You are on page 1of 15

1

Wacana Semiotika Dalam Perspektif Al-Quran


Oleh : Heriyanto, S.Sy.

A. Pendahuluan
Al-Quran, yang diyakini sebagai wahyu suci yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw, faktanya telah mengalami sejarah yang sangat panjang.
Harus diakui, bahwa Al-Quran yang ada di hadapan kita sekarang merupakan
sekumpulan simbol yang dahulu digunakan oleh para sahabat untuk
merepresentasikan kalam (wahyu) Ilahi. Jauh sebelum itupun, ketika Nabi
pertama kali mendapatkan wahyu dari Allah Swt, pada dasarnya wahyu
tersebut sudah menjelma ke dalam bentuk simbol dan tanda, ini karena wahyu
turun ke bumi menggunakan media bahasa. Bahasa itu sendiri sebenarnya tak
lain adalah sekumpulan simbol dan tanda untuk mewakili gagasan dan ide-ide
(makna) yang ada dalam pikiran manusia.
Jadi, proses turunnya wahyu bisa dikatakan sudah mengalami dua
proses transisi-simbolik. Yakni dari wahyu Ilahi ke bahasa lisan dan dari
bahasa lisan menuju ke bahasa tulisan. Di sini penulis katakan proses
transisi-simbolik karena dalam teknisnya dua proses tersebut bertolak pada
penggunaan lambang (bahasa) sebagai alat representasi makna.
Sejalan dengan prestasi yang didapat oleh para ilmuwan modern-yang
mana ditandai dengan bermunculannya berbagai disiplin ilmu baru-kegiatan
penafsiran Al-Quran pun pada zaman modern ini banyak yang sudah
menggunakan perangkat keilmuan-keilmuan modern yang telah
dikembangkan oleh para ahli sehingga benar-benar dapat diaplikasikan pada
kajian ke-al-Quran-an. Sebut saja Netton dan Muhammad Arkoun adalah dua
figur yang sering disebut-sebut sebagai pelopor penggunaan kajian semiotik
dalam studi keagamaan.
Berangkat dari fenomena ini,


2












B. Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir
a. Fase Pertama (Masa Nabi dan Sahabat)
Semenjak diturunkannya, faktanya Al-Quran tidak dapat begitu
saja diterima dan dipahami oleh manusia secara instan. Bahasa langit yang
dikonvert menjadi bahasa manusia (arab) adalah salah satu penyebabnya.
Hal ini kemudian memunculkan gejolak-gejolak penafsiran Al-Quran
untuk pertama kalinya yang ditandai dengan banyaknya pertanyaan para
sahabat kepada Nabi tentang maksud dari beberapa ayat tertentu. Dan di
sinilah letak eksistensi Nabi sebagai sang mubayyin (penjelas) atas risalah
yang dibawanya dari Allah.
Sebagai penerima wahyu sekaligus utusan Allah swt kepada umat
manusia, otoritas pemahaman Nabi terhadap wahyu (al-Quran) adalah
mutlak dan tidak dapat disangsikan. Di dalam setiap hal dan kesempatan,
termasuk apabila Nabi mengalami kesulitan dalam menangkap pesan al-
Qur`an, beliau senantiasa dapat langsung berkomunikasi dan
menanyakannya kepada Allah swt. Dalam hal ini, Nabi merupakan nara
sumber utama bagi para sahabatnya saat itu di dalam upaya mereka
memahami makna-makna al-Quran. Dalam konteks ini pula, Nabi
mendapatkan otoritas langsung dari Allah swt dalam hal menjaga dan
3

mejelaskan makna al-Quran (al-hifdz wal bayan) kepada umat manusia.
Hal ini sebagaimana di siratkan dalam firman Allah swt Surat Al-Hijr : 9.

1. Pemahaman Nabi dan Sahabat terhadap Al-Quran
Dalam periode pertama ini, orang yang berhadapan langsung
dengan Al-Quran hanya ada dua, yakni Nabi dan para Sahabat. Dalam
hal memahami kandungan Al-Quran, tentunya mereka memiliki
perbedaan yang signifikan. Secara alamiah, sudah barang tentu Nabi
sebagai the messager of God akan dengan mudah memahami Al-
Quran baik secara global maupun perincian-perinciannya. Hal ini
karena Allah sudah menjamin itu yang mana merupakan manifestasi
dari pemberian tugas dari Allah terhadap Nabi atas Al-Quran dalam
hal al-hifdlu (penjagaan) dan al-bayan (penjelasan).
1

Lain halnya dengan para Sahabat, walaupun mereka adalah
orang arab dimana Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab akan
tetapi untuk memahami Al-Quran secara terperinci, sebagaimana
pemahaman Nabi, merupakan hal yang sangat sulit, hal ini karena apa
yang ada di dalam Al-Quran adalah bersifat global, banyak ayat-ayat
mutasyabih (yang belum jelas), dan lain sebagainya, yang kesemuanya
itu tidak mungkin dipahami oleh para Sahabat secara instan. Mereka
tetap membutuhkan pembahasan yang mendalam dan mengembalikan
segala permasalahan kepada Nabi.
Ibnu Khaldun pernah mencatat, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Husain al-Dzahabi
2
, ia mengatakan bahwa: Al-Quran
diturunkan dengan bahasa orang arab dan dengan gaya bahasa mereka,
oleh karena itu mereka (seluruh orang arab) dapat memahami dan
mengerti makna-makna yang terkandung di dalamnya dalam segi kata
per-katanya atau dari segi susunan gramatikalnya. Al-Dzahabi sendiri
tidak sepakat dengan statement ini, karena menurutnya tidak semua

1
Lihat Surat Al-Qiyamah: 17-19
2
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, 1976 (Kairo: Maktabah Wahbah),
Juz I, h. 28
4

orang arab memiliki skill kebahasaan yang tinggi hingga dapat
memahami bahasanya sendiri secara detil. Mereka tetap membutuhkan
penelitian yang mendalam dalam hal pengungkapan makna-
maknanya.
3

Imam Suyuthi
4
dalam hal ini juga pernah menyatakan bahwa
perlunya melakukan kegiatan penafsiran adalah karena adanya sisi
authorsip (kepengarangan) yang tidak bisa dijangkau begitu saja
(taken of granted) dengan mudah oleh audien. Ini karena terbentur
dengan subyektivitas pengarang dalam menentukan maknanya. Oleh
karena itu perlu diadakan kegiatan penafsiran agar dapat menyingkap
makna-makna yang tersembunyi dalam teks.
Kedua statement di atas kiranya cukup untuk menjelaskan
latarbelakang munculnya gejolak penafsiran dari para Sahabat yang
mana dalam realitanya tafsir para Sahabat tersebut selalu mendasarkan
penafsirannya dengan apa yang dikatakan Nabi. Yang kemudian hal ini
merupakan benih-benih awal munculnya tafsir dengan metode bi al-
matsur (metode riwayat).

2. Apakah Nabi Menafsirkan Al-Quran seluruhnya?
Ada perdebataan para Ulama dalam menjawab masalah ini,
mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh
makna-makna Al-Quran kepada para Sahabat dengan segala
perinciannya, sebagaimana Nabi menjelaskan kepada para Sahabat
lafadl-lafadlnya. Pendapat ini digaungkan oleh Ibnu Taimiyah.
5

Sekelompok lain ada juga yang mengatakan bahwa Nabi hanya
menjelaskan sedikit dari makna-makna yang terkandung dalam Al-

3
I bid. h. 29
4
Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi Al-Quran, t.t. (Saudi Arabia:
Markaz Al-Dirasat Al-Quraniyah), h. 2266
5
Muhammad Umar al-Hajiy, Mausuatu al-Tafsir Qabla Ahdi al-Tadwin, 2007 (Damaskus: Dar
al-Maktabi), h. 49
5

Quran, pendapat ini diusung oleh Al-Suyuthi.
6
Ibnu Taimiyah dalam
menanggapi masalah ini cenderung bersikap rasionalis, ayat-ayat yang
diambil kemudian didekatinya dengan pendekatan yang sangat
rasionalis. Sebaliknya, Al-Suyuthi justru melihat pada realitanya, yakni
faktanya Nabi memang tidak menjelaskan seluruh makna-makna Al-
Quran secara terperinci.
Berbicara tentang penafsiran-penafsiran yang telah dilakukan
oleh Nabi terhadap Al-Quran maka kita akan tertuju pada konsep
sunnah Nabi (dalam hal ini khusus berkenaan dengan sunnah
Qauliyah). Pada perjalanannya, sunnah-sunnah (hadits) ini kemudian
dipakai oleh para Sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Secara lebih rinci, sunnah Nabi tersebut dapat diklasifikasikan menurut
fungsinya sebagai berikut:
7

1. Menjelaskan ke-globalan Al-Quran, kemusykilan-kemusykilan,
dan mengkhususkan ayat-ayat am (umum).
2. Menjelaskan makna lafadl atau yang berhubungan dengannya.
3. Menjelaskan hukum-hukum tambahan yang di dalam Al-Quran
belum ada.
4. Menjelaskan ayat-ayat yang sudah di-nasakh (hapus).
5. Memeberikan penguatan terhadap hukum-hukum yang ada dalam
Al-Quran.

3. Sumber-Sumber Penafsiran Fase Pertama
Jika disandarkan kepada Nabi, maka sumber penafsiran yang
beliau lakukan tentunya tidak ada sumber lain kecuali dari Allah Swt.
Terkadang beliau langsung menerima dari Allah, terkadang mengambil
dari Al-Quran, dan terkadang dengan menggunakan ijtihad. Ketiganya
bersumber dari Allah, sebagaimana di dalam Al-Quran dinyatakan:

6
Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthi, Op.Cit., h. 228, lihat juga Muhammad Umar al-Hajiy,
I bid.
7
Muhammad Umar al-Hajiy, , Op.Cit., h. 56-58
6

4`4 -gCL4C ^}4N -O4OE-
^@ up) 4O- ) E/4 _/EONC
^j
Artinya : (3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. (4) Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Adapun para Sahabat dalam menafsirkan Al-Quran tidak lepas
dari empat sumber, yakni: 1) Al-Quran, 2) Nabi, 3) Ijtihad, 4) Ahlu
Al-Kitab (Yahudi-Nasrani). Sebagai catatan, dalam penafsiran para
Sahabat ini memang sudah mulai mengenal ijtihad. Hal ini terjadi
apabila mereka tidak menemukan penjelasan sama sekali dalam Al-
Quran dan tidak mendapatkan keterangan yang jelas dari Nabi tentang
ayat-ayat yang mereka persoalkan.
8


4. Mufassir-Mufassir yang terkenal
Dari kalangan Sahabat tidak banyak yang terkenal sebagai
mufassir, hanya segelintir saja yang paling menonjol. Diantaranya:
Khulafa al-Arbaah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ibnu
Masud, Ibnu Abbas, Ubaiy bin Kaab, Zayd bin Tsabit, Abu Musa
Al-Asyari, dan Abdullah bin Zubair.
9

Selain itu ada juga yang lain seperti: Anas bin Malik, Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah ibn Amr bin Ash, dan
Aisyah. Akan tetapi orang-orang tersebut hanya meriwayatkan tafsir
dalam skala kecil. Dari para Sahabat yang telah disebutkan di atas,
hanya empat orang yang paling terkenal dan paling banyak
meriwayatkan dalam bidang tafsir, yakni: Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Masud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubaiy bin Kaab.
10


5. Keistimewaan Tafsir Periode Pertama

8
Muhammad Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir, t.t. (Kairo: Dar al-Maarif), h. 19-24
9
I bid., h. 25
10
I bid.
7

Tafsir dalam periode pertama ini memiliki ciri khas dan
keistimewaan tersendiri, diantaranya:
1) Tidak menafsirkan seluruh Al-Quran, hanya sebagian-sebagian
saja, hal ini karena ada kecenderung takut salah dan berhati-hati
sehingga dalam menafsirkan Al-Quran mereka selalu bertanya
kepada Nabi.
2) Sedikitnya perbedaan pendapat
3) Tidak berlebih-lebihan dalam menelaah cerita-cerita yang ada
dalam Al-Quran, hanya mengambil garis besarnya saja.
4) Tidak bertele-tele dalam menjelaskan tentang kebahasaan yang
menjadi problem tafsir.
5) Masih langkanya ijtihad berkenaan dengan ayat-ayat hukum.
6) Belum terkodifikasikan.
7) Masih bercampur dengan hadits.
11


b. Fase Kedua (Masa Tabiin)
Fase ini dimulai sejak berakhirnya masa Sahabat. Tradisi
penafsiran pada masa tabiin, selain mengambil 4 (empat) sumber
sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat, juga menambahkan satu
sumber lagi yakni riwayat para sahabat. Yang dimaksud riwayat para
sahabat di sini adalah riwayat mereka tentang penjelasan-penjelasan Nabi
termasuk juga tentang ijtihad-ijtihad mereka sendiri.
12

Sejarah mencatat bahwa dalam masa Tabiin Islam sudah
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sedikit demi sedikit orang arab
mulai bercampur dengan orang non-arab yang sudah masuk Islam. Dalam
masa inilah perhatian orang-orang Islam terhadap keilmuan-keilmuan
Islam mulai serius.
13


11
I bid., h. 27-28
12
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Loc.Cit., Juz I, h. 76
13
Khalid bin Abdurrahman al-Ak, Ushulu al-Tafsir Wa Qawaiduhu, 1986 (Damaskus: Dar Al-
Nafais), Cet. II, h. 34
8

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh
berbeda dengan masa sahabat, karena para tabiin mengambil tafsir dari
mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu
tafsir diantaranya:
14

1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan
mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah
Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan Atho bin Abi Robah.
2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Kaab, yang
menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan
Muhammad bin Kaab Al-Qurodli.
3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Masud, diantara murid-muridnya
yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan
Qotadah bin Diamah As-Sadusy.

Adapun ciri khas tafsir periode Tabiin adalah sebagai berikut:
15

1) Banyaknya cerita-cerita Israiliyat
16
dan Nasraniyat
17
.
2) Mulai berlakunya madzhab tafsir sesuai dengan tempat para Tabiin
tersebut menetap atau tradisi penafsiran tidak lepas dari kegiatan
talaqqi
18
dan riwayat. Maksud madzhab di sini adalah kecenderungan
riwayat yang digunakan para Tabiin, seperti Tabiin yang menetap di
Makkah maka dalam penafsirannya mereka cenderung memakai
riwayat dari Ibnu Abbas, di Madinah cenderung memakai riwayat
Ubaiy bin Kaab, dan di Iraq cenderung menggunakan riwayat dari
Ibnu Masud.
3) Mulai masuknya paham-paham teologi dalam penafsiran.
4) Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan mufassir.


14
Muhammad Husain al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir, Loc.Cit., h. 31
15
I bid., h. 33-34
16
Israiliyyat adalah cerita-cerita yang ada dalam al-quran yang bersumber dari bani Israil
17
Nasraniyyat adalah cerita yang bersumber dari orang-orang Nasrani
18
Talaqqi dari segi bahasa bermaksud pertemuan secara berhadapan atau bersemuka. Dilihat dari
segi istilah bermaksud pertemuan antara guru dan murid secara langsung. Guru memberi contoh
bacaan dan murid mengikut bacaan guru.
9




c. Fase Ketiga (Masa Kodifikasi)
Masa pengkodifikasian (pembukuan) tafsir baru dimulai pada akhir
kekuasaan Bani Umayah hingga memasuki awal kekuasaan dinasti
Abbasiyah. Masa pengkodifikasian tafsir dibagi menjadi beberapa
periode:
19

1) Periode Pertama
Pada periode pertama, tafsir masih menjadi bagian yang
mengintegral dengan pembahasan kitab hadits. Sistematika tafsir
menginduk kepada sistematika hadits dalam hal pembagian bab-nya.
Pada periode ini tafsir belum menjadi disiplin pembahasan tersendiri.
Diantara ulama yang memiliki kontribusi besar pada masa ini
adalah Yazid bin Harun asSalami (wafat 117 H), Syubah bin Hajjaj
(wafat 160 H), Wakibin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah
(wafat 198 H), Rouh bin Ubadah alBashri (wafat 205 H), Abdul
Rozak bin Hamman (wafat 211 H), dan Adam bin Abi Iyas (wafat 220
H).
2) Periode Kedua
Pada periode ini tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, terpisah
dari hadist. Kitab tafsir mulai disusun secara sistematis mengikuti
sistematika mushaf al-Quran.
Diantara ulama-ulama yangn muncul pada masa ini adalah Ibnu
Majah (wafat 272 H), Ibnu Jarir atThobari (wafat 310 H), Abu Bakar
bin Mudzir anNaisaburi (wafat 318 H), Ibnu Abi Hatim (wafat 327
H), Abu Syaih bin Hibban (wafat 369 H), al-Hakim (wafat 405 H), dan
Abu Bakar al-Mardawi (wafat 410 H).
3) Periode Ketiga

19
I bid., h. 35-39
10

Pada periode ini, penulisan tafsir mulai berkembang pesat
seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Pada
periode ini penulisan tafsir mengambil 2 (dua) macam corak, yaitu
tafsir aqli dan tafsir maudlui.
Tafsir aqli adalah tafsir al-Quran yang ditulis berdasarkan
pendekatan disiplin keilmuan tertentu. Contohnya adalah tafsir al-
Bahr al-Muhith yang ditulis oleh Abi Hayyan dengan fokus kajian
ilmu nahwu (gramatika Arab), tafsir Mafatih al-Ghaib oleh Fakhr ar-
Rozi yang ditulis melalui pendekatan ilmu hikmah dan falsafah, dll.
Sedangkan tafsir Maudlui adalah tafsir yang ditulis secara
tematik. Contohnya adalah at-Tibyan fi Aqsamil Quran karya Ibnul
Qayyim yang khusus mengkaji sumpah-sumpah di dalam al-Quran,
Majaz al-Quran karya Abu Ubaidah yang mengkaji soal majaz di
dalam al-Quran, Mufrodat al-Quran karya ar-Raghib al-Ashfahani
yang mengkaji kosakata-kosakata al-Quran, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa kitab tafsir karya ulama salaf yang
masih banyak digunakan hingga sekarang:
1) Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razi.
2) Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil karya al-Baidlawi.
3) Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Tawil karya an-Nasafi.
4) Lubab at-Tawil fi Maani at-Tanzil karya al-Khazin.
5) al-Bahr al-Muhith karya Abi Hayyan.
6) Ghoroib al-Quran wa Roghoib al-Furqan karay an-Naisaburi.
7) Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuthi.
8) as-Siroj al-Munir karya as-Syarbini.
9) Rouh al-Maani fi tafsir al-Quran al-Azim wa as-sabul
Matsani karya al-Alusi.
4) Periode Keempat
Kemudian tafsir berlanjut dari tahapan ini ke tahapan yang
lebih luas dan lebih longgar. Berlangsung dari zaman Abbasiyah
sampai kepada masa kita saat ini, setelah tafsir sebelumnya hanya
11

berkisar pada riwayat yang didapat dari ulama terdahulu. Kemudian
tafsir menembus tahapan itu dan melangkah dengan penulisan tafsir
yang mana bercampur di dalamnya antara pemahaman akal dalam
penafsiran dengan naql (periwayatan) dengan adanya catatan-catatan.
Pada awalnya hanya berupa mengutip beberapa pendapat dan
menarjihkan sebagian atas sebagian yang lainnya kemudian bertambah
dan berkembang menjadi pengetahuan yang berbeda-beda dan ilmu
yang bermacam-macam, pendapat-pendapat yang fanatis dan akidah-
akidah yang sangat kontras sampai di temui buku-buku tafsir yang
didalamnya terkandung beberapa ilmu yang hingg hampir tidak
bersambung kepada tafsir kecuali di situ ilmu-ilmu bahasa, nahwu
shorof, fanatik madzhab, perbedaan fiqih dan muncul para kelompok-
kelompok Islam menyebarkan madzhab-madzhabnya dan
menyerukannya dan diterjemahkannya buku-buku filsafat dan
kemudian ilmu-ilmu tersebut menjalahkan tentang pembahasan hadits
itu sendiri.
Ibnu Katsir termasuk ulama yang hidup di masa ini oleh karena
itu, Ibnu Katsir dan gurunya berusaha mengembalikan tafsir kepada
kedudukannya semula yang tidak dipengaruhi fanatisme madzhab dan
golongan serta tidak mengungkapkan gramatikal yang berlebih hanya
sebatas keperluan dan ini beliau lakukan dengan membawa penafsiran
kepada zaman Rasulullah sampai pada tabiin karena memang
penafsiran pada masa itu relatif terjaga dari percampuran hal-hal yang
merusak dari luar.
5) Periode Kelima
Pada fase ini, tafsir berkembang berdasarkan corak-corak
pendidikan para mufassir. Tinjauan disini lebih berkisar pada coraknya
bukan pada tinjauan sejarah, meskipun sedikit banyak mengungkap
sejarah. Di dalamnya kita akan mendapati setiap mufasir yang
mempunyai kecakapan dalam cabang ilmu tertentu maka akan menulis
tafsirannya sesuai dengan bidang yang di kuasainya. Seperti yang
12

ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-
Quran, Abu Jafar AnNukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi
Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jashas dengan Ahkamul Qurannya.

d. Tafsir Era Modern
Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan
umat Islam secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis
dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat itu. Adalah
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali
menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama.
Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan
mengatakan :Hadza la yanbaghi an yusamma tafsiran, wainnama
dharbun minattamrin fi al-fun un ka al-nahwi wa al-mani wa
ghayrihim.
20

Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam
karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha
boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat
dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni
sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis,
pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman
Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan
renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab
suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para
reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend)
dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang
dalam bahasa Arab disebut Ittijah, adalah kumpulan pandangan dan
pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan
latar belakang intelektual penafsirnya. Tafsir Thabari sering
diklasifikasikan dalam kategori bi al-Matsur, padahal tidak sedikit kita

20
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, 1947 (Kairo: Dar al-Manar), Juz I, h. 24
13

temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyaf, karya
Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti
kata I. Godziher.
21
Padahal Zamakhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan
karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis
sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir
filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar
itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan
penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara
yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan
kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua
istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koran
auslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran
Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya;
(2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5)
penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat
membahas tren yang berkembang pasca Abduh. J. Jomier dalam beberapa
karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran
modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim
Koran Interpretation.
22
Sebuah studi yang paling sukses dalam
mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat.
M. Syarkawi, Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits. Menurutnya tafsir
modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga
kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijah ijtimaiy); (2)
tafsir saintifik (ittijah ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijh
adabiy).
23




21
Lebih jelas lihat: Ignaz Goldziher, Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern,
diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk, 2003 (Yogyakarta: elSAQ Press), h. 71
22
Lihat jelas lihat: J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, 1991 (Jakarta: Pustaka Firdaus)
23
Iffat. M. Syarkawi, Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits, 1972 (t. Kota: Maktabah Al-Syarif)
14


C. Penutup
Sebagai penutup, maka kiranya perlu untuk disimpulkan bahwa
perkembangan ilmu tafsir mempunyai beberapa tahapan, yakni masa Nabi dan
Sahabat, masa Tabiin, masa kodifikasi, dan tafsir pada era modern. Kedua
fase pertama (masa Nabi & Sahabat masa Tabiin) masih cenderung
menggunakan metode riwayat dalam menafsirkan Al-Quran. Metode-metode
dan beberapa corak penafsiran baru muncul belakangan setelah periode
penafsiran memasuki masa pengkodifikasian.
Demikian makalah yang bisa penulis sampaikan, tentunya masih
banyak sekali kekurangan yang ada. Oleh karena itu, kritik bagi semua pihak
selalu terbuka, agar ke depan penulis dapat menyajikan yang lebih baik.

15

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, 1976 (Kairo:
Maktabah Wahbah)
---------------, Muhammad Husain, Ilmu al-Tafsir, t.t. (Kairo: Dar al-Maarif)
Al-Hajiy, Muhammad Umar, Mausuatu al-Tafsir Qabla Ahdi al-Tadwin, 2007
(Damaskus: Dar al-Maktabi)
Al-Suyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Itqan fi Ulumi Al-Quran, t.t. (Saudi
Arabia: Markaz Al-Dirasat Al-Quraniyah)
Al-Ak, Khalid bin Abdurrahman, Ushulu al-Tafsir Wa Qawaiduhu, 1986
(Damaskus: Dar Al-Nafais)
Baljon, J.M.S., Tafsir Quran Muslim Modern, 1991 (Jakarta: Pustaka Firdaus)
Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern,
diterjemahkan oleh M. Alaika Salamullah, dkk, 2003 (Yogyakarta:
elSAQ Press)
Ridla, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, 1947 (Kairo: Dar al-Manar)
Syarkawi, Iffat. M., Ittijahat al-Tafsir fil Ashril Hadits, 1972 (t. Kota: Maktabah
Al-Syarif)

You might also like