You are on page 1of 39

LANSEKAP INDUSTRI MEDIA PENYIARAN DI INDONESIA

17/03/2014

UU no 1963 tt ketertiban umum

1960
1965

1962 tvri berdiri

1949 Jawa Pos berdiri

1945 RRI Berdiri

KOMPAS BERDIRI

UU Pers 11/66

UU Pers 4/67

1970
1975

1970an Jaringan radio berkembang

1971 Tempo berdiri

1974 PRRSNI

UU Penyiaran 21/82

1980
1985

1982 Kompas di bredel Sinar Harapan dibredel 1982 Tempo ditutup sementara

1990
1995

1989 RCTI berdiri 1990 SCTV berdiri

1990 TPI berdiri

UU Penanaman Modal Asing 20/94

1993 Antv berdiri

1994 Indosiar berdiri 1993 republika bediri

UU Penyiaran 24/97

1998

1997 Cosmopolitan Media Waralaba pertama berdiri Tempo Bankgit kembali

UU Anti Monopoli 5/99 UU Perlindungan Konsumen 8/99 UU Telekomunikasi 36/99 UU Telekomunikasi 39/99 PP 37/2000 Penghapsuan Deppen UU 32/2002 Penyiaran

2000

Metro TV berdiri TV7 berdiri ATVSI berdiri 2001 Koran tempo berdiri 2001 Transtv berdiri 2002 Lativi berdiri 2002 ATVLI asosiasi TV Lokal berdiri

PP 50/2005 Lembaga Penyiaran Swasta PP 51/2005 Lembaga Penyiaran Komunitas

2005

2006 TV7 diakuisisi oleh Trans Grup dan berubah menjadi Trans7

2010

2008 Lativi diakuisisi Bakrie Grup dan berubah menjadi Tvone 2008 Vivanews.com berdidi

RUU Konvergensi

Saat ini

Kaskus diakuisisi oleh PT Djarum Indosiar diakuisisi oleh EMTEK perusahaan induk SCTV Detik.com dibeli oleh Trans Grup

NO 1 2 RCTI

TELEVISI GLOBAL TV

GRUP MNC GRUP MNC GRUP

KETERANGAN MNC TV sebelumnya bernama TPI dan berubah nama menjadi MNC TV tg 20 Oktober 2010 EMTEK mengakuisisi Indosiar juli 2011 September 2011 CT Grup juga membeli detik.com

3
4 5 6 7 8 9 10

MNC TV
SCTV Indosiar Trans 7 Trans TV Antv Tvone Metro TV

MNC GRUP
EMTEK EMTEK CT Grup CT Grup Visi Media Asia Visi Media Asia Media Grup

NO 1

GRUP

TV

RADIO MEDIA CETAK 22 7

MEDIA PEMILIK ONLINE 1 Hary Tanoesudibyo

MNC GRUP ( 20 Global mediacom)

2
3 4 5 6 7 8 9

Jawa Pos Grup

20
12 19

171
88 5

1
2

Dahlan Iskan, Azrul Ananda


Jacob Oetama Abdul Gani, Erick Thohir

Kelompok Kompas 10 Gramedia Mahaka Media Grup Elang Mahkota Teknologi CT Corp Visi Media Asia Media Grup MRA Media 2 3 2 2 1

1 1 1 3 11 16

Keluarga Sariatmadja Chairul Tanjung Keluarga Bakrie Surya Paloh Adiguna Soetowo, Soetikno Soedarjo

NO 10 11

GRUP Femina Grup Tempo Inti Media

TV

RADIO MEDIA CETAK 12 14 3

MEDIA PEMILIK ONLINE Pia Alisjahbana 1 Yayasan Tempo

12

Berita satu Media Holding

10

Lippo Grup

Hukum media
periode sensor preventif. Periode ini dimulai sejak keluar peraturan pertama tentang pers yang mengatur sensor preventif sampai dicabutnya peraturan itu (1856-1906) dan dilanjutkan pada zaman Jepang (1942-1945). periode perizinan/pemberedelan. Periode ini berlangsung sejak kedatangan Jepang (19401942) dan kemudian berlanjut ketika terjadi pemberedelan 13 penerbit pada masa akhir Demokrasi Liberal sampai berakhirnya Orde Baru (1957-1998).

periode kebebasan pers. Periode ini dimulai sejak Republik Indonesia diproklamasikan hingga menjelang berakhirnya Demokrasi Liberal (1945-1957) dan dilanjutkan dengan pada masa reformasi (1998-sekarang).

Dua sisi kepentingan dalam pengaturan dalam bidang media


1. PERTIMBANGAN UMUM ATAU KEPENTINGAN PUBLIK. Atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat, Negara harus mengatur mengenai HAM(Hak Asasi Manusia) terkait kebebasan berpendapat termasuk berpendapat di media massa. Karena pada dasarnya, media adalah ruang publik bagi masyarakat sebagai tempat untuk mengeluarkan pendapat 2. KEPENTINGAN BISNIS. Pengelolaan sebuah media dilakukan oleh sebuah organisasi yang pada umumnya untuk mencari laba dalam sistem ekonomi kapitalis. Karena itu, jiwa kepentingan umumnya pada media bisa terkontaminasi oleh kepentingan privat perusahaan. Dari sisi ini, media harus dikendalikan agar tidak merugikan masyarakat.

Asas-asas Hukum Media


1. Asas kebebasan media; 2. Asas anti sensor; 3. Asas pertanggungjawaban sosial; 4. Asas pembatasan kepemilikan; 5. Asas perlindungan profesi 6. Asas perlindungan hak perseorangan.

Pembatasan media dominic


Alasan utama jelas karena media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Pengaturan tersebut ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Di Jakarta, misalnya, jumlah televis terestrial yang ada sepuluh, tidak mungkin bisa lebih kecuali terdapat teknologi digital. Meskipun demikian, jumlahnya tetap akan terbatas.

sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory), meluas dan tersebar secara cepat ke ruang- ruang keluarga tanpa kita undang.
Ketika seseorang-membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media hampir tidak bisa terkontrol oleh siapapun. Media ini jugA hadir dimana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain.

Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005 jasa penyiaran radio


1. 2. 3. 4. 5. 6. 1 (satu) badan hukum hanya boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran radio; Paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu) sampai dengan ke-7 (ketujuh); Paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-8 (kedelapan) sampai dengan ke-14 (keempat belas); Paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-15 (kelima belas) sampai dengan ke-21 (keduapuluh satu) Paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-22 (ke dua puluh dua) dan seterusnya). Badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia

Jasa Penyiaran Televisi


1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda; Paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu); Paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua); Paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga); Paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4. (keempat) dan seterusnya; Badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

KEBIJAKAN SOAL PEMBATASAN MONOPOLI,KONGLOMERASI, DAN KEPEMILIKAN SILANG (MEDIA PENYIARAN)


sesungguhnya teLah diatur dalam peraturan hukum, yakni UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ayat 1, pasal 18 Disebutkan: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi.

Pembatasan Kepemilikan Silang


1. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau 2. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau 3. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama

Konglomerasi media: Perkembangan bisnis yang tidak bisa dihindari?

Mengatur atau membatasi pemusatan kepemilikan media massa, khususnya penyiaran yang menggunakan ranah publik (public domain) perlu dilakukan untuk menjamin: 1. Adanya keragaman kepemilikan (diversity ownership) 2. keragaman isi (diversity of ownership), of

3. keberAgaman pendapat di media (diversity of voice)

MENGKAJI INDUSTRI MEDIA PENYIARAN


Sejak era Reformasi tahun 1998, lansekap media di Indonesia berubah secara dramatis. Era Reformasi menjadi titik melesatnya perkembangan bisnis media. Dalam lima belas tahun terakhir ini, pertumbuhan industri media di Indonesia telah didorong oleh kepentingan modal yang mengarah pada oligopoli dan pemusatan kepemilikan.

Dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk didalamnya penyiaran, media cetak dan media online.

Mereka adalah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media.

Beberapa merger dan akuisisi penting telah terjadi : Indosiar diakuisisi oleh Elang Mahkota Teknologi perusahaan holding dari SCTV; detik.com dibeli oleh CT Group, pemilik TransTV dan Trans7;
sejumlah kanal televisi lokal juga diambil alih oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Kelompok MNC dengan jaringan SindoTV dan Jawa Pos, yang memiliki jaringan televisinya sendiri.

Pemusatan di industri media terjadi sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media di Indonesia.
OLIGOPOLI MEDIA yang terjadi saat ini membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media sudah berorientasi keuntungan dan perusahaan-perusahaan media telah mewakili gambaran bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemilik dan dengan demikian, bisnis media menjadi sangat memberi manfaat bagi mereka yang mencari kekuasaan.

Dari perspektif kebijakan, peraturan-peraturan media yang ada saat ini seolaholah tidak bergigi. Pada kenyataannya, Peraturan Pemerintah no. 50/2005 mengenai Penyiaran Swasta membatasi kepemilikan silang perusahaan-perusahaan media, dan Pasal 33 dari regulasi tersebut melarang satu lembaga penyiaran (televisi dan/atau radio) serta satu media cetak dari satu perusahaan yang sama untuk beroperasi di satu wilayah yang sama. Akan tetapi, PP ini tidak diimplementasikan dengan baik; alasannya adalah sebagian besar lembaga-lembaga media yang ada sudah beroperasi secara bertahuntahun, dan sangatlah sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan peraturan yang baru.

Undang-Undang dan regulasi sepertinya tidak mempunyai gigi dalam mengendalikan konsentrasi kepemilikan seperti ini.

satu sisi UU penyiaran mempromosikan demokratisasi dan keberagaman melalui media, tetapi di sisi lain UU ini tidak menjelaskan pelaksanaan konkritnya secara rinci. Peraturan yang tidak jelas ini memberikan kebebasan untuk media, yang kemudian dapat membiarkan bisnis menggunakan barang publik tanpa kendali yang tegas dari pemerintah.

Cukup sulit bagi para Regulator untuk memastikan kebijakan media yang ada dapat mengatur dinamika industri media secara pantas. Pada kenyataanya, mereka tidak mengatur hal ini, sehingga membuat industri media berjalan dengan leluasa tanpa ada regulasi yang tegas untuk mengendalikan arah perkembangan sektor media di Indonesia. Pemerintah yang tidak tanggap telah membuat industri bergerak dengan leluasa tanpa peraturan-peraturan yang tegas. Kurang tegasnya kerangka kerja peraturan ini terlihat jelas pada UU Penyiaran no 32/2002, yang terus-menerus dikritik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil , aktivis media, dan juga oleh industri media itu sendiri (Nugroho et all)

Sebagai respon terhadap tidak memadainya regulasi yang ada, pada bulan Oktober 2011, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIPD) mengajukan judicial review untuk Pasal 18 (1) dan Pasal 34 (4) dari UU Penyiaran no 32/2002. KIPD beranggapan bahwa merger dan akuisisi di antara perusahaan-perusahaan penyiaran sudah berjalan terlalu jauh dan telah melanggar esensi dari UU Penyiaran, yaitu mempertahankan karakter publik dari media.
Apa yang menjadi resiko di sini adalah hilangnya karakter publik pada media. Dari perspektif hak warga, dapat diperhatikan berkurangnya akses warga terhadap infrastruktur media, kualitas dankeberagaman konten media, serta kemampuan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan media (Nugroho et al., 2012).

INDUSTRI MEDIA TELAH MENJADI BISNIS YANG BERORIENTASI PADA PROFIT DARIPADA SEBUAH MEDIUM PUBLIK

Industri media telah bertumbuh dengan sangat cepat dan menjadi bisnis yang berorientasi pada profit, membentuk kebutuhan dan kepentingan publik baik dalam cara-cara kontemporer maupun baru dengan bantuan teknologi yang semakin canggih.

Kelompok-kelompok ini telah menjadi pemilik utama dari semua jenis media karena strategi ekspansinya. Meskipun begitu, ekspansi kepemilikan media tidak diimbangi dengan ekspansi dari kontennya.
Saat ini, konten dari semua kanal media di Indonesia telah menjadi mirip satu sama lain; keberagaman informasi lenyap sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi kepemilikan media. Kepentingan umum milik publik tidak sepenuhnya disampaikan dan media mempunyai kendali terhadap konten pemberitaan publik.

Kanal media dan platform memang bertumbuh dan berkembang, namun dengan konten yang serupa. Contohnya, satu jenis berita di satu kanal dapat muncul di kanal media lain yang dimiliki oleh perusahaan yang sama.

Merger dan akuisisi ini ditujukan untuk memperkuat bisnis

Pemilik media membuat media menjadi sebuah komoditas, dengan pemirsa diperlakukan hanya sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara yang sah. Saat ini, program-program di stasiun televisi nasional hanya berisi propaganda bisnis. Mulai dari berita hingga sinetron, terlihat jelas adanya kecenderungan konten yang kota-sentris, Jawasentris, atau modern-sentris. Inisiatif televisi lokal dan stasiun radio komunitas berusaha untuk memperbaikinya dengan menyediakan informasi yang lebih relevan dengan kebutuhan khalayaknya

Konglomerasi di televisi merupakan ancaman yang berbahaya bagi keberagaman informasi di Indonesia.

Konsentrasi industri media yang terjadi melalui merger dan akuisisi antar perusahaan-perusahaan media telah mengancam semangat keragaman kepemilikan dan keragaman informasi di media

sebuah bisnis komunikasi yang kuat, persaingan antar para konglomerat ini tetap ketat, baik persaingan dalam kendali infrastruktur maupun persaingan dalam produksi konten.
Stasiun TV menggunakan rating untuk memproduksi konten mereka, yang kemudian menghasilkan duplikasi konten antar media. Ini menunjukkan bagaimana bisnis media saat ini lebih menjadi bisnis yang berorientasi pada profit dibanding sebagai sebuah entitas publik

Persaingan ini telah menghasilkan ancaman terhadap keragaman konten media karena ribuan gerai media menyajikan konten yang sangat serupa, kendati dikemas dalam program yang berbeda-beda.

INDUSTRI MEDIA telah mereduksi hakhak warga negara menjadi sekedar konsumen, dan bukan memperkuat warga untuk berkontribusi dan membentuk media. Sehingga pilihan dari masyarakat sendiri jadi lebih terbatas, dan semuanya sama ya nadanya [yakni] komersialisasi, sensasionalisme, rating yang dikejar

kebijakan media sepertinya tidak mampu mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi dan ekonomi. Ketika kebijakan-kebijakan yang ada saat ini tidak dijalankan untuk membatasi konsentrasi kepemilikan media, belum ada kebijakan yang disiapkan untuk mengantisipasi dampak dari model-model bisnis baru yang berkembang, sebagai konsekuensi dari konvergensi dan digitalisasi media yang akan datang.

Sebagian besar peraturan media hanya terfokus pada konten (terlepas dari ketidakmampuannya untuk menjamin keberagaman), dan mengabaikan cara-cara di mana praktekpraktek bisnis baru akan berdampak terhadap hak warga dalam bermedia (Joseph, 2005)

TUGAS: BUAT MAKALAH DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF KONGLOMERASI MEDIA DI INDONESIA

Format: - Diketik font Time newromans 12 - Spasi 1,5 - Kirim via email+hardcopy - (siang) KEL.1

You might also like