You are on page 1of 2

Forensik DNA, Tak Hanya Sekedar Memperjelas Status Biologis Daripada ribut soal status biologis anak, mendingan

tes DNA saja sekalian. Malah, ada yang lolos dari hukuman setelah mendapatkan hasil tes DNA. Raisha Camila Diah hanya seorang bocah tak berdosa. Tetapi gara-gara status Raisha pula, kedua orang tuanya cekcok. Alih-alih membina rumah tangga sakinah, kedua orang tuanya saling melapor ke polisi, bahkan bercerai lewat jalur pengadilan agama. Raisha terlahir dari rahim Rahma Azhari. Ketika melahirkan sang bayi, Rahma berstatus sebagai isteri dari Rauf. Namun Rauf meragukan Raisha sebagai darah dagingnya sendiri dan meminta dilakukan test DNA. Langkah Rauf bukan tanpa dasar. Pasal 44 UU Perkawinan menegaskan: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya? Tentu, menjadi kewajiban suami untuk membuktikan sangkalannya. Hasil uji yang dilakukan di Singapura itu membenarkan keraguan Rauf, dia bukanlah ayah bilogis dari Raisha. Setelah status biologis Raisha terungkap, hubungan Rahma dan Rauf kian memburuk, bahkan berujung ke perceraian. Status biologis seorang anak memiliki kaitan erat dengan hukum keluarga. Kata UU Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dalam hukum perkawinan Islam pun, yang paling berhak mengawinkan seorang anak perempuan adalah ayah kandungnya sendiri. Dalam konteks ini, kalangan hukum patut berterima kasih pada ilmuan kedokteran. Sejak DNA ditemukan Alec J. Jeffreys pada 1985, kedokteran forensik mengalami perkembangan pesat. Manfaatnya dirasakan betul oleh bidang-bidang dan profesi lain di luar dokter. Tes DNA acapkali dipakai untuk menjawab keraguan atas suatu hal seperti identitas bayi yang dilahirkan, mayat yang hangus terkena ledakan bom, atau korban pembunuhan. Tetapi, tes DNA tak hanya sebatas penentuan status biologis bayi seperti dipaparkan di atas. Bagi kalangan hukum, tes DNA membantu mencari jawaban atas problem hukum yang muncul. Dalam kasus pidana semisal kejahatan seksual, hasil uji DNA bisa memilah-milah mana yang layak dijadikan tersangka utama, dan mana yang harus disingkirkan dari daftar tersangka. Membantu hakim dan juri mengatasi isu-isu hukum, baik kriminal maupun perdata, papar Herawati Sudoyo, peneliti senior Eijkman Institute. Universal DNA, singkatan dari deoxyribonucleic acid, dikenal sebagai istilah kimia. Ia adalah rantai asam amino yang menjadi cetak biru manusia dan mengatur semua proses biologis. Setiap orang pasti memiliki DNA yang khas. Dengan kata lain, tak mungkin ada dua atau lebih orang yang memiliki DNA sama. Universalitas menjadi salah satu kelebihan tes DNA. Dokter atau petugas lab bisa menggunakan bagian tubuh mana saja asalkan punya inti sel. Rambut yang tertinggal di kemeja pun bisa dijadikan acuan. Demikian pula air liur atau percikan darah pada pakaian. Dengan sedikit darah saja yang diperlukan untuk memperoleh profil DNA seseorang, tambah Herawati.

Dalam banyak kasus mutilasi, ketika ahli forensik tak bisa melakukan sidik jari atau sidik gigi, tes DNA menjadi alternatif. Seperti dipaparkan tadi, tes DNA bukan hanya menerangkan identitas, tetapi juga memecahkan masalah paternalitas dan maternalitas (hubungan anak dengan orang tuanya). Salah seorang yang memperoleh manfaat tes DNA adalah John White. Pria 48 tahun ini dihukum seumur hidup di Miami, AS, 27 tahun silam atas kasus perkosaan. Ia kemudian dibebaskan karena berdasarkan tes DNA, rambut yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak konsisten dengan profil DNA White. Di Indonesia, salah satu tes yang sering dilakukan adalah DNA fingerprint. Model ini mencuat seiring terjadinya peledakan bom di sejumlah tempat seperti bom Marriot, Bali dan Kedubes Australia. Penggunaan DNA memang sangat tergantung pada bank data. Negara-negara dengan sistem kependudukan yang tertata apik biasanya memiliki data profil DNA warganya, sehingga penggunaan tes DNA untuk mengungkap kejahatan lebih gampang. Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat, FBI, konon menyimpan tak kurang dari 40 juta sidik jari dan 1,2 juta profil DNA dari warga yang umumnya pernah tersangkut kasus kriminal. Di Indonesia, gagasan untuk membuat identitas tunggal warga negara (single identity number) saja belum terwujud. Malah, proyek pembuatan sidik jari di Dephukham dalam rangka pembuatan paspor (automatic fingerprint identification system/AFIS) terancam tak berlanjut karena dananya dikorupsi.

You might also like