Professional Documents
Culture Documents
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas teori-teori yang berhubungan dengan
permasalahan yang ingin diteliti, yaitu mengenai teori down syndrome, stres dari
orangtua yang memiliki anak penyandang down syndrome, dan juga bagaimana
coping terhadap stres tersebut. Hal-hal yang dibahas pada bab ini digunakan
sebagai acuan dalam merencanakan prosedur dan melaksanakan penelitian.
2.1 Down Syndrome
Down syndrome pada awalnya sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr.
Longdon Down yang berasal dari Inggris, kemudian pada tahun 1959 seorang
ahli genetika Perancis J erome Lejeune dan para koleganya mengidentifikasi
basis genetiknya. Manusia pada umumnya secara normal memiliki 46 kromosom,
sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu
yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46
kromosom. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan
kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. J ika telur bertemu
dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 yang disebut trisomi 21 (Gerald
dkk, 2006).
Nama gangguan ini pada awalnya dikenal dengan sebutan Mongoloid atau
Mongolism karena penyandangnya memiliki gejala klinik yang khas, yaitu mereka
memiliki wajah seperti bangsa Mongol dengan karakteristik yang sama. Bangsa
Mongol memiliki mata yang sipit membujur ke atas. Namun, setelah gangguan ini
belakangan diketahui terdapat pada seluruh bangsa di dunia dan kemudian
munculah tuntutan dari pemerintahan Negara Mongolia yang berpendapat dan
7
kromosom ini terdapat unsur-unsur keturunan yang sebagian berasal dari ibu
dan separuhnya lagi berasal dari ayah. J adi dalam setiap sel kita ada 23
kromosom ibu dan 23 kromosom ayah.
Seorang anak dengan down syndrome ini tidak memiliki 46 kromosom
sebagaimana seharusnya melainkan 47 kromosom. Kelebihan satu pada
jumlah kromosom ini selalu terdapat pada saudara kembar kromosom nomor
21. Hal tersebut menyebabkan anak dengan down syndrome memiliki tiga
kromosom 21, bukan dua kromosom 21. Kelebihan kromosom 21 ini biasanya
terjadi karena terdapat kesalahan pada waktu pembagian sel. Tanpa
disengaja masuklah dua kromosom 21 ke dalam anak sel, sehingga sel yang
lainnya tidak memiliki kromosom nomor 21 ini, akibatnya ia musnah,
sedangkan sel dengan kelebihan kromosom tumbuh dan terus hidup.
Pembagian yang salah ini dapat terjadi baik dalam sperma laki-laki maupun
pada sel telur wanita sebelum terjadi pembuahan. Tetapi hal ini juga dapat
juga terjadi kesalahan pembagian selama proses pemecahan yang telah
dibuahi berlangsung (Mangunsong, 2009).
Fadhli (2010) mengatakan angka kejadian down syndrome rata-rata di
seluruh dunia adalah 1 dari setiap 700 kelahiran. Kejadian ini akan bertambah
dikarenakan semakin tua usia ibu hamil. Biasanya calon-calon bayi dengan
down syndrome 60% cenderung gugur dan 20% akan lahir mati. Selain
pengaruh usia ibu pada anak down syndrome, menurut Soetjiningsih (1995)
usia ayah juga dapat membawa pengaruh pada anak down syndrome.
Orangtua dari anak dengan down syndrome mendapatkan bahwa 20-30%
kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak
setinggi dengan usia ibu.
9
Down syndrome terjadi pada setiap 800 atau 1000, tetapi akan semakin
kecil kemungkinan ibu melahirkan anak down syndrome jika ibu tersebut
melahirkan pada usia muda, akan tetapi semakin tua usia ibu (lebih dari 40
tahun) maka akan semakin besar peluang melahirkan anak down syndrome
(Rosidah, 2010). Ibu dengan usia diatas 35 tahun harus waspada dengan
adanya kemungkinan seperti ini, karena sel telur wanita telah dibuat pada saat
wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per
satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. Oleh karena itu pada
saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi
kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini
mengalami pembelahan yang kurang sempurna (Fadhli, 2010).
2.1.3 Jenis-jenis Down Syndrome
Terdapat 3 variasi genetik yang menjadi penyebab down syndrome
(Selikowitz, 2001), yaitu :
1. Trisomi 21
Keadaan ini disebabkan oleh adanya ekstra kromosom 21 dalam
semua sel individu. Hal seperti itu terjadi karena salah satu dari
orangtua memberikan dua kromosom 21 baik melalui sel telur
maupun melalui sperma, bukannya satu seperti biasanya. Ini
merupakan bentuk yang paling banyak terjadi (95%) pada anak-anak
down syndrome yang lahir dari ibu dengan bermacam-macam usia.
2. Translokasi
Pada tipe ini, sebagian dari kromosom lain tersangkut pada
kromosom 21. Hal itu terjadi ketika bagian atas yang kecil dari
kromosom 21 dan sebuah kromosom lain pecah, lalu kedua bagian
yang tersisa saling melekat satu sama lain pada bagian ujungnya.
10
alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari celah antar jari lalu
ke belakang sepanjang beberapa sentimeter.
i. Tonus
Tungkai dan leher penyandang down syndrome yang masih kecil
seringkali terkulai. Lembeknya otot (Hipotonia) berarti mempunyai
tonus rendah. Tonus adalah tahanan yang diberikan oleh otot
terhadap tekanan pada waktu otot dalam relaksasi. Tonus ini selalu
paling rendah pada tahun-tahun awal dan kembali secara spontan
sewaktu anak tersebut bertambah besar. Tonus berbeda dengan
kekuatan otot yang membutuhkan kontraksi otot yang aktif.
Kekuatan otot-otot biasanya normal. Otot-otot mereka mungkin
lembek, namun mereka tidak lemah.
j. Ukuran tubuh
Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang
daripada berat rata-rata. Panjang tubuhnya sewaktu lahir juga lebih
pendek. Semasa kanak-kanak, mereka tumbuh dengan lancar
tetapi lambat. Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih
pendek dari anggota keluarga yang lainnya. Tinggi mereka berkisar
sekitar dibawah tinggi rata-rata orang normal.
b. Karakteristik Kognitif
Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan
keluhan utama pada orangtua adalah retardasi mental atau
keterbelakangan mental. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa
kaum profesional mengklasifikasikan anak down syndrome berdasarkan
tingkat keparahan masalahnya. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat
kecerdasan atau skor IQ, yaitu :
14
sama sekali dengan down syndrome sehingga tidak perlu ditangani dengan
berbeda (Selikowitz, 2001). Namun demikian, Selikowitz (2001) menyebutkan
beberapa keadaan yang lebih sering terjadi pada anak down syndrome adalah
seperti gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan pencernaan, disfungsi pada tiroid, gangguan pada
gigi, penyakit kulit, leukimia, dan kelainan jantung. Hoffnung (1997)
menyebutkan bahwa sebagian besar anak-anak dengan down syndrome
hanya dapat bertahan hidup hingga dewasa muda (middle Adulthood) tetapi
sekitar 14% meninggal pada usia satu tahun dan 21% meninggal pada usia
sepuluh tahun.
Pada awal abad ke 20, individu dengan down syndrome ditakdirkan
hidup di lembaga-lembaga perawatan dan jarang yang dapat bertahan hidup
hingga melewati usia 9 tahun. Namun belakangan peningkatan dalam
intervensi terapeutik dan pendidikan, seperti treatmen medis yang lebih baik
dan penyatuan anak-anak ke sekolah dan komunitas, telah berkontribusi
meningkatkan harapan hidup mereka. Saat ini sebagian besar individu
dengan down syndrome dapat hidup hingga usia sekitar 50 tahun. Akan tetapi
kesehatan mereka yang hidup hingga usia tersebut biasanya buruk, dan
hampir semuanya mengalami perubahan otak hampir sama dengan penderita
Alzheimer (Halgin & Krauss, 2011).
2.1.6 Masalah Perilaku
Ada dua pendapat yang bertolak belakang mengenai perilaku anak-anak
dan otang dewasa penyandang down syndrome. Yang pertama adalah bahwa
mereka adalah individu-individu yang tenang dan mudah diatur. Pendapat
lainnya adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang keras kepala dan
sulit dikontrol. Hal tersebut mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya
19
and society)
Stres yang berhubungan dengan lingkungan dan pekerjaan yang
dialami oleh orang dewasa. Pada faktor lingkungan yang
melibatkan tuntutan tugas dan tanggung jawab terhadap
kehidupan menyangkut keselamatan seseorang.
J adi stresor dapat disimpulkan sebagai kondisi fisik dan lingkungan
sebagai mengancam merusak, membahayakan yang menghasilkan perasaan
tertekan (Sarafino, 1998).
2.2.3 Gejala Stres
Menurut Wijoyo (2011) ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya
terkena stres padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya para penderita stress
justru tidak menyadari keadaannya. Menurut Donald (dalam Wijoyo, 2011)
menunjukkan bahwa gejala seseorang mengalami stres pada dasarnya dapat
dibagi dalam tiga kategori yaitu berdasarkan fisik, psikologis, dan perilaku.
1. Gejala stres pada fisik
a. Mudah lelah, sesak napas, napas terengah-engah, nyeri
kepala, nyeri rahang, pandangan tertekan, berkeringat
meskipun suhu normal, mulut kering, rambut kusut, wajah
pucat.
b. Otot tegang di leher, bahu, pundak, lengan, dan kaki.
Tangan terasa atau teraba dingin.
c. J antung berdebar, detak tak teratur. Rasa sesak atau
kencang di dada dan didaerah jantung. Tangan gemetar
(Tremor). Tekanan darah tinggi, gula darah dan zat
pembeku darah naik.
23
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpukan bahwa coping stres atau
pengelolaan stres merupakan suatu upaya mengelola tuntutan internal ataupun
eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan diluar kemampuan diri individu
sebagai penyebab munculnya stres.
2.2.7 Fungsi dan strategi Coping
Lazarus (1984) menyatakan bahwa fungsi dari strategi pengelolaam stres
atau strategi coping dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah (Problem
Focused Forms of Coping)
Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan
strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi
diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab
stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan
lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya
dilakukan dengan melakukan tindakan langsung untuk
memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan
pada mendefinisikan masalah (defining the problem),
menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions),
pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih antara
cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus cara ini
lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada masalah,
daripada memecahkan masalahnya sendiri.
Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar
pemecahan masalah yang menganalisa secara objektif yang
difokuskan pada lingkungan, akan tetapi strategi ini merupakan
29
kecemasan adalah gejala utama dan untuk pasien medis dengan komplikasi
kejiwaan.
Penelitian dengan STAI telah sangat berkontribusi dalam pentingnya
membedakan antara intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional fana
dan perbedaan individu dalam kecemasan sebagai ciri kepribadian yang relatif
stabil. Sejak pertama kali diperkenalkan lebih dari 40 tahun lalu, STAI telah
diterjemahkan dan diadaptasi ke 70 bahasa dan dialek, dan digunakan secara
ekstensif dalam penelitian seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di lebih dari
16.000 publikasi arsip Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).
2.3 Rentang Usia Ibu
2.3.1 Dewasa Muda
Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan
kehidupan manusia. Ketika memasuki usia dewasa muda biasanya individu
telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
matang. J ika dilihat dari sudut pandang psikologi, definisi dewasa muda
adalah mereka yang telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri atau telah
menentukan pilihan karirnya, telah membentuk significant relationship atau
sudah membentuk suatu keluarga (Papalia et.al., 2005).
2.3.1.1 Rentang Usia Dewasa Muda (20-40 tahun)
Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa muda
mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia dua
puluh tahun hingga empat puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang
dihadapi pada dewasa muda adalah intimacy and solidarity versus isolation.
Dalam menjalin hubungan intim, individu akan membentuk ikatan yang kuat
33