You are on page 1of 6

PERAN SOCIAL MEDIA NETWORKING FOR GOV 2.

0 DI INDONESIA
Posted on July 2, 2013

ICT merupakan sebuah metode baru yang diterapkan oleh seluruh elemen manusia di penjuru dunia masa kini. Pemanfaatan media sosial pun kian gencar digalakkan dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Saat ini facebook telah menjadi keseharian bagi sebagian besar orang di Indonesia, kurang lebih sekitar 25,912,960 orang Indonesia menjadi pengguna jejaring sosial yang populer ini. Meskipun tidak sedikit berita yang terdengar terkait dampak negatif yang ditimbulkan oleh media sosial yang satu ini, namun tidak sedikit pula banyak orang yang mendapatkan manfaat yang besar dari facebook tersebut.

Media sosial salah satunya adalah facebook, menjadi sebuah solusi yang mampu meraih kesuksesan baik dari segi efektifitas maupun efisiensi untuk mencapai sebuah tujuan secara murah dan berdaya. Masih segar dipikiran kita, keefektifaan peran jejaring sosial yang dimanfaatkan Barack H. Obama sebagai alat kampanye dan penarik simpati massa di pemilihan Presiden Amerika 2008 lalu. Begitupun yang terjadi saat pemilu tahun 2009 di Indonesia, facebook pun telah memberikan jasa yang besar bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia.

Facebook dapat dijadikan sebuah media yang membantu terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pada kenyataannya, saat ini penerapan pelaksanaan e-government di Indonesia belum mampu diterapkan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan diantaranya yaitu belum maksimal penyediaan dan kelengkapan infra dan suprastruktur, maupun kualitas masyarakat yang mumpuni seperti yang diharapkan.

Facebook dan jejaring sosial lainnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menjalin kedekatan diri dengan masyarakat. Melalui media jejaring sosial setiap individu ditujukan agar mampu berlaku kreatif, inovatif, dan berfikir efektif dan efisien. Media sosial dapat menjadi media penyalur aspirasi masyarakat dalam memberikan berbagai masukan mereka guna mendukung terlaksananya pemerintahan yang baik dalam bentuk e-government yang dapat mendukung dalam pembentukan kebijakan menuju pencapaian Good Governance yang dicita-citakan. Media sosial menjadi bukti bahwa tidak memerlukan biaya yang mahal dan boros untuk pencapaian tersebut. A. ICT dan Electronic Government Saat ini penggunaan ICT dalam birokrasi pemerintahan menjadi keharusan diberbagai penjuru dunia. Menurut Killian (2008), penggunaan ICT secara umum dan e-gov secara khusus di desain untuk memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan warga masyarakat (citizens). Berdasarkan beberapa hasil kajian yang telah dilakukan beberapa ahli, penggunaan ICT, khususnya e-gov mempunyai dampak yang positif terhadap bidang lain. Sudarto (2006) mencatat hasil penelitian ITU, setiap satu persen investasi dibidang TI akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai 3 persen. Penggunaan sumberdaya alam juga menjadi hemat, karena terjadi perubahan dari perkantoran berbasis kertas menjadi tanpa kertas (paperless). Dengan demikian penggunaan ICT diharapkan mampu mempercepat upaya memperbaiki birokrasi. Penggunaan ICT dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan keniscayaan dan merupakan fenomena global dari adanya globalisasi. Hal demikian tidak terkait sebuah Negara menganut ideologi tertentu, tapi ada banyak manfaat yang diperoleh dari teknologi.

2. E-democracy, Social Media Networking dan Gov 2.0 Penerapan ICT dalam dunia pemerintahan menjadi sebuah kabar gembira dalam perkembangan proses demokratisasi dan pelayanan masyarakat. E-gov mempermudah pola hubungan antara administrasi, politik formal dan civil society lebih efektif (Gronlund: 2002). Ketika semua simpul saling berinteraksi, berdiskusi dalam ruang publik maya (virtual public sphare) dan berkolaborasi dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic Democracy (e-democracy).

E-democracy atau Virtual Democracy (Norris & James; 1998), Digital Democracy(Hague; 1999), Democracy Online (Shane; 2004) merupakan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dan menjadi bentuk demokrasi terpenting di masa depan. Proses demokrasi akan menjadi massif dan berjejaring kuat di tiap stakeholder dengan bantuan ICT. E-gov dan demokrasi melebur menjadi satu

potongan puzzle e-democracy. Dimana kampanye online, lobby, activism, berita politik, atau diskusi warga negara, politik dan tata pemerintahan (governance) hari ini menjadi online diseluruh dunia (Clift; 2003). Salah satu perangkat dalam menciptakan e-democracy pada masa kini adalah kehadiran media jaringan social (social media networking) yang sangat massif melibatkan banyak pihak seperti Facebook, Twitter, Youtube, Flickr, Wikipedia, weblog, dan beberapa nama lainnya.

Media jejaring sosial di atas merupakan perkembangan dari teknologi web 1.0 menjadi web 2.0. Web 1.0 merupakan generasi pertama dari website yang bercirikan consult, surfdan search. Website generasi pertama hanya berfungsi sekedar mencari atau browsing untuk mendapatkan informasi tertentu. Ciri lainnya adalah terletak pada penampilan web statis, kaku dan satu arah. Sedangkan web 2.0 mempunyai ciri penting yaitu share, collaborate dan exploit. Berbagi, kolaborasi dan mengekploitasi interaksi antar pengguna menjadi keunggulan web 2.0 yang bisa ditemukan di berbagai aplikasi internet seperti yang disebutkan di atas.

Menurut Traunmller dan Kepler (2009) Pada sisi warga masyarakat (citizen), aplikasi Gov 2.0 menjamin terselenggaranya aktivitas warga secara online meliputi partisipasi, petisi, kampanye, monitoring, penegakan hukum, permodelan perilaku warga Negara dalam berinteraksi dengan warga Negara lainnya serta pemberian saran dan penilaian terhadap pelayanan publik. Sedangkan di sisi administratif, aplikasi Gov. 2.0 meliputi aktifitas online berupa feedback for improvements, kolaborasi lintas instansi, good practice exchange, pembuatan peraturan dan hukum serta manajemen pengetahuan.

3. Evidence Based Policy dan E-Cognocracy E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik yang akan memberikan kontribusi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan melalui pendekatan Multicriteria Decision Making. E-cognocracy menjadi konsep yang menjembatani kebijakan publik berbasis fakta (evidence based policy). Fakta berupa kritik, saran serta masukan dari para stakeholder termasuk masyarakat menjadi bahan baku pemerintah dalam membuat kebijakan publik yang rasional. Media jejaring social seperti facebook dan twitter menjadi alat yang efektif untuk mengumpulkan fakta-fakta tersebut.

E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT khususnya pemanfaatan media jejaring social sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder (collaboration governance). E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik.

Masyarakat maya (netizen) di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). E-cognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e-cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga. Melalui telepon genggam yang dimilikinya, mereka dapat mengakses facebook dan twitter serta melalui media itu mereka pun dapat turut berpartisipasi dalam pengelolaan proses pembuatan kebijakan publik yang berkualitas secara murah dan efektif.

D. Implementasi E-Government di Indonesia Jika dilihat dari berbagai pemanfaatan website e-gov yang ada di Indonesia, nyaris tidak ada kebijakan e-gov berbagai daerah di Indonesia untuk memanfaatkan situs media jejaring sosial (Social Media Networking) sebagai official account untuk melayani masyarakat secara online. Hanya sedikit instansi pemerintahan yang memanfaatkan jejaring sosial sebagai media demokratisasi. Potensi Indonesia dalam pemanfaatan ICT melalui penggunaan jaringan media sosial semakin hari semakin meningkat. Terlebih lagi dengan melonjaknya pengguna ponsel yang memanfaatkan jaringan internet sebagai jaringan pendukung terhubungnya ke berbagai media sosial yang tersedia.

Salah satu best practice pemanfaatan social media networking di Indonesia berasal dari Traffic Management Center (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya. Selain website, TMC Ditlantas Polda Metro Jaya menggunakan twitter dan facebook dalam melayani masyarakat di bidang lalu lintas. Berdasarkan penelusuran penulis, account twitter dan facebook TMC Ditlantas Polda Metro Jaya sudah di manfaatkan masyarakat dengan baik. Banyak masyarakat saling berbagi informasi lalu lintas, hingga memberikan pertanyaan, kritik dan saran. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengunakan ICT di Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik khususnya dengan menggunakan social media networking menjadi kebijakan khusus ditiap Negara federal. Ditiap situs e-gov pemerintah federal hingga pemerintah pusat Amerika Serikat, ada akun resmi (official account) di tiap situs social media networking. Setiap instansi wajib memiliki minimal akun resmi facebook, twitter, youtube dan myspace untuk dapat melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengunakan ICT di Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik khususnya dengan menggunakan social media networking menjadi kebijakan khusus ditiap Negara federal. Ditiap situs e-gov pemerintah federal hingga pemerintah pusat Amerika Serikat, ada akun resmi (official account) di tiap situs social media networking. Setiap instansi wajib memiliki minimal akun resmi facebook, twitter, youtube dan myspace untuk dapat melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya.

Beberapa faktor dapat diuraikan sebagai berikut;

Pertama, jika kita menilik penetrasi penggunaan ICT di Indonesia, ada lompatan besar bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah dapat menerima penggunaan teknologi sebagai bagian yang terpisahkan dalam kehidupan masyarakat (lihat Fuad, 2010). Contoh terbaru, dengan adanya aplikasi jejaring sosial di Internet semacam, Friendster, Twitter dan Facebook sesungguhnya penggunaan internet dan akses terhadap teknologi ICT di Indonesia melompat tajam menjadi 600 persen atau 6 kali lipat dari sebelumnya. Dengan kata lain dengan beberapa intervensi dan strategi tertentu, sesungguhnya masyarakat sudah siap menerima perubahan budaya dalam bidang ICT. Namun pada pelaksanaan dilapangan belum ada upaya yang khusus dan serius oleh pemerintah Indonesia dalam penggunaan ICT untuk melayani masyarakat. Masih banyak SDM dalam birokrasi yang gagap teknologi ataupun ketika banyak aparat

birokrasi sudah mulai mengenal teknologi, mereka bukan memanfaatkan teknologi untuk melayani masyarakat sebagai upaya efektifitas dan efisiensi malah menggunakan ICT hanya sebagai sarana hiburan belaka.

Kedua, penggunaan e-gov oleh lembaga-lembaga pemerintah hanya sebatas menggugurkan kewajiban memenuhi anjuran pemerintah pusat via kemenkominfo. Malah, dalam kondisi tertentu egov dipandang sebagai proyek yang menggiurkan karena merupakan program high-cost dimana membutuhkan investasi dengan dana besar sehingga membuka kesempatan bagi banyak kalangan khususnya birokrasi pelaksana untuk menjadikan lahan korupsi. Ketiga, secara statistik, implementasi e-gov di berbagai lembaga pemerintah dan daerah, 80 persen situs e-gov hanya sebagai situs penyedia informasi dan belum pada tahap interaksi apalagi transaksi pelayanan (lihat, Rokhman, 2008). Dengan kata lain penggunaan media social networking berbasis web 2.0 di berbagai situs eg-gov di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal. Permasalahan terbesar penyelenggaraan e-gov di Indonesia adalah pemahaman para pembuat kebijakan dalam hal ini pimpinan birokrasi yang berangggapan bahwa penyelenggaraan e-gov hanya sekedar memiliki website berisi informasi lembaganya. Website dibanyak instansi pemerintah di Indonesia baru menerapkan web 1.0 yang kaku dan tidak interaktif. Jauh dari harapan dimana pelayanan online yang interaktif sesungguhnya mudah untuk dilakukan. Keempat, pemahaman, kemauan dan kemampuan pemimpin dalam memanfaat ICT sebagai visi besar dalam menjalankan roda organisasi publik yang efektif dan efisien. Menurut Kraemer dan King (2006) permasalahan utama penggunaan ICT adalah dari sisi pimpinan dalam mendistribusikan teknologi secara efesien, hal ini disebabkan ketidakpahaman pimpinan atas manfaat penggunaan teknologi pada sistem birokrasi. Faktor terakhir tidak dimanfaatkannya Social Media Networking dalam pelayanan publik di Indonesia adalah karena ketiadaan hasrat untuk melayani (passion for service). Secanggih dan semudah apapun alat bantu kita dalam menjalankan pelayanan publik, namun ketiadaan hasrat untuk melayani pada jiwa pelayan publik di Indonesia maka semua bentuk pelayanan tidak pernah berjalan maksimal dan memuaskan masyarakat.

You might also like