You are on page 1of 8

Tinjauan Pustaka

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial

Iris Rengganis
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak: Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis. Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan pasien. Kata kunci: asma, inflamasi kronik, faktor risiko, kontrol asma, edukasi

Diagnosis and Management of Bronchial Asthma Iris Rengganis


Department of Internal Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstract: Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow obtruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma symptoms, the former include host factors which are primarily genetic and the later are environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control. The effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor and patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patients. Keywords: asthma, chronic inflammation, risk factor, asthma control, education

444

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial Pendahuluan Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).1,2 Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.3 Definisi Asma Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.1,2,4 Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1 Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obatobat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.1,2,4 Patofisiologi Asma Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.1,3-6 Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

445

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2 Faktor Risiko Asma1,2,7-10 Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor Genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). i. Status ekonomi Klasifikasi Asma1,2 Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya. Klasifikasi Menurut Etiologi Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Klasifikasi Menurut Kontrol Asma Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

446

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada. Diagnosis Asma1,2 Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa1 Derajat Asma Intermiten Gejala Bulanan Gejala <1x/minggu tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat Mingguan Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur Gejala Malam Faal Paru APE >80% - VEP1 >80% nilai prediksi APE >80% nilai terbaik - Variabiliti APE <20%. APE >80% >2 kali sebulan Persisten sedang . Harian Gejala setiap hari.Serangan mengganggu aktivitas dan tidur. Bronkodilator setiap hari. VEP1 >80% nilai prediksi APE >80% nilai terbaik. Variabiliti APE 20-30%.

<2 kali sebulan

Persisten ringan .

>2 kali sebulan

APE 60-80% - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik. - Variabiliti APE >30%. APE <60% - VEP1 <60% nilai prediksi APE <60% nilai terbaik - Variabiliti APE >30%

Persisten berat .

Kontinyu Gejala terus menerus. Sering kambuh. Aktivitas fisik terbatas

Sering

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

447

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2. Pemeriksaan Klinis1 Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi
Tabel 2. Gejala-gejala Kunci Diagnosis Asma 12-14 Gejala kunci Gambaran gejala Faktor presipitasi Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas cepat, produksi sputum, sering waktu malam, respons terhadap bronkodilator Perenial, musiman atau keduanya; terus-menerus, episodik, atau keduanya; awitan, lama, frekuensi (jumlah hari/malam/minggu/bulan), variasi diurnal terutama nokturnal dan waktu bangun pagi hari Infeksi virus. Alergen lingkungan, dalam rumah (jamur, tungau debu rumah, kecoa, serpih hewan atau produk sekretorinya) dan outdoor (serbuk sari/pollen) Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, sistem pendingin/pemanas, membakar kayu, pelembab, karpet, jamur, hewan piaraan, mebel dibungkus kain) Latihan jasmani, kimiawi/alergen lingkungan kerja Perubahan lingkungan Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan udara, debu, partikulat, uap, gas) Stres Obat (aspirin, antiinflamasi, -bloker termasuk tetes mata) Makanan, aditif, pengawet Perubahan udara, udara dingin Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid) Usia awitan dan diagnosis Riwayat cedera saluran napas Progres penyakit Penanganan sekarang dan respons, antara lain rencana penanganan eksaserbasi Frekuensi menggunakan SABA Keperluan oral steroid dan frekuensi penggunaannya Riwayat asma, alergi, sinusitis, rinitis, eksim atau polip nasal pada anggota keluarga dekat Perawatan/ daycare, tempat kerja, sekolah Faktor sosial yang berpengaruh Derajat pendidikan Pekerjaan Tanda prodromal dan gejala Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat berat Jumlah eksaserbasi dan beratnya/tahun Penanganan biasanya Episode perawatan di luar jadwal (gawat darurat, dirawat di RS) Keterbatasan aktivitas terutama latihan jasmani Riwayat bangun malam Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan, pola hidup dan efek ekonomi Pengetahuan mengenai asma: penderita, orang tua, istri/suami atau teman dan mengetahui kronisitas asma Persepsi penderita mengenai penggunaan obat pengontrol jangka lama Kemampuan penderita, orang tua, istri/suami/teman untuk menolong penderita Sumber ekonomi dan sosiokultural

dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang. Pemeriksaan Penunjang1,2,5 1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. 2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

Perkembangan penyakit

Riwayat keluarga Riwayat sosial

Riwayat eksaserbasi

Efek asma terhadap penderita dan keluarga Persepsi penderita dan keluarga terhadap penyakit

448

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial 4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. Penilaian Kontrol Asma: Memantau dan Mempertahankan dengan Pendekatan Bertahap11-14 Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau kontrol). PFM digunakan pada penderita 6 tahun. Bila hasil spirometri menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi yang menetap tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang buruk merupakan prediktor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan kontrol buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup, penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/KS oral terutama untuk penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, teknik inhalasi, kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat dipertahankan serta menentukan tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma. Pendekatan pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up) bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit kronis, asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama untuk menekan inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang efektif untuk semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi terapi alternatif berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma dapat berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh karena asma dapat berbeda dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila mungkin stepping down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol asma. Pengobatan Bertahap pada Berbagai Usia1,12-14 Penilaian derajat berat dan kontrol dilakukan menurut 2 domain yang sama yaitu gangguan (gejala, tidur, dan aktivitas) dan risiko eksaserbasi yang memerlukan steroid oral. Derajat berat asma ditentukan oleh domain gangguan dan risiko terberat. Pendekatan stepwise adalah untuk menolong, bukan untuk menggantikan. Ambang derajat berat ditentukan oleh domain gangguan terberat (nilai dari 2-4 minggu yang akhir, dapat menggunakan PFM) dan risiko.

5.

6.

Konsep Baru Pengobatan Awal Penilaian Derajat11-14 Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3 golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2 domain dalam evaluasi derajat berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat asma, Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan dapat memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan awal. Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

449

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial Keputusan berdasarkan data klinis untuk memenuhi kebutuhan penderita. Dewasa ini tidak cukup bukti hubungan antara frekuensi eksaserbasi dengan berbagai ambang derajat berat asma. Bila perbaikan tidak dicapai dalam 4-6 minggu walaupun teknik pengobatan dan ketaatan cukup baik, pertimbangkan terapi penyesuaian atau alternatif. Penderita dengan dua atau lebih eksaserbasi, memerlukan steroid oral dalam 6 bulan akhir atau empat episode mengi dalam satu tahun terakhir, dianggap sebagai penderita asma persisten, meskipun tidak disertai ambang gangguan yang konsisten dengan asma persisten. Sebelum step up, perlu dievaluasi kepatuhan penderita minum obat, teknik penggunaan inhaler, kontrol lingkungan dan komorbiditas. Bila diberikan pengobatan alternatif, hentikan penggunaannya sebelum step up. Eksaserbasi Asma1,11-14 Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler. Pencegahan1,2,11-14 A. Mencegah Sensititasi Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis. B. Mencegah Eksaserbasi Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah,
450

hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya. Penatalaksanaan Asma Bertujuan: 1,14-15 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya Menghindari efek samping obat Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat

Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:1,2,13,14 1. Penatalaksanaan Asma Akut Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan. 2. Penatalaksanaan Asma Kronik Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal pelega. Ciri-ciri asma terkontrol: 1. Tanpa gejala harian atau d 2x/minggu 2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian 3. Tanpa gejala asma malam 4. Tanpa pengobatan pelega atau d 2x/minggu 5. Fungsi paru normal atau hampir normal 6. Tanpa eksaserbasi Ciri-ciri asma tidak terkontrol 1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma) 2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut 3. Kebutuhan obat pelega meningkat. Pengendalian asma bertujuan:1,5,10 1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma 2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma 3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma 4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai standar/kriteria 5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma 6. Menurunnya angka kematian akibat asma Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi:1,2,15 1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan asma. 2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian asma. 3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma. 4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat inhalasi Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media elektronik lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media cetak lainnya. Daftar Pustaka
1. 2. 3. Global strategy for asthma management and prevention. National Institutes of Health, 2007. Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical Publishers;2006.707-36. Holgate ST, The bronchial epithelial origins of asthma in immunological mechanisms in asthma and allergic disease. Robinson DS (ed), S. Karger AG, Basel, Switzerland, 2000.62-71. Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.volume 63,646. Eapen SS, Busse WW. Asthma in inflammatory mechanisms in allergic diseases. In: Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker; 2002.p.325-54. Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception of disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075. Brisbon N, Plumb J, Brawer R, Paxman D, The asthma and obesity epidemics: The role played by the built environment-a public health perspective. JACI.2005;115 (5):1024-8. Devereux G, Seaton A, Diet as a risk factor for atopy and asthma.JACI.2005.115 (6):1109-17. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy - a global perspective in Allergy. European Journal of Allergy and Clinical Immunology.2007;62 (3).213-5. Corrigan C, Rak S, Asthma in allergy. China: Elsevier Mosby; 2004.26-38. Bacharier LB, Louis S.Step-down therapy for asthma: Why, When, and How? JACI.2002; 109 (6):916. Bochner BS, Busse WW. Allergy and Asthma.JACI.2005;115 (5):953-9. Broide D. New perspectives on mechanisms underlying chronic allergic inflammation and asthma in 2007. JACI.2008.122 (3): 475-80. Cabana MD, Le TT, Arbor A. Challenges in asthma patient education.JACI.2005;115 (6):1225-7.

4.

5.

6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13. 14.

15.

MS/FR

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

451

You might also like