You are on page 1of 8

1.

Proses menua dan inkontinensia urin Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):

Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera, kemunduran sistem lokomosi.

Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.

2. Etiologi inkontinensia urin Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000): a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel. b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia dan lain-lain. c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak memadai/jauh, dan sebagainya. Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam Pranarka, 2000): a. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh atau jika obat-obatan dihentikan. Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000): D : Delirium R : Retriksi, mobilitas, retensi I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses

P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-kolinergik, agonis dan antagonis alfaadrenergik, dan calcium channel blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007). b. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.

Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000): 1) Tipe stress Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan. 2) Tipe urgensi Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal, biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis. 3) Tipe luapan (overflow) Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain: Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan penyempitan jalan keluar urin. Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada diabetes mellitus. 4) Tipe fungsional Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini. 3. Terapi Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: a. Program rehabilitasi antara lain Melatih respons VU agar baik lagi Melatih perilaku berkemih Latihan otot-otot dasar panggul Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)

b. Obat-obatan Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah akut sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan berbagai upaya bersifat nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap tidak berhasil mengatasi inkontinensia tersebut. Pemberian obat disesuaikan dengan tipe inkontinensia urinnya. c. Pembedahan Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk inkontinensia yang tidak berhasil diatasi dengan perilaku, obat-obatan, ataupun dengan alat bantu. Dapat juga merupakan pilihan penderita sendiri, walaupun hampir semua penderita tidak menyukai tindakan pembedahan. Beberapa tindakan pembedahan seperti spincterectomi, operasi prostat atau operasi pada prolaps rahim d. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indwelling) e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia. A. Fisiologi Tidur Berdasarkan prosesnya, terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi retikularis atau disebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang otaknya sangat lambat atau disebut tidur non rapid eye movement (NREM). Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan jenis tidur paradoks atau tidur rapid eye movement (REM). a. Tidur gelombang lambat / non rapid eye movement (NREM) Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh, dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun. Tahapan tidur jenis NREM 1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.

2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur. 3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur. 4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata. 5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah b. Tidur paradoks / rapid eye movement (REM) Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi selama 5 - 20 menit, ratarata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada. Ciri tidur REM adalah sebagai berikut: 1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif. 2. Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak. 3. Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.

4. Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur. 5. Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. 6. Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat. Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi. B. Gangguan Tidur Pada Usia Lanjut Akibat penting dari penelitian dinamik untuk tidur adalah deskripsi yang lebih sistematik dari gangguan tidur. Klasifikasi oleh Association of Sleep Disorder Centers pada tahun 1999 dianggap komprehensif dan bermanfaat secara praktis. Gangguan tidur yang berat pada usia lanjut dibagi menjadi : 1. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders of initiating and maintaining sleep = DIMS) 2. 3. 4. Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive somnolence = DOES) Gangguan siklus tidur jaga (disorders of the sleep wake cycle) Perilaku tidur abnormal (abnormal sleep behaviour, parasomnias)

Gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan dengan gangguan klinik sebagai berikut : 1. 2. Apnea tidur, terutama apnea tidur sentral Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan, gerakan mendadak pada

tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau bilateral, keluhan berupa tungkai gelisah (restless leg), tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi. 3. insomnia. 4. Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali menimbulkan bangun Berbagai konflik emosional dan stress merupakan penyebab psikofisiologik dari

terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia. Depresi endogen berkaitan dengan onset dini dari tidur REM dan dapat diperbaiki secara dramatis dengan obat antidepresan. 5. Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena arthritis, penyakit

keganasan, nocturia, penyakit hati atau ginjal dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam. 6. Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan insomnia. Penyakit

Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam. Pasien Alzheimer sering terbangun tengah malam dan dapat menimbulkan eksitasi paradoksikal.

7.

Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan beta-blockers dapat

menginterupsi tidur. Pengobatan dengan stimulansia dan gejala lepas zat hipnotika dan sedativa perlu diperhatikan untuk gangguan tidur. Gangguan mengantuk berlebihan ditandai dengan mengantuk patologis yang diselingi dengan kegiatan selama jaga. Beratnya mengantuk, onsetnya yang tidak sesuai dengan waktu dan gangguan pada kegiatan merupakan penilaian klinik yang penting. Apnea obstruktif dan mioklonus pada waktu malam dapat menimbulkan hipersomnolensia. Efek obat, terutama efek sisa obat hipnotika merupakan penyebab yang sering untuk hipersomnolensia. Obat-obat lain yang mengakibatkan tidur berlebihan adalah anthistamin, obat psikotropika, metildopa dan antidepresan jenis trisikliik. Demikian pula kondisi-kondisi seperti post-infeksi, keletihan dan sindrom otak kronik. Gangguan siklus tidur jaga memendek dengan makin bertambahnya usia. Bangun lebih pagi dan cepat mengantuk pada malam hari merupakan hal yang wajar bagi usia lanjut. Pasien depresi mengeluh tidurnya kurang pulas dan mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu pada dini hari, sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Tidur REM lebih cepat datangnya sehingga biasanya mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan pasien depresi, pasien dengan anxietas lebih lama masuk tidur, sukar bangun pagi dan mimpi-mimpi menakutkan. Parasomnia merupakan perilaku tidur abnormal yang kadang-kadang terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada malam hari (nactural confusion), jalan sambil tidur, gangguan kejang, dekompensasi penyakit kardiovaskuler, mengompol dan reflux gastro-esophagus.

C. Psikogeriatri 1. Pengertian: Psikogeriatri merupakan suatu pendekatan integrative adaptasi di kemudian hari. Dengan demikian , masalah dan perkembangan kehidupan selanjutnya harus dilihat dari bio-psiko-perspektif sosial-ekonomi, spiritual, lingkungan, psikologis, dan faktor biologis. Gejala penyakit psikogeriatri harus di pahami dengan mempertimbangkan gejala tertentu, kepribadian individu, sosial dan lingkungan budaya, dan reaksi psikologis individu peristiwa kehidupan tertentu. 2. Ciri-ciri pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu: a. Keterbatasan fungsi tubuh, dengan makin meningkatnya usia. b. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degenerative. c. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : 1) Ketergantungan pada orang lain 2) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan

d. Hal yang menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan / kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak. Misal : panik, bingung, apatis dan depresif biasanya berasal dari stressor psikososial yang berat : kematian pasangan hidup dan keluarga, berurusan dengan hukum dan trauma psikis. 3. Masalah di Bidang Psikogeriatri a. Kesepian (loneliness) Biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila menang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut. b. Duka cita (bereavement) Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seseorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang akan memicu gangguan fisik dan kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup merupakan periode yang rawan. Periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan duka citanya tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan ingin menangis dan kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita pada lansia biasanya tidak bersifat self limiting. Petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut berlalu diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan hiburan dimana perlu atau tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan. c. Depresi Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat 15-20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang berpengaruh positif. Hadi martoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yang menderita depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia

lanjut, dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak sebaik pada usia muda. Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis depresi dan harus diarahkan pada pencarian terjadinya berbagai perubahan dari fungsi terdahulu, dan terdapatnya 5 atau lebih gejala depresi mayor seperti disebutkan pada definisi depresi diatas. Aloanamnesis dengan keluarga atau informan lain bisa sangat membantu. Gejala depresi pada usia lanjut seiring hanya berupa apatis dan penarikan diri dari aktivitas sosial, gangguan memori, perhatikan serta memburuknya kognitif secara nyata. Tanda disfori atau sedih yang jelas seringkali tidak terdapat. Seringkali sukar untuk mengorek adanya penurunan perhatian dari hal-hal yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu makan, aktivitas atau sukar tidur. Depresi pada usia lanjut seringkali kurang atau tidak terdiagnosis karena hal-hal : 1) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan. 2) Golongan lanjut usia seringkali menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan bahwa dia lebih aktif. 3) Kecemasan, obsesionalitas, hysteria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya. Penderita dengan hipokondria, misalnya justru sering dimasukkan ke bangsal penyakit dalam atau bedah (misalnya karena diperlukan penelitian untuk konstipasi dan lain sebagainya). 4) Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.

You might also like