You are on page 1of 16

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA FAKULTAS KEDOKTERAN

Snoring
Pembimbing : Dr. Yuswandi Affandi Sp THT Dr. Tantri Kurniawati Sp THT-KL

Disusun Oleh : Kurniawati Hesli Pratiwi (11.2012.195)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG Periode 20 Januari 2014 s/d 22 Februari 2014

DAFTAR ISI

Kata pengantar Bab I Pendahuluan Bab II Pembahasan 1. 2. Defenisi Anatomi 2.1 Hidung 2.2 Sinus Paranasal 3. Fisiologi 3.1 Fungsi hidung 3.2 Fungsi sinus paranasal 4. 5. 6. 7. 8. 9. Epidemiologi Etiologi Klasifikasi Gejala klinis Patogenesis Diagnosis 9.1 Sinusitis akut 9.2 Sinusitis kronis 10. Pemeriksaan penunjang 11. Petalaksanaan 12. Komplikasi 13. Pencegahan Bab 3 Penutup 3.1 3.2 Kesimpulan Daftar pustaka

2 3

5 9

12 13 14 14 16 17 17

19 23 23 26 32 35

37 38

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada TUHAN yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun referat ini dengan baik dan benar serta tepat waktunya. Didalam referat ini, penulis akan membahaskan mengenai Snoring. Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan juga penulusuran situs medikal serta telah mendapatkan beberapa bantuan dari pelbagai pihak untuk membantu dalam menyelesaikan tantangan dan hambatan selama proses mengerjakan referat ini. Oleh kerana itu, penulis ingni mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada referat ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat membangun nilai kerja penulis ini. Kritikan yang berunsur konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan referat ini selanjutnya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan apabila ada kata-kata yang kurang berkenan penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Karawang, Februari 2014

Penulis

BAB I PENDAHULUAN
Masalah mendengkur atau snoring sering dialami oleh banyak orang selama mereka tidur baik disadari maupun tidak. Mendengkur terjadi ketika sebagian dari saluran nafas terblokir, sehingga memaksa paru-paru untuk mengambil udara lebih banyak untuk mengkompensasi kurangnya oksigen dalam tubuh. Pada saat mendengkur ada bagian dari tenggorokan yang bergetar, yaitu tonsil, langitlangit, dan uvula. Beberapa otot kecil terbuka saat terjaga sedangkan saat tidur, otot-otot tersebut menjadi rileks. Hal ini membuat otot-otot tersebut lebih mudah untuk bergetar sehingga saluran napas menjadi sempit. Ketika menarik napas, otot-otot tersebut akan bergetar dan menimbulkan suara. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya snoring adalah konsumsi alkohol yang berlebihan, hidung tersumbat, obesitas, pembesaran adenoid (pada anak), pembesaran tonsil, dan pembesaran kelenjar tiroid. Mendengkur atau snoring tidak selalu berbahaya, tetapi beberapa orang yang memiliki kebiasaan mendengkur dapat beresiko terkena penyumbatan aliran napas yang berat sehingga dapat menganggu kualitas tidur penderita. Kondisi ini biasa disebut Sleep Apnea. Hal ini akan berbahaya, jika tidak segera ditangani.

BAB II PEMBAHASAN

1. Defenisi
Mendengkur atau snoring adalah suara yang dihasilkan dari getaran organ-organ pernapasan karena aliran udara terhambat ketika bernapas saat tidur. Dalam beberapa kasus suara tersebut mungkin terdengar lembut, tapi dalam kasus lain dapat menjadi keras dan tidak menyenangkan. Mendengkur biasanya terjadi ketika seseorang sudah memasuki saat terdalam tidur yaitu 90 menit setelah mulai tidur (fase REM). Mendengkur saat tidur mungkin menjadi tanda atau pertanda awal dari Obstruction Sleep Apneu (OSA).

Gambar 1. Snoring

2. Epidemiologi
Sekitar 60 % pria dan 40 % wanita berusia antara 41-65 tahun mempunyai kebiasaan mendengkur. Kebiasaan mendengkur akan meningkat ketika mencapai usia 35 tahun. Hal-hal yang akan meningkatkan prevalensi adalah konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan obesitas. Pada pasien hipertensi dan jantung koroner, kebiasaan mendengkur adalah hal yang wajar karena adanya hambatan aliran darah. Pada anak, mendengkur umumnya terjadi pada usia 2-7 tahun. Khususnya pada saat terjadi infeksi saluran napas bagian atas seperti pembesaran adenoid dan pembesaran tonsil. Sering juga
4

terjadi pada neonatus yang lahir dengan berat badan rendah. Wanita yang tengah hamil pada usia trimester ketiga kehamilan juga sering mengalami masalah mendengkur. Hal ini diakibatkan karena adanya penambahan berat badan yang sering dialami oleh calon ibu ketika sedang hamil.

3. Etiologi
Mendengkur disebabkan oleh getaran otot-otot pernapasan bagian atas ketika sedang bernapas baik saat inspirasi maupun ekspirasi. Organ-organ yang mencakup adalah palatum, uvula, dan tonsil. Saat sedang tidur, otot-otot saluran napas menjadi rileks dan sempit. Hal ini menyebabkan tekanan didalam saluran napas menjadi terganggu dan membuat otot-otot tersebut bergetar sehingga menimbulkan suara saat bernapas yang biasa disebut dengan mendengkur. Bisa juga karena adanya hambatan pada saluran napas, misalnya karena hidung tersumbat. Namun, penyebab paling umum dari penyempitan saluran napas bagian atas adalah otot lidah yang terlalu rileks saat tidur. Saat rileks, lidah terdorong ke bagian belakang tenggorokan setiap kali melakukan inspirasi. Faktor-faktor yang meningkatkan terjadi snoring adalah : Kelebihan berat badan atau obesitas akan membuat lemak lebih banyak terakumulasi dibagian leher sehingga akan membuat tenggorokan menjadi lebih sempit dan akan membuat otot-otot pernapasan bagian atas lebih mudah untuk bergetar. Konsumsi alkohol akan membuat otot-otot pernapasan bagian atas menjadi lebih lemah. Hal ini dikarenakan alkohol banyak mengandung zat-zat adiktif yang dapat merusak tubuh. Orang-orang yang bernapas melalui mulut lebih rentan untuk mendengkur. Hal ini terjadi karena dinding tenggorokan di bagian belakang mulut menjadi lebih mudah untuk bergetar daripada dinding dibelakang hidung. Hidung tersumbat akan membuat penderita bernapas menggunakan mulut dan meningkatkan resiko terjadinya snoring. Tidur telentang membuat lidah lebih mudah untuk langsung jatuh ke belakang pada saat rileks. Hal ini dapat menghalangi masuknya aliran udara ketika bernapas.

Beberapa orang mempunyai kebiasaan mendengkur karena penyempitan yang disebabkan oleh polip hidung, makroglotis, dan pembesaran tonsil. Pada anak-anak sering terjadi karena pembesaran adenoid dan juga tonsil.

Alergi dapat membuat konka hidung menjadi hipertrofi dan terjadi proses inflamasi sehingga membuat jalan napas menjadi sempit. Merokok dapat membuat kebiasaan mendengkur bertambah parah karena zat-zat nikotin yang terkandung dalam rokok akan menyebabkan peradangan pada jalan napas bagian atas dan menjadi sempit.

Beberapa obat membuat otot-otot tenggorokan menjadi rileks misalnya obat tidur, obat bius, steroid oral dan obat epilepsi. Adanya kelainan genetik pada anak-anak yang biasanya membuat otot-otot pernapasan bagian atas menjadi lemah dan lebih mudah mengalami snoring contohnya seperti makroglotis dan cleft palate.

Disposisi kranial juga dapat mempengaruhi terjadinya hambatan pada jalan napas penderita.

Gambar 2. How snoring occurs

4. Klasifikasi
Pada umumnya, kebiasaan mendengkur tidak menganggu. Tetapi pada sebagian orang, kebiasaan mendengkur menjadi salah satu kebiasaan yang cukup menggangu. Berdasarkan hal ini snoring dibagi menjadi dua yaitu :
6

Occasional snoring Apabila kebiasaan mendengkur penderita hanya sesekali setiap minggu dan tidak lebih dari 3 x dalam seminggu. Penderita juga tidak mengalami gangguan pada aktivitasnya.

Habitual snoring

Apabila kebiasaan mendengkur penderita sudah lebih dari 3 x dalam seminggu dan membuat penderita mengalami gangguan pada aktivitasnya. Misalnya penderita menjadi lebih sering mengantuk saat siang hari. Hal ini biasanya dikaitkan dengan obstruction sleep apnea (OSA).

5. Gejala klinis
Healthcare Professionals menggunakan sistem penilaian untuk menilai tingkat keparahan mendengkur seseorang. Ada tiga tingkatan keparahan dalam mendengkur, yaitu : Derajat satu snoring Derajat ini dikenal sebagai mendengkur sederhana (simple snoring). Dimana seseorang kebiasaan mendengkur yang dialami masih jarang terjadi dan suara yang ditimbulkan tidak terlalu keras. Pada derajat ini, sistem pernapasan penderita tidak terpengaruh sehingga tidak menimbulkan masalah yang kesehatan yang signifikan. Namun, kebiasaan ini dapat menjadi masalah tersendiri bagi pribadi penderita karena dapat membuat pasangan penderita terganggu. Derajat dua snoring Pada derajat ini, penderita menjadi lebih sering mendengkur dan mencapai lebih dari 3 x selama seminggu. beberapa penderita pada derajat ini, mungkin akan mengalami kesulitan bernapas saat tidur dari tahap ringan sampai dengan sedang. Kesulitan bernapas ini dapat mempengaruhi kualitas tidur penderita sehingga membuat penderta merasa cepat lelah dan mengantuk di siang hari. Derajat tiga snoring Pada derajat ini, penderita mendengkur hampir setiap malam dan terdengar keras sehingga sampai diluar kamar penderita. Banyak penderita pada derajat tiga memiliki kondisi yang terkait dengan obstruction sleep apnea (OSA). Pada OSA, sebagian atau seluruh saluran pernapasan bagian atas terhambat selama kira-kira 10 detik.
7

Kurangnya oksigen yang dialami penderita selama tidur dapat membuat penderita terbangun dan berusaha untuk mengembalikan pernapasan dalam keadaan normal. Episode berulang dari mendengkur dan terbangun pada malam hari dapat terjadi sepanjang malam dan menyebabkan penderita menjadi sangat mengantuk keesokan harinya, gangguan konsentrasi, penurunan libido, iritabilitas, rasa cemas yang berlebihan, penurunan memori, dan akhirnya menimbulkan dampak negative terhadap kegiatan sehari-hari penderita.

Gambar 3. Pembagian snoring

6. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya snoring terjadi ketika penderita memiliki faktor resiko untuk terjadinya snoring. Ketika penderita tertidur dalam fase REM, tonus otot-otot pernapasan akan berkurang sehingga patensi saluran napas dan komponen jalan napas bagian atas melemah dan menyebabkan jalan napas menjadi kolaps. Hal ini akan menyebabkan otototot yang bersangkutan akan lebih mudah untuk bergetar dan menimbulkan suara dengkuran. Apabila kebiasaan mendengkur penderita sudah mencapai derajat tiga, maka yang terjadi adalah penutupan saluran napas karena melemahnya tonus otot-otot pernapasan. Ada beberapa teori yang berperan dalam hambatan jalan napas ketika tidur, yaitu : Teori balance of forces Ukuran lumen farings tergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif intrafaringeal yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan nafas atas.
8

Tekanan transmural pada saluran nafas atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure. Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan nafas atas akan mempertahankan tekanan tranmural di atas closing pressure sehingga jalan nafas atas tetap paten. Pada saat tidur tonus neuromuskular berkurang, akibat lumen farings mengecil sehingga menyebabkan aliran udara terbatas atau terjadi obstruksi. Teori starling resistor Jalan nafas atas berperan sebagai starling resistor yaitu perubahan tekanan yang memungkinkan farings untuk mengalami kolaps yang menentukan aliran udara melalui saluran nafas atas.

Gambar 4. Obstruction sleep apnea

7. Diagnosa
Kebiasaan mendengkur bukanlah hal yang membahayakan dalam kehidupan seseorang. Tetapi apabila kebiasaan mendengkur sudah dirasakan berlebihan dan dapat menganggu kegiatan sehari-hari penderita maka perlu diwaspadai. Beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan apabila menangani penderita yang datang dengan kebiasaan mendengkur adalah : Seberapa sering penderita mendengkur dalam seminggu ? Apakah suara dengkuran terdengar cukup keras dan dapat membangunkan orang lain atau tidak ? Apakah mendengkur akan bertambah buruk ketika penderita berbaring dalam posisi tertentu seperti ketika penderita tidur terlentang ? Apakah ada faktor-faktor yang mungkin berkontribusi terhadap mendengkur penderita, seperti alkohol, merokok atau obat yang mendasari ? kebiasaan

Apakah penderita merasa benar-benar segar setelah tidur atau apakah penderita masih merasa mengantuk keesokan harinya ? Apakah ada orang lain yang memberitahu kepada penderita bahwa penderita terlihat terengah-engah dan mendengus ketika sedang mendengkur ?

Jika penderita menjawab ya untuk dua pertanyaan terakhir, mungkin menjadi pertanda awal bahwa penderita mengalami obstruction sleep apnea (OSA). Adapun beberapa hal yang dapat membantu penentuan diagnosa snoring adalah : Pengukuran berat badan untuk menilai indeks massa tubuh dan pengukuran lingkar leher juga diperlukan dalam menentukan diagnosis. Penderita yang memiliki lingkar leher lebih dari 43 cm (17 inch) lebih beresiko untuk lebih sering mendengkur. Pemeriksaan mulut dan tenggorokan untuk melihat adanya kelainan yang bermakna seperti pembesaran tonsil, adenoid (pada anak), adanya kanker atau tumor di tenggorokan. Pemeriksaan lebih lanjut biasanya hanya diperlukan jika gejala penderita mengarah pada OSA. Apabila penderita mengalami OSA maka harus ditindak lanjuti dengan melakukan pemantauan selama penderita sedang tertidur. Gold standard untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur semalam dengan alat polysomnography / PSG). Parameter-parameter yang direkam pada polysomnogram (pergerakan adalah electroencephalography electrocardiography (EEG), (EKG), electrooculography electromyography

bola

mata),

(pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas pernapasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan napas atas (kadangkadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan 50% penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.

10

Gambar 5. Polisomnography

8. Penatalaksanaan dan pencegahan


Untuk mengurangi derajat keparahan dari snoring, perlu dilakukan hal-hal berikut ini : Mengurangi berat badan Penurunan berat badan dapat sangat berpengaruh terhadap derajat keparahan mendengkur. Jika penderita meraskan bahwa penambahan berat badan dapat memperburuk terjadi snoring, maka sangat mungkin dilakukan penurunan berat badan untuk menghilangkan snoring. Penurunan 10 % dari berat badan penderita akan menjadi awal yang baik. Posisi tidur Hindari posisi tidur terlentang ketika tidur. Banyak penderita mendengkur lebih keras ketika tengah tidur terlentang. Pemakaian bantal sebagai penahan agar tidak berbalik ke posisi terlentang ketika tidur juga bisa sangat membantu mengurangi terjadinya snoring. Hindari alkohol Konsumsi alkohol dalam beberapa jam sebelum tidur akan memperburuk kebiasaan mendengkur. Untuk itu konsumsi alkohol yang berlebihan perlu dikurangi. Chin Straps Menjaga mulut Anda tertutup saat tidur dapat menurunkan derajat keparahan mendengkur. Chian straps yang digunakan harus disesuaikan dengan ukuran penderita agar penderita lebih nyaman saat menggunakannya. Hindari alergen
11

Jauhkan alergen dari penderita yang mempunyai riwayat alergi seperti alergi hewan peliharaan, debu, dan dingin. Penggunaan obat alergi penting untuk menjaga agar hidung tidak tersumbat. Obat-obat dekongestan seperti inhaler dan nasal dekongestan dapat memperbaiki hidung tersebut. Pemakaian nasal strip juga dapat membantu untuk mengurangi gejala hidung tersumbat. Peralatan oral Ada peralatan oral yang dibuat khusus untuk penderita dengan kebiasaan mendengkur. Alat ini bisa sangat efisien bagi penderita. Ada sejumlah peralatan yang disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan kebiasaan mendengkur atau apnea tidur. Peralatan yang agak mirip dengan blok gigitan , tetapi dirancang untuk menahan rahang penderita ke depan saat tidur. Alat ini dapat menahan lidah penderita ke depan dan memperbesar saluran udara dalam tenggorokan penderita sehingga dapat mengurangi atau menghentikan mendengkur. Alat ini hanya bisa diperoleh dari dokter gigi. Dokter gigi tidak menyarakan alat ini pada pemakai kawat gigi, gigi palsu, dan penderita yang memiliki kelainan pada rahang.

Gambar.

Nasal CPAP mask dan mesin CPAP (Continuous Positive Airway Pressure ) Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada usia berapapun, obesitas, sindrom down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. CPAP terutama berguna untuk pasien dengan obesitas dan pasien dengan OSA yang menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan atau adenoidektomi. Sebenarnya indikasi pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan atau adeniodektomi
12

penderita masih mempunyai gejala OSA atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan atau adeniodektomi. Kunci kebersihan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif. Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara disekitar selang masker. Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit. Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisiologis atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan humifier dapat mengurangi efek samping.

Gambar.

Pembedahan Ada beberapa pilihan bedah untuk pengobatan mendengkur . Prosedur yang paling umum adalah somnoplasty. Prosedur ini dilakukan oleh spesialis THT dan hanya anestesi lokal diperlukan. Tindakan tonsilektomi, adenoidektomi, adenotonsilektomi, dan laser- assisted uvulopalatoplasty dapt dilakukan untuk menghilangkan faktor predisposisi.

13

BAB III KESIMPULAN

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Marcus CL. Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H, penyunting. Respiratory disease in children; diagnosis and management. Baltimore, William & Wilkins, 1994. h. 475-91. 2. Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1-20. 3. Supriyatno B, Said M, Hermani B, Syarif DR, Sastroasmoro. Risk factors obstructive sleep apnea syndrome in obese early adolescents: scoring system as diagnostic prediction (Disertasi). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 4. Febriani, Debi dkk. Hubungan Obstructive Sleep Apnea Dengan Kardiovaskular. Jurnal Kardiologi Indonesia 2011; 32:45-52. 5. Rodriguez, Hector P. Berggren, Diana A-V. Biology and treatment of Sleep Apnea. Otolaryngology chapter 6, 2006; 71-82.

15

You might also like