% untuk mendeteksi adanya NIS. Asam asetat digunakan untuk meningkatkan dan membuat tanda terhadap epitel, terhadap lesi prakanker atau kanker sebenarnya. Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti.12 Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker serviks, sekaligus mengobati lesi prakanker.

2.2.1. Dasar Pemeriksaan IVA Pemeriksaan inspkesi visual dengan Asam Asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati serviks yang telah diberi asam Asetat/ asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan pengamatan mata telanjang. 13 Pemeriksaan IVA pertama kali di perkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas serviks dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian

asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik, dan akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak anter sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut (acetowhite). 13 Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel serviks yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.13

2.2.2. Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada Endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5 Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi serviksnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada dicatat. Kemudian serviks dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Serviks yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area plak atau ulkus yang berwarna putih. Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar.

Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK) . 2.2.3 Kategori Temuan IVA 1. Kategori Temuan IVA : 1. Normal 2. Infeksi Licin, merah muda, bentuk porsio normal servisitis (inflamasi, hiperemis) banyak fluor ektropion polip 3. Positif IVA 4.Kanker leher Rahim plak putih epitel acetowhite (bercak putih) pertumbuhan seperti bunga kol pertumbuhan mudah berdarah 2. Kategori temuan IVA 1. Negatif - tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion) - bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi - garis putih mirip lesi acetowhite pada sambungan skuamokolumnar

2. Positif 1 (+1)

- samar, transparan, tidak jelas, terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada serviks - lesi bercak putih yang tegas, membentuk sudut (angular), geographic acetowhite

lessions yang terletak jauh dari sambungan skuamokolumnar

3. Positif 2 (+2)

- lesi acetowhite yang buram, padat dan berbatas jelas sampai ke sambungan

skuamokolumnar - lesi acetowhite yang luas, circumorificial, berbatas tegas, tebal dan padat -pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite

2.2.3. Penatalaksanaan Lesi Prakanker dengan Metode Krioterapi Tatalaksana lesi prakanker serviks yang pada umumnya tergolong NIS dapat dilakukan dengan observasi saja, medikamentosa, terapi destruksi, dan/atau terapi eksisi. Observasi di lakukan pada lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah. Terapi destruksi dapat dilakukan dengan beberapa metode, untuk terapi lesi NIS dapat dilakukan destruksi lokal dengan melakukan beberapa cara seperti krioterapi, elektrokauter, elektrokoagulasi dan CO2 laser. Metode yang sedang berkembang saat ini dengan cara krioterapi. Krioterapi adalah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan baian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25 derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut, terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sitem mikrovaskular. Pada awalnya digunakan cairan nitrogen atau gas CO2 tetapi pada saat ini hampis seluruh alat menggunakan N2O. Tindakan dengan krioterapi ini dapat dilakukan langsung pada hasil IVA yang positif.

You might also like