You are on page 1of 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG Biofarmasetika mengkaji penerapan ilmu fisika, kimia, dan biologi terhadap obat, bentuk sediaan obat dan absorpsi obat. Pertimbangan biofarmasetika berperan penting dalam keberhasilan merancang bentuk sediaan obat. Evaluasi dan interpretasi studi biofarmasetika merupakan bagian integral dari pengembangan obat (drug product design).Hal-hal yang dikaji dalam bidang biofarmasetika antara lain : Pengaruh dan interaksi antara formulasi obat dan teknologi,Pembuatan obat menjadi berbagai bentuk sediaan sangat menentukan kerja obat sesuai dengan sifat fisikokimianya, Pengaruh dan interaksi antara obat dan lingkungan biologik pada site absorpsi dan cara pemberian obat sehingga menentukan disposisi zat aktif dalam tubuh Pengaruh dan interaksi antara zat aktif dengan tubuh menentukan bioavailabilitas obat secara biologis Studi biofarmasetika merupakan studi interdisipliner, membuka cakrawala pandang baru bagi ilmu farmasi dan biomedik. Biofarmasetika lebih mendalami pemberian obat secara ekstravaskuler. Cara pemberian ekstravaskuler yang terpenting adalah pemberian per oral. Fase biofarmasi obat per oral meliputi : pembebasan obat dari bentuk sediaan, disintegrasi dan disolusi di dalam cairan tubuh, absorpsi obat ke dalam peredaran sistemik, sehingga obat tersedia secara biologis untuk bekerja.

Halaman 1 (bioavailibilabilitas obat)

1.2

RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan bioavailabilitas obat? 1.2.2 Apakah factor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat? 1.2.3 Apakah pengaruh dari sediaan obat terhadap bioavailabilitas obat ?

1.3

TUJUAN MASALAH

1.3.1 Mengetahui secara jelas yang dimaksud dengan bioavailabilitas obat. 1.3.2 Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat. 1.3.3 Mengetahui pengaruh dari sediaan obat terhadap bioavailabilitas obat.

Halaman 2 (bioavailibilabilitas obat)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 PENGERTIAN Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :1.kecepatan absorpsi obat,2.jumlah obat yang diabsorpsi Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah: Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Halaman 3 (bioavailibilabilitas obat)

Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi 2.2 KETERSEDIAAN FARMASETIK Merupakan ukuran untuk bagian obat yang in vitro dilepaskan dari bentuk sediaannya dan siap diabsorpsi. Dengan kata lain, kecepatan larut obat yang tersedia in vitro.Dari penelitian pharmaceutical availability sediaan tablet diketahui bahwa setelah ditelan, tablet akan pecah (terdesintegrasi) di dalam lambung menjadi granul-granul kecil. Setelah granul pecah, zat aktif terlepas dan melarut (terdisolusi) di dalam cairan lambung atau usus. Setelah melarut, obat tersedia untuk diabsorpsi. Peristiwa ini disebut fase ketersediaan farmasetik.Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa obat yang diberikan dalam bentuk larutan, mencapai ketersediaan farmasetik lebih cepat dibandingkan sediaan tablet, karena tidak mengalami tahap desintegrasi. Pharmaceutical availability ditentukan secara in vitro di laboratorium dengan mengukur kecepatan melarut zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate). Pengukuran ini menggunakan metode dan alat yang ditetapkan oleh USP untuk meniru seakurat mungkin keadaan alami di dalam saluran cerna. Sayangnya, cara penelitian yang praktis ini jarang memberikan hasil yang berkorelasi dengan kadar obat dalam plasma in vivo, sehingga perlu dilanjutkan dengan pengukuran bioavailabilitas obat. Biovailabilitas diukur secara in vivo dengan menentukan kadar plasma obat setelah tercapai keadaan tunak (steady state). Pada keadaan ini, terjadi kesetimbangan antara kadar obat di semua jaringan tubuh dan kadar obat di plasma relatif konstan karena jumlah obat yang diabsorpsi dan dieliminasi adalah sama. Umumnya terdapat korelasi

Halaman 4 (bioavailibilabilitas obat)

yang baik antara kadar plasma dan efek terapetik obat.Beberapa tahun terakhir ini, dilakukan penelitian untuk menentukan kadar obat di dalam saliva (air liur), yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan penentuan kadar dalam plasma. Ternyata, terdapat korelasi pula antara kadar obat di dalam air liur dan kadar obat di dalam plasma. Biovailabilitas obat sangat bergantung pada 2 faktor, yaitu faktor obat dan faktor pengguna obat. Terdapat kemungkinan obat yang sama diberikan pada orang yang sama, dalam keadan berbeda, memberikan kurva dosis-respon yang berbeda.

Factor obat Kelarutan obat Ukuran partikel Bentuk fisik obat Dosage form Teknik formulasi Excipient

Faktor Pengguna Umur, berat badan, luas permukaan tubuh Waktu dan cara obat diberikan Kecepatan pengosongan lambung Gangguan hepar dan ginjal Interaksi obat lai

2.3

JENIS BIOAVAILABILITAS OBAT Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Bioavailabilitas absolute,yaitu bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena.Bioavailabilitas suatu produk obat

dibandingkan dengan bioavailabilitas secara intravena.

Halaman 5 (bioavailibilabilitas obat)

2. Bioavailabilitas relatif

: bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik

dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena.

2.4

KESETARAAN OBAT Farmakokinetik,yaitu 2 obat memiliki molekul kimia yang berbeda, tetapi mempunyai aktivitas yang sama dan melekat pada substrat molekul aktif yang sama. Misalnya bentuk ester dan garam dari suatu zat aktif. Farmasetik yaitu 2 produk obat dinyatakan memiliki fase farmasetik yang

sama apabila mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama serta bentuk sediaan yang sama dan memenuhi standar kompendial yang sama (misalnya waktu hancur, keseragaman kandungan, dan kecepatan disolusi), walaupun bentuk, mekanisme pelepasan, eksipien, kemasan, dan sebagainya berbeda. Biologik yaitu 2 produk obat disebut ekivalen apabila mempunyai ekivalensi farmasetik yang sama dan pada pemberian molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga kemanjuran dan keamanannya akan sama baiknya. Klinik/terapetik yaitu 2 obat yang diberikan pada subjek yang sama dengan posologi yang sama akan menghasilkan efek terapetik/toksisitas yang sama.Perbedaan dapat terjadi pada bioavailabilitas dan respon klinik apabila obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industry yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara pembuatan yang berbeda. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada bioavailabilitas dari produk obat yang diuji dengan produk obat pembanding, maka kedua produk itu dapat dikatakan inekivalen secara

Halaman 6 (bioavailibilabilitas obat)

terapetik. Dalam hal ini harud dilakukan reformulasi dan uji bioavailabilitas harus dilakukan lagi. Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk.Bahan-bahan obat yang memberikan perbedaan absorpsi antara bentuk halus dan tidak halus antara lain, acetosal, barbiturate, calciferol, chloramphenicol, digoxin, griseofulvin, hydroxyprogesterone acetate, nitrofurantoine, spironolactone, sulfadiazine, sulfamethoxine, sulfathiazole, sulfasoxazole, tetracycline, tolbutamide. 2.5 FARMAKOKINETIK OBAT Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat (Gunawan, 2009). Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh.

Halaman 7 (bioavailibilabilitas obat)

2.5.1 Absorpsi dan Bioavailabilitas Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik.Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan. Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).

Halaman 8 (bioavailibilabilitas obat)

Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.

Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat Metode absorpsi - Transport pasif : Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang. - Transport Aktif : Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi

Halaman 9 (bioavailibilabilitas obat)

Faktor yang mempengaruhi penyerapan 1. Aliran darah ke tempat absorpsi 2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi 3. Waktu kontak permukaan absorpsi

Kecepatan Absorpsi 1. Diperlambat oleh nyeri dan stress :Nyeri dan stress mengurangi aliran darah,Mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster 2. Makanan tinggi lemak : Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat 3. Faktor bentuk obat : Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll) 4. Kombinasi dengan obat lain :Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis obat

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.

Halaman 10 (bioavailibilabilitas obat)

2.5.2 Distribusi Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan cairan tubuh.Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor: a. Aliran darah : Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar adalah

Halaman 11 (bioavailibilabilitas obat)

Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat b. Permeabilitas kapiler : Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat c. Ikatan protein : Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

2.5.3 Biotransformasi / Metabolisme adalah upaya tubuh dalam mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain yang berguna untuk tujuan tertentu. Utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin,Enzim yang berperan dalam metabolisme yaitu :

1. Enzim yang terikat pada struktur: bersifat spesifik terhadap substrat. Misalnya glukoronil transferase dan monooksigenase.

2. Enzim yang tidak terikat pada struktur: bersifat tidak spesifik pada substrat. Contoh enzimnya adalah: esterase, aminase, dan sulfotransferase.

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi,

Halaman 12 (bioavailibilabilitas obat)

ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim nonmikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma. Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara: a. b. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan; Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme lanjutan. Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

Halaman 13 (bioavailibilabilitas obat)

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme: 1. Kondisi Khusus Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti sirosis. 2. Pengaruh Gen Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat. 3. Pengaruh Lingkungan Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera 4. Usia Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.

Tujuan Metabolisme Obat Mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif & tidak toksik (bioinaktivasi) sehingga mudah larut dalam air, lalu diekskresikan dari tubuh.Mengubah hasil metabolit obat menjadi lebih toksik dibanding dengan senyawa induk (biotoksifikasi). adalah upaya tubuh dalam mengubah bentuk obat menjadi bentuk lain yang berguna untuk tujuan tertentu. Utamanya adalah mengubah bentuk obat menjadi bentuk hidrofil agar lebih mudah dieksresikan melalui urin.

Halaman 14 (bioavailibilabilitas obat)

a. Reaksi dalam biotransformasi:

1. Reaksi fase 1: oksidasi, reduksi, dan hidrolisis. Reaksi ini mengubah obat menjadi bentuk lain. 2. Reaksi fase 2: konjugasi. Reaksi ini penggabungan molekul obat dan hasil metabolisme fase 1 dengan senyawa penkonjugasi endogen tubuh.

b. Reaksi Oksidasi:

Merupakan yang utama dari fase 1. Melibatkan enzim oksidase, monooksigenase (sitokrom 450), dan dioksigenase. Melakukan biotransformasi hampir sebagian obat.

c. Reaksi Reduksi: berperan sebagian kecil. d. Reaksi Biohidrolisis. Reaksi-reaksi yang penting adalah:

Perubahan ester dan amida menjadi asam dan alkohol oleh esterase (amidase). Perubahan epoksida menjadi diol. Hidrolisis asetal (glikosida) menjadi glikosidase.

e. Reaksi Konjugasi penting: Konjugasi asam sulfat: melibatkan fenol sulfotransferase. Konjugasi merkapturat melibatkan glutation. Konjugasi glukoronat reaksi dengan asam glukoronat. Konjugasi glisin/asam amino dengan asam karboksilat

Halaman 15 (bioavailibilabilitas obat)

Metilasi Asetilasi melibatkan asetiltransferase.

Contoh reaksi konjugasi adalah: aspirin dihidrolisis menjadi asam salisilat (bentuk lipofilnya 13%). Apabila dikonjugasikan dengan asam karboksilat (bentuk lipofilnya menjadi 12%), tetapi bila dikonjugasikan denagn glisin (bentuk lipofilnya menjadi 50%).

2.5.4 Ekskresi Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paruparu, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal. Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009). Hal-hal lain terkait Farmakokinetik: a. Waktu Paruh Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan ekskresi.Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.

Halaman 16 (bioavailibilabilitas obat)

b. Onset, puncak, and durasi Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon.Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

2.6

FARMAKODINAMIK OBAT Farmakodinamik mempelajari mekanisme kerja obat dengan tujuan meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel,dan mengetahui utama peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi(setiawati dkk.2007). kebanyakan obat bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor,berinteraksi dengan enzim, ataupun dengan kerja non-spesifik. Protein merupakan reseptor obat yang paling penting(setiawati dkk.2007). jenis-jenis protein yang lain yang telah diidentifikasikan sebagai reseptor obat meliputi enzim-enzim ,transport protein (misalnya Na+/K+ ATPase),dan protein structural (misalnya tubulin) (bourne dan Roberts,2007). Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada(setiawan dkk.2007) Berakhirnya kerja obat pada tingkat reseptor merupakan salah satu akibat dari serangkaian proses. Dalam beberapa hal, efek berlangsung hanya selama obat menempati resptor sehingga dengan lepasnya obat dari reseptor efek dan akan segera berakhir. Ada juga kerja obat masih tetap ada meskipun obat sudah terdiosisasi disebabkan oleh adanya beberapa molekul pasangan masih dalam bentuk aktif(katzung,2007) Semua respon farmakologik harus mempunyai suatu efek maksimum(Emax). Tidak peduli berapa konsentrasi obat yang akan dicapai, akan didapat suatu titik dimana

Halaman 17 (bioavailibilabilitas obat)

tidak ditemukan lagi suatu respon. Kepekaan organ target pada obat dicerminkan oleh konsentrasi obat yang diperlukan untuk menghasilkan 50% dari efek maximum. Kepekaan yang meningkat pada suatu obat biasanya ditandai oleh respon yang berlebihan pada dosis kecil atau dosis sedang(holford.2007)

2.7

DRUG SOLUBILITY Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat) Modifikasi Kimiawi Obat a. Pembentukan Garam Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat aktif berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu transit di dalam saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan usus.Peningkatan kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku untuk obat-obat berikut : penicilline, barbiturate, tolbutamide, tetracycline, acetosal,dextromethorphane, asam salisilat, phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin larut aie, sulfat, quinine b. Pembentukan Ester Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain : 1. Menghindarkan degradasi obat di lambung : Ester dari erythromycin (misalnya erythromycine succinat) memungkinkan obat tidak rusak pada suasana asam di

Halaman 18 (bioavailibilabilitas obat)

lambung. Ini merupakan semacam pro-drug, dalam suasana lebih basa di usus, terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat. 2. Memperlama masa kerja obat Misalnya esterifikasi dari hormon steroid. 3. Menutupi rasa obat yang tidak enak Contohnya adalah ester dari kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat dan Kloramfenikol stearat dihidrolisis di usus halus untuk melepaskan kloramfenikol.

Modifikasi Bentuk Fisik Obat : a. Bentuk Kristal atau Amorf Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari bentuk Kristal b. Pengaruh Polimorfisme Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus.

c. Bentuk Solven dan Hidrat

Halaman 19 (bioavailibilabilitas obat)

Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih mudah larut daripada Ampisilian trihidrat. 2.8 EXCIPIENT Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi obat. Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada tahun 1971 diAustralia. Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet fenitoin memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar fenitoin tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi pada formula tablet tersebut menggunakan laktosa, sebelumnya kalsium sulfat. Penggantian Laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas sehingga terjadi efek toksis.Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air (polivinil pirolidon, carbowax), dapat meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Sebaliknya, zat-zat hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal magnesium stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan aerosol sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusi Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (pada suspensi), seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat disolusi. Sebaliknya zat penghancur seperti

Halaman 20 (bioavailibilabilitas obat)

amilum justru mempercepat disolusi.Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi obat. Kini lebih umum basis sintetis dibandingkan oleum cacao. Tetapi bberapa obat sukar dilepaskan dari basis ini. Sehingga indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleum cacao. 2.9 BENTUK SEDIAAN Kecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat. Kecepatan disolusi dari berbagai sediaan oral menurun dengan urutan berikut : Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul < tablet < film coated (salut film) < dragee (salut gula) < enteric coated (salut selaput) < sustained release/retard. Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan praktis, lebih rendah efektivitasnya dibandingkan sediaan cair, serbuk, dan kapsul.

Halaman 21 (bioavailibilabilitas obat)

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Bioavailabilitas adalah presentase obat yang diabsorbsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya. Dari Beberapa dekade lalu, Farmasi hanya memberikan sedikit perhatian terhadap evaluasi biofarmasetik obat ketika melansir produk obat baru. Di masa mendatang, perizinan produk obat baru seharusnya disertai dengan evaluasi biofarmasetika dan farmakoninetika, termasuk bioavailabilitas obat. Keharusan in telah diberlakukan oleh beberapa negara. Bioekivaensi in vivo pada manusia merupakan keharusan untuk Obat-obat dengan therapeutical window sempit, yaitu perbandingan LD50/ED50 kurang dari dua. Beberapa factor yang mempengaruhi respon penderita terhadap obat yaitu penggunaan dosis yang harus tepat ,factor farmakokinetik berupa (absorpsi ,metabolisme ,distribusi,ekskresi),Faktor farmakodinamik yang merupakan interaksi yang terjadi secara farmakokinetik yang terjadi ditempat kerja obat berupa intensitas obat reseptor,keadaan fungsional jaringan jaringan,mekanisme homeostatic)

3.2

SARAN Dalam memberikan obat kepada pasien,harus di perhatikan bioavailabilitas dari obat tersebut,karena bioavailabilitas obat menentukan nasib obat didalam tubuh dan kerja terhadap reseptor yang dituju,agar terapi yang diberikan tepat pada sel target yang diinginkan.

Halaman 22 (bioavailibilabilitas obat)

DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Lukman. 2002. Farmakokinetika. Bursa Buku. Yogyakarta R, Husniah. 2007. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta http://youngnurse2010.blogspot.com/2012/05/farmakokinetik-dan-farmakodinamik.html Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .http :// allaboutly . wordpress.com/2013/04/page/2/ Shargel L, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 3th.ed. Appleton 1992; Notari, RE, Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics, 1980; Rowland, M, Clinical Pharmacokinetics,1980. Wagner, J.G., Fundamental of Clinical Pharmacokinetics, 1st ed., Drug Intel Publ, 1975 4. Wagner, J.G., Pharmacokinetics for the Pharmaceutical Scientist, Thechnomic Publ., Bassel, 1999 Scribd.FKUI.2012.bioavailabilitas obat(di download: 2 maret 2014)

Halaman 23 (bioavailibilabilitas obat)

You might also like