You are on page 1of 105

Emasains

JURNAL EDUKASI
MATEMATIKA dan SAINS

Model Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Alat Peraga Tiga Dimensi.
Hubungan Antara Pola Makan Dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua.
Kematian Tanaman Cengkeh di Kabupaten Buleleng Akibat serangan
Jamur Akar Putih.
Pengaruh Ekstrak Stolon Rumput Teki (Cyperus rotundus) terhadap
Pertumbuhan Kacang Tanah.
Inventarisasi Tanaman Upakara Sebagai Sarana Upacara Agama
Masyarakat Hindu di Desa Lalang Linggah.
Eksplorasi Jenis-jenis Bambu di Kabupaten Jembrana Bali.
Pendekatan Fungsi Trigonometri Deret Fourier Pada Regresi Nonlinear.
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan pada Musim Kemarau Melalui Budidaya
Jagung Berbasis Semi Organik Tanpa Olah Tanah.
Segiempat Saccheri (Kajian Teoretik Pada Geometri Non Euclid).
Pemetaan Kompetensi Pedagogik dan Profesional Mahasiswa Semester
VII FPMIPA IKIP PGRI Bali.


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI
Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur
Telp. (0361) 265693 Email: fpmipaikippgribali@yahoo.co.id
JEms
VOLUME lI, NOMOR 2, MARET TAHUN 2013 ISSN 2302-2124
YAYASAN PEMBINA LEMBAGA PENDIDIKAN (YPLP) PERGURUAN TINGGI
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI
Alamat: Jalan Seroja Tonja Denpasar Utara tlp: (0361) 431434
Alamat Web: ikippgribali.ac.id
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN,
Jurusan/PS Bimbingan dan Konseling
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA SENI,
Jurusan/PS: Pend. Bhs. Indonesia dan Daerah Bali,
Pend. Sendratasik dan Pend. Seni Rupa.
FAKULTAS PENDDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL,
Jurusan/PS: Pend. Ekonomi, dan Pend. Sejarah.
FAKULTAS PENDIDIKAN OLAH RAGA DAN KESEHATAN,
Jurusan/Prodi: Pend. Olah Raga dan Kesehatan
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FPMIPA)
Jurusan/PS: Pendidikan Matematika dan Pendidikan Biologi
Alamat: Jln Akasia No 16 Tanjung Bungkak Denpasar Timur tlp. (0361) 265693
e-mail: fpmipaikippgribali@yahoo.co.id
J
U
R
N
A
L

E
D
U
K
A
S
I
M
A
T
E
M
A
T
I
K
A

d
a
n

S
A
I
N
S
V
O
L
U
M
E

I
I
,

N
O
M
O
R

3
,

S
E
P
T
E
M
B
E
R

T
A
H
U
N

2
0
1
3
I
S
S
N

2
3
0
2
-
2
1
2
4
VOLUME II, NOMOR 3, SEPTEMBER TAHUN 2013 ISSN 2302-2124
i Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
MATEMATIKA dan SAINS
JURNAL EDUKASI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) PGRI BALI
Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur
Telp. (0361) 265693 Email: fpmipaikippgribali@yahoo.co.id
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
ii

Emasainsjurnal edukasi matematika dan sains

Emasains, Jurnal Edukasi Matematika dan Sains terbit dua kali dalam setahun (Maret dan September),
Berbahasa Indonesia maupun Inggris. Sebagai media komunikasi ilmiah dengan kajian masalah pendidikan,
pendidikan matematika, sains dan lingkungan hidup. Memuat tulisan yang berasal dari hasil penelitian,
kajian teoretis dan aplikasi teori.

Penasehat
Dr. I Made Suarta, SH., M. Hum
Penanggungjawab
Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si.
Ketua Redaksi
Drs. I Nengah Suka Widana, M.Si
Sekretaris Redaksi
Dra. I Gusti Ayu Rai, M.Si.; I Wayan Eka Mahendra, S.Pd., M.Pd
Redaksi Ahli
Prof.Dr. I Wayan Suparta, M.S (UNUD).
Prof. Dr. Putu Budiadnyana, M.Si (Undiksha Singaraja).
Dr. Bayu Aji (LIPI-Kebun Raya Eka Karya Bali).
Dr. Ir. I G.N. Alit Wirya Susanta, M.Agr. (UNUD).
Drs. I Wayan Budiyasa, M.Si. (IKIP PGRI Bali).
Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd. (IKIP PGRI Bali).
Redaksi Pelaksana
Drs. Made Surat, M.Pd.; Drs I Wayan Sudiarsa.; Drs. I Made Sunastra, M.Si.
M.Si.; Drs. I Made Subrata; M.Si; I Wayan Widana, S.Pd., M.Pd.
N. Putri Sumaryani, SP., M.MA.; Made Wahyu Cerianingsih, S.Si.
Ni Luh Mery Marlinda, S.Pd.
Bendahara
Dra. Ni Nyoman Parmithi, MM.
Distribusi
Putu Sukerteyasa, S.Pd.; Gustut Aryana, S.Pd.
Pembantu Pelaksana Tata Usaha
Sri Utami, S.Pd.; Wayan Ariastini Dewi.
Alamat Redaksi
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP PGRI Bali
Jln Akasia Desa Sumerta No.: 16 Denpasar Timur
Telp. (0361) 265693 Email: fpmipaikippgribali@yahoo.co.id
JEms
iii Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
Emasains jurnal edukasi matematika dan sains
DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI iv
Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Berbantuan Alat Peraga Tiga Dimensi Terhadap Hasil
Belajar Biologi
I Nengah Suka Widana dan Putu Ayu Desi Wahyuni 1-10
Hubungan Antara Pola Makan Dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Dengan Prestasi Belajar
Ipa Peserta Didik Sekolah Dasar N 2 Penatih Kecamatan Denpasar Timur
Ni Nyoman Parmithi, Putu Risna Pramudya.. 11-16
Kematian Tanaman Cengkeh (Zyzygium aromaticum L.) di Kabupaten Buleleng Akibat
Serangan Jamur Akar Putih (Rigidoporus ligosus Swartz: Fr.) Van overeem
I Wayan Suanda....... 17-25
Pengaruh Ekstrak Stolon Rumput Teki (Cyperus rotundus) terhadap Pertumbuhan Kacang
Tanah (Arachis hypogaea L.)
I Made Subrata..... 26-32
Inventarisasi Tanaman Upakara Sebagai Sarana Upacara Agama Masyarakat Hindu Di Desa
Lalang Linggah Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan
N. Putri Sumaryani dan Ni Made Yeti Susanti... 33-41
Eksplorasi Jenis-jenis Bambu di Kabupaten Jembrana Bali.
Ida Bagus Ketut Arinasa. 42-49
Pendekatan Fungsi Trigonometri Deret Fourier pada Regresi Nonlinear
I Wayan Sudiarsa ........ 50-63
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pada Musim Kemarau Melalui Budidaya Jagung Berbasis
Semi Organik Tanpa Olah Tanah Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Petani
I Made Sudiana, Made Maduriana, dan Gusti Agung Gde Eka Martiningsih..... 64-71
Segiempat Saccheri (Kajian Teoretik Pada Geometri Non Euclid)
I Wayan Widana.. 72-85
Pemetaan Kompetensi Pedagogik Dan Profesional Mahasiswa Semester VII FPMIPA IKIP
PGRI Bali Tahun Akademik 2012/2013
I Nengah Suka Widana dan Ni Wayan Desi Anggreni.. 86-100
PEDOMAN PENULISAN EMASAINS .............. 101-102
JEms
iv
1-10
11-16
17-25
26-32
33-41
42-49
50-60
61-68
69-82
83-97
98-100
...................................................................................................
iii Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 iv
Emasains jurnal edukasi matematika dan sains
PENGANTAR REDAKSI
Para pembaca (kalangan akademisi dan umum) yang kami hormati, selama perjalanan hingga
penerbitan Volume II Nomor 3 September 2013, Jurnal Edukasi Matematika dan Sains (Emasains), telah
menghantarkan sebanyak 34 judul karya ilmiah baik berupa kajian teoretik maupun hasil riset. Terdapat
sedikit perubahan tampilan isi pada penerbitan Volume II Nomor 3 September 2013 yaitu tampilan dengan
gaya dua (dua) kolom mulai dari bagian pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan
dan saran serta daftar rujukan dan ucapan terima kasih. Perubahan dalam tampilan dengan gaya dua kolom
dimaksudkan agar lebih memberikan kesempatan kepada indra mata, dan otak para pembaca menjadi
maksimal dalam menyimak dan membaca setiap artikel. Selain hal tersebut keuntungan yang diberikan
dengan gaya tampilan dua kolom adalah lebih cepat dapat menemukan kesalahan ketik, kalimat-kalimat
diulang-ulang dan bentuk-bentuk kesalahan lainnya yang sering muncul dalam penulisan artikel ilmiah.
Dibandingkan dengan tampilan dalam satu kolom penyajian tulisan cendrung akan lebih panjang pada setiap
kalimat dan paragrafnya, sehingga kemampuan memori otak dalam melakukan abstraksi, proses perolehan
makna (pemahaman) sering terjadi distorsi dan infrensi antara makna satu dengan lainnya. Hal tersebut
sering menimbulkan kebingungan menemukan makna hubungan, keterkaitan antara satu bagian dengan
bagian lainnya yang terkandung dalam setiap kalimat atau paragrafnya. Lebih celaka lagi memberi kesan
monoton dan membosankan sehingga ada kecendrungan jurnal Emasains hanya dijadikan pajangan semata.
Harapan dari redaksi, dengan tampilan isi jurnal Emasains pada Vol.II No.3 ini dalam gaya dua (2)
kolom dapat menambah motivasi, dan semangat para akademisi, insan ilmiah untuk lebih kreatif, lebih teliti,
dalam memaparkan tulisannya.
Denpasar, September 2013
REDAKSI
JEms
1 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI BERBANTUAN ALAT PERAGA
TIGA DIMENSI TERHADAP HASIL BELAJAR BIOLOGI
I Nengah Suka Widana dan Putu Ayu Desi Wahyuni.
Jurusan/PS. Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
e-mail: ngh_sukawidana@yahoo.co.id
ABSTRACT
Application equipment inquiry learning model aided figure of three dimensions of learning
biology
The purpose of the study to determine the effect of the application of inquiry learning
model aided figure of three-dimensional visual aids to learning achievement biology. Done in
class XI Science SMAN 1 Abiansemal Badung academic year 2011-2012. This type of research
is carried out with a quasi-experimental study involving a population of 5 classes, the number of
254 students. Random sampling of the population with the lottery technique class, the next class
to get the two groups are treated as one experimental group and the other as a group and the
control. To obtain the learning outcomes data, the test method is used to provide an objective test
as many as 15 questions. Based on the results of t-test analysis, obtained t of 2.515 with a level
of 5% or (db): 95% and df = 97 is obtained boundaries of criticism rejection of the null
hypothesis at 1,980. Means of t > t table then interpreted the null hypothesis was rejected and
accept the alternative hypothesis. It can be concluded that there is influence of the application of
inquiry learning model aided three-dimensional visual aids props to the student learning
outcomes biology class XI Science SMAN 1 Abiansemal school year 2011/2012.
Keywords: inquiry learning model, three-dimensional display, learning outcomes.
PENDAHULUAN
Dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan, yang terindikasi dari
ketercapaian lulusan. Guru sebagai
komponen dalam pembelajaran berperan
penting dalam pencapaian tujuan
pembelajaran (Basuki, 2003). Tujuan
pembelajaran secara efektif dan efisien
dapat dicapai melalui peningkatan kualitas
sumber daya guru, berimbas pada kualitas
pembelajaran yang akhirnya akan bermuara
pada peningkatan kualitas lulusan. Berbagai
konsep dan paradigma pembelajaran telah
dikembangkan seiring dengan kemajuan
ipteks. Guru sebagai pendidik dan pengajar,
dituntut selalu mengikuti perkembangan
konsep-konsep baru dalam dunia pendidikan
(Suryosubroto, 2009). Sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Suwarno, 2006).
Djamarah (2010) mengemukakan bahwa inti
kegiatan pembelajaran adalah kegiatan
belajar peserta didik dalam mencapai tujuan
pembelajaran, yang dapat dicapai jika
peserta didik berusaha aktif baik keterlibatan
secara fisik maupun mental. Observasi
pendahuluan diperoleh bahwa rata-rata hasil
belajar biologi yang dicapai peserta didik di
SMA N 1 Abiansemal Badung, berkategori
rendah. Hal tersebut salah satu faktor
penyebabnya adalah guru dalam
pembelajaran hanya berkonsentrasi pada
substansi materi pelajaran yang dijelaskan,
sehingga guru merupakan pusat kegiatan
pembelajaran, dan siswa cenderung pasif.
Dalam event pembelajaran seperti ini siswa
hanya mendengarkan, mencatat penjelasan,
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
2
2
dan mengerjakan soal. Dengan demikian
potensi diri dan pengalaman belajar kurang
berkembang, sehubungan dengan hal
tersebut, guru seharusnya mampu
merencanakan dan menciptakan kondisi
pembelajaran sedemikian, sehingga siswa
tertarik mempelajari biologi.
Beberapa model pembelajaran untuk
meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
biologi, antara lain model pembelajaran
berbasis masalah, CTL dan lainnya. Secara
teoretis model pembelajaran yang dapat
melibatkan secara maksimal aktivitas siswa
untuk mencari dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga
mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya, yaitu model pembelajaran
inkuiri. Pembelajaran inkuiri beriorientasi
pada keterlibatan siswa secara maksimal,
keterarahan kegiatan secara maksimal dalam
proses kegiatan belajar, mengembangkan
sikap percaya diri siswa tentang apa yang
ditemukan dalam proses pembelajaran.
Praktek pembelajaran inkuiri di kelas, sangat
dituntut kemampuan mandiri siswa dalam
belajar, sehingga memerlukan input
berbagai alat peraga dalam proses
pembelajarannya untuk menkonkritkan
materi pelajaran yang abstrak. Dalam
kesempatan penelitian ini substansi materi
pelajaran yang dijelaskan, yaitu struktur dan
fungsi sistem pernapasan manusia dan
hewan, merupakan materi bahasan abstrak
karena membahas fisiologi organ-organ
dalam pernapasan manusia dan hewan.
Untuk hal tersebut dari kajian teoretis bahwa
alat peraga berperanan penting sebagai alat
bantu untuk menciptakan proses belajar
mengajar yang efektif. Berdasarkan paparan
tersebut, permasalahan yang akan dikaji,
apakah penerapan model pembelajaran
inkuiri berbantuan alat peraga tiga dimensi
berpengaruh terhadap hasil belajar biologi
siswa. Tujuan yang ingin dicapai adalah
untuk mendapatkan realitas sejauh mana
pengaruh penerapan model pembelajaran
inkuiri berbantuan alat peraga tiga dimensi
terhadap hasil belajar Biologi pada siswa.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk pembelajaran khususnya pada
pembelajaran biologi, dalam meningkatkan
aktivitas dan kemandirian belajar siswa agar
kualitas pembelajaran menjadi meningkat.
Secara praktis, direkomendasi kepada guru
ataupun calon guru biologi dalam memilih
model pembelajaran yang dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
yang bermuara pada ketercapaian hasil
belajar biologi yang maksimal. Dalam
penelitian ini ditetapkan asumsi, yaitu
kondisi siswa diasumsikan berkeadaan sehat
jasmani dan rohani saat mengikuti pelajaran
biologi. Sarana, prasarana dan fasilitas
belajar dalam mata pelajaran biologi yang
dimiliki sekolah dan siswa diasumsikan
telah memadai dalam menunjang proses
pembelajaran. Penelitian dilakukan terbatas
pada siswa kelas XI IPA di SMA N 1
Abiansemal, dan hanya terbatas meneliti
pengaruh penggunaan model pembelajaran
inkuiri berbantuan alat peraga tiga dimensi
terhadap hasil belajar biologi.
Karakteristik pembelajaran inkuiri
adalah melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis,
analitis sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penemuannya dengan penuh percaya
diri. Materi pelajaran tidak diberikan secara
langsung, peran siswa dalam pembelajaran
adalah mencari dan menemukan sendiri,
sedangkan guru berperan sebagai fasilitator
dan pembimbing siswa untuk belajar.
Pembelajaran ini sering juga dinamakan
pembelajaran heuristic, yang berasal dari
bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti
saya menemukan. Joyce dalam Gulo (2005)
bahwa syarat inkuiri yang diperlukan yaitu
aspek sosial di dalam kelas dan suasana
bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi; berfokus
3 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
3
pada hipotesis yang perlu diuji
kebenarannya; dan penggunaan fakta
sebagai evidensi dan di dalam proses
pembelajaran dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis.
Pembelajaran inkuiri menekankan kepada
aktivitas siswa secara maksimal untuk
mencari dan menemukan jawaban atau
konsep. Artinya, pada pembelajaran inkuiri
menempatkan siswa sebagai subjek belajar,
mereka berperan untuk menemukan sendiri
konsep aktual dari materi pelajaran tersebut.
Aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan
untuk mencari dan menemukan jawaban
sendiri dari permasalahan, sehingga dapat
menumbuhkan sikap percaya diri (self
belief). Peran guru sebagai fasilitator dan
motivator belajar bagi siswa. Aktivitas
pembelajaran dilakukan melalui proses
tanya jawab antara guru dan siswa. Guru
dalam mengembangkan sikap inkuiri di
kelas mempunyai peranan sebagai konselor,
konsultan, teman yang kritis dan fasilitator.
Tujuan pembelajaran inkuiri adalah
mengembangkan kemampuan berpikir
secara sistematis, logis, dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual
sebagai bagian dari proses mental. Dengan
demikian, dalam pembelajaran inkuiri siswa
tidak hanya dituntut untuk menguasai materi
pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka
dapat menggunakan potensi yang dimiliki.
Menggunakan prinsip-prinsip berorientasi
pada pengembangan intelektual, prinsip
interaksi, prinsip bertanya, prinsip belajar
untuk berpikir (learning how to think), dan
prinsip keterbukaan.
Struktur (syntax) pembelajaran inkuiri,
meliputi (1) merumuskan masalah,
kemampuan siswa yang diperlukan (a)
kesadaran terhadap masalah; (b) melihat
pentingnya masalah dan (c) merumuskan
masalah. (2) Mengembangkan hipotesis;
kemampuan yang dituntut meliputi: (a)
menguji dan menggolongkan fakta atau data
yang dapat diperoleh dari berbagai sumber
(misalnya melalui kajian teori dalam
pustaka); (b) melihat dan merumuskan
hubungan yang ada secara logis; dan
merumuskan hipotesis. (3) Menguji jawaban
tentatif; kemampuan yang dituntut meliputi:
(a) merakit peristiwa, terdiri atas:
mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan,
mengumpulkan data, dan mengevaluasi
data; (b) menyusun data, terdiri dari
mentranslasikan, menginterpretasikan dan
mengkasifikasikan data; (c) analisis data,
terdiri atas melihat hubungan, mencatat
persamaan dan perbedaan, dan
mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan
keteraturan (fakta ataupun data bersumber
dari alat peraga tiga dimendi dan kajian
teoretis). (4) Menarik kesimpulan;
kemampuan yang dituntut adalah: (a)
mencari pola dan makna hubungan; (b)
merumuskan kesimpulan. (5) Menerapkan
kesimpulan dan generalisasi pada situasi
berbeda. Penggunaan alat peraga dalam
pembelajaran sangat membantu guru-peserta
didik dalam menkonkritkan bahan atau
materi pelajaran abstrak. Sudjana (2002)
mengemukakan bahwa alat peraga adalah
suatu yang dapat diindra oleh mata dan
telinga dengan tujuan membantu guru agar
proses belajar mengajar siswa lebih efektif
dan efisien. Proses belajar mengajar
melibatkan beberapa komponen antara lain
tujuan, bahan, metode dan alat, serta
evaluasi. Model pembelajaran dan alat bantu
mengajar merupakan unsur yang tidak
terpisahkan dari unsur lainnya yang
berfungsi sebagai cara atau tehnik untuk
mengantarkan informasi agar sampai tujuan.
Dalam pencapain tersebut, peranan alat
bantu atau alat peraga, sangat penting sebab
materi pelajaran akan menjadi lebih konkrit
dan dengan mudah dapat dipahami oleh
siswa. Pada pembelajaran IPA ataupun
Biologi dikenal berbagai macam alat peraga,
misalnya spesimen, model torso, carta, dan
lain-lain. Alat peraga tiga dimensi adalah
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
4
4
alat peraga pada umumnya berbentuk model.
Model didefinisikan sebagai benda
pengganti benda sebenarnya dalam bentuk
lebih sederhana, secara proporsional dengan
menghilangkan bagian-bagian yang kurang
perlu serta menonjolkan bagian tertentu.
Model are scaled representations of thing,
besarnya dapat sama, lebih kecil atau lebih
besar, tapi bentuknya biasanya selalu sama
seperti benda yang asli (Hamalik, 1994).
Alat peraga tiga dimensi yang dimaksud
yaitu peraga yang didesain sebagai
pengganti benda asli, dalam bentuk lebih
kecil atau lebih besar yang dapat dibawa ke
dalam kelas untuk membantu memperjelas
materi pelajaran. Karakteristik alat peraga
tiga dimensi mempunyai tiga permukaan
yaitu panjang, lebar dan tinggi. Jika
dikaitkan dengan pengalaman belajar yang
diperoleh siswa, peraga tiga dimensi
memberikan pengalaman lebih riil, proses
penerimaan pelajaran akan lebih berkesan
secara mendalam, sehingga membentuk
pengertian yang lebih baik dan lebih
sempurna. Nurbatni (2005) bahwa alat
peraga tiga dimensi merupakan alat bantu
yang efektif dalam mengaktifkan berbagai
indera dalam belajar mengajar. Kelebihan
lain dari alat peraga tiga dimensi ialah
memberi kesempatan siswa dalam tugas
yang nyata memperlihatkan rangsangan
yang relevan, memperbesar motivasi dan
minat belajar. Namun demikian Hamalik
(1994) menyatakan, meskipun alat peraga
tiga dimensi sudah dapat dianggap mewakili
benda asli, namun karena benda tiruan tentu
memiliki kekurangan dalam aspek-aspek
tertentu disebabkan aspek ukuran benda,
perubahan, perkembangan zaman dan
Ipteks.
Pada sisi lain, Pangaribuan dalam
Hasman (2010) bahwa pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang
dilaksanakan berdasarkan kebiasaan,
pembelajaran tradisional yang
mempersiapkan siswa belajar secara
individu dan kompetitif untuk memahami
pengetahuan prosedural dan pengetahuan
deklaratif yang terstruktur, berasal dari
pengajar sebagai pusat pembelajaran.
Pembelajaran biologi saat ini, yang
berlangsung di sekolah biasanya dimulai
dari teori kemudian diberikan contoh soal
dan dilanjutkan dengan latihan soal.
Mengajar langsung lebih menekankan pada
penyampaian pengetahuan kepada siswa
sehingga kegiatan pembelajaran lebih
berpusat pada guru. Selama kegiatan
pembelajaran, guru cenderung lebih
mendominasi, dan hampir tidak ada interaksi
antar siswa. Kebanyakan aktivitas siswa
hanya mendengarkan dan menulis, sangat
sedikit siswa yang mengajukan pertanyaan
kepada guru. Selain kelemahan, kebaikan
pembelajaran konvensional yaitu dapat
diterapkan pada kelas yang besar dan setiap
siswa mempunyai kesempatan yang sama
untuk mendengarkan penjelasan guru,
kemampuan individu siswa kurang
mendapatkan perhatian sehingga isi dari
silabus dapat mudah diselesaikan, dan bahan
pelajaran dapat diberikan secara urut sesuai
kurikulum. Pembelajaran sebagai aktivitas
utama di sekolah melibatkan tiga unsur,
yaitu tujuan, pengalaman belajar mengajar
dan hasil belajar. Hasil belajar merupakan
hasil yang dicapai siswa setelah mengalami
proses belajar dalam waktu tertentu, berupa
kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman belajar
(Sudjana, 2006). Untuk dapat menentukan
tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran
dilakukan usaha untuk menilai hasil belajar.
Penilaian ini bertujuan untuk melihat
kemajuan peserta didik dalam menguasai
materi yang telah dipelajari dan ditetapkan
(Arikunto, 2009). Hasil belajar tampak
sebagai perubahan tingkah laku pada diri
siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam
bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan (Hamalik, 2003). Bloom
dalam Sudjana (2006), ada tiga ranah
5 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
5
(domain) hasil belajar, yaitu ranah afektif,
yang berkaitan dengan perasaan, emosi,
sikap, derajat penerimaan atau penolakan
terhadap suatu objek; ranah psikomotor,
yang berkaitan dengan kemampuan
melakukan pekerjaan yang melibatkan
anggota badan, kemampuan yang berkaitan
dengan gerak fisik; ranah kognitif, berkaitan
dengan kemampuan berpikir, kemampuan
memperoleh pengetahuan, pengenalan,
pemahaman, konseptualisasi, penentuan dan
penalaran.
Sardiman (2007) menyatakan bahwa
hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
subjek belajar dengan dunia fisik dan
lingkungannya. Hasil belajar seseorang
bergantung pada apa yang telah diketahui si
subjek belajar, tujuan, motivasi yang
mempengaruhi proses interaksi dengan
bahan yang sedang dipelajari. Usman (2003)
menyatakan hasil belajar siswa dipengaruhi
oleh berbagai faktor internal meliputi faktor
jasmaniah (fisiologi), seperti mengalami
sakit, cacat tubuh atau perkembangan yang
tidak sempurna; faktor psikologis, seperti
kecerdasan, bakat, sikap, kebiasaan, minat
kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian
diri; serta faktor kematangan fisik maupun
psikis. Faktor eksternal meliputi faktor
sosial, seperti lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, dan kelompok; faktor budaya,
seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian; faktor lingkungan
fisik, seperti fasilitas rumah dan fasilitas
belajar; serta faktor lingkungan spiritual atau
keagamaan. Berdasarkan kajian teoretis
tersebut, hipotesis yang diajukan adalah
bahwa ada pengaruh penerapan model
pembelajaran inkuiri berbantuan alat peraga
tiga dimensi terhadap hasil belajar biologi
siswa kelas XI IPA SMA N 1 Abiansemal
Tahun Pelajaran 2011-2012.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah
eksperimen semu (kuasi eksperimen),
karena kemampuan mengontrol perilaku
obyek penelitian sangat terbatas, peneliti
juga tidak mampu untuk mengetahui
persepsi obyek terhadap perlakuan secara
pasti atau tidak bermaksud dan tidak
memiliki kemampuan untuk mengubah kelas
dari kondisi yang sudah ada sebelumnya.
Desain eksperimen semu, dengan
Noneqivalent Control Group Design atau
intac group (Campbell et al, 1966).
Rancangan ini dipilih karena dilakukan pada
kelas tertentu yang telah ada. Dalam
menentukan subyek untuk kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol tidak
memungkinkan mengubah atau memindah
anggota kelas yang telah terbentuk
sebelumnya. Dengan demikian randomisasi
individu peserta didik tidak dapat dilakukan,
dalam menetapkan kelompok eksperimen
dan kontrol dilakukan secara acak terhadap
kelas yang ada. Pada penelitian ini sebagai
perlakuan adalah pembelajaran inkuiri
berbantuan alat peraga tiga dimensi untuk
kelompok eksperimen dan model
pembelajaran konvensional untuk kelompok
kontrol. Sebagai populasi, sekelompok siswa
terhimpun dalam kelompok yaitu kelas,
terdapat 5 kelas yaitu XI IPA3; XI IPA4; XI
IPA5; XI IPA6 dan XI IPA 7 SMA N 1
Abiansemal Tahun pelajaran 2011-2012,
dimana jumlah individu peserta didik pada
kelima kelas tersebut 254 siswa. Oleh
karena keterbatasan dalam pengendalian
individu peserta didik, atau tidak
memungkinkan pengacakan individu, maka
pemilihan sampel dilakukan dengan
mengacak kelompok individu (kelas). Kelas
dipilih sebagaimana telah terbentuk tanpa
campur tangan peneliti, sedangkan
kemungkinan pengaruh-pengaruh dari
keadaan subjek mengetahui dirinya
dilibatkan dalam eksperimen dapat
dikurangi sehingga penelitian ini benar-
benar menggambarkan pengaruh perlakuan
yang diberikan. Berdasarkan karakteristik
populasi, pengambilan sampel dilakukan
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
6
6
dengan teknik random sampling, terhadap
objek kelas. Langkah yang dilakukan dalam
melakukan sampling adalah dengan teknik
undian sehingga diperoleh dua kelas yaitu
kelas XI IPA4 dan XI IPA7, selanjutnya
dilakukan undian kedua untuk menentukan
kelas eksperimen dan kontrol, diperoleh;
kelas XI IPA4 (kelompok ekperimen)
dengan jumlah peserta didik sebanyak 49
dan kelas XI IPA7 (kelompok kontrol)
berjumlah 50 peserta didik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini yang dilaksanakan di
SMA N 1 Abiansemal Kabupaten Badung,
sejak tanggal 29 Februari, sampai dengan 23
Maret 2012. Untuk mengumpulkan data
tersebut digunakan tes, yaitu tes untuk
mengukur hasil belajar biologi, ditujukan
untuk mengukur ranah kognitif. Menurut
Arikunto (2009) tes adalah serentetan
pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur ketrampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau
bakat yang dimiliki oleh individu atau
kelompok. Dalam penelitian ini digunakan
tes pilihan ganda (multiple choice test).
Dimana tes pilihan ganda terdiri atas suatu
keterangan atau pemberitahuan tentang
suatu pengertian yang belum lengkap. Dan
untuk melengkapinya harus memilih satu
dari beberapa kemungkinan jawaban yang
telah disediakan. Atau tes pilihan ganda
terdiri atas bagian keterangan (stem) dan
bagian kemungkinan jawaban atau alternatif
(options). Kemungkinan jawaban terdiri atas
satu jawaban yang benar yaitu kunci
jawaban dan beberapa pengecoh
(distractor). Uji coba instrumen
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
validitas dan reliabilitas instrument sebelum
digunakan untuk mengumpulkan data. Uji
validitas menyangkut valditas isi dan
empirik. Uji validitas isi dilakukan dengan
cara menyesuaikan butir tes dengan
indikator dan standar kompetensi, dengan
membuat blue print atau kisi-kisi soal.
Sedangkan validitas empirik diuji dengan
Point Biserial, karena tes (instrumen)
tersebut merupakan tes obyektif, yang
bersifat dikotomi. Uji reliabilitas dilakukan
untuk setiap butir tes yang valid. Oleh
karena skor yang digunakan dalam
instrumen tersebut menghasilkan skor
dikotomi (1 dan 0), dimana skor 1 diberikan
untuk jawaban yang benar pada setiap butir
tes/soal. Sedangkan skor 0 diberikan untuk
jawaban salah pada tiap butir tes/soal
(Agung, 2011). Maka reliabilitas akan
dianalisis dengan menggunakan rumus
Kuder Richardson 20.
Tabel 1. Distrusi Frekuensi Data Kelompok Eksperimen dan Kontrol
No Kelas Interval
Frekuensi
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
1 53-59 3 3
2 60-66 4 12
3 67-73 8 10
4 74-80 7 8
5 81-87 9 7
6 88-94 9 5
7 95-100 9 5
Jumlah total Frekuensi (F) 49 50
7 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
7
Data yang telah dikumpulkan dengan
instrumen yang telah valid dan reliabel,
selanjutnya untuk kepentingan uji statistik
parametrik (dengan teknik t-tes,
menggunakan rumus Sutrisno Hadi, 1982)
dilakukan pengecekan sebaran data melalui
uji normalitas untuk masing-masing
kelompok data, baik kontrol maupun
eksperimen dengan menggunakan Chi-
square. Dalam uji ini, diperoleh data untuk
kelompok eksperimen dan kontrol masing-
masing, X
2
hit
data eksperimen sebesar
3.8965; X
2
hit
data kelompok control sebesar
10.207. Untuk ts 5%, dk 6, batas kritik
penolakan Ho sebesar 12,59, jadi kedua data
terdistribusi normal. Uji homogenitas
dilakukan untuk menunjukkan bahwa
perbedaan yang terjadi pada uji hipotesis
benar-benar terjadi akibat adanya perbedaan
antar kelompok, bukan sebagai akibat
perbedaan dalam kelompok. Uji
homogenitas data dilakukan dengan Anava
Havley. Pada uji varians ini diperoleh F
hitung
sebesar 1,05 sedangkan F
tabel
pada taraf
signifikansi 5% dengan db pembilang = 49
dan db pnyebut = 48 adalah 1,61. Ini berarti
F
hitung
< F
tabel
, maka Ho diterima (varians-
varians homogen).
Untuk uji hipotesis menggunakan t-tes,
maka diajukan hipotesis nol yang
menyatakan bahwa bahwa tidak ada
pengaruh model pembalajaran inkuiri
dengan menggunakan alat peraga tiga
dimensi terhadap hasil belajar biologi siswa
kelas XI IPA SMA N 1 Abiansemal.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh
t
hitung
sebesar 2,611, taraf kepercayaan 95%
dan dk = 97, batas kritik penolakan hipotesis
nol sebesar 1,980. Berarti t
hitung
> t
tabel
maka hipotesis nol yang diajukan ditolak
dan menerima hipotesis alternative,
ringkasan hasil analisis disajikan pada table
2 berikut. Maka diinterpretasikan bahwa
ada pengaruh penerapan model
pembelajaran inkuiri dengan menggunakan
alat peraga tiga dimensi terhadap hasil
belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA N 1
Abiansemal tahun pelajaran 2011/2012.
Dengan demikian bahwa ada pengaruh
penerapan model pembelajaran inkuiri
dengan menggunakan alat peraga tiga
dimensi terhadap hasil belajar biologi siswa
kelas XI IPA SMA N 1 Abiansemal tahun
pelajaran 2011/2012.
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis
Materi
Pelajaran
Perlakuan Mean Skor Nilai
t
hitung
Nilai t
tabel
Keterangan
Ts. 5%; dk=97
Sistem
Pernapasan
pada manusia
dan hewan
Model
Pembelajaran
Inkuiri
berbantuan
Alat Peraga
Tiga Dimensi
82,429
2,611 1,980
Menolak H
0
dan
menerima H
1
Model
Pembelajaran
Konvensional
75,86
Hal ini disebabkan model pembelajaran
inkuiri merupakan model pembelajaran yang
dapat melibatkan aktivitas seluruh siswa
tanpa harus ada perbedaan status. Aktivitas
belajar dirancang sedemikian rupa sehingga
memungkinkan siswa dapat belajar lebih
santai, disamping menumbuhkan
tanggungjawab, kerjasama, dan rasa percaya
diri pada siswa (Sudjana, 2002).
Pembelajaran inkuiri menekankan kepada
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
8
8
proses mencari dan menemukan. Materi
pelajaran tidak diberikan secara langsung,
peran siswa dalam pembelajaran ini adalah
mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai
fasilitator dan pembimbing siswa untuk
belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan
rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankan pada proses berpikir kritis dan
analitis untuk mencari dan menemukan
sendiri jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri
biasanya dilakukan melalui tanya jawab
antara guru dan siswa. Pembelajaran ini
sering juga dinamakan pembelajaran
heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani,
yaitu heuriskein yang berarti saya
menemukan. Model pembelajaran inkuiri
merupakan model latihan penelitian
(research trining model). Joyce (2011)
menyatakan bahwa saat ini sudah banyak
penelitian yang dilakukan dalam model-
model pembelajaran, menunjukkan bahwa
kondisi ini berpotensi memajukan pemikiran
tentang bagaimana siswa dapat belajar
membangun kategori, membuat dugaan dan
mengembangkan skill dalam membuat dan
mensintesiskan sebab akibat yang lebih
efektif. Schlenker (1991) melaporkan
pengaruh pembelajaran latihan penelitian
akan meningkatkan pemahaman ilmu
pengetahuan, produktivitas dalam berpikir
kreatif dan keterampilan-keterampilan
dalam memperoleh dan menganalisis
informasi. Juga dilaporkan bahwa model ini
tidak lebih efektif dari metode-metode
pengajaran konvensional dalam hal
pemerolehan informasi, tetapi latihan
seefisien metode penglangan dan pengajaran
yang dibarengi dengan pengalaman-
pengalaman laboratorium. Ivany (1969) dan
Collins (1969) melaporkan bahwa metode
tersebut akan bekerja dengan baik asalkan
ada banyak dimunculkan pertentangan,
sehingga memunculkan teta-teki dan
membangkitkan rasa ingin tahu, dan ada
materi-materi instruksional yang dapat
digunakan siswa untuk mengeksplorasi
topik-topik penelitian. Bahkan Elefant
(1980) berhasil melaksanakan model
tersebut pada siswa-siswa yang tuli, seraya
menganjurkan agar siswa-siswa yang
memiliki cacat panca indra akut dapat
diajarkan melalui metode ini. Joyce dalam
Gulo (2005) mengemukakan kondisi-kondisi
umum yang merupakan syarat bagi
timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu
: (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana
bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus
pada hipotesis yang perlu diuji
kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta
sebagai evidensi dan di dalam proses
pembelajaran dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis. Alat
peraga adalah suatu alat yang dapat diserap
oleh mata dan telinga dengan tujuan
membantu guru agar proses belajar
mengajar siswa lebih efektif dan efisien
(Sudjana, 2002). Alat peraga dalam
mengajar memegang peranan penting
sebagai alat Bantu untuk menciptakan
proses belajar mengajar yang efektif. Pada
kegiatan belajar dengan menggunakan alat
peraga tiga dimensi berupa model torso
organ pernapasan manusia, hewan. Melalui
peraga tersebut siswa melakukan
pengamatan struktur dalam organ
pernapasan untuk memperoleh gambaran riil
atau konkrit dan melakukan pengkajian
lebih lanjut sehubungan dengan fisiologi
organ-organ pernapasan. Melalui model
pembelajaran inkuiri berbantuan alat peraga
tiga dimensi tersebut, siswa diarahkan untuk
mencari dan menyelidiki secara sistematis
sehingga dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri.
Dalam pencapain hasil pembelajaran,
peranan alat peraga tiga dimensi sangat
penting sebab bahan pelajaran menjadi lebih
konkrit sehingga dengan mudah dapat
9 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
9
dipahami oleh siswa. Secara mandiri, siswa
dapat membangun konsep dan
pengetahuannya dalam kerangka
berpikirnya. Dengan demikian model
pembelajaran inkuiri menggunakan alat
peraga tiga dimensi ini mampu
meningkatkan pemahaman siswa kelas XI
IPA4 (rata-rata hasil belajar 82,4) terhadap
aspek materi biologi yang diberikan. Jika
dibandingkan dengan kelas kontrol yaitu
kelas XI IPA7 (rata-rata hasil belajar 75, 86)
yang capaian hasil belajarnya lebih rendah
karena mendapatkan pembelajaran yang
disajikan dengan model pembelajaran
konvensional sehingga siswa kurang
antusias mengikuti pelajaran yang sedang
dipaparkan oleh guru di dalam kelas. Maka
dinyatakan bahwa model pembelajaran
inkuiri dengan menggunakan alat peraga
tiga dimensi berpengaruh terhadap hasil
belajar biologi siswa kelas XI IPA SMA N.
1 Abiansemal.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data tersebut
disimpulkan bahwa, penerapan model
pembelajaran inkuiri dengan menggunakan
alat peraga tiga dimensi berpengaruh
terhadap hasil belajar biologi siswa.
Perolehan hasil belajar yang dicapai siswa
pada pokok bahasan sistem pernapasan pada
manusia dan hewan setelah penerapan
model pembelajaran inkuiri berbantu alat
peraga tiga dimensi, terdapat perbedaan
hasil belajar yang signifikan. Dimana rata-
rata hasil belajar yang dicapai lebih tinggi
pada kelompok eksperimen (82,4)
sedangkan kelompok kontrol pada
penerapan pembelajaran seperti biasanya
(konvensional) diperoleh rata-rata hasil
belajar 75,8. Temuan tersebut dapat
direkomendasi kepada guru biologi, untuk
menerapkan model pembelajaran inkuiri
dengan berbantu alat peraga tiga dimensi
sebagai pilihan model pembelajaran dalam
upaya meningkatkan hasil belajar siswa.
Karena keterbatasan waktu dan biaya maka
faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam
proses mengikuti palajaran tidak dapat
diteliti. Untuk itulah diharapkan kepada
pembaca yang berminat dengan model
pembelajaran inkuiri dengan menggunakan
alat peraga tiga dimensi dapat melanjutkan
penelitian ini pada mata pembelajaran yang
lain dengan sampel yang lebih luas.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Campbell, Donald T dan Julian C. Stanley.
1996. Eksperimental and Quasi-
Eksperimental Design for Researcg.
Chicago: Rand Mc. Nally College
Publishing Company.
Collins, K. 1969. The Importance of Strong
confrontation in an inquiry model of
teaching, School Science and
Mathematics, No. 69 (7), hlm. 615-
617.
Djamarah, S.B. 2002. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: RinekaCipta.
Elefant, E. 1980. Deaf children in an inquiry
trining program. Volta Review. No.
82. Hlm 271-279.
Gulo, W. 2005. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Grasindo.
Hadi, S.1982. Metodologi Research jilid 4.
Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Jogjakarta.
Ivany, G. 1969. The Assasment of Verbal
Inquiry in Elementary school
science. Science Education, No. 53
(4), hlm. 287-293.
Joyce, B., Weil, M. dan Calhoun, E. 2011.
Models of Teaching (Model Model
Pengajaran), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sardiman A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
10
10
Schlenker, R.M. 1991. Learning about fossil
formulation by classroom simulation.
Science Activities, No. 28 (3). Hlm
17-20.
Sudjana, N. 2006. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta
Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-
RuzzMedia.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Tukiran Taniredja, dkk. 2011.Model-model
Pembelajaran Inovatif. Bandung:
Alfabeta.
Trianto. 2010. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta: Kencana.
Usman, M. U. 2003. Upaya Optimalisasi
Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Winarsunu, Tulus. 2004. Statistik dalam
Penelitian Psikologi dan Pendidikan.
Malang: Universitas Muhamaddijah.
11 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
11
HUBUNGAN ANTARA POLA MAKAN DAN STATUS SOSIAL EKONOMI ORANG
TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR IPA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR N 2
PENATIH KECAMATAN DENPASAR TIMUR
Ni Nyoman Parmithi
1)
, Putu Risna Pramudya
2)
Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
Email : nyomanparmithi@yahoo.com
ABSTRACT
Relationship between diet and socio-economic status of parents with students learning
achievement in natural science of student at SD Negeri 2 Penatih Denpasar Timur
This study aims to determine the relationship between diet and socio-economic status of
parents and the learning achievement in natural science of student at SD Negeri 2 Penatih Kec.
Denpasar Timur academic year 2012/2013.
This study classified the correlation study to determine the degree of relationship between
two or more variables. The population in this study were all student At SD Negeri 2 Penatih
consisting of six classes with a total enrollment as many as 305 people. Of the 305 samples taken
at random as many as 75 people using proportional random sampling technique. Data collection
is carried out by questionnaire to obtain data on diet and socio-economic status of parents and the
method of recording documents to obtain data on the achievement of natural science. Then the
data were analyzed using simple correlation analysis and multiple correlation analysis.
Based on the analysis of data, obtained r value of 0.742 with Fcount Ftable or 46
3.13 at significance level of 5 %, then Ho is rejected and Ha accepted. This means that if it is
connected with the interpretation of the correlation coefficient indicates a strong relationship. It
can be concluded that there is a significant relationship between diet and socio economic status
of the parents and the learning achievement of student at SD Negeri 2 Penatih Kec. Denpasar
Timur academic year 2012/2013.
Keywords: Diet, Parental Socio-Economic Status, Academic Achievement.
PENDAHULUAN
Pada anak usia sekolah banyak
faktor yang mempengaruhi prestasi
belajarnya, salah satunya adalah masalah
gizi dan kondisi dalam keluarga.
Kekurangan gizi bisa menyebabkan
menurunnya produktivitas kerja, kecerdasan
anak, serta daya tahan tubuh anak sehingga
menyebabkan prestasi belajar disekolah
menurun. Salah satu jalan yang dapat
ditempuh untuk memperbaiki masalah gizi
anak sekolah agar prestasi belajar tidak
terganggu adalah memperbaiki pola makan
di keluarga. Menurut Khumadi dalam
Handajani (1994), pola makan adalah
tingkah laku manusia atau kelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makan meliputi sikap, jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari
dan merupakan ciri khas pada suatu
kelompok masyarakat. Dengan demikian
diharapkan pola makan yang baik, jenis
makanan yang beranekaragam dan sesuai
dengan standar kesehatan dapat
memperbaiki mutu gizi makanan sehingga
kecukupan gizi bagi tubuh dapat terpenuhi.
Kebutuhan gizi yang tercukupi membuat
kecerdasan meningkat, pertumbuhan dan
perkembangan tubuh optimal. Apabila
kecukupan gizi tidak terpenuhi dapat
mengakibatkan konsentrasi berkurang yang
menyebabkan prestasi belajar menurun.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
12
11
Selain itu keadaan status sosial ekonomi
orang tua seperti tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan dan pendapatan orang tua
berpengaruh terhadap prestasi belajar anak.
Status sosial ekonomi orang tua merupakan
keadaan atau latar belakang dari suatu
keluarga yang berkaitan denga tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan
keluarga (Maftukhah, 2007). Anak yang
berasal dari kalangan menengah keatas lebih
banyak mendapat perhatian, pengarahan dan
bimbingan yang baik dari orang tua.
Sedangkan anak yang berlatar belakang
ekonomi rendah kurang mendapat perhatian,
pengarahan dan bimbingan karena orang tua
lebih cenderung memusatkan perhatiannya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari. Oleh karena itu, orang tua yang
keadaan sosial ekoniminya tinggi lebih
dapat memenuhi kebutuhan sekolah anaknya
dibandingkan dengan orang tua dengan
status sosial ekonomi yang rendah, sehingga
status sosial ekonomi orang tua juga
menentukan keberhasilan pendidikan anak
yang dapat menunjang prestasi belajar anak
disekolah.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini tergolong
penelitian korelasi. Penelitian korelasi
adalah suatu penelitian yang melibatkan
tindakan pengumpulan data guna
menentukan apakah ada hubungan dan
tingkat hubungan antara dua variabel atau
lebih (Sukardi, 2012). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh peserta didik
Sekolah Dasar Negeri 2 Penatih dengan
jumlah 305 orang. Sampel diambil secara
acak sebanyak 75 orang dengan
menggunakan teknik Proporsional Random
Sampling. Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah pola makan dan status sosial
ekonomi orang tua sedangkan variabel
terikatnya adalah prestasi belajar IPA.
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 5
Maret 2013 sampai dengan 23 Maret 2013.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode
kuesioner dan metode pencatatan dokumen.
Metode kuesioner menggunakan pola Likert
dengan lima kemungkinan jawaban untuk
memperoleh data tentang pola makan dan
status sosial ekonomi orang tua, dimana
kuesioner telah diuji terlebih dahulu untuk
mengetahui validitas dan reabilitasnya.
Jumlah butir soal pada masing-masing
kuesioner adalah 20 butir. Skor minimalnya
adalah 20 dan skor maksimalnya adalah 100.
Totalitas dari skor tersebut menunjukan skor
pola makan dan status sosial ekonomi orang
tua. Dan metode pencatatan dokumen untuk
memperoleh data tentang prestasi belajar
IPA. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan metode analisis korelasi
sederhana dan analisis korelasi ganda.
Analisis korelasi sederhana digunakan untuk
menguji hipotesis pertama dan hipotesis
kedua yaitu dengan rumus korelasi Pearson
Product Moment sebagai berikut.
Riduwan dan Akdon, 2010)
Keterangan :
r
XY = Nilai koefisien korelasi antara variabel X dan Y
n = Jumlah sampel
X = Nilai variabel X
Y = Nilai variabel Y
n(
n
i=1
XY)-(
n
i=1
X) (
n
i=1
Y)
{n.(
n
i
X
2
-(
n
i=1
X)
2
} {n.
n
i=1
Y
2
-(
n
i=1
Y)
2
}
r
XY=

13 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
F=
R
2
/k
(1-R
2
)/(n-k-1)
11
Selanjutnya, uji signifikansi dengan
mengkonsultasikan nilai r
hitung
ke dalam r
tabel
dengan taraf signifikansi 5%. Sedangkan
analisis korelasi ganda digunakan untuk
menguji hipotesis ketiga yaitu dengan rumus
koefisien korelasi ganda dan uji F dengan
taraf signifikansi 5% sebagai berikut.
1. Koefisien korelasi ganda
(Riduwan dan Akdon, 2010)
Keterangan :
R
X1X2Y
= Korelasi antara variabel X
1
dengan X
2
secara bersama-sama dengan variable Y
r
X1Y
= Korelasiproduct moment antara X
1
dengan Y
r
X2Y
= Korelasi product moment antara X
2
dengan Y
r
X1X2
= Korelasi product moment antara X
1
dengan X
2
2. Uji signifikansi korelasi ganda dengan uji F
(Riduwan dan Akdon, 2010)
Keterangan :
R = koefisien korelasi ganda
k = jumlah variabel bebas
n = jumlah anggota sampel
Harga F
hitung
dibandingkan dengan
F
tabel
dengan dk pembilang = k dan dk
penyebut = (n k 1), apabila F
hitung
F
tabel
,
maka korelasinya signifikan dan sebaliknya
apabila F
hitung
F
tabel
maka korelasinya tidak
signifikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis Pertama
Jumlah
Sampel
Taraf
Signifikansi
Hasil yang diperoleh Kesimpulan
r
hitung
r
tabel
Ho Ha
75 5% 0,701 0,227 Ditolak Diterima
2. Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis Kedua
Jumlah
Sampel
Taraf
Signifikansi
Hasil yang diperoleh Kesimpulan
r
hitung
r
tabel
Ho Ha
75 5% 0,657 0,227 Ditolak Diterima
R
X
1
X
2
Y
=
r
2
X
1
Y
+ r
2
X
2
Y
-2(r
X
1
Y
). (r
X
2
Y
).(r
x
1
x
2
)
1 - r
2
X
1
X
2
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
14
3. Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga
Jumlah
Sampel
Taraf
Signifikansi
Hasil yang diperoleh Kesimpulan
F
hitung
F
tabel
Ho Ha
75 5% 46 3,13 Ditolak Diterima
Berdasarkan hasil uji analisis didapatkan
nilai r sebesar 0,742 dengan taraf
signifikansi 5% diperoleh nilai F
hitung
F
tabel
atau 46 3,13. Dengan demikian, Ho yang
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pola makan (X
1
) dan
status sosial ekonomi orang tua (X
2
) dengan
prestasi belajar IPA (Y) pada peserta didik
Sekolah Dasar Negeri 2 Penatih, ditolak.
Sebaliknya Ha yang menyatakan terdapat
hubungan yang signifikan antara pola makan
(X
1
) dan status sosial ekonomi orang tua
(X
2
) dengan prestasi belajar IPA (Y) pada
peserta didik Sekolah Dasar Negeri 2
Penatih, diterima. Koefisien determinasi
pola makan dan status sosial ekonomi orang
tua terhadap prestasi belajar IPA pada
peserta didik Sekolah Dasar Negeri 2
Penatih didapatkan sebesar 55%. Hal ini
berarti varians yang terjadi pada variabel
prestasi belajar IPA 55% ditentukan oleh
varians yang terjadi pada variabel pola
makan dan status sosial ekonomi orang tua.
Pengertian ini diartikan pengaruh pola
makan dan status sosial ekonomi orang tua
terhadap prestasi belajar IPA sebesar 55%
dan sisanya 45% ditentukan oleh faktor lain.
Selanjutnya jika dihubungkan
dengan interpretasi terhadap koefisien
korelasi menunjukan hubungan yang kuat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pola makan
dan status sosial ekonomi orang tua dengan
prestasi belajar IPA peserta didik Sekolah
Dasar Negeri 2 Penatih Kecamatan
Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013.
Untuk memperoleh prestasi belajar yang
baik diperlukan proses pembelajaran yang
baik. Pola makan dan status sosial ekonomi
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran.
Dimana pola makan merupakan faktor
internal pada peserta didik yang dapat
mempengaruhi konsentrasi belajar peserta
didik dan status sosial ekonomi orang tua
merupakan faktor eksternal pada peserta
didik yang dapat mempengaruhi pemenuhan
sarana dan prasarana pembelajarannya di
sekolah. Dalam proses pembelajaran
diperlukan sarana penunjang pembelajaran
dan konsentrasi yang baik dari peserta didik
sehingga proses pembelajaran dapat berjalan
dengan baik. Dengan demikian, pesera didik
yang memiliki pola makan dan status sosial
ekonomi orang tua yang baik maka prestasi
belajarnya akan baik pula.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pola makan
dan status sosial ekonomi orang tua dengan
perestasi belajar IPA peserta didik Sekolah
Dasar Negeri 2 Penatih Kecamatan
Denpasar Timur tahun pelajaran 2012/2013.
Saran
Bagi ibu rumah tangga sebaiknya
memvariasikan menu makanannya setiap
hari dengan memperhatikan kecukupan gizi
agar asupan gizi dalam keluarga terpenuhi.
Bagi pihak sekolah hendaknya
memperhatikan sarana kantin yang ada, agar
makanan yang dijual dikontrol dari segi
mutu dan kesehatannya. Bagi para orang tua,
selain memberikan makanan bergizi dan
berimbang kepada anak-anaknya, sebaiknya
juga diberikan makanan yang beragam
15 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
11
karena tidak semua gizi dapat terpenuhi
dengan hanya mengkonsumsi satu makanan
saja, agar anak dapat berkembang secara
optimal. Dan bagi orang tua agar lebih
memperhatikan proses pendidikan anak di
sekolah, baik dari segi material dalam
pemenuhan sarana dan prasarana
pembelajaran maupun dari segi non material
dengan memberi motivasi pada anak untuk
meningkatkan prestasi belajarnya di sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Anne, Ahira, 2012, Pengertian Prestasi
Belajar Menurut Para Ahli, Sumber :
www.anneahira.com/pengertian-
prestasi-belajar-menurut-para-
ahli.htm diakses tanggal 24 Oktober
2012.
Anonym, 2007. Manfaat Sarapan Pagi,
Sumber :
http://www.sehatbugar.info_html
diakses tanggal 24 Oktober 2012.
Adriani dan Wirjatmadi, 2012. Pengantar
Gizi Masyarakat, Kencana, Jakarta.
Adriani dan Wirjatmadi, 2012. Peranan Gizi
Dalam Siklus Kehidupan, Kencana,
Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, 2012. Manajemen
Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta.
Atikah dan Erna, 2010. Ilmu Gizi Untuk
Keperawatan dan Gizi Kesehatan,
Nuha Medika, Yogyakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT.
Gramedia Pusaka Utama, Jakarta.
Hakim, Lukman, 2011. Hubungan Pola
Makan Bergizi Dengan Tumbuh
Kembang Motorik Pada Anak Usia
Sekolah di SD Tawang Mas 02
Semarang. Skripsi tidak diterbitkan.
Handajani, Sri, 1994. Pangan dan Gizi,
Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Hanifa dan Luthfeni, 2006. Makanan Yang
Sehat, Ganeca Exact.
Judarwanto, Widodo, 2004. Mengatasi
Kesulitan Makan Pada Anak, Puspa
Swara, Jakarta.
Judarwanto, Widodo. Perilaku Makan Anak
Sekolah, Sumber : www.google.com
diakses tanggal 24 Oktober 2012.
Kasabonline, 15 April 2012, Faktor Yang
Mempengaruhi Prestasi Belajar,
Sumber :
http://kasabonline.wordpress.com/20
12/04/15/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-prestasi-belajar/
diakses tanggal 24 Oktober 2012.
Leiliana, Ito, 2008. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Pola Makan Anak
Sekolah Dasar. Jurnal (diterbitkan).
Universitas Indonesia.
Maesaoroh, Siti, 2009. Pengaruh Status
Sosial Ekonomi Orang Tua Dan
Motivavi Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Mata Pelajaran Ekonomi
Siswa Kelas XI IPS Di Man Kota
Blitar. Skripsi tidak diterbitkan.
Maftukhah, 2007. Pengaruh Kondisi Sosial
Ekonomi Orang Tua Terhadap
Prestasi Belajar Geografi Siswa
Kelas VIII SMP N 1 Randudongkal
Kabupaten Pemalang Tahun
2006/2007. Skripsi tidak diterbitkan.
Munawar, Indra, 11 Juni 2009, Pengertian
Belajar dan Prestasi Belajar, Sumber
:
http://indramunawar.blogspot.com/2
009/06/pengertian-belajar-dan-
prestasi-belajar.html diakses tanggal
24 Oktober 2012.
Riduwan dan Akdon, 2010. Rumus dan Data
Dalam Analisis Statistika, Alfabeta,
Bandung.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan, Kuantitatif
Kualitatif, dan R&D), Alfabeta,
Bandung.
Sugiyono, 2012. Statistika Untuk Penelitian,
Alfabeta, Bandung.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
16
12
Suka Atmaja, Pande Made, 2009. Hubungan
Antara Sikap Siswa Pada Pelajaran
IPA Terhadap Prestasi Belajar IPA
Kelas VII SMP Negeri 1 Gianyar,
Semester 1, Kecamatan Gianyar,
Kabupaten Gianyar Tahun Pelajaran
2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan.
Sukardi, 2012. Metodologi Penelitian
Pendidikan Kompetensi dan
Praktiknya, Bumi Aksara, Jakarta.
17 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
17
KEMATIAN TANAMAN CENGKEH (Zyzygium aromaticum L.) DI KABUPATEN
BULELENG AKIBAT SERANGAN JAMUR AKAR PUTIH
(Rigidoporus sp Swartz: Fr.) Van overeem
I Wayan Suanda
NIDN. 0031126547
Prodi Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
Email: suanda_wayan65@yahoo.co.id
ABSTRACT
Death Plant Clove (Syzygium aromaticum L.) in the District Buleleng Attack due to Fungal
roots white (Rigidoporus sp Swartz: Fr.) Van Overeem
Clove is a spice-producing plantation crops that can be used as a traditional medicine,
essential oil which is used as raw material for the pharmaceutical industry and the food industry,
cosmetics, perfume, source constituent eugenol and clove essential oils as feedstock largest
cigarette industry. Role of the clove is large enough to support an increase in revenue due to the
current state cigarette tax is one of the largest sources of state revenue nearly 98% compared
with other revenue sources. Cloves have a fairly high economic value as a commodity plantation
in Bali, because since 2010 the price of dried clove flower in a very lucrative market around Rp
100,000 to Rp. 150,000 per kilogram. The high price of cloves, clove farmers in Bali causes
more passionate gardener maintains cloves in hopes to increase its production every year.
Busungbiu clove farmers in the village of the District and Village Upload Busungbiu
Seririt Buleleng Subdistrict feel uneasy, because thousands of the clove tree is still productive
experience sudden death due to pathogen attack wilt disease caused by fungi of white roots
(JAP).
Keywords: Plant cloves , Fungal White Roots
PENDAHULUAN
Tanaman cengkeh (Syzygium
aromaticum L.) dari Famili Myrtaceae
sebagai tanaman asli Indonesiayang berasal
dari Maluku Utara (Muljana, 1997;
Dharmawati, 2010), dibuktikan dengan
ditemukannya tanaman cengkeh tertua di
dunia di Banda Kepulauan Maluku (Bintoro,
1986). Menurut Rumphius dalam Muljana,
(2002), bahwa tanaman cengkeh berasal dari
Pulau Makian, Maluku Utara dan Pulau
Moti, Ternate dan Tidore sehingga dijuluki
kepulauan rempah-rempah (Turner, 2004),
namun pendapat lain tentang asal tanaman
cengkeh masih bervariasi. Pada tahun 1768
bibit cengkeh yang berasal dari Pulau Gebe
dan Seram, disebar oleh seorang Kapten
Perancis ke Zanzibar dan Madagaskar.
Cengkeh merupakan salah satu tanaman
perkebunan penghasil rempah yang dapat
digunakan sebagai obat tradisional. Dalam
perkembangannya pemanfaatan cengkeh
menjadi lebih luas, yaitu sebagai rempah-
rempah (Nutmant & Roberts, 1971;
Chaniago, 1980), penghasil minyak atsiri
yang biasa digunakan sebagai bahan baku
industri farmasi maupun industri
makanan,kosmetika, parfum, sumber
eugenol penyusun minyak atsiri cengkehdan
yang terbesar sebagai bahan baku industri
rokok kretek (Rosita dan Ireng Darwati,
1993). Dengan meluasnya pemanfaatan
cengkeh, maka cengkeh menjadi salah satu
komoditas perdagangan dunia yang banyak
dicari (Direktorat Jenderal Perkebunan,
2010), sehingga memiliki nilai ekonomi
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
18
18
tinggi. Di Indonesia produksi cengkeh
mempunyai peranan cukup besar dalam
menunjang upaya peningkatan pendapatan
Negara karena sampai saat ini cukai rokok
merupakan salah satu sumber pendapatan
Negara yang terbesar dibanding dengan
sumber-sumber pendapatan lainnya
(Arisena, 2009). Sebagai bahan baku dalam
pembuatan rokok kretek memberikan
kontribusi terhadap penerimaan dari cukai
rata-rata 98% dari penerimaan total cukai
tahun 2005 (Siregar dan Suhendi, 2006).
Peranan rokok kretek dalam perekonomian
nasional sangat nyata, antara lain
menyumbang sekitar Rp 23,2 triliun dari
perkiraan Rp 29 triliun penerimaan cukai
rokok (Listyaty, 2007). Untuk tahun
anggaran 2001 cukai rokok sekitar Rp 17,6
triliun, tahun anggaran 2002 sekitar Rp 22,3
triliun dan tahun anggaran 2003 sebesar Rp
27triliun dan tahun 2006 mencapai 35,073
triliun (GAPPRI, 2007), disamping
penyerapan tenaga kerja (Muttaqin, 2010).
Penerimaan cukai rokok pada tahun 2009
sebesar Rp 50,5 triliun dan tahun 2010
mencapai Rp 58 triliun (Direktorat Jenderal
Perkebunan, 2010).
Cengkeh juga mempunyai nilai
ekonomi cukup tinggi dalam komoditas
perkebunan di Bali, karena sejak beberapa
tahun terakhir ini harga bunga cengkeh
kering di pasaran sangat menggiurkan yaitu
sekitar Rp 100.000 sampai Rp. 150.000 per
kilogramnya. Tingginya harga cengkeh,
menyebabkan petani cengkeh di Bali
semakin bergairah memelihara kebun
cengkehnya dengan harapan produksinya
dapat meningkat setiap tahun (Bali Post, 12
Februari 2013). Namun Petani cengkeh di
Desa Busungbiu Kecamatan Busungbiu dan
Desa Unggahan Kecamatan Seririt
Kabupaten Buleleng merasa resah, karena
ribuan pohon cengkeh yang masih produktif
mengalami kematian secara tiba-tiba akibat
serangan patogen penyakit layu. Serangan
penyakit layu sudah menyerang 986 hektar
tanaman cengkeh di Kabupaten Buleleng
(Partayasa, 2011). dan Tanaman cengkeh
yang mati kebanyakan tanaman yang akan
berbunga pada musim panen. Pada tanaman
yang masih kecil juga banyak ditemukan
sudah terserang penyakit layu, bahkan ada
yang sudah mati. Daun cengkeh layu
kemudian rontok dan batangnya mengering
hingga akhirnya tanaman mati total. Pada
bulan Juli 2013 tanaman cengkeh yang
terserang penyakit layu di Kabupaten
Buleleng seluas 1.413,03 Ha dengan
katagori serangan ringan sampai berat
(Dinas Perkebunan UPT Laboratorium
Perlindungan Tanaman Bedaulu Gianyar,
2013), dari luas areal 7.209 Ha (Dinas
Perkebunan Provinsi Bali 2011). Berbagai
upaya telah dilakukan untuk mengendalikan
dan mencegah penyebaran penyakit layu
pada tanaman cengkeh, diantaranya
penggunaan bibit sehat, eradikasi,
pemberian fungisida sintetis dan sanitasi
dengan menjaga kebersihan kebun, tetapi
tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Perlu dilakukan penelitian tentang jenis
patogen penyebab penyakit layu tanaman
cengkeh, sehingga. Oleh karena itu penulis
ingin meneliti patogen penyebab penyakit
layu pada tanaman cengkeh di Kabupaten
Buleleng.
Permasalahan yang perlu
dirumuskan dalam penelitian ini adalah
Apakah penyebab penyakit layu pada
tanaman cengkeh di Kabupaten Buleleng?
Adapun tujuan penelitian yang penulis
lakukan ini yaitu: untuk
mengetahuipenyebab penyakit layu pada
tanaman cengkeh di Kabupaten Buleleng.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik secara akademik maupun
secara praktis, diantaranya (1) Memberikan
informasi secara pasti tentang patogen
penyebab penyakit layu pada tanaman
cengkeh. (2)Memberikan informasi dan
pengetahuan dalam mengeksplorasi
mikroorganisme untuk mengembangkan
19 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
19
materi pembelajaran biologi. (3)
Memberikan sumbangan dalam
pengembangan fitopatologi melalui
konfirmasi potensi pengendalian dengan
pestisida nabati dan musuh alampatogen
penyakit layu sebagai Biopestisidayang
efektif untuk mengendalikan penyakit layu
tanaman cengkeh sebagai strategi
pengendalian yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Tanaman Cengkeh
Tanaman cengkeh (Syzygium
aromaticum L.) merupakan salah satu
tanaman asli Indonesia yang berasal dari
Banda Kepulauan Maluku, dibuktikan
dengan ditemukannya tanaman cengkeh
tertua di dunia (Bintoro, 1986; Saswin
2012). Menurut Darmawati (2010) dan
Saswin (2012), klasifikasi tanaman cengkeh
adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Sub
kingdom
: Tracheobionta
Super
divisi
: Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Klas : Magnoliopsida
Sub klas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : Syzygium
aromaticum (L.)
Merr. & L. M. Perry
Cengkeh merupakan tanaman
tahunan dengan batang pohon besar dan
berkayu keras, tinggi mencapai 20-30 m.
Tanaman ini umbuh dan berproduksi
maksimal memerlukan persyaratan
lingkungan tumbuh yang spesifik dan
berbuah umumnya pada umur 4-7 tahun
(Saswin, 2012). Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap tanaman cengkeh
antara lain adalah iklim, tinggi tempat dan
jenis tanah (Muljana, 2007). Selain jenis
tanah, kemasaman tanah (pH) ikut berperan
dalam hal memacu pertumbuhan tanaman.
Kemasaman tanah yang optimum berkisar
antara 5,5-6,5. Apabila pH tanah lebih
rendah atau lebih tinggi maka pertumbuhan
tanaman cengkeh akan terganggu karena
penyerapan unsur hara oleh akar menjadi
terhambat (Soemarno, 2010).
Upaya mendapatkan bibit cengkeh
yang berkualitas baik, yaitu bibit yang
mempunyai bentuk perakaran yang baik dan
mempunyai perbandingan yang
proporsional antara tajuk dan akar
diperlukan rekayasa lingkungan tumbuh
yang sesuai atau meningkatkan kemampuan
tanaman beradaptasi dengan lingkungan
(Muljana, 2007). Rekayasa lingkungan dapat
dilakukan melalui pemupukan dan
peningkatan kemampuan tanaman dalam
beradaptasi dengan lingkungan melalui
pemanfaatan mikroba tanah. Mikroba yang
bersifat menguntungkan bagi tanaman,
seperti rizobakteri dari kelompok
Pseudomonas spp. dapat berfungsi sebagai
penyubur, pengendali hayati patogen
tanaman dan mampu meningkatkan
ketahanan tanaman (McMilan, 2007).
Tanaman cengkeh dapat ditanam dan
masih berproduksi pada ketinggian tempat 0
900 m di atas permukaan laut (dpl).
Namun demikian, makin tinggi tempat maka
produksi bunga makin rendah tetapi
pertumbuhan makin subur. Ketinggian
tempat yang optimal untuk pembungaan
tanaman cengkeh berkisar 200-600 m dpl
(Muljana, 2007). Curah hujan yang optimal
untuk perkembangan tanaman cengkeh
adalah 1.500 - 4.500 mm/tahun. Intensitas
penyinaran 61 60 % dan suhu udara 22 -
28 C serta tidak ada angin kencang
sepanjang tahun (Darmawati, 2010;
Muttaqin, 2010). Usaha budidaya tanaman
cengkeh mayoritas dikelola oleh
perkebunan rakyat. Data pada tahun 2010
menunjukkan bahwa luas areal tanaman
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
20
20
cengkeh di Indonesia adalah 470.045 ha,
yang sebagian besar dikelola perkebunan
rakyat yaitu 461.406 ha (98,2%) dan 8.638
ha (1,8 %) dikelola perkebunan negara dan
swasta.Petani yang terlibat dalam usaha
budidaya cengkeh ini sekitar 1.073.203 KK
di tingkat on farm. Luas areal perkebunan
cengkeh di Bali sekitar 15.575 ha, digarap
oleh 10.798 KK petani (Arisena, 2009)
dengan produksi 4.507 ton di tahun 2010
dan 3.006 ton di tahun 2011. Tersebar di
delapan Kabupaten dan Kabupaten Buleleng
memiliki perkebunan cengkeh paling luas
sekitar 6.933 ha (44,98%) yang tersebar
pada beberapa sentra perkebunan rakyat,
seperti di Desa Busungbiu, Desa Unggahan,
Desa Telaga, Desa Subuk, Desa Bengkel,
Desa Munduk, Desa Tajun dan tempat
lainnya (Dinas Perkebunan Provinsi Bali,
2012).
Penyakit Layu Akar Putih
Hasil survei pendahuluan yang
dilakukan penulis pada tanggal 22 Maret
2013 di kebun cengkeh petani Subak Abian
Werdhi Amertha di Desa Unggahan
Kecamatan Seririt, Desa Telaga dan Desa
Busungbiu Kecamatan Busungbiu
Kabupaten Buleleng. Penyakit layu terjadi
terutama pada fase generatif dengan
prosentase serangan di atas 50% dengan
katagori serangan ringan, sedang dan berat.
Bila diamati tanaman cengkeh yang sakit,
hanya ditemukan jamur berwarna putih
mengkilat pada akar, yang
menyebabkanakar berwarna coklat, busuk
dan tanaman mati. Penyakit akar putih
ditemukan pertama kalioleh Ridleypada
tahun 1904 di Singapura dan di Srilangka
pada tahun 1905. Penyakit ini juga
ditemukan India Selatan, Pantai Gading,
Zaire dan daerah yang terdapat tanaman
Karet (Petch, 1911). Menurut
Alexopoulus and Mins (1979), jamur akar
putih (JAP) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisio : Mycetaceae
Sub Divisio : Amestigomycots
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Homobasidiomycetes
Famili : Polyperales
Genus : Rigidoporus
Spesies : Rigidoporus sp (Swartz: Fr.) Van overeem.
Penyakit layu akar putih pada
tanaman cengkeh belum ada yang meneliti,
diduga disebabkan oleh jamur akar putih
(Rigidoporus sp). Serangan jamur akar putih
(JAP) menyebabkan kerusakan pada akar
tanaman. Penyakit jamur akar putih pada
tanaman cengkeh menyebabkan kerugian
ekonomi, tidak hanya disebabkan
kehilangan produksi akibat kerusakan
tanaman tetapi juga mahalnya biaya yang
diperlukan dalam pengendaliannya.
Penyakit jamur akar putih yang disebabkan
oleh (Rigidoporus sp) menyerang akar
tunggang maupun akar lateral dengan cara
kontak langsung. Penyakit ini
mengakibatkan kematian tanaman dengan
intensitas sangat tinggi terutama pada
tanaman inang karet umur 2-4 tahun
(Yulfahri et al., 2012).
Penularan penyakit jamur akar putih
pada tanaman cengkeh
Penularan penyakit jamur akar putih
(JAP) diduga terjadi karena adanya kontak
akar tanaman sakit dengan akar tanaman
sehat dan sisa tunggul. Diantara tunggul ini
terdapat beberapa tunggul yang terinfeksi
JAP dan menjadi sumber penularan yang
sangat efektif. Dari kontak akar menular ke
21 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
20
cengkeh di Indonesia adalah 470.045 ha,
yang sebagian besar dikelola perkebunan
rakyat yaitu 461.406 ha (98,2%) dan 8.638
ha (1,8 %) dikelola perkebunan negara dan
swasta.Petani yang terlibat dalam usaha
budidaya cengkeh ini sekitar 1.073.203 KK
di tingkat on farm. Luas areal perkebunan
cengkeh di Bali sekitar 15.575 ha, digarap
oleh 10.798 KK petani (Arisena, 2009)
dengan produksi 4.507 ton di tahun 2010
dan 3.006 ton di tahun 2011. Tersebar di
delapan Kabupaten dan Kabupaten Buleleng
memiliki perkebunan cengkeh paling luas
sekitar 6.933 ha (44,98%) yang tersebar
pada beberapa sentra perkebunan rakyat,
seperti di Desa Busungbiu, Desa Unggahan,
Desa Telaga, Desa Subuk, Desa Bengkel,
Desa Munduk, Desa Tajun dan tempat
lainnya (Dinas Perkebunan Provinsi Bali,
2012).
Penyakit Layu Akar Putih
Hasil survei pendahuluan yang
dilakukan penulis pada tanggal 22 Maret
2013 di kebun cengkeh petani Subak Abian
Werdhi Amertha di Desa Unggahan
Kecamatan Seririt, Desa Telaga dan Desa
Busungbiu Kecamatan Busungbiu
Kabupaten Buleleng. Penyakit layu terjadi
terutama pada fase generatif dengan
prosentase serangan di atas 50% dengan
katagori serangan ringan, sedang dan berat.
Bila diamati tanaman cengkeh yang sakit,
hanya ditemukan jamur berwarna putih
mengkilat pada akar, yang
menyebabkanakar berwarna coklat, busuk
dan tanaman mati. Penyakit akar putih
ditemukan pertama kalioleh Ridleypada
tahun 1904 di Singapura dan di Srilangka
pada tahun 1905. Penyakit ini juga
ditemukan India Selatan, Pantai Gading,
Zaire dan daerah yang terdapat tanaman
Karet (Petch, 1911). Menurut
Alexopoulus and Mins (1979), jamur akar
putih (JAP) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisio : Mycetaceae
Sub Divisio : Amestigomycots
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Homobasidiomycetes
Famili : Polyperales
Genus : Rigidoporus
Spesies : Rigidoporus sp (Swartz: Fr.) Van overeem.
Penyakit layu akar putih pada
tanaman cengkeh belum ada yang meneliti,
diduga disebabkan oleh jamur akar putih
(Rigidoporus sp). Serangan jamur akar putih
(JAP) menyebabkan kerusakan pada akar
tanaman. Penyakit jamur akar putih pada
tanaman cengkeh menyebabkan kerugian
ekonomi, tidak hanya disebabkan
kehilangan produksi akibat kerusakan
tanaman tetapi juga mahalnya biaya yang
diperlukan dalam pengendaliannya.
Penyakit jamur akar putih yang disebabkan
oleh (Rigidoporus sp) menyerang akar
tunggang maupun akar lateral dengan cara
kontak langsung. Penyakit ini
mengakibatkan kematian tanaman dengan
intensitas sangat tinggi terutama pada
tanaman inang karet umur 2-4 tahun
(Yulfahri et al., 2012).
Penularan penyakit jamur akar putih
pada tanaman cengkeh
Penularan penyakit jamur akar putih
(JAP) diduga terjadi karena adanya kontak
akar tanaman sakit dengan akar tanaman
sehat dan sisa tunggul. Diantara tunggul ini
terdapat beberapa tunggul yang terinfeksi
JAP dan menjadi sumber penularan yang
sangat efektif. Dari kontak akar menular ke
21
tunggul dan tanaman inang lain di dekatnya
dan menjadi sumber infeksi yang baru. Pada
tunggul tersebut jamur patogen membentuk
tubuh buah yang membebaskan spora ke
udara dan jatuh pada tunggul lain, sehingga
sebagaian spora berkecambah di permukaan
tunggul dan berkembang masuk ke
perakaran tanaman serta menjadi sumber
inokulum baru. Tubuh buah berwarna jingga
jernih sampai merah kecoklatan pada waktu
masih muda dan menjadi berwarna suram,
permukaan atasnya coklat kekuningan pucat,
permukaan bawahnya coklat kemerahan
setelah tua.
Gejala serangan
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan dan di Laboratorium Ilmu Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Udayana, bahwa tanaman cengkeh yang
terserang JAP menunjukkan gejala awal
pada daun terlihat pucat, kurang mengkilat,
tepi atau ujung daun terlipat ke dalam dan
daun menguning akhirnya gugur disertai
pembentukan akar baru sebagai pengganti
akar yang telah mati dan lapuk. Pada
perakaran tanaman sakit tampak benang-
benang jamur berwarna putih mengkilat dan
agak tebal (rizomorf). Akar yang terserang
mengalami pembusukkan, lunak dan
berwarna coklat sampai hitam dan mati.
Akar tanman yang terinfeksi menjadi lunak,
adanya kumpulan miselia berwarna putih
pada permukaan tanah dan akhirnya
tanaman mati (Chang, 1995). Pada tanaman
yang terinfeksi JAP menunjukkan gejala
pada akar tanaman tampak benang-benang
jamur putih dan agak tebal (Munarni dan
Hary Widjajanti, 2011). Benang-benang
tersebut menempel kuat pada akar tanaman
sehingga sulit dilepas. Akar tanaman yang
terinfeksi mengalami pembusukan, lunak
dan berwarna coklat. Membusuknya akar
diduga karena rusaknya struktur kimia kulit
dan kayu akibat enzim yang dihasilkan
jamur patogen. Penyakit akar putih
disebabkan oleh jamur yang lazim disebut
jamur akar putih (JAP). Nama ilmiah jamur
ini adalah Rigidoporus sp (Klotzsch)
Imazeki, namunjamur ini lebih dikenal
dengan nama Fomes sp (Klotzsch) Bres
(Semangun, 2000). Penyakit akar putih
menyebabkan kerusakan yang parah pada
tanaman karet yang masih muda dengan
menyerang akar tunggang maupun akar
lateral (John, 1966). Serangan jamur akar
putih (JAP) di akar tanaman cengkeh dan
miselia setelah di inokulasi dan dimurnikan
di laboratorium Penyakit Tumbuhan
Universitas Udayana, disajikan pada
Gambar berikut ini.
Gambar Isolasi Jamur Akar Putih (JAP) dari Tanaman Cengkeh
A. JAP di Akar Tanaman Cengkeh B. Pengambilan Sampel JAP
C. Isolasi Patogen JAP D. Miselia JAP
Patogen jamur akar putih(JAP) dapat
mengakibatkan kematian tanaman dengan
intensitas yang sangat tinggi terutama pada
tanaman karet yang berumur 2-4 tahun, dan


Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
22
22
mengakibatkan penurunan produksi 20-60%
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
2009). Kerugian yang ditimbulkan oleh
jamur akar putih (Rigidoporus sp ) lebih
besar dibandingkan kerugian akibat
serangan hama dan patogen penyebab
penyakit lainnya di perkebunan karet di
Malaysia (Johnstone, 1989).
Serangan terjadi mulai pada
pembibitan, tanaman belum menghasilkan
(TBM) sampai tanaman menghasikan (TM).
Pada permukaan akar terserang ditumbuhi
benang-benang jamur berwarna putih
kekuningan dan pipihmenyerupai akar
rambut. Benang-benang tersebut menempel
kuat pada akar sehingga sulit dilepas
(Rahayu, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyakit jamur akar putih
Jamur akar putih (JAP) dapat
menyerang tanaman karet pada bermacam-
macam umur tetapi lebih banyak pada umur
tanaman muda (Semangun, 2001). JAP
dapat mematikan tanaman karet yang
berumur 3 tahun dalam waktu 6 bulan dan
tanaman karet umur 6 tahun dalam waktu 12
bulan. Penyebaran JAP yang paling efektif
yaitu melalui kontak akar. Apabila akar-akar
tanaman sehat saling bersinggungan dengan
akar tanaman karet yang sakit, maka
rizomorf JAP akan menjalar pada tanaman
yang sehat kemudian menuju leher akar dan
selanjutnya menginfeksi akar lateral lainnya.
Tanaman yang terinfeksi ini akan menjadi
sumber infeksi pada tanaman disekitarnya,
sehingga perkembangan penyakit semakin
lama semakin meluas. Setelah patogen
menginfeksi tanaman, perkembangan
selanjutnya bergantung pada pH, kandungan
bahan-bahan organik, kelembapan dan
aerase tanah. Rigidoporus sp dapat tumbuh
baik pada kelembapan diatas 90%,
kandungan bahan organik tinggi serta aerase
yang baik. Apabila kondisi ini sesuai,
patogen dapat menjalar sejauh 30 cm dalam
waktu 2 minggu. Pada umumnya intensitas
JAP memuncak pada umur tanaman 3-4
tahun pada saat ini terjadi pertautan akar
antar tanaman, faktor yang mempengaruhi
perkembangan penyakit diantaranya tanah
yang gembur/berpori dan yang bersifat
netral (pH 6-7), dengan suhu lebih dari 20
o
C
sangat baik bagi perkembangan penyakit.
Penyakit berkembang cepat pada awal
musim hujan. Tunggul yang terbuka
merupakan medium penularan JAP dan
akar-akar yang terinfeksi merupakan sumber
penularan lebih lanjut. Infeksi jamur akar
putih lebih mudah terjadi melalui luka atau
lentisel (John, 1958),walaupun penetrasi
secara langsung mungkin terjadi. Pada
tanaman karet yang sering di temukan
bagian leher akar pecah dan ini merupakan
tempat yang baik bagi infeksi jamur.
Patogen kemudian ke bagian yang lebih
dalam dari akar. Tanaman akan mengadakan
pertahanan seperti pembentukan kambium
dan gabus, akan tetapi hal ini sering tidak
dapat menahan perkembangan lanjut
patogen. Serangan lebih tingggi akan
ditemukan pada tanaman okulasi
dibandingkan dengan tanaman biji. Hal ini
disebabkan pada bagian okulasi ada bagian-
bagian yang luka, sehingga memudahkan
patogen untuk mengadakan infeksi.
Pembongkaran tanaman karet tua
secara mekanis dengan alat-alat berat
memberikan hasil yang lebih baik, karena
hannya meninggalkan sedikit sumber infeksi
di dalam tanah. Sebaliknya diketahui pada
peremajaan yang hanya dilakukan dengan
peracunan pohon-pohon karet tua akan
menyebabkan terjadinya banyak infeksi
pada tanaman muda (Basuki, 1985).
Lamanya jamur akar putih bertahan dalam
tanah tergantung dari keberadaan sisa-sisa
kayu (tunggul) dalam tanah dan dari
berbagai faktor yang mempengaruhi
pembusukan. Menurut John (1960), pada
akar tanaman yang bergaris tengah 0,6 cm,
jamur dapat bertahan sampai 6 bulan; 2,5 cm
23 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
23
mampu bertahan selama 20 bulan dan 7,5
cm jamur dapat bertahan sampai 40 bulan.
Di Sumatera Utara kebun-kebun yang
terletak di tanah podsolik merah kuning
kurang menderita kerugian dari jamur akar
putih, daripada yang terdapat di tanah
aluvial. Ini disebabkan karena tanah tersebut
lebih masam, sehingga Rigidoporus sp. tidak
dapat berkembang dengan baik (Basuki,
1986). Selain itu di tanah yang lebih masam
terdapat jamurTrichoderma koningii, yang
menjadi antagonis bagi Rigidoporus Sp.
dapat berkembang dengan baik (Semangun,
2000).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan
penyakit layu pada tanaman cengkeh
disebabkan oleh jamur akar putih (JAP)
hasil pengamatan bentuk morfologi, warna,
bentuk tepi jamur dan bentuk miselianya
serta gejala yang ditunjukkan dalam uji
Postulat Koch.
Saran
Perlu dilakukan proses identifikasi
secara molekular dengan metode Polimerase
Chain Reaction (PCR) menggunakan gen
18S rRNA, sehingga mendapatkan Species
Patogen dengan Gen 18S rRNAsebagai
penanda molekular dengan fungsi yang
identik pada seluruh organisme.
DAFTAR RUJUKAN
Alexopoulus, G. J. and C. W. Mims. 1979.
Introductory Mycology 3
rd
Edition.
John Willey and Sons, New York.
Arisena, Gd. Mekse Korri. 2009. Struktur
dan Perilaku Pasar Komoditas
Cengkeh di Kecamatan Busungbiu
Kabupaten Buleleng. GaneC Swara.
Vol.3 No. 2 September 2009.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009.
Teknologi Perbanyakan Trichoderma
untuk Pengendalian Jamur Akar
Putih. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jambi. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian
Basuki. 1986. Penyakit dan Gangguan pada
Tanaman Karet. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan .
Tanjung Morawa.
Basuki. 1985. Peranan Belerang sebagai
Pemicu Pengendalian Biologi
Penyakit Akar Putih pada Karet.
Disertasi S3 Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. 169p.
Bintoro, M.H. 1986. Budidaya Cengkeh:
Teori dan Praktek. Lembaga
Swadaya Informasi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Chang, T.T. 1995. Decline of nine tree
species associated with brown root
rot caused bay Phellinus noxius in
Taiwan. Plant Dis. 79: 962-965.
Dharmawati. 2010. Tanaman Cengkeh
(Syzygium aromaticum)
http://darmawati-
dharmawati.blogspot.com/2010/12/ta
naman-cengkeh syzygium-
aromaticum.html(Diakses, 19 Maret
2013 Pk. 07.30 Wita)
Dinas Perkebunan Provinsi Bali. 2011.
Statistik Perkebunan Bali. Dinas
Perkebunan Pemerintah Provinsi
Bali.
______,. 2012. Statistik Perkebunan
BaliDinas Perkebunan Provinsi Bali.
http://regionalinvestment.bkpm.go.i
d/newsipid/id/commodityarea.php?
ia=51&ic=85. Diakses, 24 Maret
2013 Pk. 21.40 Wita.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010.
Pedomam Umum Kegiatan
Dukungan Perlindungan Perkebunan
dan Penanganan Gangguan Usaha
Perkebunan. Jakarta: Direktorat
Jenderal Perkebunann.
GAPPRI,2005. Prospek dan Pengembangan
Agibisnis Cengkeh edisi ke 2
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
24
24
http://www.litbang.deptan.go.id/sp
ecial/publikasi/doc_perkebunan/cen
gkeh/cengkeh-bagian-a.pdf.
John, K. P. 1958. Inculation experiment with
Fomes ligosus. J. Rubb. Res. Inst.
Mal. 15, 223-233: Comm. 321
______,. 1960. Loss of viability of three root
parasites in infected root sections
buried in soil. J. Rubb. Res. Inst.
Mal. 16, 173-177: Comm. 335
______,. 1966. Two Experiments on The
Control of White Root Disease of
Havea Rubber Caused by Fomes sp
Klotzsch, Leading to a revision of
Established Methods. J. Rubb Res.
Inst. Mal. 19(3):153-157.
Johnston, A. 1989. Disease and Pest. Dalam
C.C. Webster and W.J. Bulkwill
(Ed). Rubber. Tropical Agriculture
Series. Longman Singapore Pub.
(Pte.) Ltd. Singapore: 415-458.
Listyaty, D. 2007. Keragaman usahatani
cengkeh dengan beberapa jenis tanaman sela
di Provinsi Jawa Barat . Prosiding
Seminar Nasional Rempah/Nurheru.
Puslitbangbun. Bogor. p. 362-367/
McMilan, S. 2007. Promoting Growth with
PGPR. The Canadian Organic
Grower. www.co.ca. Page 32-34.
Muharni dan Hary Widjajanti. 2011.
Skrining Bakteri Kitinolitik
Antagonis terhadap Pertumbuhan
Jamur Akar Putih (Rigidoporus sp )
dari Rizosfir Tanaman Karet. Jurnal
Penelitian Sains Vol. 14 No. 1(D).
hal. 51-56. Sumatera Selatan:
FMIPA Universitas Sriwijaya.
Muljana, Wahyu. 2002. Cara Praktis
Bercocok Tanam Cengkeh.
Semarang: CV. Aneka Ilmu.
______,. 2007. Bercocok Tanam Cengkeh.
Yogyakarta: Aneka Ilmu.
Muttaqin, H.M. 2010. Penyakit Pada
Tanaman Cengkeh. Available at:
http://aqinhpt.blogspot.com/2010/10/
penyakit-pada-tanaman-cengkeh
html
Accessed atFeb. 7. 2011
Nutman, FJ & Robert FM. 1971. The clove
industry and the diseases of the clove
tree. Pest Articles News Summaries
17: 147-163.
Partayasa, Nyoman. 2011. Petani di Desa
Unggahan Perlu Pembasmi Penyakit
Cengkeh. Bisnis Bali, 26 September
2011.
http://www.bisnisbali.com/2011/09/26
/news/potensi/b.html
Diakses, 20 April 2013 Pk. 14.00 Wita.
Petch, T. 1911. The Physiology of Diseases
of Havea brasilliensis. London.
Dulan & Co. Ltd. 268p.
Rosita dan Ireng Darwati. 1993. Cengkeh.
Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat: 1-3.
Saswin. 2012. Cengkeh (Syzygium
aromaticum (L.) Merr. & L. M. Perry)
http://saswinhtml.blogspot.com/2012
/09/cengkeh-syzygium-aromaticum-
l-merr-l-m.html#.UXXKrbXLqjg
(Diakses, 19 Maret 2013 Pk. 07. 40
Wita)
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit
Karet Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
______,. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit
Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press:754p.
Siregar, H dan Suhendi. 2006. Usaha Tani
Cengkeh, Industri Rokok dan
Kebijakan Kenaikkan Harga Jual
Eceran Rokok. Makalah yang
Disampaikan pada Semiloka
Nasional Penanganan Permasalahan
Percengkehan di Indonesia. Jakarta.
9 Februari 2006.
Soemarno. 2010. Profil Agribisnis Cengkeh.
Available at:
http://images.soemarno.multiply.mul
tiplycontent.com/attachment/0/TC
25 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
25
Acrgoo Czyaahqehis
1/Pengembangnan 20 Produk
Unggulan
Cengkeh.doc?nmid=344836890.
Accessed Feb. 22. 2011.
Rahayu, S. 2005. Abstrak Hasil Penelitian
Pertanian Komoditas Karet. Pusat
Penelitian Karet Sembawa,
Palembang : 275-289.
Turner, J. 2004. Spice: The History of a
Temptation. Vintage Books. ISBN
0375707050.
Yulfahri; Nastri Joni dan Abdul Jalil. 2012.
Pengendalian Jamur Akar Putih pada
Budidaya Karet. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Riau. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
26

26
PENGARUH EKSTRAK STOLON RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus) TERHADAP
PERTUMBUHAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)
I MADE SUBRATA
1)
NI KOMANG AYU SRIANI
2)
1)
Dosen Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
2)
Alumni Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
Email: imadesubrata_m@ymail.com
ABSTRACT
Effect of Seaweed Extract Stolon Puzzle (Cyperus rotundus) on the Growth of Peanut
(Arachis hypogaea L.)
Grass puzzle inhibit plant growth because it is suspected that the grass puzzle has a
toxic compound ( allelopati ) which may affect growth, including the growth of peanuts. The
more puzzles grass growth around the plant, the greater the negative effect on growth. The
purpose of the study was to determine the effect of stolon-grass extract (Cyperus rotundus)
on the growth of groundnut (Arachis hypogaea L.). The study was conducted by soaking
seeds with peanut extract grass stolons puzzles for 12 hours . The control group for
comparison, soaked with distilled water for 12 hours. Furthermore planted seeds that have
been soaked in a polybag, use sand mixed soil media. After the 21-day -old plants, the plant
fresh weight are observed by disconnecting all parts of the plants in each study group , and
weighed with a digital scale. The data obtained the weight difference between the average
plant experimental and control groups, were analyzed using t - test statistical analysis with a
significance level of 5%.
Based on the data analysis, the t-test values of analysis more than t-table of statistc.
It can be concluded that : Null hypothesis ( H0 ) is rejected and the alternative hypothesis ( Hi
) is accepted. With the acceptance of the alternative hypothesis mean stolon-grass extract
effect on the growth of peanut. Given peanut extracts grass stolons puzzle stunted because
substance of allelopati issued. Based on the results of this study suggested to farmers to rid
crops of grass weeds puzzle.
Keywords: effect , extract , stolon .
PENDAHULUAN
Usaha pertanian merupakan salah
satu kekuatan ekonomi Indonesia karena
sebagian besar penduduk Indonesia
memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Seiring dengan pertambahan penduduk,
maka tuntutan kebutuhan pangan mutlak
setiap orang. Oleh karena itu maka
produksi pertanian haruslah terus
dikembangkan dan ditingkatkan (AAK,
1985). Produksi tanaman pertanian, Baik
yang diusahakan dalam bentuk pertanian
rakyat maupun perkebunan besar
ditentukan oleh beberapa faktor, antara
lain: hama, penyakit dan gulma. Kerugian
akibat gulma terhadap tanaman budidaya
bervariasi, tergantung dari jenis
tanamannya, iklim, jenis gulma. Gulma
tersebut sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman utama terutama
sewaktu tanaman utama masih muda.
Beberapa gulma lebih mampu
berkompetisi daripada gulma yang lain
misalnya rumpit teki (Cyperus rotundus),
yang dapat menyebabkan kerugian yang
lebih besar (Moenandir, 1993). Tumbuhan
juga dapat bersaing antara sesamanya
dengan cara interaksi biokimia, yaitu salah
satu tumbuhan mengeluarkan senyawa
beracun kesekitarnya dan dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan
tumbuhan lainnya. Interaksi biokimia
antara gulma dan pertanaman antara lain
27 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124

27
menyebabkan gangguan perkecambahan
biji, kecambah jadi abnormal,
pertumbuhan memanjang akar menjadi
terhambat, perubahan susunan sel-sel akar
dan lain sebagainya. Persaingan yang
timbul akibat dikeluarkannya zat yang
meracuni tumbuhan lain disebut
allelopathy (Yakup, 2002). Senyawa
alelopati dapat menyebabkan gangguan
atau perbanyakan dan perpanjangan sel,
aktifitas giberalin, dan Indole Acetic Acid (
IAA), penyerapan hara, laju fotosintesis,
respirasi, pembukaan mulut daun, sintesis
protein, aktifitas enzim tertentu dan lain-
lain. Selain itu hambatan alelopati dapat
pula berbentuk pengurangan dan
kelambatan pertumbuhan tanaman,
gangguan sistem perakaran, klorosis, layu,
bahkan kematian tanaman. Umumnya
senyawa yang dikeluarkan sebagai
allelopati adalah dari golongan fenol
(Robinson, 1995 ). Senyawa-senyawa
kimia yang memiliki potensi alelopati
dapat ditemukan di setiap organ tumbuhan,
antara lain terdapat pada daun, batang,
akar, rhizoma, buah, biji dan umbi serta
bagian-bagian tumbuhan yang membusuk.
Gulma yang diketahui mengeluarkan
senyawa-senyawa beracun adalah rumput
teki (Cyperus rotundus), alang-alang
(Imperata cylindrica), Agropyron
intermedium, Salvia lencopbyella, Cyperus
esculentus dan sebagainya. Jenis tanaman
pertanian yang sering ditumbuhi gulma
adalah kacang tanah (Arachis hypogaea,
L.) gulma yang sering tumbuh disekitar
tanaman kacang tanah adalah rumput teki.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak organ
tubuh rumput teki, semakin besar pengaruh
negatifnya terhadap pertumbuhan kacang
tanah. Senyawa alelopati dapat
menghambat penyerapan hara, pembelahan
sel-sel akar, pertumbuhan tanaman,
fotosintesis, respirasi, sitesis protein, dan
menghambat aktivitas enzim (Yakup,
2002).
Berdasarkan uraian tersebut, masalah
yanga akan dikaji adalah apakah ada
pengaruh ekstrak rhizoma rumput teki
(Cyperus rotundus) terhadap pertumbuhan
kacang tanah (Arachis hypogaea L.).
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh ekstrak rhizoma
rumput teki (Cyperus rotundus) terhadap
pertumbuhan kacang tanah (Arachis
hypogaea L.). Alelopati merupakan sebuah
fenomena yang berupa bentuk interaksi
antara makhluk hidup yang satu dengan
makhluk hidup lainnya melalui senyawa
kimia (Rohman, 2001). Alelopati juga
merupan suatu peristiwa dimana suatu
individu tumbuhan yang menghasilkan zat
kimia dan dapat menghambat pertumbuhan
jenis yang lain yang tumbuh bersaing
dengan tumbuhan tersebut. Hambatan
alelopati dapat pula berbentuk
pengurangan dan kelambatan
perkecambahan biji, penahanan
pertumbuhan tanaman, gangguan sistem
perakaran, klorosis, layu, bahkan kematian
tanaman (Tetelay, 2003). Senyawa-
senyawa kimia yang mempunyai potensi
alelopati dapat ditemukan di semua
jaringan tumbuhan termasuk daun, batang,
akar, umbi, bunga, buah dan biji.
Senyawa-senyawa alelopati dapat
dilepaskan dari jaringan-jaringan
tumbuhan dalam berbagai cara termasuk
melalui (1) Penguapan, senyawa
alelopati ada yang dilepaskan melalui
penguapan. Beberapa genus tumbuhan
yang melepaskan senyawa alelopati
melalui penguapan adalah Artemisia,
Eucalyptus, dan Salvia. Senyawa kimianya
termasuk dalam golongan terpenoid.
Senyawa ini dapat diserap oleh tumbuhan
disekitarnya dalam bentuk uap, embun,
dan dapat juga masuk kedalam tanah yang
akan di serap akar. (2) Eksudat Akar,
banyak terdapat senyawa kimia yang
dilepaskan oleh akar tumbuhan (eksudat
akar), yang kebanyakan berasal dari asam-
asam benzoat, sinamat, dan fenolat. (3)
Pencucian, sejumlah senyawa kimia dapat
tercuci dari bagian-bagian tumbuhan yang
berada di atas permukaan tanah oleh air
hujan atau tetesan embun. Hasil cucian
daun tumbuhan crysanthemum sangat
beracun, sehingga tidak ada jenis
tumbuhan lain yang dapat hidup di bawah
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
28

28
naungan tumbuhan ini. (4) Pembusukan
Organ Tumbuhan, setelah tumbuhan atau
bagian-bagian organnya mati, senyawa-
senyawa kimia yang mudah larut dapat
tercuci dengan cepat. Sel-sel pada organ
yang mati akan kehilangan permeabilitas
membrannya dan dengan mudah senyawa-
senyawa kimia didalamnya dilepaskan.
Selain melalui cara-cara di atas, pada
tumbuhan yang masih hidup dapat
mengeluarkan senyawa alelopati lewat
organ yang berada di atas tanah maupun
yang di bawah tanah. Demikian juga
tumbuhan yang sudah matipun dapat
melepaskan senyawa alelopati lewat organ
yang berada diatas tanah maupun di bawah
tanah. Rumpt teki (Cyperus rotundus)
yang masih hidup mengeluarkan senyawa
alelopati lewat organ dibawah tanah
(Sumberartha, 2001). Alelopati dapat
meningkatkan agresivitas gulma di dalam
hubungan interaksi antara gulma dan
tanaman melalui eksudat yang
dikeluarkannya, yang tercuci, yang
teruapkan, atau melalui hasil pembusukan
bagian-bagian organnya yang telah mati.
Beberapa jenis gulma yang telah diketahui
mempunyai potensi mengeluarkan
senyawa alelopati dapat dilihat pada Tabel
1 berikut.
Tabel 1. Jenis Gulma yang Mempunyai Aktivitas Alelopati.
No. Jenis gulma Jenis tanaman pertanian yg peka
1 Abutilon theoprasti Berbagai jenis
2 Agropyron repens Berbagai jenis
3 Agrostemma githago Gandum
4 Gagak bawang putih ( Allium vineale ) Oat
5 Bayam Duri ( Amaranthus spinosus ) Kopi
6 Ambrosia artemisifolia Berbagai jenis
7 A. trifida kacang pea, gandum
8 Artemisia vulgaris Mentimun
9 Asclepias syriaca Sorgum
10 Avena fatua Berbagai jenis
11 Celosia argentea Bajra
12 Chenopodium album Mentimun, oat, jagung
13 Cynodon dactylon Kopi
14 Cyperus esculentus Jagung
15 C. rotundus Sorgum, kedelai
16 Euporbia esula Kacang pea, gandum
17 Holcus mollis Barli
18 Alang-alang (Imperata cylindrica) Berbagai jenis
19 Poa spp. Tomat
20 Polygonum persicaria Kentang
21 Rumex crisparus Jagung, sorgum
22 Setaria faberii Jagung
23 Stellaria media Barli
(Sumber: Putnam, 2009).
Pengaruh alelopati terhadap aktivitas
tumbuhan antara lain, (a) daya hambat
senyawa alelopati melalui menurunkan
kecepatan penyerapan ion-ion oleh
tumbuhan. (b) menghambat pembelahan
sel-sel akar tumbuhan. (c) menghambat
pertumbuhan dengan mempengaruhi
pembesaran sel tumbuhan. (d)
penghambatan sintesis protein. (e)
menghambat aktivitas enzim. (f)
menurunkan daya permeabilitas membran
pada sel tumbuhan (Sumberartha, 2001
29 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124

1
METODE PENELITIAN
Penelitian ini digolongkan dalam
penelitian eksperimental, dengan disain
penelitian The post test only control group
design. Penelitian dikelompokkan atas dua
kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kelompok eksperimen
diberikan perlakuan berupa ekstrak stolon
rumput teki dengan cara merendam
bijinya, sedangkan kelompok kontrol tidak
diberi ekstrak stolon rumput teki, tetapi
direndam dengan akuades.
Populasi dalam penelitian ini adalah
biji kacang tanah sebanyak 0,25 kg dengan
jumlah 1.247 biji yang di beli di toko
Kicen Amerta, jalan raya Belega,
Blahbatuh, Gianyar. Kemudian biji kacang
tanah direndam dengan air selama 10
menit, biji yang terapung dibuang, dan biji
yang tenggelam dijadikan populasi
sebanyak 300 biji.
Dari 300 biji kacang tanah, hanya
diambil 180 biji untuk dijadikan sampel
penelitian dengan cara undian. Tiap-tiap
perangkat percobaan terdiri dari 60 biji
kacang tanah yang kemudian di bagi
dalam dua kelompok yaitu kelompok
kontrol sebanyak 30 biji yang direndam
dengan aquades selama 12 jam dan
kelompok eksperimen terdiri dari 30 biji
yang direndam dengan ekstrak stolon
rumput teki selama 12 jam. Stolon rumput
teki yang masih segar dihaluskan hingga
lumat dengan menggunakan blander,
kemudian hasil blanderan ini diangkat
dan disaring. Untuk mendapat ekstrak
yang cukup, dilakukan pengenceran
dengan aquades, dengan kadar ekstrak 7%
(7 gr ekstrak dalam 100 ml larutan).
Eksperimen ini diulangi tiga kali
dengan perangkat yang sama, sehingga
diperlukan 180 biji sebagai sampel. Biji
yang telah direndam ditumbuhkan selama
21 hari di dalam polybag yang berukuan 1
kg, dengan media tumbuh berupa tanah
dicampur pasir dengan perbandingan 3:1
Penelitian dilakukan di Desa Belega,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten
Gianyar, mulai tanggal 2 Januari 2013.
Data yang dikumpulkan berupa berat
basah tanaman kacang tanah dengan cara
mencabut semua bagian tanaman kacang
tanah tersebut pada masing-masing
kelompok penelitian, kemudian ditimbang
dengan menggunakan Timbangan Digital
pada saat tanaman berumur 21 hari (3
minggu).
Data yang telah diperoleh dalam
penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan analisa statistik t-test
karena bertujuan menguji perbedaan antara
dua Mean atau nilai rata-rata, dengan
rumus sebagai berikut:
t =
( )
|
.
|

\
|
+
|
|
.
|

\
|
+
+


nb na nb na
b x a x
Mb Ma
1 1
2
2 2
Keterangan :
t = Nilai t-test
Ma = Mean (rata-rata) dari kelompok eksperimen
Mb = Mean (rata-rata) dari kelompok kontrol
xa = Deviasi antara nilai-nilai X dan M pada kelompok eksperimen
xb = Deviasi antara nilai-nilai X dan M pada kelompok kontrol
na = Jumlah sampel kelompok eksperimen
nb = Jumlah sampel kelompok control
(Hadi, 1982).
Selanjutnya nilai t-hitung dibandingkan
dengan t-tabel dalam tabel statistik t-test
dengan taraf signifikansi 5% dan derajat
kebebasan (db) = 60-(1+1) = 58. Jika nilai
t-hitung t-tabel maka hipotesis nol (H
0
)
ditolak dan hipotesis alternatif (H
1
)
29
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
30

1
diterima. Jika nilai t-hitung < nilai t-tabel,
maka hipotesis nol (H
0
) diterima dan
hipotesis alternatif (H
1
) ditolak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang dikumpulkan berupa
berat basah tanaman kacang tanah pada
fase pertumbuhan vegetatif. Penentuan
berat basah tanaman keseluruhan (akar,
batang dan daun), dilakukan dengan cara
menimbang tanaman tersebut saat berumur
21 hari (3 minggu) dengan menggunakan
timbangan digital model 1479 V. Alat
pengumpulan data ini sudah valid, karena
alat tersebut sudah merupakan alat
timbang yang standar. Timbangan ini
memiliki batas ketelitian sebesar 0.1 gram,
dan dilengkapi dengan satu piring
timbangan yang berkapasitas 120 gram.
Data yang diperoleh dari masing-
masing percobaan (I, II, III ) disajikan
dalam bentuk tabel sebagai berikut (Tabel
2)
Tabel 2. Berat basah tanaman kacang tanah umur 21 hari pada eksperimen I, II dan III
Nomor
sampel
Kelompok kontrol Kelompok eksperimen
I II III I II III
1 5,1 7,2 5,8 1,6 1,4 0,3
2 4,9 6,9 6,6 1,4 0,6 0,5
3 4,5 6,5 6,4 2,0 0,8 2,7
4 5,0 5,8 7,5 2,1 2,3 1,3
5 4,7 5,5 6,4 1,4 2,1 1,6
6 6,4 4,6 5,9 1,2 2,5 0,3
7 5,1 4,9 5,0 0,8 1,2 2,4
8 4,5 5,0 4,9 0,5 0,8 2,1
9 5,8 4,9 6,3 1,4 0,3 1,9
10 5,9 7,2 6,2 2,2 2,1 1,7
11 6,1 6,3 6,5 0,5 1,8 1,9
12 6,3 6,5 7,2 0,8 1,7 1,5
13 4,8 4,9 4,7 1,3 1,3 1,3
14 4,4 4,8 5,2 1,3 0,5 0,9
15 5,2 5,1 4,8 0,7 0,7 2,3
16 5,1 6,3 7,0 2,1 3,1 0,7
17 5,1 6,2 6,9 1,9 1,5 2,6
18 4,7 6,5 5,1 0,7 1,7 2,1
19 5,8 7,1 5,8 1,9 1,8 2,7
20 5,5 7,3 4,2 1,8 2,6 1,4
21 5,8 4,9 4,7 1,5 1,8 2,3
22 5,1 5,6 6,7 2,3 3.0 0,8
23 7,0 4,8 6,9 0,6 2,2 0,3
24 6,8 5,0 4,7 1,1 0,7 2,5
25 5,4 5,7 4,3 1,7 1,9 1,4
26 4,8 4,7 5,9 2,1 1,7 1,8
27 6,6 5,6 5,8 2,3 2,3 1,8
28 6,0 6,1 6,7 2,0 0,7 2,0
29 4,5 7,0 5,3 1,7 1,9 0,8
30 5,8 7,3 4,9 2,0 2,0 0,4
Jumlah 162,7 176,2 174,3 44,9 49 46,3

30
31 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124

1
Oleh karena dalam penelitian ini
yang diajukan adalah hipotesis alternatif
(H
1
) yang berbunyi Ada pengaruh ekstrak
stolon rumput teki (Cyperus rotundus)
terhadap pertumbuhan kacang tanah
(Arachis hypogaea L.), maka untuk
keperluan analisis statistik diajukan
hipotesis nol (H
0
) bahwa tidak ada
pengaruh ekstrak stolon rumput teki
(Cyperus rotundus) terhadap pertumbuhan
kacang tanah (Arachis hypogaea L.).
Untuk pengujian hipotesis
penelitian maka data yang telah diperoleh
dianalisis dengan analisis statistik t-test
. Langkah-langkah yang ditempuh dalam
analisis data adalah mencari nilai Mean
pada setiap kelompok, mencari deviasi
pada setiap data, mencari jumlah kuadrat
deviasi pada setiap kelompok dan
menyusun tabel kerja untuk bisa
mensubstitusi data ke dalam rumus t-test.
Nilai t yang didapat pada setiap perangkat
eksperimen dikonfirmasikan dengan nilai
t table statistik dengan taraf signifikansi
5% dan db (derajat kebebasan) 58. Hasil
analisis data disajikan pada Table 3
berikut.
Tabel 3. Rekapitulasi Analisis t-tes
Eksperimen t-hitung t-tabel Keterangan
I 23,254 2,000 signifikan
II 19,629 2,000 signifikan
III 19,768 2,000 signifikan
Berdasrkan tabel 3, nilai t-hitung dari
ketiga perangkat eksperimen lebih dari
batas penolakan hipotesis nol (H
0
). Ini
berarti bahwa hipotesis nol (H
0
) yang
menyatakan Tidak ada pengaruh ekstrak
stolon rumput teki (Cyperus rotundus)
terhadap pertumbuhan kacang tanah
(Arachis hypogaea L.) ditolak dan
hipotesis alternatif (H
i
) yang menyatakan
Ada pengaruh ekstrak stolon rumput teki
(Cyperus rotundus) terhadap pertumbuhan
kacang tanah (Arachis hypogaea L.)
diterima. Oleh karena itu dapat
diinterpretasikan bahwa pemberian ekstrak
stolon rumput teki (Cyperus rotundus)
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
kacang tanah (Arachis hypogaea L.),
karena terjadi penghambatan pertumbuhan.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis, ternyata pemberian ekstrak
stolon rumput teki mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan kacang tanah,
berupa terhambatnya pertumbuhan kacang
tanah. Hal ini disebabkan karena ekstrak
stolon rumput teki memiliki senyawa
beracun (alelopati) yang dapat
menghambat pertumbuhan kacang tanah.
Senyawa yang dikeluarkan umumnya
adalah dari golongan fenol (Utami, 2006).
Senyawa alelopati dapat menghambat
penyerapan hara, pembelahan sel-sel akar,
pertumbuhan tanaman, fotosintesis,
respirasi, sitesis protein, menurunkan daya
permeabilitas membran sel dan
menghambat aktivitas enzim. Semakin
tinggi konsentrasi ekstrak rhizoma rumput
teki, semakin besar pengaruhnya terhadap
penghambatan pertumbuhan kacang tanah
(Arachis hypogaea L.).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstrak stolon rumput teki
berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan kacang tanah. Biji kacang
tanah yang direndam dengan ekstrak
stolon rumput teki pertumbuhannya
terhambat.
Saran
Beberapa saran yang dapat
disampaikan sehubungan dengan hasil
penelitian adalah :
1. Bagi para peneliti yang berminat,
disarankan untuk memperdalam
penelitian ini, sehingga dapat
memberikan informasi tentang jenis
gulma lain yang bisa menghambat
31
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
32

1
pertumbuhan tanaman khususnya
tanaman kacang tanah.
2. Bagi para petani terutama petani
kacang tanah disarankan tidak
membiarkan tumbuhan rumput teki
tumbuh di daerah yang ditanami
tumbuhan kacang tanah (Arachis
hypogaea L.) agar tidak menyebabkan
kerugian yaitu terhambatnya
pertumbuhan dan akan mengakibatkan
rendahnya hasil panen.
3. Bagi siswa, disarankan untuk melatih
keterampilan dalam melaksanakan
percobaan-percobaan yang bersifat
sederhana sehingga dapat
meningkatkan sikap ilmiah.
DAFTAR RUJUKAN
AAK. 1989.Kacang Tanah, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Hadi, S.1982. Metodologi Research jilid 4.
Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Jogjakarta.
Moenandir, J.,1993. Pengantar Ilmu
dan Pengendalian Gulma,
Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Putnam, 2009. Macam-macam
Gulma,
http://id.wikipedia.org/wiki/g
ulma
Robinson, T., 1995. Kandungan Organik
Tumbuhan Tinggi, Penerbit ITB,
Bandung
Rohman, F. 2001 Petunjuk Pratikum
Ekologi Tumbuhan,
PenerbitUniversitas Negri
Malang, Malang.
Sumberartha, 2001.,Allelopaty,
http://www.google.com,
Tetelay, F., 2003. Pengaruh Allelopathy
Acacia mangium wild terhadap
perkecanbahan benih Kacang hijau
(Phaseolus radiatus) dan Jagung
(Zea mays), tidak diterbitkan.
Utami, S, 2006. Interaksi Gulma dan
Pengendalian Gulma, Penerbit
Sarana Warna Jaya, Jakarta
Yakup, Y. S., 2002. Gulma dan
Teknik Pengendaliannya,
Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
32
33 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 33
INVENTARISASI TANAMAN UPAKARA SEBAGAI SARANA UPACARA AGAMA
MASYARAKAT HINDU DI DESA LALANG LINGGAH KECAMATAN
SELEMADEG BARAT KABUPATEN TABANAN
N. Putri Sumaryani dan Ni Made Yeti Susanti
Jurusan pendidikan biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
Email: sumaryani putri@yahoo.com, madeyetisusanti@yahoo.com
ABSTRACT
Inventory of Plants Upakara as a Means Hindu Religious Ceremony in Village
Lalanglinggah West District Selemadeg District Tabanan
In nature there are different types of plant diversity. Bali is one of the many islands
that make use of plants as a means of ceremonies. In Hindu society, especially in the village
of Lalanglinggah plant has an important meaning, because many kinds of plants are used in
various religious ceremonies. The aim of this study was to assess the diversity of crops grown
upakara by people in the village of West Selemadeg Lalanglinggah Tabanan district.
Determination of the sample used purposive sampling or sample considerations. It is based on
the consideration that the number of households Banjar Dinas most widely used as a sample.
Primary data were obtained were collected by the method of observation, interviews and a
literature method. Data analysis was performed using descriptive statistical analysis.
Based on the analysis of the data found that there are 34 types of crops planted upakara by
people in the village of West Selemadeg Lalanglinggah Tabanan district. Upakara plant
species most often found and are most in demand for home kitchen garden planted by the
people in the village are Lalanglinggah frangipani. Upakara plant species rarely found that
most people in the village be planted by Lalanglinggah is Nagasari.
Keywords: Crop Inventory Ceremony
PENDAHULUAN
Tumbuhan yang ada di dunia
sangat beraneka ragam. Manusia dalam
kehidupan sehari-hari tidak lepas dari
tumbuhan, baik itu tumbuhan sebagai
obat, sebagai bahan sandang, bahan rumah,
sebagai tanaman hias maupun sebagai
sarana upacara. Di alam ini terdapat
berbagai jenis keanekaragaman tumbuhan.
Bali merupakan salah satu pulau yang
banyak menggunakan tumbuhan sebagai
sarana upacara. Penduduk di Bali
umumnya beragama Hindu, umat Hindu di
Bali mempunyai banyak upacara agama.
Hampir setiap hari umat Hindu
memanfaatkan tanaman sebagai sarana
upacara. Untuk mencapai keselarasan dan
keharmonisan di bumi ini masyarakat
Hindu di Bali dilandasi konsep Tri Hita
Karana yang dalam kesehariannya
diwujudkan melalui aktivitas upacara
(Siregar, 2002). Dilihat dari tujuannya
upacara umat Hindu ada lima yang
disebut dengan Panca Yadnya. Panca
Yadnya ini terdiri dari Dewa Yadnya,
Pitra Yadnya, Resi Yadnya, Manusa
Yadnya dan Bhuta Yadnya. Upacara umat
Hindu tidak lepas dari tumbuhan yang
merupakan sarana pokok dalam upacara
agama (Siregar, 2002). Dalam kehidupan
masyarakat Hindu khususnya di Desa
Lalanglinggah tumbuhan mempunyai arti
yang penting, karena banyak jenis-jenis
tanaman yang dipergunakan dalam
berbagai upacara keagamaan.Tanaman-
tanaman tersebut merupakan perlengkapan
bahan upacara atau banten. Jumlah
tanaman yang digunakan dalam kegiatan
upacara tersebut sangat banyak dan
beragam serta memiliki makna yang
mungkin berbeda antara satu dengan yang
lain. Desa Lalanglinggah berada dalam
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
34 34
lingkup Kecamatan Selemadeg Barat, yang
terletak di Kabupaten Tabanan. Desa
Lalanglinggah ini terdiri dari 11 Banjar
Dinas, dengan 1.191 Kepala Keluarga,
dimana jumlah penduduk yang memeluk
agama Hindu yaitu 3.791 orang jauh lebih
banyak dibandingkan dengan penduduk
yang beragama Islam dan Kristen (Profil
Desa, 2011). Jumlah penduduk di Desa
Lalanglinggah lebih banyak yang
beragama Hindu, tentunya dalam
melaksanakan upacara agama lebih
dominan menggunakan tumbuhan sebagai
sarana upacara agama. Mengingat begitu
pentingnya penggunaan tumbuhan sebagai
sarana upacara agama Hindu khususnya di
Desa Lalanglinggah maka diperlukan suatu
upaya untuk menghimpun informasi
tentang penggunaan tumbuhan sekaligus
melakukan inventarisasi jenis-jenis
tumbuhan yang banyak digunakan dalam
upacara agama Hindu di Desa
Lalanglinggah. Banjar Suraberata, Banjar
Lalanglinggah, dan Banjar Yeh Bakung
memiliki jumlah penduduk paling banyak,
dan yang mendominasi adalah yang
beragama Hindu. Hampir semua
masyarakat Hindu di Desa Lalanglinggah
memiliki tanaman upakara dihalaman
rumahnya. Meskipun hanya dalam skala
kecil tetapi dapat dimanfaatkan sebagai
tanaman upakara. Di daerah pedesaan
masyarakat pada umumnya lebih banyak
memiliki jenis-jenis tanaman upakara
daripada masyarakat yang tinggal dikota,
karena areal untuk menanam tanaman
cukup luas, daripada masyarakat yang
berada dikota yang halamannya masih
terbatas. Masyarakat Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas Lalanglinggah
dan Banjar Dinas Yeh Bakung
memanfaatkan tanaman upakara sebagai
sarana upacara yang disebut banten,
dimana dalam banten hampir semua
bagian-bangiannya menggunakan
tumbuhan. Ada yang menggunakan bagian
daun, buah, bunga, dan ada juga yang
menggunakan rimpang sebagai sarana
upacara. Beberapa jenis tanaman
diantaranya bisa dimanfaatkan dalam
bentuk satu tumbuhan utuh ataupun hanya
bagian-bagian tertentu saja. Selain untuk
kepentingan upacara adat keagaaman,
tumbuhan tersebut juga mempunyai
manfaat lain yang berpotensi untuk
dikembangkan namun belum
optimal.Meskipun di daerah pedesaan
banyak bisa ditemukan tanaman upacara,
namun masyarakat di desa ini belum
semuanya mengetahui nama-nama
tanaman tersebut.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
penelitian Deskriptif Kuantitatif karena
yang diteliti berupa angka-angka mengenai
jumlah tanaman upakara yang ditanam
oleh masyarakat Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan. Populasi dalam penelitian ini
adalah tanaman upakara yang tumbuh di
pekarangan rumah masyarakat di Desa
Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg
Barat Kabupaten Tabanan. Desa
Lalalnglinggah terdiri dari 11 banjar,
dengan jumlah Kepala Keluarga 1.191
KK.
Sampel Penelitian digunakan
sampling purposive atau sampel
pertimbangan. Sampling Purposive. Dari
11 Banjar Dinas dengan jumlah 1.191 KK
yang ada di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan, diambil tiga banjar yaitu Banjar
Dinas Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah, dan Banjar Dinas Yeh
Bakung. Dasar pertimbangan memilih tiga
Banjar Dinas ini dikarenakan jumlah
KKnya lebih banyak dibandingkan
dengan Banjar Dinas yang lain.
Prosedur penelitian dengan
menerapkan langkah-langkah berikut,
yaitu persiapan alat dan bahan untuk
melakukan inventarisasi. Alat yang
digunakan yaitu kamera untuk
dokumentasi, alat tulis dan buku-buku
penunjang tentang tanaman upakara, dan
panduan observasi yaitu nama-nama
tanaman upakara berupa chek list.
Kegiatan selanjutnya adalah dengan
35 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 34
lingkup Kecamatan Selemadeg Barat, yang
terletak di Kabupaten Tabanan. Desa
Lalanglinggah ini terdiri dari 11 Banjar
Dinas, dengan 1.191 Kepala Keluarga,
dimana jumlah penduduk yang memeluk
agama Hindu yaitu 3.791 orang jauh lebih
banyak dibandingkan dengan penduduk
yang beragama Islam dan Kristen (Profil
Desa, 2011). Jumlah penduduk di Desa
Lalanglinggah lebih banyak yang
beragama Hindu, tentunya dalam
melaksanakan upacara agama lebih
dominan menggunakan tumbuhan sebagai
sarana upacara agama. Mengingat begitu
pentingnya penggunaan tumbuhan sebagai
sarana upacara agama Hindu khususnya di
Desa Lalanglinggah maka diperlukan suatu
upaya untuk menghimpun informasi
tentang penggunaan tumbuhan sekaligus
melakukan inventarisasi jenis-jenis
tumbuhan yang banyak digunakan dalam
upacara agama Hindu di Desa
Lalanglinggah. Banjar Suraberata, Banjar
Lalanglinggah, dan Banjar Yeh Bakung
memiliki jumlah penduduk paling banyak,
dan yang mendominasi adalah yang
beragama Hindu. Hampir semua
masyarakat Hindu di Desa Lalanglinggah
memiliki tanaman upakara dihalaman
rumahnya. Meskipun hanya dalam skala
kecil tetapi dapat dimanfaatkan sebagai
tanaman upakara. Di daerah pedesaan
masyarakat pada umumnya lebih banyak
memiliki jenis-jenis tanaman upakara
daripada masyarakat yang tinggal dikota,
karena areal untuk menanam tanaman
cukup luas, daripada masyarakat yang
berada dikota yang halamannya masih
terbatas. Masyarakat Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas Lalanglinggah
dan Banjar Dinas Yeh Bakung
memanfaatkan tanaman upakara sebagai
sarana upacara yang disebut banten,
dimana dalam banten hampir semua
bagian-bangiannya menggunakan
tumbuhan. Ada yang menggunakan bagian
daun, buah, bunga, dan ada juga yang
menggunakan rimpang sebagai sarana
upacara. Beberapa jenis tanaman
diantaranya bisa dimanfaatkan dalam
bentuk satu tumbuhan utuh ataupun hanya
bagian-bagian tertentu saja. Selain untuk
kepentingan upacara adat keagaaman,
tumbuhan tersebut juga mempunyai
manfaat lain yang berpotensi untuk
dikembangkan namun belum
optimal.Meskipun di daerah pedesaan
banyak bisa ditemukan tanaman upacara,
namun masyarakat di desa ini belum
semuanya mengetahui nama-nama
tanaman tersebut.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah
penelitian Deskriptif Kuantitatif karena
yang diteliti berupa angka-angka mengenai
jumlah tanaman upakara yang ditanam
oleh masyarakat Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan. Populasi dalam penelitian ini
adalah tanaman upakara yang tumbuh di
pekarangan rumah masyarakat di Desa
Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg
Barat Kabupaten Tabanan. Desa
Lalalnglinggah terdiri dari 11 banjar,
dengan jumlah Kepala Keluarga 1.191
KK.
Sampel Penelitian digunakan
sampling purposive atau sampel
pertimbangan. Sampling Purposive. Dari
11 Banjar Dinas dengan jumlah 1.191 KK
yang ada di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan, diambil tiga banjar yaitu Banjar
Dinas Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah, dan Banjar Dinas Yeh
Bakung. Dasar pertimbangan memilih tiga
Banjar Dinas ini dikarenakan jumlah
KKnya lebih banyak dibandingkan
dengan Banjar Dinas yang lain.
Prosedur penelitian dengan
menerapkan langkah-langkah berikut,
yaitu persiapan alat dan bahan untuk
melakukan inventarisasi. Alat yang
digunakan yaitu kamera untuk
dokumentasi, alat tulis dan buku-buku
penunjang tentang tanaman upakara, dan
panduan observasi yaitu nama-nama
tanaman upakara berupa chek list.
Kegiatan selanjutnya adalah dengan
35
melakukan observasi dengan meninjau ke
lokasi penelitian untuk mendapatkan
informasi melalui Kepala Desa dan Kelian
Banjar Dinas dan mengambil gambar
jenis-jenis tanaman upakara dengan
menggunakan kamera, kemudian
menganalisi tanaman tersebut, serta
menghitung jumlah jenis-jenis tanaman
upakara yang ada di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan.
Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan Statistic Deskriptif.
Dalam penelitian ini data yang
dideskripsikan adalah inventarisasi tentang
jenis tanaman upakara yang di tanam oleh
masyarakat di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang dikumpulkan dengan
teknik observasi dan wawancara kemudian
dianalisis dengan Statistic Deskriptif. Data
yang dideskripsikan adalah inventarisasi
tentang jenis tanaman upakara yang di
tanam oleh masyarakat di Desa
Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg
Barat. Hasil observasi jumla tanaman
upakara pada tiga desa di Desa
Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg
Barat disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Tanaman di Masing-Masing Banjar Dinas
No Nama Tanaman
Banjar Dinas
Total Suraberata Lalanglinggah Yeh Bakung
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Andong 43 41 54 138
2 Bambu 8 10 21 39
3 Belimbing wuluh 8 8 24 40
4 Cempaka Kuning 10 15 23 48
5 Cempaka Putih 20 16 19 55
6 Dapdap 37 37 54 128
7 Delima 5 2 7 14
8 Jahe 18 18 24 60
9 Jaka 3 1 8 12
10 Jambu Biji 14 12 25 51
11 Kamboja 72 65 76 213
12 Kayu Manis 41 32 46 119
13 Kunyit 40 22 28 90
14 Kelapa 19 41 42 102
15 Kembang Sepatu 33 22 25 80
16 Kembang Merak 8 10 27 45
17 Kemangi 32 16 28 76
18 Kenanga 31 28 45 104
19 Kelor 11 13 18 42
20 Mangga 39 46 53 138
21 Nagasari 0 2 0 2
22 Nangka 12 12 32 56
23 Nenas 6 3 19 28
24 Pandan Wangi 50 40 49 139
25 Pinang 1 1 5 7
26 Pisang 45 41 46 132
27 Puring 55 57 57 169
28 Pepaya 21 38 42 101
29 Suji 17 23 40 80
30 Sirih 33 26 42 101
31 Tebu 39 28 56 123
32 Temen 11 26 18 55
33 Teratai 4 8 8 20
34 Widuri 0 5 9 14
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
36 36
Pada tabel dapat dilihat pada
Banjar Dinas Suraberata dan Yeh Bakung
tidak memiliki tanaman nagasari, tanaman
ini hanya dimiliki oleh masyarakat di
Banjar Dinas Lalanglinggah. Delima,
nagasari dan pinang jumlah tanamannya
lebih sedikit dibandingkan dengan
tanaman yang lain. Tanaman delima,
nagasari dan pinang sudah termasuk ke
dalam tanaman upakara katagori langka.
Di bawah ini dapat dilihat ringkasan
perhitungan persentase keanekaragaman
tanaman upakara yang disajikan dalam
bentuk tabel 2.
Tabel 2. Persentase Jenis Tanaman Dari Tiga Banjar Dinas
No Nama Tanaman Jumlah Persentase (%)
(1) (2) (3) (4)
1 Andong 138 5,26
2 Bambu 39 1,48
3 Belimbing wuluh 40 1,53
4 Cempaka Kuning 48 1,83
5 Cempaka Putih 55 2,1
6 Dapdap 128 4,88
7 Delima 14 0,53
8 Jahe 60 2,29
9 Jaka 12 0,46
10 Jambu Biji 51 1,95
11 Kamboja 213 8,53
12 Kayu Manis 119 4,54
13 Kunyit 90 3,44
14 Kelapa 102 3,90
15 Kembang Sepatu 80 3.05
16 Kembang Merak 45 1,72
17 Kemangi 76 2,90
18 Kenanga 104 3,97
19 Kelor 42 1,60
20 Mangga 138 5,26
21 Nagasari 2 0,08
22 Nangka 56 2,14
23 Nenas 28 1,07
24 Pandan Wangi 139 5,30
25 Pinang 7 0,27
26 Pisang 132 5,04
27 Puring 169 6,45
28 Pepaya 101 3,85
29 Suji 80 3,05
30 Sirih 101 3,85
31 Tebu 123 4,69
32 Temen 55 2,1
33 Teratai 20 0,76
34 Widuri 14 0,53
Jumlah 2.621 100%
Rekapitulasi Hasil Pengolahan
Data dapat dilihat persentase
keanekaragamannya, 34 jenis tanaman ini
memiliki manfaat sebagai sarana upacara
pada Banjar Dinas Suraberata, Banjar
Dinas Lalanglinggah, dan Banjar Dinas
Yeh Bakung. Masing-masing tanaman
upakara memiliki makna yang berbeda-
beda dalam pembuatan sarana upacara
(banten).
37 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 37
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031323334
T
A
N
A
M
A
N
U
P
A
K
A
R
A
Nomor urut tanaman upakara
Pembahasan
Dari analisa data di atas dapat
disimpulkan bahwa jenis tanaman upakara
yang ditanam oleh masyarakat di Desa
Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg
Barat Kabupaten Tabanan cukup
bervariasi. Dari 221 rumah yang dijadikan
tempat penelitian, ditemukan bahwa jenis
tanaman upakara yang paling banyak
ditanam adalah kamboja (8,53%) dan yang
paling sedikit adalah nagasari (0,08%).
Berdasarkan identifikasi yang telah
dilakukan di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten
Tabanan terdapat keanekaragaman jenis
tanaman upakara yang ditanam oleh
masyarakat di Desa Lalanglinggah. Jenis
yang paling banyak dijumpai adalah jenis
kamboja, hal ini dikarenakan kamboja
mudah tumbuh, cara menanam tanaman
mudah dan dilihat dari segi pemeliharaan
tidaklah sulit. Masyarakat di Desa
Lalanglinggah biasanya menanam
kamboja dengan cara stek. Dalam
pemanfaatan kamboja sebagai sarana
upacara oleh masyarakat Hindu, kamboja
juga memiliki nilai ekonomis, dimana
bunga-bunga yang telah gugur
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
dijual.
Tanaman yang paling sedikit
dijumpai adalah tanaman nagasari, hal ini
dikarenakan sulit untuk mendapatkan
bijinya, dimana perkembangbiakan
tanaman nagasari yaitu dengan
menggunakan bijinya sebagai bibit,
sehingga ada peluang kecil kemungkinan
tanaman tersebut dapat tumbuh. Tanaman
nagasari yang dijumpai di Banjar Dinas
Lalanglinggah tersebut pemiliknya
menanam dengan cara membeli bibitnya
yang sudah tumbuh. Di Desa
Lalanglinggah tanaman jenis ini dapat
dikatagorikan langka, karena dari sekian
rumah hanya 2 rumah yang memiliki
tanaman nagasari yang di tanaman oleh
masyarakat.
Berikut penjelasan dari kegunaan
masing-masing tanaman upakara dalam
pembuatan Banten di Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas Lalanglinggah
dan Banjar Dinas Yeh Bakung:
1. Andong, Tanaman andong banyak
ditanam di areal Mandya Mandala dan
Nista Mandala. Andong digunakan
sebagai sarana sampyan, penggunaan
andong sebagai sarana upacara yaitu
pada perayaan hari Tumpek Landep.
Selain digunakan sebagai sampyan
andong juga digunakan sebagai hiasan
penjor.
2. Bambu, Tanaman bambu banyak
dijumpai di area Nista Mandala yaitu
di area teba. Masyarakat Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
38
38
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung menggunakan bambu sebagai
Klatkat, Penjor, Sanggah cukcuk dan
Penimpug
3. Belimbing Wuluh, Tanaman
belimbing wuluh banyak ditanam di
area Madya Mandala dan Nista
Mandala, tidak semua masyarakat di
Banjar Dinas Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung memiliki tanaman belimbing
wuluh, hanya beberapa yang memiliki
tanaman ini. Belimbing wuluh
digunakan sebagai Asem Biukaonan.
4. Cempaka (Cempaka Putih dan
Cempaka Kuning), Cempaka banyak
ditanam di area Mandya Mandala dan
Nista Mandala. Cempaka yang sering
digunakan adalah bagian bunganya.
Bunga cempaka digunakan untuk
canang, kewangen dan tirta (air suci)
5. Dapdap, Tumbuhan dapdap merupakan
salah satu tanaman yang mudah
tumbuh, sering dikatakan sebagai Taru
Sakti. Dapdap banyak ditanam diarea
Nista Mandala, namun ada yang masih
menggunakan dapdap sebagai sanggah
diarea Utama Mandala. Tanaman
dapdap yang sering digunakan adalah
daunnya, dimana daunnya ini
digunakan sebagai perlengkapan
Banten Prayascita.
6. Delima, Tanaman delima dapat
dikatakan sebagai tanaman yang sudah
mulai langka, delima dijumpai diarea
Madnya Mandala. Tanaman delima
yang digunakan untuk upacara adalah
bagian buahnya yang digunakan
sebagai banten Suci.
7. Jahe, Tanaman jahe banyak ditanam di
area Madnya Mandala. Bagian yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah bagian rimpangnya. Pada
Banjar Dinas Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung jahe banyak digunakan dalam
tetandingan segehan.
8. Jaka , Jaka kebanyakan ditanam diarea
Nista Mandala yaitu diarea teba,
bagian tanaman yang digunakan untuk
upacara yaitu daunnya yang agak tua
yang disebut dengan ron. Ron banyak
digunakan dalam membuat canang
sebagai pelampet canang ceper dan
ceniga oleh masyarakat Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung.
9. Jambu Biji, Jambu biji ditanam oleh
masyarakat Banjar Dinas Suraberata,
Banjar Dinas Lalanglinggah dan
Banjar Dinas Yeh Bakung di area
Madya Mandala. Jambu biji digunakan
sebagai isin pacalan sebagai pelengkap
isi banten.
10. Kamboja, Kamboja merupakan
tanaman yang paling banyak ditanam
oleh masyarakat Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung. Kamboja banyak ditanam
diarea Madya Mandala dan Nista
Mandala. Bagian tanaman kamboja
yang sering digunakan sebagai sarana
upacara adalah bagian bunganya.
Bunga kamboja banyak digunakan
untuk canang, digunakan untuk
menghias gebogan atau oncer, untuk
tirta dan digunakan juga sebagai
sarana persembahyangan.
11. Kayu Manis, Kayu manis digunakan
dalam tetandingan kacang-kacang.
Kayu manis selain sebagai sarana
upakara juga dimanfaat sebagai obat
oleh masyarakat Hindu yaitu sebagai
loloh, banyak ditanam diarea Madya
Mandala yaitu di area natah.
12. Kunyit, Tanaman kunyit banyak
ditanam diarea Madya Mandala dan
Nista Mandala. Bagian tanaman yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah rimpangnya. Kunyit digunakan
untuk membuat bijaratus.
13. Kelapa , Kelapa merupakan tanaman
yang bagian-bagian tanamannya
banyak digunakan sebagai sarana
upacara. Dari bagian daun yang masih
muda yang disebut dengan busung,
daun yang sudah tua (slepahan), buah
yang masih muda (klungah), dan yang
39 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 39
sudah tua (nyuh) digunakan sebagai
sarana upacara. Kelapa banyak
ditanam diarea Nista Mandala yaitu di
teba. Daun yang masih muda hampir
setiap hari dimanfaatkan oleh
masyarakat dalam membuat canang.
Selain daunnya buah kelapa juga
digunakan dalam membuat daksina.
Hampir setiap sarana upacara
mengguankan bagian-bagian dari
tanaman kelapa ini. Ada rumah yang
tidak memiliki tanaman kelapa
dipekarangan rumah, namun pemilik
rumah memiliki tanaman kelapa di
area tegalannya.
14. Kembang Sepatu, Kembang sepatu
banyak ditanam diarea Madya
Mandala. Bagian yang digunakan
sebagai sarana upacara adalah bagian
daun dan bunganya yang digunakan
kalpika.
15. Kembang Merak, Kembang merak
banyak ditanam diarea Mandya
Mandala. Bagian tanaman yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah bunganya. Bunganya
digunakan dalam canang dan semua
jenis banten.
16. Kemangi, Kemangi banyak ditanam
diarea Madya Mandala. Bagian yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah bagian daunnya. Daun kemangi
digunakan dalam isi tetandingan
kacang-kacang.
17. Kenanga, Kenanga banyak ditanam
diarea Madya Mandala. Bagian yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah bagian bunganya. Bunga
kenanga digunakan sebagai sarana air
kumkuman, dan wangi-wangian
canang sari, digunakan juga sebagai
sarana persembahyangan.
18. Kelor, Kelor banyak ditanam di area
Madya Mandala dan Nista Mandala.
Bagian yang digunakan sebagai sarana
upacara adalah bagian batang dan
daunnya untuk mecaru dan eteh-eteh
gelar sanga.
19. Mangga, Mangga banyak ditanam di
area Madya Mandala dan Nista
Mandala. Bagian yang digunakan
sebagai sarana upacara adalah bagian
buahnnya. Buah mangga digunakan
dalam pajegan dan gebogan.
20. Nagasari, Nagasari merupakan
tanaman yang dapat dikatakan sebagai
tanaman langka di Banjar Dinas
Suraberata, Banjar Dinas
Lalanglinggah dan Banjar Dinas Yeh
Bakung. Nagasari ditanam diarea Nista
Mandala. Bagian tanaman yang
digunakan upacara adalah daunnya
yang digunakan dalam tetandingan
penek dalam upacara Dewa Yadnya.
21. Nangka, Nangka banyak ditanam
diarea Nista Mandala. Bagian yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah daunnya yang digunakan untuk
tape. Buahnya digunakan untuk banten
suci dan eteh-eteh sorohan.
22. Nenas, Nenas banyak ditanam diarea
Nista Mandala yaitu di area teba.
Bagian yang digunakan sebagai sarana
upacara adalah buahnya. Buah nenas
digunakan untuk pacalan.
23. Pandan Wangi, Pandan wangi banyak
ditanam di area Madya Mandala dan
Nista Mandala. Pandan wangi banyak
digunakan sebagai kembang rampe
untuk canang, dimana pandan wangi
diiris tipis-tipis, irisan daun pandan ini
akan menebar bau harum.
24. Pinang, Pinang banyak ditanam di area
Nista Mandala yaitu di area teba.
Bagian yang digunakan sebagai sarana
upacara adalah bagian buahnya. Buah
pinang digunakan sebagau pelengkap
daksina.
25. Pisang, Pisang banyak ditanam di
area Nista Mandala yaitu di area teba.
Hampir semua bagiannya dapat
digunakan sebagai sarana upacara,
yang paling sering digunakan adalah
buah dan daunnya. Buahnya digunakan
dalam raka-raka banten, dan daunnya
digunakan sebagai aled punjung (alas
punjung)
26. Puring, Puring merupakan tanaman
yang banyak ditanam diarea Mandya
Mandala dan Nista Mandala. Puring
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
40 40
juga dimanfaatkan sebagai pagar
pembatas rumah. Bagian puring yang
digunakan sebagai sarana upacara
adalah daunnya. Daun puring
digunakan untuk porosan sebagai
pelengkap sampyan dan canang
27. Papaya, Papaya banyak ditanam di area
Nista Mandala yaitu di area teba.
Bagian yang digunakan untuk sarana
upacara adalah bagian buahnya. Buah
papaya digunakan untuk durmenggala
agung.
28. Suji, Suji banyak ditanam di area
Mandya Mandala, bagian yang
digunakan untuk upacara adalah
daunnya. Daun suji digunakan dalam
banten matenin padi (sarana upacara
untuk padi) pada lumbung padi.
29. Sirih, Sirih merupakan tanaman yang
banyak ditanam di area Madya
Mandala. Bagian yang sering
digunakan sebagai sarana upacara
adalah daunnya. Daun sirih digunakan
untuk pelengkap isi porosan dan
porosan silih asih.
30. Tebu, Tebu banyak ditanam di area
Madya Mandala dan Nista Madala.
Bagian yang digunakan sebagai sarana
upacara adalah bagian batang dan
pucuk tanaman tebu itu sendiri. Batang
tebu digunakan untuk raka banten dan
canang, dan pucuk tebu digunakan
untuk banten saleran dalam upacara
pernikahan.
31. Temen, Temen (daun ungu) banyak
ditanam di area Madya Mandala.
Bagian yang digunakan untuk sarana
upacara adalah bagian daunnya. Daun
temen digunakan sebagai sekar ura
dan canang burat wangi.
32. Teratai, Teratai ditaman menggunakan
pot di area Madya Mandala, ada juga
yang menanam di kolam rumahnya.
Bagian yang digunakan untuk sarana
upacara adalah bagian bunganya.
Bunga teratai digunakan sebagai sarana
persembahyangan dan penglukatan
(pebersihan).
33. Widuri, Widuri banyak ditanam di area
Nista mandala dan madya mandala.
Bagian yang digunakan sebagai sarana
upacara adalah bagian bunganya.
Bunga widuri dalam isi banten
pedagingan dewa-dewi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pengertian mengenai tanaman
upakara tidak banyak diketahui karena
tanaman-tanaman yang dikatagorikan
sebagai tanaman upakara sudah
digunakan secara turun-temurun dan
segala jenis tanaman yang tumbuh di
area kuburan (Setra) tidak
diperkenankan digunakan sebagai
sarana upacara.
2. Terdapat sebanyak 34 jenis tanaman
upakara yang ditanam oleh
masyarakat di Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat
Kabupaten Tabanan
3. Jenis Tanaman yang paling banyak
dijumpai dan yang paling banyak
diminati untuk ditanam di pekarangan
oleh masyarakat Desa Lalanglinggah
adalah kamboja, karena pemeliharaan
yang mudah, sehingga untuk
membuat steknya cukup mengambil
pohon yang sudah tua yang sudah ada
sebelumnya.
4. Jenis tanaman upakara yang paling
sedikit dijumpai di pekarangan rumah
masyarakat adalah nagasari. Nagasari
termasuk tanaman upakara yang
langka di Banjar Dinas Suraberata,
Banjar Dinas Lalanglinggah,dan
Banjar Dinas Yeh Bakung . Tanaman
ini berupa pohon berkayu sehingga
untuk menanam dengan cara
menanam bijinya sehingga kecil
kemungkinan tanaman tersebut dapat
tumbuh.
Saran-saran
1. Bagi masyarakat Desa
Lalanglinggah, disarankan untuk
memanfaatkan pekarangan secara
optimal dengan menanam jenis-
jenis tanaman upakara, karena
secara turun-temurun tanaman
upakara telah dimanfaatkan oleh
41 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 41
masyarakat Hindu sebagai sarana
upacara. Selain itu disarankan
untuk menanam jenis-jenis
tanaman upakara yang lain,
terutama pada jenis-jenis tanaman
upakara yang sulit di dapat seperti
nagasari, teratai, widuri,delima dan
sebagainya.
2. Bagi Aparatur Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat
Kabupaten Tabanan., disarankan
untuk aktif memberikan penyuluhan-
penyuluhan maupun pelatihan-
pelatihan tentang manfaat tanaman
sebagai sarana upacara. Meskipun
hampir semua jenis tanaman dapat
digunakan sebagai sarana upacara,
namun ada tanaman yang tidak
diperkenankan untuk sarana upacara.
3. Karena minimnya pengertian tentang
tanamana upakara, maka penelitian ini
dapat ditindaklanjuti dengan
menambah teori tentang
keanekaragaman jenis tanaman
upakara, beserta manfaat-manfaat lain
dari tanaman tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2013. Filosofi Tanaman dan
Penempatannya.
http://www.parissweethome.com/b
ali/cultura_my.phy?id=11.v
Dikutip tanggal: 9 Januari 2013
Anonim. 2013. Studi Pemanfaatan
Tanaman Pada Kegiatan Ritual
(Upakara) oleh Umat Hindu di Bali
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/
artikel/download/114/97 tanggal: 9
Januari 2013
Anonim. 2012. Rumus Persentase.
http://rumus
hitung.com/2012/12/10/cara-
mengitung-persentase. Dikutip
tanggal 1 April 2013
Bayu Adjie, dkk.2002. Tanaman Upacara
Adat Bali Kebun Raya Bali.
Candikuning
Budiyasa, I Wayan. 2005. Prosedur
Penelitian. Denpasar: IKIP PGRI
Bali
Putra Miarta. 2009. Mitos-Mitos Tanaman
Upakara. Sibangkaja
Pitojo,Setijo, dan Zumianti. 2002.
Tanaman Bumbu dan Pewarna
Nabati. Semarang : CV. Aneka
Ilmu, anggota IKAPI
Profil Desa. 2011. Desa Lalanglinggah
Kecamatan Selemadeg Barat
Kabupaten Tabanan.
Rimpin, Ni Nyoman. 2009. Identifikasi
Jenis Tanaman Obat Keluarga
(Toga) yang Ditanam Ibu-Ibu PKK
di Desa Kesiman Kertalangu
Kecamatan Denpasar Timur
Pemerintah Kota Denpasar Tahun
2008
Siregar, Mustaid, dkk. 2004. Seminar
Konservasi Tumbuhan Upacara
Agama Hindu. Candikuning:
Bagian Proyek Pelestarian,
Penelitian dan Pengembangan
Flora Kawasan Timur Indonesia
UPT Balai Konservasi Tumbuhan
Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI
Sugiyono. 2010. Statistik untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2012. Statistik untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta
Sardiana,dkk. 2009. Taman Gumi Banten.
Denpasar: Udayana University
Press
Sumaryani, N Putri. 2011. Pertamanan
(Gardening). Denpasar: IKIP PGRI
Bali
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
42
42
EKSPLORASI JENIS-JENIS BAMBU
DI KABUPATEN JEMBRANA BALI.
Ida Bagus Ketut Arinasa
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI
Email: iarinasa13@gmail.com
ABSTRACT
Exploration types of bamboo in the district jembrana-bali.
Bamboo plays the important role in Balinese life. Jembrana is once of eight district in
Bali has the largest forest and estimated grown by bamboos. Flora exploration to collect
bamboos that live in the forest and villages is for the first time do in Jembrana district. The
exploration focused in two sub district and police forest resort of Negara and Tegalcangkring
by exsploration method. The result showed there are 15 species of 4 genera and 2 species are
new collection of Bali Botanic Gardens i.e. tiing abu (Gigantochloa sp.) and tiing jajang
(Gigantochloa sp.). Both, planted and conservation at XI.D.
Keywords: Bamboo, Exploration, Jembrana, Conservation.
PENDAHULUAN
Jembrana merupakan salah satu
dari delapan Kabupaten Daerah Tingkat II
di Provinsi Bali yang mempunyai kawasan
hutan terluas yaitu 41.809 ha. Kawasan
hutan Jembrana terdiri atas kawasan hutan
negara di Kecamatan Melaya seluas
12.707 ha, hutan negara di Kecamatan
Negara seluas 5.504 ha, hutan negara . di
Kecamatan Mendoyo seluas 18.568 ha dan
hutan negara di Kecamatan Pekutatan
seluas 5.030 ha (Anonim, 2006). Kawasan
hutan di Kabupaten Jembrana memiliki
keanekaragaman flora yang cukup tinggi
bila dibandingkan dengan kawasan hutan
di kabupaten lainnya di Bali. Arinasa, dkk.
(1991) pernah mengumpulkan jenis
tumbuhan sebanyak 99 jenis yang terdiri
atas 78 marga dan 47 suku yang
dikumpulkan dari kawasan hutan Bali
Barat termasuk Gunung Merbuk dan
Gunung Mesehe.
Eksplorasi flora khusus untuk
mengumpulkan jenis-jenis bambu yang
ada di kawasan hutan maupun di luar
kawasan hutan untuk pertama kalinya
dilakukan di Kabupeten Jembrana. Bambu
memegang peranan yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat pedesaan di
Bali. Fungsi dan kegunaannya sangat
beragam baik sebagai bahan bangunan
pengganti kayu, bahan baku industri
kerajinan, sarana upacara agama, bahan
makanan, bahan baku serat, sebagai
tanaman penahan erosi, konservasi tanah
dan air serta kegunaan lainnya. Menyadari
akan pentingnya peranan dan fungsi
bambu maka perjalanan eksplorasi
dilaksanakan di Kabupaten Jembrana.
METODE PENELITIAN
Eksplorasi pengumpulan jenis-
jenis bambu di Kabupaten Jembrana
dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari mulai
tanggal 20-27 Maret 2007. Lokasi
eksplorasi difokuskan pada 2 kecamatan
yaitu kecamatan Negara dan Mendoyo
baik pada lahan penduduk (pedesaan)
maupun pada kawasan hutan lindung. Di
lahan penduduk di kecamatan Negara
pengumpulan jenis-jenis bambu dilakukan
di desa Baluk dan Perancak sedangkan di
kecamatan Mendoyo di lakukan di desa
Tegal Cangkring dan Poh Santen. Di
kawasan hutan, eksplorasi jenis-jenis
bambu dilaksanakan di hutan lindung
Palungan Batu dan Panca Seming yang
termasuk dalam pengawasan Resort Polisi
Hutan Tegal Cangkring. (Gambar 1).
Pelaksanaan eksplorasi untuk
mengumpulkan keanekaragaman jenis-
43 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
43
jenis bambu dilaksanakan dengan metode
jelajah (Rugayah,dkk.2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN.
Dari kegiatan eksplorasi yag
dilaksanakan di dua wilayah kecamatan di
Kabupaten Jembrana, yang meliputi
kawasan hutan lindung dan tanah
penduduk diperoleh hasil sebanyak 15
nomor koleksi terdiri atas 4 marga, 15
jenis dan sebanyak 38 pot/ spesimen serta
dibuat sebanyak 7 nomor koleksi
herbarium. Jenis material tanaman koleksi
hidup yang dikumpulkan berbentuk
rimpang dan stek. Dari perolehan material
tersebut diduga dua jenis merupakan
koleksi baru bagi Kebun Raya Eka Karya
Bali yaitu tiing jajang (Gigantochloa sp.)
dan tiing abu (Gigantochloa sp.). Daftar
perolehan koleksi bambu hasil eksplorasi
di Kabupaten Jembrana tertera pada Tabel
1.
Tabel 1. Perolehan Material Koleksi Bambu di Kabupaten Jembrana
Nomor
Kolektor
Nama Tumbuhan
(Latin +Daerah)
Suku Jumlah &
Jenis
material
Tempat dan lokasi
Ida 4643 Schizostachyum silicatum
Widjaja (Buluh)
Poac. 2
Rh
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4644 Gigantochloa apus
(J.A.&J.H.Schult.)Kurz
(Tiing tali)
Poac. 3
Rh
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4645 Gigantochloa sp.*
(Tiing jajang)
Poac. 2
Rh,H
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4646 Schizostachyum
brachycladum Kurz
(Buluh gading)
Poac. 2
Rh
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4647 Bambusa vulgaris Schrad
ex Wendl.
(Ampel gadang)
Poac. 2
Rh
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4648 Gigantochloa atter
(Hassk.)Kurz
(Tiing santong)
Poac. 2
Rh,H
Ds.Poh Santen Kec.Mendoyo
Kab.Jembrana
Ida 4649 Bambusa vulgaris Schrad
ex Wendl. var.wamin
(Bambu botol)
Poac. 1
Rh,S
Ds.Tegal Cangkring
Kec.Mendoyo Kab.Jembrana
Ida 4650 Bambusa maculata
Widjaja (Tiing tultul)
Poac. 2
Rh
Ds.Baluk Kec. Negara
Kab.Jembrana
Ida 4651 Dinochloa sp.
(Tiing ludlud)
Poac. 5
Rh,S,H
Hutan lindung Panca Seming ,
ds.Batu Agung Kec. Negara
Kab.Jembrana
Ida 4652 Gigantochloa robusta
Kurz
Tiing jelepung
Poac. 2
Rh,H
Br.Bilukpoh Ds.Tegal Cangkring
Kec. Mendoyo Kab. Jembrana
Ida 4653 Gigantochloa manggong
Widjaja
Tiing jajang swat
Poac. 2
Rh,H
Br.Bilukpoh Ds.Tegal Cangkring
Kec. Mendoyo Kab. Jembrana
Ida 4654 Bambusa vulgaris Schrad
ex Wendl. var.striata
Ampel gading
Poac. 3
Rh
Br.Bilukpoh Ds.Tegal Cangkring
Kec. Mendoyo Kab. Jembrana
Ida 4655 Gigantochloa sp.*
Tiing abu
Poac. 5
Rh,H
Hutan lindung Palungan Batu
Ds.Batu Agung Kec. Negara Kab.
Jembrana
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
44 44
Ida 4656 Gigantochloa sp.
Tiing Swat
Poac. 3
Rh,H
Hutan lindung Palungan Batu
Ds.Batu Agung Kec. Negara Kab.
Jembrana
Ida 4657 Bambusa blumeana J.A.&
J.H. Schultes
Tiing gesing
Poac. 2
Rh
Ds.Perancak Kec. Negara Kab.
Jembrana
Keterangan :
Rh = Rimpang, S = Stek, H = Herbarium, * = diduga koleksi baru
1.Kawasan Tanah Penduduk
Di dua wilayah kecamatan Negara
dan Mendoyo, kebanyakan bambu
ditanam pada tanah tegalan, pinggir kali
dan sempadan tukad (sungai). Sebanyak
12 jenis bambu dapat diinventaris dan
dikumpulkan dari dua wilayah kecamatan
ini (Tabel 1). Bambu yang populasinya
banyak dijumpai antara lain dari jenis-jenis
tiing tali (Gigantochloa apus), tiing
santong (Gigantochloa atter), tiing gesing
(Bambusa blumeana) dan buluh
(Schizostachyum silicatum) sedangkan
jenis-jenis lain, populasinya termasuk
sedikit. Jenis-jenis bambu yang
populasinya terbatas yang berhasil
dikumpulkan antara lain : tiing tultul
(Bambusa maculata) di desa Baluk, tiing
jelepung (Gigantochloa robusta), tiing
jajang swat (Gigantochloa manggong),
tiing ampel gading (Bambusa vulgaris var.
striata) dikumpulkan dari desa Tegal
Cangkring. Dari desa Poh Santen
dikumpulkan tiing ampel gadang
(Bambusa vulgaris). Jenis-jenis bambu
yang ditanam oleh masyarakat lebih
banyak hanya untuk memenuhi kebutuhan
sendiri (konsumtif) sehingga hampir tidak
dijumpai penanaman dalam skala yang
luas seperti terdapat di kabupaten lainnya
di Bali yaitu Bangli, Karangasem, Tabanan
dan Buleleng. Sekali pun demikian fungsi
bambu dalam konservasi tanah dan air
tampak jelas diketahui masyarakat terbukti
dari lokasi penanamannya hampir semua
ditanam ditepi sungai, tanah berjurang,
rawa dan tegalan yang kurang produktif.
Tiing gesing (Bambusa blumeana)
ditempat lain di Bali seperti Buleleng dan
Karangasem, umumnya di tanam pada
lahan kritis, tanah kering atau di pinggir
sungai, namun di wilayah desa Perancak
Kecamatan Negara ini ditanam dan dapat
tumbuh di daerah rawa. Hal ini
membuktikan bahwa tiing gesing sangat
adaptif terhadap lingkungan tumbuh.
Disamping rawa sebagai tempat
tumbuhnya adalah tanah kering dan
sempadan sungai serta tanah berjurang
banyak dijumpai disini.
Buluh gading (Schizostachyum
brachycladum) dan tiing ampel gading
(Bambusa vulgaris var. striata) ditanam
penduduk di desa Poh Santen karena
kegunaannya dalam upacara agama Hindu
terutama dalam upacara Dewa dan Pitra
yadnya yang tidak dapat digantikan oleh
jenis lain. Disamping itu kedua jenis
bambu ini sekarang banyak ditanam
sebagai penghias taman rumah maupun
kantor karena bentuk buluhnya yang indah
berwarna kuning dan atau dengan garis-
garis hijau, halus dan mengkilat. Selain
dua jenis bambu yang sudah disebutkan
dimuka dapat pula dijumpai bambu botol
(Bambusa vulgaris var.wamin) dan bambu
jakarta (Thyrsostachys siamensis) ditanam
sebagai tanaman hias di kota Negara,
Mendoyo dan Tegal Cangkring.
Dari kegiatan inventarisasi dan
pengumpulan yang dilakukan di lahan
tanah penduduk ternyata ditemukan jenis
bambu yang kiranya belum dimiliki oleh
Kebun Raya Bali yaitu tiing jajang
(Gigantochloa sp.) (Gambar 1). Bambu ini
dikumpulkan dari tegalan penduduk di
desa Poh Santen. Induknya hanya dijumpai
satu rumpun dalam kondisi
memprihatinkan karena hanya terdiri dari
buluh muda sedangkan buluh tuanya tidak
ada karena pemanfaatan yang berlebihan.
Demikian pula tempat tumbuhnya telah
45 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
45
terdesak oleh penggunaan lahan yang
semakin intensif. Bambu ini banyak
digunakan untuk bahan pembuatan suling
dan sujang/cambeng tagel karena buluhnya
mempunyai ukuran yang kecil. Menurut
penuturan I Gede Agus pemilik bambu
tersebut, walaupun ditanam di tempat
terbuka dan pada tanah yang subur, ukuran
buluhnya tidak akan sebesar bambu tali.
(komunikasi pribadi, 2007). Ciri morfologi
lainnya tampak pada kuping pelepah buluh
yang tidak berkembang sempurna
berbentuk melengkung hingga datar tanpa
bulu kejur, daun pelepah buluh berkeluk
balik. Permukaan daun bagian atas
berwarna hijau tua, kasap sedangkan
permukaan daun bagian bawah berwarna
hijau kebiruan dan licin.
Gambar 1. Tiing jajang (Gigantochloa sp.) koleksi baru Kebun Raya Bali.
2. Kawasan Hutan Lindung Palungan
Batu dan Panca Seming.
Inventarisasi dan pengumpulan
jenis-jenis bambu juga dilaksanakan di
kawasan hutan lindung Palungan Batu dan
Panca Seming. Di kawasan hutan lindung
Palungan Batu dapat dijumpai empat jenis
bambu yang tumbuhnya alami yaitu tiing
abu (Gigantochloa sp.), tiing jajang swat
(Gigantochloa sp.), tiing swat
(Gigantochloa sp.) dan buluh
(Schizostachyum silicatum), sedangkan di
kawasan hutan lindung Panca Seming
dijumpai satu jenis bambu merambat yang
disebut tiing ludlud (Dinochloa sp.)
Gambar 2. Hutan bambu di kawasan hutan lindung Palungan Batu Kabupaten Jembrana.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
46
46
Tiing jajang swat (Gigantochloa sp.) dan
buluh (Schizostachyum silicatum)
disamping dijumpai tumbuh secara alami
di hutan lindung, dua jenis bambu ini juga
dijumpai dibudidayakan/ditanam di lahan
penduduk. Tidak diperoleh keterangan
yang pasti dari masyarakat apakah kedua
jenis bambu ini berasal dari hutan atau dari
tempat lain.
Tiing abu (Gigantochloa sp.)
belum dimiliki sebagai koleksi dan diduga
sebagai koleksi baru Kebun Raya Eka
Karya Bali. Tiing abu mempunyai ciri
morfologi yang mudah dikenali dan
dibedakan dari jenis bambu lainnya
sekalipun tumbuhnya bersamaan dengan
jenis-jenis bambu yang lain. Tiing abu
dicirikan oleh warna buluh mudanya
hingga buluh dewasa berwarna keabuan
namun bila tua warna keabuan ini sedikit
memudar sedangkan warna rebungnya
coklat kehitaman. Bambu ini memiliki
ukuran buluh yang ramping dan lurus
dengan panjang buluh dapat mencapai 12
m, panjang ruas berkisar antara 25 cm
sampai dengan 50 cm dan diameter
buluh/batang setinggi dada berkisar antara
4 cm sampai dengan 13 cm. Percabangan
terdiri atas 3-5 cabang, salah satu
cabangnya lebih besar namun
perbedaannya tidak terlalu mencolok
seperti terdapat pada jenis-jenis
Gigantochloa lainnya. Kuping pelepah
daun berbulu kejur lebat dan kaku serta
miang berwarna kehitaman lebat menutupi
kelopak daun. Bambu ini kebetulan
dijumpai ada yang sedang berbunga.
Tangkai perbungaannya dapat mencapai
panjang hingga 1,25 m dengan warna
bunga keabuan. Dari pengamatan di
lapangan banyak buluh tuanya ditebang
oleh penduduk sekitar kawasan hutan
untuk beberapa keperluan seperti
bangunan sementara (rumah, dapur, salon,
pagar dll.). Juga ditemui rebungnya
banyak dipanen untuk kebutuhan sayur.
Sepanjang pengamatan, masyarakat
sekitarnya belum ada yang menanam
bambu ini di lahan penduduk.
Gambar 3. Rebung dan bunga tiing abu (Gigantochloa sp.) yang merupakan
koleksi baru Kebun Raya Bali
Tiing jajang swat dan tiing swat bila
dilihat sepintas seakan-akan dua jenis ini
adalah sama karena sama-sama memiliki
garis horizontal berwarna hijau pada buluh
bagian pangkal, namun bila diamati lebih
detail bahwa tiing swat memiliki diameter
batang/buluh dengan ukuran lebih besar
yaitu 6 cm sampai dengan 14 cm.
Demikian pula panjang ruasnya lebih
panjang yaitu antara 19 cm sampai
47 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
47
dengan 52 cm dan tinggi buluhnya juga
lebih panjang dapat mencapai hingga 20
m. Sedangkan tiing jajang swat tinggi
buluhnya maksimal mencapai 14, panjang
ruas berkisar 13-42 cm dan diameter
batang berkisar 3-10 cm. Dilihat pada
morfologi daun tiing swat mempunyai
tangkai daun yang lebih panjang, bersudut
tajam dan lebih memuntir. Menurut
pengalaman I Nyoman Toni (pembantu
lapangan) menyatakan bahwa bila
buluhnya dibelah menjadi bilah kecil-kecil
akan lebih sulit karena terdapat serat-serat
yang tidak rapi. Baik tiing jajang swat
maupun tiing swat dimanfaatkan juga oleh
penduduk di sekitar kawasan hutan untuk
beberapa keperluan. Arinasa dan Widjaja
(2005) menyatakan bahwa tiing jajang di
Bali yang pada umumnya dimasukkan ke
dalam marga Gigantochloa masih banyak
harus dipelajari dari sisi taksonominya
karena setelah berbunga sering banyak
terdapat perbedaan-perbedaan sehingga
dibedakan jenisnya satu dengan lainnya.
Namun untuk mendapat bunga sangat
jarang sehingga masih kesulitan untuk
mengungkap nama jenisnya.
Buluh (Schizostachyum silicatum
Widjaja) juga dijumpai di kawasam hutan
lindung Palungan Batu. Seperti ketiga
jenis sebelumnya, jenis inipun lebih
banyak dijumpai berkoloni. Koloni buluh
paling jauh dijumpai dari pinggir hutan
dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya.
Buluh dimanfaatkan untuk semat yaitu
penjahit janur sekalipun dalam jumlah
terbatas.
Di kawasan hutan lindung lain
yaitu Panca Seming yang masih dalam
pengawasan Resort Polisi Hutan Tegal
Cangkring dapat dijumpai jenis bambu
yang mempunyai perawakan merambat
seperti rotan. Jenis ini oleh mayarakat
sekitar disebut dengan tiing ludlud yang
dalam bahasa latin disebut dan termasuk
dalam marga Dinochloa. Bila diamati dari
morfologi selain bunga, ini sangat mirip
dengan Dinochloa sepang Widjaja &
Astuti yang terdapat di Kabupaten
Buleleng yaitu di kawasan hutan lindung
Sepang. Di kawasan hutan Panca Seming,
tiing ludlud ini hanya dijumpai pada tiga
klompok populasi mulai ketinggian tempat
500 m hingga 800 m di atas permukaan
laut, merambat pada pohon Bunut (Ficus
sp.) dengan panjang batang/buluh
mencapai 30 m. Sejauh ini masyarakat di
sekitar kawasan hutan belum ada yang
memanfaatkan walaupun dari bentuk
batangnya yang merambat mempunyai
potensi dipergunakan sebagai tanaman
vergola.
Ditempat lain di Bali jenis bambu
merambat ini juga dapat dijumpai di hutan
lindung Pengejaran Kintamani Barat
dengan nama tiing lutung, sedangkan di
Payangan dikenal dengan nama tiing
liplip. Pada jaman penjajahan Belanda,
bambu ini digunakan sebagai tempat
persembunyian para pejuang perang
kemerdekaan dari kejaran musuh,
khususnya untuk keluarga Puri Payangan
karena mempunyai tajuk yang rimbun dan
rapat serta batang yang kuat (Arinasa,
2006).
Diusahakan setiap pengambilan
material tanaman hidup diikuti dengan
pengambilan material herbarium,
dimaksudkan untuk kepentingan
identifikasi dan spesimen bukti. Namun
pada kenyataannya tidak semua dapat
dilaksanakan karena tidak semua
memenuhi syarat diambil material
herbariumnya. Dari 15 nomor material
yang dikumpulkan berhasil dibuat
herbariumnya sebanyak 7 nomor dimana
hanya satu nomor/jenis terdapat bunga
yaitu tiing abu. Pengambilan material
herbarium yang lengkap khususnya pada
bambu agak susah dilakukan karena tidak
semua jenis bambu mudah ditemukan
bunganya.
Kesenian jegog merupakan
kesenian khas Kabupaten Jembrana, bahan
baku utamanya dibuat dari bambu petung
(Dendrocalamus asper) yang mempunyai
batang/buluh besar. Sayang bambu
petung tidak terdapat di Kabupaten
Jembrana. Untuk memperolehnya harus
mendatangkan dari kabupaten lain di Bali
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
48
48
yaitu diantaranya Kabupaten Tabanan,
Buleleng dan Bangli. Sangat ironis
memang, bambu yang merupakan
komponen utama jegog tidak dimiliki dan
masyarakat tidak menanamnya. Padahal
hampir semua desa-desa bahkan sampai
tingkat banjar/dusun yang ada di
Kabupaten Jembrana mempunyai
seperangkat gambelan jegog. Gamelan
jegog sangat terkenal karena merupakan
gambelan khas Jembrana. Kekhasannya
dicirikan oleh beberapa indikator seperti
secara fisik ditandai oleh besarnya
perangkat gambelan karena bambu yang
digunakan buluhnya besar dan kuat yakni
bambu petung. Buluh yang digunakan
cukup panjang sampai 3 m. Suaranya juga
sangat menggaung karena dimainkan oleh
penabuh yang sangat aktif dengan tenaga
penuh. Bahkan hampir semua penabuh
memainkannya dengan berdiri yang
menjadikannya berbeda dengan kesenian
lainnya. Dilihat dari geografis, tiing
petung cocok tumbuh di Kabupaten
Jembrana sehingga konservasinya sangat
memungkinkan, dengan demikian
masyarakat yang memerlukan tidak akan
tergantung kepada daerah lain.
Perhatian Pemkab Jembrana
dibidang konservasi bambu ternyata sudah
mulai bangkit dan sangat gigih terbukti
dalam kegiatan Gerhan tahun 2003 dan
tahun 2005 sederaten nama bambu,
utamanya bambu petung sudah ditanam.
Sekarang tinggal bagaimana
memeliharanya sehingga tumbuh bagus
dan akhirnya berguna bagi masyarakat di
Kabupaten Jembrana yang banyak
memerlukan bambu petung untuk
pelestarian kesenian tradisionalnya yang
sangat tersohor yaitu kesenian Jegog.
Gambar 4. Gamelan tradisional Jegog khas Kabupaten Jembrana dari bambu Petung.

SIMPULAN dan SARAN
Simpulan.
1. Hasil eksplorasi di kabupaten
Jembrana diperoleh 15 nomor
koleksi bambu terdiri atas 4 marga,
15 jenis dan 7 nomor herbarium.
Dua jenis diduga merupakan
koleksi baru bagi Kebun Raya Eka
Karya Bali yaitu tiing jajang
(Gigantochloa sp.) dan tiing abu
(Gigantochloa sp.)
2. Tiing petung (Dendrocalamus
asper) yang merupakan komponen
utama pembuatan jegog masih
didatangkan dari kabupaten lain di
49 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
49
Bali seperti Kabupaten Tabanan,
Buleleng dan Bangli.
Saran
Untuk mengurangi ketergantungan akan
bahan baku dari luar terutama terhadap
tiing petung (Dendrocalamus asper), jenis
yang paling dibutuhkan dalam pembuatan
jegog, disarankan Pemda dan masyarakat
Jembrana mengkonservasi jenis tersebut
di Kabupaten Jembrana.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2006. Jembrana dalam Angka.
Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Jembrana-Bali.
Arinasa, IBK, IGP. Wendra, IN. Mirta dan
IW. Tapak, 1991. Laporan
Eksplorasi di Kawasan Hutan Bali
Barat. Cabang Balai Kebun Raya
Eka Karya Bali-UPT Balai
Pengembangan Kebun Raya
Bogor-Indonesia.
Arinasa, IBK. and E.A.Widjaja. 2005.
Bambu Divercity in Bali,
Indonesia. Bambu Journal, Japan
Bambu Society No: 22: 8-16.
Arinasa, IBK., IBN.Arimbawa dan IM.
Budiarsa, 2006. Laporan
Eksplorasi, Penelitian dan
Pengembangan untuk Menunjang
Industri Kerajinan Rumah Tangga
di Kabupaten Bangli. UPT Balai
Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Eka Karya Bali-LIPI.
Rugayah, E.A.Widjaja dan
Praptiwi.(Editor)(2004) Pedoman
Pengumpulan Data
Keanekaragaman Flora. Pusat
Penelitian Biologi Bogor-
Indonesia.
PETA LOKASI
Gambar 5. Peta Daerah Eksplorasi Bambu di Kabupaten Daerah Tingkat II Jembrana.
DAERAH EKSPLORASI
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
50
50
PENDEKATAN FUNGSI TRIGONOMETRI DERET FOURIER
PADA REGRESI NONLINEAR
I Wayan Sudiarsa
Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Bali
Email: wsudiarsa72@yahoo.com
ABSTRACT
Trigonometric functions fourier series approach on nonlinear regression.
Regression models for the predictors in the form of observation to-i is y
1
(x
i
) +
i
c
for estimate g (x
i
) can be done with two approaches, namely linear approach and non-linear
approach. The purpose of this study to get a form Fourier series of trigonometric function
approach to non-linear regression. The data in this study is simulated data generated uniform
random distribution. Based on the simulation results obtained trigonometric function
approach to regression models y = 100 (x-1) (x-2) (4-x) + c can use the optimal value k = 4.
Keywords: Trigonometric functions, Fourier series, non-linear.
PENDAHULUAN
Dalam sehari-hari banyak
dijumpai hubungan antara suatu variabel
dengan variabel yang lain, misalnya
hubungan antara berat badan dengan umur
pada anak balita. Model regresi untuk satu
predictor dalam bentuk pengamatan ke-i
adalah:
n i x g y
i i i
......, 3 , 2 , 1 ; ) ( = + = c
dengan G (x
i
) merupakan kurva regresi
yang dapat diketahui atau tidak diketahui
bentuk polanya. Untuk mengistemasi g
(x
i
) dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu pendekatan linear dan
pendekatan non linear (Hardle, 1990).
Pendekatan regresi linear digunakan jika
bentuk fungsi g (x
i
) diketahui dari
informasi sebelumnya berdasarkan teori
ataupun pengalaman masa lalu.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Pendekatan Fungsi
Trigionometri Deret Fourier pada
Regesi Non Linear ?
2. Bagaimana menerapkan model yang
diperoleh pada data stimulasi ?
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan bentuk Pendekatan
Fungsi Trigonometri Deret Fourier
pada Regresi Non Linear.
2. Mengkaji model regresi non linear
dengan menggunakan estimator deret
Fourier pad data stimulasi.
Regresi Linear
Regresi Linear merupakan salah
satu metode statistika yang banyak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu suatu metode yang menggambarkan
pola hubungan antara variabel respon dan
variabel predictor. Bentuk regresi linear
yang ditulis oleh Draper and Smith (1981)
sebagaimana persamaan (1.1.1), yaitu Y =
X + c . Estimator dari persamaan (1.1.1)
dengan menggunakan metode OLS adalah
Y X X X
T T 1
) (


= | .
Regresi Non Linear
Fungsi regresi g diasumsikan
smooth sehingga menjamin fleksibilitas
untuk mengestimasi fungsi regresinya.
(Eubank, 1998).
( ) , ) (
2
0 ) ( (
2
) 2 ( 2
1
1
dx x g x g y n
i i
n
i
}

+
=

Dengan 0 > adalah parameter pengalus (Bilodeau, 1996; Tripena, 2007)


51 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
51
Beberapa Pengertian Dasar
Berikut ini akan diberikan
beberapa pengertian dasar yang akan
digunakan dalam mengkaji estimator Deret
Fourier
Definisi 2.3.1 : Koefisien Determinasi R
2
(Ryan, 1997)
Koefisien determinasi (R
2
) adalah
bersamaan yang menggambarkan besarnya
prosesntase variasi dalam variabel respon
Y yang dijelaskan oleh variabel prediktor
X untuk memprediksi Y.

n
i
i
n
i
i i
y y
y y
R
1
2
1
2
2
) (
) (

(2.3.1)
Dengan y
i
: variabel ke-i, :
i
y penduga variabel respon ke-i, dan y : rata-rata dari variabel
respon.
Definisi 2.3.2 : Mean Square Error
(Wu, dan Zhang, 2006)
Ukuran untuk goodness of fit
dari fungsi penghalus dengan
parameter penghalus dinamakan
Sum of Square Error (SSE).


n
i
i
y y SSE
1
2
) (


(2.3.2)
Sedangkan Mean Square Error (MSE) adalah SEE dibagi oleh banyaknya data seperti di
bawah ini.


n
i
i
y y n MSE
1
2 1
) (


(2.3.3)
2.1 Deret Fourier
Berikut diberikan beberapa
definisi yang akan digunakan untuk
mendapatkan bentuk estimator deret
Fourier dan sifat-sifatnya sebagai berikut :
Definisi 2.4.1 : Perkalian Scalar dan
Norm (Lang, 1994)
Misalkan V merupakan ruang dari
fungsi-fungsi kontinyu dalam interval
, yang dapat didekati dengan deret
Fourier. Perkalian scalar antara fungsi f,
dan g dalam V adalah Bilangan sebagai
berikut :

, ) ( ) ( , dx x g x f g f
(2.4.1)
Sedangkan norm dari f finotasikan dengan f yang didefinisikan sebagai berikut:
f f f ,
(2.4.2)
Definisi 2.4.2 : Deret Fourier (Lang, 1994)
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
52 1
Deret Fourier dari fungsi f yang merupakan funfsi kontinyu sepotong-sepotong
(pieceweise continius) dalam interval | | t t, adalah sebagai berikut :

=
+ +
1
) sin cos ( ~ ) (
k
k k o
kx b kx a a x f ,
(2.4.3)
2.1 Pemilihan Parameter Penghalus
Parameter merupakan
pengontrol keseimbangan antara
kemulusan fungsi. Jika besar maka
penduga dari fungsi yang diperoleh akan
semakin mulus, tetapi kemampuan untuk
memetakan data kurang baik. Sebaliknya
jika kecil maka penduga dari fungsi
yang diperoleh akan semakin besar. Oleh
karena itu diperlukan suatu nilai yang
tidak terlalu besar maupun terlalu kecil
sehingga diperoleh penduga fungsi yang
terbaik. Nilai yang demikian itu
merupakan nilai yang optimal.
Definisi 2.5.1 : Generalized Cross
Validation (Wu, Dan Zhang, 2006)
Generalized Cross Validiation
(CGV) merupakan perbandingan antara
goodness of fit dengan kompleksitas model
dari penghalus linier. Besarnya nilai GCV
dengan parameter penghalus dinyatakan
dalam rumus sebagai berikut :
{ }
2
1
1
2 1
))] ( ( 1 [
) (
) (

S trace n
y y n
GCV
n
i
i

=

=


(2.5.1)
METODE PENELITIAN
Sumber Data
Data yang digunakan pada
penelitian ini adalah data stimulasi yang
dibangkitkan dengan menggunakan
program S-plus. Untuk membangkitkan
data tersebut, variabel prediktornya
dibangkitkan secara random beristribusi
uniform, dan variabel responnya
merupakan fungsi trigonometri terhadap
prediktornya.
Metode Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan
berkaitan dengan tujuan penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Mendapatkan bentuk estimator deret Fourier pada regresi non linier dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Diberikan model regresi non parametric y
i
= g (x
1
) +
i
c
b. Membuat pendapatan untuk kurva regresi g e C (0,)
g (x) = T (x) dengan T (x) = bx +

=
+
k
k
k
kx a a
1
0
cos
2
1
c. Mendefinisikan ukuran goodness of fit

n
i
i i
x T y n
1
2 1
)) ( (
d. Mendefinisikan ukuran kemulusan kurva
( ) dx x T T
2
) 2 (
0
2
) 2 (
) (
4
2
}
=
t
e. Mendefinisikan Penalized Least Square (PLS)
, )) ( (
2
) 2 (
1
2 1
T x T y n
n
i
i i
+

53 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
1
f. Menentukan nilai
2
) 2 (
T
g. Menyelesaikan optimasi PLS
(

+ e

=

n
i
i
T x T y n C g Minimize
1
2
) 2 ( 2 1
)) ( ( ) , 0 ( t
Dengan merupakan parameter penghalus
1. Mendapatkan model regresi non linear dengan menggunakan estimator deret Fourier
untuk data stimulasi dengan menggunakan program S-Plus, dan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Membangkitkan data stimulasi
b. Membuat plot data (x
i
, y
i
)
c. Memberikan nilai K = 1,2,3..,10
d. Menentukan nilai yang optimal dengan metode GCV
e. Menentukan K optimal yang bersesuaian dengan optimal
f. Menghitung nilai R
2
dan MSE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan disajikan hasil
penelitian tentang pengkajian estimator
deret Fourier pada regresi Non Linear,
yaitu tentang bentuk estimator yang
diperoleh, dan Aplikasinya pada data
stimulasi untuk fungsi trigonometri.
Estimator Deret Fourier
Deret Fourier merupakan suatu
polinomial dengan basis fungsi cosinus
atau sinus yang mempunyai fleksibilitas,
sehingga dapat menyesuaikan secara
efektif terhadap sifat lokal data. Deret
Fourier baik digunakan untuk menjelaskan
kurva yang bersifat periodic seperti
gelombang sinus dan cosinus. Misalkan
diberikan pasangan data (x
i
, y
i
), i =
1,2.,n, dan hubungan antara x
i
dan y
i
diasumsikan mengikuti model regresi :
i i i
x g y q + = ) (
(4.1.1)
Dalam analisis regresi untuk
mengestimasi kurva regresi g dapat
digunakan metode weighted least square,
yaitu meminimumkan jumlah kuadrat galat
yang terboboti. Dengan kata lain estimator
g diperoleh dari persamaan :
)
`

=
)
`

e = e
n
i
i i
C g
n
i i
i
C g
x g y n
Min Min
1
2 1
) , 0 (
2
) , 0 (
)) ( (
t t
c
(4.1.2)
Disamping menyelesaikan
persamaan (4.1.2) juga diberikan
persyaratan lain yaitu suatu penalized
untuk memperoleh ukuran kemulusan /
kekasaran fungsi g sebagai berikut :
( ) dx x g
2
) 2 (
0
) (
2
}
t
t

(4.1.3)
Dengan demikian estimator untuk kurva
regresi g dapat diperoleh dari
menyelesaikan optimasi Penalized Least
Square (PLS) :
53
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
54
1
( ) , ) ( )) ( (
2
0
) 2 ( 2 1
) , 0 (
dx x g x g y n
n
i i
i i
C g
Min }

+
)
`

e
t
t
(4.1.4)
Dengan merupakan parameter
penghalus yang mengontrol antara
goodness of fit dan kemulusan fungsi, dan
g
(2)
(x) merupakan turunan kedua dari
(g(x). Untuk yang snagat besar akan
diperoleh fungsi penyelesaian yang sangat
mulus, sedangkan untuk yang sangat
kecil akan diperoleh fungsi penyelesaian
yang sangat kasar. Karena g adalah fungsi
yang kontinyu maka g dapat dihampiri
dengan fungsi T, yaitu :

=
+ + =
K
k
k
kx a a bx x T
1
0
cos
2
1
) (
(4.1.5)
Penyelesaian dari persamaan 4.1.4 dinyatakan dalam bentuk lemma dan teorema
seperti di bawah ini :
Lemma 4.1.1 :
Jika T (x) =

= =
= + +
K
k
k
K
k
k o
kx a k x T Maka kx a a bx
1
2
1
) 2 (
cos ) ( , cos
2
1
Akibatnya ( ) ( )
2
2
1
2
2
1
2
) 2 (
2
) 2 (
cos cos ) ( ) ( |
.
|

\
|
= |
.
|

\
|
= =

= =
kx a k kx a k x T x g
k
k
k
k
k
k
Lemma 4.1.2 :
Jika , cos
2
1
) (
1
0
kx a a bx x g
k
K
k

=
+ + = maka ( )
2 4
1
2
) 2 (
0
) (
2
k
K
k
a k dx x g

}
=
=
t
t
Bukti :
( ) dx x g
2
) 2 (
0
) (
2
t
t
}
= dx kx k
K
k
2
2
1
0
cos
2
|
.
|

\
|

}
=
t
t
=
( )dx jx j a j kx k kx k
K
k
K
k
cos cos 2 cos
2
2
2
2
1
2
2
1
0
|
.
|

\
|
+ |
.
|

\
|

}
= =
t
t
= A + B
Jadi ( )
2 4
1
2
) 2 (
0
) (
2
k
k
k
a k dx x g

}
=
=
t
t
Dari hasil lemma di atas persamaan (4.1.4) berubah menjadi
( )
2 4
1
2
1
) , 0 (
) (
k
K
k
n
i i
i i
C g
a k x g y n
Min
= =

e
+


t
(4.1.6)
Teorema 4.1.1 :
Nilai a ( ) yang memenuhi ( )
2 4
1
2
1
) , 0 (
) (
k
K
k
n
i i
i i
C g
a k x g y n
Min
= =

e
+


t
adalah
54
55 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
50
( ) ( ) Y X n D X X n a
T T 1
1
1
) (

+ =
Bukti :
Untuk teorema di atas dijabarkan terlebih dahulu persamaan (4.1.6) sebagai berikut :
( )

= =

+
)
`


K
k
k
n
i
i i
a k x g y n
1
2 4
1
2 1
) ( =
= Da a Xa Y Xa Y n
T T
+

) ( ) (
(4.1.7)
Jadi ( ) ( ) Y X n D X X n a
T T 1
1
1
) (

+ =
(4.1.8)
,
) (
) (
2
1
) (

) (
0
|
|
|
|
|
|
.
|

\
|
=

k a
a
b
a

dan estimator untuk kurva regresi g diberikan oleh

=
+ + =
K
k
i k i i
kx a a x b x g
1
0
cos ) ( ) (
2
1
) (

) (
(4.1.9)
Studi Simulasi
Pada bagian ini akan dibahas
mengenai penggunaan estimator deret
Fourier pada regresi non linier untuk data
stimulasi yang dibangkitkan berdasark
fungsi trigonometri. Banyaknya data atau
ukuran sampel yang digunakan adalah n =
50, 100, 200 dan 400
Model Simulasi Dari Fungsi
Trigonometri
Diagram pencar dari data stimulasi
dengan n = 100, dan variansi x =
2
o dari
model regresi di atas Nampak seperti
gambar di bawah ini.
Gambar 1. Plot (x
i
, y
i
) untuk model regresi y = 200 sin 2x + c dengan n = 100, dan variasi
x =
2
o
55
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
56
1
Dari gambar 1. di atas Nampak
bahwa diagram pencar data bangkitkan
mempunyai variansi tidak sama, sehingga
estimator deret fourier dapat digunakan
untuk mengestimasi fungsi di atas.
Selanjutnya dicari nilai opt dan GCV
min. untuk setiap nilai K = 1,2,,10
dibeirkan pada Tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1.Nilai K, opt., dan GCV minimum untuk model regresi y = 20 sin 2x +
K opt GCV min
1 0,00000150 181,3086
2 0,00000150 163,6269
3 0,00000150 161,7550
4 0,00000000 10,1096
5 0,00000009 9,9075
6 0,00000000 3,3368
7 0,00000020 2,8293
8 0,00000088 2,8343
9 0,00000112 2,8630
10 0,00000076 2,8957
Dari tabel 4.3.3.1 CGV minimum adalah
2,8293 yang terjadi K = 7 dan optimal =
0,0000002. Selanjutnya ditunjukkan nilai
GCV minimum pada K = 7 untuk berapa
nilai seperti pada Tabel 4.2.3.2 di
bawah ini.
Tabel 2. Nilai GCV, GCV min., MSE, dan R
2
untuk model regresi y = 20 sin 2x +
pada K = 7 dan beberapa .
GCV GCV MSE R
2
0,00000011 2,8296 2,3914 0,9892
0,00000012 2,8295 2,3920 0,9892
0,00000013 2,8294 2,3925 0,9892
0,00000014 2,8294 2,3930 0,9892
0,00000015 2,8294 2,3935 0,9892
0,00000016 2,8293 2,3939 0,9892
0,00000017 2,8293 2,3943 0,9892
0,00000018 2,8293 2,3947 0,9892
0,00000019 2,8293 2,3950 0,9892
0,00000020 2,8293 2,8293 2,3954 0,9892
0,00000021 2,8293 2,3958 0,9892
0,00000022 2,8293 2,3961 0,9892
0,00000023 2,8293 2,3964 0,9892
0,00000024 2,8293 2,3967 0,9892
0,00000025 2,8293 2,3971 0,9892
0,00000026 2,8293 2,3974 0,9892
0,00000027 2,8294 2,3977 0,9892
Hubungan antara nilai dan nilai GCV pada K = 7 seperti pada gambar 2. berikut :
56
57 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
1
Gambar 2. Hubungan antara dan GCV untuk K = 7 dari model regresi y = 20 sin 2
x +
Selanjutnya dicari estimator dari fungsi
trigonometri g (x) = 20 sin 2 x dengan
menggunakan estimator deret Fourier pada
K optimal yaitu K = 7 tetapi tidak
optimal, yaitu = 0,0001 yang hasilnya
dapat digambarkan seperti gambar berikut
:
Gambar 3. Plot (x
i
, y
i
). untuk g (x) = 20 sin 2 x, dan estimator deret Fourier g (x)
dengan K = 7, dan = 0,0001
Pada gambar 4.3.3.3 estimator deret Fourier untuk g (x) adalah
g (x) = 45,4568 x 76,4155 + 52,6739 cos x +
-12,1177 cps 2 x + 0,85758 cps 3c-9,0188 cos 4x +
+6,2179 cos 5 x + 4,5036 cos 6 x 6,1747 cos 7 x.
Berikutnya akan dicari estimator
dari fungsi trigonometri g (x) = 20 sin 2x
dengan menggunakan estimator deret
Fourier dengan K tidak optimal, yaitu K =
4 dan optimal, yaitu = 0,00000020
yang hasilnya dapat digambarkan seperti
gembar berikut ini :
57
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
58
1
Gambar 4. Plot (x
i
, y
i
), untuk g (x) = 20 sin 2 x, dan estimator deret Fourier g (x)
dengan K = 4, dan = 0,00000020.
Pada gambar 4.3.3.4 estimator deret Fourier untuk g (x) adalah g (x) = 600,2426 x -
1086,0798 + 494,2860 cps x + -215,5852 cops 2x-63,9223 cos 3x-82,0846 cos 4x.
Berikutnya akan dicari estimator
dari fungsi trigonometri (g(x) = 20 sin 2 x
dengan menggunakan estimator deret
Fourier dengan K optimal, yaitu K = 7 dan
optimal, yaitu = 0,00000020 yang
hasilnya dapat digambarkan seperti
gambar berikut :
Gambar 5. Plot (x
i
, y
i
), untuk g (x) = 20 sin 2x, dan estimator deret Fourier g (x)
dengan K = 7, dan = 0,000000020.
Pada gambar 4.3.3.5 estimator deret Fourier untuk (g(x) adalah
g (x) = -49,2398x + 151,4275-78,3499 cos x +
-50,6669 cos 2x + 26,3745 cos 3x 3,3489 cos 4 x +
-3,4985 cos 5 x + 2,7846 cos 6 x -1,6976 cos 7x.
Berdasarkan Gambar 3, Gambar
4., dan Gambar 5. terlihat model yang
terbaik adalah model deret Fourier dengan
K = 7 dan = 0,00000020.
Dengan cara yang sama seperti di
atas diperoleh hasil stimulasi untuk model
regresi g (x) = 20 sin 2 x untuk n = 50,
dan n = 100, dengan variansi x
2
,
58
59 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
1
hasilnya dinyatakan dalam Tabel 3. sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil stimulasi model regresi y = 20 sin 2 x + , untuk n = 50, dan n = 100
n = 50
K opt. GCV min. MSE R
2
1 0,00009001 168,9250 149,5637 0,2642
2 0,00000001 132,2458 111,9329 0,4494
3 0,00001001 116,9736 95,7739 0,5288
4 0,00000001 9,3913 7,2731 0,9642
5 0,00000001 9,2085 6,8197 0,9665
6 0,00000001 6,0991 4,3487 0,9786
7 0,00000001 6,0512 4,2339 0,9785
8 0,00000001 6,2688 4,2291 0,9792
9 0,00000001 6,3238 4,1344 0,9797
10 0,00000001 6,3533 4,0546 0,9801
n = 100
K opt. GCV min. MSE R
2
1 0,00009001 181,0969 170,5554 0,2313
2 0,00009001 162,6473 150,3263 0,3224
3 0,00000001 159,9527 146,4673 0,3398
4 0,00000001 10,1097 8,9330 0,9597
5 0,00000001 9,9130 8,5750 0,9613
6 0,00000001 3,3394 2,8301 0,9872
7 0,00000001 2,8447 2,3778 0,9893
8 0,00000001 2,8850 2,3826 0,9893
9 0,00000001 2,9335 2,3807 0,9893
10 0,00000001 2,9215 2,3376 0,9895
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut
:
1. Untuk model regresi Y = Xa + ,
diperoleh estimator dari a adalah
Y X n D X X n a
T T 1
1
1
) (


2. Estimator deret Fourier yang diperoleh
a. Estimator dari kurva regresi g (x)
adalah
) ( x g

= ) ( Xa
Y X n D X X n X
T T
) ( ) (
1
1 1



= Y S ) (
3. Hasil stimulasi
a. Fungsi trigonometri
Untuk stimulasi dengan n = 50,
100. 200, dan 400 pada K < 4
diperoleh nilai R
2
cenderung kecil
b. Untuk stimulasi dengan n = 50,
100, 200 dan 400 pada K =
4,5,.10 diperoleh nilai R
2
cenderung besar, yaitu R
2
0,90,
dan selisih nilai R
2
yang diperoleh
cenderung tidak ada perbedaan
yang nyata. Sehingga model
estimator deret Fourier yang
optimal untuk model regresi y =
100 (x-1) (x-2) (4-x) + dapat
menggunakan K = 4.
Saran
1. Untuk mengestimasi trigoneometri,
dengan variansi
, 1 , 0 , 5 , 0 ,
2 2 2
x x x dan
2

= 0,01 x disarankan menggunakan K =


4, agar diperoleh model yang optimal
DAFTAR RUJUKAN
Budiantara, I.N, dan Subanar, (1997),
Pemilihan Parameter Penghalus
Dalam Regresi Spline, Majalah
Ilmiah Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, 7 : 37-49.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
60 1
Bilodeau, M., (1992), Fourier Smoother
and Addditive Models, The
Canadian Journal of statistics, 3 :
257 269.
Chamidah, N., dan Kurniawan, A., (2003),
Penggunaan Program S-Plus 2000
Pada Model Regresi Non
Parametrik dengan Pendekatan
Deret Fourier Untuk Estimasi
Model Curah Hujan, Lembaga
Penelitian Universitas Airlangga,
Surabaya.
Draper, N., and Smith, H., (1981), Applied
Regresion Analysis, John Wiley
& Sons, Inc. New Jersey.
Hutapea, R., (2004), Estimator Deret
Fourier Pada Model Regresi
Nonparametrik dengan Error
Beristribusi Lognormal, Skripsi,
Jurusan Matematika FMIPA
Unair, Surabaya.
Ryan. T.P., (1997), Modern Regresion
Methods, John Wiley & Sons,
Inc, Canada.
63
61 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
64
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN PADA MUSIM KEMARAU MELALUI
BUDIDAYA JAGUNG BERBASIS SEMI ORGANIK TANPA OLAH TANAH
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA PETANI
I Made Sudiana
1)
, Made Maduriana
2)
, dan Gusti Agung Gde Eka Martiningsih
3)
1, 2 Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan, dan 3 Fakultas
Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
Email: m_sudiana@rocketmail.com
ABSTRACT
Optimization of land use in the dry season corn based on semi organic farming without
increasing the ground if farmer family welfare
Was conducted the empowerment of farmers Subak Cangi and Subak Lepud Mengwi
through the application of science and technology for society (I
b
.M) to overcome the problem
of low income of farmers in the dry season. Lace farmers' income as a result of a less optimal
land use. Farmers leave land empty or forced to plant rice at high risk of crop failure.
Outputs from the program I
b
.M is (1) change the mindset of farmers from rice monoculture
throughout the growing season to alternate cropping pattern, (2) improve the physical,
chemical, and biological properties of soil, (3) improve the welfare of farmers through the
optimization of land use so that farmers still have an income. Method of application programs
I
b
.M that provide counseling about cropping patterns, technical cultivation of corn, the corn
market outlook, marketing results, and cultivation practices. Maize is cultivated hybrid
varieties BISI-2. In practice cultivation, land preparation was done by using no-tillage and
manure spread on the soil surface oragnik cow manure at a dose of 8 tons / ha. The results of
the implementation of the program reached 94.42% and seed yield of dry shelled obtained by
an average of 8.5 tons/ha or 95.5% reach of the average yield varieties BISI-2 8.9 ton/ha.
Benefit obtained farmers Rp. 8,927.000. It can be concluded that the implementation of the
program I
b
.M able to change the mindset of farmers from rice monoculture cropping pattern
throughout the year to take turns. Occurs repair the physical, chemical, and biological soil
due to organic fertilizer. Land use in the dry season to be optimal so that farmers earn
income, consequently the welfare of farmers has increased.
Key words: Farmers' income, Ib.M programs, technical cultivation, cultivation
Practices corn
PENDAHULUAN
Pada musim kemarau debit air
irigasi menurun (berkurang) sehingga
seringkali menjadi faktor pembatas
pertumbuhan tanaman padi (Oryza sativa
Linn.) sawah. Walaupun bukan merupakan
tanaman hidrophyta (tanaman air), akan
tetapi tanaman padi sawah memerlukan
banyak air selama pertumbuhannya. Padi
pada umur 8 hst digenangi air setinggi 5
cm, umur 8 45 hst genangan air 10 20
cm, dan pada saat padi mulai berbulir
genangan air 20 25 cm (Deptan, 2003).
Bila kekurangan air, tanaman padi tidak
dapat tumbuh optimal dan dapat
mengalami cekaman kekeringan (draught
sterss). Jika ini terjadi, maka tanaman akan
mengalami gangguan pertumbuhan
sehingga dapat menurunkan produksi
bahkan berpotensi gagal panen.
Namun demikian, banyak petani
yang memaksakan diri menanam padi pada
musim kemarau akibat ketidaktahuan
mereka tentang jenis tanaman lain yang
lebih adaptif terhadap keterbatasan air
irigasi. Petani lainnya yang tidak
memaksakan diri menanam padi
membirakan lahannya kosong. Kedua
kondisi tersebut pada dasarnya
berimplikasi hampir sama. Jika memaksa
menanam padi beresiko gagal panen dan
itu berarti petani mengalami kerugian. Jika
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
62 65
membiarkan lahannya kosong, berarti
tidak memperoleh penghasilan. Kondisi
seperti ini terjadi di Subak Cangi dan
Subak Lepud Mengwi Badung.
Guna mengatasi permasalahan
kurang optimalnya pemanfatan lahan dan
budidaya padi yang beresiko gagal panen
pada musim kemarau, melalui program
penerapan Ipteks bagi Masyarakat (I
b
.M)
IKIP Saraswati Tabanan berkejasama
dengan Fakultas Pertanian Universitas
Mahasaraswati Denpasar, petani di kedua
Subak diberikan solusi alternatif yaitu
dengan membudidayakan tanaman
palawija jagung. Mengingat, tanaman
jagung sepanjang pertumbuhannya, hanya
memerlukan air yang tidak terlalu banyak.
Kebutuhan air yaitu pada saat
pertumbuhan vegetatif, menjelang
pertumbuhan generatif yaitu mnculnya
bunga jantan (tasseling) dan bunga betina
(silking) (Deptan, 2003). Jadi, dengan
demikian ketersediaan air irigasi yang
terbatas pada musim kemarau masih
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air
sepanjang pertumbuhan tanaman jagung.
Melalui budidaya jagung, selain
terjadi optimalisasi pemanfaatan lahan,
kemungkinan gagal panen sangat kecil,
terjadi pergiliran (rotasi) tanaman, dapat
menambah ketersediaan hijauan pakan
ternak yang berasal dari brangkasan
jagung, dan yang terpenting petani
memperoleh penghasilan.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan penerapan program
I
b
.M di Subak Cangi dan Subak Lepud
diawali dengan melakukan survei lapangan
dan wawancara kepada beberapa petani
serta Pekaseh Subak. Hasil survei dan
wawancara digunakan sebagai dasar untuk
menganalisis permasalahan budidaya
tanaman yang dihadapi petani khususnya
pada musim kemarau. Berdasarkan hasil
analisis situasi di kedua Subak,
permsalahan yang dihadapi petani yaitu:
(1) pemanfaatan lahan kurang optimal; (2)
pola tanam monokultur padi sepanjang
tahun; (3) pengetahuan dan keterampilan
teknis budidaya palawija (khusus jagung)
sangat rendah; dan (4) prospek pasar
komoditi palawija tidak diketahui.
Berangkat dari permasalahan tersebut,
maka untuk memberdayakan petani
dilakukan dengan cara (1) memberikan
penyuluhan tentang keuntungan penerapan
pola tanam bergilir dan teknis budidaya
jagung berbasis semi organik; (2)
penyuluhan tentang prospek pasar
komoditas jagung di pasar lokal, nasional,
dan internasional; (3) mendampingi petani
dalam melakukan praktik budidaya jagung
berbasis semi organik di lahan demonstrasi
plot (demplot) di salah satu lahan petani.
Jumlah petani yang dilibatkan
dalam kegiatan penyuluhan sebanyak 60
orang petani, masing-masing 30 orang dari
Subak Cangi dan 30 orang lagi dari Subak
Lepud. Dari masing-masing 30 orang
petani yang ikut dalam kegiatan
penyuluhan dipilih masing-masing satu
orang petani dari kedua Subak yang
bersedia memberikan lahannya untuk
dijadikan lahan demplot. Dalam kegiatan
praktik budidaya jagung di lahan demplot,
petani yang ikut praktik sebanyak duabelas
orang, masing-masing enam orang untuk
setiap lahan demplot. Melalui cara seperti
ini, diharapkan terjadi pengimbasan
keterampilan teknis budidaya jagung ke
petani lainnya setelah praktik di lahan
demplot. Dengan demikian,
pengembangan jagung tidak berhenti
setelah selesainya program, akan tetapi
terus berlanjut pada musim tanam
berikutnya dan seterusnya. Jagung yang
dibudidayakan yaitu varietas hibrida BISI-
2. Pemilihan jagung BISI-2 didasarkan
atas (1) prospek pasar jagung BISI-2 lebih
baik dibandingkan jenis jagung laiinya;
dan (2) potensi hasil biji pipilan kering
jagung BISI-2 mencapi 13 ton/ha, dengan
hasil rata-rata 8,9 ton/ha. Hasil penelitian
Sudiana, (2007) di lahan kering Desa
Beraban Tanguntiti Tabanan terhadap
jagung BISI-2 menunjukkan bahwa hasil
biji pipilan kering yang diperoleh sebesar
9,3 ton/ha, sedangkan demplot jagung
BISI-2 di lahan subak Cau Belayu Marga
63 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 66
memperoleh hasil 8,9 ton/ha (Program
Sibermas, 2009).
Dalam praktik di lahan demplot,
guna memperbaiki tekstur dan struktur
tanah, meningkatkan kesuburan lahan,
meningkatkan kapasitas pegang air tanah,
menambah bahan organik tanah,
memperbaiki aerasi tanah, sebelum tanam
atau saat persiapan lahan tanam, lahan
diberika pupuk organik kotoran hewan.
Semua sarana produksi (saprodi) yang
diperlukan disediakan melalui program
I
b
.M. Selain menggunakan pupuk organik,
dalam praktik budidaya, persiapan lahan
dilakukan dengan teknik tanpa olah tanah
(TOT). Teknik ini dilakukan untuk
menekan terjadinya erosi tanah, juga untuk
efisiensi tenaga, waktu, dan biaya. Sebab,
hasil yang diperoleh dari budidaya jagung
dengan TOT tidak berbeda dengan teknik
olah tanah berat. Guna menjamin
keberhasilan demplot, selama kegiatan
praktik budidaya dilakukan pendampingan
oleh tim pelaksana I
b
.M termasuk
mendampingi dalam pemasaran hasil.
Target luaran yang ingin dicapai
dalam penerapan program I
b
.M ini yaitu :
(1) terjadi perubahan pola pikir dalam
penerapan pola tanam dari pola tanam
monokultur padi sepanjang tahun ke pola
tanam bergilir, padi-palawija-padi atau
padi-padi-palawija; (2) adanya
peningkatan pengetahuan dan
keterampilan teknis budidaya palawija
(khusus jagung); (3) terjadi peningkatan
kesejahteraan petani sebagai akibat
optimalisasi pemanfaatan lahan pada
musim kemarau.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dilihat dari pelaksanaan program
berhasil 95,42% dan hasil biji pipilan
kering jagung BISI-2 pada lahan demplot
mencapai 95,5%. Indikator Keberhasilan
Pelaksanaan Program disajikan pada tabel
1 berikut.
Tabel 1. Program Kerja dan Keberhasilan Pelaksanaan I
b
.M di Subak Cangi dan
Subak Lepud Tahun 2013.
Subak
Partisipasi Petani
Penyuluhan Praktik budidaya jagung BISI-2: 6 orang petani (%)
Jml % Pengolahan
lahan
Tanam Pemeliharaan Panen Pasca
panen
Cangi 30 100 100 100 75,0 100 66,7
Lepud 30 100 100 100 83,0 100 83,0
Total 60 100 100 100 79,2 100 75,0
Rerata-
2 (P) 100

Rerata-5 (PBJ) 90,84
Rerata-2 (P + PBJ) 95,42
Keterangan:
P = Penyuluhan. PBJ = Praktik Budidaya Jagung
Jika dibandingkan antara tingkat
partisipasi petani di Subak Cangi dalam
praktik pemeliharaan tanaman lebih rendah
9,64% dibandingkan dengan Subak Lepud.
Hal yang sama juga tampak pada praktik
penanganan pasca panen 19,64% lebih
rendah dibandingkan dengan Subak Lepud
(Tabel 1).
Tingkat partisipasi yang sama pada
kedua Subak yaitu kehadiran dalam
mengikuti kegiatan penyuluhan, praktik
pengolahan lahan, tanam dan panen sama-
sama mencapai persentase kehadiran 100%
(Tabel 1).
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
64 67
Indikator Hasil Pelaksanaan Demplot
1. Pertumbuhan tanaman
Tabel 2. Pertumbuhan Tanaman di Lahan Demplot Subak Cangi dan Subak Lepud
Subak
Pertumbuhan Tanaman
Fase Vegetatif Fase Generatif
Rerata Viabilitas
benih
24 hst 36 hst Tasseling Silking Pengisian
biji
Cangi 90% 95% 94% 100% 100% 96% 96%
Lepud 95% 97% 96% 100% 100% 98% 98%
Rerata 93% 96% 95% 100% 100% 97% 97%

Atas dasar Tabel 2, rata-rata pertumbuhan
tanaman mulai dari viabilitas (daya
tumbuh) benih sampai pengisian biji
mencapai 97%. Viabilitas benih di Subak
Cangi lebih rendah 5% dibandingkan
dengan viabilitas benih di Subak Lepud.
Dari 90% benih yang tumbuh di Subak
Cangi, hanya 95% yang tumbuh sampai
umur 24 hari setelah tanam (hst)
sedangkan di Subak Lepud dari 95% benih
tumbuh yang mencapai umur 24 hst 97%.
Ini berarti bahwa persentase tanaman yang
tumbuh sampai umur 24 hst di Subak
Cangi lebih tinggi 3% dibandingkan
dengan Subak Lepud. Akan tetapi sampai
umur 36 hst, ternyata beberapa tanaman
mengalami gangguan pertumbuhan
sehingga yang tumbuh normal pada Subak
Cangi berkurang dan Subak Lepud
berkurang masing-masing 1%. Setelah
melewati umur 36 hst, semua tanaman
tumbuh normal tanpa gangguan sampai
memasuki pertumbuhan generatif.
2. Hasil panen dan analisis seosial
ekonomi
Hasil panen pada kedua demplot di
masing-masing Subak tidak jauh berbeda.
Di Subak Cangi, hasil panen biji pipilan
kering mencapai 8,3 ton/ha dan di Subak
Lepud sedikit lebih tinggi yaitu mencapai
8,7 ton/ha. Perolehan hasil biji pipilan
kering jagung dari lahan setelah
dokonversi ke luasan lahan 1 ha mencapai
8,5 ton/ha. Hasil ini belum mencapai
potensi hasil jagung BISI-2 sebesar 11
ton/ha. Untuk melakukan konversi hasil,
petani dibantu oleh tim Ib.M. Petani hanya
mengamati cara melakukan konversi.
Keuntungan bersih yang diperoleh dengan
harga jual jagung pipilan kering panen Rp.
2300,-. adalah Rp. 8.927.500,- dengan
biaya produksi keseluruhan mencapai
Rp.10.622.500,- (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Panen Biji Pipilan Kering dan Pendapatan Bersih yang Diperoleh dari
Budidaya Jagung BISI-2 di Subak Cangi dan Lepud Mengwi
Subak Potensi
hasil
Hasil
Biji
(ton)
Harga
Jual
(Rp)
Pendapatan
Kotor (Rp)
Biaya
Produksi
(Rp)
Pendapatan
Bersih (Rp)
Cangi 11 8,3 2300 19.090.000 10.622.500 8.467.500
Lepud 8,7 2300 20.010.000 10.622.500 9.387.500
Rerata 8,9 8,5 2300 19.550.000 10.622.500 8.927.500
% capaian
hasil
95,5%
Jika dilihat dari capaian hasil biji
pipilan kering yang diperoleh dari lahan
demplot mencapai 95,5% dibandingkan
dengan rata-rata hasil jagung BISI-2.
65 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 68
Pendapatan bersih yang diperoleh petani di
Subak Lepud lebih tinggi Rp. 920.000
dibandingkan dengan Subak Cangi yang
mencapai Rp. 8.467.500 (9,8%) (Tabel 3).
Untuk luasan lahan 1 ha, rata-rata produksi
jagung BISI-2 di kedua Subak (Tabel 3)
rata-rata 8,5 ton/ha dengan pendapatan
bersih sebesar Rp.8.927.500 dengan
asumsi harga Rp. 2300,-/kg. Sedangkan
hasil gabah kering giling padi Ciherang
yaitu 5,75 tha
-1
dengan pendapatan bersih
yang didapat sebesar Rp.20.669.000,-
(Hasil Wawancara dengan Pekaseh, 2012).
Jika dibandingkan secara nominal, maka
pendapatan dari jagung BISI-2 tampak
jauh lebih kecil dibandingkan dengan padi
Ciherang.
Pembahasan
Keberhasilan pelaksanaan program
mencapai 95,42% (Tabel 1) disebabkan
oleh antusiasnya petani dalam mengikuti
tahapan pelaksanaan program mulai dari
penyuluhan, praktik budidaya di lahan
demplot. Pada saat kegiatan penyuluhan
tentang pola tanam, dan teknis budidaya
jagung, tingkat kehadiran petani sampai
mencapai 100% baik di Subak Cangi dan
Subak Lepud (Tabel 1). Tingginya tingkat
kehadiran petani dalam mengikuti
penyuluhan, karena partisipasi aktif dari
Pekaseh Subak dan Juru Arah (personil
dalam struktur organisasi Subak yang
berfungsi menginfromasikan kegiatan
Subak secara langsung dor to dor) kepada
petani. Melalui keaktifan tersebut dengan
sedikit informasi tentang materi
penyuluhan menjadikan petani tertarik
untuk hadir (Hasil Wawancara dengan
Pekaseh Subak dan Juru Arah).
Pada saat penyuluhan berlangsung,
petani menyimak dengan seksma materi
yang diberikan oleh tim I
b
.M. Hal ini
terbukti adanya pertanyaan disampaikan
oleh petani saat sesi tanya jawab. Selain
tingkat kehadiran yang tinggi, pada bagian
akhir dari kegiatan penyuluhan, banyak
petani yang bersedia lahannya dijadikan
lahan demplot dan banyak petani yang
bersedia untuk ikut praktik budidaya di
lahan demplot. Kesediaan petani untuk
memberikan lahannya sebagai lahan
demplot dan bersedia ikut praktik
budidaya tidak terlepas dari respon positif
petani terhadap materi penyuluhan yang
diberikan. Respon positif petani
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
pertama adalah, perolehan pengetahuan
tentang manfaat pola tanam bergilir dan
penggunaan pupuk organik, yang
sebelumnya mereka tidak pahami. Petani
hanya merasakan ada perubahan kondisi
lahan yaitu sulit diolah, tetapi tidak tahu
apa penyebabnya. Setelah memperoleh
pengetahuan tentang manfaat pola tanam
bergilir dan manfaat pupuk organik untuk
kesehatan lahan dalam jangka panjang,
barulah mereka menyadari bahwa dengan
pola tanam monokultur padi sepanjang
tahun dan penggunan pupuk anorganik
saja menyebabkan tanah menjadi sakit
dengan ciri yaitu tanah sulit diolah. Faktor
kedua yaitu ketidaktahuan petani tentang
budidaya palawija yang cocok
dikembangkan pada musim kemarau.
Akibat ketidaktahuan itu, petani seringkali
memaksakan menanam padi pada musim
kemarau sehingga banyak petani gagal
panen. Petani lain membiarkan lahannya
kosong shingga optimalisasi pemanfaatan
lahan menjadi rendah. Melalui penyuluhan
tentang teknis budidaya jagung pikiran
petani menjadi terbuka. Petani mulai
menyadari bahwa membudidayakan
jagung selain mudah dilakukan, ternyata
jagung mempunyai daya adaptasi yang
baik terhadap keterbatasan air pada musim
kemarau dan prospek pasar jagung cukup
baik.
Dalam praktik budidaya di lahan demplot,
partisipasi aktif petani untuk praktik
pengolahan lahan, tanam, dan panen
mencapai 100% (Tabel 1). Partisipasi
tinggi dalam ketiga kegiatan tersebut
karena hal itu merupakan bagian yang
sangat penting dalam tahap awal dan akhir
melakukan budidaya pada umumnya
termasuk jagung. Sementara untuk
kegiatan pemeliharaan tanaman seperti
melakukan pemupukan, pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT)
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
66
69
partisipasi petani bervariasi. Tingkat
partisipasi untuk kegiatan tersebut pada
kelompok tani di Subak Lepud lebih tinggi
dibandingkan dengan Subak Cangi (Tabel
1). Tingkat partipasi aktif petani yang
lebih tinggi di Subak Lepud karena petani
di Subak Lepud lebih serius melakukan
kegiatan budidaya dibandingkan dengan
Subak Cangi selain jumlah petani di Subak
Lepud lebih banyak.
Kesungguhan petani dalam
melaksanakan tahapan kegiatan budidaya
jagung BISI-2 di lahan demplot
berdampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman. Viabilitas benih jagung BISI-2 di
kedua lahan demplot mencapai di atas 90%
(Tabel 2). Viabilitas benih di lahan
demplot Subak Lepud 5% lebih tinggi
disebabkan oleh kondisi fisik lahan di
Subak Lepud memang lebih baik
dibandingkan dengan lahan demplot di
Subak Cangi. Namun demikian, viabiltas
benih tergolong tinggi karena kualitas
benih BISI-2 sangat baik (Deskripsi
Jagung Hibrida Varietas BISI-2).
Tinggilnya viabilitas benih sejalan dengan
pertumbuhan vegetatif tanaman
selanjutnya. Dari rata-rata 93% biji yang
tumbuh, 96% tumbuh normal pada umur
24 hst. Hal yang sama juga nampak pada
pertumbuhan tanaman selanjutnya. Hanya
saja karena adanya gangguan OPT tetapi
tidak terlalu tinggi, baik di Subak Cangi
dan Lepud dari rata-rata 96% tanaman
pada umur 24 hst, yang tumbuh normal
berkurang 1% menjadi 95%. (Tabel 2).
Pertumbuhan tanaman pada fase
vegetatif mulai dari tumbuhnya kecambah
benih di lahan demplot sampai mencapai
umur 36 hst memang merupakan masa
rawan mengalami gangguan pertumbuhan
baik karena faktor unsur hara maupun
karena serangan OPT. Namun demikian,
dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
vegetatif tanaman masih dalam katagori
normal, karena masih berada di atas 90%.
Pertumbuhan tanaman jagung
normal disebabkan oleh adanya perbaikan
sifat fisik, kimia, dan biologis tanah akibat
pemberian pupuk organik. Pupuk organik
digunakan sebagai sumber energi bagi
mikroorganisme (Pelczar, Jr, 1986) tanah.
Peran dari makro dan mikro oragnisme
tanah yaitu sebagai dekomposer (pengurai)
sehingga materi organik dan anorganik
dari bahan/substrat yang diberikan
diuraikan sehingga terlepas menjadi unsur
hara dan dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Dalam proses penguraian, ruang
pori dan jumlah pori tanah meningkat
sehingga dapat memperbaiki sifat fisik
tanah. Struktur tanah menjadi remah
sehingga mudah diolah dan saat dialiri air,
air mejadi mudah terserap ke dalam tanah.
Ini menunjukkan bahwa ruang pori
membesar dan jumlah raung pori semakin
bertambah sehingga air mudah terserap
dan aerasi tanah membaik. Sifat kimia
tanah juga mengalami perbaikan karena
pemberian pupuk organik menyebabkan
agregat tanah meningkat sehingga ikatan
antar misel-misel tanah semakin kuat
(Nyakpa, dkk., 1988). Ikatan yang kuat ini
menyebabkan air yang terserap tidak
mudah masuk lebih dalam ke dalam tanah
menjadi air dalam.
Dari semua tanaman yang
mencapai umur 36 hst, memasuki fase
generatif tidak terjadi gangguan apapun
baik pada fase munculnya bunga jantan
(taselling) dan bunga betina (silking)
mencapai 100%. Akan tetapi, dari 100%
tanaman yang sudah tasell dan silking,
hanya 97% saja tongkol yang berisi biji
secara penuh (Tabel 2). Hal ini juga
merupakan hal normal yang terjadi dalam
budidaya tanaman termasuk jagung.
Artinya, sekalipun tahapan pelaksanaan
budidaya dilakukan secara benar, ada saja
tanaman yang tidak membentuk organ
reproduksi secara normal karena berbagai
sebab. Faktor penyebabnya adalah genetik,
tetapi lebih dominan disebabkan oleh
faktor lingkungan.
Mengingat pertumbuhan vegetatif
dan generatif tanaman jagung normal,
maka potensi munculnya dua tongkol pada
jagung BISI-2 dapat terjadi. Dua tongkol
yang muncul pada setiap tanaman
berpotensi meningkatkan jumlah biji yang
67 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
70
terbentuk. Akan tetapi, tidak 100% tongkol
berisi biji secara penuh, sehingga
berdampak pada hasil akhir biji yang
diperoleh. Namun demikian, hasil biji
pipilan kering yang diperoleh tidak
berbeda jauh dengan potensi hasil rata-rata
pada jagung BISI-2 yaitu 8,9 ton/ha
(Deskripsi Varietas, 1995). Hasil biji
pipilan kering yang diperoleh pada kedua
lahan demplot sebear 8,5 ton/ha. Hasil ini
memang belum mencapai potensi hasil
jagung BISI-2 sebanyak 11 ton/ha. Belum
tercapainya potensi hasil, walaupun jagung
tumbuh normal, kemungkinan disebabkan
oleh belum terpenuhinya kebutuhan unsur
hara pada tanaman jagung terutama sekali
dalam pembentukan tongkol dan pengisian
biji. Memang pada setiap tanaman muncul
dua tongkol, akan tetapi besarnya tongkol
belum mencapai ukuran maksimal.
Indikasi belum terpenuhinya kebutuhan
unsur hara, karena jumlah/dosis pupuk
anorganik yang diberikan pada tanaman
hanya dari dosis anjuran. Namun
demikian, hasil biji yang diperoleh sudah
berada pada rentang rata-rata hasil biji
jagung BISI-2 seperti yang pernah
dilakukan pada beberapa lokasi demplot
(Sudiana, 2009, 2011). Hasil penelitian
Sudiana (2007) terhadap jagung BISI-2
dan dua varietas lain di lahan kering desa
Beraban Tanguntiti Tabanan memperoleh
hasil yang sedikit lebih tinggi yaitu 9,3
ton/ha. Pada penelitian itu, penggunaan
pupuk anorganik sesuai dengan dosis
anjuran. Secara khusus, hasil biji pipilan
kering yang didapat di lahan demplot
Subak Cangi sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan lahan demplot Subak
Lepud. Di Subak Cangi hanya mencapai
8,3 ton/ha, sedangkan di subak Lepud 8,7
ton/ha (Tabel 06). Perbedaan hasil ini
karena kondisi biofisik lahan di lahan
demplot BISI-2 di Subak Cangi memang
sedikit lebih jelek sehingga berpengaruh
terhadap pertumbuhan vegetatif dan
generatif tanaman. Namun demikian,
perbedaan hasil di kedua demplot ini dapat
dikatakan tidak berbeda secara signifikan.
Atas dasar hasil biji pipilan kering yang
diperoleh, petani memperoleh keuntungan
bersih sebesar Rp. 8.927.500,- (Tabel 3)
dengan asumsi harga Rp. 2300/kg.
Keuntungan yang diperoleh ini memang
lebih kecil dibandingkan dengan
keuntungan dari usaha tani padi Ciherang
yang mencapai Rp. 20.669.000,- (Hasil
Wawancara dengan Pekaseh Subak Lepud,
2012). Lebih rendahnya hasil yang
diperoleh dalam budidaya jagung BISI-2
disebabkan oleh tingginya biaya produksi
terutama untuk pembelian pupuk organik
yang mencapai Rp. 8.000.000, sedangkan
pada usaha tani padi Ciherang tidak
membeli pupuk organik. Sesungguhya,
jika misalnya dalam budidaya jagung
BISI-2 tidak membeli pupuk organik,
maka kentungan dari budidaya jagung ini
akan mencapai Rp. 16.927.500,-. Dapat
dikatakan bahwa pendapatan yang lebih
rendah pada budidaya jagung akan
dikonversi oleh keuntungan jangka
panjang yang tak terhingga. Oleh karena
dengan menggunakan pupuk organik
menyebabkan terjadinya perbaikan
kesehatan lahan dalam jangka panjang.
Peningkatan kesehatan lahan dalam jangka
panjang dapat terjadi karena adanya
pergiliran tanaman dari nenamam padi
sepanjang tahun digilir dengan tanaman
palawija jagung. Pergiliran tanaman dapat
memutus siklus hama sehingga populasi
hama yang menyerang padi dapat ditekan.
Hal ini dapat terjadi karena putusnya
ketersediaan bahan makanan hama yang
bersumber dari padi. Dengan demikian,
tanpa harus melakukan pengendalian hama
dengan pestisida sintetis yang berdampak
buruk terhadap organisme lain bukan
sasaran dan lingkungan air, udara dan
tanah, hama dapat ditekan populasinya.
Akan terjadi hal sebaliknya jika tidak
menggunakan pupuk organik, maka usaha
untuk memperbaiki kesehatan tanah dan
memperbaiki agroekosistem pertanian
secara keseluruhan tidak akan tercapai.
Karena tujuan daripada program penerapan
Ib.M ini selain optimalisasi pemanfaatan
lahan pada musim kemarau, juga untuk
memperbaiki kesehatan agroekosistem
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
68 71
pertanian sehingga usaha tani dapat
berlanjut.
Jadi dapat dikatakan bahwa,
keuntungan yang lebih kecil pada usaha
tani jagung dapat dikonversi dari
keuntungan jangka panjang yang tidak
ternilai harganya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Hasil pelaksanaan program
penerapan ipteks bagi masyartakat
Ib.M pada di Subak Cangi dan
Subak Lepud Mengwi mencapai
95,42% dan hasil penerapan teknis
budidaya jagung BISI-2 dalam
bentuk produksi biji pipilan kering
mencapai 95,5% yaitu 8,5 ton/ha
dibandingkan dengan potensi
produksi rata-rata jagung BISI-2
sebesar 8,9 ton/ha.
2. Keuntungan usaha tani jagung
BISI-2 mencapai Rp.8.927.000.
Hasil ini lebih rendah
dibandingkan dengan usaha tani
padi Ciherang, akan tetapi melalui
budidaya jagung terjadi
optimalisasi pemanfaatan lahan
pada musim kemarau, terjadi
pergiliran tanaman, perbaikan sifat
fisik, biologis, dan kimia tanah
yang dalam jangka panjang mampu
memperbaiki habitat agroekosistem
sehingga usaha pertanian dapat
berlanjut.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh
dalam penerapan program I
b
.M secara
keseluruhan dan khususnya dari hasil
budidaya jagung Hibrida BISI-2 pada
musim kemarau, hendaknya:
1. Petani di Subak Cangi dan Subak
Lepud hendaknya meneruskan
usaha pengembangan jagung pada
musim tanam palawija di tahun-
tahun selanjutnya sehingga tidak
berhenti setelah selesainya program
I
b
.M ini.
2. Dalam melakukan budidaya
jagung, hendaknya petani
memperhatikan teknis budidaya
secara benar sehingga hasil yang
diharapkan tinggi dapat tercapai.
3. Petani pemilik lahan demplot dan
petani praktik (magang) diharapkan
menularkan keterampilannya
tentang budidaya jagung kepada
petani lainnya sehingga terjadi alih
teknologi. Melalui alih teknologi
budidaya jagung kepada petani
lainnya, dapat merangsang dan
menumbuhkan keinginan untuk
mengembangkan jagung di lahan
sawahnya.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2003. Kumpulan Buku Tanaman
Pangan, Tanaman Sayur, Tanaman
Buah, Tanaman Kebun, dan
Tanaman Obat. Jakarta: Badan
Pengembangan Sumberdaya
Manusia Pertanian, Bagian Proyek
Pemberdayaan Penyuluhan
Pertanian Pusat.
Nyakpa, M.Y, dkk. 1986. Kesuburan
Tanah. Lampung: Universitas
Lampung.
Pelczar, Jr., M.J. 1986. Dasar-Dasar
Mikrobiologi (terjemahan). Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press).
Subak Cangi. 2012. Profil Subak Cangi
Mengwi.
Subak Lepud. 2012 Profil Subak Lepud
Mengwi.
Sudiana, I.M. 2007. Pengaruh Jarak
Tanam terhadap Hasil Biji, Kadar
Protein Kasar, dan Ekstrak Bebas
Nitrogen Brangkasan Beberapa
Varietas Jagung (Zea mays L.)
Unggul di Lahan Kering (Tesis).
Denpasar: Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana.
Sudiana, I.M. 2009. Demplot Jagung BISI-
2 Semi Organik di Lahan Subak
Cau Belayu, Marga Tabanan
(Laporan Hasil Program Sibermas).
Sudiana, I.M. 2011. Demplot Jagung BISI-
2 Semi Organik di Lahan Subak
Bengkel Sari Selemadeg Barat
Tabanan.
69 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
72
SEGIEMPAT SACCHERI
(KAJIAN TEORETIK PADA GEOMETRI NON EUCLID)
I Wayan Widana
Dosen Jurusan/PS. Pend. Matematematika FPMIPA IKIP PGRI Bali
e-mail: iwyn_widana@yahoo.co.id
ABSTRACT
Saccheriquadrilateral (Theoretical study on Non-Euclidean Geometry)
Geometry is a deductive system. As a deductive system, geometry has a base
understanding (primitive concept), definitions, postulates and arguments. Non-Euclidean
geometry was born as a result of the failure of a new inspiration to mathematicians prove
Euclid's 5
th
axiom of parallels. Lobachevsky and Bolyai are two characters who find
Hyperbolic Geometry and Reimann is the inventor of the elliptical Geometry.
Saccheri quadrilateral is a convex quadrilateral with sides of equal length pair that is
perpendicular to the side of the base. Based on theoretical studies that have been done it is
concluded that: (1) Saccheri Quadrilateral on Hyperbolic Geometry has the properties: a)
peak congruent angles and taper angles, b) the length of the peak is longer than the length of
the base, and c) long segment connecting the midpoints of the peak and the reason was
shorter than the legs of the Saccheri quadrilateral, (2) Saccheri quadrilateral on Elliptic
Geometry has the properties: a) the angles are congruent peaks and obtuse angle, b) the
length of the peak is less than the length of the side of its base, and c) the length of the
segment connecting the midpoints of the peak and the reason is longer than the legs of the
Saccheri quadrilateral.
Keywords:Deductive system, Hyperbolic geometry, Elliptic geometry, Quadrilateral Saccheri
PENDAHULUAN
Geometri merupakan salah satu
cabang matematika yang mempelajari titik,
garis, bidang dan benda-benda ruang serta
sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya serta
hubungannya satu sama lain. Dalam
perjalanannya, geometri mengalami
perkembangan yang sangat pesat seiring
dengan kemajuan teknologi di muka bumi
ini. Geometri Euclid merupakan geometri
yang pertama, dikembangkan oleh
Euclides dari Aleksandria hidup kira-kira
300 tahun sebelum Masehi. Geometri ini
bertahan kurang lebih selama 2000 tahun
dan tidak terbantahkan, tetapi sejak abad
ke 19 para matematikawan mulai
menemukan kelemahan geometri Euclid.
Hal inilah yang merupakan awal
ditemukannya geometeri non Euclid.
Kajian ini dimaksudkan untuk
memberikan wawasan yang lebih luas dan
mendalam tentang segiempat Saccheri
pada geometri non Euclid. Berdasarkan
kajian tersebut akan tampak perbedaan
konsep segiempat Saccheri secara
substansial, sehingga dapat dibandingkan
dan sangat menarik untuk dijadikan bahan
kajian.
PEMBAHASAN
Geometri Sebagai Suatu Sistem
Deduktif. Moeharti (1986)
mengemukakan bahwa sebagai suatu
sistem deduktif, dalam geometri harus ada
pengertian-pengertian pangkal (primitive
concept) yaitu unsur-unsur dan relasi-relasi
yang tidak didefinisikan. Selain pengertian
pangkal, masih diperlukan lagi definisi-
definisi dari unsur lain yang menggunakan
pengertian pangkal. Dari definisi-definisi
tersebut selanjutnya memungkinkan
pemberian nama unsur-unsur yang terkait
dengan pengertian pangkal. Untuk
menetapkan suatu definisi tidak boleh ada
lingkaran definisi. Suatu definisi harus
reversible, artinya definisi hendaknya
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
70
73
dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat
yang memuat bila dan hanya bila.
Misalnya, suatu segitiga samasisi adalah
suatu segitiga yang ketiga sisinya sama
panjang. Hal ini berarti bahwa: 1) jika
suatu segitiga samasisi maka ketiga sisinya
sama panjang; 2) jika suatu segitiga ketiga
sisinya sama panjang maka segitiga itu
samasisi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
suatu segitiga disebut samasisi bila dan
hanya bila ketiga sisinya sama panjang.
Selain itu harus ada relasi-relasi atau
pernyataan yang dapat diterima tanpa bukti
yang disebut aksioma atau postulat.
Relasi-relasi lainnya yang dapat dibuktikan
menggunakan definisi dan aksioma atau
postulat-postulat itu disebut dalil atau
teorema. Proses untuk mendapatkan atau
menurunkan suatu dalil dari himpunan
pengertian pangkal, definisi, dan postulat
disebut suatu deduksi. Jadi suatu sistem
deduktif mempunyai sejumlah pengertian
pangkal, definisi, postulat dan dalil-dalil.
Dalam geometri sebagai suatu sistem
deduktif, himpunan postulat itu dapat
dipandang sebagai aturan main. Wisna
(2008), himpunan postulat atau aksioma
harus memenuhi 3 (tiga) syarat: 1)
konsisten, artinya tidak boleh
menyimpulkan suatu teorema dari
aksioma-aksioma yang bertentangan
dengan aksioma atau teorema yang sudah
dibuktikan sebelumnya; 2) independen,
artinya tidak boleh ada salah satu aksioma
yang dapat diturunkan dari aksioma yang
lainnya; 3) lengkap, artinya tidak mungkin
untuk menambahkan suatu aksioma yang
konsisten dan independen tanpa harus
menambahkan pengertian pangkal yang
baru.
Lahirnya Geometri Non Euclid.
Geometri yang menggunakan sistem
deduktif pertama kali adalah geometri
Euclid dan bertahan hampir 2000 tahun.
Euclid (325-265 SM), seorang
matematikawan dari Aleksandria telah
menulis 13 jilid buku. Dalam bukunya
yang berjudul The Elements memuat 23
definisi, 5 aksioma, 5 postulat dan 48 dalil.
Euclid menggunakan istilah postulat,
merupakan aksioma yang khusus
digunakan pada bidang geometri. Euclid
sudah menggunakan sistem deduktif
dalam penyusunan buku ini. Postulat
yang dinyatakan oleh Euclid dinyatakan
seperti berikut.
Postulat (1) Selalu dapat menarik suatu
garis dari suatu titik ke suatu titik yang
lain. (2) Selalu dapat membuat ruas garis
tak terbatas banyaknya pada suatu garis.
(3) Selalu dapat melukis suatu lingkaran
berpusat di suatu titik dengan jari-jari ruas
garis yang ditentukan. (4) Semua sudut
siku-siku satu sama lain sama besar. (50
Jika suatu garis lurus memotong dua garis
lurus dan membuat jumlah sudut-sudut
dalam sepihak kurang dari dua sudut siku-
siku, kedua garis itu jika diperpanjang tak
terbatas akan bertemu di pihak tempat
kedua sudut dalam sepihak kurang dari dua
sudut siku-siku.
Keterangan postulat ke-5:
Gambar 1. Ilustrasi Postulat ke-5 Euclid
1
2
c
a
b
P
Q
71 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
74
Perhatikan gambar 1 di atas!
Garis c memotong garis a dan b. Sudut P
1
ditambah sudut Q
2
kurang dari dua sudut
siku-siku. Jika a dan b diperpanjang akan
berpotongan di pihak tempat sudut P
1
dan
sudut Q
2
(di sebelah kanan gambar di
atas). Postulat ke-5 Euclid ini dikenal
dengan postulat paralel.
Beberapa matematikawan
menganggap bahwa postulat ke-5 itu
bukan postulat dan dapat dibuktikan
dengan keempat postulat lainnya. Usaha-
usaha untuk membuktikan postulat ke-5 ini
berlangsung sejak Euclid masih hidup
sampai kira-kira tahun 1820. Namun
usaha-usaha ini tidak ada yang berhasil
dan tampak keunggulan Euclid. Tetapi
dibalik kegagalan itu, ternyata usaha-usaha
yang dilakukan oleh para matematikawan
menemukan sistem geometri baru yang
sekarang dikenal dengan nama Geometri
Non Euclid. Geometri Non Euclid masih
berdasarkan empat postulat pertama dari
Euclid dan hanya berbeda pada postulat
kelimanya. Yang termasuk dalam
Geometri Non Euclid adalah Geometri
Hiperbolik (Lobachevsky) dan Geometri
Eliptik (Riemann).
A. Geometri Hiperbolik.
Geometri hiperbolik, pertama kali
dikembangkan oleh Lobachevsky (1793-
1856) dan Bolyai seorang matematikawan
Austria (1775-1856) yang menaruh minat
utamanya pada dasar-dasar geometri dari
postulat kelima Euclid, postulat
kesejajaran.
Aksioma Kesejajaran Geometri
Hiperbolik
Melalui suatu titik A dan suatu
garis r yang tidak melalui A ada lebih dari
satu garis melalui A dalam bidang Ar yang
tidak memotong r (Moeharti, 1986).
Perhatikan gambar berikut ini!
Gambar 2. Aksioma Kesejajaran Geometri Hiperbolik
Melalui titik A ditarik garis ABr. Bila
sinar garis AM direfleksikan terhadap AB
akan diperoleh sinar garis AN, sehingga
BAM=BAN dan keduanya lancip yang
selanjutnya oleh Lobachevsky disebut
sebagai sudut kesejajaran (angle of
pararellisme).
Segitiga Asimtotik. Misalkan AM dan
BM adalah sinar garis-sinar garis yang
sejajar, dan merupakan sudut kecil
sembarang.
Gambar 3. Segitia Asimtotik
A
N M
r
B
A
M
D
C B
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
72
75
Dalam sudut BAM ditarik suatu sinar garis
dari A yang dengan AM membentuk sudut
yang lebih kecil dari . Misalkan sinar
garis ini memotong BM di titik C. Pada
CM diambil suatu titik D sedemikian
sehingga CD=CA. Dalam segitiga
samakaki CAD terdapat CAD=CDA,
sehingga:
CAD < CAM < ;
CDA < CAM < ;
BDA < CAM < ;
Jika BD menuju ke tak terhingga
sedemikian sehingga AD mendekati AM,
maka BDA mendekati nol.
Dalil 1. Jika dua garis sejajar dipandang
sebagai berpotongan di jauh tak hingga,
sudut pada titik potongnya harus sama
dengan nol.
Jika AM dan BM sinar-sinar sejajar, maka
bangun ABM disebut segitiga asimtotik.
Segitiga-segitiga semacam ini sifat-
sifatnya hampir sama dengan segitiga
berhingga. Dua segitiga asimtotik disebut
kongruen, jika sisi-sisi yang berhingga dan
salah satu sudutnya sama.
Dalil 2. Jika dua segitiga ABM dan
ABM mempunyai AB=AB dan
A=A maka juga B=B.
Gambar 4a. Segitiga Asimtotik (i) Gambar 4b. Segitiga Asimtotik (ii)
AB=AB dan A=A, maka
dapat dibuktikan B=B.
Bukti: Andaikan bahwa BB, berarti
bahwa salah satu lebih besar daripada yang
lain misalnya B > B. Dengan
demikian melalui B dapat dibuat sinar
garis BM sedemikian sehingga
ABM=B dan BM//AM. Maka di
B terdapat dua sinar garis BM dan BM
yang sejajar dengan AM. Hal ini tidak
mungkin, berarti pengandaian salah
sehingga haruslah B=B.
Dalil 3: Jika dua garis tidak berpotongan
dan tidak sejajar, mereka mempunyai garis
tegak lurus persekutuan.
Bukti:
Gambar 5. Garis Tegak Lurus Persekutuan
Misalkan A suatu titik pada garis pertama l
atau AL. Dari A ditarik garis tegak lurus
pada garis kedua m, yaitu AB. Jika AB
tidak tegal lurus AL, maka dapat
diandaikan BAL lancip. Karena garis AL
dan BM tidak berpotongan dan tidak
sejajar, maka ada sudut yang lebih kecil
yaitu BAM sedemikian sehingga AM
B
M
A
B
M
A
l
M
A
m
L
D C
B
73 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124 76
sejajar dengan BM. Misalkan BCD pada
garis BM, maka segitiga ACD sudut dalam
di D lebih kecil daripada sudut luar di C
atau ADB < ACB. Jika BD
diperpanjang ke tak hingga, maka ADB
turun menjadi nol. Sedangkan DAL
turun dari BAL ke MAL. Pada saat D
di B, maka ADB > DAL yaitu ADB
siku-siku dan DAL lancip. Sedangkan
pada saat D di M, maka ADB < DAL
yaitu ADB=0 dan DAL positif. Jadi
pada pergeseran D dari B ke M semula
ADB > DAL akhirnya ADB <
DAL. Maka ada letak D antara B dan M
sedemikian sehingga ADB = DAL.
Untuk titik D yang demikian diambil titik
O sebagai titik tengah AD, dari O ditarik
garis EF tegak lurus tegak lurus BD,
sehingga terdapat dua buah segitig yaitu
segitiga ODF kongruen dengan segitiga
OAE. Jadi EF tidak hanya tegak lurus BD
tetapi juga tegak lurus AL. Maka EF
adalah garis tegak lurus persekutuan dari
AL dan BM (terbukti). Garis-garis yang
tidak berpotongan dan tidak sejajar disebut
garis ultraparalel atau hyperparalel.
Perhatikan gambar di bawah ini.
Gambar 6. Garis Ultraparalel
Dalil 4: Jumlah besar sudut-sudut suatu segitiga kurang dari dua sudut siku-siku.
Bukti:
Gambar 7. Jumlah Besar Sudut Segitiga
Suatu segitiga tidak mungkin mempunyai
dua sudut siku-siku atau dua sudut tumpul.
Misalnya ABC suatu segitiga dengan A
dan B lancip. Titik tengah AC dan BC
disebut berturut-turut J dan I. Ditarik AD,
BE dan CF tegaklurus garis IJ. Terdapatlah
CFI.
AD=CF=BE
ACB = JCF + FCI = JAD +
EBI
Jumlah sudut-sudut ABC ialah:
BAC + ACB + CBA = BAJ
+ JAD + EBI + IBA
= BAD + ABE.
Selanjutnya segiempat ABED disebut
Segiempat Saccheri. Pada segiempat
Saccheri ABED, maka BAD dan
ABE keduanya lancip, sehingga jumlah
besar sudut-sudut ABC kurang dari dua
sudut siku-siku, (Moeharti, 1986).
A
L
E
O
M
D
B
C
I J
F
E
D
B
A
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
74
77

Akibat:
Gambar 8. Sudut-Sudut Segiempat
Perhatikan gambar 2 di atas, segiempat
ABCD dapat dibangun dari dua buah
segitiga ABC dan segitiga ACD, sehingga
jumlah sudut-sudut segiempat merupakan
jumlah sudut-sudut segitiga yang
membentuknya. Berdasarkan dalil di atas,
dinyatakan bahwa jumlah besar sudut-
sudut suatu segitiga kurang dari dua sudut
siku-siku. Sehingga jumlah sudut-sudut
segiempat dalam geometri hiperbolik
kurang dari 360
0
.
Segiempat Saccheri pada Geometri
Hiperbolik.
Pada dasarnya geometri hiperbolik
tetap menggunakan 4 postulat Euclid,
hanya berbeda pada postulat ke-5 yaitu
menggunakan aksioma kesejajaran:
melalui suatu titik A dan suatu garis r yang
tidak melalui A ada lebih dari satu garis
melalui A dalam bidang Ar yang tidak
memotong r. Dalam geometri hiperbolik
dikenal sebuah bangun yang dinamakan
segiempat Saccheri. Segiempat Saccheri
adalah segiempat konveks dengan
sepasang sisi sama panjang yang tegak
lurus terhadap sisi alasnya.
Gambar 9. Segiempat Sacceri
Berikut ini akan dibuktikan sifat-sifat
segiempat Saccheri ABCD pada geometri
hiperbolik, dengan AB adalah sisi alas,
AD dan BC adalah sepasang sisi yang
sama panjang dan tegak lurus AB, serta
ADC dan BCD adalah sudut puncak
segiempat Saccheri. Akan dibuktikan
bahwa segiempat Saccheri ABCD
memiliki sifat-sifat sebagai berikut.
1) ADC BCD dan lancip.
2) Sisi CD lebih panjang daripada AB.
3) Panjang segmen yang menghubungkan
titik-titik tengah dari puncak dan alas
kurang dari kaki-kakinya.
Bukti: perhatikan gambar berikut!
A
D
B
C
A
D C
B
75 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
78

Gambar 10. Sifat-Sifat Segiempat Sacceri
Gambar 10 memperlihatkan segiempat
Saccheri dengan titik E adalah titik tengah
AB dan F adalah titik tengah CD, sehingga
AE=EB dan CF=FD. Melalui titik C dan D
dibuat segmen garis yang melalui E,
sehingga terbentuk segmen garis CE dan
DE. Sifat-sifat segiempat Saccheri pada
Geometri Hiperbolik dapat dibuktikan
sebagai berikut.
1) Akan dibuktikan bahwa: ADC
BCD dan lancip
AE=BE (E titik tengah AB)
AD=BC (definisi segiempat Saccheri)
EAD = EBC=90
0
(definisi
segiempat Saccheri)
Sehingga EADEBC (s, sd, s)
Akibatnya ADE=BCE
............................(1)
DF=CF (F titik tengah CD)
CE=DE (karena EADEBC)
EF=EF (berimpit)
Sehingga FDEFCE (s, sd, s)
Akibatnya FCE=FDE
..............................(2)
Dari (1) dan (2) diperoleh:
ADE + FDE = FCE + BCE
Sehingga ADC = BCD.
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa
ADC dan BCD lancip.
Perhatikan gambar berikut!
Gambar 11. Sudut-Sudut Lancip
AD=BC (segiempat Saccheri)
DAM=CBM=90
0
(segiempat
Saccheri)
Akibatnya:
DAM CBM (segitiga asimtotik,
dalil 2 di atas), sehingga ADM =
BCM
ADM + GDM < BCM + GCM
ADC < BCG
Padahal BCD = ADC jadi BCD <
BCG
Karena BCD + BCG < 180
..(1)
dan BCD - BCG < 0
..........................................(2)
Jika (1) dan (2) dijumlahkan akan
diperoleh;
2BCD < 180
A
B
E
C
F D
A
D C
B
G
M
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
76
79

Sehingga BCD = ADC < 90
Dengan demikian maka BCD
ADC lancip, atau sudut-sudut puncak
segiempat Saccheri pada Geometri
Hiperbolik ini adalah kongruen dan
lancip (terbukti).
2) Sisi CD lebih panjang daripada AB.
Akan dibuktikan CD > AB. Perhatikan
kembali gambar 10 di atas!
Misalkan CD=AB, maka FC=EB. Pada
pembuktian sebelumnya telah terbukti
bahwa DEF CEF, oleh karena itu
maka sudut-sudut yang bersesuaian
besarnya sama, sehingga CFE =
DFE. Karena CFE + DFE = 180
dan CFE = DFE, maka CFE =
90. EC merupakan sisi persekutuan
CFE dan EBC, maka CFE
EBC sehingga diperoleh
FEC=BCE, dan FCE = BEC.
Selanjutnya FCE + BEC = BCE +
FCE atau FEB = FCB = 90. Hal
ini bertentangan dengan yang telah
dibuktikan bahwa FCB lancip. Jadi
tidak mungkin FC=EB. Dari gambar
10 dapat dilihat segiempat BCFE
dengan menggunakan kesejajaran dua
garis EBC = BEF = CFE = 90,
dan C lancip, maka FC > EB , atau
CD > AB (terbukti).
3) Panjang segmen yang menghubungkan
titik-titik tengah dari puncak dan alas
kurang dari kaki-kakinya.
Perhatikan kembali gambar 10 di atas!
Selanjutnya akan dibuktikan EF < BC.
Perhatikan EFC dan EBC.
Misalkan EF = AD = BC, EFC =
EBC = 90 (sudah dibuktikan
sebelumnya). EC=EC (berimpit). Maka
EFC EBC (sd, s, s).
Sehingga FCE + BCE = BEC +
CEF atau FEB = FCB = 90. Hal
ini bertentangan dengan pembuktian
yang telah dilakukan sebelumnya
bahwa FCB lancip, sehingga
pemisalan salah. Jadi tidak mungkin
EF=AD=BC. Karena segiempat
Saccheri BCFE pada gambar 10 di atas
menggunakan kesejajaran dua garis
EBC=BEF=CFE= 90, dan
BCD lancip, maka EF < BC dan EF <
AD (terbukti).
B. Geometri Eliptik
Geometri eliptik dikembangkan
oleh Reimann (1826-1866) seorang
matematikawan kebangsaan Jerman. Ia
mulai dengan asumsi bahwa: garis-garis
adalah tidak terbatas, tetapi panjangnya
berhingga. Reimann tidak mengindahkan
postulat kesejajaran baik dari Euclid
maupun Geomteri Hiperbolik. Geometri
Reimann banyak digunakan dalam
matematika dan fisika terapan (Applied
Mathematics and Physics) dan merupakan
dasar matematika dari Teori Relativitas
Einstein.
Postulat Reimann
Tidak ada garis-garis yang sejajar
dengan garis lain.
Berdasarkan pada Postulat di atas, pada
Geometri Eliptik ini dua garis selalu
berpotongan dan tidak ada dua garis
sejajar. Hal ini akan menimbulkan dua
kemungkinan, yaitu:
1. Setiap garis berpotongan pada satu titik
dan tidak ada garis yang memisahkan
suatu bidang. Kemungkinan ini
menghasilkan Geometri Single
Elliptic.
2. Setiap garis berpotongan pada dua titik
dan setiap garis yang memisahkan
suatu bidang. Kemungkinan ini
menghasilkan Geometri Double
Elliptic.
Berikut ini disajikan model Geometri
Double Elliptic adalah sebuah bola dan
Geometri Single Elliptic adalah setengah
bola.
77 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
80
Dua garis berpotongan tepat pada dua titik, dan
setiap garis memisahkan bidang menjadi 2
setengah bidang.
Dua garis yang berpotongan tepat pada
satu titik, tetapi tidak ada garis yang
memisahkan bidang menjadi 2 setengah
bidang. Dua titik yang diametral
dianggap sebagai 1 titik (A=A).
Dalil pada Geometri Eliptik
Dalil 1
Dua garis yang tegak lurus pada suatu garis bertemu pada suatu titik.
Bukti:
Gambar 14. Garis-garis Tegak Lurus
Perhatikan gambar 14 di atas! Andaikan
garis l garis z dan garis m garis z,
dengan garis l dan garis m tidak bertemu
pada suatu titik. Akibatnya, Garis l dan m
sejajar. Maka terjadi kontradiksi dengan
postulat kesejajaran Riemann. Jadi, garis l
dan garis m yang tegak lurus garis z
bertemu pada suatu titik U.
Dalil 2
Semua garis tegak lurus pada suatu garis
berpotongan pada titik yang disebut kutub
dari garis itu dan sebaliknya setiap garis
melalui kutub suatu garis tegak lurus pada
garis itu.
Bukti:
S
U
B
A
B
A
O
A
O
A
U
S
m
l
O
z
Gambar 12. Model Geometri Eliptik Ganda Gambar 13. Model Geometri Eliptik
Tunggal
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
78
81

Gambar 15. Kutub Suatu Garis
(i) Semua garis tegak lurus pada suatu
garis berpotongan pada titik yang
disebut kutub dari garis itu.
Bukti:
Perhatikan gambar 15 di atas!
Misalkan dibuat 2 garis yaitu m
dan l yang dengan garis z.
Berdasarkan dalil 1, garis l dan m
bertemu pada suatu titik misal U.
Titik U terletak di luar garis z.
Melalui Titik U dibuat garis yang
garis z. Maka titik U disebut kutub.
(ii) Setiap garis melalui kutub suatu
garis tegak lurus pada garis itu.
Bukti:
Sebelumnya telah diketahui titik U
merupakan kutub dan garis z di
luar titik U. Berdasarkan sifat
kutub, setiap garis yang
menghubungkan titik U dengan
suatu titik pada z maka garis-garis
tersebut pada z.
Jadi, dari bukti (i) dan (ii) dapat
disimpulkan semua garis tegak
lurus pada suatu garis berpotongan
pada titik yang disebut kutub dari
garis itu dan sebaliknya setiap garis
melalui kutub suatu garis tegak
lurus pada garis itu.
Dalil 3
Jumlah besar sudut-sudut segitiga lebih besar dari 180 .
Bukti:
Pada gambar 16:
90 A , 90 C , B positif . Sehingga 180 C B A
U
S
m
l
O
z
A
C
B
O
l
A
C
B
O
U
S
l
Gambar 16. 90 A , karena
BC = jarak polar
Gambar 17. 90 A , karena
BC > jarak polar
79 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
82

Pada gambar 17:
90 C , A tumpul. Sehingga 180 C B A .
Dalil 4
Jumlah besar sudut-sudut segiempat
lebih besar dari 360 .
Bukti:
Suatu segiempat dapat dibuat dari 2
segitiga. Berdasarkan dalil 3 jumlah
besar sudut-sudut suatu segitiga lebih
besar dari 180 . Maka jelaslah jumlah
besur sudut-sudut dua segitiga lebih
besar dari 360 , dari hal tersebut
diperoleh jumlah besar sudut-sudut
segiempat lebih besar dari 360 .
Segiempat Saccheri pada Geometri Eliptik.
Diberikan segiempat Saccheri
ABCD dengan sisi alas AB dengan
sepasang sisi AD dan BC sama panjang
yang tegak lurus terhadap sisi AB.
Gambar 18. Segiempat Saccheri pada Geometri Eliptik
Dari gambar 18 di atas akan dibuktikan
sifat-sifat segiempat Saccheri pada
Geometri Eliptik sebagai berikut.
1) Sudut-sudut puncak ADC BCD
dan sudutnya tumpul.
2) Panjang sisi puncak CD kurang dari
panjang sisi alas AB.
3) Panjang segmen yang menghubungkan
titik-titik tengah dari puncak dan
alasanya lebih panjang daripada kaki-
kaki segiempat Saccheri tersebut.
Bukti :
1) Sudut-sudut puncak ADC BCD
dan sudutnya tumpul.
(i) Sudutsudut puncak sama
(ADC = BCD).
A
C
D
B
B
A
D
C
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
80
83

Gambar 19. Sifat-Sifat Segiempat Saccheri pada Geometri Eliptik
Perhatikan gambar 19 di atas!
AD=BC dan
90 CBE DAE (definisi
segiempat Saccheri).
Akan ditunjukkan BCD ADC .
Misalkan titik E dan F sebagai titik
tengah AB dan CD sehingga AE=EB,
dan DF=FC. Dibuat garis yang
menghubungkan titik U, F, E dan S
sehingga terbentuk FE. Kemudian buat
garis yang melalui titik D dan E, serta
garis yang melalui titik C dan E
sehingga terbentuk DE dan CE.
Perhatikan ADE dan BCE. Karena
AD=BC, DAE=CBE, dan AE=EB
maka ADE BCE (s, sd, s).
Akibatnya,
ADE=BCE.......................(1)
Selanjutnya, pandang DEF dan
CEF. Karena ADE BCE maka
DE=CE, EF=EF (berimpit), maka
DEF CEF (s, s, s).
Akibatnya,
EDF=ECF........................................
......................... (2)
Dari langkah (1) dan (2) diperoleh:
ADE+EDF=BCE+ECF
Jadi, ADC=BCD (terbukti)
(ii) Sudut puncaknya tumpul

Gambar 20. Segiempat Saccheri pada Geometri Eliptik
Perhatikan gambar 20 di atas! AD=BC
dan 90 CBE DAE (definisi
A
C
D
B
B
A
D
C
B
A
D
C
F
E
U
A
E
B
S
C
F
D
l
81 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
84

segiempat Saccheri). Akan ditunjukkan
ADC=BCD > 90
0
. Berdasarkan
dalil 4 di atas maka:
360 BCD ADC CBA DAB
360 90 90 BCD ADC
360 180 BCD ADC
180 BCD ADC
180 BCD BCD
90 BCD (terbukti).
Jadi, dari bukti (i) dan (ii) dapat
disimpulkan bahwa sudut-sudut
puncak ADC BCD dan sudutnya
tumpul.
2) Panjang sisi puncak CD kurang dari
panjang sisi alas AB.
Bukti:
Perhatikan kembali gambar 19 di atas!
AD=BC dan 90 CBA DAB
(definisi segiempat Saccheri). Akan
ditunjukkan CD < AB.
Misalkan CD=AB dan titik E dan F
sebagai titik tengah AB dan CD,
sehingga AE=EB dan DF=FC. Maka
AE=EB=DF=FC.
Perhatikan ADE dan BCE:
AD=BC, DAE=CBE, AE=EB,
sehingga ADE BCE. Akibatnya
DE=CE.
Perhatikan DEF dan CEF:
DE=CE, DF=FC dan EF=EF. Karena
DEF CEF, maka DFE=CFE,
sehingga DFE+CFE=180
0
(sudut
suplementer). Jadi CFE=90
0
.
Perhatikan CEF dan BCE:
FC=EB, CFE=CBE, dan CE=EC
maka CEF BCE. Akibatnya,
FEC=BCE dan FCE=BEC.
FCE BCE BEC FCE
FCB FEB . Telah dibuktikan
di atas 90 FEB maka
90 FCB .
Hal ini bertentangan dengan yang telah
dibuktikan bahwa FCB tumpul. Jadi
tidak mungkin EB=FC. Dari gambar di
atas perhatikan bahwa segiempat
BCFE dengan menggunakan
kesejajaran dua garis
EBC=BEF=CFE=90, dan BCF
tumpul, maka FC<EB atau CD<AB
(terbukti).
3) Panjang segmen yang menghubungkan
titik-titik tengah dari puncak dan
alasanya lebih panjang daripada kaki-
kaki segiempat Saccheri tersebut.
Bukti:
Perhatikan kembali gambar 19 di atas!
AD=BC dan 90 CBA DAB
(definisi segiempat Saccheri). Akan
ditunjukkan EF>BC.
Misalkan EF=BC dan titik E dan F
sebagai titik tengah AB dan CD,
sehingga AE=EB dan DF=FC. Maka
AE=EB=DF=FC.
Perhatikan ADE dan BCE:
AD=BC, DAE=CBE, AE=EB,
sehingga ADE BCE. Akibatnya
DE=CE.
Perhatikan DEF dan CEF:
DE=CE, DF=FC dan EF=EF. Maka
DEF CEF, akibatnya
DFE=CFE. sehingga
DFE+CFE=180
0
(sudut
suplementer). Jadi CFE=90
0
.
Perhatikan CEF dan BCE:
FC=EB, CFE=CBE, dan CE=EC
maka CEF BCE. Akibatnya,
FEC=BCE dan FCE=BEC.
FCE BCE BEC FCE
FCB FEB . Telah dibuktikan
di atas 90 FEB maka
90 FCB .
Hal ini bertentangan dengan yang telah
dibuktikan bahwa FCB tumpul. Jadi
tidak mungkin EB=FC. Dari gambar di
atas lihat segiempat BCFE dengan
menggunakan kesejajaran dua garis
EBC=BEF=CFE=90, dan BCF
tumpul, maka EF>BC (terbukti).
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian teoretik di atas dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Segiempat Saccheri adalah segiempat
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
82
85
konveks dengan sepasang sisi sama
panjang yang tegaklurus terhadap sisi
alasnya.
2. Segiempat Saccheri pada Geometri
Hiperbolik memiliki sifat-sifat: a)
sudut-sudut puncak kongruen dan
sudutnya lancip, b) panjang sisi
puncaknya lebih panjang daripada
panjang sisi alasnya, dan c) panjang
ruas garis yang menghubungkan titik-
titik tengah dari puncak dan alasanya
lebih pendek dari kaki-kaki segiempat
Saccheri tersebut.
3. Segiempat Saccheri pada Geometri
Eliptik memiliki sifat-sifat: a) sudut-
sudut puncak kongruen dan sudutnya
tumpul, b) panjang sisi puncaknya
kurang dari panjang sisi alasnya, dan c)
panjang ruas garis yang
menghubungkan titik-titik tengah dari
puncak dan alasanya lebih panjang
daripada kaki-kaki segiempat Saccheri
tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Adler, CF. 1967. Modern Geometry. New
York. Mc. Graw Hill Book Company.
Agustina, Ika. 2012. Segiempat Saccheri
dan Segiempat Lambert pada
Geometri Eliptik (Makalah Tidak
Dipublikasikan). Singaraja.
Universitas Pendidikan Ganesha.
Coxeter, HSM. 1967. Intorduction to
Geometry. New York. John Wiley and
Sons, Inc.
Moeharti. 1986. Sistem-Sistem Geometri.
Jakarta. Karunika
Prayoga, T. 2011. Perbandingan
Segiempat Saccheri Pada Geometri
Euclid Dan Geometri Non Euclid
(Skripsi Tidak Dipublikasikan).
Yogyakarta. Universitas Negeri
Yogyakarta
Wisna Ariawan. 2008. Bahan Ajar
Geometri Bidang. Singaraja.
Universitas Pendidikan Ganesha.
83 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
86
PEMETAAN KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL MAHASISWA
SEMESTER VII FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM (FPMIPA) IKIP PGRI BALI TAHUN AKADEMIK 2012/2013
I Nengah Suka Widana dan Ni Wayan Desi Anggreni
Dosen Jurusan/PS. Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
e-mail: ngh_sukawidana@yahoo.co.id
ABSTRACT
Mapping Pedagogical Competence and Professional Competence Students Semester VII Education
Faculty of Mathematics and Natural Sciences (FPMIPA) IKIP PGRI BALI Academic Year 2012-
2013.
This study aims to map the pedagogical competence and professional competence
possessed VII semester student (Department / PS Mathematics Education and Biology
Education) Education Faculty of Mathematics and Natural Sciences (FPMIPA) IKIP PGRI Bali
who have completed the Practice Field Experience program. Type of research is descriptive
qualitative research. The study population is VII semester student Education Faculty of
Mathematics and Natural Sciences (FPMIPA) IKIP PGRI Bali Academic Year 2012-2013,
totaling 276 student subjects, then the sample used to obtain the terms used by 30% of the total
population, in order to obtain a sample of 83 students. Data collected in the form of pedagogic
competence scores and documented professional competence of the acquisition value of Practice
Field Experience program.
Based on the analysis of data obtained by mapping the average score of pedagogical
mastery level was 4.28 and the average score was 4.24 mastery of professional competence.
Obtaining an average score showed that the level of mastery for pedagogical competence and
mastery level of professional competence of VII semester students Education Faculty of
Mathematics and Natural Sciences (FPMIPA) IKIP PGRI Bali Academic Year 2012-2013.
These findings indicate that the VII semester student as a prospective teacher has had an
excellent readiness category , in terms of mastery of pedagogic competence and professional
competence.
Keywords: Competence Pedagogy and Professional Competence
PENDAHULUAN
Di banyak Negara, seperti halnya
Indonesia guru merupakan tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan usia dini melalui
jalur pendidikan formal. Sehubungan
dengan penyediaan guru, telah dikeluarkan
Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, bahwa
untuk penyediaan tenaga guru diberikan
kewenangan kepada Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK), disebutkan
sebagai penyediaan guru berbasis perguruan
tinggi.dalam hal ini, LPTK yang dimaksud
adalah Perguruan Tinggi yang diberi tugas
dan kewenangan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan program pengadaan guru
melalui jalur formal pada pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta untuk menyelenggarakan
dan mengembangkan ilmu kependidikan dan
non kependidikan. IKIP PGRI Bali adalah
salah satu lembaga pendidikan tenaga
kependidikan yang mendidik mahasiswanya
untuk menjadi guru yang profesional dan
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
84
87
memiliki kompetensi (Tim Penyusun, 2005).
Fakta di lapangan bahwa latar belakang
mahasiswa IKIP PGRI Bali sebagaian
berasal dari lulusan SMA dan ada juga
beberapa dari lulusan SMK, tentunya tidak
mendapatkan kompetensi-kompetensi
tersebut. Berbeda halnya dengan lulusan
SPG (Sekolah Pendidikan Guru), dimana
pada SPG siswanya diberikan materi
pelajaran sesuai dengan kebutuhan menjadi
seorang guru, sehingga mereka yang
berlatarbelakang lulusan SPG telah memiliki
kompetensi yang dipersyaratkan menjadi
seorang guru. Prameswara (2008)
menyatakan bahwa usaha untuk
meningkatkan kompetensi guru seperti
tertuang dalam standar nasional pendidikan
harus berkualifikasi Strata 1 tidak ada
artinya jika LPTKnya tidak dipantau secara
apik oleh pemerintah. Usaha ini harus
terintegrasi dengan rekrutmen guru,
pengembangan/pembinaan profesi guru dan
tentunnya penghasilan yang memadahi
sehingga memberi daya tarik bagi para
generasi muda putra terbaik bangsa untuk
bersedia menjadi guru. Ditambah lagi
kebijakan pemerintah yang seringkali tidak
konsisten dalam merancang sistem
pendidikan nasional serta tidak berdasarkan
kajian akademik kependidikan membuat
profesionalisme guru di Indonesia tak
kunjung membaik (Napitupulu, 2013).
Sunaryo Kartadinata Rektor UPI dan
sekaligus Ketua LPTK Indonesia dalam
Napitupulu (2013) menjelaskan, LPTK yang
bagus tentunya menjadikan pembelajaran
aktif menjadi menu sehari-hari kepada
mahasiswa. Belajar aktif tematik integratif
juga bukan hal baru dalam pendidikan,
namun di LPTK hal semacam itu tetap
menjadi kajian dan dipelajari mahasiswa.
Hendarman, Sekretaris Balitbang
Kemendikbud yang juga Peneliti Madya
Bidang Kebijakan Pendidikan dalam
Anonim (2012), pun menilai perlu ada
evaluasi kurikulum pendidikan guru.
Pemerintah perlu merestrukturisasi
kurikulum, yang intinya perlu dilakukan
standarisasi kurikulum LPTK. Anonim
(2013) bahwa penyiapan calon guru di
lembaga pendidikan tenaga kependidikan
perlu diperkuat pemerintah jika
berkomitmen menghasilkan guru
profesional. Karena itu, perlu prioritas
terhadap dukungan bagi lembaga pendidikan
tenaga kependidikan untuk memiliki
pendidik dan sarana prasarana pendidikan
yang tak kalah kualitasnya dari perguruan
tinggi umum. Paparan dan beberapa berita
yang telah dikutip tersebut cukup kuat
mengindikasikan bahwa terdapat
kekhawatiran dan keraguan dialamatkan ke
LPTK khususnya PTS dalam penyediaan
tenaga guru. Tantangan lainnya bagi LPTK-
PTS adalah tudingan miring sering ditujukan
kepadanya dalam penyediaan tenaga guru,
diantaranya ditenggarai ada delapan
perguruan tinggi penyelenggara Lembaga
Pelatihan Tenaga Kependidikan masuk
daftar hitam. Pemerintah mengendus ada
penyimpangan pada proses penyelenggaraan
PLPG serta hasil uji sertifikasi
(Kompas.com., 2013). IKIP PGRI Bali,
merupakan salah satu LPTK-PTS yang ada
di Bali menjadi tertantang untuk senantiasa
melakukan pembenahan terutama dalam
penyelengaraan proses pembelajaran dalam
menghasilkan lulusan (guru) professional.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa input
mahasiswa FPMIPA IKIP PGRI Bali,
umumnya berasal dari lulusan SMA. Sesuai
kurikulum, penanaman kompetensi ini telah
dimulai sejak awal masa perkuliahan,
sehingga diharapkan nantinya akan memiliki
kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional seperti yang dipersyaratkan bagi
lulusannya. Pada struktur kurikulum yang
diberlakukan di FPMIPA, dimana pada
semester VI diwajibkan menempuh mata
kuliah Microteaching dan dilanjutkan pada
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang
dilakukan oleh mahasiswa IKIP PGRI BALI
85 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
88
pada semester VII. Pada saat pelaksanaan
PPL, akan diketahui sejauh mana mahasiswa
menguasai kompetensi pedagogik dan
kompetensi professional.
Berdasarkan paparan tersebut, sangat
menarik untuk dilakukan kajian terhadap
masalah dengan topik pemetaan (mapping)
kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional mahasiswa semester VII
FPMIPA IKIP PGRI Bali Tahun Akademik
2012/1013. Tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk mengetahui gambaran/peta
kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional yang dimiliki mahasiswa
semester VII FPMIPA IKIP PGRI Bali
Tahun Akademik 2012/2013. Penelitian
hanya terbatas pada kompetensi professional
dan pedagogic, karena peneliti berasumsi
bahwa pada tingkat mahasiswa (calon guru),
mereka belum berada pada kondisi
sesungguhnya sebagai guru, sehingga
kompetensi social dan kepribadian tidak
diteliti pada kesempatan ini. Temuan
penelitian diharapkan bermanfaat secara
eksternal yaitu sebagai rekomendasi bagi
pengguna (user) dan secara internal sebagai
acuan pengembangan kurikulum LPTK
dalam rangka penyiapan guru dengan
perolehan kompetensi pedagogik dan
profesional memadai sehingga mampu
menjadi guru yang diharapkan oleh
pengguna.
Guru profesional adalah orang yang
terdidik dan terlatih dengan baik serta
memiliki pengalaman yang kaya di
bidangnya. Suatu pekerjaan profesional
memerlukan persyaratan khusus yakni (1)
menuntut adanya keterampilan berdasarkan
konsep dan teori ilmu pengetahuan yang
mendalam; (2) menekankan pada suatu
keahlian dalam bidang tertentu sesuai
dengan bidang profesinya; (3) menuntut
adanya tingkat pendidikan yang memadai;
(4) adanya kepekaan terhadap dampak
kemasyarakatan dan pekerjaan yang
dilaksanakannya; (5) memungkinkan
perkembangan sejalan dengan dinamika
kehidupan (Ali,1985 dalam Kunandar,
2007). Soedijarto dalam Kunandar (2007)
menyatakan bahwa guru sebagai jabatan
profesional memerlukan pendidikan lanjutan
dan latihan khusus (advanced education and
special training), maka guru sebagai jabatan
profesional, seperti dokter dan lawyer,
memerlukan pendidikan pasca sarjana.
Namun, pasca sarjana bagi jabatan
profesional bukanlah program akademik,
tetapi program profesional yang
mengutamakan praktik. Dalam upaya
memajukan jabatan guru sebagai jabatan
profesional, kita belum sepenuhnya
menganut pendidikan profesional seperti
yang dianut oleh jabatan profesional lainnya
yang lebih tua, seperti dokter. Namun,
dengan adanya direktorat jendral
peningkatan mutu pendidikan dan tenaga
pendidikan yang khusus menangani urusan
mutu pendidikan dan keguruan, peluang
untuk menuju ke arah profesionalitas jabatan
guru dan pengelolaan pendidikan menjadi
semakin terbuka. Anonim dalam Trianto
(2010) bahwa kompetensi pendidik pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah
serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a)
kompetensi pedagogik; (b) kepribadian; (c)
profesional; dan (d) social, bagi dosen selain
keempat kompetensi tersebut, yang
mengajar pada program vokasi dan profesi
harus memiliki kompetensi sesuai dengan
tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan.
Lebih lanjut disebutkan kompetensi
pedagogis merupakan kemampuan guru
dalam pengelolaan pembelajaran peserta
didik yang sekurang-kurangnya meliputi: (a)
Pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan; (b) Pemahaman terhadap
peserta didik; (c) Pengembangan kurikulum
atau silabus; (d) Perancangan pembelajaran;
(e) Pelaksanaan pembelajaran yang
mendidik dan dialogis; (f) Pemanfaatan
teknologi pembelajaran; (g) Evaluasi hasil
belajar; dan (h) Pengembangan peserta didik
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
86
89
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian
sekurang-kurangnya mencakup (a) Beriman
dan bertakwa; (b) Berakhlak mulia; (c) Arif
dan bijaksana; (d) Demokratis; (e) Mantap;
(f) Berwibawa; (g) Stabil; (h) Dewasa; (i)
Jujur; (j) Sportif; (k) Menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (l) Secara
objektif mengevaluasi kinerja sendiri; (m)
Mengembangkan diri secara mandiri dan
berkelanjutan. Kompetensi sosial
merupakan kemampuan guru sebagai bagian
dari masyarakat yang sekurang-kurangnya
meliputi kompetensi untuk: (a)
Berkomunikasi lisan, tertulis, dan atau
isyarat secara santun; (b) Menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secra
fungsional; (c) Beragul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, pimpinan satuan
pendidikan, orang tua atau wali peserta
didik; (d) Bergaul secara santun dengan
masyarakat sekitar dengan mengindahkan
norma serta sistem nilai yang berlaku; dan
(e) Menerapkan prinsip persaudaraan sejati
dan semangat kebersamaan.
Kompetensi profesional merupakan
kemampuan guru dalam menguasai
pengetahuan bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan budaya yang diampunya
sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
(a) Materi pelajaran secara luas dan
mendalam sesuai dengan standar isi program
satuan pendidikan, mata pelajaran, dan atau
kelompok mata pelajaran yang diampu; (b)
Konsep dan metode keilmuan, teknologi,
dan seni yang relevan, yang secara
konseptual menaungi atau koheren dengan
program satuan pendidikan, mata pelajaran,
dan kelompok pelajaran yang diampu.
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
merupakan suatu ajang latihan bagi seorang
mahasiswa yang ingin menjadi seorang guru
untuk mendedikasikan segala ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
yang dimilikinya dalam proses pembelajaran
di sekolah-sekolah tempat mereka mengabdi
(Tim Penyusun, 2012). PPL ini juga
diharapkan mampu menghasilkan seorang
pendidik yang profesional dan memiliki
integritas serta kapabilitas yang tinggi.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah
deskriptif kualitatif, jenis penelitian yang
berusaha mendeskripsikan keberadaan
perolehan kompetensi pedagogic dan
professional mahasiswa. Populasi penelitian
berupa mahasiswa semester VII FPMIPA
IKIP PGRI Bali Tahun Akademik
2012/2013, Jurusan Pendidikan Matematika
dan Pendidikan Biologi dengan jumlah
subjek 276 mahasiswa, yang telah
melakukan PPL. Oleh karena penelitian
bertujuan untuk memetakan perolehan
kompetensi pedagogic dan kompetensi
professional, dimana anggota populasi
tersebut diacak untuk mendapatkan 30%
dari total populasi sehingga diperoleh 83
subjek dijadikan sampel. Data yang
dikumpulkan adalah data kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional
mahasiswa semester VII pada kedua
jurusan/PS yaitu Pendidikan Matematika
dan Pendidikan Biologi, selama tiga bulan
yaitu dari bulan Januari sampai dengan
Maret 2013, menggunakan chek list,
meliputi pengukuran terhadap 2 komponen
yaitu komponen persiapan pembelajaran
(RPP) dengan 21 item chek list; pelaksanaan
praktik mengajar (mengacu pada Buku
Pedoman PPL IKIP PGRI Bali), 39 item.
Pedoman pemberian skor (1=sangat tidak
baik; 2=tidak baik; 3=kurang baik; 4=baik;
5=sangat baik). Untuk pengolongan
perolehan tingkat kompetensi masing-
masing responden digunakan pedoman tabel
1 dan 2. Data yang dimaksud berupa nilai
yang diperoleh setelah menempuh PPL,
berasal dari 2 penilai yaitu Guru Pamong
dan Dosen Pembimbing dengan teknik
87 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
dokumentasi. Data yang telah dikumpulkan
dianalisis dengan statistik deskriptif,
berkenaan dengan mendeskripsikan,
menggambarkan, menjabarkan, atau
menguraikan data (bentuk skor terendah
( ), skor tertinggi ( ), dan skor rata-
rata (mean)) sehingga mudah dipahami
dalam rangka mendapatkan peta kompetensi
pedagogic dan kompetensi professional.
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kompetensi Pedagogik dan Kompetensi Profesional
No Skor Kriteria
1
Mi + 1,5 Sdi
Sangat Baik
2
Mi + 0,5 Sdi < < Mi + 1,5 Sdi
Baik
3
Mi 0,5 Sdi < Mi + 0,5 Sdi
Cukup Baik
4
Mi + 1,5 Sdi < Mi 0,5 Sdi
Kurang Baik
5
Mi 1,5 Sdi
Sangat Kurang Baik
(Nurkancana dan Sunartana dalam Bunita, 2012)
Keterangan
= Skor rata-rata mahasiswa
= Mean ideal
= Standar deviasi ideal
Sehingga penggolongan penguasaan kompetensi pedagogik dan kompetensi professional
disajikan pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Penggolongan Tingkat Kompetensi Pedagogik dan Kompetensi Profesional
No Skor Kriteria
1
4,005
Sangat Baik
2
3,335 < < 4,005
Baik
3
2,665 < 3,335
Cukup Baik
4
1,995 < 2,665
Kurang Baik
5
1,995
Sangat Kurang Baik
(Nurkancana dan Sunartana dalam Bunita, 2012)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 dengan
subjek penelitian berupa seluruh mahasiswa
semester VII yang telah melakukan kegiatan
PPL, sehingga didapatkan data kompetensi
(X
min
),
(X
max
),
1 Mi + 1,5 Sdi Sangat Baik
2 Mi + 0,5 Sdi < < Mi + 1,5 Sdi Baik
3 Mi + 0,5 Sdi < Mi + 0,5 Sdi Cukup Baik
4 Mi + 1,5 Sdi < Mi + 0,5 Sdi Kurang Baik
5 Mi + 1,5 Sdi Sangat Kurang Baik
(Nurkancana dan Sunartana dalam Bunita, 2012)
Keterangan
X = Skor rata-rata mahasiswa
Mi = Mean ideal
Mi = (5+1) = 3
Sdi = Standar deviasi ideal
Sdi = (5-1) = 0,67
_
1
2
1
6
Sehingga penggolongan penguasaan kopetensi pedagorik dan kompetensi professional disajikan
pada tabel 2 berikut
Tabel 2. Penggolongan Tingkat Kompetensi Pedagongik dan Kompetensi Profesional
No Skor Kriteria
1 4,005 Sangat Baik
2 3,335 < < 4,005 Baik
3 2,665 < 3,335 Cukup Baik
4 1,995 < 2,665 Kurang Baik
5 1,995 Sangat Kurang Baik
(Nurkancana dan Sunartana dalam Bunita, 2012)
1

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 dengan
subjek penelitian berupa seluruh mahasiswa
semester VII yang telah melakukan kegiatan
PPL, sehingga didapatkan data kompetensi
pedagogik dan kompetensi professional
(disajikan pada lampiran 1 dan 2). Data
tersebut dianalisis menggunakan statistic
deskriftif kualitatif. Nilai rata-rata (mean)
yang diperoleh untuk kompetensi
pedagogik sebesar 4,28, sedangkan rata-rata
untuk kompetensi professional 4,24.
Konversi skor penguasaan kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional ke
dalam skala yang telah ditetapkan disajikan
sebagi berikut. Kompetensi pedagogik
diukur melalui aspek-aspek meliputi, (1)
merancang pembelajaran; (2) melaksanakan
pembelajaran; dan (3) merancang dan
melaksanakan evaluasi pembelajaran.
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kompetensi Pedagonik dan Kompetensi Profesional
No Skor Kriteria
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
88
91
Kualifikasi data tersebut disajikan pada tabel 3, tabel 4. dan tabel 5 berikut.
Tabel 3. Kualifikasi Kompetensi Pedagogik (Merancang Pembelajaran)
Nilai Frekuensi Persentase Kualifikasi
4,25 5,00 54 65% Sangat Baik
3,50 4,24 27 32,5% Baik
2,75 3,49 2 2,5% Cukup Baik
2,00 2,74 0 0% Kurang Baik
1,00 1,90 0 0% Sangat Kurang Baik
Berdasarkan tabel 3, pada subkompetensi
merancang pembelajaran terdapat 54 orang
mahasiswa (65%) memiliki tingkat
penguasaan sangat baik, 27 (32,5%) baik, 2
(2,5%) cukup baik, dan tidak ada (0%)
memiliki tingkat pengusaan kurang baik dan
sangat kurang baik.
Tabel 4. Kualifikasi Penguasaan Kompetensi Pedagogik (Melaksanakan Pembelajaran)
Nilai Frekuensi Persentase Kualifikasi
4,25 5,00 42 50,6% Sangat Baik
3,50 4,24 38 45,8% Baik
2,75 3,49 3 3,6% Cukup Baik
2,00 2,74 0 0% Kurang Baik
1,00 1,90 0 0% Sangat Kurang Baik
Berdasarkan tabel 4. subkompetensi
melaksanakan pembelajaran terdapat 42
orang mahasiswa (50,6%) memiliki tingkat
penguasaan sangat baik, 38 (45,8%) baik, 3
(3,6%) cukup baik, dan tidak ada (0%) yang
memiliki tingkat pengusaan kurang baik dan
sangat kurang baik.
Tabel 5. Kualifikasi Kompetensi Pedagogik (Merancang dan Melaksanakan Evaluasi
Pembelajaran).
Nilai Frekuensi Persentase Kualifikasi
4,25 5,00 44 53% Sangat Baik
3,50 4,24 34 41% Baik
2,75 3,49 5 6% Cukup Baik
2,00 2,74 0 0% Kurang Baik
1,00 1,90 0 0% Sangat Kurang Baik
Berdasarkan tabel 5. subkompetensi
merancang dan melaksanakan evaluasi
pembelajaran terdapat 44 orang mahasiswa
(53%) yang memiliki tingkat penguasaan
sangat baik, 34 (41%) baik, 5 (6%) cukup
baik, dan tidak ada (0%) yang memiliki
tingkat pengusaan kurang baik dan sangat
kurang baik.
Kualifikasi kompetensi
professional, adapun subkompetensi
professional, dinilai pada aspek-aspek (a)
menguasai substansi keilmuan terkait; (2)
menguasai struktur dan metode keilmuan.
Kualifikasi data tersebut disajikan pada tabel
6, dan 7 berikut.
89 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
92
Tabel 6. Kualifikasi Kompetensi Profesional (Substansi Keilmuan Terkait).
Nilai Frekuensi Persentase Kualifikasi
4,25 5,00 45 54,2% Sangat Baik
3,50 4,24 34 41% Baik
2,75 3,49 3 3,6% Cukup Baik
2,00 2,74 1 1,2% Kurang Baik
1,00 1,90 0 0% Sangat Kurang Baik
Berdasarkan tabel 6, kompetensi profesional
pada subkompetensi substansi keilmuan
terdapat 45 orang mahasiswa (54,2%) yang
memiliki tingkat penguasaan sangat baik, 34
orang mahasiswa (41%) baik, 3 orang
mahasiswa (3,6%) cukup baik, 1 orang
mahasiswa (1,2%) kurang baik dan tidak ada
mahasiswa (0%) yang memiliki tingkat
pengusaan sangat kurang baik.
Tabel 7. Kualifikasi Kompetensi Profesional (Struktur dan Metode Keilmuan)
Nilai Frekuensi Persentase Kualifikasi
4,25 5,00 39 47% Sangat Baik
3,50 4,24 41 49,4% Baik
2,75 3,49 3 3,6% Cukup Baik
2,00 2,74 0 0% Kurang Baik
1,00 1,90 0 0% Sangat Kurang Baik
Berdasarkan tabel 7. kompetensi profesional
subkompetensi struktur dan metode
keilmuan terdapat 39 mahasiswa (47%)
dengan tingkat penguasaan sangat baik, 41
(49,4%) baik, 3 (3,6%) cukup baik, dan
tidak ada (0%) berkategori kurang baik
maupun sangat kurang baik. Dari uraian
tersebut diperoleh rekapitulasi hasil analisis
data, disajikan pada tabel 8 berikut.
Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Analisis Data
No. Kategori
Ketercapaian
Kompetensi Pedagogik Kompetensi Profesional
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
1 Sangat Baik 48 57,8% 50 60,3%
2 Baik 32 38,6% 29 34,9%
3 Cukup Baik 3 3,6% 4 4,8%
4 Kurang Baik 0 0% 0 0%
5 Sangat Kurang Baik 0 0% 0 0%
Berdasarkan Tabel 8, terdapat 48 (57,8%)
mahasiswa berkategori sangat baik, 32
(38,6%) baik, 3 (3,6%) cukup baik dan tidak
ada (0%) kurang baik maupun sangat kurang
baik untuk penguasaan kompetensi
pedagogik. Kompetensi professional
terdapat 50 (60,3%) mahasiswa pada
kategori sangat baik, 29 (34,9%) baik, 4
(4,8%) cukup baik, dan tidak ada (0%)
mahasiswa yang memperoleh nilai kurang
baik maupun sangat kurang baik.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
90
93
Pembahasan
Berdasarkan tabel 3, pada
kompetensi pedagogic, untuk subkompetensi
merancang pembelajaran terdapat 65%
mahasiswa berkategori sangat baik dan tidak
ada mahasiswa (0%) pada kategori sangat
kurang baik. Hal ini menunjukkan sebagian
besar mahasiswa semester VII telah
menguasai kompetensi pedagogik
khususnya pada subkompetensi merancang
pembelajaran. Hal ini tercapai karena pada
kurikulum yang diberlakukan di FPMIPA
IKIP PGRI Bali terdapat Mata Kuliah
Keilmuan Dan Keterampilan (MKK) yaitu
mata kuliah Pengantar Pendidikan dan
Perkembangan Peserta Didik (Tim
Penyusun, 2005), serta terdapat mata kuliah
prilaku berkarya (MPB) yaitu Telaahan
Kurikulum SMA dan Microteaching. Pada
mata kuliah Perkembangan Peserta Didik
mahasiswa diajarkan bagaimana cara
mengetahui tingkat perkembangan yang
telah dialami oleh peserta didik, sehingga
sangat diperlukan untuk memilih metode
pembelajaran yang sesuai. Pada mata kuliah
Telaahan Kurikulum SMA mahasiswa diberi
gambaran mengenai sejarah kurikulum dan
kurikulum yang berlaku saat ini, serta diberi
pembekalan teoretis mengenai cara
penyusunan RPP. Microteaching adalah
adalah suatu tindakan atau kegiatan latihan
belajar-mengajar dalam situasi laboratoris
(Sardirman, 2009). Pada mata kuliah ini
mahasiswa dilatih untuk dapat menyusun
RPP sendiri berdasarkan kurikulum serta
silabus yang ada. Sehingga pada saat Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa
tidak mengalami kesulitan yang signifikan
dalam merancang pembelajaran.
Berdasarkan tabel 4, sehubungan dengan
kompetensi pedagogic, pada subkompetensi
melaksanakan pembelajaran terdapat lebih
dari 50% mahasiswa berkategori sangat baik
dan tidak ada mahasiswa (0%) yang
mendapatkan nilai sangat kurang baik. Hal
ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa
semester VII telah menguasai kompetensi
pedagogik khususnya pada subkompetensi
melaksanakan pembelajaran. Pada mata
kuliah Strategi Belajar Mengajar mahasiswa
diberi pembekalan mengenai strategi-
strategi serta metode-metode yang dapat
digunakan dalam proses pembelajaran, yang
sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik. Pada mata kuliah Microteaching
mahasiswa dilatih untuk mengajar di kelas
(peer-teaching), mulai dari merencanakan
pembelajaran hingga melaksanakan evaluasi
proses hasil belajar. Berdasarkan tabel 5,
sehubungan dengan penguasaan kompetensi
pedagogic, pada subkompetensi merancang
dan melaksanakan evaluasi pembelajaran
terdapat 53% mahasiswa berkategori sangat
baik dan tidak ada mahasiswa (0%) kategori
sangat kurang baik. Hal ini menunjukkan
sebagian besar mahasiswa telah menguasai
kompetensi pedagogik khususnya pada
subkompetensi merancang dan
melaksanakan evaluasi pembelajaran. Hal
ini tercapai tentunya karena terdapat Mata
Kuliah Prilaku Berkarya (MPB) yaitu mata
kuliah Evaluasi Proses dan Hasil Belajar
(Tim Penyusun, 2005). Pada mata kuliah ini
mahasiswa diajarkan bagaimana cara
menilai serta mengolah nilai mentah yang
diperoleh peserta didik menjadi nilai yang
sesungguhnya. Nilai yang diperoleh
nantinya merupakan hasil dari proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Berdasarkan tabel 6, sehubungan
kompetensi professional, subkompetensi
menguasai substansi keilmuan terkait,
terdapat lebih dari 54% mahasiswa dengan
kategori sangat baik dan tidak ada
mahasiswa (0%) dengan kategori sangat
kurang baik. Hal ini menunjukkan sebagian
besar mahasiswa telah menguasai
kompetensi profesional khususnya pada
subkompetensi menguasai substansi
keilmuan terkait. Ketercapaian nilai tersebut
karena terdapat Mata Kuliah Prilaku
Berkarya (MPB) yaitu mata kuliah Biologi
91 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
94
Sel, Zoologi Vertebrata, Mikrobiologi,
Fisiologi Tumbuhan, Perkembangan Hewan,
Botani Tumbuhan Rendah, Botani
Tumbuhan Tingggi, Struktur Hewan,
Fisiologi Hewan, Anatomi dan Fisiologi
Tubuh Manusia, Gizi dan Kesehatan,
Ekologi Hewan, Ekologi Tumbuhan dan
Evolusi (Tim Penyusun, 2005), keseluruhan
mata kuliah merupakan pengembangan mata
pelajaran yang telah diperoleh pada jenjang
pendidikan sebelumnya, pada mata
kelompok mata kuliah ini pengetahuan
mahasiswa mengenai makhluk hidup akan
diperdalam, khususnya dalam bidang-bidang
tertentu. Berdasarkan tabel 7, pada
penguasaan kompetensi profesional
khususnya pada subkompetensi menguasai
struktur dan metode keilmuan terdapat lebih
dari 49% mahasiswa berkaregori baik dan
tidak ada mahasiswa (0%) yang
mendapatkan nilai sangat kurang baik. Hal
ini menunjukkan sebagian besar mahasiswa
telah menguasai kompetensi profesional
khususnya pada subkompetensi menguasai
struktur dan metode keilmuan. Ketercapaian
nilai tersebut karena terdapat Mata Kuliah
Keilmuan Dan Keterampilan (MKK) yaitu
mata kuliah Profesi kependidikan (Tim
Penyusun, 2005). Pada mata kuliah ini
mahasiswa dibekali pengetahuan bahwa
menjadi guru adalah sebuah profesi yang
harus dijalani dengan profesional. Dalam
mata kuliah ini juga diajarkan bahwa guru
yang profesional adalah guru yang
menguasai kompetensi-kompetensi sebagai
seorang guru diantaranya kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi
profesional (Danim, 2010). Berdasarkan
Tabel 8, terdapat 48 (57,8%) mahasiswa
dengan kategori sangat baik untuk
penguasaan kompetensi pedagogik, dan 50
(60,3%) mahasiswa dengan kategori sangat
baik untuk kompetensi profesional. Hal ini
menunjukkan penguasaan kompetensi
pedagogik maupun kompetensi profesional
mahasiswa sangat baik, terbukti dengan
lebih dari 50% mahasiswa berkategori
sangat baik untuk penguasaan kedua
kompetensi tersebut. Adapun faktor
penyebab perolehan mahasiswa semester
VII FPMIPA dengan kategori sangat baik
untuk kompetensi pedagogic dan
kompetensi professional, karena terdapat
Mata Kuliah Prilaku Berkarya (MKB) dan
Kuliah Keilmuan Dan Keterampilan
(MKK), serta pemberian pembekalan berupa
seminar sebelum Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL) dilaksanakan. Dalam
seminar ini mahasiswa dibekali berbagai
cara mengajar, etika, serta sopan santun
dalam mengajar serta tata cara berprilaku di
lingkungan sekolah. Pada saat diadakannya
seminar mahasiswa juga dibekali dengan
buku panduan mengenai tata cara
pelaksanaan PPL serta tata cara penulisan
laporan PPL. Berdasarkan hasil penelitian
dan hasil analisis data tentang tingkat
penguasaan kompetensi pedagogik dan
kompetensi profesional mahasiswa semester
VII FPMIPA IKIP PGRI Bali tahun
akademik 2012/2013 diperoleh skor rata-rata
(mean) 4,28 untuk tingkat penguasaan
kompetensi pedagogik dan 4,24 untuk
tingkat penguasaan kompetensi profesional.
Ketercapaian tersebut menunjukkan bahwa
tingkat penguasaan kompetensi pedagogik
dan kompetensi profesional mahasiswa
berada pada kategori sangat baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis data, diperoleh
simpulan bahwa pada mahasiswa semester
VII jurusan/PS Pend. Matematika dan Pend.
Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali tahun
akademik 2012/2013, perolehan kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional pada
kategori sangat baik. Hal ini ditunjukkan
dengan skor yang rata-rata yang diperoleh
yaitu 4,28 untuk tingkat penguasaan
kompetensi pedagogik dan 4,24 untuk
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
92
95
tingkat penguasaan kompetensi professional.
Secara rinci dapat disimak pada table 8.
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut, maka
dapat disarankan dan direkomendasikan
kepada calon pengguna lulusan bahwa
mahasiswa semester VII (calon guru) yang
berasal dari FPMIPA IKIP PGRI Bali telah
memiliki kompetensi pedagogic dan
kompetensi prodesional dengan kualifikasi
sangat baik. Selain itu bagi calon guru
(mahasiswa semester VII) disarankan
senantiasa meningkatkan perolehan
kompetensi guru lainnya yaitu Kompetensi
social dan kepribadian yang belum sempat
diteliti pada kesempatan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2013. PERGURUAN TINGGI
(Delapan LPTK Masuk "Daftar Hitam")
diunggah pada Selasa, 8 Januari
2013 | 02:20 WIB. Sumber:
Kompas.com
Anonim, 2013. Penguatan LPTK Perlu
Dukungan Pemerintah, Tribun
Medan - Sabtu, 19 Januari 2013
08:46 WIB Sumber:
http://medan.tribunnews.com/2013/
01/19/penguatan-lptk-perlu-
dukungan-pemerintah
Anonim, 2012. KOMPETENSI GURU
(Kurikulum Pendidikan Guru Perlu
Dievaluasi) Rabu, 11 Juli 2012,
Sumber:
file:///E:/Kurikulum.Pendidikan.Gu
ru.Perlu.Dievaluasi.htm
Dikunjungi: 21-02-2013. Pukul:
13.00 wita.
Bunita, Sri. 2012. Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe
Numbered Heads Together (NHT)
Dalam Upaya Meningkatkan
Prestasi Belajar IPA Peserta Didik
Kelas VII Semester Genap SMP
Saraswati Sukawati Tahun Pelajaran
2011/2013. Skripsi (Tidak
diterbitkan). IKIP PGRI Bali
Denpasar.
Danim, Sudarmawan. 2010. Profesionalisai
dan Etika Profesi Guru. Bandung:
Alfabeta.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta:
Rajawali Pers.
Mahmuddin.(tanpa tahun). Kompetensi
Pedagogik Guru Indonesia.
Sumber:
http://mahmuddin.wordpress.com/2
008/03/19/kompetensi-pedagogik-
guru-indonesia/, diakses pada
tanggal 12 Oktober 2012
Napitupulu, E. L. 2013. Lembaga
Pendidikan LPTK Perlu
Distandarkan. Diunggah Jumat,
18-1-2013, Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/20
13/01/18/18525980/LPTK.Perlu.Di
standarkan, Dikunjungi pada: 21-2-
2013 jam: 12.55.
Sadulloh, Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu
Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Sardirman. 2009. Pengertian Microteaching.
Sumber: http://weblog-
pendidikan.blogspot.com/2009/08/pe
ngertian-micro-teaching.html.
diakses pada tanggal 17 Mei 2013
Siregar, Syofian. 2011. Statistika Deskriptif
untuk Penelitian dilengkapi
Perhitungan Manual dan Aplikasi
SPSS Versi 17. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Slameto. 2011. Pengembangan Kompetensi
Pedagogik. Sumber:
http://cerpenik.blogspot.com/2011/1
1/pengembangan-kompetensi-
pedagogik-dan.html, diakses pada
tanggal 12 Oktober 2012
Suarta, dkk. 2012. Buku Panduan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL).
Denpasar: IKIP PGRI Bali.
93 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
96
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan
R&D.Bandung: Alfabeta.
Tim Penyusun. 2005. Pedoman Akademik
IKIP PGRI Bali.Denpasar: IKIP
PGRI Bali.
Trianto. 2009. Pengantar Penelitian
Pendidikan Bagi Pengembangan
Profesi Pendidikan Dan Tenaga
Kependidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Prameswara, H. T. 2008. Topik: LPTK di
Indonesia, diunggah Tanggal: 4
Nopember 2008, sumber: Sumber:
http://re-
searchengines.com/hanindito1108.h
tml Diakses: 21 Pebruari 2013 jam:
12.42.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Tabel Penguasaan kompetensi Pedagogik
No Kode
Subjek
Skor

X
Merancang
pembelajaran
Melaksanakan
Pembelajaran
Merancang dan
melaksanakan evaluasi
pembelajaran
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 X1 4,52 4,23 4,00 4.25
2 X2 4,09 4,36 4,00 4.15
3 X3 4,00 4,15 4,00 4.05
4 X4 4,48 4,08 4,00 4.19
5 X5 4,20 3,60 4,00 3.93
6 X6 4,20 4,20 5,00 4.47
7 X7 4,20 4,20 4,00 4.13
8 X8 4,52 4,23 4,33 4.36
9 X9 4,10 4,30 5,00 4.47
10 X10 4,50 4,20 4,33 4.34
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
11 X11 4,57 4,59 4,67 4.61
12 X12 4,60 4,40 4,33 4.44
13 X13 4,71 4,38 4,67 4.59
14 X14 4,57 4,59 4,67 4.61
15 X15 4,57 4,59 4,67 4.61
16 X16 4,61 4,61 5,00 4.74
17 X17 4,57 4,59 4,67 4.61
18 X18 3,62 3,59 3,00 3.40
19 X19 4,33 4,54 4,00 4.29
20 X20 3,71 3,77 3,33 3.60
21 X21 3,90 3,56 4,00 3.82
22 X22 4,61 4,43 4,67 4.57
23 X23 4,76 4,69 5,00 4.82
24 X24 4,33 4,74 4,00 4.36
25 X25 4,42 4,79 4,00 4.40
26 X26 4,52 4,33 3,67 4.17
27 X27 4,38 4,76 4,00 4.38
_
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
94
97
28 X28 4,52 4,33 3,67 4.17
29 X29 4,09 4,10 4,33 4.17
30 X30 3,80 3,87 4,00 3.89
31 X31 3,80 3,87 4,00 3.89
32 X32 3,80 3,87 4,00 3.89
33 X33 3,80 3,87 4,00 3.89
34 X34 4,00 4,02 4,00 4.01
35 X35 3,90 3,69 3,67 3.75
36 X36 4,04 3,94 4,33 4.10
37 X37 4,04 3,97 3,67 3.89
38 X38 4,81 4,62 4,67 4.70
39 X39 4,71 4,67 4,67 4.68
40 X40 4,00 4,00 4,33 4.11
41 X41 4,04 3,92 4,00 3.99
42 X42 4,86 4,67 4,67 4.73
43 X43 4,67 4,67 4,67 4.67
44 X44 4,80 4,49 4,33 4.54
45 X45 4,80 4,75 5,00 4.85
46 X46 4,80 4,70 4,67 4.72
47 X47 4,80 4,49 4,33 4.54
48 X48 4,67 4,23 4,67 4.52
49 X49 4,71 4,25 4,00 4.32
50 X50 4,76 4,46 4,33 4.52
51 X51 4,47 4,12 4,67 4.42
52 X52 4,10 3,90 4,00 4,00
53 X53 4,28 4,33 4,67 4.43
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
54 X54 4,71 4,10 4,67 4.49
55 X55 4,43 4,26 4,67 4.45
56 X56 4,38 4,23 5,00 4.53
57 X57 4,38 4,23 5,00 4.57
58 X58 4,42 4,23 5,00 4.55
59 X59 4,40 4,30 4,33 4.34
60 X60 4,24 4,67 5,00 4.64
61 X61 4,52 4,38 4,33 4.41
62 X62 4,52 4,48 4,33 4.44
63 X63 4,29 4,26 4,00 4.18
64 X64 3,62 3,82 4,00 3.81
65 X65 4,86 4,58 4,00 4.48
66 X66 3,81 3,44 3,67 3.64
67 X67 4,42 4,05 4,00 4.16
68 X68 4,52 4,18 4,00 4.23
69 X69 4,70 4,40 5,00 4.70
70 X70 4,62 4,76 5,00 4.79
71 X71 4,52 4,70 5,00 4.74
72 X72 3,00 3,00 3,00 3,00
73 X73 3,00 3,00 3,00 3,00
74 X74 4,23 3,89 4,00 4.04
75 X75 4,38 3,94 4,00 4.11
76 X76 5,00 4,62 4,67 4.76
95 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
98
77 X77 5,00 4,59 4,67 4.75
78 X78 3,71 3,95 3,33 3.66
79 X79 4,90 4,67 5,00 4.86
80 X80 4,80 4,50 4,67 4.66
81 X81 4,19 3,87 4,00 4.02
82 X82 4,52 3,87 3,67 4.02
83 X83 4,52 4,00 4,00 4.17
Jumlah 1067,91
Mean Total 4,28
Modus 4,00
X
max
5,00
X
min
3,00


LAMPIRAN 2. Tabel Penguasaan kompetensi Profesional
No Kode
Subjek
Skor
X
Menguasai subtansi
keilmuan terkait
Menguasai struktur dan metode
keilmuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 X1 4,50 4,20 4,35
2 X2 4,50 4,40 4,45
3 X3 4,50 4,00 4,25
4 X4 4,00 4,20 4,10
5 X5 4,17 3,60 3,88
6 X6 4,67 4,20 4,44
7 X7 5,00 4,00 4,50
8 X8 4,17 4,20 4,19
9 X9 5,00 4,00 4,50
10 X10 4,33 4,40 4,37
11 X11 4,83 4,40 4,62
12 X12 4,67 4,60 4,64
13 X13 5,00 4,40 4,70
14 X14 4,67 4,40 4,54
15 X15 4,67 4,40 4,54
16 X16 4,33 4,60 4,47
17 X17 4,67 4,40 4,54
18 X18 3,80 3,60 3,70
19 X19 4,50 4,60 4,55
20 X20 3,83 3,80 3,82
21 X21 2,50 3,60 3,05
22 X22 4,33 4,60 4,47
23 X23 4,50 4,80 4,65
24 X24 4,50 4,00 4,25
25 X25 4,67 4,00 4,34
26 X26 4,50 4,60 4,55
27 X27 4,67 4,00 4,34
28 X28 4,50 4,60 4,55
29 X29 4,00 4,00 4,00
30 X30 4,17 4,00 4,09
31 X31 4,00 4,20 4,10
32 X32 4,17 4,20 4,19
_
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
96
99
33 X33 4,00 4,00 4,00
34 X34 4,00 4,00 4,00
35 X35 3,50 3,80 3,65
36 X36 3,83 3,80 3,82
37 X37 3,83 3,80 3,82
(1) (2) (3) (4) (5)
38 X38 4,50 4,60 4,55
39 X39 4,33 4,80 4,57
40 X40 3,83 3,80 3,82
41 X41 3,83 3,80 3,82
42 X42 4,67 4,40 4,54
43 X43 4,67 4,80 4,74
44 X44 4,83 4,20 4,52
45 X45 4,67 4,60 4,64
46 X46 4,67 4,60 4,64
47 X47 4,83 4,20 4,52
48 X48 4,50 4,20 4,35
49 X49 4,50 4,20 4,35
50 X50 4,67 4,60 4,64
51 X51 4,00 4,60 4,30
52 X52 3,83 4,00 3,92
53 X53 4,67 4,60 4,64
54 X54 4,17 4,60 4,39
55 X55 4,00 4,40 4,20
56 X56 3,83 4,40 4,12
57 X57 3,83 4,40 4,12
58 X58 3,67 4,00 3,84
59 X59 4,16 4,40 4,28
60 X60 4,50 4,80 4,65
61 X61 4,50 4,40 4,45
62 X62 4,50 4,20 4,35
63 X63 4,50 4,00 4,25
64 X64 3,83 3,60 3,72
65 X65 4,67 4,60 4,64
66 X66 3,33 3,40 3,37
67 X67 4,00 3,80 3,90
68 X68 4,83 4,40 4,62
69 X69 4,83 4,40 4,62
70 X70 4,67 4,80 4,74
71 X71 4,83 4,80 4,82
72 X72 3,00 3,00 3,00
73 X73 3,00 3,00 3,00
74 X74 3,83 3,80 3,82
75 X75 4,00 4,00 4,00
76 X76 4,83 4,60 4,72
77 X77 4,00 4,60 4,30
78 X78 4,00 4,00 4,00
79 X79 4,67 4,60 4,63
80 X80 4,00 4,60 4,30
(1) (2) (3) (4) (5)
97 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
81 X81 4,17 3,80 3,99
82 X82 3,83 4,00 3,92
83 X83 3,83 4,00 3,92
Jumlah 704,09
Mean Total 4,24
Modus 4,00
X
max
5,00
X
min
2,50
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
98
Jurnal EMASAINS Volume I, Nomor 1, September Tahun 2012 ISSN 23022124 101
PEDOMAN BAGI PENULIS JURNAL EMASAINS
1. Memuat naskah ilmiah bidang Edukasi Matematika dan Sains dengan kajian masalah pendidikan
matematika, sains dan lingkungan hidup.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia baku sesuai ejaan yang disempurnakan dan atau bahasa
inggris baku.
3. Tulisan dari hasil penelitian, kajian teoretis dan aplikasi teori. Naskah harus asli (belum pernah
dipublikasikan) dan ditulis oleh peneliti maupun tim peneliti menggunakan bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris. Naskah ilmiah yang telah diseminarkan dalam pertemuan ilmiah nasional dan
internasional, hendaknya disertai dengan catatan kaki.
4. Naskah dicetak pada kertas ukuran A4, diketik dengan spasi ganda menggunakan program olah
kata word for windows, huruf times new roman ukuran 12.
5. Tatacara penulisan hasil penelitian hendaknya disusun menurut urutan berikut: Judul, Identitas
penulis, Abstrak, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan saran,
Ucapan Terimakasih, dan Daftar Rujukan. Upayakan naskah dicetak hitam-putih, dan
keseluruhan naskah tidak lebih dari 15-20 halaman.
6. Judul : Singkat dan jelas (tidak lebih dari 14 kata), ditulis dengan huruf Kapital.
7. Identitas Penulis: Nama ditulis lengkap (tidak disingkat) tanpa gelar. Bila alamat instansi
penulis berbeda, maka di belakang setiap nama diberi indeks atas angka arab. Alamat penulis
ditulis di bawah nama penulis, mencakup laboratorium, lembaga, dan alamat lengkap dengan
nomor telpon/faksimili dan e-mail. Indeks tambahan diberikan pada penulis yang dapat diajak
berkorespondensi (corresponding author).
8. Abstrak: Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bila naskah berbahasa Indonesia,
begitu pula sebaliknya. Abstrak dilengkapi kata kunci (key words) yang diurut berdasarkan
kepentingannya. Abstrak memuat ringkasan naskah, mencakup seluruh tulisan tanpa mencoba
merinci setiap bagiannya. Hindari menggunakan singkatan. Hanya abstrak berbahasa Inggris
yang akan dimuat.
9. Pendahuluan: Memuat tentang ruang lingkup, latar belakang tujuan dan manfaat penelitian.
Bagian ini hendaknya memaparkan latar belakang agar pembaca dapat memahami dan menilai
hasil penelitian tanpa membaca laporan-laporan sebelumnya yang berkaitan dengan topik.
Manfaatkanlah pustaka yang dapat mendukung pembahasan.
10. Metode Penelitian: Hendaknya diuraikan secara rinci dan jelas mengenai bahan yang digunakan
dan cara kerja yang dilaksanakan, termasuk metode statistika. Cara kerja yang disampaikan
hendaknya memuat informasi yang memadai sehingga memungkinkan penelititan tersebut dapat
diulang dengan berhasil.
11. Hasil dan Pembahasan: Disajikan secara bersama dan membahas dengan jelas hasil-hasil
penelitian. Dapat disajikan dalam bentuk tertulis di dalam naskah, tabel, atau gambar. Kurangi
penggunaan grafik jika hal tersebut dapat dijelaskan dalam naskah. Batasi pemakaian foto,
sajikan foto yang jelas menggambarkan hasil yang diperoleh. Gambar dan tabel harus diberi
nomor dan dikutip dalam naskah. Foto dapat dikirim dengan ukuran 4R. Biaya pemuatan foto
berwarna akan dibebankan kepada penulis. Grafik hasil pengolahan data dikirim dalam file yang
terpisah dari file naskah ilmiah dan disertai nama program dan data dasar penyusunan grafik.
Pembahasan yang disajikan hendaknya memuat tafsir atas hasil yang diperoleh dan bahasan
99 Jurnal EMASAINS Volume Il, Nomor 3, September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
Jurnal EMASAINS Volume I, Nomor 1, September Tahun 2012 ISSN 23022124 102
yang berkaitan dengan laporan-laporan penelitian sebelumnya. Akan lebih baik jika rujukan yang
digunakan berasal dari Jurnal. Hindari mengulang pernyataan yang telah disampaikan pada
metode, hasil dan informasi lain yang telah disajikan pada pendahuluan.
12. Simpulan dan Saran : Disajikan secara terpisah dari hasil dan pembahasan.
13. Ucapan terima kasih : Dapat disajikan bila dipandang perlu. Ditujukan kepada yang mendanai
penelitian dan untuk memberikan penghargaan kepada lembaga maupun perseorangan yang telah
membantu penelitian atau proses penulisan ilmiah.
14. Daftar Rujukan: Disusun secara alfabetis menurut nama dan tahun terbit. Singkatan
majalah/jurnal bedasarkan tata cara yang dipakai oleh masing-masing jurnal, daftar rujukan
jurnal/majalah ilmiah (10 tahun terkahir) sedikitnya 60% dan text books 40%. Contoh penulisan
daftar rujukan:
Jurnal/Majalah : Nama, tahun, judul artikel, nama jurnal, Vol. Nomor, halaman, Tahun.
Contoh: Yoger, R.E., Tamir, Pinchas, 1993 STS Aproach: Reasons, Intention, Accomplisment, and
Outcomes. Journal Science Education Vol. 77(6), 11-17
Buku: nama pengarang, tahun terbit,judul, edisi, nama dan tempat penerbit.
Contoh: Holman, J. 1986, Science-Technology In Society, General Guide, The Associationfor
Science Education.
Makalah Seminar: Nama, Tahun, Judul Makalah, Thema Seminar, Tanggal Pelaksanaan, Tempat.
Contoh: Arinasa, I.B.K. 1998. Kontribusi Kebun Raya Eka Karya Bali dalam Melestarikan Flora
Langka yang ada di Bali Beserta Permaslahannya. Makalah Seminar Hari Puspa dan Satwa Nasional,
Tanggal 5 Nopember 1998 di STKIP Singaraja.
Prosiding: Nama pengarang, tahun, judul, nama Prosiding, tanggal, halaman
Contoh: Muzzarelli R. 1990. Chitin and chitoson : Unique cationic polysaccharides, In: Procceding
Symposium Toward Carbohydrate Based Chemistry. Amies,France,23-26 Oct 1989. Pp 199-231
Tesis/disertasi: nama pengarang, tahun, judul thesis/desertasi, nama universitas/Perguruan Tinggi.
Contoh: Said S. 2003. Studies on fertilization of rat oocytes by intracytoplasmic sperm injection.
(Disertation). Okayama: Okayama University.
Internet: Nama Pengarang, tahun, judul artikel, sumber, tanggal diunduh.
Contoh: Okezone, 2008. Dampak Buruk Emisi Kendaraan. Diperoleh dari URL:
http;//antos.okezone.com/index/Read story/2008/01/25/87/78078/dampak;buruk;e-. Diunduh tanggal
15 Pebruari 2008.
15. Naskah dari artikel ulas balik (review), dan laporan kasus sesuai dengan aturan yang lazim.
16. Pengiriman naskah dapat dilakukan setiap saat dalam bentuk cetakan (print out) sebanyak 2
eksemplar dan 1 soft copy kepada Redaksi Jurnal Emasains Jln Akasia Desa Sumerta No 16
Denpasar Timur
17. Naskah yang dikirim harus disertai surat dari penulis. Surat harus dengan jelas menyatakan,
alamat lengkap, nomor telpon dan faksimili, dan alamat email. Penulis korespondensi
bertanggungjawab terhadap keaslian penelitian dan isi naskah. Untuk mempercepat proses
penelaahan tulisan tersebut, penulis sebaiknya menyodorkan sedikitnya tiga penelaah
(reviewer) yang tidak bekerja dalam satu lembaga atau satu lab. Sertakan pula alamat penelaah
yang direkomendasikan.
Jurnal EMASAINS Volume lI, Nomor 3 September Tahun 2013 ISSN 2302-2124
100
Jurnal EMASAINS Volume I, Nomor 1, September Tahun 2012 ISSN 23022124 103
18. Terhadap naskah/makalah yang dikirim, redaksi berhak untuk: memuat naskah/makalah tanpa
perbaikan, memuat naskah/makalah dengan perbaikan, dan menolak naskah/makalah. Semua
keputusan redaksi tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat untuk
keperluan itu.
19. Biaya cetak: Makalah yang telah dimuat dikenai biaya penerbitan dan pengiriman. Biaya cetak
dibebankan kepada penulis pertama (coreponding author), sebesar 150.000 rupiah bagi anggota
dan 200.000 rupiah bagi bukan anggota.
20. Penulis/pelanggan dapat mengirimkan biaya pemuatan-naskah atau langganan lewat transfer
bank BNI Cabang Denpasar atas nama Dra Ni Nyoman Parmithi, MM, rekening No. 0557-01-
000051-53-9.

You might also like