You are on page 1of 22

LAPORAN REFRAT PRAKTIKUM PA TUBERKULOSIS PRIMER BLOK RESPIRASI

Kelompok C.2: Suci Nuryanti Aras Nurbarich A Nugroho Rizki P Nurul Arsy M Egi Dwi Satria Fickry Adiansyah N G1A009067 G1A009107 G1A009114 G1A009120 G1A009122 G1A009008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2011
1

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan curahan nikmat dan karunianya sehingaga laporan refrat ini dapat diselesaikan dan terimakasih kepada semua teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Tugas refrat ini kami buat untuk memenuhi persyratan kelulusan praktikum patologi anatomi, laporan yang berjudul Teberkulosis primer ini membahas tentang definisi dari TB, epidemiologi TB, penegakan diagnoisis TB dan penatalaksanaan TB.Diharapakan dengan adanaya refrat ini dapat memberikan pengetahuan dasar tentang penyakit Tb primer. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, kami sebagai penyusun refrat ini menyaradi bahwa refrat ini masih jauh dari sempurna.Saran dan kritik senantiasa kami harapkan untuk perbaikan dimasa yang akan dating.

Purwokerto, 11 April 2011

Kelompok C.2

DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar..2 BAB I PENDAHULUAN..4 BAB II ISI.......9 BAB III PEMBAHASAN..19 BAB IV KESIMPULAN...............................21 DAFTAR PUSTAKA.....22

BAB I PENDAHULUAN

Tuberculosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia karena dihubungkan oleh beragam hal di antaranya: daerah urban, lingkungan yang padat dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra otak yang khas TB. Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian test BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 pada tahun 1998.prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 % (Sudoyo et al., 2009). TB Paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut. Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan bermacam-macam, yaitu terbagi menjadi komplikasi dini seperti pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus sedangkan komplikasi lanjut yang dapat ditimbulkan dari penyakit TB paru ini yaitu obstruksi jalan napas, kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal nafas (Sudoyo, 2009). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Sudoyo, 2009). TB paru primer disebabkan oleh basil tahan asam, M. tuberculosis. Basil yang terinhalasi menginfeksi lobus paru atas dengan ventilasi baik dan perfusi buruk di subpleura. Granuloma yang terbentuk dikenal sebagai focus Ghon dan pembesaran kelenjar getah bening hilus yang bermuara ke dalam paru yang terkena disebut kompleks primer. Keadaan tersebut terjadi 3-8 minggu disertai perkembangan reaksi inflamasi terhadap suntikan protein tubercular ke dalam
4

kulit, yang dapat digunakan sebagai tes diagnostic Mantoux atau Heaf. Penyembuhan menyeluruh biasanya dapat terjadi, dengan fibrosis dan kalsifikasi focus Ghon serta imunitas terhadap infeksi selanjutnya (Jeremy et al., 2006). Kejadian tuberculosis paru ini dikaitkan dengan sistem imun penderita yang melemah (Viedma et al., 2005). Tuberkulosis primer disebut juga penyakit tuberkulosis pada bayi dan anak serta merupakan penyakit sistemik, juga penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosa tipe humanus ( jarang oleh tipe Mycobacterium bovines ). Mycobacterium tuberculosa masuk melalui saluran nafas (droplet infection) sampai alveoli terjadilah infeksi primer. Lesi di dalam paru dapat terjadi di berbagai tempat terutama di perifer dekat pleura. Lebih banyak terjadi di bagian bawah paru dibandingkan dengan bagian atas. Pembesaran kelenjar regional lebih banyak terdapat pada anak dan penyembuhan terutama ke arah klasifikasi serta penyebaran hematogen lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil (murwani et al., 2007). TB paru primer biasanya terjadi pada usia muda. TB tersebut secara asimtomatik tanpa tanda-tanda klinis dan dapat menyebabkan penyakit demam ringan, eritema nodosum, dan sedikit efusi pleura. Untuk pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu tes darah untuk mendeteksi anemia, penurunan natrium, dan peningkatan kalsium. Tes mantoux hasilnya positif pada TB paru primer dan tes Heaf sebagai tes skrining namun tes ini jarang digunakan. Pemeriksaan mikrobiologi hasilnya basil tahan asam yang dapat dideteksi pada sputum yang menggunakan pewarna Ziehl-Neelsen. Histopatologi menunjukkan aspirasi pleura dengan biopsi, dan radiografi dada yang hasilnya terlihat pembentukan bayangan di lobus bawah (Jeremy et al., 2006). Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/ jasmani, pemeriksaan bakteriologi. Dengan ditemukannya basil tuberkulosis, dapat dipastikan bahwa proses masih aktif dan perlu diberikan pengobatan yang sesuai. A. Pemeriksaan Jasmani Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain

suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. B. Pemeriksaan Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa. Bahannya dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi. Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan mikroskopis dan biakan. C. Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan hapusan dahak mikroskopis langsung yang merupakan metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi BTA yang memegang peranan utama dalam diagnosis TB Paru. Selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan, akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan derajat penularan, risiko kematian serta prioritas pengobatan. D. Pemeriksaan biakan kuman Melakukan pemeriksaan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti dan dapat mendeteksi mikobakterium tuberkulosis dan juga Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). E. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar ialah foto toraks. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top lordotik, oblik, CT Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). F. Pemeriksaan BACTEC Merupakan pemeriksaan teknik yang lebih terbaru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. Metode yang digunakan adalah metode radiometrik. M. Tuberkulosis metabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

G. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) Pemeriksaan ini adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M. Tuberkulosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara benar dan sesuai dengan standar internasional. Pada tuberkulosis pasca primer, penyebaran kuman terjadi secara bronkogen, sehingga penggunaan sampel darah untuk uji PCR tidak disarankan. Sebaliknya bila sampel yang diperiksa merupakan dahak dari penderita yang dicurigai menderita tuberkulosis paru, masih ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menggunakan PCR sebagai sarana diagnosis tuberkulosis paru. H. Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi dilakukan dengan beberapa metode seperti: 1. Enzym Linked Immunsorbent Assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses antigen antibodi yang terjadi. Kelemahan utama dari teknik ELISA ini adalah pengenceran serum yang tinggi dan perlu dilakukan untuk mencegah ikatan nonspesifik dari imunoglobulin manusia pada plastik. 2. ICT (Immun Chromatografic Tuberculosis) Uji ICT adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M. Tuberkulosis dalam serum. Uji ini merupakan uji diagnostik tuberkulosis yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M. Tuberculosis. 3. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomanan yang ditempel dengan alat yang berbentuk sisir plastic. 4. Uji peroksidase anti peroksidase Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. 5. Uji serologi yang baru/ IgG TB Uji ini adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk mikobakterium tuberkulosis. Di luar negeri metode ini

lebih sering digunakan untuk mendiagnosa TB ekstraparu, tetapi kurang baik untuk diagnosa TB pada anak. I. Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien efusi pleura untuk menegakkan diagnosis. J. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi. K. Pemeriksaan darah Hasill pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga kurang spesifik. L. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan berfungsi bila didapatkan konversi, hasil uji positif yang didapat besar. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negative. Prognosis pada penderita TB paru primer baik jika pasien tidak mengalami gangguan imun, nutrisi yang baik, pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terapi obat. Regimen terapeutik yang dianjurkan adalah rifampisin, pirazinamid, dan isozianid selama 2 bulan, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan, serta tambahan piridoksin untuk mencegah neuropati perifer akibat isozianid. Pencegahan pada TB paru primer ini bisa dilakukan vaksinasi dengan BCG (Jeremy et al., 2006).

BAB II ISI Tuberkulosis Primer A. Tanda dan Gejala Klinis Gejala tuberkulosis primer dimulai anak batuk selama lebih dari 30 hari dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau demam atau suhu tubuh meningkat hingga 400 C, berkeringat malam tanpa alasan tertentu, penurunan aktivitas, susah bernapas terkadang, nyeri dada, nafsu makan kurang sehingga berat badan anak menurun (Laban, 2002). Demam pada pasien TB primer tidak menetap. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian timbul lagi, pasien tidak akan pernah lepas dari serangan demam influenza (Sudoyo dkk, 2009). Keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam dan terlihat kurus. Pada kasus TB primer, pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pada pemeriksaan fisiknya. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, terkadang TB paru primer ini msih sulit dibedakan dengan pneumonia biasa (Sudoyo dkk, 2009). B. Patogenesis dan Patofisiologi 1). Patogenesis Penularan tuberkulosis primer terjadi karena batuk atau dibersinkan dalam bentuk percikan ludah (droplet nuclei) yang mengandung basil Mycobacterium Tuuberkulosis bertebaran di udara sekitar kemudian terhirup oleh anak yang pada saat itu sistem imunitas dalam tubuhnya menurun sehingga mudah terinfeksi. Basil tersebut berkembangbiak perlahan-lahan dalam paru sehingga menyebabkan kelainan paru. Basil ini bila menetap di jaringan paru dan dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman ini pertama kali masuk akan berhadapan dengan nutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atu dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama silia dengan sekretnya. Ia akan tumbuh dan berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Basil juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh lain yang nantinya bisa menyebabkan tuberculosis hati, ginjal, jantung, kulit dan lain-lain (UKK PP IDAI, 2005). Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil yang disebut sarang primer atau afek primer atau fokus ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka akan terjadi efusi
9

pleura. Bila sampai ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru dan menjadi TB milier ( Sudoyo dkk, 2009) Bersamaan dengan itu, sebagian kuman akan dibawa melalui cairan getah bening ke kelenjar getah bening yang terdekat disamping bronkus. Akan terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus ( limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer/ranke yang akan di kelilingi sel-sel kekebalan tubuh yang makin membesar sampai terjadi perubahanperubahan. Semua ini terjadi dalam waktu 3-8 minggu(Sudoyo dkk,2009). Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi (Sudoyo dkk, 2009): 1. Sembuh tanpa meninggalkan cacat 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi di hilus, ini dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3. Berkomplikasi dan menyebar secara : perkontinuitatum (yakni menyebar ke sekitarnya), bronkogen, limfogen, hematogen.

Basil Mycobacterium Tuberculosis ini dapat bertahan selama 1-2 jam pada suasana lembab dan gelap, sebaliknya akan mati jika terkena sinar matahari. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2001). 2) Patofisiologi PATOFISIOLOGI DEMAM & HYPERHIDROSIS Infeksi/Peradangan

Hematogen (mengalir dengan mengikuti aliran darah)

Fagosit

10

Melepaskan pirogren endogen (mediator kimia)

Mengeluarkan prostaglandin

Meningkatkan setpoin di hipotalamus

SUHU SUBFEBRIS /PENINGKATAN SUHU TUBUH

Malam meningkatkan BMR (Basal Metabolik Rate)

Terutama saat tidur, mempengaruhi: Cirdacian cycle


Energi yg dibutuhkan fungsi fisiologi normal saat istirahat

Sekresi keringat

HYPERHIDROSIS

terus-menerus terjadi,

BB

Badan terlihat kurus

Malaise

Penurunan Aktivitas

11

C. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan radiologis Untuk menemukan lesi tuberculosis. Gambaran normal paru adalah radiolusen. Gambaran radiologi pada Tuberkulosis Primer yaitu dapat berlokasi di mana saja di parenkim paru, disertai pembesaran kelenjar limfe regional. Gambaran perubahan primer pada paru dan dalam saluran limfe dan kelenjar limfe yang disebut kompleks primer TB yang terdiri dari: infiltrat (area konsolidasi; fokus Gohn), penebalan sistema aliran limfe, lymphadenopathy hilus, efusi pleura. Gambaran pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia dengan gambaran berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas. Jika lesi sudah ada jaringan ikat maka bayangan terihat bulatan dengan batas menjdi tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. 2) Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik

untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 3) Pemeriksaan sputum Ini adalah pemeriksaan yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Selain itu fungsi dari pemeriksaan ini adalah dapat memebrikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Criteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada 1 sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1ml sputum. 4) Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberculosis pada anakanak. Biasanya memakai tes mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D intrakutan berkekuatan 5. Jika dengan itu memberikan hasil negative maka dosis dapat di naikkan. Bila masih member hasil negative maka tuberculosis dapat disingkirkan. Tes ini menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi mycobacteria. 5) Tes fungsi hati

12

Digunakan tes ini untuk mengetahui apakah seseorang tersebut mempunyai sakit hepar. Karena obat TB tidak boleh digunakan pada orang yang sakit hepar. Pada orang yang memiliki penyakit hepar maka hasil SGOT dan SGPT nya meningkat. D. Penegakkan Diagnosis

Menurut WHO, criteria pasien tuberculosis paru adalah: 1) Pasien dengan sputum BTA positif : a. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan atau, b. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif atau c. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakkan yang positif. 2) Pasien dengan sputum BTA negative : a. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif atau
13

b. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakkannya positif. E. Rencana Terapi 1) Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinyaresistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2006). 2) Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut(Depkes RI, 2006):1.OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalamjumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan (Todar,2009). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebihmenguntungkan dan sangat dianjurkan. 2.Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasanlangsung (DOT=Directly Observed Treatment ) oleh seorang PengawasMenelan Obat (PMO).3.Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a) Tahap Intensif (2-3 bulan) 1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasisecara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. 2Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasienmenular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. 3.Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam2 bulan. 4.Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide,dan etambutol (HRZE) (Barker, 2009). b) Tahap Lanjutan (4-7 bulan) 1.Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalamjangka waktu yang lebih lama. 2.Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegahterjadinya kekambuhan. 3.Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker,2009). 3) Panduan Obat Antituberkulosis (OAT) Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengankategorinya (PDPI, 2006): a) Kategori 1
14

1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. 2. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2RHZE/4R3H3 b) Kategori 2 1. TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan : 2 RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil ujiresistensi. 2. TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah: Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin,ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE. 3.TB Paru kasus putus berobat Berobat 4 bulan - BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikanmaka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukananalisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TBmaka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuatdan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3). - BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obatyang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Berobat 4 bulan

15

-Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yanglebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3). - Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatanditeruskan. c) Kategori 3 1. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal 2. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3 d) Kategori 4 1. TB Paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan: Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimalOAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). 2. MDR-TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup. 4) Multi-Drug Resistant (MDR) Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat antituberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadapOAT lainnya (Prasad, 2005). MDR TB menyebabkan penyakit TB paru menjadisangat fatal dan mematikan, (terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), denganperkiraan terjadinya kematian 2-7 bulan setelah terinfeksi (Bang, 2009). MDR-TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu primary dan acquired Tipe primary disebabkan karena penderita tidak diobati dengan OAT sebelumnya,sedangkan Tipe acquired disebabkan karena adanya pengobatan kemoterapi padapenderita TB paru. Terdapat tiga faktor risiko penting yang mempengaruhi kejadian MDR-TB, yaitu:

16

a) pengobatan dengan OAT yang tidak sesuai; b) pengobatandengan OAT yang tidak lengkap; dan c) adanya kontak dengan komunitas penderitaTB yang memiliki prevalensi resistensi obat yang tinggi. Faktor risiko lain yangberperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah, hidup di penjara,penyalahgunaan obat intravena, dan keadaan-keadaan imunokompromais seperti pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker, HIV/AIDS, dan diabetes mellitus (Prasad, 2005). Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin,pirazinamid, dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang utama MDR-TB. Bila MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah memberikan OAT lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida,pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk jangka waktu yang lama, yaitu 18-24bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal (Prasad,2005) 5) Pencegahan Terapi pencegahan penyakit tuberkulosis pada anak bisa melalui berbagai cara: a) Membuat diagnosa dan mengobati tuberkulosis pada orang dewasa dengan tujuan meminimalkan resiko penularan penyakit tuberkulosis terhadap orang lain terutama anak- anak. b) Memperkuat pertahanan tubuh anak terhadap tuberculosis dengan jalan memperbaiki gizi anak sehingga daya tahannya lebih kuat dan memberi pengebalan aktif buatan dengan vaksin BCG. 6) Prognosis Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan oleh strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau mengalami gangguan kekebalan, yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier (patologi robins vol 2). Prognosis akan baik jika minum obat dengan teratur selama 6 bulan sampai pengobatan selesai.

7) Komplikasi Penyakit TB paru apabila tidak diatasi dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasinya di bagi, sebagai berikut: a) Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, laringitis, usus, Poncets arthrophaty
17

b) Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (SOFT), kerusakan parenkim berat (SOPT), fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

18

BAB III PEMBAHASAN

A. Penjelasan teori baru mengenai penatalaksanaan masalah dalam referat Berdasarkan jurnal tahun....standar regimen untuk penatalaksanaan laten M. tuberculosis infection (LTBI) di USA dan Kanada, terapi dengan menggunakan isoniazid (INH) selama 9 bulan berdasarkan data percobaan klinis tapi waktu pengobatan dapat berkurang menjadi 6 bulan untuk pasien seronegatif untuk infeksi HIV. International Union Against Tuberculosis (IUAT) merekomendasikan pengobatan rutin dengan INH selama 122 bulan karena dianggap lebih efektif dibanding yang 6 bulan (75% vs 65%). Menurut panduan CDC, frekuensi juga dapat dikurangi dari terapi harian menjadi dua kali seminggu dengan peningkatan dosis pada INH. Bagaimanapun, regimen dua kali seminggu harus diberikan secara dorectly observed treatment (DOT). Efisiensi dari INH dalam mencegah TB aktif melebihi 90% pada orang-orang yang menyelesaikan pengobatannya secara tuntas. Meskipun demikian, INH dapat hepatotoksik dan neuropati perifer. Namun risiko ini dapat diturunkan dengan menggunakan pyridoxine (vit. B6) (Ahmad, 2011). Petunjuk ATS dan CDC juga memasukkan 4 bulan rifampisin (RMP) tunggal atau 2 bulan RMP dan pyrazinamide (PZA) sebagai alternatif untuk pengobatan LTBI. RMP tunggal direkomendasikan untuk orang yang tidak toleran terhadap INH atau resisten INH. Ada beberapa keuntungan ketika menggunakan terapi rutin 4 bulan seperti biaya yang rendah, tingginya kepatuhan terhadap pengobatan dan efek samping yang rendah termasuk hepatotoksisitas. Regimen RMP tunggal tidak dapat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang baik seperti diabetes (Ahmad, 2011). Pengobatan LTBI dengan RMP + PZA selama 4 bulan adalah alternatif pilihan lain yang dianjurkan oleh pedoman dari ATS dan CDC pada tahun 2000. Meskipun penelitian awal dengan 2 bulan RMP + PZA pada orang yang terinfeksi HIV dilaporkan menjadi efektif dan aman seperrti pengobatan INH. Pada tahun 2003, terdapat beberapa kasus liver injury yang parah dan kematian yang dilaporkan karena regimen RMP + PZA sehingga ATS dan CDC merevisipedoman tersebut. Pedoman yang telah direvisi menganjurkan bahwa 2 bulan RMP + PZA regimen tidak boleh diberikan kepada orang HIV-seronegatif atau HIV-seropositif karena dapat menyebabkan hepatotoksis yang berat. Namun, hasil dari beberapa studi menunjukkan bahwa 2 bulan rejimen RMP + PZA juga dapat dipertimbangkan ketika rejimen lain tidak cocok akan tetapi dengan pemantauan uji fungsi hati yang ketat (Ahmad, 2011). Sebuah studi melakukan penelitian untuk membandingkan antara INH+rifapentin (RPE) seminggu sekali selama 3 bulan dengan RMP+PZA harian selama 2 bulan, ternyata didapatkan hasil bahwa pengobatan dengn INH+RPE lebih aman karena lebih rendah hepatotoksisitasnya. Saat ini, sebuah studi multi-center besar sedang dilakukan oleh Tuberculosis Trials Consortium

19

dari CDC untuk menentukan keefisienan dari INH+RPE. Namun, biaya regimen INH+RPE ini merupakan isu penting karena RPE saat ini lebih mahal daripada RMP (Ahmad, 2011). B. Penjelasan kekurangan dan kelebihan teori baru tersebut dibandingkan dengan teori sebelumnya Kelebihan Teori baru Masa pengobatan lebih cepat Kekurangan Biaya untuk obat baru yang lebih cepat masa penyembuhannya cenderung lebih mahal contohnya RPE

Kepatuhan pasien dalam meminum obat lebih patuh karena adanya keterlibatan dari berbagai pihak seperti adanya PMO Efek samping obat lebih rendah Teori lama Biaya untuk obat cenderrung lebih murah

masa pengobatan lebih lama kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum obat Efek samping obat yang cukup tinggi terutama hepatotoksisitas

C. Harapan untuk penatalaksanaan masalah dalam referat yang lebih baik Harapan dari penatalaksaan masalah tuberkulosis ini adalah adanya suatu obat yang sangat efektif dan efisien dengan tingkat risiko yang rendah sehingga bisa menurunkan tingkat prevalensi tuberkulosis.

20

BAB IV KESIMPULAN

21

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Available From URL : http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/115/jtptunimus-gdlrinawatifa-5720-3-babii.pdf. diakses pada tanggal 9 April 2011. Jeremy, dkk. (2006) At a Glance Sistem Respirasi ed.2. Jakarta : Erlangga. Muwarni dan Yuliana. (2007) Tingkat Keberhasilan Penyembuhan Tuberkulosis Paru Primer Pada Anak Usia 1-6 Tahun Di Desa Cibuntu Cibitung Bekasi Dengan Pendekatan Pola perawatan 2007. Jurnal kesehatan Surya Medika. Yogyakarta Sudoyo, Aru W, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing Viedma, dkk. (2005) Association Between The Infectivity Of Mycobacterium Tuberculosis Strains And Their Efficiency For Extrarespiratory Infection. The Journal of Infection Disease. Vol. 192. Pp 2059-2965.

22

You might also like