You are on page 1of 69

Kajian Bagi Pemula

Berkenalan Dengan Salaf

Penulis:

Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali

Judul Asli : Adwa’un ‘Ala Kutubis Salafi Fil Aqidah

Penerjemah : Abu Usamah Ibnu Rawiyah An Nawawi

Penerbit : PUSTAKA SUMAYYAH

Di Ubah Ke Dalam E-Book Format CHM Oleh : Ahmad Al


Makassary

Di Download Di www.ashthy.wordpress.com
(http://ashthy.wordpress.com/2007/08/23/berkenalan-dengan-salaf/)

Di Ubah Ke Dalam E-Book Format PDF Oleh : Abu Isa As-Singkepy


DAFTAR ISI :

KATA PENGANTAR PENERBIT


KATA PENGANTAR PENERJEMAH
PENDAHULUAN
MAKNA SALAF
BATASAN ZAMAN
SALAFIYAH DAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
KEUTAMAAN ILMU SALAF DAN KITAB-KITAB MEREKA
KITAB-KITAB SALAF DALAM MASALAH AQIDAH

KATA PENGANTAR PENERBIT


Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb yang

menguasai alam semesta. Kami memujinya, memohon pertolongan dan

meminta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan

diri-diri kami dan dari keburukan amalan kami.

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun

yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya,

maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi

bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu

wa ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan hanya kepada-Nya kami berserah

diri. Dan kami juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-

benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati

melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah

menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama lain, dan (paliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)


“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan

katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu

amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan

barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah

mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71)

Amma ba’du.

Sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk

adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek

perbuatan adalah perbuatan yang diada-adakan, setiapa yang diada-adakan

adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di

dalam neraka.

Kata salaf sering kita dengar. Apa itu salaf? Dan mengapa kita harus

bermanhaj salaf?

Manhaj salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua

kata yaitu: manhaj (manhajun) dan salaf (assalafu). Manhaj dalam bahasa arab

sama dengan minhaj (minhaajun) yang bermakna: “Sebuah jalan yang terang

lagi mudah” (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa arab bermakna: “Siapa saja

yang mendahuluimu dari nenek moyang dan kari kerabat, yang mereka itu di

atasmu dalam hal usia dan keutamaan.” (Lihat Lisanul Arab, karya Ibnu

Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syari’at maknanya adalah: “Para imam

terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari kalangan para
sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tabi’in (murid-murid

sahabat), dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in).” (Lihat Manhajul Imam

asy Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah, karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al

‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi diatas, maka manhaj salaf (manhajus salafi) adalah

suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh

oleh para shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tabi’in dan tabi’ut

tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah

shallallahu’alaihi wa sallam.

Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut Salafi atau As Salafi,

jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun.

Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata:

“As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj

salaf.” (Lihat Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Adapun dalil dari Al qur’an dan As Sunnah agar kita mengikuti manhaj

salaf dalam melaksanakan agama ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya

kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami

biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan

dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat

kembali.” (An Nisa’: 115)


Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya yang dimaksud orang-orang mukmin disini adalah para

shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan generasi pertama umat

ini.” (Lihat Al Mirqat fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37).

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku

nanti, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu

wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah

Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat

dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham.” (Shahih, HR. Abu

Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan lainnya dari shahabat Al

‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dan perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada puterinya

Fathimah, ketika beliau sakit keras menjelang wafat:

“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya

sebaik-baik salafmu (pendahulumu) adalah aku.” (HR. Al Bukhari dalam

Al Maghazi, Bab: Sakitnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan

wafatnya (5/137) dan Muslim dalam: Keutamaan Shahabat, Bab:

Keutamaan Fathimah binti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, hadits

no. 2450).
Semua penjelasan di atas diambil dari majalah Syari’ah Vol. 1/ No. 04/

Juli 2003/ Jumadil Ula 1424 H dan buku Sirah Shahabiyah penerbit Maktabah

Salafy Press Cet. Kedua, Rabiul Awwal 1427 H/ April 2006 M.

Pekalongan,

Rajab 1427 H/ Agustus 2006 M

Penerbit Pustaka Sumayyah


KATA PENGANTAR PENERJEMAH

Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah atas selesainya

penerjemahan buku ini. Saya tidak mempunyai maksud tertentu melainkan

hanya mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala.

Saya mempunyai segenap keinginan untuk menyebarluaskan buku ini

agar bermanfaat kepada segenap kaum muslimin baik dari kalangan awam dan

alim mereka, berpengkat ataupun tidak dan yang miskin ataupun yang kaya.

Tujuan diterjemahkan buku ini untuk membongkar kedok-kedok hizbiyyun yang

selama ini mereka sembunyikan, baik di tengah kaum muslimin ataupun

ditengah pengikut mereka.

Dan juga ingin menjelaskan kebenaran jalan yang telah ditempuh oleh

Ahlussunnah wal Jama’ah dengan maksud agar mereka yang mengikutinya

mendapatkan istiqomah dari Allah dan agar terpanggil (dan mendapat hidayah)

orang-orang yang tadinya memandang Ahlussunnah dengan sebelah mata.

Kepada Allahlah kita mengadukan nasib kita dan nasib kaum muslimin.

Dan kepada-Nya kita minta petunjuk agar kita terbebaskan dari penjajah

kabid’ahan dan kesyirikan serta dari para pelakunya.

Allah A’lam Bish Shawwab.

Abu Usamah Ibnu Rawiyah An Nawawi


PENDAHULUAN

Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta

pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari

kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun

yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak

ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah

kecuali Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi pula bahwa

Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan

sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati

melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)

“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan

isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-

Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan

silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An

Nisa’: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan

katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-

amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah

dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang

besar.” (Al Ahzab: 70-71)

Amma ba’du.

Tidak diragukan lagi bahwa pokok Islam dan kaidahnya adalah

mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan keyakinan dasar, yang

mencakup di dalamnya mentauhidkan Allah dalam masalah Rububiyah,

Uluhiyah, Asma’ dan Shifat serta perbuatan-perbuatan-Nya.

Kalaulah mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya semata dan tidak

menyekutukan-Nya, merupakan amal yang paling dicintai dan paling besar

nilainya, maka amal yang paling besar dosa dan kejahatannya adalah

melakukan perbuatan yang menyelisihi tauhid, yaitu menyekutukan Allah,

menentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan

menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang

dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan

mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raf: 180)

Untuk menambah penjelasan akan pentingnya tauhid, disini saya akan

menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.


Beliau rahimahullah berkata:

“Mentauhidkan Allah merupakan pondasi agama ini. Allah tidak akan

menerima agama lain karena permasalahan tauhid ini, baik dari orang-orang

yang terdahulu maupun yang kemudian. Dengan tauhid ini pula, Allah

mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus

sebelum kamu: “Adakah Kami telah menentukan Tuhan-tuhan yang disembah

selain Allah yang Maha Pemurah?” (Az Zukhruf: 45)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Tidaklah kami mengutus seorang rasul pun sebelummu melainkan Kami

wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan )yang hak) kecuali

Aku, maka sembahlah Aku!” (Al anbiya’: 25)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul kepada tiap-

tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah taghut itu,

maka diantara umat itu, ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan

ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” (An Nahl: 36)

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa setiap Rasul

memulai dakwahnya dengan menyerukan kepada kaumnya (agar mengatakan):


“Sembahlah oleh kalian allah, tidak ada sesembahan bagi kalian selain

Dia.” (Al A’raf: 59)

Selesai ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[1]

Wahai saudara-saudaraku yang bertauhid;

Sekalipun pembicaraan tentang dasar yang agung ini sering diulang,

namun tidak akan terjadi pengulangan yang membosankan karena beberapa

sebab:

Pertama:

Seluruh (isi) Al qur’an berporos di atas dasar yang besar ini (tauhid).

Sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an mengulang-ulang, memulai dan memuji

dengannya (tauhid).

Kedua:

Muncul seruan-seruan dakwah yang berusaha untuk mengaburkan

permasalahan tauhid ini dan memalingkannya kepada permasalahan-

permasalahan yang lain.

Digunakan uslub-uslub (cara-cara) yang penuh kebathilan dan ‘bunglon’

di bawah syiar-syiar yang memikat serta menggiring para pemuda agar

menjauhi dari dasar-dasar agama mereka.

Padahal agama bertujuan memerangi segala bentuk maksiat dan dosa

dan memperbaiki dan membersihkan pelakunya dari perbuatan-perbuatan

bid’ah, khurafat dan kesyirikan-kesyirikan.


Ketiga:

Dikarenakan mayoritas kaum muslimin sangat membutuhkan dakwah

yang akan mengetuk gendang pendengaran mereka, yaitu dakwah untuk

mewujudkan tauhidullah (mentauhidkan Allah) dengan macamnya yang tiga

(Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ dan Shifat-Nya). Lebih-lebih di luar negeri ini

(Saudi Arabia), karena alhamdulillah negeri ini telah disinari dengan sinar

tauhid.

Kami telah merasakan bagaimana rindunya kaum muslimin untuk

mengetahui kaidah-kaidah tauhid serta sisi lainnya dalam masalah aqidah. Ini

dikarenakan kebanyakan yang dilakukan oleh kaum muslimin telah menyelisihi

Al qur’an dan as Sunnah, khususnya dalam masalah I’tiqad (keyakinan).

Kita bisa melihat betapa banyak dari manusia ini yang telah meninggal

setiap tahun. Mereka barjumpa dengan Rabb mereka dalam keadaan mereka

jahil (tidak mengetahui) dasar agama dan keyakinannya berlumuran dengan

kesyirikan, khurafat serta keyakinan-keyakinan meyimpang yang bertentangan

dengan yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Saya menyerukan kepada siapa saja yang ragu terhadap tulisan ini atau

dia menyangka berlebih-lebihan, silahkan masuk ke tempat-tempat kuburan di

kota-kota atau di desa-desa negeri kaum muslimin, niscaya dia akan

menyaksikan bagaimana masalah aqidah tauhid telah ‘disembelih’ dihadapan

bangunan-bangunan, tempat-tempat rekreasi dan kuburan-kuburan tersebut.


Penyimpangan ini bukan hanya terjadi di tengah-tengah kaum muslimin

yang jahil, bahkan terjadi pada kebanyakan cendekiawan dan orang-orang

yang menyandarkan dirinya kepada ilmu. Terlebih, mereka yang terjebak dalam

kedustaan tasawuf. Betapa banyak semua ini terjadi di negeri kaum muslimin,

bahkan merekalah yang mayoritas (terjatuh di dalamnya).

Lebih aneh lagi, bahwa pemerintah-pemerintah ‘ilmaniyah (sistem

pemerintahan yang memisahkan agama dari urusan negara/sekuler) yang

bercokol di negeri-negeri kaum muslimin, berusaha memerangi pelaksanaan

hukum-hukum syari’at Islamiyah dan menghilangkan segala yang berbau Islam.

Bahkan dalam waktu yang bersamaan, pemerintah sekuler tersebut

memberi angin segar agar khurafat dan tasawuf semakin besar, serta memberi

fasilitas bagi para penyembah kubur dan penyembah orang-orang yang telah

mati.

Sistem inilah yang telah dipakai oleh kaum penjajah dan inilah bentuk

faham penjajahan (yang baru). Karena para penjajah telah mengetahui melalui

berbagai pengalaman bahwa tidak ada yang paling berbahaya terhadap

mereka yang sesat dan kotor, selain hukum Islam.

Oleh karena itu jelaslah bagi kita, kenyataan bahwa kaum muslimin telah

meremehkan kaidah yang besar ini yaitu tauhid Uluhiyah serta menghancurkan

kaidah tauhid tersebut di bawah syiar pengagungan terhadap para wali dan

orang shalih secara melampaui batas.


Maka pintu inilah kebanyakan kaum muslimin tergelincir masuk

kubangan syirik besar, seperti berdo’a kepada orang shalih, dan beristighotsah

(meminta bantuan) kepada mereka.

Ketika ada marabahaya, kaum muslimin mencari jalan keluarnya dengan

mendatangi (kuburan) mereka dan melupakan sesembahan yang satu, yaitu

Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berfirman:

“Maka janganlah kalian menyeru (berdo’a) kepada seseorang pun

bersama Allah.” (Al Jin: 18)

Dan Dialah yang telah berfirman:

“Barangsiapa yang menyembah Tuhan yang lain di samping allah,

padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya

perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir tidak akan

beruntung.” (Al Mu’minun: 117)

Wahai saudara-saudara yang kucintai;

Adapun bentuk meremehkan sisi yang kedua yang dilakukan oleh

kebanyakan umat Islam yaitu sisi tauhid Asma’ wa Shifat. Ini adalah perkara

besar lagi berbahaya dan keliru karena merupakan perkara yang agung.

Karena Allah menamakan penyimpangan di dalamnya dengan nama ilhad.

Ulama salaf telah menghukumi secara umum dengan kufur –bukan

secara khusus- bagi orang yang menentangnya!

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Hanya milik allah Asma’ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan

menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang

dari kebenaran (dalam) menyebutkan nama-nama-Nya. Nanti mereka akan

mendapat balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan.” (Al A’raf: 180)

Diantara alasan kenapa sisi ini –tauhid Asma’ was Shifat- sangat

diperhatikan, karena lembaga-lembaga pendidikan, seperti madrasah-

madrasah kaum muslimin di segala penjuru kecuali negeri ini (Saudi Arabia)

dan beberapa madrasah-madrasah salafiyah di luar negeri ini, saya katakan,

mayoritas madrasah-madrasah tersebut berdiri di atas aqidah yang terkenal

dengan aqidah Asy’ariyah.

Dan saya tambahkan, bahkan sebagian madrasah-madrasah kaum

muslimin tersebut bersandar kepada aqidah Mu’tazilah, dalam keadaan

kebanyakan orang menyangka bahwa aqidah Mu’tazilah tidak ada wujudnya

lagi kecuali telah menjadi puing-puing di dalam kitab-kitab terdahulu.

Saya informasikan, bahwa saya telah melihat sebuah kitab yang muncul

baru-baru ini di negeri Saudi Arabia, karya seorang alim di sebuah pusat agama

yang terpandang dan masyhur, dan buku tersebut telah direvisi oleh

pengarangnya.

Di dalam kitab tersebut, pengarangnya menganjurkan agar ketika

berdakwah kepada kaum muslimin dengan berpegang kepada aqidah

Mu’tazilah dalam masalah: Al qur’an adalah mahluk, mengingkari bahwa Allah


bisa dilihat pada Hari Kiamat, dan kekalnya pelaku dosa besar. Kitab tersebut

berjudul Al Haqqu Ad Damiq.

Masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya dari aqidah

Mu’tazilah. Melihat kitab seperti ini, yang telah muncul dari negeri

pengarangnya serta melihat kedudukannya dalam agama dan kemasyhuran

namanya, dikhawatirkan akan mempengaruhi anak-anak kaum muslimin, jika

para ulama tidak tampil untuk membantah dan menjelaskan kesalahan-

kesalahannya dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Dengan cara seperti inilah dia menyebarkan dan menghidupkan

pemikiran-pemikiran Jahm bin Shafwan, Bisyir Al Marisi, dan Ahmad bin Abi

Du’ad, yang telah Allah padamkan, akan tetapi bagi setiap kaum (kelompok)

ada pewarisnya.

Aqidah yang menyeleweng ini bila kita biarkan, maka tidak ada jalan

yang lebih utama daripada menghidupkan atsar-atsar (jejak-jejak) salafus

shalih. Dan inilah yang akan menjadi pokok pembahasan (dalam buku ini).

MAKNA SALAF
Kata Salaf sering diucapkan. Maksudnya adalah generasi pertama dari

kalangan sahabat dan tabi’in (generasi pasca sahabat) yang berada di atas

fitrah (dien) yang selamat dan bersih dengan wahyu Allah. Mereka

menyandarkan aqidah kepada Alqur’an dan As sunnah yang suci. Pemikiran

mereka belum ternodai dengan pemahaman-pemahaman filsafat asing. Mereka

telah berlalu sebelum pengaruh filsafat-filsafat tersebut merusak kaum

muslimin. Untuk mengetahui batasan Salaf, maka kita harus mengetahui

batasan zaman dan manhaj mereka.

BATASAN ZAMAN
Adapun batasan zaman mereka adalah tiga generasi yang pertama yang telah

dipersaksikan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassallam. Untuk keutamaan

mereka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,

"Sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (Sahabat) kemudian orang-orang

sesudah mereka (tabi’in) kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’ut

tabi’in)"[2]

Demikian itu dikarenakan segala kebaikan yang ada pada diri mereka, dan di

masa mereka kelompok-kelompok sesat belum menampakkan permusuhan

dan belum menguasai kaum muslimin sebagaimana yang terjadi sesudah

mereka tiada. Berarti yang dimaksud Salaf menurut tinjauan sejarah adalah

para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian orang-orang yang mengikuti

mereka secara kebaikan.

Foot Note:

[2]. Shahih Al-Bukhari, kitab: Asy-Syahadah dari sahabat Imran bin Husain

radhiyallahu’anhu

BATASAN MANHAJI
Adapun batasan manhaji adalah orang-orang yang konsisten memegang

prinsip-prinsip Alqur’an dan Assunnah, mengutamakan prinsip tersebut di atas

prinsip-prinsip akal manusia dan mengembalikan semua permasalahan yang

diperselisihkan kepada keduanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu

WaTa’ala,

"Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah

kepada Allah (Alqur’an) dan Rasulullah (Assunnah) jika kalian benar-benar

beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi

kalian) dan lebih baik akibatnya"(An Nisa:59)

Inilah keistimewaan yang dimiliki oleh mereka (Ahlus Sunnah). Karena

kelompok-kelompok yang menyelisihi mereka dengan berbagai macam

bentuknya adalah tidak konsisten di atas manhaj (jalan) ini. Kelompok yang lain

menolak sebagian hadits-hadits, walaupun hadits tersebut shahih dan

mentakwilkan ayat-ayat yang sudah jelas dengan menyangka bahwa semuanya

bertentangan dengan akal sebagaimana terjadi pada ayat-ayat dan hadits-

hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Sebab tidak ada yang

menetapkan secara dhahiriyah dan menafikan tasybih (penyerupaan kepada

makhluknya) kecuali ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka.

"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-

orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan

baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah

menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di


bawahnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan

yang besar"(At-Taubah:100)

Orang-orang yang telah dijelaskan dalam ayat tersebut dengan sifat-sifatnya

adalah Salafush Shalih. Adapun orang-orang (generasi) setelahnya dan

menempuh jalan yang ditempuh mereka maka dinisbahkan kepada mereka

dengan huruf "ya", nisbahnya menjadi Salafi. Adapun orang- orang yang datang

setelahnya dan tidak mengikuti jalan mereka, mereka adalah khalaf dan mereka

bangga dengan keadaan yang demikian itu. Mereka memisahkan jalan mereka

sendiri dari jalan Salaf, khususnya dalam hal menetapkan Sifat-sifat Allah. Bukti

kongkrit yang demikian itu ada dalam makalah-makalah mereka yang

menyatakan jalan Salaf adalah selamat dan jalan khalaf adalah a’alam (lebih

berilmu) dan ahkam (lebih lurus). Makalah ini dan kebatilannya sangat mahsyur

(terkenal). Dan juga dibawakannya makalah ini sebagai bukti pengakuan orang-

orag khalaf bahwa mereka bukan di atas jalan Salaf, dan bahwasanya jalannya

Khalaf lebih banyak ilmu dan lebih lurus.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membatalkan ungkapan ini dan menetapkan

bahwa jalan Salaf adalah menghimpun segala sifat-sifat yang baik. Maka dari

itu JALAN MEREKA adalah ASLAM (SELAMAT), ‘ALAM (ILMIYAH), DAN

AHKAM (LURUS).[3]

Foot Note:

[3]. Lihat kitab Al Fatawa Al Hamawiyah Al Kubra.

SALAFIYAH DAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH


Diantara para da’i, ada yang selalu mengelak untuk memakai istilah

salafiyah dan mereka hanya terfokus dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,

padahal mereka mengaku beraqidah salaf.

Mereka hanya memperkenalkan sifat dakwahnya dengan sebutan Ahlus

Sunnah wal Jama’ah. Mereka menyatakannya berkali-kali dalam muhadharah-

muhadharah (ceramah-ceramah) dan majelis ilmu mereka.

Demikianlah, tatkala mereka tidak mau memakai istilah salafiyah, maka

ini termasuk dari bukti keagungan dan kemuliaan Allah, agar dakwah yang haq

(benar) berbeda dengan segala yang mengotorinya dan agar tersating dari

segala kerancuan dan noda-noda.

Adapun penjelasannya mengapa istilah Ahlus sunnah wal Jama’ah mulai

berkembang (dan muncul) adalah ketika fitnah-fitnah pada saat itu mulai

berbenih bid’ah-bid’ah. Untuk itu, jama’ah kaum muslimin yang berpegang

dengan sunnah terbedakan dengan yang lainnya.

Sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah, sedang lawannya disebut

Ahlul Bid’ah. Yang berpegang dengan sennah disebut juga dengan Al Jama’ah.

Istilah ini merupakan asal nama mereka, yang terpisah dari hawa nafsu dan

kebid’ahan.

Adapun pada masa kini, setiap kelompok dan aliran yang berbeda-beda

memakai istilah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Anda menyaksikan banyak


kelompok yang menamakan diri –meski aturan-aturan yang mereka pakai

berasal dari mereka sendiri- dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sampai-sampai sejumlah tarekat sufi memakai istilah ini begitu juga

Asy’ariyah, Maturidiyah, Barlawiyah dan yang semisalnya mengaku (dan

mengatakan): “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Bersamaan dengan itu mereka takut kalau memakai dan mensifati

dakwah mereka dengan istilah salafiyah. Mereka berusaha menjauh dari

manhaj salaf, sekalipun hanya sebatas nisbah (menyandarkan) apalagi

mewujudkan manhaj salaf (dalam amal perbuatan).

Oleh karena itu, syiar ahlus Sunnah adalah mengikuti salafus shalih dan

meninggalkan segala macam kebid’ahan dan perkara-perkara yang baru

(dalam agama).[4]

Barangsiapa yang mengingkari, bahkan melecehkan salaf dan tidak mau

mengikutinya, maka harus dibantah dan diluruskan ucapannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak ada kehinaan bagi

siapa saja yang memperjuangkan mazhab salaf, menisbatkan diri kepadanya,

bahkan wajib menerima yang demikian itu berdasar kesepakatan (para ulama),

karena sesungguhnya mazhab salaf adalah pasti benar.”[5]

Saya bertanya-tanya, mengapa sebagian saudara kita terus memakai

istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka enggan untuk memakai istilah

salafiyah.
Kita yakin bahwa mereka berada di atas aqidah salaf. Mereka menimba

kebersihan aqidah tersebut, bahkan mereka tumbuh dan berkembang di

tengah-tengah keluarga dan berbagai tingkat pendidikan tersebut.

Saya katakan, mengapa mereka tidak mencukupkan saja dengan

memakai kata muslimin, kalau seandainya mereka takut atau khawatir akan

mengantarkan kepada perpecahan, menurut pendapat mereka?!

Apabila mereka membolehkan menisbatkan diri dengan nama Ahlus

Sunnah wal Jama’ah, maka tidak ada larangan jika memakai nama salafiyah

sebagai nisbat kepada salafus shalih, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti

mereka dengan baik.

Akan tetapi saya katakan: “Tidak tersembunyi lagi, mengapa mereka

terus menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka ingin

menampakkan toleransi dan kelemahlembutannya kepada para penyelisih

manhaj salaf serta jalannya.

Hal ini bertujuan agar luas ruang lingkupnya, bersemangat untuk

mewujudkan kuantitas bukan kualitas, dan mengikuti jama’ah sebelumnya

hanya sebagai uji coba.”

Saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada

dakwah dan kebaikan, bahwa mereka ingin menghilangkan lambang-lambang

dan penamaan-penamaan ini secara menyeluruh. Dan mereka masukkan juga

di dalamnya nama salafiyah dengan dalil bahwa semua nama-nama dan


lambang-lambang ini akan menjurus kepada perpecahan dan kelompok-

kelompok.

Keinginan dan tujuan ini di dalamnya mengandung sisi kebenaran dan

kebathilan. Kita sepakat atas penghapusan setiap syiar-syiar yang diada-

adakan dan mengandung kebid’ahan. Bahkan kebanyakan syiar-syiar tersebut

tidak diketahui kecuali baru-baru saja, sekitar lima puluh tahunan belakangan

ini dan sebagiannya bahkan tidak sampai umurnya tercatat oleh zaman (karena

setelah itu hilang).

Akan tetapi syiar salafiyah dan ahlus Sunnah bukan kelompok hizbiyah

(kelompok yang menyelisihi sunnah) dan tidak pula bergabung dengan

kelompok apapun. Salafiyah atau Ahlus Sunnah merupakan warisan pendahulu

generasi pertama agama Islam ini.

Syiar salafiyah merupakan jalan yang paling dasar untuk memahami

Islam. Tidak boleh disamakan dengan syiar-syiar yang muncul di zaman

belakangan ini.

Mayoritas ulama yang menulis dalam masalah aqidah menetapkan nama

ini, diantaranya:

1. Al Hafidz Ismail at Taimi Al asbahani, beliau adalah ulama abad kelima.

Beliau mengulang-ulang penyebutan madzhab salaf (dalam kitabnya)

sampai tidak terhitung.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau melihat sebagian orang yang

menyelisihi aqidah yang lurus, seperti Asy’ariyah yang menamakan diri


dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka beliau mempergunakan

nama as salaf untuk membedakan dengan kelompok bid’ah tersebut.

Sebab, bagaimanapun juga kelompok Ahlul Bid’ah tidak mau menamakan

diri dengan nama salafiyah.

Saya telah menelaah kitab Al Fatawa Al Hamawiyah dan saya

menemukan pengulangan kata as salaf lebih dari tiga puluh tiga kali. Apakah

(dengan itu) Syaikhul Islam (di anggap) sebagai pemecah belah umat ataukah

orang yang pendek akalnya?

Lebih aneh lagi, sebagian penuntut ilmu yang juga memuliakan Syaikhul

Islam dan manhajnya, bahkan mereka banyak bersandar dengan kitab-kitab

beliau, lebih mengutamakan maslahah dengan cara meninggalkan penamaan

salafiyah dan mencukupkan diri dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Karena hal ini termasuk syiar yang luas cakupannya dan ini tidak diingkari oleh

seorang pun di kalangan kaum muslimin pada saat sekarang.

Manhaj salaf bukanlah hasil karya orang-orang zaman sekarang, akan

tetapi manhaj salaf, Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, atau Ahlul Atsar terdapat di

dalam wahyu yang diturunkan (Al Qur’an dan As Sunnah) dengan penafsiran

dan pengamalan generasi yang pertama lagi utama, yaitu generasi shahabat,

tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Termasuk salah satu perbuatan yang menyimpang dan salah satu

bentuk kedzaliman adalah menyamakan manhaj salafi dengan syiar-syiar baru

dan bid’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan meletakkan neraca

(keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu.

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan (penuh) keadilan dan janganlah

kalian mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 7-9)

Termasuk kekeliruan yang fatal dan pendeknya akal (seseorang), apabila

manhaj salaf dimasukkan dalam ruang lingkup syiar hizbiyun dan kebid’ahan.

Siapa saja yang mengucapkan ucapan ini, hendaklah dia bertaqwa kepada

Allah, menginstrospeksi diri, dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu.

Cukuplah untuk membentah ucapan tersebut kita lontarkan kepadanya

pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Beritahukanlah kepada kami, siapakah yang mendirikan manhaj salaf ini?

2. Kapan manhaj salaf didirikan?

3. Apakah anda berani mengatakan bahwa manhaj salaf adalah sebuah

manhaj yang mengandung di dalamnya kesalahan-kesalahan, sebagaimana

keadaannya manhaj bid’ah?

Bertaqwalah wahai muslim;

Janganlah engkau terpengaruh untuk menentang dan sombong

dihadapan al-haq (kebenaran) serta menolaknya dan engkau memalsukan

hakikat-hakikat yang kokoh. Ketahuilah bahwa manhaj salaf tidak didirikan oleh

si Fulan sepenjang zaman. Akan tetapi, manhaj salaf adalah aqidah yang
murni, syari’at yang kokoh, pengajaran-pengajaran Ilahiyah yang telah

diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa

sallam.

Manhaj ini telah dipraktekkan oleh beliau bersama para sahabat beliau

dan diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya dalam kebaikan sehingga

menjadi hujjah yang terang dan jalan yang jelas, yang malamnya seperti

siangnya.

Tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya kecuali binasa. Tidak

ada seorangpun yang membencinya kecuali akan menjadi hina, sebagaimana

yang telah diancamkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya

kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,

Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu

dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-

buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar

dan taat sekalipun (yang memimpin kalian) adalah seorang budak

Habasyi. Maka barangsiapa yang hidup dari kalian (di masa) itu dia akan

menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian

berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang

telah mendapatkan petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya


dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian dari

perkara-perkara yang baru (dalam masalah agama), karena setiap

perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dalam

riwayat lain ada tambahan: “Dan setiap kesesatan tempatnya

dineraka.”[6]

Syaikh Al Allamah Bakar Abu Zaid berkata di dalam mtab beliau: Hukmul

Intima’ hal. 30 dan halaman berikutnya:

“Kaum muslimin dari kalangan para shahabat sebelum munculnya benih-

benih perselisihan dan perpecahan tidak memiliki nama untuk membedakan

mereka. Kemudian setelah itu muncul kelompok-kelompok sesat yang dihimpun

dalam lafadz ahlul ahwa –dinamakan demikian karena mereka dikuasai oleh

hawa nafsu- dan dihimpun dalam lafadz ahlul bida’ –hal ini dikarenakan mereka

mengikuti apa yang bukan dari agama- serta tercakup dalam lafadz ahlu

syubhat –karena mereka menyamarkan perkara kebenaran dengan kebathilan-.

Ketika munculnya kelompok-kelompok tersebut, yang menisbatkan

dirinya kepada Islam tetapi sebenarnya terpisah dari tulang punggung kaum

muslimin, maka muncullah penamaan untuk mereka (para sahabat dan para

pengikutnya) yang syar’i dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Penamaan ini beasal dari syari’at (Allah subhanahu wa ta’ala), begitu

pula dengan nama Al Jama’ah, Jama’atul Muslimin, Al Firqatun Najiyah

(kelompok yang selamat), dan Ath Thaifah Al Manshurah (golongan yang

ditolong).
Dinamakan seperti ini, dikarenakan mereka konsisten berpegang dengan

sunnah dihadapan Ahlul Bid’ah. Oleh sebab itulah maka terjadi ikatan dengan

generasi pertama umat ini sehingga mereka disebut juga: as salaf, Ahlul Hadits,

Ahlul Atsar (kelompok yang mengikuti atsar) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Nama-nama yang mulia ini telah menyelisihi (dan membedakan diri)

dengan nama kelompok-kelompok sempalan apapun juga. Ini dapat dilihat dari

beberapa sisi:

Pertama:

Penyandaran ini tidak terpisah sesaat pun dari umat Islam, dikarenakan

pembentukannya di atas manhaj Nabawi. Nama ini mencakup seluruh kaum

muslimin yang berada di atas jalan generasi yang pertama dan orang-orang

yang mengikuti mereka dalam pengambilan ilmu, memahaminya dan

berdakwah kepadanya.

Tidak terbatas dengan peredaran sejarah tertentu, akan tetapi wajib

dipahami bahwa perjalanannya terus berlangsung sepanjang kehidupan dan

selama Firqatun Najiyah yang berada dalam barisan Ahlul Hadits dan sunnah.

Merekalah pemilik manhaj ini, dan terus ada sampai datangnya hari kiamat.

Sebagaimana hal ii terdapat di dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa

sallam:

“Terus menerus (akan ada) sekelompok dari umatku tertolong di atas

kebenaran, tidak akan memudharatkannya siapa saja yang menyelisihi

dan merendahkan mereka.”[7]


Kedua:

Semua nama-nama ini mencakup Islam seluruhnya, karena Islam adalah

Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka tidak memakai nama khusus yang

menyelisihi, menambahi atau mengurangi dari apa yang ada di dalam Al qur’an

dan As Sunnah.

Ketiga:

Semua nama-nama ini diantaranya ada yang terambil dari sunnah yang

shahih dan diantaranya tidak dipakai kecuali dalam rangka menghadapi

manhaj-manhaj ahli hawa nafsu dan kelompok-kelompok sesat. Hal ini dalam

rangka untuk membantah mereka, menjauhkan diri dari bergaul bersama

mereka dan bersikap keras terhadap mereka.

Ini disebabkan munculnya bid’ah mereka yang berbeda dengan istilah As

Sunnah. Diantaranya ketika mereka menjadikan hasil pemikirannya sebagai

hakim, ketika mereka berbeda dengan istilah al hadits serta al atsar dan ketika

bertebaran kebid’ahan-kebid’ahan serta hawa nafsu-hawa nafsu mereka telah

berbeda dengan istilah salaf.

Keempat:

Meletakkan al wala’ (loyalitas), al bara’ (berlepas diri), al mu’awanat

(Pembelaan) dan al mua’adat (permusuhan) di atas Islam bukan selainnya,


tidak di atas satu lambang tertentu atau lambang yang telah ada, akan tetapi di

atas Al Qur’an dan As Sunnah semata.

Kelima:

Nama-nama ini tidak menggiring mereka ke dalam lingkaran fanatisme

kepada individu tertentu, kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa

sallam. Para pengikut kebenaran dan As Sunnah tidak memiliki contoh kecuali

(hanya mencontoh) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang ucapannya

bukan berasal dari hawa nafsunya, akan tetapi dengan wahyu yang telah

diturunkan kepadaya. Beliaulah yang wajib kita benarkan terhadap segala apa

yang diberitakannya dan mentaati apa saja yang diperintahkannya.

Hal ini tidak dimiliki oleh selain beliau, bahkan setiap orang bisa saja

diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa

sallam. Maka jelaslah semuanya, bahwa orang yang pantas menjadi Al

Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlul Hadits dan Ahlus

Sunnah. Mereka tidak memiliki ikutan yang mereka fanatik kepadanya, kecuali

hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”[8]

Memang benar, bahwa ulama salafiyin dulu maupun sekarang, mereka

sangat jauh dari fanatisme terhadap para imam dan masyaikh (para syaikh).

Merekalah yang paling tunduk dalam mengikuti dalil dan burhan (petunjuk), dan

lebih bersemangat (untuk mencari ilmu, mengamalkan dan mendakwahkan)

sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih.


Berbeda dengan para pengikut kelompok-kelompok yang mendasari

pemikiran-pemikiran mereka di atas ketatan mutlak )kepada pemimpinnya),

yang bila dilihat dengan kacamata Islami, maka dia (pemimpinnya) tidak berhak

untuk dijadikan sebagai tempat bertanya, memberi hujjah atau dimintai dalil dan

keterangan.

Adapun dari apa yang telah terjadi dari perilaku sebagian orang yang

demikian itu jika mereka menisbatkan dirinya kepada dakwah salafiyah,

alhamdulillah ini jarang terjadi serta sedikit jumlahnya. Maka jika yang ditanya

itu adalah orang yang jahil (bodoh) tentang hakikat jalannya salaf, tentunya

cercaan itu akan kembali kepada si jahil tersebut.

Bagaimana pendapat kalian jika kalian melihat perilaku umat Islam yang

telah dikritik oleh Orang-orang Nasrani bahwa sebagian mereka terjatuh dalam

perbuatan dzalim, keji, intimidasi, melampaui batas dan jelek, apakah setelah

itu cercaan yang seperti ini akan mengenai Islam? Naudzubillah.

Demikianlah pula dengan ucapan yang berasal dari para penganut akal

dengan mengatakan: “Setiap jama’ah memiliki kesalahan tanpa terkecuali

manhaj salaf.” Sungguh dia telah mencampur adukkan antara yang haq dan

bathil. Dan hal ini tidak muncul dari mereka kecuali dari kebodohan yang nyata.

Dan masih ada kebodohan dalam bentuk lain, yaitu “berdalil dengan

kuantitas”, artinya bahwa jalan Fulan ini banyak yang mengikutinya (tanpa

melihat) apakah jalan itu benar atau tidak. Mereka mencerca salafiyin karena
sedikit pengikutnya dan mereka (penganut akal) berbangga karena pemikiran-

pemikiran dan buku-buku mereka laku di pasaran.

Banyaknya pengikut tidak bisa dijadikan dalil kebenaran. Begitu pula

sedikitnya pengikut tidak bisa jadi bukti ketidakbenaran, karena hal ini tidak ada

dasarnya, baik dari kacamata syari’at ataupun secara kenyataan.

Adapun dalil dari syari’at;

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu

sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi

ini, niscaya akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al An’am: 116)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dantidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.” (Hud: 40)

Adapun secara kenyataan;

Bahwa orang-orang kafir berlipat-lipat jumlahnya dibanding dengan

orang-orang Islam. Bahkan orang nasrani lebih banyak dari kaum muslim.

Sertengah juta orang-orang barat berkumpul di lapangan untuk menyaksikan,

mendengarkan seorang penyanyi, berdansa dan berdrama.


Pada sebagian acara-acara TV seperti drama dan nyanyian-nyanyian

disaksikan pada waktu yang bersamaan oleh kurang lebih sepuluh juta orang.

Sebagian buku-buku nujum (ilmu sihir) dibeli kurang lebih oleh sepuluh juta

orang. Yang menghadiri acara kelahiran Al Badawi adalah masyarakat yang

sangat banyak sampai mencapai dua juta orang. Apakah masuk akal, kalau kita

beralasan karea banyaknya penggemar menunjukkan bahwa jalan mereka

adalah benar dan mereka adalah orang-orang yang dicintai di sisi Allah. Inilah

ukuran orang-orang jahil dan orang-orang yang tertipu.

Adapun para penganut al Haq mengetahui bahwa sedikit-banyak jumlah

pengikut bukanlah sebagai ukurang. Bahkan, terkadang yang sedikit jumlahnya

lebih dekat kepada kebenaran. Artinya bahwa pemegang al Haq itu sedikit.

Rasulullah bersabda:

“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat terdahulu, maka aku melihat

seorang Nabi dengan pengikutnya (dengan jumlah) rahthun (dibawah

sembilan di atas tiga) dan seorang Nabi bersama satu pengikut atau dua

orang serta seorang Nabi tidak membawa pengikut sama sekali.”[9]

Apakah bolehseseorang menghakimi para Nabi, dengan mengatakan

bahwa jalan mereka salah atau mereka gagal dalam berdakwah?! Semoga

Allah melindungi kita (dari ucapan jelek ini).

Termasuk perkara yang dimaklumi, seperti yang telah dijelaskan di

dalam hadits-hadits yang shahih bahwa para pengikut dajjal dari penduduk
bumi ini banyak sekali. Hal ini dikarenakan kuat dan kerasnya kedustaan serta

penyesatannya dan sangat sedikit yang kokoh di atas keimanan.

Para pengikut manhaj salaf akan semakin bertambah kokoh dan kuat

serta meyakini kebenaran manhaj Allah dari Rasul-Nya yang murni, ketika

melihat manusia terpecah berkeping-keping dan melihat kepada pengikut

manhaj-manhaj sesat yang sangat banyak jumlahnya.

Mereka mengetahui, bahwa keadaan Islam sekarang dalam keadaan

asing sebagaimana asingnya ketika pertama kali datang. Mereka mengetahui

bahwa orang yang berpegang dengan bimbingan agama di masa sekarang ini

seperti orang yang memegang bara api, karena sedikitnya para pengikut al haq

dan banyaknya pengikut kebatilan dan juga karena kedzaliman ahli kebatilan

terhadap pengikut al haq yang sedikit jumlahnya.

Semuanya ini tidakmembawa mereka kepada sikap putus asa serta lari

dari Rahmat Allah. Tidak pula menjadikan mereka meninggalkan kewajiban-

kewajiban dalam menyampaikan (Kebaikan), berdakwah dan amar ma’ruf nahi

munkar.

Mereka bahkan terdorong untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah

subhanahu wa ta’ala, dan ini merupakan udzurnya (dihadapan Allah). Mereka

selalu mengingat firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa

saja yang engkau cintai, dan akan tetapi Allah memberikan petunjuk

kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Qashash: 56)


Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan merugi,

kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang yang

saling berwasiat dalam kebaikan dan orang-orang yang saling berwasiat

dalam kesabaran.” (al Ashr: 1-3)

Di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan terlalu banyak orang-orang

yang merugi dan binasa serta sedikitnya orang-orang yang berhasil menang.

Kita minta kepada Allah agar memberikan kita kekokohan (iman) dan

terus menerus berada di atas al haq (kebenaran).

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada

kesesatat sesudahj Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan

karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya

Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)

Foot Note:

[4]. Lihatlah kitab Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah (1/364), karya Al Ashbahani

[5]. Majmu’ Fatawa (4/149), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ru’yatun

Waqi’iyah fil Manahij Ad Da’wiyah (hal. 21-23), karya Syaikh Ali bin Hasan bin

Abdul Hamid

[6]. Sunan Abi dawud (5/13), At Tirmidzi dengan Syarah Tuhfatul Ahwadzi

(7/438), Ibnu Majah (1/15) dalam Al Muqaddimah, Ahmad (4/126-127), dan Al


Hakim dalam Kitabul ‘Ilmi (1/95-97). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam

kitab Silsilah Ash Shahihah (2/647).

[7]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang senantiasa tampil di

tas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka (atas perbuatan)

orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah

dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari-Muslim, dan lafadz

hadits ini adalah lafadz milik Imam Muslim dari sahabat Tsauban, hadits

no. 1920 –ed).

[8]. Sampai disini ucapan Syaikh Bakar abu Zaid, semoga Allah memberi

berkah dalam umur beliau dan memberikan manfaat pada ilmu beliau.

[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.

KEUTAMAAN ILMU SALAF DAN KITAB-KITAB MEREKA


Wahai saudaraku!

Sesungguhnya Al Imam Al Hafidz Zainuddin Abul Faraj Abdurrahman bin

Syihabuddin bin Ahmad bin Rajab Al Hanbali telah menulis sebuah kitab yang

berjudul: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf (Keutamaan Ilmu Salaf di atas

Ilmu Khalaf).

Kitab ini sangat terkenal dan telah dimanfaatkan oleh umat Islam serta

telah di tahqiq (diteliti).

Didalam kitab tersebut, beliau rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu itu

ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat.

Berikut ini saya akan menyadurkan beberapa ucapan dan ungkapan beliau.

Ibnu Rajab di dalam kitabnya setelah menjelaskan apa yang

dimaksud ilmu yang bermanfaat, lalu beliau menyebutkan bagian yang

kedua (yaitu ilmu yang tidak bermanfaat pada hal. 16) dengan

mengatakan:

“Sungguh Allah telah menceritakan tentang suatu kaum yang telah diberi

ilmu, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat buat mereka. Inilah ilmu yang

bermanfaat pada zatnya saja, akan tetapi pemiliknya tidak bisa mengambil

mafaat darinya. Allah subhanahu wa ta’alai berfirman:

“Perumpamaan orang yang dipikulkan kepadanya taurat, kemudian

mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti

(seekor) keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Al Jumu’ah: 5)


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang-orang yang telah Kami

berikan kepada mereka ayat-ayat Kami (yakni pengetahuan tentang isi

Al Kitab) kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia

diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda) maka jadilah ia termasuk

orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami

tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada

dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah.” (Al a’raf: 175-

176)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Allah membiarkan dia sesat berdasar ilmu-Nya.” (Al Jatsiyah: 23)

(Saya membawakan) dalil ini berdasarkan ulama yang menafsirkan kata:

‘ala ‘ilmin (di atas ilmu), dengan: “Ilmu orang yang telah disesatkan oleh Allah.”

Di antara ilmu ada yang disebutkan oleh Allah, tetapi dalam rangka

mecela ilmu tersebut, yaitu seperti ilmu sihir.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Danmereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya

dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah

meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan

sihir itu, adalah baginya kerugian di akhirat.” (Al Baqarah: 102)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Maka tatkala datang kepada mereka Rasul-Rasul (yang diutus kepada

mereka) dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa

senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka

dikapung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.”

(Ghafir/Al Mukmin: 83)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia,

sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah orang-orang yang

lalai.” (Ar Rum: 7)

Didalam As Sunnah juga telah menjelaskan pembagian ilmu yang

bermanfaat dan ilmu yang tidak bermanfaat, berlindung dari ilmu yang tidak

bermanfaat dan meminta kepada Allah ilmu yang bermanfaat.

Di dalam shahih Muslim dari sahabat Zaid bin Arqam bahwasanya

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Ya Allah, aku meminta perlindungan-Mu dari ilmu yang tidak

bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah merasa puas

dan do’a yang tidak dikabulkan.”[10]

Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah berkata lagi (pada hal. 51):


“Dan diantara perkara yang diingkari oleh ulama salaf adalah jidal

(perdebatan), khisham (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah)

dalam masalah-masalah yang jelas halal dan haramnya.

Karena ini bukanlah jalannya para Imam Islam, akan tetapi jalan yang

dibuat oleh orang-orang yang setelah mereka, sebagaimana yang telah

dilakukan oleh ulama-ulama Iraq dan Khurasan dalam perselisihan yang terjadi

antara mazhab Syafi’i dan Hanafi.

Mereka mengarang kitab-kitab dalam masalah khilafiyah (perbedaan

pendapat), memperluas masalah pembahasan dan memperdebatkannya dalam

kitab tersebut.

Semuanya itu adalah perkara baru yang diada-adakan dan perkara ini

akan menyebabkan mereka tersibukkan dengannya sehingga melupakan ilmu

yang bermanfaat.

Semuanya itu telah diingkari oleh salaf, sebagaimana yang diriwayatkan

dalam hadits marfu’ (hadits yang riwayatnya sampai kepada Rasulullah

shallallahu’alaihi wa sallam) yang terdapat dalam kitab Sunan:

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah datang petunjuk kepadanya kecuali

setelah diberikan kepada mereka ilmu jidal (debat).”

Kemudian beliau shallallahu’alaihi wa sallam membacakan (firman Allah

subhanahu wa ta’ala):
“mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan

dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum

yang suka bertengkar.” (Az Zukhruf: 58)[11]

Sebagian dari ulama salaf mengatakan: “Jika Allah menginginkan

kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah akan bukakan baginya pintu

beramal dan menutup baginya pintu jidal (debat). Dan apabila Allah

menginginkan kejelekan bagi seorang hamba, maka Allah menutup baginya

pintu beramal dan membukakan baginya pintu jidal.”[12]

Imam Malik rahimahullah berkata: “Saya mendapati penduduk negeri

ini (yakni Madinah), mereka membenci perbuatan yang dilakukan oleh

kebanyakan orang sekarang ini.”[13]

Yang dimaksud beliau rahimahullah adalah perkara-perkara yang

berkaitan dengan masalah-masalah jidal, khisam dan mira’.

Imam Malik sangat membenci banyak berbicara dan berfatwa. Beliau

rahimahullah berkata: “setiap mereka berbicara seperti onta yang kehausan,

mereka berkata dia demikian, dia demikian (seperti orang yang) mengigau yang

tidak jelas pembicaraannya.”

Bahkan beliau rahimahullah tidak mau menjawab dalam banyak

permasalahan, kemudian beliau menukilkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Mereka akan bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh

urusannya ada di tangan Rabb-ku.” (Al Isra’: 85)


Kemudia beliau rahimahullah berkata: “Rasulullah tidak memberikan

jawaban dalam masalah itu.”

Ditanyakan kepada beliau rahimahullah: “Apakah seorang dikatakan alim

tentang sunnah padahal dia selalu memperdebatkannya?”

Beliau rahimahullah menjawab: “Tidak, akan tetapi sampaikanlah sunnah

kepadanya kalau dia mau menerima, jika dia tidak mau menerima hendaklah

diam.”

Beliau rahimahullah pernah berkata: “Al Mira’ (saling membantah) dan

Al Jidal (saling berdebat) terhadap ilmu akan menghilangkan cahaya ilmu

tersebut.”

Beliau rahimahullah berkata: “Debat terhadap masalah ilmu akan

dapat mengeraskan hati dan mewariskan kedengkian.”

Dan beliau berkata dalam masalah-masalah yang ditanyakan

kepadanya: “Saya tidak mengetahuinya.”

Jalan Imam Malik ini diikuti oleh Imam Ahmad dalam permasalahan ini.

Dan telah datang larangan agar jangan banyak bertanya, memperdalam

masalah yang keliru, dan permasalahan yang belum terjadi. Permasalahan ini

sangat panjang kalau dijabarkan.

Adapun perkataan ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam

Ahmad, dan Imam Ishaq, mereka di dalam membahas permasalahan fiqih dan
menetapkan hukumnya mengatakan dengan perkataan yang pendek, ringkas,

dan difahami maksudnya tanpa harus berbicara panjang lebar dan bertele-tele.

Demikian pula ketika mereka membantah pendapat-pendapat yang

menyelisihi sunnah dengan bantahan yang lemah lembut dan menggunakan

ungkapan yang baik. Dan hal ini cukup bagi orang yang memahaminya, jika

dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan ahlul kalam (orang yang hanya

pandai berbicara).

Terkadang ucapan ahlul kalam sangat panjang lebar dan tidak

mengandung unsur kebenaran, tidak seperti yang dikandung oleh ucapan

ulama salaf dengan ucapan yang ringkas dan pendek.

Adapun diamnya mereka (ulama salaf) dari banyak berdebat dan

membantah, bukan karena mereka bodoh atau lemah untuk berbuat itu, akan

tetapi diamnya mereka karena ilmu dan takut kepada Allah.

Sebaliknya, semakin luas dan banyaknya pembicaraan orang-orang

selain ulama salaf, bukan berarti mereka ahli dan menguasai ilmunya, akan

tetapi ini semua karena mereka senang berbicara dan kurangnya sifat wara’

(rendah hati).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata ketika mendengar orang yang

sedang berdebat: “Mereka itulah orang-orang yang telah bosan dari beribadah,

orang-orang yang telah lemah akal, dan sedikit sifat wara’-nya sehingga

mereka memperdebatkan dalam masalah tersebut.”[14]


Ja’far bin Muhammad berkata: “Berhati-hatlah kalian berdebat di

dalam masalah agama, karena hal ini akan menyibukkan hati dan akan

menimbukan sifat kemunafikan.”[15]

Umar bin ‘Abdul Aziz berkata: “Apabila kamu mendengar Al Mira’

(bantah membantah), maka ringkaskanlah.”

Dan beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menjadikan

agamanya sebagai arena (sumber) perdebatan, maka dia akan sering

berpindah.”[16]

Dalam kesempatan yang lain beliau berkata: “Salafus Shalih (orang-

orang terdahulu yang shalih),mereka berhenti karena ilmu, dan mereka diam

karena ilmu pula, serta mereka sangat mampu kalau mereka mau mencarinya.”

Dan masih banyak lagi ucapan ulama salaf yang semakna dengan

ucapan ini. Orang-orang sekarang banyak yang terfitnah dengan permasalahan

ini. Mereka menyangka bahwa orang banyak bicara, suka berdebat, dan

membantah dalam masalah agama lebih berilmu dibandingkan dengan orang

yang tidak demikian. Ini termasuk dari kebodohan mereka semua.

Lihatlah kepada para pembesar shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa

sallam dan ulama-ulama mereka seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Mu’adz, Ibnu

Mas’ud dan Zaid bin Tsabit, ucapan mereka lebih sedikit daripada ucapan Ibnu

Abbas, padahal mereka lebih pandai darinya.


Begitu juga ucapan tabi’in lebih banyak dari ucapan shahabat, padahal

shahabat lebih berilmu dari mereka. Dan ucapan para tabi’ut tabi’in lebih

banyak dari ucapan tabi’in padahal tabi’in lebih mengetahui dari tabi’ut tabi’in.

Ilmu itu bukan karena banyak meriwayatkan dan tidak pula karena

banyak pendapat-pendapat, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang terdapat di

dalam hati, sehingga seorang hamba dapat mengetahui yang al haq dengan

yang bathil. Semua ini diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan ringkas dan

dapat mencapai apa yang dimaksud.

Dan Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, telah diberi

oleh Allah dengan sifat Jawami’ul Kalim (Ucapan yang singkat tetapi dapat

mencapai apa yang dimaksud) dan ucapan-ucapan yang sangat ringkas.

Berdasarkan inilah, banyak terdapat larangan (di dalam agama) yang

melarang banyak berbicara dan banyak mengutip ucapan berita yang belum

jelas kebenarannya (qiila wa qoola).[17]

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali ia

sebagai penyampai (apa yang datang dari Allah) dan sesungguhnya

banyak berkata itu adalah dari setan.”[18]

Apabila Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkhutbah, maka beliau

berkhutbah dengan singkat, ringkas dan sedang.[19]


Dan seandainya ada seseorang yang ingin menghitung ucapan

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, niscaya dia pasti

akan mampu menghitungnya.[20]

Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya sebagian dari bayan (keterangan) adalah sihir.”[21]

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan yang demikian adalah

dalam rangka mencela perbuatan tersebut, bukan dalam rangka memuji

sebagaimana yang disangka oleh (sebagian) orang. Barangsiapa yang

mengamati yang demikian itu, maka dia akan mengatahui dengan pasti.

Dala riwayat Imam At Tirmidzi dan selain beliau dari shahabat Abdullah

bin Amr radhiyallahu’anhuma secara marfu’ (sanadnya sampai kepada

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam):

“Sesunggunya Allah sangat membenci seseorang yang banyak bicara

dan bersilat lidah sebagaimana sapi yang menggerak-gerakkan

lidahnya.”[22]

Masih banyak hadits-hadits yang marfu’ dan mauquf (ucapan shahabat)

yang lain seperti ucapan Umar, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Aisyah dan selain mereka

yang semakna dengan di atas.

Wajib diyakini, bahwa tidak setiap orang yang banyak ucapan dan

pembicaraannya dalam masalah ilmu adalah lebih berilmu daripada orang yang

tidak demikian.
Kita telah diuji dengan adanya orang-orang jahil yang meyakini terhadap

sebagian orang-orang sekarang yang gemar menyibukkan diri dalam masalah

banyak bicara adalah lebih berilmu dari orang-orang sebelumnya.

Bahkan diantara mereka meyakini pada seseorang karena banyaknya

keterangan dan ucapannya adalah lebih pandai dari orang-orang sebelumnya

dari kalangan shahabat dan orang-orang sesudah mereka.

Ini termasuk penghinaan terhadap kemuliaan shalafus shalih,

berprasangka buruk terhadap mereka dan menisbatkan mereka kepada

kebodohan dan kepada orang-orang yang kurang ilmunya. La haula wala

quwwata illa billah.

Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud

radhiyallahu’anhu tentang para shahabat:

“Sesungguhnya mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling

dala ilmunya dan paling sedikit Takalluf-nya.”[23]

Diriwayatkan juga atsar (riwayat) yang seperti ini dari Ibnu Umar

radhiyallahu’anhuma. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang setelah para

shahabat adalah orang-orang yang sedikit ilmunya dan lebih banyak takalluf-

nya.

Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu juga berkata:

“Sesungguhnya kalian berada pada zaman, dimana ulama kalian banyak

dan para khatibnya (penceramah) sedikit dan akan datang pula kepada

kalian suatu zaman, dimana ulamanya sedikit dan para khatibnya


banyak. Orang yang terpuji adalah orang yang banyak ilmunya dan

sedikit bicaranya. Dan sebaliknya, orang yang tercela adalah orang yang

kurang ilmunya dan banyak bicaranya.”

(Selesai ucapan ibnu rajab Al Hanbali Al Baghdadi rahimahullah dalam

kitabnya: Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf -ed).

Wahai saudaraku se-Islam;

Saya (penulis) telah banyak mengutip ucapan Al Hafizh Ibnu Rajab

rahimahullah, dan saya yakin bahwa faedah yang kita –sebagai penuntut ilmu-

dapat darinya adalah sangat besar, jika kita membandingkannya secara teliti

antara ilmu salaf dan ilmu khalaf (orang-orang yang datang belakangan).

Diantara haedah-faedahnya adalah:

1. Ilmu ada dua macam, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak

bermanfaat.

2. Ilmu yang bermanfaat kadang-kadang diketahui oleh orang-orang yang tidak

bisa mengambil manfaat darinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Allah menyesatkannya di atas ilmu.” (Al Jatsiyah: 23)

3. Kebencian dan pengingkaran ulama salaf terhadap ilmu jidal (perdebatan),

khisam (adu argumentasi), dan mira’ (bantah-membantah) dalam masalah

agama.
4. Al Mira’ dan Al Jidal (perdebatan dan bantah-membantah) adalah perkara

bid’ah.

5. Imam Malik rahimahullah sangat membenci orang yang banyak bicara dan

berfatwa. Beliau menyerupakan orang-orang yang banyak bicara dalam

masalah agama seperti binatang yang kehausan.

6. Ulama salaf sederhana dalam hal ibarah (menyampaikan pembicaraan) dan

mereka sangat memperhatikan sunnah daripada jidal. Apabila mereka

membantah para penyelisih terhadap sunnah, mereka membantahnya

dengan cara lemah lembut dan dengan sebaik-baik bantahan tanpa bertele-

tele.

7. banyak ucapan dan pernyataan orang sekarang yang tidak menunjukkan

kalau mereka memiliki kekhususan dalm bidang ilmu yang dimiliki oleh salaf,

akan tetapi yang tampak adalah mereka senang berbicara, ingin mendapat

pujian (dari manusia) dan juga menunjukkan sedikitnya sifat wara’-nya.

8. Al Hafizh Ibnu Rajab telah meneliti dan beliau mendapatkan bahwa ucapan

shahabat lebih sedikit daripada ucapan tabi’in, ucapan tabi’in lebih sedikit

dari ucapan tabi’ut tabi’in dan seterusnya. Dan semuanya ini memiliki arti

dan makna.

9. Khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam shalat jumat adalah

sederhana artinya, ringkas dan padat, tetapi sunnah ini telah dilalaikan oleh

kebanyakan khatib Jum’at sekarang ini.


10. Memakai kalimat-kalimat yang sulit dalamberbicara dan berpura-pura

berkata fasih, serta banyak berbicara dalam masalah agama dan segala hal

yang berkaitan dengannya. Hal ini bukan suatu sifat yang terpuji dalam

pandangan ulama salaf, akan tetapi ini merupakan sifat yang tercela.

11. Adanya unsur penipuan dari seseorang yang banyak berbicara dan panjang

khutbahnya sehingga keluar dari tujuan khutbah jum’at tersebut. Semua ini

dilakukan untuk menarik perhatian orang. Dan tidak akan tertipu dari orang-

orang yang seperti itu kecuali orang-orang yang ganjil dan lemah akal.

Dari sini kita mengetahuiperbedaan jalan yang telah ditempuh oleh para

ulama Rabbaniyun. Tujuan dan niat mereka sangat lurus dalam memberikan

bimbingan (kepada umat) dibanding jalan yang ditempuh oleh sebagian

penuntut ilmu.

Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka dan memberi taufik-Nya

kepada kita sehingga kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, tetap

selalu terkait dengan manhaj slafus shalih ridwanullah ajma’in, kembali kepada

ulama dengan (niat) yang ikhlas dan jujur, agar terwujudnya persatuan pemilik

al haq dan supaya jiwa mereka menjadi bersatu.

Dan juga agar terwujud tolong menolong dalam kebaikan, bukan tolong

menolong di atas dosa dan permusuhan.

Wabillahittaufiq.
Foot note:

[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.

[10]. Lihat kitab Shahih Muslim (4/2088).

[11]. HR. At Tirmidzi (5/363), hadits no. 3253), dan beliau berkata: “Hadits ini

hasan shahih”, Ibnu Majah dalam Al Muqaddimah (haditsz no. 48), Imam

Ahmad dalam Musnad-nya (5/252-256), Al Hakim dalam kitab Al Mustadrak

pada tafsir surat Az Zukhruf dan beliau berkata: “Sanadnya shahih”, serta

disepakati oleh Adz Dzahabi, semuanya dari jalan shahabat Abu Umamah

(Fadlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf –ed).

[12]. Ini adalah pernyataan Ma’ruf Al karakhi yang diriwayatkan oleh abu Nu’aim

dalam Al Hilyah (8/361), Al Khatib dalam Iqtidha’ul ‘Ilmi (hal. 80) dengan tahqiq

Ustadz Al ‘Ajmi.

[13]. Diriwayatkan oleh Al Khatib dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqih (2/9)

dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi.

[14]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd (hal. 272), dan Abu

Nu’aim dalam kitab Al Hilyah (2/156) dengan Tahqiq ustadz Al ‘Ajmi.

[15]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (3/198) dengan tahqiq

Ustadz Al ‘Ajmi.

[16]. Perkataan beliau: “Maka dia akan sering berpindah”, maksudnya adalah

berpindah dari satu pemahaman atau madzhab ke pemahaman atau madzhab


yang lain. Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/91) dan Al Ajurri dalam Asy Syari’ah

(hal. 56-57).

[17]. Ibnu Rajab rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits yang telah

dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari (3/340), (5/68), (10/405), (11/306), dan Imam

Muslim (3/1340 dan 1341). Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al

Bukhari dari shahabat Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’ dengan tahqiq

Ustadz al ‘Ajmi berbunyi:

“sesungguhnya Allah membenci kalian (untuk melakukan) 3 perbuatan,

yaitu: banyak mengutip ucapan (berita) yang belum jelas kebenarannya,

menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”

[18]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (11/163-164) dan ini

termasuk dari mursal Mujahid dan dia dha’if (lemah) karena mursal,

sebagaimana dikatakan oleh pentahqiqnya, Ustadz Al ‘Ajmi.

[19]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/591) dengan tahqiq Ustadz Al ‘Ajmi dari

shahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata:

“Saya shalat (jum’at) bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka

shalat beliau sedang dan khutbahnya juga sedang (waktunya).”

[20]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/2296) dari hadits Aisyah

radhiyallahu’anha bahwa dia berkata:

“Seandainya ucapan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah

hadits dihitung (oleh seseorang), maka dia pasti dapat menghitungnya.”


[21]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:

“Sesungguhnya di antara susunan kata-kata yang indah terdapat sihir.”

(HR. Bukhari-Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Umar

radhiyallahu’anhuma –ed).

[22]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/165 dan 187), Abu Dawud (5005), At

Tirmidzi (2583), dan lafadz hadits ini adalah miliknya. Hadits ini ditahqiq oleh

Ustadz Al ‘Ajmi.

[23]. Takalluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baik

di dunia maupun di akhirat –ed.

KITAB-KITAB SALAF DALAM MASALAH AQIDAH


Wahai saudaraku yang mulia;

Sekarang kita sampai kepada pembahasan yang sesuai dengan judul

tulisan ini. Kita telah mengetahui perbedaan antara manhaj salaf dengan khalaf

dan mengetahui pula kedudukan dan pentingnya aqidah salaf yang garis

besarnya adalah berpegang teguh dengan sunnah dan menjauhi kebid’ahan.

Di dalam bab ini, saya akan menyabutkan dua Imam yang mulia.

Imam Az Zuhri rahimahullah berkata: “Ulama-ulama kita berkata:

“Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan.”

Imam Malik rahimahullah berkata:

“As Sunnah adalah seperti perahunya Nabi Nuh. Barangsiapa yang

menaikinya, ia akan selamat dan barangsiapa yang tidak mau menaikinya,

maka ia akan tenggelam.”[24]

Seharusnya bagi (seorang) penuntut ilmu bersemangat untuk

menyelamatkan aqidah dan manhajnya.

Caranya dengan cara membiasakan diri dengan membaca kitab-kitab

sunnah dan kitab yang berisi aqidah salafus shalih serta bersungguh-sungguh

dalam menelaahnya. Kemudian mempraktekkan apa yang telah diketahuinya

dengan penuh keadilan dalam semua urusan. Tidak tafrith (menyepelekan) dan

tidak pula ifrath (melampaui batas).


Hendaklah para penuntut ilmu menghindari sikap keras yang melampaui

batas. Selalu bersama para ulama yang kokoh di atas sunnah dan mencontoh

mereka untuk menghadapi (permasalahan) yang berada di sekitar kita.

Menjauhkan diri dari sikap menentang dan berpaling dari manhaj salaf

serta kitab-kitabnya atau menjelek-jelekkan para ulama yang kokoh (di atas

ilmu) atau menganggap mereka jahil dan lalai.

Jika semuanya ini telah kalian ketahui, maka ketahuilah wahai

saudaraku, bahwa kitab-kitab yang menjelaskan tentyang aqidah salaf ada tiga

bentuk, yaitu:

Pertama : Kitab-kitab Hadits.

Kedua : Kitab-kitab Tafsir.

Ketiga : Kitab-kitab khusus yang berbicara dalam masalah

ijtihad.

Dan saya akan menjelaskan dari tiap-tiap bagian macam-macamnya,

jika memungkinkan.

A. KITAB-KITAB HADITS

Kebanyakan kitab-kitab hadits sangat memperhatikan hadits-hadits yang

berkaitan dengan masalah i’tiqad (keyakinan) dan mencakup juga di dalamnya

bantahan terhadap penyelisihnya.


Diantara kitab-kitab hadits adalah:

1. Shahih Al Bukhari (Kitab hadits yang paling utama).

Imam Al Bukhari memasukkan dalam kitab Shahih beliau tiga kitab

dalam masalah i’tiqad dan bantahan kepada kelompok Murji’ah.[25] Kitab

Tauhid milik beliau rahimahullah mencakup di dalamnya bantahan terhadap

kelompok Jahmiyah.[26]

Sedangkan kitab Al I’tisham bis Sunnah mencakup bantahan terhadap

para pengagung akal dan orang-orang yang mengingkari hadits Ahad sebagai

hujjah (di dalam agama, khususnya dalam masalah aqidah –ed).

2. Shahih Muslim.

Imam Muslim memasukkan di dalam kitab Al Iman (Permasalahan

tentang aqidah) dan mencakup bantahan terhadap Qadariyah.[27]

3. Sunan Abu Dawud.

Abu Dawud memasukkan dalam Sunan-nya, kitab As Sunnah yang di

dalamnya membahas bantahan terhadap Qadariyah, Murji’ah, Jahmiyah Al

Mu’aththilah.

Beliau bahkan meletakkan judul dan nama-nama kelompok tersebut

seperti ucapan beliau dalam bab: Ar Raddu ‘alal Jahmiyah.

4. Sunan Ibnu Majah.


Al Imam abu ‘Abdillah Muhammad Yazid bin Majah meletakkan di dalam

mukadimah kitab Sunan mulik beliau tentang wajibnya mengikuti sunnah

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan jumlah halaman kurang lebih

sebanyak 100 halaman dengan jumlah hadits sebanyak 266 buah.

Beliau membuat banyak bab (di dalamnya), diantaranya: bab: Fima

Unkiratil Jahmiyah. Beliau menyebutkan di dalam bab ini pengingkaran

Jahmiyah terhadap ru’yatullah (Allah akan dilihat pada hari kiamat), Allah

berbicara dan Allah beristiwa’ di atas ‘Asry-Nya.

Beliau membawakan hadits-hadits yang merupakan bantahan terhadap

mereka. Baliau menjelaskan juga tentang Khawarij dan selain mereka dari

kelompok-kelompok bid’ah. Bahkan beliau menulis satu bab (yang membahas)

kewajiban untuk menjauhi ra’yu (pendapat-pendapat yang tidak memiliki dasar

atau dalil).

B. KITAB-KITAB TAFSIR

Yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang ma’tsur (memiliki sanad)

dan tempat-tempat (permasalahan ini) pada ayat-ayat sifat, seperti firman Allah

subhanahu wa ta’ala:

“Ar Rahman (Allah) beristiwa di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Kemudian Dia (Allah) beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al A’raf: 54; Yunus: 3; Ar

Ra’d: 2; Al Furqan: 59; As Sajdah: 4; Al Hadiid: 4)


Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Kepada apa yang Aku telah menciptakannya dengan kedua tangan-

Ku.” (Shad: 75)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Bahkan kedua tangan-Nya terhampar (terbuka).” (Al Maidah: 64)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Yang berlayar dengan mata-mata Kami.” (Al Qamar: 14)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan Rabb-mu telah datang dan malaikat dengan bershaf-shaf.” (Al Fajr:

22)

Dan selainnya dari ayat-ayat shifat (yakni ayat yang menyebutkan sifat-

sifat Allah subhanahu wa ta’ala).

Termasuk dari sederetan tafsir salaf, yang sudah dicetak dan yang belum

dicetak, dengan keistimewaannya yaitu bersanad artinya seorang musafir

(ulama ahli tafsir) menyebutkan sand-sanad hadits sampai akhir.

Kitab-kitab tafsir tersebut antara lain:

1. Tafsir Ibnu abi Hatim.

2. tafsir Abd. Bin Humaid.


3. Tafsir Ibnu Mardawaih.

4. Tafsir Al Baghawi.

5. Tafsir Ath-Thabari.

6. Tafsir Ad Dural Mantsur, karya: Imam As Suyuthi.

7. Tafsir Ibnu Katsir.

C. KITAB-KITAB DALAM MASALAH AQIDAH

Wahai saudara-saudara yang kuucintai;

Jika disebutkan aqidah salaf Ahlus Sunnah dan tokohnya dalam

menjelaskan aqidah tersebut serta gigih membelanya, maka Imam Ahmad bin

Hanbal-lah sebagai imam mereka dan sekaligus sebagai pemimpinnya. Di

tangan beliaulah aqidah salaf mencuat ke permukaan dan terbedakan dengan

para penyelisihnya.

Beliau telah tampil menghadang Jahmiyah dan Mu’tazilah sebagaimana

Abu Bakar tampil menghadang orang-orang murtad. Karena itu beliau adalah

sebagai lambang sunnah dan digelari Imam Rabbani dan Ash Shiddiq yang

kedua.[28]

Tidak asing lagi, bahwa beliau rahimahullah telah mendapat ujian demi

ujian yang tidak akan bisa dipikul oleh selain beliau dan tidak akan bersabar

untuk menerima ujian seperti yang beliau alami dalam mempertahankan

keyakinan.
Imam Al Muhaddits Ali bin al Madini –Syaikh Imam al Bukhari- berkata:

“Sesungguhnya Allah telah menjayakan Islam ini dengan dua tokoh dan tidak

ada yang ketiganya, yaitu: Abu Bakar Ash shiddiq pada hari-hari pemurtadan

dan Imam Ahmad pada hari-hari fitnah, yaitu fitnah perkataan Al qur’an adalah

mahluk dan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah.”

Al Imam Ishaq bin Rahawaih mengatakan tentang beliau: “Kalau bukan

karena Imam ahmad dan pengorbanan beliau,niscaya Islam ini akan hilang.”

Bahkan cinta dan bencinya (seseorang) kepada beliau rahimahullah

adalah sebagai barometer untuk mengetahui (apakah dia) Ahlus Sunnah atau

Ahlul Bid’ah.

Imam Abi Hatim berkata: ‘Apabila kalian melihat seseorang mencintai

Ahmad bin hanbal, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.”

Abu Ja’far Al Fallas berkata: “Apabila kalian melihat seseorang

mencerca Ahmad bin Hanbal, maka sesungguhnya dia adalah seorang

Mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang sesat.”[29]

Imam Ahmad sangat membenci berdalam-dalam tentang masalah

agama, banyak berbicara tentang sifat-sifat Allah (sebagaimana Ahlul Bid’ah)

dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya.

Ketika beliau melihat marabahaya yang akan menimpa agama yang

didalangi oleh Mu’tazilah, maka beliau dalam keadaan terpaksa harus terjun ke

medan pertarungan. Beliau mengorbankan segalanya demi terjaganya aqidah

umat ini.
Karya-karya Imam Ahmad diantaranya:

1. Kitab As Sunnah.

2. Kitab Ar Raddu ‘alal Jahmiyah.

Beliau memberi kesempatan kepada para ulama di dalam menjelaskan

aqidah yang benar dan membantah para penyelisih dengan kemampuan yang

jelas. Diantara sederetan para ulama yang memiliki andil besar dalam membela

aqidah salaf dan memegang kitab antara lain:

1. Al Imam Abdullah bin Al Mubarak (wafat pada tahun 181 H).

2. Yahya bin Said Al Qaththan, seorang ulama ahli hadits, ahli hujjah dan

kritisi (wafat pada tahun 198 H).

3. Ibnu Abi syaibah, Abu Bakar abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al

Abbasi. Beliau telah menulis kitab As Sunnah dan kitab Al iman (wafat

pada tahun 225 H).

4. Yahya bin Bukhair bin Abdurrahman al Hanzhali Al Hafizh. (wafat pada

tahun 226 H).

5. Abu Abdillah Nu’aim bin Hammad. Beliau dan Murid-muridnya meninggal

di penjara karena pukulan yang sangat keras (wafat pada tahun 228 H).

6. Abdul Aziz Al Kinani Al Makki, pengarang kitab Al Haidah.


7. Abdullah bin Muhammad Al Ju’fi, salah seorang guru Imam Al Bukhari

(wafat pada tahun 229 H). Beliau menulis kitab yang berjudul Ar Raddu

‘alal Jahmiyah.

8. Imam Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama “Ibnu Rahawaih”

(wafat pada tahun 238 H).

9. Imam Muhammad bin Isma’il bin Al bukhari. Disamping menulis kitab Al

Jami’, beliau juga menulis kitab Khalqu Af’alil ‘Ibad dan Ar Raddu ‘alal

Jahmiyah.

10. Imam Abu Bakar ahmad bin Muhammad bin Hani’ Al Atsram, teman

Imam Ahmad (wafat pada tahun 273 H). Beliau menulis kitab As

Sunnah.

11. Imam Abdullah bin Imam Ahmad. Beliau menulis kitab As Sunnah dan

telah dicetak dengan tahqiq DR. Muhammad Said Al Qaththani.

12. Imam Utsman bin said Ad Darimi (wafat pada tahun 280 H). Beliau

memiliki kitab yang berjudul Ar Raddu ‘alal Jahmiyah dan Ar Raddu ‘alal

Marisi.

13. Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Said Al Marwazi (wafat pada tahun

292 H). Kitab beliau berjudul As Sunnah.

14. Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Husain bin Abdillah Al Ajurri (wafat

pada tahun 360 H). Diantara karya beliau adalah kitab Asy syari’ah dan

kitab At tashdiq bin Nazhar ila Wajhillah wama A’adda li Auliya’uhu.


15. Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad Ath Thabrani. Beliau memiliki

karya-karya Al Ma’ajim dan selainnya seperti kitab As sunnah (wafat

pada tahun 360 H).

16. Imam Abu ali Haubal bin ishaq asy Syaibani, anak paman Imam ahmad

dan murid beliau (wafat pada tahun 283 H). Beliau menulis kitab yang

berjudul As Sunnah.

17. Imam Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun Al Khallaf, beliaulah

yang telah menghimpun ilmu Imam Ahmad (wafat pada tahun 311 H).

Beliau menulis kitab As Sunnah dalam tiga jilid dan telah ditahqiq satu

jilid oleh DR. ‘Athiyah Adz Dzahrani.

18. Imam Abu syaikh abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyan Al

Ashbahani. Karyanya banyak, diantaranya adalah kitab As Sunnah

(wafat pada tahun 369 H).

19. Imam Abu Bakar Ahmad bin ‘Amr bin Abi ‘Ashim An Nabil Asy Syaibani

(wafat pada tahun 287 H). Beliau menulis kitab As Sunnah dan telah

ditakhrij haditsnya oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah.

20. Imam Abu Hafizh Umar bin Ahmad bin Utsman Al Baghdadi, seorang

penasehat dan terkenal dengan nama “Syahin.” Beliau seorang hafizh

besar (wafat pada tahun 385 H). Beliau memiliki kitab As Sunnah.

21. Imam Abul Hasan Al Asy’ari (wafat pada tahun 324 H). Beliau menulis

kitab Al Ibanah dan kitab Al Mujiz. Beliau mengarang kitab tersebut

dengan mengikuti jalannya ahlul hadits dalam menetapkan sifat-sifat


(bagi Allah) dan di dalamnya terdapat bantahan terhadap Jahmiyah dan

selainnya serta orang yang menta’thilkan (menolak) sifat-sifat (bagi

Allah).

22. Imam Khasyisy bin Asram (wafat pada tahun 253 H). Beliau menulis

kitab yang berjudul Al Istiqamah dan Ar Raddu ‘alal Ahlil Bid’ah.

23. Imam Ishaq bin Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat pada tahun

311 H), menulis kitab At Tauhid wa Itsbat sifat Irrabi Azza wa Jalla.

24. Imam abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari (wafat pada tahun 310

H). Beliau adalah penulis kitab tafsir yang besar dan kitab-kitab di atas

manhaj ahli hadits dan sunnah, sebagaimana telah berlalu

penjelasannya.

25. Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mundah, seorang hafizh dan

banyak berjalan dalam rangka untuk menuntut ilmu. Karya beliau antara

lain kitab As Sunnah (wafat pada tahun 301 H).

26. Imam Abu Al Qasim Hibatullah bin Hasan Al Lalikai (wafat pada tahun

481 H). Diantara kitab beliau adalah Syarah Ushulus Sunnah dan telah

dicetak dengan ditahqiq oleh DR. Ahmad Sa’ad Hamdan.

27. Imam Al Hafizh Amirul Mukminin dalam ilmu hadits, Abul Hasan bin Umar

Ad Daruquthni (wafat pada tahun 385 H). Diantara kitab beliau adalah

kitab Ash Shifat, kitab An Nuzul dan kitab Ar Ru’yah.


28. Imam al Hafizh ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah Al ‘Akbari (wafat

pada tahun 387 H). Diantara karya beliau adalah Al Ibanah ‘an Syari’atil

Firqatunnajiyah wa Mujanabatul Firaqil Mazmumah, kitab Al Ibanah Ash

shughra dan kitab As Sunnah.

29. Imam Muhyis Sunnah, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi

(wafat pada tahun 516 H). Diantara karya beliau adalah Syarhus Sunnah

dan di dalamnya mencakup kitab Al Iman. Diantara bab dalam kitab Al

Iman adalah bab: Ar Raddu ‘alal Jahmiyah, bab: Bantahan terhadap

Bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu, bab: Menjauhi Ahlul Ahwa’. Dan telah

lewat diisyaratkan kitab beliau dalam kitab-kitab tafsir.

30. Imam al Hafizh Abul Qasim Ismail bin Muhammad bin Al Fadl At Taimi Al

Ashbahani (wafat pada tahun 535 H). Diantara kitab beliau adalah Al

Hujjah fi Bayanil Mahajjah, dan Syarah Madzhab Ahlus Sunnah, dan

telah diocetak dengan dua jilid dengan Muhaqqiq Muhammad Rabi’ Al

Madkhali dan Muhammad Abu Rahim.

31. Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim

bin Taimiyyah (wafat pada tahun 728 H). Kitab-kitab beliau terkenal (di

kalangan kaum muslimin) dan banyak dipakai oleh para penuntut ilmu.

Beliau telah mengarang kitab-kitab yang banyak, baik dalam masalah

aqidah atau di dalam dakwah agar kembali kepada Al Qur’an dan As

Sunnah, memerangi segala bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Diantara

kitab beliau, antara lain: Al aqidah Al Wasithiyah, Al aqidah Al


Hamawiyah, At Tadmuriyah, Iqtidha Shirathal Mustaqim, Minhajus

Sunnah, Daru Ta’arudhul ‘Aql wan Naql, Qaidatan Jalilatun fi At

Tawassul wal Wasilah, Ar Raddu ‘ala Al Bakri dan Ar Raddu ‘ala Al

Akhna’i.

Foot Note:

[24]. Lihat Fatawa Syaikhul Islam (4/57) dan kitab Al I’tisham (1/224-225).

[25]. Murji’ah adalah kelompok sesat yang memiliki keyakinan bahwa amal

perbuatan bukan bagian dari Iman. Sebagian dari mereka berkata: “Iman tidak

akan rusak karena perbuatan maksiat sebagaimana ketaatan (seseorang) tidak

bermanfaat karena kekafirannya.”

[26]. Jahmiyah adalah kelompok sesat yang menolak nama dan sifat-sifat Allah.

Pendiri kelompok ini adalah Jahm bin Shafwan –ed.

[27]. Pemahaman Qadariyah dinisbatkan kepada Mu’tazilah, dikarenakan

mereka mengingkari taqdir. Qadariyah ada 2 macam yaitu Qadariyah pertama

dan Qadariyah Mu’tazilah.

[28]. Lihat kitab Manaqib Imam Ahmad karya Ibnul jauzi (hal. 110 dan 116).

[29]. Lihat Muqaddimah Al Ma’rifah li Kitab Al Jarh wat Ta’dil (hal. 308-309).

You might also like