You are on page 1of 9

Biografi Taufik Ismail Penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1970) yang menulis Malu (Aku) Jadi Orang

Indonesia (1999), ini lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini berobsesi mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi. Taufiq Ismail, lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963, sekarang Institut Pertanian Bogor. Selain telah menerima Anugerah Seni Pemerintah RI juga menerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57). Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan, antara lain: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Selain itu, bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, Taufiq menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan, menyunting Prahara Budaya (1994). Taufiq sudah bercita-cita jadi sastrawan sejak masih SMA di Pekalongan, Jawa Tengah. Kala itu, dia sudah mulai menulis sajak yang dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Dia memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang suka membaca, sehingga dia sejak kecil sudah suka membaca. Kegemaran membacanya makin terpuaskan, ketika Taufiq menjadi penjaga perpustakaan Pelajar Islam Indonesia Pekalongan. Sambil menjaga perpustakaan, dia pun leluasa melahap karya Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, sampai William Saroyan dan Karl May. Dia tidak hanya membaca buku sastra tetapi juga sejarah, politik, dan agama. Kesukaan membacanya, tanpa disadari membuatnya menjadi mudah dan suka menulis. Ketertarikannya pada sastra semakin tumbuh tatkala dia sekolah di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS. Dia mendapat kesempatan sekolah di situ, berkat beasiswa program pertukaran pelajar American Field Service International Scholarship. Di sana dia mengenal karya Robert Frost, Edgar Allan Poe, Walt Whitman. Dia sanga menyukai novel Hemingway The Old Man and The Sea. Namun setelah lulus SMA, Taufiq menggumuli profesi lain untuk mengamankan urusan dapur, seraya dia terus mengasah kemampuannya di bidang sastra. Dia juga kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor, lulus 1963. Semula dia berobsesi menjadi pengusaha peternakan untuk menafkahi karir kepenyairannya, namun dengan bekerja di PT Unilever Indonesia, dia bisa memenuhi kebutuhan itu. Taufiq menikah dengan Esiyati tahun 1971. Mereka dikaruniai satu anak, yang diberinya nama: Abraham Ismail. Dia sangat bangga dengan dukungan isterinya dalam perjalanan karir. Esiyati sangat memahami profesi, cita-cita seorang sastrawan, emosi sastrawan, bagaimana impuls-impuls seorang sastrawan. Taufiq bersama sejumlah sastrawan lain, berobsesi memasyarakatkan sastra ke sekolah-sekolah melalui program Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab. Kegiatan ini disponsori Yayasan Indonesia dan Ford Foundation.

Taufiq sudah menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisi, di antaranya: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.); Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970); Tirani (1966); Puisi-puisi Sepi (1971); Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971); Buku Tamu Museum Perjuangan (1972); Sajak Ladang Jagung (1973); Puisi-puisi Langit (1990); Tirani dan Benteng (1993); dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Dia pun sudah menerima penghargaan: - American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57); - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970; dan - SEA Write Award (1997).

Biodata: Nama Lahir Agama Isteri Anak Ayah Ibu

: Taufiq Ismail : Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 : Islam : Esiyati Ismail (Ati) : Abraham Ismail : KH Abdul Gaffar Ismail (almarhum) : Timur M Nur

Pendidikan: - Sekolah Rakyat di Semarang - SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat - SMA di Pekalongan, Jawa Tengah - SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS - Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963 Karir: - Penyair - Pendiri majalah sastra Horison (1966) - Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (1968) - Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang) - Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973) - Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977) - Penyair, penerjemah (1978-sekarang) Kegiatan Lain: - Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965) - Dosen Fakultas Psikologi UI (1967) - Sekretaris DPH-DKI (1970-1971) - Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978) - Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985) Karya: - Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.) - Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970) - Tirani (1966) - Puisi-puisi Sepi (1971) - Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971) - Buku Tamu Museum Perjuangan (1972) - Sajak Ladang Jagung (1973) - Puisi-puisi Langit (1990) - Tirani dan Benteng (1993) - Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999)

Penghargaan: - American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57) - Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 - SEA Write Award (1997) Alamat Rumah: Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959, 881190 Alamat Kantor: Jalan Bumi Putera 23, Jakarta Timur

Biografi Marah Rusli

Pria bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar ini sudah tertarik pada dunia sastra sedari kecil. Hal itu ditandai dengan kegemaran Marah Rusli mendengar kisah-kisah dari buku roman Barat yang kerap dibawakan tukang kabba, sebutan untuk pendongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran yang bekerja sebagai demang. Sementara ibunya seorang wanita biasa. Gelar "Marah" di depan namanya, diberikan oleh keluarga ayahnya sebab ibunda Marah Rusli tidak memiliki gelar Puti yang biasa disandang putri bangsawan. Marah bersekolah di Rofdenschool, Bukittinggi dan menamatkan pendidikannya di sekolah yang kerap disebut sebagai 'sekolah raja' itu di tahun 1910.

Semasa bersekolah, pria kelahiran Padang 7 Agustus 1889 ini dikenal sebagai siswa yang cerdas dan berprestasi. Sehingga ketika lulus, salah satu gurunya yang bernama Hoornsma menganjurkan Marah untuk belajar ke negeri Belanda. Namun, orang tuanya tidak mengizinkan karena Marah merupakan anak semata wayang. Marah Rusli kemudian hijrah dari Padang ke kota Bogor untuk melanjutkan studinya di sekolah dokter hewan. Setelah merampungkan kuliahnya, ia kembali ke kampung halamannya. Namun tanpa sepengetahuannya, ayahnya telah menjodohkannya dengan gadis sekampungnya. Marah pun berontak, berbagai alasan ia lontarkan untuk membatalkan perjodohan tersebut.

Namun, tak ada satu pun yang berhasil mencairkan kekerasan hati ayahnya. Akhirnya, dengan terpaksa, ia menerima pernikahan itu, dengan syarat, setelah menikah ia akan langsung menceraikan istrinya. Tentu saja, syarat tersebut ditolak mentah-mentah. Marah yang merasa semakin terpojok akhirnya secara diam-diam meninggalkan Padang, dan kembali ke Bogor. Ketika bermukim di Kota Hujan itulah, roman Siti Nurbaya lahir. Roman yang pengerjaannya mulai dirintis tahun 1918 itu ditulis berdasarkan pengalaman di sekitar adat dan tradisi di kampung halamannya sekaligus pengalaman pribadinya yang dipaksa menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ketika naskah roman tersebut terbit di tahun 1920, ayahnya sempat mengirim sepucuk surat. Dalam surat tersebut, sang ayah menyayangkan tindakan putra tunggalnya itu karena dianggap menabrak adat istiadat yang berlaku. Meski begitu, nyatanya Siti Nurbaya mendapat sambutan yang baik terutama dari kalangan pemuda dan memicu mereka untuk berbuat hal yang serupa, yakni mendobrak aturan adat yang kuno. Selain dunia sastra dan kesehatan hewan, Marah juga cukup aktif dalam organisasi olahraga.

Pada tahun 1950, ia pernah menjabat sebagai kepala perekonomian dan pendiri Voetbalbond (perkumpulan sepak bola) di Semarang. Masih di kota yang sama, Marah Rusli juga sempat duduk sebagai komisaris PSSI. Kemudian di tahun 1952, Marah pensiun sebagai dokter hewan dengan pangkat terakhir sebagai Dokter Hewan Kepala. Tak dapat dipungkiri, berkat Siti Nurbaya, Marah Rusli dianggap sebagai pengarang roman pertama dalam sejarah sastra Indonesia. Ia dianggap sebagai pembaharu dalam penulisan prosa yang ketika itu lebih banyak berbentuk hikayat. Maka tak berlebihan jika HB Jassin kemudian memberinya gelar sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.

Bukan cuma itu saja. Siti Nurbaya juga dianggap sebagai roman terpenting pada masanya, karena dalam karya sastra tersebut, ia mulai meletakkan landasan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada emansipasi wanita dan mendobrak adat yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ia ingin melepaskan masyarakat dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi para pemuda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya. Di tahun 1911, saat usianya baru menginjak 22 tahun, Marah menemukan cinta sejatinya, seorang gadis berdarah Sunda kelahiran Bogor. Mereka pun mengucap janji sehidup semati sebagai pasangan suami istri, meski pernikahan itu tanpa sepengetahuan dan seizin orang tuanya. Kebahagiaan kian bertambah lengkap, setelah pasangan ini dikaruniai tiga orang anak, dua putra dan satu putri. Untuk menghidupi keluarganya, Marah bekerja sebagai ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Meski lebih dikenal sebagai sastrawan, Marah Rusli memang tetap menjalani karirnya sebagai dokter hewan.

Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair. Marah pernah menjabat sebagai Kepala Perhewanan di Bima di tahun 1916. Setelah itu ia diangkat menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung, lalu mengepalai daerah perhewanan di Blitar pada tahun 1918. Tahun 1920, Marah ditunjuk sebagai asisten dokter di almamaternya. Setahun kemudian, ia hijrah ke Jakarta. Tahun 1925, ia ditugaskan ke Balige, Tapanuli, Sumatera Utara. Meski disibukkan dengan kegiatannya sebagai dokter, ia tetap menjalankan hobi menulisnya. Pada tahun 1924, ia melahirkan roman terbarunya yang berjudul La Hami. Novel yang mengisahkan kehidupan masyarakat Sumbawa itu didedikasikan sebagai tanda terima kasihnya kepada penduduk yang telah banyak membantu selama ia bertugas di pulau itu. Selama masa revolusi, Marah Rusli menetap di Solo. Pada tahun 1946, ia masuk ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang mengurus pengangkutan angkatan darat, pertanian, perhewanan, dan perikanan, serta makanan untuk keperluan ALRI Tegal. Tak hanya itu, ia juga disibukkan dengan kegiatannya melatih pegawai-pegawai kehewanan.

Dua tahun setelah bergabung dengan ALRI, ayah tiga anak ini dipercaya menjadi dosen Sekolah Dokter Hewan di Klaten. Selain dunia sastra dan kesehatan hewan, Marah juga cukup aktif dalam organisasi olahraga. Pada tahun 1950, ia pernah menjabat sebagai kepala perekonomian dan pendiri Voetbalbond (perkumpulan sepak bola) di Semarang. Masih di kota yang sama, Marah Rusli juga sempat duduk sebagai komisaris PSSI. Kemudian di tahun 1952, Marah pensiun sebagai dokter hewan dengan pangkat terakhir sebagai Dokter Hewan Kepala. Sastrawan yang melahirkan tokoh fiksi Siti Nurbaya, Saiful Bahri, dan Datuk Maringgih ini meninggal dunia di Bandung, 17 Januari 1968 pada usia 78 tahun. Jenazah kakek musisi Harry Roesli itu dikebumikan di Bogor, Jawa Barat. Setahun setelah kepergiannya, Pemerintah Republik Indonesia memberi hadiah tahunan dalam bidang sastra untuk romannya yang legendaris, Siti Nurbaya. Roman Siti Nurbaya memang fenomenal, hingga tahun 1996 tercatat telah 22 kali dicetak ulang, diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, serta pernah diangkat dalam sinetron di tahun 90-an.

Selain Siti Nurbaya, Marah juga meninggalkan berbagai karya sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, antara lain Tambang Intan Nabi Sulaiman, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Belanda dan diterbitkan di Jakarta ; Anak dan Kemenakan ; dua naskah roman yang masing-masing berjudul Memang Jodoh dan Tesna Zahera ; serta Gadis yang Malang, sebuah karya terjemahan dari novel Charles Dickens.

Biografi Sutan Takdir Alisyahbana

Sutan Takdir Alisyahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Dinamai Takdir karena jari tanganna hanya ada 4. Ibunya seorang

Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara sementara ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakeknya, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap

memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas.

Mula-mula STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bengkulu (1915-1921) kemudian melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (19211925) dan Hogere Kweekschool, Bandung ( 1925-1928) serta Hoofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian di Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum). Sutan Takdir juga mengikuti kuliahkuliah tentang ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

Sutan Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (19561958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, Sutan Takdir menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak

1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Sutan Takdir merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Dia banyak menulis puisi, novel, esai-esai sastra, bahasa serta tulisan ilmiah mengenai filsafat, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Dia juga menaruh minat pada sejarah intelektual Islam, khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan menjelang akhir hayatnya kepada Muhammad Iqbal.

Kiprahnya di dunia sastra dimulai dengan tulisannya Tak Putus Dirundung Malang (1929). Disusul dengan karyanya yang lain, yaitu Diam Tak Kunjung padam (1932), Layar Terkembang 1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941l), Grotta Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi Lama (1941), dan puisi Baru (1946).

Dalam novel Layar Terkembang yang sudah beberapa kali di cetak ulang STA merenuangkan gagasannya dalam memajukan masyarakat, terutama gagasan memajukan peranan kaum wanita melalui tokoh Tuti sebagai wanita Indonesia yang berpikiran maju yang aktif dalam pergerakan wanita.

Diantara Karya-karyanya: Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929) Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932) Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935) Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) Layar Terkembang (novel, 1936) Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940) Puisi Lama (bunga rampai, 1941) Puisi Baru (bunga rampai, 1946) Pelangi (bunga rampai, 1946) Pembimbing ke Filsafat (1946) Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) The Indonesian language and literature (1962) Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966) Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969) Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)

Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974) The failure of modern linguistics (1976) Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977) Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977) Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977) Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978) Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978) Kalah dan Menang (novel, 1978) Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982) Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982) Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983) Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984) Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985) Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985) Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

You might also like