You are on page 1of 20

KAMPUNG KOTA DAN KOTA KAMPUNG: TANTANGAN PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA., Ph.D.

KAMPUNG KOTA DAN KOTA KAMPUNG: TANTANGAN PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 28 Oktober 2010 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA., Ph.D.

3 KAMPUNG KOTA DAN KOTA KAMPUNG: TANTANGAN PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

1. Indonesia yang Kampungisasi?

Semakin

Meng-kota:

Urbanisasi

atau

Pelan, tapi pasti, dunia telah semakin meng-kota. Sejak tahun 2007, lebih dari separuh penduduk dunia yang saat ini mencapai 6,2 milyar telah tinggal di perkotaan. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2020 mendatang, sekitar 60% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan. Percepatan urbanisasi ini, khususnya, akan terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, urbanisasi dan perkembangan kota semakin tidak terelakkan. Tahun 2010 ini ditandai sebagai momen penting dimana Indonesia sudah menjadi negara yang semakin meng-kota, karena lebih dari 50% penduduknya tinggal di perkotaan. Ini berarti lebih dari 120 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya tergantung di lingkungan kota. Diproyeksikan, bahwa pada tahun 2025 nanti, sekitar 68% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Dari sisi ekonomi, perkotaan di Indonesia menyumbangkan Produk Domestik Bruto sebesar 61,1% pada tahun 1980 an dan meningkat menjadi 78,1% pada tahun 2008 (BPS, 2009). Data di atas menggambarkan kehidupan dan lingkungan perkotaan akan menjadi keniscayaan bagi kita di masa depan. Lingkungan dan kehidupan perkotaan akan semakin menjadi tumpuan perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia. Upayaupaya nyata harus segera dilakukan untuk menangkap peluang urbanisasi dan perkembangan kota, sekaligus memberikan arah agar urbanisasi dan perkembangan kota dapat lebih memberikan makna yang baik bagi masa depan kehidupan manusia. Pada saat yang sama, perkembangan lingkungan dan kehidupan kota di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Secara fisik, perkembangan kota ditandai dengan urban sprawl. Tidak saja urban sprawl telah memicu konversi tanah-tanah pertanian dan resapan air, namun juga semakin memicu spekulasi tanah, meningkatkan jumlah tanah terlantar, inefisiensi pembangunan prasarana dan sarana kota,

4 meningkatkan arus lalu lintas, memicu pemborosan energi dan polusi udara. Udara kota semakin pengap, panas dan tercemar. Sampah semakin menggunung dan tidak terkelola. Sekitar 9,7 juta warga miskin di Indonesia tidak mendapat akses air bersih, dan 10,5 juta warga miskin tidak mendapat akses ke sanitasi (BPS, 2009). Ruang terbuka hijau dan ruang publik semakin terbatas dan mengurangi kesempatan warga kota untuk bermain serta melepaskan diri dari tekanan kota. Perumahan kota juga menghadapi tantangan yang luar biasa. Di Indonesia, kekurangan rumah (backlog) meningkat dari 5,8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Diperkirakan terdapat sekitar 57.800 hektar perumahan yang dikategorikan tidak layak huni dan memerlukan perhatian dan perbaikan. Sementara itu, 20,5 juta penduduk miskin kota menempati rumah tidak layak huni (Kementrian Perumahan Rakyat, 2010). Fakta di atas mengindikasikan bahwa apa yang terjadi di Indonesia merupakan urbanisasi semu, di mana pertambahan penduduk perkotaan tidak diiringi dengan penyediaan saranaprasarana perkotaan yang memadai. Chris Backs bahkan melihat gejala urbanisasi semu ini sebagai pertanda tidak dapat diterapkannya konsep urbanisasi untuk menjelaskan sepenuhnya perkembangan kota di Indonesia. Ia bahkan menyebut bahwa yang terjadi adalah proses kampungisasi, yakni masyarakat yang terperangkap dalam suatu proses transformasi meninggalkan sektor pertanian di desa, tetapi belum mampu sepenuhnya masuk ke sektor industrial di perkotaan (Chris Back, 1988, dalam Laksono, 1994).

2. Kampung Kota dan Kota Kampung Kampung, diambil dari kata Melayu, awalnya merupakan terminologi yang dipakai untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung seringkali dipakai untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan modernitas/kemajuan sementara desa atau kampung diartikan dengan keterbelakangan dan ketidakmajuan. Dalam bahasa Jawa, istilah kampungan seringkali dipakai untuk menjelaskan cara berpikir dan

5 perilaku yang memalukan, jauh dari etika priyayi, dan tidak layak disandingkan dengan budaya priyayi di perkotaan. Dalam perkembangannya, istilah kampung dipakai untuk menjelaskan fenomena perumahan di perkotaan yang dibangun secara swadaya atau mandiri oleh para migran dari pedesaan. Perumahan ini disebut kampung kota atau perumahan yang seperti kampung di pedesaan, tapi berada di perkotaan. Istilah kampung kota, atau kemudian disebut dengan kampung ini, digunakan sejak awal abad ke20 oleh pemerintah kolonial Belanda melalui program yang dikenal sebagai Kampung Verbrechting. Sejak awal, penggunaan istilah kampung ini memang sarat dengan pandangan yang miring. Sebagaimana dijelaskan oleh Silas (1996), di Surabaya, sejak awal, pemerintah kolonial Belanda telah memisahkan secara tegas antara warga biasa atau warga kampung (dikenal dengan Indlandsche Gemeente) dengan warga priyayi, pamong praja/gedongan (Stads Gemeente). Penggunaan istilah kampung, kemudian juga dipakai oleh Pemerintah Republik Indonesia, dengan Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program yang diluncurkan sejak awal tahun 1960-an. Meskipun istilah ini sudah dipakai secara formal, penggunaan istilah kampung ini, masih saja mengandung sindiran, merendahkan dan meremehkan. Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan dengan perumahan gedongan atau sekarang disebut sebagai perumahan real estate. Kampung adalah untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan perumahan gedongan atau real estate untuk mereka yang kaya dan mapan. Memang, secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakaturan, ketidakseragaman, ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta ketidaksehatan. Dalam banyak hal, kekhasan kampung justru terletak pada pola-pola fisik yang beragam, organik, seringkali surprizing, di luar kadar kreatifitas arsitek yang jenius sekalipun. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan jiwa merdeka warganya. Kalau ada seribu kampung di satu kota, dapatlah dipastikan akan ada seribu ragam wajah kampung dan jiwa yang berbeda.

6 Dalam konteks perumahan perkotaan, kampung merepresentasikan konsep housing autonomy dimana warga kampung mempunyai kebebasan dan otoritas untuk menentukan sendiri lingkungan kehidupan mereka. Kampung juga merepresentasikan apa yang dikatakan Turner sebagai housing as a process, as a verb. Konsep ini memaknai bahwa pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah/MBR, tidak bisa dilihat sebagai satu one stop policy, melainkan sebagai proses menerus yang dinamik seiring dengan proses pengembangan sosial dan ekonomi warga kota (Turner and Fichter, 1972; Turner, 1976). Di negara-negara lain, fenomena perumahan kota yang dibangun secara mandiri oleh warga mempunyai berbagai sebutan atau nama. Di Ekuador disebut barrios atau ranchos sementara di Peru dikenal dengan barriadas atau barriadas marginales. Di Meksiko dinamai colonias populares atau irregulares. Di Turki dikenal dengan sebutan Gecekondus. Di India fenomena ini dikenal dengan bustees atau katras dan di Itali disebut sebagai abusivismo atau baracche. Di Filipina disebut barong-barongs (Palmer dan Patton, 1988). Namanama tersebut merefleksikan bahwa pemukiman karya mandiri warga memang cenderung dipandang miring dan sebelah mata. Di dunia akademik, istilah yang dipakai juga cenderung menganaktirikan atau mengesampingkan fenomena ini dengan menyebutnya sebagai informal settlement, illegal settlement, atau squatter settlement, slums, spontaneous settlement/shelter, atau unauthorized setllement. Istilah dan pandangan-pandangan miring dan negatif tentang perumahan swadaya atau kampung tersebut tentunya berlawanan dengan fakta-fakta akan peran, potensi, keistimewaan, dan kekhasan kampung. Tidak saja kampung mendominasi peruntukan lahan di kota-kota di Indonesia (sekitar 70 persen), kampung menjadi tumpuan perumahan 70 sampai 85% penduduk kota (Kementrian Perumahan Rakyat, 2009). Sementara itu, penyediaan perumahan melalui jalur formal oleh sektor swasta dan pemerintah hanya mampu menyediakan sekitar 15% dari total kebutuhan rumah di perkotaan. Kampung dengan demikian, telah dan masih menjadi tumpuan perumahan sebagian besar warga kota di Indonesia. Tidak saja dari segi jumlah, kampung juga menyediakan berbagai bentuk, kondisi, serta harga

7 rumah dan kamar, yang sesuai dengan ragam kebutuhan dan kemampuan warga kota. Kajian oleh teman sejawat, Dr. M. Sani Roychansyah, menunjukkan bahwa dalam beberapa hal, kampung telah merepresentasikan konsep baru pembangunan kota yaitu compact city. Baik dari sisi kepadatan penduduk, efisiensi lahan, dan saranaprasarananya, kampung telah memenuhi beberapa prinsip compact city. Dari sisi guna lahannya, pola guna lahan campuran/mixed uses di kampung telah memberikan alternatif pola guna lahan yang efisien. Percampuran antara guna lahan perumahan dan bukan perumahan, termasuk untuk berbagai kegiatan komersial di kampung justru menjamin keberlanjutan kampung dan menciptakan kondisi kota yang liveable (Roychansyah and Diwangkari, 2009). Lebih dari sekedar sistem fisik, kampung merupakan sistem sosial yang kompleks dan dinamis. Kampung dihuni oleh beragam warga kota dengan latar belakang agama, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, etnis, dan bahkan aliran politik. Kampung menjadi semacam kolase mini warga kota yang memungkinkan mereka untuk terus mengembangkan prinsip-prinsip keragaman, toleransi, dan kesetiakawanan (Guinness, 1986). Penelitian Haryadi (1989) juga menunjukkan bahwa warga kampung mempunyai strategi khusus dalam menghadapi berbagai tekanan perkotaan agar terhindar dari tekanan dan ketidaknyamanan. Kampung juga menjadi semacam kawah candradimuka mereka yang miskin, rentan dan terpinggirkan. Migran baru dari pedesaan menjadikan kampung sebagai batu pijakan untuk mengarungi masa depan mereka di lingkungan kota. Dapat dikatakan bahwa seluruh warga miskin kota tinggal dan hidup di kampung. J.B. Mangunwijaya, bahkan mengibaratkan kampung-kampung sebagai ibu, ibu yang merangkul dan menyusui anak-anaknya, khususnya yang miskin, menderita, atau cacat (Mangunwijaya, dalam Laksono, 1994). Mampu tidaknya mereka lepas dari jerat kemiskinan akan sangat tergantung pada kampung yang selama ini menghidupi, memproteksi, dan menjadi harapan mereka. Bahwa sebagian besar warga kota tinggal di kampung, menjelaskan bahwa warga kampung tidak saja merupakan

8 pemangku kepentingan kota yang harus dicukupi aspirasi serta kebutuhannya, warga kampung juga berpotensi menjadi aktor-aktor aktif dalam politik perkotaan. Lebih lanjut, kampung juga merupakan satu sistem ekonomi yang dinamis dan penting. Tidak saja perumahan di kampung menjadi pusat dan ajang berbagai kegiatan produktif penghuninya (homebased enterprises), kampung juga menjadi pendukung kegiatan ekonomi kota. Penelitian saya selama ini menunjukkan bahwa sekitar 80% rumah di kampung dimanfaatkan oleh kegiatan produktif penghuninya (Setiawan, 2000). Penelitian oleh rekan sejawat, Dr. Sudaryono, juga semakin menjelaskan bahwa dalam beberapa hal, kampung terintegrasi dengan sistem kota yang luas, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi (Sastrosasmito, 2009). Fakta-fakta tentang peran kampung di atas menegaskan bahwa membicarakan kota di Indonesia, tidak akan lepas dari kampung. Kota dan kampung seperti koin, satu wujud, dua sisi. Kota hanya bisa hidup karena kampung-kampungnya, sementara kampung juga bisa hidup karena berada di seting kota. Kota di Indonesia adalah kota kampung, rangka atau bangun strukturnya adalah kota, tetapi isi dan jiwanya adalah kampung, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pada saat yang sama tidak dapat dipungkiri bahwa kampung juga sarat dengan berbagai masalah. Kampung umumnya tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Ruang terbuka publik juga merupakan masalah yang menonjol di kampung. Penelitian saya di beberapa kampung di Yogyakarta dan berbagai kota lain menunjukkan bahwa karena tuntutan ekonomi yang semakin besar menyebabkan penduduk kampung semakin melihat ruang sebagai komoditas dan dikomersialkan. Privatisasi dan komersialisasi ruang di kampung telah mengancam ruang terbuka publik yang menjadi tumpuan bernapas dan bersosialisasi warga kampung. Jalan rukunan yang awalnya merupakan representasi jiwa kesetiakawanan dan dedikasi warga kampung, menjadi semakin sempit dan hilang karena digunakan untuk berbagai kepentingan komersial (Leaf dan Setiawan, 2009). Lebih memprihatinkan lagi, telah terjadi tekanan terhadap ruang bermain untuk anak-anak di kampung. Gang-gang yang selama ini menjadi tumpuan ruang bermain anak-anak semakin

9 sempit, hilang, dan sebagian dijadikan jalur kendaraan sepeda motor sehingga tidak aman bagi anak-anak. Sebagian kampung juga menjadi kantung-kantung warga kota yang tidak sehat, tidak produktif, dan menjadi beban sosial kota. Meskipun secara umum modal sosial di kampung masih kuat, dalam kondisi tertentu, modal sosial ini dapat tergerus, lemah, dan tidak mampu dijadikan dukungan warga kampung yang rentan. Banyak kampung juga menghadapi konflik internal dan tidak mempunyai kepemimpinan lokal yang kuat, sehingga gagal dalam memobilisasi sumber daya sosialnya untuk kepentingan warga kampung. Kondisi ini menyebabkan warga kampung rentan dan menjadi objek eksploitasi sistem ekonomi dan sosial kota yang lebih kuat. Status dan legalitas kampung merupakan persoalan yang pelik dan dilematis. Memang, sebagian kampung dibangun di atas tanah yang tidak jelas kepemilikannya, misalnya tanah negara, tanah di sepanjang bantaran sungai, di kanan-kiri jalur rel kereta api, dan bahkan di kuburan-kuburan Tionghoa. Kampung semacam ini memang dapat disebut ilegal dari aspek tanahnya. Meskipun demikian, sebagian besar kampung dibangun dan dikembangkan atas dasar hak tanah yang jelas, baik bersertifikat maupun tidak. Dalam konteks administrasi pertanahan yang belum mapan di Indonesia, ketiadaan sertifikat tanah di kampung tidak dapat dijadikan alasan bagi pihak lain untuk mengatakannya sebagai ilegal dan tidak sah, dan dengan demikian dapat digusur. Dalam situasi dimana akses terhadap tanah kota yang semakin sulit, baik karena harga tanah yang terlalu tinggi, spekulasi tanah, dan penguasaan serta monopoli tanah oleh mereka yang mampu, pemanfaatan tanah-tanah marginal atau tanahtanah umum oleh warga kampung yang miskin seharusnya dapat dipahami sebagai upaya survival strategy yang perlu dihargai. Sejauh kita tidak dapat melakukan reformasi tanah perkotaan yang menjamin akses tanah bagi mereka yang miskin dan rentan maka pemanfaatan tanah-tanah umum oleh warga kampung harus dilihat secara lebih proporsional. Bahwa sebagian besar rumah di kampung dibangun tanpa izin mendirikan bangunan (IMB), seringkali juga dijadikan alasan bahwa kampung adalah perumahan yang liar. Dalam kondisi sistem perizinan dan persyaratan yang begitu kompleks, rumit, dan biaya tinggi,

10 ketiadaan IMB sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan liarnya kampung. Bahwa sebagian rumah di kampung tidak dibangun dengan standar bangunan yang ada juga tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan bahwa kampung merupakan perumahan kumuh dan liar. Harus dipahami bahwa warga kampung seringkali mempunyai pertimbangan sendiri dalam membangun rumahnya, sementara standar bangunan yang ada seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan preferensi warga kampung. Berbagai ilustrasi persoalan kampung sebagaimana diuraikan di atas dapat terjadi antara lain karena pandangan, kebijakan, serta program yang tidak sesuai terhadap kampung. Meskipun program perbaikan kampung telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda melalui Kampung Verbrechting (Silas, 1996) dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui Kampung Improvement Program/KIP, program-program tersebut didasarkan pada pandangan yang cenderung negatif terhadap kampung. Sebagaimana dikatakan oleh Silas (1989), program perbaikan kampung pada zaman kolonial Belanda lebih ditujukan untuk kepentingan penguasa dan warga pendudukan Belanda yang khawatir lingkunganya akan tercemar oleh wabah penyakit dari kampung-kampung kumuh di sekitarnya. Setelah kemerdekaan, KIP mulai lagi dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 1969 di berbagai kota di Indonesia. Program ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas fisik kampung, tetapi tidak menjamin peningkatan kualitas sosial dan ekonomi penghuninya (Silas, 1996; Taylor, 1989). Hal ini disebabkan karena orientasi KIP waktu itu hanya pada peningkatan kualitas fisik dan sarana-prasarana saja. Setelah itu, KIP diperbaiki konsepnya, yakni dengan mengintegrasikan dimensi fisik, ekonomi, dan sosial kampung. Konsep ini dikenal dengan tribina, yang kemudian diubah menjadi tridaya, yaitu daya lingkungan, daya ekonomi, dan daya sosial. Dalam perkembangannya, khususnya setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, diluncurkan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan/P2KP yang ditujukan untuk mengentaskan warga miskin di kampung-kampung kota. Program ini kemudian diintegrasikan dalam program pengentasan kemiskinan yang lebih komprehensif, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM. Beberapa kelurahan yang telah mendapat program P2KP kemudian difasilitasi

11 dengan apa yang dikenal dengan Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas/PLP-BK. Pada saat yang sama, khusus yang menyangkut kawasan kumuh, pemerintah melalui Kementrian Pekerjaan Umum/PU juga mengembangkan program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project/NUSSP. Program ini berorientasi pada pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam bidang perumahan. Lebih lanjut, melalui Kementrian Perumahan Rakyat dan Kementrian Pekerjaan Umum pemerintah juga meluncurkan program Rumah Susun Milik/Rusunami dan Rumah Susun Sewa/Rusunawa dengan target sekitar 350.000 unit. Sampai tahun 2010 ini baru dapat dibangun sebanyak 12.672 unit (Kementrian Perumahan Rakyat, 2010). Berbagai program sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa pemerintah telah cukup banyak meluncurkan berbagai program untuk kampung. Mengapa berbagai program tersebut belum mampu menjawab persoalan kota dan kampung? Paling tidak terdapat empat penjelasan mengapa berbagai program tersebut belum sepenuhnya berhasil dan bermanfaat. Pertama, harus dipahami bahwa skala dan cakupan persoalannya begitu besar dan kompleks. Ribuan kampung di Indonesia menghadapi persoalan dan tantangan yang tidak ringan. Dengan demikian, diperlukan kemauan politik, sumber daya, dan energi yang luar biasa untuk menangani mega persoalan ini. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, diperlukan komitmen yang kuat dan konsisten dari para kepala daerah, khususnya walikota, untuk terus mendukung dan menjamin perbaikan kampung dan kotanya. Kedua, hampir semua program perbaikan kampung dan kota terjebak dalam pendekatan proyek yang cenderung mereduksi makna dan esensi program itu sendiri. Pendekatan proyek ini menyebabkan berbagai program dilakukan secara tergesa-gesa, mengejar batas akhir administrasi proyek, dan tidak berkelanjutan. Ketiga, program-program perbaikan kampung dan perumahan juga cenderung terkotak-kotak dan melihat isu kampung dan perumahan secara myopik/sempit dan tidak mengaitkan dengan isu-isu pembangunan perkotaan yag lebih luas. Sebagaimana telah diuraikan, eksistensi kampung tidak terlepas dari konteks lingkungan kota yang

12 lebih luas. Perbaikan kampung, dengan demikian, harus disinergikan dengan program-program pembangunan dan peremajaan kota. Diperlukan kejelian untuk mencari ruang dan media yang memungkinkan integrasi dan sinergi antar kampung dan kota, antara dimensi formal dan informal, warga dan pemerintah. Keempat, berbagai program dan strategi perbaikan kampung yang selama ini diluncurkan masih didasarkan atas pandangan yang cenderung stereotip dan negatif terhadap kampung. Kampung masih dipotret dan dipandang sebagai bagian kota yang elementer atau temporer. Program-program perbaikan kampung dengan demikian, cenderung masih dirancang sebagai program temporer dan tempelan yang bersifat sementara, sekedar untuk merespons persoalan sementara saat ini.

3. Apakah Kampung Mempunyai Masa Depan? Dalam perspektif kampung yang penuh peran sekaligus persoalan sebagaimana dikemukakan di atas muncul pertanyaan yang harus dijawab: Apakah kampung mempunyai masa depan? Apakah kampung sekedar merupakan solusi temporer terhadap persoalan perumahan kota di Indonesia? Atau sebaliknya, apakah kampung akan menjadi bagian penting dan menentukan masa depan kota di Indonesia? Dari sudut pandang yang melihat kemajuan, modernitas, dan pembangunan sebagai satu proyek yang linear dengan standar Barat, maka masa depan kota di Indonesia akan dipotret dan diproyeksikan sebagaimana kota-kota di negara barat. Kota masa depan adalah kota yang teratur dan tertata rapi struktur ruang dan pola tata guna lahannya, tidak campuran, dikontrol dengan zoning regulations yang kaku dan ketat. Kota yang baik juga harus dilengkapi dengan boulevard-boulevard, serta taman-taman kota yang cantik dan megah, sebagaimana idealisasi yang ditawarkan oleh konsep Garden City-nya Ebenezer Howard. Apabila perspektif di atas yang menjadi pilihan, maka kampung tidak akan mendapat tempat dalam perdebatan kota di Indonesia di masa depan. Keberadaan kampung, kalaulah masih ditoleransi, akan

13 dilihat sebagai sesuatu yang temporer, satu keterpaksaan, dan bahkan kondisi keterbelakangan yang harus diubah, dihilangkan, diancam, atau digusur, karena kampung tidak mencerminkan idealisasi kota modern yang kita inginkan. Penanganan dan perbaikan terhadap kampung, dengan demikian, tidak harus bersifat menyeluruh dan permanen, agar kampung tetap menjadi bagian elementer dan temporer kota, sebagai cadangan lahan kota yang murah untuk proyek-proyek komersial pembangunan kota. Pandangan semacam ini, jelas mereduksi makna, peran, dan posisi kampung bagi kota-kota di Indonesia. Lebih lanjut, pandangan ini juga mengesampingkan inovasi dan pilihan-pilihan manusia merdeka untuk membentuk masa depan mereka dengan mandiri dan bermartabat. Memang, tidak semua warga kampung akan terus tinggal dan hidup di kampung. Kampung juga tidak akan menjadi satusatunya alternatif masa depan kota di Indonesia. Sebagian kampung mungkin berada dalam kondisi yang buruk, mengenaskan dan bahkan despair. Sesuai tantangan dan potensinya, kampung akan mengalami transformasi, baik untuk menjawab tantangan eksternal maupun kebutuhan dan perkembangan aspirasi warganya. Meskipun demikian, kampung harus diberi kesempatan untuk berkembang dan berperan mengisi dan membentuk masa depan kota di Indonesia. Keragaman, kekhasan, dan kegigihan warga kampung apabila mendapat kesempatan dan dukungan akan menentukan kekhasan dan bahkan jiwa kota-kota di Indonesia, karena sejarah juga telah mencatat bahwa kampung merupakan bagian integral kota di Indonesia (Sullivan, 1980; Wertheim, 1958). Karena proses perkembangan kota masih akan terus terjadi, maka masih ada kesempatan untuk memberi wujud dan makna kehidupan perkotaan yang lebih baik dan khas Indonesia. Selama ini banyak orang melihat bahwa masa depan kampung akan sangat tergantung pada masa depan kota. Pandangan ini perlu diubah, karena masa depan kota di Indonesia akan sangat tergantung dari kampung-kampungnya.

14 4. Mengantarkan Kampung Menjadi Masa Depan Indonesia: Perencanaan Kota yang Memihak Kampung Kota

Diperlukan paling tidak empat strategi untuk mengantarkan kampung menjadi bagian penting masa depan kota di Indonesia. Pertama, perlunya perubahan pemahaman tentang kompleksitas dan dinamika kampung. Pemahaman dan pendekatan penanganan kampung yang terkotak-kotak dan parsial harus ditinggalkan. Program-program perbaikan kampung harus dilakukan secara holistik yang melihat kampung sebagai satu sistem fisik, sosial, ekonomi, dan politik kota yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, mengantarkan kampung menjadi bagian penting masa depan kota di Indonesia berarti memperkuat integrasi kampung dalam sistem kota yang lebih kompleks. Integrasi ini mutlak untuk mematahkan pandangan-pandangan dikotomik mengenai kampung dan kota, informal dan formal, legal dan ilegal, sah dan tidak sah. Mengintegrasikan kampung dalam sistem kota berarti mengakui dan menjamin hak kampung sebagai bagian sah dari kota. Pengakuan ini tidak selalu harus berbentuk pengakuan legal formal, yang lebih penting adalah rekognisi atas hak dan eksistensi kampung. Dalam konteks tanah, misalnya, pengakuan legal ini tidak selalu harus dalam bentuk sertifikasi tanah bagi warga kampung, tetapi lebih pada pengakuan dan jaminan keamanan atas tanah bagi mereka. Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa upaya-upaya formalisasi dan legalisasi perumahan informal tidak selalu positif dan membawa manfaat bagi warga kampung. Penelitian saya dan Daniel Garr di kampung Blimbingsari dan di kampung-kampung sepanjang sungai Code, Yogyakarta juga menegaskan bahwa formalisasi dan legalisasi tanah tidak selalu signifikan menjamin konsolidasi perumahan (Setiawan, 2001; Garr, 1996). Pada saat yang sama integrasi ini juga harus diupayakan secara internal dalam sistem kampung itu sendiri. Secara fisik/lingkungan, integrasi ini perlu dilakukan untuk menjamin kualitas fisik dan lingkungan yang lebih baik. Sistem jaringan dan penyediaan air bersih, yang selama ini disediakan oleh warga kampung secara mandiri, dapat dikaitkan dengan sistem jaringan air bersih kota yang lebih baik dan terjangkau. Sistem pengelolaan sampah yang juga

15 mandiri di kampung dapat diintegrasikan dengan sistem pengelolaan sampah dalam kota sehingga menjadi lebih efisien dan terjangkau. Sistem sanitasi yang tidak jelas di kampung, juga dapat diintegrasikan dalam sistem sanitasi kota yang lebih menjamin kesehatan penduduk kampung dan kota. Secara ekonomi, banyak peluang untuk lebih mengintegrasikan sistem ekonomi kampung dalam sistem ekonomi kota yang lebih luas. Sebagaimana telah ditunjukkan di kawasan Malioboro, Yogyakarta, kampung-kampung di kawasan ini telah menjadi wadah bagi para mereka yang ikut menggerakkan kegiatan ekonomi kawasan ini. Kampung Sosrowijayan, misalnya, juga merupakan pusat kegiatan ekonomi yang produktif dengan menjadi kampung wisata yang mendukung kota wisata Yogyakarta. Apapun bentuk dan medianya, integrasi ini harus didasari atas prinsip kesetaraan dan kemitraan. Integrasi kampung dalam sistem kota yang lebih luas tidak boleh didasari atas pandangan bahwa kota lebih kuat, dominan, dan penting dari pada kampung. Selama ini, sebagian elemen kampung memang telah terintegrasikan dalam sistem kota, akan tetapi integrasi ini tidak seimbang dan bahkan cenderung eksploitatif. Pengakuan atas eksistensi kampung jangan dijadikan alat untuk meneruskan proses eksploitasi yang menjadikan warga kampung harus mengorbankan sumber daya dan martabatnya untuk menjamin kepentingan dan kemapanan sebagian warga kota lain. Ketiga, upaya-upaya integrasi juga menuntut kemampuan dan kekuatan warga kampung untuk bermitra secara setara dengan kekuatan eksternal di luar kampung, baik pemerintah kota maupun aktor-aktor kota lainnya. Tanpa penguatan warga kampung untuk bermitra dan berintegrasi dengan sistem kota yang lebih luas dapat membawa mereka pada integrasi semu bahkan eksploitatif. Penelitian saya selama ini menunjukkan bahwa diperlukan kapasitas pemimpin kampung untuk mampu mengembangkan jaringan dengan pihak-pihak di luar kampung, hanya kampung yang mempunyai pemimpin yang dapat membangun jaringan yang kuat dan setara dengan pihak luarlah yang mampu memproteksi dan menjamin masa depan kampungnya. Peran serta dan keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan kota telah dibuka secara luas dan dijamin secara konstitusional. Dalam situasi politik kota yang dinamis, kompleks,

16 dan penuh pertentangan kepentingan, di mana kekuatan kapital cenderung dominan, hak dan peran serta warga kota ini tidak begitu saja didapatkan begitu saja tetapi hak ini haruslah diperjuangkan dan bahkan direbut. Diperlukan penguatan kapasitas sosial dan politik warga kampung agar mampu membela dan memperjuangkan hak mereka dan dengan demikian dapat melakukan integrasi dengan sistem kota yang lebih luas dengan kesetaraan, kebanggaan, dan martabat. Reformasi dan penguatan kapasitas sosial dan politik warga kampung ini memerlukan pendampingan, dukungan, dan bahkan perlindungan. Hal ini diperlukan karena sejarah kampung yang selalu dimarjinalkan, dipinggirkan, dan ditekan. Mengantarkan kampung menjadi masa depan kota Indonesia berarti memberi kesempatan sekaligus menjamin agar kampung dapat lebih mandiri, kuat, dan bermartabat. Penting dijamin bagaimana warga kampung terorganisasi dalam asosiasi-asosiasi warga kota yang aktif dan inovatif yang mampu memberikan terobosan-terobosan dalam pembangunan kota. Keempat, karena masa depan kota di Indonesia sangat tergantung pada kampung maka diperlukan perubahan orientasi perencanaan dan pembangunan kota. Perencanaan kota di Indonesia selama ini kurang mengintegrasikan kampung dalam sistem kota, baik secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Tidak ada dokumen rencana kota yang memuat kampung dalam peta-peta tata ruangnya. Kampung telah direduksi menjadi salah satu wujud land use dua dimensi yang tidak menjelaskan kompleksitas dan kedalaman makna kampung. Sebagian dokumen rencana kota bahkan menandai kampung sebagai kawasan kumuh kota yang harus digusur atau dihapuskan dari peta rencana kota. Ke depan, perencanaan kota di Indonesia harus melihat dan memperlakukan kampung sebagai bagian integral kota. Peta-peta rencana kota harus secara rinci dan jelas memuat kampung-kampung yang ada. Dokumen-dokumen rencana dan pembangunan kota juga seharusnya berkisah dan menjelaskan tentang kampung kampung yang ada, sejarah, posisi, dan kontribusinya terhadap kota. Dokumen ini menjadi penting, tidak saja untuk menunjukkan pentingnya peran

17 kampung dalam sistem kota, tetapi juga untuk menjamin bahwa kampung tidak dihilangkan dari sistem perencanaan serta pembangunan kota. Dalam konteks pembangunan kota yang sangat dikontrol oleh pasar dan kapital, perencana kota harus berani memihak, mendampingi, dan bahkan memproteksi kampung. Mendampingi dan memproteksi kampung berarti membantu mereka yang miskin dan rentan untuk menjamin apa yang dikatakan Friedmann (1992) sebagai defensible life space atau ruang kehidupan yang dapat dipertahankan. Defensible life space ini sangat berarti bagi mereka yang miskin dan rentan, karena merupakan satu dari delapan elemen kekuatan sosial yang memungkinkan mereka lepas dari jerat kemiskinan. Apa yang dilakukan Romo Mangunwijaya dengan mendampingi komunitas di bawah jembatan Gondo Layu, Yogyakarta, adalah menjamin defensible life space, dan terbukti, hal ini membantu mengantarkan mereka yang miskin dan rentan untuk lepas dari jerat kemiskinannya (Khudori, 2002). Perencanaan kota bukanlah kegiatan teknokratik dan teknis semata yang bebas nilai dan kepentingan. Perencanaan kota merupakan proses yang sarat dengan benturan, konflik, negosiasi, dan mungkin konsesi antar berbagai aktor dalam kota. Dalam situasi ini, perencana kota harus berani memilih, pada pihak mana mereka akan bekerja. Bahwa sebagian besar warga kota berada pada posisi yang rentan, kalah, dan terpinggirkan, telah memberikan arah ke mana perencanaan kota harus bekerja. Sebagaimana dikatakan oleh Friedmann (2002), perencana harus mengedepankan proses-proses penguatan asosiasi warga. Penguatan asosiasi warga kota ini diperlukan agar mereka siap dan mampu bermain untuk membela aspirasi dan kepentingan mereka dan tidak terlindas oleh kepentingan kapital dan penguasa kota. Keempat strategi di atas, hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh perubahan orientasi pendidikan dan penelitian perencanaan kota. Selama ini, orientasi perencana kota yang terlalu bias ke aspek fisik disebabkan oleh sistem pendidikan perencanaan yang cenderung terjebak dalam pola pendidikan perencanaan yang mengedepankan pendekatan teknokratis, rasional, dan kurang cukup memberi ruang untuk mendiskusikan aliran-aliran perencanaan

18 alternatif seperti perencanaan partisipatif, pemberdayaan, dan perencanaan advokasi. Akibatnya, mahasiswa lulusan sekolah perencanaan di Indonesia cenderung menjadi calon-calon teknokrat atau bahkan teknisi, yang mungkin terampil melakukan analisisanalisis rasional yang canggih, tetapi kurang mampu menangkap aspirasi dan energi masyarakat kota. Jiwa, arah, dan praktek pendidikan perencanaan harus diubah agar memungkinkan mahasiswa memahami persoalan sesungguhnya kota-kota di Indonesia, termasuk persoalan kemiskinan, pemberdayaan, dan pendampingan. Pendidikan perencanaan seharusnya tidak hanya menghasilkan lulusan yang mengisi kursikursi birokrasi yang cenderung business as usual, tetapi harus mengisi kebutuhan untuk dapat mendampingi mereka yang miskin dan rentan. Penelitian bidang perencanaan kota juga harus menjadikan kampung sebagai salah satu agendanya. Selama ini, penelitian tentang kampung kota telah dilakukan, meskipun demikian, orientasi penelitian tentang kampung yang selama ini masih terbatas pada aspek-aspek fisik perlu diperluas dengan isu-isu pemberdayaan dan politik kota. Isu-isu integrasi antara dimensi informal dan formal kampung perlu mendapat perhatian untuk menjawab bagaimana posisi kampung tidak terus menerus menjadi marginal dan terpinggirkan. Kampung sesungguhnya dapat dilihat sebagai satu organisme yang hidup, tumbuh, dan berkembang. Penelitan tentang kampung seyogianya melihat proses perkembangan kampung secara menerus, dari waktu ke waktu. Kegagalan atau keberhasilan warga kampung untuk memperbaiki dan mengembangkan kampungnya merupakan khasanah konsep dan teori yang berharga serta perlu dipahami dan direplikasi warga kampung lain. Institusi pendidikan dan penelitian perlu membina hubungan dengan kampung sebagai mitra belajar bersama, laboratorium hidup yang secara seksama dan konsisten mendampingi dan belajar dari kegagalan dan keberhasilan perjuangan warga kampung.

19 DAFTAR PUSTAKA BPS. 2009. Proyeksi Penduduk Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Friedmann, J. 2002. The Prospect of Cities. London: University of Minnesota Press. Friedmann, J. 1992. Empowerment: The Politic of Alternative Development. Oxford: Blackwell. Garr, D.J. 1996. Expectative Land Rights, House Consolidation and Cemetery Squatting: Some Perspectives from Central Java, World Development, Vol. 24. No.12., pp 1925-1933. Guinnes, P. 1986. Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung. A Publication of The Asian Studies Association of Australia. Singapore: Oxford University Press. Haryadi, 1989. Residents Strategies for Coping with Environmental Pressures: Relation to House-Settlement Systems in a Yogyakarta Kampung, Indonesia. Disertasi doktor tidak dipublikasikan. The University of Wiscousin-Milwaukee. Kementrian Perumahan Rakyat. 2010. Rencana Strategis Kementrian Perumahan Rakyat Tahun 2010-2014. Khudori, D. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan: Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya. Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat. Laksono, P.M. 1994. Ruang Publik Kota Yogyakarta: Kasus Malioboro. Makalah tidak dipublikasikan, disampaikan di Seminar 31 tahun KMTA Wiswakharman, Jurusan Teknik Arsitektur FT UGM. Leaf, M. and B. Setiawan. 2009. Kampung Spaces and The Future of Indonesia Urbanism: Reflections from Jogjakarta, dalam The Politics of Civic Spaces in Asia: Building Urban Communities. Routledge Contemporary Asia Series. Palmer J. and Patton, C. 1988. Evolution of Third World Shelter Policies dalam Spontaneous Shelter. International Perspectives and Prospect. Philadelphia: Temple University Press. Roychansyah, M.S and Diwangkari, A. 2009. Kampung Oriented Development Model: A Rapid Appraisal of Local

20 Communities. Dalam Santosa dkk. (ed) Sustainable Slum Upgrading in Urban Area. Published by Unit of Research and Empowerment of Housing and Human Settlements Resources PIPW LPPM UNS. Setiawan, B. 2002. Community Struggle for Housing in Indonesia City: Collective Efforts, Networks, and Access to Resources. Sustainable Livelihoods in the Integration of Informal Settlements in Asia, Latin America and Africa. Surabaya : UPT ITS Press, First Edition, 2002. ISBN : 979-95803-8-2. Setiawan, B. 2001. Organized Land Invasion and Social Mobilization in a Chinese Cemetery: Javanese Style. Abstracts Planning for Cities in the Cities in the 21st Century : Opportunities and Challenges. World Planning Schools Congress, Shanghai, China. July 11-15, 2001. Setiawan, B. 2000. Survival Strategy by the Poor in Yogyakarta, Indonesia; The Importance of Social Capital in Globalization and the Asian Economic Crisis. Edited by Geoffrey, B. Hainsworth. Vancouver: Centre for Southeast Asian Research, the University of British Columbia. Silas, J. 1996. Kampung Surabaya: Menuju Metropolitan. Surabaya: Penerbit Yayasan Keluarga Bhakti. Sastrosasmito, S. 2009. Compact Kampungs: Formal and Informal Integration in The Context of Urban Settlements of Yogyakarta, Indonesia. Journal of Habitat Engineering, Vol. 1, Number 1. Sullivan, J. 1980. Back Alley Neighbourhood: Kampung as Urban Community in Yogyakarta. Melbourne, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University. Taylor, J.L. 1987. Evaluation of the Jakarta Kampung Improvement Program. Dalam Skinner. dkk. 1987. Shelter Upgrading for the Urban Poor, Evaluation of the Third World Experiences. Manila: Island Publishing House. Turner, J.F.C. 1976. Housing by People: Toward Autonomy in Building Environments. London: Marion Boyars. Turner, J.F.C and Robert Fichter, eds. 1972. Freedom to Build: Dweller Control of the Housing Process. New York: Macmillan. Wertheim, 1958. The Indonesian Town: Studies of Urban Sociology. The Hague: W.Van Hoeve.

You might also like