You are on page 1of 11

ELECTROCONVULSIVE THERAPY

A. LATAR BELAKANG Electroconvulsive therapy merupakan suatu terapi bagi gangguan jiwa yang menggunakan arus listrik singkat yang melewati otak dari pasien yang teranestesi. ECT adalah terapi yang aman dan paling efektif untuk depresi berat dan katatonik (Abrams 1997). Pandangan negatif meluas pada publik secara umum (Dowman et al, 2005), mahasiswa kedokteran (Papakosta et al, 2005), dan bahkan psikiatrik (Gazdag et al,2005). Sampai saat ini pandangan negatif terhadap ECT belum jelas mengapa terjadi.1 ECT pertama kali digunakan di Roma pada tahun 1938. Pada tahun 46, Scribonius Largus menjelaskan penggunaan ikan torpedo listrik di kepala untuk mengobati sakit kepala. Pada 1470, misionaris pada Ethiopia menggunakan ikan lele listrik kepada orang-orang untuk mengusir iblis. Namun, belum ada sejarah pasti penggunaan listrik di kepala untuk terapi gangguan mental sebelum 1938.1 Pada 1933, Manfred Sakel (Vienna) pengumumkan keberhasilan terapi schizofrenia menggunakan insulin. Beberapa psikiatrik lainnya menggunakan insulin untuk menstimulasi nafsu makan, namun Sakel menginginkan induksi menuju koma. Dalam prosesnya, beberapa pasien mengalami kejang.1 Pada 1934, Ladislaus von Meduna menyuntikkan camphor pada pasien scizophrenia dengan niat untuk menginduksi konvulsi, ini merupakan terapi konvulsif modern pertama. Von Meduna telah mengembangkan teori biological antagonism, antara epilepsi dan schizophrenia. Dia mempercayai kalau kedua kondisi tersebut tidak ada. Dia kemudian melakukan dua observasi. Pertama, ketika pasien dengan gangguan mental berat mengalami kejang, kondisi mental pasien tersebut meningkat. Kedua, obeservasi pada pasien dengan schizofrenia tidak menderita epilepsi. 1 Di Roma 1938, terdorong oleh kesuksesan von Meduna, Ugo Cerletti dibantu oleh Lucio Bini, mengawasi terapi ECT pertama. Pasien pertama, SE, 39

tahun seorang mekanik tua dari Milan yang ditemukan berkelana di jalanan Roma dalam keadaan psikotik.dia menerima 11 terapi, memperoleh respon yang baik. Sejak saat itu, penggunaan ECT menyebar cepat di seluruh dunia hingga sekarang digunakan lebih sering pada depresi berat dari pada schizofrenia.1

Ugo Cerletti (1877-1963), supervised the first ECT treatment (1938)

B. INDIKASI ECT dalam beberapa tahun terakhir lebih sering digunakan untuk meringankan depresi dan mania, delusi, dan katatonik. Selanjutnya,

penggunaannya dalam sindrom malignansi neuroleptik dan kekakuan parkinson sudah banyak diketahui.2

1) Gangguan depresif berat Indikasi ECT yang paling lazim adalah gangguan depresif berat; untuk gangguan ini, karena ECT adalah terapi yang tercepat dan paling efektif yang

tersedia. ECT harus dipertimbangkan pada pasien yang gagal pengobatan, tidak toleransi terhadap obat, memiliki gejala yang berat atau psikotik, memiliki kecendrungan akut untuk membunuh atau bunuh diri, atau memilki gejala agitasi atau stupor yang nyata. Penelitian terkontrol menunjukkan bahwa hingga 70% pasien yang gagal berespon terhadap obat anti depresan dapat memberikan respon positif untuk ECT.3 ECT efektif untuk depresi pada gangguan depresif berat dan gangguan bipolar I. Depresi psikotik atau waham telah lama dianggap responsif dengan ECT; namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa episode depresif berat dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresif non psikotik. Meskipun demikian, karena episode depresif berat dengan ciri psikotik berespon buruk terhadap terhadap farmakoterpai anti depresan saja, ECT harus dipertimbangkan lebih sering sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan gangguan ini. Gangguan depresif berat dengan ciri melankolik (ditandai dengan gejala berat, retardasi psikomotor berat, bangun dini hari, variasi diurnal, turunnya nafsu makan dan berat badan serta agitasi) dianggap cenderung memberikan respon terhadap ECT. ECT terutama diindikasikan pada orang yang depresi berat, memilki gejala psikotik, menunjukkan niat bunuh diri atau menolak makan. Pasien depresi yang lebih kecil kemungkinannya berespon terhadap ECT mencakup pasien dengan gangguan somatisasi. Pasien lansia cenderung berespon lebih lambat terhadap ECT dibandingkan dengan pasien muda. ECT merupakan terapi untuk terapi episode depresif berat dan tidak memerlukan profilaksis kecuali diberikan dengan dasar rumatan jangka panjang.3 2) Episode mania ECT sedikitnya setara dengan lithium (eskalith) dalam terapi episode manik akut. Meskipun demikian, terapi farmakologis episode manik, sedemikian efektif untuk jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga penggunaan ECT untuk menterapi episode manik umumnya terbatas pada situasi saat terdapat kontraindikasi khusus terhadap semua pendekatan farmakologis yang tersedia.

Relatif cepatnya respon terhadap terapi ECT menunjukkan kegunaannya pada pasien yang prilaku maniknya sudah sampai pada tingkat yang

membahayakan. ECT tidak boleh digunakan pada pasien yang mendapatkan lithium karena lithium dapat menurunkan ambang bangkitan dan menimbulkan bangkitan yang lebih lama.3 3) Skizofrenia ECT adalah terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut tetapi tidak untuk skizofrenia kronis. Pasien dengan sekizofrenia yang memilki gejala positif nyata, katatonia, atau gejala afektif, dianggap cenderung untuk memberikan respons terhadap ECT. Pada pasien seperti ini, efektivitas ECT kira-kira sama dengan antipsikotik, tetapi perbaikannya dapat terjadi lebih cepat.3 Terapi dengan kombinasi ECT dan chlorpromazine menunjukkan hasil yang lebih positif dalam jangka pendek maupun jangka panjang, daripada terapi dengan chlorpromazine saja.2 4) Katatonik Dalam beberapa dekade, benzodiazepine telah digunakan sebagai terapi farmakologis pilihan pada katatonik. Namun, pada pasien yang tidak berespon pada medikasi, percobaan melanjutkan pengobatan dengan perburukan gejala klinis dapat dihindari dengan adanya ECT (Ungavari et al,1994). Melihat pengetahuan dan pengobatan tentang sindrom ini, Fricchione (1989) merekomendasikan bahwa ECT perlu dipertimbangkan jika cara terbaik percobaan pemberian benzodiazepin dalam 48-72 jam gagal.4 5) Sindrom malignansi neuroleptik Penyakit ini dicetuskan oleh obat-obatan neuroleptik, disertai gejala demam, kekakuan motorik, instabilitas kardiovaskular dan respirasi, tidak dapat dibedakan dari katatonik. Sindrom ini seperti katatonik, berespon baik terhadap ECT.2

6) Parkinson Kekakuan motorik dan tremor dihubungkan dengan penyakit Parkinson. Pasien yang depresi menjadi lambat dan ragu dalam bergerak, kekakuan postur tubuh dan tremor. Ketika mereka diterapi depresi menggunakan ECT, iregulerritas motorik dan depresi keduanya berkurang. Untuk membedakan efek ECT pada rigiditas dari efeknya pada mood, peneliti Swedia melakukan penelitian pada pasien yang dirawat yang menderita parkinson yang tidak depresi. Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa ECT mengurangi kekakuan namun tidak pada tremor. ECT sekarang diterima sebagai suatu terapi pada parkinson.2 C. EVALUASI PRATERAPI Evaluasi praterapi harus mencakup pemeriksaan fisik, neurologis, dan pranestesia standar serta riwayat medis yang lengkap. Evaluasi laboratorium harus mencakup pemeriksaan kimia urin dan darah, rontgen dada, dan

elektrokardiogram. Pemeriksaan gigi untuk menilai keadaan gigi geligi pasien dianjurkan pada pasien lansia, dan pasien dengan perawatan gigi tidak adekuat. Rontgen tulang belakang diperlukan jika terdapat bukti adanya gangguan spinal. Computed Tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan jika klinis mencurigai adanya gangguan bangkitan atau lesi desak ruang.3 Psikiatrik harus membuat konsul yang perlu seperti anestesi dan bila diindikasikan interna (paling sering kardiologi) atau obstetri. Riwayat dan pemeriksaan fisik harus fokus kepada sistem cardiovascular dan neurologi yang merupakan wilayah dengan resiko terbesar. Internist, anestesiologist, atau dokter lainnya harus menyarankan kepada tim terapi mengenai resiko kardiovaskular ECT dan keperluan modifikasi dalam modifikasi teknik terapi, seperti medikasi untuk menstabilkan perubahan hemodinamik.4

D. PENGOBATAN PSIKOTERAPI SAAT DAN SETELAH ECT Kebanyakan pasien yang diterapi dengan ECT menggunakan obat psikoterapi dan banyak dari obat ini memiliki efek pada ambang kejang dan durasi kejang. Beberapa rekomendasi dibuat mengenai interaksi yang memerlukan modifikasi teknik ECT; sebagai contoh, dosis listrik yang rendah diindikasikan pada pasien yang di premedikasi dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) atau ion lithium, tapi dosis tinggi memerlukan pengobatan anti konvulsan.5 1) Benzodiazepine Beberapa bukti klinis menunjukkan bahwa penggunaan bersamaan

benzodiazepine dengan ECT dapat mengganggu efisiensi dari terapi ECT karena benzodiazepine merupakan antikonvulsan yang kuat sehingga harus dihindari.5 2) Antidepresan Obat anti depresan tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba sebelum ECT, 3) Lithium 4) Anti epileptik 5) Anti psikotik 6) Kafein E. TEKNIK ECT dapat diberikan kepada pasien rawat jalan dan rawat inap. Dalam semua kasus pasien dan keluarganya harus diberikan penjelasan lengkap tentang terapi yang akan dijalankan dan diminta persetujuannya. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain sesuai keperluan. Kerahasiaan harus terjamin sebelum dan selama terapi serta adanya wajah orang yang dikenal akan bermanfaat bagi proses pemulihan.

Anastesia seperti biasa harus diberikan secara hati-hati. Atropin diberikan sebelum terapi, diikuti dengan anastesi intravena. Tiopenton memungkinkan pasien tidur lebih lama dalam fase pemulihan dini, tetapi metohexiton kurang bersifat antikonvulsi dan lebih jarang menyebabkan aritmia jantung. Obat pelemas otot biasanya suksametonium klorida (Scoline) sekitar lima puluh mg, disuntikkan dengan jarum yang sama. Oksigen diberikan sebelum dan stelah konvulsi. Biasanya konvulsi diinduksi oleh suatu mesin yang dapat diatur waktunya secara otomatis dan dapat dipilih bentuk gelombangnya. Rangsangan yang diberikan merupakan rangsangan minimum yang diperlukan untuk menimbulkan konvulsi generalisata, biasanya memiliki 140 volt selama 0,5 detik. Elektroda bantalan saline digunakan. ECT bilateral dipasangkan di daerah fronto-temporalis. Pada ECT unilateral, elektroda dipasang di pelipis dan processus mastoideus pada sisi yang sama. Sebelum pengobatan pasien diberi obat bius seperti methohexital, etomidate, atau thiopental, short-acting relaksan otot seperti suxamethonium (succinylcholine), dan kadang-kadang atropin untuk menghambat air liur. Kedua elektroda dapat ditempatkan satu di sisi yang sama dari kepala pasien. Hal ini dikenal sebagai ECT sepihak. Unilateral ECT digunakan pertama untuk meminimalkan efek samping (rugi memori). Ketika elektroda ditempatkan pada kedua sisi kepala, ini dikenal sebagai bilateral ECT. Dalam ECT bifrontal, sebuah variasi biasa, posisi elektroda suatu tempat antara bilateral dan unilateral. Pada ECT Unilateral diduga menyebabkan efek kognitif lebih sedikit dari bilateral namun dianggap kurang efektif. Di Inggris hampir semua pasien menerima ECT bilateral. Elektroda menyampaikan stimulus listrik. Tingkat Stimulus direkomendasikan untuk ECT adalah lebih dari ambang kejang seseorang: sekitar satu setengah kali ambang kejang untuk ECT bilateral dan hingga 12 kali untuk ECT sepihak. F. MEKANISME KERJA

Tujuan dari ECT adalah untuk menyebabkan kejang klonik terapeutik (kejang di mana orang tersebut kehilangan kesadaran dan kejang-kejang) yang berlangsung selama minimal 15 detik. Meskipun sejumlah besar penelitian telah dilakukan, mekanisme yang tepat dari tindakan ECT tetap sukar ditangkap. Alasan utama untuk hal ini adalah bahwa otak manusia tidak dapat dipelajari secara langsung sebelum dan sesudah ECT dan oleh karena itu para ilmuwan mengandalkan pada model hewan depresi dan ECT, dengan keterbatasan utama. Sementara model hewan yang diakui model hanya aspek penyakit depresi, otak manusia dan hewan yang sangat mirip pada tingkat molekuler, memungkinkan studi rinci tentang mekanisme molekular yang terlibat dalam ECS ECT telah terbukti dapat meningkatkan kadar faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF ) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada hipokampus tikus. Ini membalikkan efek racun dari depresi di daerah ini otak, meningkatkan baik pembentukan sinaps baru dan pembentukan sel-sel otak baru (neurogenesis hippocampal). Kedua efek ini telah dicatat untuk ada pada hewan antidepresan yang diobati, namun mereka tidak perlu dan tidak cukup untuk respon antidepresan. ECT adalah inducer yang lebih kuat dari efek neuroplastic dari antidepresan. Electroconvulsive Terapi (ECT) juga telah terbukti meningkatkan faktor neurotropik serum yang diturunkan dari otak (BDNF) pada pasien depresi resisten obat. Hal ini menunjukkan mekanisme molekuler umum, meskipun membutuhkan studi lebih lanjut banyak. G. EFEKTIVITAS TERAPI ELECTROCONVULSIVE ECT efektif (dengan tingkat 60 sampai 70 persen rata-rata remisi) dalam pengobatan depresi parah, beberapa negara psikotik akut, dan mania.

Efektivitasnya belum dibuktikan dalam dysthymia, penyalahgunaan zat, kecemasan, atau gangguan kepribadian. Laporan tersebut menyatakan bahwa ECT tidak memiliki efek perlindungan jangka panjang terhadap bunuh diri dan harus dianggap sebagai pengobatan jangka pendek untuk sebuah episode akut penyakit, diikuti dengan terapi kelanjutan dalam bentuk pengobatan obat atau ECT lebih lanjut di mingguan untuk interval bulanan. Pada tahun 2006, penelitian psikiater Colin A. Ross meninjau percobaan terkontrol plasebo satu-per-satu dan menemukan bahwa tidak ada satu studi menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ECT nyata dan plasebo pada satu bulan pasca pengobatan. H. EFEK SAMPING

Beberapa jam setelah terapi, sering timbul konvulsi ringan dan nyeri kepala. Bila pengobatan lebih dari empat jam, maka sering ada gangguan ingatan sementara. Janarang menimbulkan komplikasi dan pemulihan spontan terjadi dalam tiga sampai empat minggu berikutnya. Kenyataannya banyak pasien yang mencatat perbaikan ingatan setelah ECT, karena konsentrasi dan ingatannya terganggu sewaktu depresi. Tidak mempengaruhi ingatan secara menetap. Gangguan ingatan yang terjadi pada tiap tindakan terapi biasanya lebih kecil. Tetapi kadang-kadang diperlukan lebih banyak terapi agar rangkaiannya efektif. Dokter harus sangat berhati-hati ketika mempertimbangkan perawatan ECT bagi perempuan yang sedang hamil dan untuk orang tua atau muda, karena mereka mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi komplikasi dengan ECT. Selain efek di otak, risiko fisik umum dari ECT adalah serupa dengan anestesi umum singkat. Beberapa pasien mengalami nyeri otot setelah ECT. Hal ini disebabkan oleh relaksan otot diberikan selama prosedur dan jarang karena aktivitas otot.

Kehilangan memori dan kebingungan yang lebih jelas dengan penempatan elektrode bilateral daripada unilateral. Amnesia retrograd paling ditandai untuk peristiwa yang terjadi dalam minggu-minggu atau bulan sebelum pengobatan. Anterograde kehilangan memori biasanya terbatas pada waktu pengobatan sendiri atau segera sesudahnya. Pada minggu-minggu dan bulan berikutnya ECT masalah ini secara bertahap meningkatkan memori, tetapi beberapa orang memiliki kerugian terus-menerus, terutama dengan ECT bilateral. Beberapa studi telah menemukan bahwa pasien seringkali tidak menyadari defisit kognitif diinduksi oleh ECT. Cukup ada kontroversi atas efek ECT pada jaringan otak meskipun fakta bahwa sejumlah asosiasi kesehatan mental, termasuk American Psychiatric Association, telah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa ECT menyebabkan kerusakan otak struktural. Contoh, pada tahun 2005, peneliti Rusia menerbitkan sebuah penelitian berjudul,''electroconvulsive Shock Menginduksi Neuron Kematian di Hippocampus Mouse: Korelasi Neurodegeneration dengan''Aktivitas kejang. Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa setelah seri kejut listrik, ada kerugian yang signifikan neuron di bagian otak dan khususnya di bagian pasti dari hippocampus dimana sampai 10% dari neuron tewas. Banyak ahli pendukung ECT mempertahankan bahwa prosedur tersebut aman dan tidak menyebabkan kerusakan otak. Dr Charles Kellner, seorang peneliti ECT terkemuka dan pemimpin redaksi mantan''Journal of ECT''negara dalam sebuah wawancara yang diterbitkan baru-baru ini bahwa, "Ada sejumlah studi yang dirancang dengan baik yang menunjukkan ECT tidak menyebabkan kerusakan otak dan berbagai laporan pasien yang telah menerima sejumlah besar perawatan selama hidupnya dan tidak menderita masalah berarti karena ECT. " Dr Kellner secara khusus mengutip sebuah penelitian yang dimaksudkan untuk menunjukkan adanya penurunan kognitif pada delapan mata pelajaran setelah perawatan seumur hidup lebih dari 100x ECT.

Disarankan untuk ECT selama kehamilan mencakup pemeriksaan panggul, penghentian obat anticholinergic nonesensial, tocodynamometry rahim, hidrasi intravena, dan administrasi dari nonparticulate antasida. Selama ECT, ketinggian pinggul kanan wanita hamil, eksternal janin pemantauan intubasi, jantung, dan mencegah terjadinya hiperventilasi berlebihan direkomendasikan. mayoritas telah menemukan ECT aman. ECT tidak dilakukan pada janin.

You might also like