You are on page 1of 4

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN KAKAO DI INDONESIA *Oleh: Rahmat Darmawansyah 1105105010013

1. Kandungan Lemak Rendah Kandungan lemak yang rendah dapat disebabkan oleh beberapa alasan, seperti jenis tanaman kakao, degaradasi lemak oleh bakteri atau jamur, ataupun hilang selama proses pengolahan. Alternatif penyelesaian dari permasalahan ini yaitu dengan membudidayakan jenis kakao yang memiliki kandungan lemak tinggi, menjaga kakao dari serangan serangga, bakteri, atau jamur, serta melakukan proses pengolahan yang baik dan benar sehingga tidak ada lemak yang berkurang selama proses berlangsung. 2. Cita rasa (flavor) rendah Cita rasa merupakan salah satu kendala yang terdapat pada kakao maupun olahan coklat di Indonesia. Flavor dari kakao dan coklat di Indonesia pada umumnya kurang bagus, artinya aroma khas dari kakao tersebut rendah. Hal ini disebabkan karena petani-petani kakao di Indonesia tidak melakukan proses fermentasi terhadap kakao yang dipanen. Acidifikasi biji kakao oleh asam asetat selama fermentasi berlangsung sangat penting untuk pengembangan flavor/citarasa. Perubahan-perubahan ini termasuk peptida-peptida dan asam-asam amino. Fermentasi juga menyebabkan berkurangnya polifenol terlarut dan pada tahap ini juga terjadi pengeluaran theobromin dan kafein serta komponen-komponen volatil (alkohol, ester dan aldehid). Petani enggan melakukan fermentasi karena tidak ada perbedaan harga yang signifikan antara biji kakao asalan dan biji fermentasi. Disatu sisi pembeli tidak mau memberikan perbedaan harga karena jumlah biji yang difermentasi hanya sedikit. Oleh karena itu, solusi dari permasalahan ini yaitu Pemerintah atau Kementerian Pertanian harus menerapkan wajib kakao fermentasi. Dengan cara ini maka hanya kakao fermentasi yang bisa diperdagangkan. Harga kakao fermentasi dan non fermentasi harus berbeda secara signifikan. 3. Pengetahuan dan Keterampilan Petani Rendah Petani kakao di Indonesia masih kurang pengetahuan tentang menanam kakao yang ideal sehingga perlu dilatih lagi untuk meningkatkan kualitas hasil panennya. Selain itu, pengetahuan tentang penanganan pascapanen dari kakao pun masih rendah, baik itu teknik memetik buah, fermentasi, pencucian, pengeringan, sortasi, dan penyimpanan.

Salah satu strategi yang diyakini akan efektif memacu produksi kakao petani Indonesia, yakni dengan melakukan revitalisasi program penyuluhan, terutama bagi petani kakao yang pendidikannya masih rendah, seperti yang dulu dilakukan pada zaman orde baru. 4. Penanganan Pascapanen Belum Baik Penanganan pasca panen kakao belum dilakukan dengan baik dan benar sehingga kakao yang dihasilkan oleh petani masih tercampur dengan benda-benda asing, pengeringan kurang sempurna sehingga menyebabkan tumbuhnya jamur serta volume biji kakao yang difermentasi relatif masih sedikit sehingga para pedagang pengumpul mencampurkan antara kakao fermentasi dan non fermentasi. Adapun alternatif dari masalah ini sama dengan yang sebelumnya, yaitu dengan rutin melakukan penyuluhan ke petani-petani kakao guna memberikan pemahaman tentang cara menangani kakao selama pascapanen. 5. Harga Masih Berbasis Satuan Berat Pada umumnya harga kakao masih berbasis berat, tapi tidak memperhatikan kualitas dari kakao tersebut. Artinya, 1 kg kakao yang mutunya bagus (difermentasi) sama dengan harga 1 kg kakao yang mutunya rendah (tidak difermentasi). petani kakao tidak tertarik untuk melakukan fermentasi karena proses fermentasi membutuhkan tambahan tenaga kerja, disamping beratnya yang lebih lebih rendah dibandingkan dengan yang kakao non fermentasi. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa sekitar 65-84% petani kakao tidak melakukan sortasi biji. Hal ini disebabkan karena dengan tidak melakukan sortasi berat kakao menjadi lebih tinggi, disamping sebagian pedagangpedagang pengumpul yang melakukan pembelian kakao di tingkat petani tidak

mempermasalahkan harga antara biji kakao yang difermentasi dan tidak difermentasi. Alternatif yang dapat dilakukan yaitu Pemerintah harus membedakan harga antara kakao fermentasi dan nonfermentasi sehingga para petani kakao lebih bersemangat untuk melakukan fermentasi terhadap buah kakao yang dipanen. 6. Potensi Ekspor Belum Dimanfaatkan Secara Optimal Banyak tanaman kakao petani yang terserang penyakit dan menurunkan kualitas. Padahal, saat ini beberapa negara pengimpor biji kakao mulai memperketat kualitas dan mutu produk yang masuk. Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor

produk kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut. Alternatif yang harus dilakukan yaitu dengan menentukan strategi dan kebijakan perbaikan mutu dan pajak kakao sehingga semakin banyak kakao yang diterima di pasaran dunia dan juga tidak terkendala oleh masalah pajak yang tinggi. 7. Tata Niaga Didominasi Pedagang Pengumpul Hampir seluruh produksi petani Kakao di Indonesia diindikasikan dikuasai tengkulak. Monopoli produksi kakao tersebut disebabkan peran tengkulak yang memiliki modal besar kerap memberikan pinjaman bagi petani kakao, sehingga ketika musim panen tiba harga kakao telah ditetapkan oleh pengumpul. Selain itu, Petani kakao yang bertempat tinggal jauh dari Ibukota
Kecamatan/Kabupaten biasanya menjual kakao mereka kepada para pedagang pengumpul, karena jumlah kakao yang akan dijual petani tidak banyak sehingga menjual langsung kepada para pedagang menjadi tidak efisien, karena memerlukan ongkos angkut relatif besar.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang lebih menyentuh kepentingan petani. Selama ini posisi petani kakao di hadapan pelaku bisnis lain lemah. Petani kakao mesti dilepaskan dari jeratan tengkulak dan panjangnya rantai jual beli kakao. Sebagian anggaran pemerintah atau pendapatan BK kakao dapat dialokasikan. Pemberdayaan kelompok tani mutlak dilakukan oleh lembaga atau koperasi yang membela kepentingan petani kakao. Dengan sinergi kebijakan ini, bangkitnya industri hilir kakao dan cokelat nasional akan meningkatkan kesejahteraan petani. 8. Akses Permodalan (Perbankan) Rendah
Akses petani terhadap sumber-sumber modal yang resmi masih sangat terbatas, tetapi lebih mudah mendapatkan modal dari para pelepas uang dengan bunga tinggi. Jika lahan usaha tani dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit modal dari perbankan, makahampir dipastikan sebagian besar petani tidak akan mendapatkan modal yang bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu dewasa ini modal menjadi faktor penghambat usaha tani di Indonesia. Berbagai langkah sebetulnya dapat dilakukan oleh pemerintah, seperti meningkatkan anggaran untuk sektor pertanian. Memperbesar permodalan lembaga keuangan mikro untuk menyalurkan kredit bagi para petani. Selain penyaluran kredit perbankan harus menjadi prioritas kepada para petani serta memberikan kemudahan akses, memangkas birokrasi yang tidak diperlukan, suku bunga, persyaratan serta agunan yang tidak memberatkan kepada para petani kita.

9. Industri Pengolahan Minim

Sebagai negara yang masuk kategori produsen biji kakao terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia memiliki industri pengolahan biji kakao mempuni.Namun, berdasarkan data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) industri pengolahannya hingga saat ini, dari 16 industri yang terdaftar tersisa 10 industri. Permasalahan ini menurut ketua Askinda disebabkan karena kekurangan stok bahan baku. Masalah lain pada industri pengolahan adalah minimnya kemampuan SDM dan teknologi. Selama ini mindset pemerintah adalah bagaimana memperoleh barang baik barang baku dan teknologi yang murah. Alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan memberi kesempatan kepada industry dalam negeri untuk berkembang walaupun dari sisi biaya lebih tinggi daripada jika membeli dari luar. kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri akan sangat efektif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia. 10. Riset Tentang Kakao Terbatas Nyawa dari teknologi dalam industri ini adalah riset. Riset harus diarahkan pada peluang strategis sumber daya alam di Indonesia, misalnya tentang industri coklat yang proses pengolahannya masih di Italia dan Brazil. Penghargaan kepada riset juga harus besar. Kita perlu meniru Jepang dalam hal penghargaan terhadap riset. Dana riset di sana sangat besar. Dan bisa dilihat, dari sisi industri mereka sangat sukses walaupun dari sisi sumber daya minimal. 11. Penerapan SNI Belum Ideal Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang Standardisasi Nasional Indonesia(SNI) masih rendah, karena itu perlu sosialisasi berkelanjutan baik termasuk memanfaatkan jejaring internet. Harus diakui sebagian masyarakat Indonesia belum paham apa itu SNI, karena itu sosialisasi kepada semua stakeholder perlu dilakukan secara terus menerus dan melibatkan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi.

You might also like