You are on page 1of 3

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Gout adalah gangguan metabolik yang diderita lebih dari 2 milyar orang di

dunia. Menurut data, prevalensi gout sebanyak 1,7% pada populasi di Jawa, Indonesia. sedangkan rasio antara pria dan wanita untuk gout adalah 34:1. Dengan begitu, pria lebih berisiko terserang gout daripada wanita. Ditambah lagi, angka kejadian gout semakin bertambah dari tahun ke tahun. Gout memperlihatkan serangan nyeri akut dan peradangan sendi yang sebagian besar terjadi pada metatarsophalangeal pertama (MTP-1). Serangan gout timbul secara tiba-tiba yang didasari oleh keadaan hiperurisemia. Keadaan ini menyebabkan pengendapan monosodium urat (MSU) dalam sendi. Kristal MSU yang mengendap memicu aktivasi neutrofil dan inflitrasi ke dalam sendi. Neutrofil akan menghasilkan beberapa sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1a, dan IL-6. IL-6 merangsang peningkatan produksi protein fase akut yaitu CReactive Protein (CRP), sehingga kadarnya dalam darah meningkat 10x lipat. Selain itu, makrofag juga berperan dalam aktivitas fagositosis dan aktivasi neutrofil melalui produksi IL-4 dan IL-8. Aktivitas fagositosis ini menyebabkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) melalui membranolisis. Produksi ROS menimbulkan stress oksidatif. Kerusakan sel yang diakibatkan oleh stress oksidatif dapat dinilai melalui malondialdhyde (MDA). Dalam mengatasi serangan gout, umumnya digunakan obat allopurinol dan Non Steroid Anti Inflammatory drugs (NSAIDs). Pemantauan terapi gout dapat dilihat melalui kadar asam urat dan hitung jenis leukosit beserta komponen inflamasi lainnya seperti CRP. Namun, agen terapi ini memiliki efek samping yang berdampak buruk bagi tubuh. Allopurinol memiliki efek samping seperti gangguan kulit dan pencernaan. Di samping itu, NSAIDs juga memiliki efek samping seperti toksisitas ginjal dan perdarahan gastrointestinal. Selain itu, adanya stress oksidatif maka dibutuhkan suatu antioksidan.

Flavonoid merupakan

senyawa

yang memiliki

efek antioksidan.

Kandungan flavonoid yang tinggi dapat ditemukan dalam kakao (Theobroma cacao).Kandungan flavonoid yang terdiri dari katekin, epikatekin dan prosianidin berperan sebagai inhibitor peroksidase lipid dalam mengurangi stres oksidatif (Andujar et al., 2012; Katz et al, 2011). Selain itu, kandungan antioksidannya dapat berperan sebagai xantin oksidase inhibitor sehingga memiliki kemampuan menurunkan kadar asam urat di dalam darah (Ozyrek et al., 2009). Theobroma cacao juga mengandung caffedymine yang mampu menghambat enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) sehingga kakao dapat berperan sebagai antiinflamasi dan analgetik alami (Park, 2007). Potensi besar kakao sebagai terapi alternatif harus dimanfaatkan. Telah banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang efek Theobroma cacao sebagai xantin oksidase inhibitor. Namun sampai saat ini, penelitian mengenai efek terapi Theobroma cacao ditinjau dari aspek respon inflamasi dan stres oksidatif yang terjadi pada gout masih belum ada. Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengupas lebih lanjut tentang pengaruh kakao dalam menurunkan kadar asam urat. Hal ini tertuang dalam proposal penelitian yang berjudul Efek Terapi Kakao (Theobroma Cacao) Terhadap Gout Melalui Pendekatan Stres Oksidatif dan Respon Inflamasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Alwan, Ala (Ed.). 2011. Global Status Report On Noncommunicable Diseases 2010. Italy: World Health Organization.

Internet Departemen Kesehatan RI. 2012. Penyakit Tidak Menular (PTM) Penyebab Kematian Terbanyak di Indonesia. http://www.depkes.go.id/index.php?vw= 2&id=1637 [28 Desember 2013]. Departemen Kesehatan RI. 2012. Risiko Utama Penyakit Tidak Menular Disebabkan Rokok. http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1386 [28 Desember 2013]. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Apakah Nyeri Sendi Saya Akibat Asam Urat? Kenali Gout. http://www.reumatologi.or.id/reuarttail?id=5 [21 Januari 2014]. World Health Organization. 2011. Indonesia Map and Statistics.

http://www.int/countries/idn/en/ [1 Januari 2014].

You might also like