You are on page 1of 114

STEREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA

DALAM CA-BAU-KAN








SUKOJATI PRASNOWO







FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007


STEREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA
DALAM CA-BAU-KAN








Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai gelar
Sarjana Humaniora








oleh
SUKOJATI PRASNOWO
NPM 0702010366
Program Studi Indonesia








FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
2007
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007





























Sebuah persembahan untuk:

Mbah Kakung R. Nototaruno, Mbah Putri Toemirah,
Bapak Soetadi, dan Mas Bintoro Prakoso S.
di pemakaman keluarga kuruwangsa R. Djojotaruno, Jogjakarta;
Ibu Soekartilah di Mampang, Jakarta,
Kakak-kakak, juga keponakan-keponakan
di Surabaya dan Jakarta


Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Skripsi ini telah diujikan pada hari J umat, tanggal 12 J anuari 2007

PANITIA UJIAN
Ketua Pembimbing


M. Umar Muslim, Ph. D. Edwina Satmoko Tanojo, M. Hum.
Panitera Pembaca I


Ken Myryam Vivikanda, S. Hum. Syahrial, M. Hum
Pembaca II


M. Umar Muslim, PH. D.

Disahkan pada hari , tanggal oleh:
Koordinator Program Studi Dekan


Dewaki Kramadibrata, M. Hum. Prof. Dr. Ida Sundari Husen

Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Depok, 17 J anuari 2007
Penulis


Sukojati Prasnowo
NPM. 0702010366
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
KATA PENGANTAR

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Firman
Allah swt. yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahmaan itu seharusnya menyadarkan
kita akan kebesaran dan kebijaksanaan-Nya kepada seluruh umat manusia. Begitu
pula dengan saya dalam proses penulisan dan pengujian skripsi ini. Untuk itu, saya
haturkan puji dan syukur kepada-Nya. Alhamdulillahirabbilalamiin.
Berkat kebesaran dan kebijaksaan-Nya, skripsi ini berhasil ditulis dengan
bantuan dan dukungan banyak orang. Dari sekian banyak orang itu, (Ibu) Edwina
Satmoko Tanojo, M. Hum adalah salah seorang yang besar jasanya dalam proses
penulisan skripsi ini. Beliau telah memberikan bimbingan yang kerap diselingi
candaan-candaan penghilang penat, yang membantu dan memudahkan saya dalam
menulis skripsi ini. Semoga Tuhan memberikan imbalan atas jasanya dan
memudahkan serta melindunginya agar dapat membantu banyak orang. Amin.
Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada (Bapak) M. Umar Muslim,
Ph. D. dan (Bapak) Syahrial, M. Hum. yang telah meluangkan waktu dan pikirannya
untuk membaca, mengoreksi, memberi masukan dan saran. Kedua pembaca skripsi
saya ini telah banyak membantu dan mengingatkan saya akan kerancuan dan
kekeliruan dalam menuangkan pikiran pada skripsi saya ini sebelum dibaca banyak
orang.
Saya juga menghaturkan terima kasih kepada (Bpk.) Ibnu Wahyudi, M. A.
dan (Bpk.) M. Yoesoev, M. Hum. atas diskusi-diskusi tentang kesusastraan ketika
vi
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
skripsi ini ditulis; juga (Mas) Asep Sambodja, S. S. atas pemberian artikel Tentang
Ca-Bau-Kan Karangan Remy Sylado. Terima kasih juga untuk (Bpk.) Tommy
Christomy, Ph. D., (Mbak) Sri Munawarah S. S., dan (Mbak) R. Niken Pramanik, M.
Hum. yang secara berurutan telah menjadi pembimbing akademik saya. Kepada
koordinator dan para pengajar di Program Studi Indonesia yang lainnya saya juga
menghaturkan terima kasih atas tuntunan dalam memahami ilmu linguistik, sastra,
dan filologi. Terima kasih juga untuk (Mbak) Sri Murniati Dewayani, S. S. alias
Mbak Ninin atas doa dan petuah menghadapi sidang skripsi dari Pulau Dewata.
Tidak lupa, saya menghaturkan terima kasih kepada Bpk. Soetadi (alm.) dan
Ibu Soekartilah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mengayomi saya dengan
arif dan bijak. J ika ada sikap yang kurang berkenan pada diri saya adalah tanggung
jawab saya, bukan mereka. Semoga Allah swt. memudahkan saya membalas jerih
payah dan segala kebaikan kedua orang tua saya itu.
Selain itu, ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk kakak-kakak: Mas S.
Hartoyo, Mbak Lidya Rina Tatkari, Mbak Restu Triwening, Mbak Catur Faerasati,
Mas Bintoro Prakoso S. (alm.), Mbak Endah Saraswati, Soewoko Hanggoro, dan Selo
Hastomo. Mereka telah menjadi kakak yang baik dengan segala kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Mereka juga telah meramaikan kehidupan saya dengan
memberikan keponakan-keponakan yang lucu, nakal, pintar, dan menggemaskan:
Raka, Lintang, Astri, Thania, Dhian, Bayu, Tyo, Bobby, Hazel, Kenan, dan Keisya.
Terima kasih juga untuk papanya Astri atas penghibahan printer Canon BC 2100SP
pada masa awal kuliah dan bapaknya Dhian atas penghibahan layar monitor.
vii
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Kepada teman-teman di kampus, di sekitar rumah Mampang Prapatan, dan
pada masa sekolah saya juga menghaturkan terima kasih karena telah menemani saya
menjalani kehidupan ini. Mereka itu di antaranya adalah:
1. Teman-teman angkatan 2002 yang jatuh bangun bersama: Silva (Cipe) yang
telah menghibahkan cartridge dengan printhead Canon BC-20 yang dipakai
untuk mencetak skripsi ini; Agung (Asep) yang kerap memberikan celaan dan
sindiran yang justru membangkitkan semangat, ajakan mengajar di bimbel,
dan catatan doa menjelang sidang; Teni dan Eka yang selalu hadir pada masa
jatuh dari ketinggian; Desril (Fetty Vera) dan Hana (Keplek) yang selalu
berusaha mengorek isi hati saat gundah dan resah; Rinda yang mengajarkan
betapa pentingnya membuka wawasan dan pergaulan; Diana yang menjadi
inspirasi untuk berbisnis, Yusdja yang menjadi cermin orientasi akademik;
Riskianti Wulandari yang menemaniku melangkah selama tiga tahun
terakhir dan kemudian memilih berjalan sendiri; Tanti, Arum, Anto, Anita,
Fahri, Niken, Edi, Hakim, Awie, Adek, Dinie, dan The Linggisers;
2. Teman-teman IKSI (Ikatan Keluarga Sastra Indonesia): Nazarudin yang di
sela-sela kesibukannya mau menemani melewati gelap dan sunyinya malam
menjelang sidang; Andri yang telah meminjamkan bertumpuk buku untuk
menyusun skripsi ini; Fakhrul dan Abduh yang tidak jemu-jemunya menjamu
di kantor BIPA; Kenny yang telah menjadi panitera sidang; angkatan 2003
(Hari, Arne, Nelly, Atre, i, Ika-nya Nazar, Ino, Teteh, Nia, Liesta, Amir, dll.)
viii
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
dan angkatan 2004 (Vanny, J asmin, Dimas, Ikhwan King of Kong, Lucky,
Genih, Dhani, Arief Kiwil, dll) yang telah menjadi adik sekaligus teman;
3. Teman-teman sekitar Mampang Prapatan: Sarie dan Wiwiet yang menjadi
teman, saksi hidup sejak kanak-kanak, dan tempat pengaduan; Uki Ambon
yang dengan sukarela pernah menjadi my bodyguard dan Bang Fendy yang
menjadi teman bertukar pikiran;
4. Teman-teman alumni SMUN 55 J KT: Gank Nobar (Maria Bhoge, Eckal,
Are-fun, Wilmana J oker, Bayu Idung), Babeh Ikhsan, Ade N. F., Wildan,
cewek-cewek T-Chels (Ririe, Puthe, Mega, Shanti, dll.), Said, Errol, Pai, dll.

Akhir kata, saya mohon maaf kepada orang yang tidak tersebut namanya
karena keterbatasan ruang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi banyak orang dan
orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu proses
penulisan skripsi ini diberikan pahala oleh Allah swt. Amin.


J akarta, 17 J anuari 2007


Sukojati Prasnowo
ix
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....iv
DAFTAR ISI....x
IKHTISARxiii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..1
1.2 Perumusan Masalah.6
1.3 Tujuan Penelitian..7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian...7
1.5 Landasan Teori.8
1.6 Metode Penelitian.9
1.7 Penelitian Terdahulu..........10
1.8 Kemaknawian Penelitian...13
1.9 Sistematika Penyajian....14

BAB 2 KERANGKA TEORI
2. 1 Pengantar....16
2.2 Pendekatan Sosio-Kultural...16
2.3 Konsep-Konsep..19

x
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
2.3.1 Tokoh dan Penokohan...19
2.3.2 Latar Fisik dan Latar Sosial.....21
2. 3. 3 Konsep Interaksi Sosial.....21
2.4.2 Kajian Multikultural.....23

BAB 3 TOKOH DAN LATAR CA-BAU-KAN
3.1 Pengantar....25
3.2 Ringkasan Cerita CBK..25
3.3 Tokoh......33
3.3.1 Tokoh Tinung.....33
3.3.2 Tokoh Tan Peng Liang Asal Semarang (TPL Semarang) ....34
3.3.3 Tokoh Tan Peng Liang Asal Bandung (TPL Bandung) ...41
3.3.4 Saodah.....42
3.3.5 Tan Soen Bie...44
3.3.6 Tan Kim San dan Tan Kim Hok..45
3.3.7 Tan Tiang Tjing (Ayah TPL Semarang) ........46
3.3.8 Soetini (Ibu TPL Semarang) ....46
3.3.9 Soetardjo Rahardjo...47
3.3.10 Jan Max Awuy...48
3.3.11 Jeng Tut..49
3.3.12 Tjia Wan Sen..50
3.3.13 Oey Eng Goan....51
xi
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.3.14 Thio Boen Hiap..54
3.3.15 Lie Kok Pien...56
3.3.16 Kwee Tjie Sien...58
3.3.17 Mr. Liem Kiem Jang.58
3.3.18 Timothy Wu...61
3.3.19 Tan Giok Lan (Nyonya G.P.A. Dijhkoff)....61
3.4 Latar........63
3.4.1 Latar Fisik..63
3.4.2 Latar Sosial........67

BAB 4 STREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA
4.1 Pengantar....70
4.2 Pengertian Stereotip..71
4.3 Stereotip Terhadap Masyarakat Tionghoa dalam CBK...73
4.3.1 Keteguhan Menjunjung Adat-Istiadat dan Kepercayaan.73
4.3.2 Praktik Prostitusi dan Pergundikan....74

4.3.3 Pandangan Masyarakat Tionghoa terhadap Suku Bangsa Lain..76
4.3.4 Status Tionghoa Peranakan (Kiau-Seng)
dan Status Tionghoa Totok (Hoa-Kiau) .....78
4.3.5 Kepercayaan Orang-Orang Tionghoa di Jawa
pada Tahayul Pesugihan..80
4.3.6 Status Kehormatan Perempuan sebagai Istri
dalam Masyarakat Tionghoa....80
xii
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
4.3.7 Pedagang Perabotan Rumah Tangga
(Pandangan terhadap Suku Kwung-Fu).........82

4.3.8 Rasa Permusuhan Jepang terhadap Masyarakat Tionghoa.....83
4.4 Kajian Interaksi Sosial.......84
4.5 Kajian Multikultural..87

BAB 5 KESIMPULAN..91
DAFTAR PUSTAKA....95
LAMPIRAN...98
RIWAYAT HIDUP PENULIS.99



xiii
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
IKHTISAR

SUKOJ ATI PRASNOWO. Stereotip terhadap Masyarakat Tionghoa dalam
Ca-Bau-Kan (Di bawah bimbingan Edwina Satmoko Tanojo, M. Hum.) Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2007.
Skripsi ini adalah hasil penelitian terhadap aspek sosio-kultural novel Ca-
Bau-Kan (1999). Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Stereotip masyarakat Tionghoa apa saja yang ditampilkan dalam CBK dan
apa dampak dari stereotip itu pada lakuan para tokohnya?
2. Benarkah hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoa
yang terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip yang berkembang
dalam masyarakat?
Berdasarkan perumusan masalah tersebut penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK dan
dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Dari deskripsi itu penelitian ini juga akan
menguji hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang
terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa
yang ada dalam masyarakat.
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, penelitian ini
menggunakan pendekatan sosio-kultural. Dengan penggunaan pendekatan sosio-
kultural penelitian ini melibatkan unsur-unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
intrinsik yang dilibatkan adalah tokoh dan latar.
xiv
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Analisis terhadap kedua unsur intrinsik itu didukung dengan penggunaan
konsep interaksi sosial dari sosiologi dan kajian multikultural yang berdasarkan
paham multikulturalisme. Dengan analisis seperti itu penelitian ini menghasilkan
beberapa pencapaian yang dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, ada delapan stereotip masayarakat Tionghoa yang terdaftar dari
cerita CBK. Delapan stereotip yang terdaftar dari cerita CBK itu adalah:
(1) keteguhan masyarakat Tionghoa menjunjung adat-istiadat dan
kepercayaannya;
(2) laki-laki Tionghoa suka berprostitusi dan mempraktikkan sistem pergundikan;
(3) masyarakat Tionghoa memandang rendah suku bangsa lain;
(4) status orang-orang Hoa-Kiau lebih tinggi daripada status Kiau-Seng;
(5) masyarakat Tionghoa di J awa banyak yang percaya pada tahayul pesugihan;
(6) status kehormatan perempuan sebagai istri dalam masyarakat Tionghoa
ditentukan dari kemampuannya melahirkan anak untuk suami;
(7) suku Kwung-Fu (salah satu subetnis Tionghoa) dikenal sebagai pedagang
perabotan rumah tangga dan dianggap tidak berbakat berdagang;
(8) masyarakat Tionghoa memusuhi J epang.

Stereotip-stereotip itu berdampak pada lakuan para tokohnya karena stereotip
digunakan dalam proses awal interaksi sosial. Stereotip itu selanjutnya turut
menentukan sikap yang diambil para tokoh yang berlakuan. Stereotip itu
menunjukkan dampaknya melalui sikap dari orang yang ikut berinteraksi. Sikap itu
selanjutnya dapat menimbulkan konflik atau tidak.
Kedua, secara keseluruhan, stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang ada
di CBK dapat diasumsikan sebagai penjelasan atas stereotip masyarakat Tionghoa
yang beredar di masyarakat saat ini. Tidak semua stereotip yang beredar di
masyarakat seperti yang disebut Winarta terbantahkan oleh cerita CBK. Akan tetapi,
CBK menampilkan realitasnya dalam lakuan para tokohnya.
xv
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007






BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia tercatat satu masa yang menunjukkan
peran aktif masyarakat keturunan Tionghoa. Menurut Sumardjo, masa itu dimulai
pada tahun 1884 yang dirintis oleh Lie Kim Hok. Pada tahun itu Lie Kim Hok
menulis novel Sobat Anak-anak, yang merupakan novel bahasa Melayu pertama.
Pada masa yang sama, Wiggers dan Pengemanan turut mengembangkan jenis novel
populer dengan tema dan bahan cerita bersifat Indonesia dan digali dari kehidupan
Indonesia di kota-kota. Masyarakat yang digambarkan dalam karya mereka adalah
masyarakat Tionghoa di zaman penjajahan: pedagang, pemilik toko, pedagang pasar,
pengurus perkebunan, pemilik pabrik gula, kapten Cina, bestuur Cina. Tradisi yang
ditanamkan Lie Kim Hok, Wiggers, dan Pangemanan itu pun berkembang dalam
bentuk novel Melayu-Cina. Bentuk novel itu terus berkembang dan mencapai zaman
keemasannya setelah tahun 1925 (Sumardjo, 2000: 676677).
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Menurut Salmon (1985: 147), ketika J epang menyerbu Indonesia pada tahun
1942 perkembangan itu terhenti. Saat itu J epang tahu bahwa orang-orang Tionghoa di
Indonesia menjadikan pers dan karya sastra sebagai wahana untuk menyuarakan
patriotisme mereka, mendukung Cina dalam perang melawan J epang, dan
mengingatkan orang Indonesia akan bahaya imperialisme J epang di Asia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 perkembangan itu secara perlahan
berlanjut kembali.
Perkembangan itu, menurut Sumardjo (2000: 682), terhenti lagi pada tahun
1950-an karena masyarakat Cina (Tionghoa) sudah diintegrasikan dengan masyarakat
Indonesia (sic!). Karya-karya yang muncul kemudian (pertengahan 1950-an)
cenderung berupa cerita silat. Meskipun demikian, cerita silat Cina ini tidak hanya
digemari oleh masyarakat Tionghoa saja, tetapi juga masyarakat Indonesia asli
(pibumi). Seiring perkembangannya, novel Melayu-Cina yang berciri mirip dengan
cerita western (mengutamakan keramaian berkelahi, suspense, dan kepahlawanan-
kejujuran) semakin berorientasi ke Barat (Sumardjo, 2000: 682683).
Pada awal tahun 1960-an pemerintahan Orde Lama menghentikan semua
lektur Barat. Film, majalah luar negeri, dan hasil budaya Barat pun dilarang beredar.
Novel-novel saduran atau terjemahan Barat seperti novel detektif, novel western
(Barat), novel perang, dan novel spy (mata-mata) pun beredar untuk memenuhi selera
terhadap kebudayaan itu. Populernya novel seperti itu mengakibatkan tergesernya
novel Melayu-Cina kedudukannya dalam masyarakat (Sumardjo, 2000: 684).
2
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Hal itu masih ditambah lagi dengan ketatnya peraturan pemerintah Orde Baru
terhadap kebebasan masyarakat keturunan Tionghoa. Peraturan-peraturan itu di
antaranya adalah:
1. Keputusan Presidium No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai peraturan ganti nama
bagi WNI yang memakai nama Cina;
2. Instruksi Presiden No. 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah
Cina (BKMC);
3. Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan, dan
adat-istiadat Cina;
4. SE Presidium Kabinet RI No. Se-06/Pres-Kab/6/1967 mengenai penggantian
istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina;
5. SE. 02/SE/Ditjen/ppg/k/1988 mengenai larangan penerbitan dan percetakan
tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina;
6. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang penataan klenteng.
Menurut Winarta (Suara Pembaruan, 28 J uli 2004), peraturan-peraturan itu
menekan kehidupan sosial budaya dan mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia.
Wujud nyata penekanan dan pengucilan itu adalah pelarangan terhadap penggunaan
huruf, bahasa, pembatasan surat kabar, dan penutupan sekolah Tionghoa. Selain itu,
penekanan dan pengucilan itu juga berupa pembatasan perayaan imlek dan arak-
arakannya (Cap Gome), upacara di klenteng, serta formalisasi penggunaan istilah
Cina. Peraturan-peratuan tersebut telah membelenggu masyarakat Tionghoa dan
secara terbuka mendiskreditkan mereka.
3
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Setelah Orde Baru runtuh barulah masyarakat Tionghoa merasakan sedikit
kebebasan, meski sebelum itu mereka harus mengalami suatu peristiwa yang
merugikan kaum mereka. Peristiwa itu adalah Kerusuhan Mei 1998, yang menjadikan
mereka sebagai objek kemarahan dan amukan massa karena kecemburuan sosial.
Dalam peristiwa itu banyak bangunan rumah toko milik mereka yang dirusak dan
dibakar massa. Peristiwa itu merupakan salah satu dampak dari diskriminasi terhadap
mereka, yang juga menjadi puncak kebencian masyarakat pribumi terhadap mereka.
Bila ditelusuri lebih lanjut dari segi sejarah, masyarakat Tionghoa di
Indonesia memang kerap mengalami diskriminasi. Pada masa kolonialisasi Belanda
mereka mengalami diskriminasi melalui peraturan pemerintah kolonial, yaitu
penerapan sistem opsir (Kapitan Cina), sistem pemukiman, dan pas jalan. Peraturan
itu membuat mereka tidak dapat berbaur dengan pibumi. Akibatnya, menurut Winarta
(2004), hingga saat ini masyarakat Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas
yang licik, mau menang sendiri, eksklusif, kikir, dan serigala ekonomi. Pada
akhirnya hal tersebut menimbulkan kebencian yang mendalam dari golongan pribumi
terhadap mereka.
Perihal kehidupan masyarakat Tionghoa di masa kolonialisasi Belanda seperti
itulah yang tergambar dalam cerita novel Ca-Bau-Kan (selanjutnya disingkat CBK)
karya Remy Sylado (1999), yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Novel yang diterbitkan sebagai langkah awal dari proyek penerbitan Sastra Peranakan
Tionghoa itu (catatan KPG, hlm. V) berhasil menarik perhatian masyarakat banyak.
4
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Buktinya adalah pencetakan ulang novel ini sebanyak delapan kali dan diadaptasinya
novel ini menjadi film pada tahun 2001.
Kehadiran CBK yang mengusung tema kehidupan sosial budaya masyarakat
Tionghoa di Indonesia dalam kesusastraan Indonesia pada akhir dekade 1990-an patut
disambut dengan baik. Semenjak terhentinya perkembangan Sastra Peranakan
Tionghoa, kehidupan sosial budaya masyarakat Tionghoa hampir luput dari perhatian
penggiat sastra Indonesia. Karya-karya sastra, khususnya genre prosa, memang terus
berkembang. Namun, tidak banyak karya yang menampilkan kehidupan sosial budaya
masyarakat Tionghoa dalam bermasyarakat di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan Wasono (1999: 1620), cerita yang
mempersoalkan hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pibumi (yang
merupakan bagian dari kehidupan sosial budayanya, pen.) sangat minim.
Menurutnya, kalau pun ada, masalah itu hanya muncul sekilas dan tidak menjadi
pusat perhatian utama. Ia menyebut Di Kaki Bukit Cibalak (1986) karya Ahmad
Tohari sebagai contoh karya sastra yang hanya memunculkan persoalan itu secara
sekilas. Kemudian, ia menyebut Senandung Puncak Gunung (1982) karya Wahyu
Dewantoro sebagai karya yang sepenuhnya berbicara tentang pembauran. Sayang,
menurutnya, tema karya itu kurang baik penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh
lemahnya penggambaran tokoh dan latarnya sehingga tema itu terkesan dipaksakan.
Satu karya yang juga menampilkan tema sejenis adalah Jalan Menikung
(1999) karya Umar Kayam. Dalam novel itu ditampilkan masalah perkawinan orang
J awa dan orang Tionghoa yang dikhawatirkan akan menggoyahkan status kepriyayian
5
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
orang J awa. Hanya saja tema itu bukanlah tema sentral. Tema sentralnya adalah
kehidupan sosial budaya kaum priyayi J awa, yang berinteraksi dengan budaya lain:
Yahudi-Amerika, Minangkabau, Tionghoa, dan J epang.
Hadirnya CBK mengisi rumpang atau kekosongan itu. CBK secara tegas
menampilkan kehidupan sosial budaya masyarakat Tionghoa dengan gambaran tokoh
dan latar yang jelas. Penerbitan CBK pun disusul penerbitan karya lain yang
mengusung tema sejenis, di antaranya novel Lie Jangan Bilang Aku Cina (2000)
karya S. Satya Dharma dan kumpulan cerpen Panggil Aku Peng Hwa (2002) karya
Veven Sp. Wardhana.

1.2 Perumusan Masalah
Seperti telah diungkapkan dalam latar belakang, beberapa stereotip yang
timbul terhadap masyarakat Tionghoa disebabkan oleh diskriminasi yang dilakukan
pemerintah kolonial Belanda. Pernyataan tersebut sepaham dengan pendapat
Pramoedya Ananta Toer (1998: 77) bahwa sejak sebelum adanya VOC (Belanda,
pen.) tak pernah ada kerancuan dalam hubungan antara rakyat dan Hoakiau
(masyarakat Tionghoa, pen.) di Indonesia. Ia menambahkan bahwa sejak datangnya
VOC itu Hoa-Kiau diletakkan pada satu tempat yang harus dapat disorot dan dilihat
segi-seginya yang buruk (Toer, 1998: 77).
Ditampilkannya masyarakat Tionghoa pada masa kolonialisasi Belanda dalam
CBK membuat penulis berhipotesis bahwa cerita yang terkandung di dalamnya
mematahkan stereotip-stereotip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia saat
6
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
ini. Di tengah meningkatnya primordialisme dan konflik antarkelompok, menurut
Budianta (2003: 136), sastra memang dapat berfungsi untuk mendobrak stereotip dan
menekankan tema solidaritas dan empati. Permasalahannya, stereotip masyarakat
Tionghoa apa saja yang ditampilkan dalam CBK dan apa dampak dari stereotip itu
pada lakuan para tokohnya? Benarkah hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap
masyarakat Tionghoa yang terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip yang
berkembang dalam masyarakat tentang masyarakat Tionghoa saat ini seperti yang
disebut Winarta di bagian sebelumnya? Permasalahan itulah yang mendasari
penelitian ini.

1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tersebut dalam perumusan masalah. Hasil penelitian ini
akan berupa deskripsi stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK dan
dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Dari deskripsi itu penelitian ini juga akan
menguji hipotesis penulis bahwa stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang
terkandung dalam cerita CBK mematahkan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa
yang ada di masyarakat.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini mencapai tujuannya, penulis perlu membatasi ruang
lingkup penelitian. Sebagai objek penelitian, penulis hanya memakai novel CBK.
7
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Apabila ada penyebutan novel lain semata-mata hanya berfungsi sebagai pembanding
atau penjelas.
Sebenarnya, novel CBK dapat diteliti dari berbagai sudut pandang. Dari segi
bentuk, novel yang dapat dikatakan sebagai novel sejarah ini dapat diteliti dengan
melihat pemakaian unsur-unsur sejarah sebagai unsur pembangun ceritanya. Selain
itu, sebagai novel populer, novel ini pun dapat diteliti dari segi penceritaan atau
penarasiannya; yang tentunya berbeda dengan novel-novel yang disebut novel serius.
Karena sudah diangkat menjadi cerita film, novel ini juga dapat diteliti dengan
melihat bentuk transformasinya: dari sebuah karya sastra menjadi sebuah film.
Berbeda dengan beberapa sudut pandang itu, penelitian ini memfokuskan
bahasan pada stereotip masyarakat Tionghoa. Meski ada banyak masyarakat yang
tergambar dalam novel CBK, penelitian ini membatasinya pada masyarakat Tionghoa
saja. Hal ini disebabkan dalam CBK masyarakat Tionghoa menjadi fokus
penceritaan.

1.5 Landasan Teori
Penelitian ini berlandaskan teori sosial sastra yang menyebutkan adanya
hubungan antara sastra dan masyarakat. Teori itu berkaitan dengan satu pengertian
bahwa sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai cermin masyarakat. Pengertian itu
diperkuat oleh kedudukan sastra sebagai sebuah produk kebudayaan.
Menurut Damono (1984: 14), teori tentang hubungan antara sastra dan
masyarakat itu dipelopori oleh Plato dalam karyanya yang berjudul Ion dan Republik.
8
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Dari dua karya itu, Plato mengungkapkan peran sastra dalam masyarakat terutama
dalam Republik Bab I dan X. Dalam karyanya itu, Plato menyebut segala yang ada di
dunia ini sebagai tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Pada
tahap selanjutnya, pandangan Plato itu berkembang menjadi kritik mimesis (tiruan).
Berdasarkan teori sosial sastra itu, penelitian ini memilih pendekatan
sosiokultural yang dijelaskan Greibstein untuk menjawab permasalahan penelitian.
Berdasarkan teori itu juga penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep
pendukung analisis penelitian. Konsep-konsep itu adalah konsep interaksi sosial dari
sosiologi dan konsep atau paham multikulturalisme, yang akan dijelaskan lebih lanjut
pada bagian kerangka teori.

1.6 Metode Penelitian
Menurut Nazir (1988: 52) metode penelitian berkaitan dengan pembicaraan
bagaimana secara berurut suatu penelitian dilakukan, yaitu dengan alat apa dan
prosedur bagaimana suatu metode dilakukan. Penentuan metode dalam sebuah
penelitian penting dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Untuk itu, dalam
penelitian ini dipilih suatu metode yang sesuai guna mencapai tujuan penelitian.
Metode yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis.
Mengenai metode ini, Ratna (2004: 53) menyebutkan bahwa metode deskriptif
analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis. Metode ini, menurut Nazir (1988: 64), bukan saja memberikan
gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
9
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu
masalah yang ingin dipecahkan.
1.7 Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Keterkaitan itu dapat berupa kesamaan
pendekatan yang dipakai dalam penelitian, yaitu pendekatan sosiologi sastra.
Keterkaitan itu juga dapat berupa kesamaan data penelitian (novel CBK) dan topik
atau sorotan penelitian.
Penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra telah
banyak dilakukan di Indonesia. Akan tetapi, pada bagian ini hanya disebut beberapa
penelitian dengan pendekatan itu yang ada di lingkungan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) saja. Beberapa penelitian itu adalah sebagai
berikut.
Penelitian tentang kawin campur dan pernyaian pernah dilakukan J ean
Tanuwibawa. Penelitian itu berjudul Perkawinan Campuran dan Pernyanyian dalam
Dua Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang: Telaah Perbandingan antara Tjerita
Njai Dasima dan Tjerita Njai Soemirah (1988). Penelitian ini melihat aspek
keterkaitan pengarang dengan objek penelitiannya mengenai masalah kawin campur
dan pernyaian. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kedua pengarang objek
penelitian itu secara tidak langsung berusaha membela asal keturunan mereka: Eropa
(G. Francis melalui Njai Dasima) dan Tionghoa (Thio Tjin Boen melalui Tjerita
Njai Soemirah).
10
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Penelitian lain dilakukan Tri Fajar Marhaeni (1996) yang menyoroti pengaruh
F. Wiggers pada pola penulisan drama Indonesia dan pengaruh situasi sosial masa
Hindia Belanda dalam Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Penelitian itu berjudul
Drama Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1910) Karya F. Wiggers: Tinjauan
Sosiologi Sastra. Hasilnya, Marhaeni menyatakan bahwa Wiggers dengan gaya
realisnya melalui drama itu menjadi penanda keberadaan drama modern Indonesia.
Kemudian, situasi sosial pada masa karya itu diciptakan tercermin pada sikap para
tokoh berupa sikap hidup tradisional dan modern.
Selain kedua penelitian itu, ada juga penelitian yang dilakukan Andriyati
(2006) dengan judul Gambaran Latar Sosial Budaya Masyarakat Pribumi dan
Peranakan dalam The Belle of Tjililin. Penelitian yang dilakukan Andriyati
mendeskripsikan penggambaran sosial budaya masyarakat pribumi dan peranakan
dalam novel The Belle of Tjililin. Dari deskripsi itu ia mengungkapkan permasalahan-
permasalahan sosial budaya pada kedua masyarakat itu, perubahan-perubahan nilai
sosial buadaya di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selanjutnya, ada penelitian yang memiliki kesamaan objek dengan penelitian
ini. Penelitian itu dilakukan David Hwa Kian Hauw yang dipublikasikan dalam media
Kita Sama Kita No. 5 Tahun II J anuari 2002. Penelitian itu berjudul Tentang Ca-
Bau-Kan Karangan Remy Sylado. Penelitian itu membahas secara detail perihal
kandungan novel CBK mulai dari istilah-istilah yang ada, penamaan tokoh dan
transliterasinya, penokohan, sampai agama dan kepercayaan, tata krama dan adat-
istiadat, upacara masyarakat Tionghoa, dan yang lainnya.
11
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007


Penelitian itu memang telah secara lengkap membahas kandungan cerita
CBK, yang diperkuat dengan berbagai kutipan yang dapat dipercaya. Sayangnya,
penelitian ini terjebak pada alur berpikir yang mencari-cari kesalahan dalam
kandungan cerita CBK. Peneliti melalui penelitian tersebut telah secara semena-mena
menganggap bahwa sesuatu yang terungkap dalam fiksi haruslah sesuai dengan
kenyataan.
Pernyataan itu dapat dipahami karena penelitinya menganggap CBK sebagai
novel sejarah, yang kerap menimbulkan asumsi bahwa sebuah novel dari jenis ini
harus sesuai dengan kenyataan yang ada. Padahal, seperti diungkap Tarigan (1984:
122), novel sebagai karya fiksi bersifat realitas dan karya non-fiksi bersifat
aktualitas. J adi, sebuah sebuah karya fiksi tidak harus menampilkan sesuatu yang
aktual seperti karya non-fiksi. Sepanjang sebuah karya fiksi menampilkan sesuatu
yang real (nyata) maka karya fiksi dapat diterima keberadaannya. Begitu juga CBK,
meski ceritanya disebut David Hwa Kian Hauw banyak menampilkan hal-hal yang
tidak aktual, ceritanya tetap dapat diterima karena realitasnya terjaga.
Kemungkinan karena pikiran yang subjektif, David Hwa Kian Hauw juga
menyebut CBK sebagai karya yang sarat akan stigma, stereotip, dan prejudis yang
tendensius dari masyarakat Tionghoa. Ia menganggapnya sebagai bias dari rezim orde
baru. Pernyataan itu tidak diungkapkan dengan menganalisis lebih jauh perihal
12
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
stereotip masyarakat Tionghoa yang terkandung dalam CBK. Hal itu menjadi
kekurangan dalam penelitian itu.
Penelitian lain, yang memiliki kesamaan topik atau sorotan penelitian,
dilakukan Oriana Titisari (2003) dengan judul Stereotip dan Multikulturalisme
dalam Karya Sastra Indonesia. Beberapa karya sastra yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah Gado-Gado (2001) karya Pramoedya Ananta Toer, Cerita dari
Tanah Pengasingan (2002) karya Sobron Aidit, Clara (1999) karya Seno Gumira
Ajidarma, dan Saman (2002) karya Ayu Utami. Penelitian ini berkesimpulan bahwa
karya sastra dapat menjadi media yang efektif untuk menanamkan konsep
multikulturalisme kepada masyarakat. Titisari mengatakan bahwa karya sastra yang
disebutnya itu dapat melawan stereotip sebuah masyarakat yang ada dan bahkan
menciptakan sebuah stereotip yang baru.
Beberapa penelitian yang telah disebut sebelumnya menjadi bahan pemikiran
dalam penelitian ini. Beberapa kelemahan atau kekurangan yang ada dari penelitian-
penelitian itu akan menjadi perhatian dalam penelitian ini.

1.8 Kemaknawian Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan kajian sastra
Indonesia selanjutnya. Pengkajian terhadap karya sastra Indonesia penting dilakukan
sebagai suatu upaya untuk membantu perkembangan sastra Indonesia. Mengingat
sastra dapat disebut sebagai salah satu sektor kebudayaan yang mampu
mendewasakan manusia (Sumardjo, 1995:23), penulis menganggap berbagai
13
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
penelitian terhadap karya sastra juga turut mendukung fungsi itu, termasuk penelitian
ini.
Selain itu, penelitian ini juga dianggap perlu untuk menjelaskan hal-hal yang
terkandung dalam CBK, khususnya tentang masyarakat Tionghoa, kepada
masyarakat. Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural, penelitian
terhadap suatu karya yang menampilkan sebuah kelompok yang dianggap minoritas
dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah perlu. Penelitian seperti ini diharapkan
dapat membantu proses pemahaman antaretnis untuk mengurangi terjadinya konflik
antaretnis.

1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini ditulis dengan penyajian sebagai berikut.
Pada Bab 1 atau Pendahuluan disajikan hal-hal yang mendasari penelitian,
yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian,
landasan teori, metode penelitian, penelitian terdahulu, kemaknawian penelitian, dan
sistematika penyajian.
Bab 2, Kerangka Teori, merupakan bagian yang memaparkan konsep-konsep
yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dijelaskan pada Bab 2 ini
adalah konsep-konsep yang mendukung teori yang menjadi landasan berpikir dan
analisis dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang akan dijelaskan pada bagian
tersebut adalah konsep tokoh dan latar, konsep interaksi sosial dari sosiologi, dan
konsep atau ideologi multikulturalisme.
14
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Bab 3 berisi analisis tokoh dan latar CBK. Analisis kedua unsur intrinsik itu
akan menunjukkan stereotip terhadap masyarakat Tionghoa dalam CBK. Stereotip-
stereotip itu akan ditampilkan pada bagian selanjutnya
Untuk memperjelas pengertian, macam, dan fungsi stereotip dalam
masyarakat multietnis disusun penjelasan di Bab 4. Bagian ini juga merupakan inti
dari penelitian. Stereotip yang ditampilkan pada bagian ini selanjutnya akan dianalisis
dengan konsep interaksi sosial dan multikulturalisme untuk mencapai tujuan
penelitian.
Kemudian, hasil dari analisis itu akan diperjelas pada Bab 5, Kesimpulan.
Bagian penutup ini juga akan menjelaskan pencapaian penelitian ini. Hal-hal yang
menjadi permasalahan penelitian dan selanjutnya menjadi tujuan penelitian akan
dijelaskan pada bagian ini.






15
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007






BAB 2
KERANGKA TEORI

2. 1 Pengantar
Seperti yang disebut pada bagian pendahuluan, penelitian ini berlandaskan
pada teori sosial sastra yang dipelopori oleh Plato. Sebagai tindak lanjutnya,
penelitian ini memakai pendekatan sosio-kultural untuk mencapai tujuan penelitian.
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep yang akan menunjang pemakaian
teori dan pendekatan itu.

2.2 Pendekatan Sosio-Kultural
Pemilihan pendekatan sosio-kultural adalah untuk mencapai tujuan penelitian
ini. Seperti telah disebut di bagian sebelumnya, penelitian ini memiliki dua tujuan.
Pertama, penelitian ini akan mendeskripsikan stereotip-stereotip masyarakat
Tionghoa dalam CBK dan dampaknya dalam lakuan para tokohnya. Kedua,
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
penelitian ini juga akan menguji hipotesis penulis bahwa kandungan cerita CBK
mematahkan stereotip yang berkembang di masyarakat tentang masyarakat Tionghoa.
Pendekatan ini cocok untuk mencapai tujuan tersebut karena sesuai dengan
tujuan utamanya. Mengenai hal itu, Damono (1993: 7) dalam Darmoko (2006: 69)
menyebutkan bahwa yang menjadi perhatian utama dalam pendekatan ini adalah
pengaruh timbal balik antara karya sastra dan kehidupan. Pengaruh timbal balik itu
menyangkut maksud politik, sosial, ekonomi, moral, dan kultural sebuah karya sastra.
Secara lebih jelas, Damono (2002: 2) mengatakan bahwa istilah sosio-kultural
pada dasarnya tidak berbeda dengan sosio-sastra dan pendekatan sosiologis. Dalam
banyak pembahasan tentang penelitian sastra, istilah-istilah itu disebut sebagai
sosiologi sastra, salah satunya Ratna dalam Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra (2004). Hanya saja, setiap istilah itu didasarkan pada sikap dan pandangan
teoritis tertentu. Damono juga mengatakan bahwa istilah pendekatan sosio-kultural
terhadap sastra dikemukakan Grebstein (1968) dengan kesimpulan sebagai berikut.
(a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau
peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam
konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri.
Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang
rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya itu sendiri
merupakan obyek kultural yang rumit. Bagaimanapun, karya
sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
(b) Gagasan dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan
teknik penulisannya; bahkan boleh dikatakan bentuk dan teknik
itu ditentukan gagasan tersebut. Tak ada karya sastra besar yang
diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam
pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.
(c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya
adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan
17
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan
orang-seorang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam
artinya yang sempit, yakni yang sesuai dengan suatu kode dan
sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian
bahwa ia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan
evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah
eksperimen moral.
(d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama,
sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua,
sebagai tradisiyakni kecenderungan-kecenderungan spiritual
maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi karya
sastra dengan demikian dapat mencerminkan perkembangan
sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus
dalam watak kultural.
(e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis
yang tanpa pamrih; ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan
tertentu. Kritik adalah kegiatan penting yang harus mampu
mempengaruhi penciptaan sastratidak dengan cara mendikte
sastrawan agar memilih tema tertentu, misalnya, melainkan
dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi
penciptaan seni besar.
(f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam
maupun sastra masa datang. Dari sumber sastra yang sangat luas
itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.
Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda kuno yang
kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran
seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap
generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus
untuk menggali masa lalu tak ada habisnya. (Damono, 2002: 6
7)

Pendekatan ini merupakan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik karya sastra.
Meskipun demikian, pendekatan terhadap unsur ektrinsik sebuah karya sastra tidak
terlepas dari unsur yang terkandung di dalamnya, yakni unsur intrinsik. Mengenai hal
itu, Wellek dan Warren (1989: 157) menyatakan bahwa penelitian sastra sewajarnya
bertolak dari interpretsi dan analisis karya sastra itu sendiri. Pendekatan terhadap
unsur intrinsik karya sastra juga dapat membantu penelitian dengan pendekatan
18
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
ekstrinsik. Dengan begitu, sesuai pernyataan Wellek dan Warren tersebut, sebuah
penelitian sastra dapat terjaga keobjektifannya.
Untuk itu, dalam penelitian ini analisis akan dilakukan terhadap unsur
intrinsik tokoh dan latar. Kedua unsur intrinsik ini dipilih karena dapat
mengungkapkan stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK. Kemudian, stereotip itu
akan dianalisis dengan menggunakan konsep interaksi sosial dari sosiologi dan
konsep atau paham multikulturalisme.

2.3 Konsep-Konsep
Ada tiga konsep yang akan menunjang pemakaian teori sosial sastra pada
penelitian ini. Pertama, konsep mengenai tokoh dan latar. Kedua, konsep interaksi
sosial. Ketiga, konsep atau paham multikulturalisme. Penjelasan konsep-konsep itu
adalah sebagai berikut.

2.3.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981: 20) yang dikutip
Nurgiyantoro (2002: 165), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Pengertian itu selaras dengan pengertian tokoh dari
Sudjiman (1988: 16), yaitu individu rekaan yang yang mengalami peristiwa atau
berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
19
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Membicarakan tokoh dalam sebuah cerita rekaan erat kaitannya dengan
penokohan. Walaupun demikian, istilah tokoh dan penokohan merupakan dua hal
yang berbeda. Sudjiman (1986: 80) menjelaskan penokohan sebagai penyajian watak
tokoh dan penciptaan citra tokoh. Sejalan dengan pengertian itu, J ones (1968: 33)
yang dikutip Nurgiyantoro (2002: 165) menjabarkan penokohan sebagai pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Penokohan ditampilkan pengarang cerita dengan beberapa metode. Hudson
(1913: 192) menyebut dua metode penokohan, yaitu the direct or analytical methods
(metode langsung atau analitis) dan the indirect or dramatic methods (metode tak
langsung atau dramatik). Mengenai metode langsung atau analitis, Sudjiman (1988:
2326) menjelaskannya sebagai metode yang digunakan pengarang untuk
memaparkan ciri lahir (fisik) dan batin (watak) tokoh secara langsung. Untuk metode
yang kedua, ia menjelaskannya sebagai penyampaian tak langsung yang memerlukan
penyimpulan pembaca dari lakuan, penampilan fisik, dan gambaran lingkungan atau
tampat tokoh.
Selain metode yang disebut Hudson, Kenney (1966: 3436) menyebut dua
metode penokohan, yaitu metode diskursif dan metode kontekstual (Sudjiman, 1988:
1722). Metode diskursif merupakan metode yang sama dengan metode langsung
yang disebut Hudson, sedangkan metode kontekstual menggunakan bahasa yang
dipakai pengarang untuk menggambarkan watak tokoh.


20
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
2.3.2 Latar Fisik dan Latar Sosial
Pembahasan latar dalam penelitian ini mengacu pada pembedaan latar yang
disebut Hudson (1963: 209). Ia menyebut latar sebagai what we have called its time
and place of action (waktu dan tempat terjadinya cerita), termasuk manners (cara
bersikap), customs (adat), dan way of life (gaya hidup). Kemudian, ia membedakan
latar menjadi dua: latar fisik dan latar sosial. Sudjiman (1984: 44) menjelaskan
pembedaan latar yang dibuat Hudson itu sebagai berikut.
Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,
bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang
dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya, yaitu
bangunan, daerah, dan sebagainya.

Unsur ini dapat dikatakan sebagai unsur yang dominan dalam sebuah cerita
rekaan. Sebagai unsur dalam cerita rekaan, latar merupakan bagian dari satu keutuhan
yang tidak dapat berdiri sendiri dan harus dipahami dalam hubungannya dengan
unsur-unsur lain. Walaupun demikian, latar dapat menentukan tipe tokoh cerita dan
mengungkapkan watak tokoh (Sudjiman, 1984: 4849).

2. 3. 3 Konsep Interaksi Sosial
Sebelum ke pembahasan lebih jauh mengenai pemahaman konsep interaksi
sosial, ada baiknya diketahui definisi sosiologi dari para ahli yang disebut Soekanto
(1998: 2021) sebagai berikut. Roucek dan Warren (1962) mengemukakan bahwa
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antarmanusia dalam kelompok-
21
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
kelompok. Sejalan dengan pendapat itu, William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff
(1964) berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap
interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial. Kemudian, Selo Soemarjan dan
Soeleman Soemardi (1974) mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari
struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Dari beberapa pengertian itu, penulis memutuskan memakai pemahaman
interaksi sosial dalam penelitian ini. Pemahaman interaksi sosial itu akan membantu
penulis mewujudkan tujuan pertama penelitian ini, yakni memaparkan dampak
stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK kepada lakuan para tokohnya. Lakuan
para tokoh dalam menanggapi stereotip tentunya bersinggungan dengan interaksi
sosial.
Interaksi sosial, yang juga dapat disebut sebagai proses sosial, sendiri
dijelaskan Soekanto (1998: 66) sebagai berikut.
Proses sosial merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabila
orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan
menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa
yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang sudah ada.
Dengan perkataan lain proses sosial diartikan sebagai pengaruh
timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya,
pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan
ekonomi, ekonomi dan hukum, dan seterusnya.

Kemudian, dengan mengutip Gillin dan Gillin (1954), Soekanto (1998: 66) juga
mengatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia.
22
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Pemakaian konsep interaksi itu akan dikerucutkan pada konsep hubungan
antarsuku bangsa yang diungkapkan Suparlan (2004: 15). Menurutnya, pada
hubungan seperti itu interaksi antarindividu menggunakan suku bangsa sebagai acuan
bagi jati diri suku bangsanya, dan bersamaan dengan itu menggunakan streotip-
stereotip mengenai ciri-ciri suku bangsa.

2.4.2 Kajian Multikultural
Suparlan (2004: 123) dalam bukunya yang berjudul Hubungan Antar-
Sukubangsa menjelaskan multikulturalisme sebagai berikut.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang
menggabungkan perbedaan dalam kesederajatan (Bennet 1995, J ary
dan J ary 1991, Niero 1992, Watson 2000). Baik perbedaan
individual maupun perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme
menjadi acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan
terutama memperjuangkan kesamaan hak dan berbagai golongan
minoritas baik secara hukum maupun secara sosial. Dalam
perjuangan ini multikulturalisme merupakan acuan yang paling
dapat diterima dalam masyarakat yang demokratis karena yang
diperjuangkan oleh pendukung multikulturalisme adalah sejalan
dengan perjuangan para penganut demokrasi.

Pengertian lain tentang multikulturalisme diungkapkan oleh Lawrence Blum, yang
dikutip Lubis (2004: 123). Kutipannya sebagai berikut.
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, dan
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia mencakupi
penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan untuk
menyetujui seluruh aspek budaya tersebut, tetapi untuk melihat
bagaimana sebuah budaya asli dapat mengekspresikan nilai bagi para
anggotanya.

23
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Kedua pengertian itu memberikan gambaran bahwa multikulturalisme adalah
sebuah paham yang menentang diskriminasi, khususnya yang disebabkan oleh
perbedaan individual dan kebudayaan. Secara khusus, multikulturalisme
memperjuangkan persamaan hak bagi golongan minoritas. Sebagai paham yang
tumbuh dalam masyarakat yang multikultural, multikulturalisme menuntut
pemahaman antarkultur agar tidak terjadi benturan-benturan akibat saling tidak tahu.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, penulis menerapkan kajian
multikultural untuk menguji hipotesis bahwa kandungan cerita CBK mematahkan
stereotip yang berkembang di masyarakat tentang masyarakat Tionghoa.














24
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007






BAB 3
TOKOH DAN LATAR CBK

3.1 Pengantar
Bab ini berisi analisis unsur intrinsik tokoh dan latar CBK. Dari deskripsi
unsur intrinsik itu nantinya akan muncul deskripsi stereotip terhadap masyarakat
Tionghoa dalam CBK, yang akan ditampilkan pada bab berikutnya. Sebelum analisis
unsur intrinsik itu terlebih dahulu penulis tampilkan ringkasan cerita CBK.

3.2 Ringkasan Cerita CBK
CBK berkisah tentang seorang perempuan bernama Tinung yang hidup di
antara masyarakat Tionghoa. Ia adalah perempuan pibumi yang berprofesi sebagai ca-
bau-kan (perempuan penghibur) di Kali Jodo karena kesulitan ekonomi warga
Batavia sebagai dampak dari malaise (kesulitan ekonomi dunia setelah Perang Dunia
I) saat itu. Karena kecantikan dan keluguan parasnya, ia terkenal di kalangan laki-laki
Tionghoa yang kerap datang ke tempat itu. Bahkan, seorang tauke bernama Tan Peng
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Liang asal Gang Tamim, Bandung (selanjutnya disebut TPL Bandung) membawanya
ke Sewan, Tangerang untuk dijadikan perempuan simpanan karena tauke itu sangat
menyukainya.
Beberapa bulan kemudian Tinung meninggalkan Sewan sebab tidak betah
melihat penyiksaan yang dilakukan TPL Bandung terhadap penduduk sekitar yang
tidak mampu membayar hutang. Padahal, saat itu ia sedang mengandung anaknya. Ia
pun kembali ke Batavia.
Kemudian, karena kekurangan uang, Tinung kembali lagi ke Kali J odo. Akan
tetapi, kembalinya Tinung ke Kali J odo tidak berlangsung lama karena perahu tempat
ia bekerja terbakar. Semua itu disebabkan ulah centeng Tan Peng Liang asal Gang
Tamim, Bandung yang menyerang teman kencan Tinung di atas perahu yang
dipasangi lampion itu. Karena tidak ada pekerjaan di Kali J odo, Saodah (saudara
sepupu ibu Tinung) mengajak Tinung ke tempat seniman lagu-lagu klasik Tionghoa
yang bernama Njoo Tek Hong, yang merupakan gurunya.
Beberapa lama setelah itu ia bertemu dengan Tan Peng Liang asal Gang
Pinggir, Semarang (selanjutnya disingkat TPL Semarang). Laki-laki ini mengajaknya
tinggal di rumahnya di Gang Chaulan. TPL Semarang menjadikan Tinung lebih dari
sekadar perempuan simpanan. Ia menyayangi Tinung dan memperlakukannya dengan
baik dan penuh kasih sayang.
TPL Semarang merupakan seorang keturunan Tionghoa yang berprofesi
sebagai pengusaha candu dan tembakau di Glodok. Kehadiran dan sepak terjangnya
sebagai pengusaha ternyata menimbulkan keresahan seorang pengusaha lainnya, yaitu
26
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Thio Boen Hiap. Pengusaha itu merasa tersaingi dalam hal berbisnis tembakau. Ia
merasa ada keganjilan pada kesuksesan TPL Semarang sebab pada saat itu terjadi
kesulitan ekonomi. Akan tetapi, situasi itu tidak berpengaruh pada TPL Semarang.
Thio Boen Hiap pun menjadi bertanya-tanya perihal asal modal usaha TPL
Semarang.
Dari persaingan bisnis itu kemudian muncul konflik sosial. Ada suatu
peristiwa yang menyebabkan TPL Semarang berselisih dengan orang-orang dari
perkumpulan Tionghoa yang disebut Kong Koan atau Raad van Chinezen. Saat pesta
Cio Ko berlangsung, TPL Semarang yang hadir dengan undangan dari Kong Koan
membagi-bagikan uang kepada orang-orang bersamaan dengan pembagian makanan
sesaji yang dilakukan oleh pejabat Kong Koan. Sikap TPL Semarang itu membuat
orang-orang beralih perhatian dari pembagian makanan sesaji yang dilakukan Kong
Koan pada pembagian uang yang dilakukannya. Hal itu membuat Oey Eng Goan,
ketua Kong Koan, merasa tidak suka dan berusaha menghentikannya dengan cara
menarik lengan TPL Semarang. Cara itu membuat TPL Semarang geram dan
akhirnya menampar ketua Kong Koan itu.
Dengan posisinya sebagai ketua dan ditambah hasutan dari Thio Boen Hiap,
Oey Eng Goan membawa permusuhan dengan TPL Semarang ke dalam tubuh Kong
Koan. Satu hal yang semakin mempertajam permusuhan itu adalah status TPL
Semarang sebagai kiauw-seng atau masyarakat Tionghoa keturunan yang berbeda
dengan status pejabat-pejabat Kong Koan yang orang Hoakiau atau Tionghoa
totok/asli.
27
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Perselisihan itu terus berlangsung hingga persaingan bisnis yang terjadi sarat
akan intrik. TPL Semarang membeli tembakau hasil produksi Thio Boen Hiap
melalui penyamaran kemenakannya Tan Soen Bie. Kemudian, ia menjualnya lagi
dengan harga yang lebih murah. Ketika tahu akan penipuan itu, Thio Boen Hiap
memutuskan untuk membalasnya dengan cara menghancurkan usaha TPL Semarang.
Ia merencanakan pembakaran gudang tembakau TPL Semarang di Glodok. Hal itu
pun dibicarakannya di majelis Kong Koan. Meski tanpa dukungan pejabat-pejabat
Kong Koan yang lain, pembakaran gudang milik TPL Semarang melalui orang
suruhan Thio Boen Hiap itu akhirnya terjadi juga.
Sebenarnya TPL Semarang dapat mencegah peristiwa itu karena
kemenakannya memergoki dan menangkap orang suruhan Thio Boen Hiap ketika
akan membakar gudangnya. Namun, ia justru membiarkan hal itu terjadi untuk
menyerang Thio Boen Hiap melalui jalur hukum. Untuk tujuannya itu TPL Semarang
mendekati J . P. Verdoorn, polisi Belanda yang berwenang saat itu. Selain itu, ia juga
mendekati J aksa Adrian van der Aa dan orang-orang surat kabar Betawi Baroe. TPL
Semarang mendekati mereka dengan cara memberikan angpauw (amplop yang berisi
uang). Mereka semua didekatinya dengan maksud tertentu agar tujuannya membalas
perbuatan Thio Boen Hiap dapat tercapai.
Ketika tujuannya itu hampir tercapai, yaitu dengan ditangkap dan ditahannya
Thio Boen Hiap selama tiga bulan untuk diadili, sindikat pemalsuan uang yang
dilakukannya terbongkar. Terungkaplah hal yang selama ini menjadi pertanyaan di
benak Thio Boen Hiap tentang asal modal usaha TPL Semarang. Pengungkapan
28
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
pemalsuan uang itu dilakukan oleh Tjia Wan Sen, laki-laki yang pernah diserang
centeng TPL Bandung saat mengencani Tinung dan mengiranya sebagai perbuatan
TPL Semarang, dan wartawan Betawi Baroe yang bernama J an Max Awuy.
Selanjutnya, TPL Semarang ditangkap. Anehnya, dengan sikap berani dan
jujur ia mengakui semua perbuatannya dan meminta hakim memvonisnya dengan
hukuman yang seberat-beratnya. Ia yang saat itu dibela oleh sepupunya sendiri
(Soetardjo) pun dipenjara di Cipinang. Namun, ia hanya mampu bertahan selama
tujuh bulan di penjara itu. Ia melarikan diri dengan cara menyuap kepala penjara, lalu
kabur ke Makao melalui Singapura.
Sepeninggal TPL Semarang, Tinung tinggal di rumah Gang Chaulan bersama
dua anaknya: satu dari TPL Bandung dan satu lagi dari TPL Semarang. Tidak lama ia
tinggal di rumah itu tanpa TPL Semarang karena kemudian rumah itu disita
kejaksaan. Ia pun kembali ke rumah orang tuanya.
Kemudian, karena persediaan hartanya habis dan ditambah dengan desakan
ibu serta sepupu ibunya, Tinung kembali lagi ke Kali J odo untuk menjadi ca-bau-kan.
Ia terpaksa kembali ke tempat itu untuk menghidupi kedua anaknya. Di Kali J odo ia
bertemu lagi dengan orang-orang yang dulu pernah mengencaninya, salah seorang di
antaranya adalah Tjia Wan Sen. Bahkan, laki-laki itu mengajak Tinung untuk ikut
dan menikah dengannya.
Sekembalinya Tinung ke Kali J odo, anaknya dari TPL Bandung sakit keras. Ia
pun harus meninggalkan Kali J odo untuk mengurus anaknya. Akhirnya, anak itu
dibawa ke dokter. Di sana ia bertemu dengan Nonya Karel Willem Teeuwen.
29
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Perempuan Belanda itu dan suaminyalah yang kemudian mengadopsi kedua anak
Tinung dan membawanya ke Belanda. Meski tidak ikhlas pada pengadopsian itu, ia
membiarkan kedua anaknya dibawa ke Belanda karena desakan ibunya yang telah
menerima sejumlah uang dari pasangan suami istri Belanda itu.
Kehidupan Tinung sebagai ca-bau-kan pun terus berlanjut. Selama tiga bulan
kabar melalui surat dari Belanda terus berdatangan. Akan tetapi, karena ia buta huruf,
surat-surat itu tidak dibacanya dan hanya ditaruh di dinding gedek. Padahal, surat
yang terakhir berisi kabar kematian salah satu anaknya karena sakit.
Malang nasibnya ketika usai berkencan dengan Tjia Wan Sen, centeng-
centeng TPL Bandung mencoba membawanya ke Sewan, Tangerang. Namun, karena
perlawanan Tjia Wan Sen yang berujung pada penikaman tubuhnya, Tinung berhasil
kabur. Kemudian, Tinung terpaksa kembali lagi ke Kali J odo karena desakan ibunya.
Sekembalinya ke tempat itu, ia tertangkap oleh centeng-centeng TPL Bandung dan
dibawa ke Sewan.
Berkat usaha Tan Soen Bie, Tinung berhasil diselamatkan dari TPL Bandung
dan dibawa ke Semarang. Semua itu atas permintaan TPL Semarang melalui suratnya
dari Makao yang meminta Tan Soen Bie untuk membawa Tinung dan Giok Lan ke
Semarang. Untuk beberapa saat Tinung pun hidup dengan tenang di Semarang.
Pada tahun 1941, TPL Semarang melalui suratnya meminta Tan Soen Bie
mengumumkan dan mengatur upacara kematian untuknya di Batavia. Banyak orang
yang percaya akan kematian itu, termasuk orang-orang Kong Koan. Padahal,
30
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
sebenarnya TPL Semarang mengirimkan candu dari Makao sebagai modal usaha
keluarganya dalam peti matinya.
Setelah itu J epang datang ke Indonesia menggusur kekuasaan Belanda.
Datangnya J epang ke Indonesia membawa beberapa perubahan pada banyak orang.
Perubahan itu di antaranya adalah Soetardjo (sepupu TPL Semarang) dan Max Awuy
(reporter Betawi Baroe) menjadi tentara didikan J epang; Tinung kembali ke rumah di
Gang Chaulan bersama Tan Kim San dan Tan Kim Hok; F. D Pangemanan (pemmpin
redaksi Betawi Baroe) bekerja di lembaga propaganda J epang. Perubahan yang
terburuk terjadi pada orang-orang Kong Koan sebab J epang menganggap orang
Tionghoa memusuhi mereka. J adi, mereka pun dicurigai J epang. Tidak hanya
mereka, pada akhirnya Tinung juga mengalami nasib yang buruk. Oleh sebab hasutan
Thio Boen Hiap, ia dijadikan jugun ianfu, wanita pemuas seks para tentara J epang.
Pada saat yang sama TPL Semarang mencoba kembali ke Batavia melalui
Bangkok, Thailand. Di Bangkok ia berkenalan dengan tokoh komunis yang
menguasai penjualan dan penyelundupan senjata ke Malaya. Ia menyelundupkan
senjata ke Malaya hingga empat kali. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk
pulang karena rindu akan keluarga. Dengan berbagai rintangan dan halangan, TPL
Semarang berhasil pulang ke Batavia.
Betapa terkejutnya ia ketika kembali ke J akarta, Tinung tidak ada. Karena
kemenakan dan dua anak lelakinya tidak tahu keberadaan Tinung, TPL Semarang ke
Semarang menemui sepupunya. Di sana Soetardjo menjelaskan bahwa Tinung
dijadikan jugun ianfu oleh J epang karena hasutan Thio Boen Hiap, lalu ia
31
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
menyelamatkannya ke rumah sakit rehabilitasi mental di Sukabumi. Ia juga
menjelaskan bahwa perjuangan pergerakan Indonesia kesulitan menghadapi J epang
karena kekurangan senjata. TPL Semarang berjanji akan membantu perjuangan
pergerakan Indonesia, lalu menjemput dan membawa Tinung pulang ke Semarang.
Tindakan TPL Semarang selanjutnya adalah menyelundupkan senjata dari
Thailand ke Indonesia untuk pergerakan perjuangan Indonesia. Kehidupan mereka
pun terus berlanjut hingga datang tentara sekutu. Ia membunuh Thio Boen Hiap
dengan pistol setelah tahu bahwa orang itu menghasut Tan Soen Bie untuk
membencinya. Ia memutuskan melakukan hal itu karena sudah banyak perbuatan
jahat Thio Boen Hiap kepadanya.
Setelah Indonesia merdeka mereka hidup tenang dan damai. Pada tahun 1951,
TPL Semarang meresmikan Bank Tandagra miliknya. Banyak orang yang hadir,
termasuk orang-orang Kong Koan kecuali Thio Boen Hiap tentunya. TPL Semarang
hidup bahagia bersama Tinung dan keluarganya. Ia juga dikaruniai seorang anak laki-
laki. Akan tetapi, akhirnya ia tewas mengenaskan karena diracun. Oey Eng Goan
menjadi dalang peracunannya itu. Ia juga mencemarkan nama baik TPL Semarang
dengan cara menyuruh pembantu Thio Boen Hiap mengaku sebagai wanita
simpanannya di pemakamannya. Pengakuan itu membuat Tinung merasa terpukul
hingga jatuh sakit, lalu meninggal karena terjatuh dari tangga.



32
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.3 Tokoh
3.3.1 Tokoh Tinung
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang perempuan bernama Tinung. Ia
adalah seorang perempuan pribumi keturunan Betawi yang tinggal di Batavia. Tinung
berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan. Ia menikah pada usia muda
dengan juragan perahu yang sudah beristri empat. Latar belakangnya yang miskin dan
tidak berpendidikan membuat Tinung tidak berdaya ketika ibu mertuanya
mengusirnya dari rumah suaminya. Padahal, saat itu ia sedang mengandung.
Tinung digambarkan sebagai perempuan yang mudah dipengaruhi. Setelah
peristiwa pengusiran itu dan keguguran anaknya, ia dengan mudahnya dipengaruhi
Saodah untuk menjadi ca-bau-kan di Kali J odo. Dengan bujuk rayu Saodah dan
diperkuat oleh dukungan sang ibu, Tinung pun akhirnya memutuskan pergi ke Kali
J odo. Di Kali J odo, Tinung diberikan julukan Si Chixiang, dari bahasa Kuo-Yu yang
berarti sangat masyhur dan dicari-cari. Tinung mendapat julukan itu karena ia
masih muda dan memiliki tubuh yang indah, langsing, elok, berpadan antara dada
dan pinggul,... (hlm. 16)
Ciri Tinung yang lain di antaranya adalah lugu, berpikiran kuno, dan pemalu.
Ia adalah perempuan cantik yang lugu. Namun, justru wajah Tinung yang lugu dan
nyaris dungu di satu pihak, malah mengandung semacam undangan yang ramah
terhadap birahi dan maksiat di lain pihak. (hlm. 27) Keluguan wajahnyalah yang
menjadi salah satu alasan ia disukai banyak laki-laki di Kali J odo meskipun dalam
keadaan hamil. Selain itu, ia juga berpikiran kuno. Ketika lari dari Sewan pada
33
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
malam hari ia dibayang-bayangi oleh pikiran dan perasaan takut terhadap setan,
gendruwo, memedi, kuntilanak, sundel bolong, dan sebangsanya. Ia juga seorang
perempuan yang pemalu. Saat TPL Semarang bertanya kepadanya perihal apakah dia
mampu bernyanyi seperti Saodah, Tinung menyimpai badannya, tergelung begitu
rupa, sehingga mirip seekor hewan tertentu yang bisa menyusut. (hlm. 41) Akan
tetapi, lagi-lagi sikapnya itu justru membuat laki-laki tertarik, tidak terkecuali TPL
Semarang.
Di balik semua cirinya itu, Tinung adalah seorang perempuan setia. Ia memang
berprofesi sebagai ca-bau-kan, tetapi kesetiaannya pada TPL Semarang sangatlah
tinggi. Setelah anaknya diadopsi pasangan Belanda dan dibawa ke sana ia terpaksa
kembali ke Kali J odo. Ia memang tidur dengan banyak laki-laki. Namun, hatinya
tetap ia jaga hanya untuk TPL Semarang. Ketika ada seorang lelaki yang memintanya
untuk menikah karena mencintainya, Tinung menolak dengan tegas. Ia mengatakan
pada laki-laki itu, Tjia Wan Sen, bahwa cintanya hanya untuk TPL Semarang.
Sebagai tokoh utama, tokoh ini menghubungkan semua tokoh yang ada dalam
CBK. Melalui ketokohannya tergambar kehidupan masyarakat Tionghoa yang
muncul setelah ia menjadi ca-bau-kan.

3.3.2 Tokoh Tan Peng Liang Asal Semarang (TPL Semarang)
TPL Semarang adalah seorang pria keturunan Tionghoa dari suku Hok-kian
yang dilahirkan di Semarang. Secara singkat, tokoh ini digambarkan sebagai berikut.
34
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Dia keras, mandiri seperti harimau, suka menarik perhatian, bisa
ramah dengan keramahan yang paling palsu, tapi sewaktu-waktu
bisa juga langsung menjadi lalim dengan kelaliman yang paling
tulen hanya karena gengsinya disepelekan. Dia sulit memercayai
orang, apalagi menghormati, kecuali terhadap sepasang nama di
Semarang, yaitu Tan Tiang Tjing ayahnya, berumur 60 tahun, guru
untuk segala hal, dan Soetini ibunya, perempuan J awa dari keluarga
Raden Ngabehi Sastradiningrat asal Kartasura yang sehari-harian
menyulam menghitung jumlah terbit dan terbenamnya matahari.
(hlm. 37)

Ia digambarkan sebagai pengusaha tembakau dan candu yang sukses di Glodok.
Usahanya berkembang dengan pesat hanya dalam beberapa tahun saja. Bahkan, ia
membeli sebuah gudang gula milik pengusaha dari suku Kwung-Fu, yang tidak
disebut namanya, karena barang dagangannya terus bertambah. Mengenai pemilik
gudang yang dibeli TPL Semarang itu, dalam CBK disebut sebagai berikut.
Kata orang, pengelola usaha itu dari suku kwung-fu, suku dalam
masyarakat Tionghoa yang terbilang kecil di Hindia Belanda, dan
biasanya dikenal berusaha di bidang perabotan rumahtangga, serta
yang dianggap oleh masyarakat Tionghoa sendiri: tak berbakat untuk
berdagang pula. (hlm. 14)

Kesuksesannya itu juga dapat diketahui dari caranya berpakaian.
Dia berpakaian cara Belanda: stelan jas dan dasi sutra serta topi
laken, sementara masih banyak Tionghoa lain yang ber-tocang, yaitu
model kepang yang dikuncir dengan ikatan sutra berwarna khas,
misalnya sutra hitam untuk lelaki dewasa, sutra merah untuk remaja,
sutra putih untuk yang berkabung. (hlm. 37)

Caranya berpakaian di masa kolonial itu menunjukkan bahwa ia memiliki banyak
uang.
TPL Semarang mempunyai seorang istri bernama Nio Kat Nio dan dua orang
anak laki-laki bernama Tan Kim San dan Tan Kim Hok. Ia juga mempunyai seorang
35
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
kemenakan laki-laki bernama Tan Soen Bie, yang setia mendampingi kegiatannya
sehari-hari. Kepada kemenakannya tersebut ia membebani segala pekerjaan yang
berhubungan dengan kekerasan.
Selain kedua anaknya itu, sebenarnya TPL Semarang masih mempunyai
seorang anak perempuan bernama Tan Giok Lan. Akan tetapi, anak itu
dikorbankannya sebagai tumbal pesugihan. Sikapnya itu menunjukkan bahwa ia
percaya pada tahayul, yang banyak dipercaya orang-orang Tionghoa di J awa. (hlm.
63)
Meski pengorbanan itu atas maunya sendiri, TPL Semarang merasa
kehilangan putrinya. Apalagi ditambah istrinya tidak mampu lagi memberikan anak
perempuan karena sakit-sakitan dan lumpuh. Oleh sebab itu, ia menjadikan Tinung
sebagai istri simpanannya untuk mendapatkan anak perempuan sebagai pengganti
putrinya itu. Bahkan, ia berjanji akan memberikan rumah di Gang Chaulan kepada
Tinung bila ia dapat memberikan anak perempuan kepadanya. Sikap sayang dan
perhatiannya kepada Tinung pun bertambah ketika ia tahu Tinung hamil.
Tan Peng Liang asal Gang Pinggir, Semarang ini,
memperlakukannya dengan kelembutan yang hampir tidak masuk
akal. Semua diperhatikannya. Apa lagi setelah Tinung hamil, makin
lama makin besar perutnya. Tan Peng Liang betul-betul
mengharapkan anakanak perempuanitu selalu dikatakannya
pada Tinung. (hlm. 84)

Pada bulan ketujuh kehamilan Tinung, TPL Semarang mengajaknya ke
Semarang untuk sembahyang dan menikahinya di kuil keluarga seh Tan. Di
Semarang ia menjelaskan pada ibunya bahwa dari Tinung ia mengharapkan anak
36
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
perempuan karena istrinya sakit-sakitan dan lumpuh (hlm. 93). Di Semarang, TPL
Semarang juga bertemu dengan saudara sepupunya dari pihak ibu.
Sepupunya adalah seorang pribumi J awa yang bernama Soetardjo Rahardjo.
Ia seoang aktivis perjuangan. Dari pertemuan TPL Semarang dengan sepupunya itu
tampak sikapnya yang acuh tak acuh pada perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia. J ustru ayahnyalah yang menunjukkan ketertarikannya pada perjuangan itu.
Walaupun demikian, TPL Semarang menunjukkan simpatinya dengan cara memberi
bantuan finansial kepada organisasi sepupunya itu. Bahkan, di kemudian hari ia
membantu menyelundupkan senjata dari Thailand untuk membantu pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Hal itu dilakukannya sebagai bagian dari perasaan
nasionalisnya, sebagai bagian dari pribumi karena lahir dari seorang perempuan
pribumi.
Karena lahir dari ibu seorang pribumi, TPL Semarang disebut Kiau-Seng
(Tionghoa Peranakan); berbeda dengan orang-orang yang disebut Hoa-Kiau
(Tionghoa Totok). Kedua istilah itu dalam CBK dijelaskan sebagai berikut.
Istilah kiau-seng dimaksudkan untuk menyebut orang-orang
Tionghoa bukan asli, yang oleh lamanya tinggal di Hindia Belanda,
dianggap kurang beradat, dan tidak menguasai bahasa resmi Kuo-Yu
kecuali bahasa lokal. Itu berbeda dengan hoa-kiau, yaitu golongan
perantauan yang merasa dirinya masih murni, yang menganggap
tinggal di Hindia Belanda hanya sementara saja sekadar mencari
kekayaan lalu nanti pulang kembali ke tanah leluhur, Tiongkok.
(hlm. 3940)

Sebagai kiau-seng, ia memiliki masalah kebahasaan dalam bersosialisasi dengan
hoakiau, yakni tidak fasih bercakap bahasa resmi Kuo-Yu. Bahasa yang dipakainya
37
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
sehari-hari adalah bahasa khas kiau-seng J awa asal Semarang, campur-aduk antara
bahasa Melayu, J awa, dan Hok-Kian.
1

J ika ia berkata dia, yang diucapkannya adalah diak-e; kata di
mana menjadi ada mana atau dan mana;ambilkan jadi
ambik-ke; tidak dapat jadi ndak isa; lihat jadi liak;
cantik jadi ciamik; sial jadi cialat; dan seterusnya. (hlm.
65)

Selanjutnya, status Kiau-Seng itu membuatnya terpisah dari orang-orang Hoa-
Kiau. Status itu pula yang menyebabkannya dipandang rendah orang-orang Kong
Koan, majelis khusus Thionghoa yang mengurus masyarakat Thionghoa di Hindia-
Belanda. Sikap orang-orang Kong Koan yang menganggap rendah dirinya itu
kemudian menjadi alasannya untuk memusuhi mereka. Hal ini dikatakannya kepada
Tan Soen Bie sewaktu berada di rumah Pondok Bambu.
Tapi ingat juga, musuhmu ada di dua arah. Di kiri adalah, tetap,
musuh keluarga kita. Kita ini satu keluarga. Kakekmu ditahan sebab
dia menyokong saudaramu yang pribumi itu. Dan sebab kakekmu
ditahan, maka nenekmu terguncang setengah mati. Musuhmu yang
satu lagi, di kanan, adalah orang-orang Kong Koan, yang mengira
mereka lebih penting daripada kita. Mereka ajak kita berperang. Dan
kita tidak menolak. Mengerti? (hlm. 103)

Dari perkataan TPL Semarang itu juga tampak sikap dan alasannya memusuhi
Belanda. Untuk itu, ia mencetak uang palsu. Dengan membuat uang palsu, ia
menganggap dapat menyerang musuh-musuhnya.
Uang palsu itu kemudian dipakai untuk transaksi pembelian tembakau Thio
Boen Hiap melalui penyamaran Tan Soen Bie. Dengan begitu, uang palsu itu akan


1
Harimurti Kridalaksana (1991: 176) menyebut ciri-ciri bahasa J awa yang dipergunakan oleh
masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang itu: tidak ada kata-kata krama dan banyak terdapat
kata-kata Melayu.
38
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
masuk ke NV Bankvereeniging Oey Eng Goan. Masuknya uang itu ke bank milik
Oey Eng Goan tersebut secara tidak langsung merugikan pihak Belanda, yang juga
berarti penyerangan kepada musuh-musuh TPL Semarang itu. Mengenai penyerangan
tersebut, kepada sepupunya ia pernah mengatakan bahwa serangan secara fisik
kepada pihak Belanda sangatlah sulit. Untuk itu, ia melakukan penyerangan secara
halus untuk menghancurkan perekonomian Belanda. Maksud itu ia ungkapkan
sewaktu ia berada di penjara Cipinang. Kutipannya sebagai berikut.
Untuk melawan dan mengucar-kacirkan Belanda, bukan
dengan bedil, sebab bedil selalu kalah. Coba saja sampeyan ingat
perang dengan bedil yang pernah terjadi di sini, mulai dari
Pattimura, Hasanuddin, Diponegoro, sampai Cut Nyak Dien,
semuanya dikalahkan hanya oleh muslihat tipu. Ya toh? La
sekarang, sebab bedil kalah, ya, kita perlu pakai perang dengan
senjata ekonomi, uang. (hlm. 212)

Penyerangan kepada kedua pihak yang menjadi musuhnya itu juga dilakukan
dalam bentuk lain, khususnya kepada orang-orang Kong Koan yang menjadi musuh
utamanya: Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap. Kepada Oey Eng Goan, ia pernah
mempermalukan ketua Kong Koan itu dalam lelang lukisan-lukisan seniman Belanda
dengan cara memberikan penawaran harga yang lebih tinggi dari penawaran-
penawarannya. Secara otomatis, tindakan TPL Semarang itu mempermalukan sang
ketua Kong Koan di depan khalayak umum. Sebagai pemilik bank, tentunya Oey Eng
Goan terusik harga dirinya karena penawaran yang diajukannya selalu kalah dengan
penawaran dari orang yang dianggapnya berstatus lebih rendah.
Kemudian, kepada Thio Boen Hiap, ia menyerangnya melalui jalur hukum. Ia
mengarahkan polisi dan jaksa untuk berpikir bahwa orang yang membakar gudang
39
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
tembakaunya adalah Thio Boen Hiap. Ia kemukakan beberapa bukti yang
menguatkan arahannya itu, yaitu penggantian gembok-gembok gudang Thio Boen
Hiap dan pemberitahuan nama orang suruhan Thio Boen Hiap untuk membakar
gudangnya.
Untuk menyerang Thio Boen Hiap, ia melakukan beberapa tindakan yang
menunjukkan kelihaiannya berstrategi. Ia memberikan amplop yang berisi sejumlah
uang kepada orang-orang yang dapat mendukung penyerangannya itu, yaitu polisi
Belanda bernama Verdoorn, jaksa Adrian van der Aa, dan orang-orang harian Betawi
Baroe. Pemberian amplop itu, yang dalam masyarakat Tionghoa disebut ang-pau,
menurutnya adalah sebagai bagian dari tradisi masyarakatnya. Ketika menyerahkan
amplop kepada Verdoorn, ia berkata sebagai berikut.
Bingkisan ini kami sebut ang-pau. Ini kewajiban dalam
kepercayaan yang harus dilaksanakan oleh orang-orang Tionghoa.
Kalau Tuan tidak menerima, Tuan menyakiti hati kami. (hlm. 152)

Dari sekian banyak sikap TPL Semarang terhadap musuh-musuhnya itu, ada
satu sikap yang menonjol berkaitan dengan keluarga dalam kehidupannya. Sikap itu
adalah sikap mengutamakan kepentingan, ketenangan, dan kebahagiaan keluarga.
Keluarga, adalah selalu, idaman ideal dalam hidupnya. Ini juga
adalah suatu hal yang istimewa dalam hidupnya, bahwa segalanya
boleh puntang-cerenang, tapi keluarga, dan arti ana-anak di
dalamnya, mestilah terus terpelihara dengan baik. (hlm. 275)

Sewaktu berbisnis menyelundupkan senjata dari Thailand ke Malaya, ia
menunjukkan sikap itu dengan kembali ke Indonesia karena rindu pada keluarganya.
Sewaktu akan membantu menyelundupkan senjata untuk perjuangan pergerakan
40
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
kemerdekaan Indonesia ia mengatakan bahwa ia ingin selalu hidup tenang bersama
keluarga.
Yang penting, kalau Indonesia nanti berdaulat, dan kamu semua
punya kedudukan dalam pemerintahan, jangan lupa pada saya. Saya
ingin hidup tenang, tanpa dek-dekan, bersama keluarga. (hlm. 362)


3.3.3 Tokoh Tan Peng Liang Asal Bandung (TPL Bandung)
Tokoh ini memiliki nama yang sama dengan tokoh TPL Semarang. Hanya
saja, ia berasal dari daerah yang berbeda, yaitu Gang Tamim, Bandung. Orang ini
termasuk cukong, tapi bukan dari kelas penimbun kekayaan. Makanya dia tidak
dikenal oleh pejabat-pejabat Kong Koan atau Raad van Chinezen. (hlm. 17)
Sebagaimana TPL Semarang yang menggunakan bahasa yang campur-aduk
antara bahasa Melayu, J awa, dan Hok-Kian; bahasa yang dipakainya adalah bahasa
campu-aduk antara bahasa Melayu, Sunda, dan Hok-Kian. Perbedaan bahasa itu
terjadi karena perbedaan asal mereka. Sebagai kiau-seng, mereka memang
terpengaruh oleh unsur lokal tempat mereka tinggal, termasuk bahasa mereka.
Pekerjaannya yang utama adalah mengelola kebun pisang. Di samping itu, ia
menjadi rentenir (pembunga uang) bagi orang-orang miskin di sekitarnya. Namun,
justru dari usaha membungakan uang itu ia memperoleh banyak uang. Bahkan, ia
sering menunjukkan sikap lalim dan kejam. Bila ada orang yang yang terlambat atau
tidak bisa membayar utang padanya, ia tidak segan-segan menyiksa orang itu dengan
bantuan centeng-centengnya.
41
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Ia digambarkan sebagai orang yang cepat hangat terhadap asmara birahi
sekaligus cepat dingin terhadap kekerasan. (hlm. 24) Ia sangat menyukai Tinung
sebagai pemuas kebutuhan birahinya, karena itu ia membawa Tinung ke Sewan,
Tangerang. Akan tetapi, ketika tahu bahwa Tinung mencoba lari dari rumahnya
setelah menyaksikan pembunuhan yang dilakukan centengnya, ia memerintahkan
agar Tinung ditangkap. Bahkan, setelah Tinung berhasil kabur, ia menyuruh centeng-
centengnya untuk membunuh Tinung. Padahal, ia tahu saat itu Tinung sedang
mengandung anaknya.

3.3.4 Saodah
Saodah adalah sepupu dari Mpok J ene, ibu Tinung. Tokoh ini berperan
penting dalam proses Tinung menjadi ca-bau-kan di Kali J odo dan pertemuannya
dengan TPL Semarang. Melalui Saodah, Tinung masuk ke dunia pelacuran di Kali
J odo.
Saat kehidupan Tinung menjadi semakin sulit setelah diusir oleh ibu
mertuanya dan keguguran anaknya, Saodah datang ke rumah ibunya. Ia menceritakan
pekerjaan ca-bau-kan kepada Mpok J ene. Kemudian, karena latar ekonomi yang sulit
dan pikiran yang dangkal, Mpok J ene mendorong Tinung untuk menjadi ca-bau-kan.
Menurut Mpok J ene, Tinung lebih baik menjadi ca-bau-kan daripada mengurung diri
di rumah.
Mengetahui ketertarikan sepupunya, Saodah turut serta mendorong Tinung
menjadi ca-bau-kan seperti dirinya. Ia dengan penuh keyakinan membujuk Tinung
42
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
untuk ikut dengannya ke Kali J odo. Ia meyakinkan Tinung bahwa pekerjaan ca-bau-
kan di Kali J odo tidak sulit dan mengiming-imingi uang dan harta yang akan
diperolehnya. Perkataan Saodah untuk meyakinkan Tinung sebagai berikut.
Lu sih mude, Nung, kata Saodah. Pasti banyak nyang
naksir. Kalo pas lu dapet cukong, lu tinggal buka baju, lu antepin
dienye nikmatin badan lu, duit bisa segepok. Kalo cukong entu
nagih, bisa-bisa lu dipiarekayak si Atimdijadiin ca-bau-kan.
Punye rume, perabotan, gelang-kalung mas. (hlm. 14)

Sebenarnya, pekerjaan Saodah yang utama bukanlah ca-bau-kan, tetapi
penyanyi dan penari cokek. Kemampuannya yang paling menonjol adalah menyanyi
lagu-lagu klasik Tiongkok sambil menari cokek, yang membuatnya dijuluki Si
Mingyanren yang berarti orang yang perasaannya halus di Kali J odo. Ia tergabung
dalam kelompok gambang kromong khusus lagu-lagu Tiongkok. Namun, sebagai
akibat zaman Malaise, kelompok gambang kromongnya jarang dipanggil untuk pesta-
pesta atau perayaan masyarakat Tionghoa. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Saodah pun memilih menjadi ca-bau-kan di Kali J odo.
Kemampuannya menyanyi dan menari cokek didapatnya dari belajar kepada
Njoo Tek Hong, pimpinan kelompok gambang kromongnya. Dari laki-laki itu ia
memperoleh pekerjaan menyanyi lagu-lagu klasik dan menari cokek di pesta-pesta
atau perayaan khusus masyarakat Tionghoa. Kepada laki-laki itu pula kemudian hari
ia membawa Tinung untuk belajar menyanyi lagu-lagu klasik dan menari cokek, yang
sarat dengan gerakan-gerakan sensual.
Keputusan Saodah itulah yang kemudian membuat Tinung bertemu dengan
TPL Semarang di pesta Cio-Ko dan Peh Cun, saat ia menyanyi dan menari cokek.
43
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
J adi, Saodahlah yang secara tidak langsung mempertemukan mereka. Dari hal itu
kemudian tampak peranan Saodah dalam hidup Tinung.
Semua yang dilakukan Saodah kepada Tinung semata-mata bukan hanya
untuk membantu, tetapi karena ada pamrih. Ia sebenarnya berperan seperti mucikari
untuk Tinung, misalnya saja ketika Tinung akan dibawa TPL Bandung ke Sewan dan
ketika Tinung diminta TPL Semarang menginap di rumah Gang Cahaulan. Ketika
Tinung akan dibawa ke Sewan, Saodah yang bernegoisasi dengan TPL Bandung.
Begitupun ketika Tinung diminta menginap di rumah Gang Chaulan, sebelum pulang
Saodah menerima sejumlah uang dari TPL Semarang.

3.3.5 Tan Soen Bie
Kemenakan TPL Semarang ini merupakan seorang pria yang berperangai
kasar dan dekat dengan kekerasan. Sejak berusia 11 tahun ia kerap terlibat dalam
perkelahian di sekitar tempat tinggalnya di Semarang. Karena sering berkelahi, setiap
ada di perkelahian di jalan orang-orang akan langsung menyebut namanya. Oleh
sebab sikapnya itu, orang-orang menjulukinya sebagai dhao, bahasa khas Semarang
yang berarti jagoan tanggung. Ia juga pernah dipenjara oleh Belanda karena
membunuh dua orang dalam perkelahian saat usianya masih 15 tahun.
Di balik perangainya yang kasar itu, Tan Soen Bie sangat menurut pada TPL
Semarang dan Tan Tiang Tjing. Ia menurut pada TPL Semarang sebab sosok laki-laki
adalah pengganti figur ayahnya yang tewas tercebur sungai saat mabuk ciu (minuman
keras). Karena TPL Semarang adalah adik kandung ayahnya, sejak ayahnya tewas
44
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
TPL Semarang pun berperan menjadi ayah angkatnya. Kepada Tan Tiang Tjing, ia
menurut karena kakeknya inilah yang mengajarkan ilmu bela diri kuntau.
Kehadiran Tan Soen Bie dalam kehidupan TPL Semarang sangatlah penting.
Segala urusan TPL Semarang yang berhubungan dengan kekerasan dapat
ditanganinya. Misalnya saja, saat orang suruhan Thio Boen Hiap akan membakar
gudang pamannya di Glodok, Tan Soen Bie berhasil menangkap salah seorang dari
dua pelakunya. Selain itu, karena kesal pada orang-orang harian Betawie Baroe, ia
memukuli J an Max Awuy sebagai peringatan dari TPL Semarang. Tan Soen Bie juga
setia dan patuh pada TPL Semarang. Selama TPL Semarang melarikan diri ke
Makao, dialah yang menjaga Tinung dan kedua anak TPL Semarang. Tidak hanya itu,
ia menemani TPL Semarang sampai pamannya itu akhirnya tewas.

3.3.6 Tan Kim San dan Tan Kim Hok
Tan Kim San dan Tan Kim Hok adalah anak TPL Semarang dari Nio Kat Nio.
Mereka digambarkan sebagai anak yang membenci ayahnya karena ayahnya
memelihara ca-bau-kan. Di beberapa bagian cerita, mereka terus membenci Tinung
karena dianggap telah merebut perhatian ayah mereka dari ibunya. Pada masa
kedatangan J epang misalnya, mereka secara tidak langsung mendukung tindakan
J epang mengambil Tinung dari rumah Gang Chaulan. Padahal, seharusnya mereka
turut menjaga Tinung selama ayahnya melarikan diri ke Makao. Selebihnya, fungsi
ketokohan mereka tidak berpengaruh banyak pada cerita.

45
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.3.7 Tan Tiang Tjing (Ayah TPL Semarang)
Dalam CBK tidak dijelaskan statusnya sebagai Hoa-Kiau atau Kiau-Seng.
Akan tetapi, dari tidak adanya hubungan dengan orang-orang Kong Koan, yang
beranggotakan orang-orang Hoa-Kiau, maka dapat diasumsikan bahwa ia adalah
seorang Kiau-Seng. Selain itu, ia juga digambarkan tidak memiliki ciri-ciri dan
pandangan seperti orang-orang Hoa-Kiau.
Sebagai seorang ayah, ia digambarkan memiliki kepedulian yang tinggi pada
anaknya. Ia mengajarkan TPL Semarang untuk dapat hidup mandiri tanpa bergantung
pada orang lain. Ia juga digambarkan sebagai orang yang bijak dan berpikiran
terbuka. Keterbukaan itu tampak pada sikapnya terhadap perjuangan Soetardjo
kemenakan isterinya. Ia menerima sikap Soetardjo sebagai sesuatu yang mulia. Ia
juga disebut pernah memberikan bantuan finansial pada perjuangan Soetardjo.
Bahkan, kemudian ia bergabung dengan Soetardjo berjuang bersama melawan
penduduk J epang secara kooperatif.

3.3.8 Soetini (Ibu TPL Semarang)
Soetini adalah ibu kandung TPL Semarang. Ia adalah perempuan J awa dari
keluarga Raden Ngabehi Sastradiningarat yang barasal dari Kartasura. Sebagai
seorang ibu, ia bersikap terbuka pada TPL Semarang dan Tinung. Kehadiran Tinung
dalam keluarga besarnya disikapi dengan sikap itu. Saat anaknya menjelaskan
padanya bahwa kehadiran Tinung sangatlah penting untuk mendapat anak
perempuan, ia menasihati agar anaknya itu tidak menyakiti hati istrinya, Nio Kat Nio.
46
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Soetini juga dengan bijak menasihati Tinung perihal perkawinan antara orang
pribumi dan orang Tionghoa. Nasihat-nasihat itu di antaranya adalah sebagai berikut.
Kawin sama Tionghoa itu tidak gampang lo, Nduk. Orang
Tionghoa itu menganggap dirinya lebih tua dari orang J awa. Orang
J awa itu dianggap saudara mudanya orang Tionghoa. Makanya,
terhadap saudara tua, yang saudara muda diharapkan kewajibannya
untuk hormat dan manut. Ngerti kamu?

Yang lebih tidak gampang lagi, Nduk, kamu tidak akan
mungkin dihormati sebagai perempuan, kalau kamu belum bisa
membuktikan jadi ibu yang melahirkan anak suamimu. (hlm. 94)

Nasihat-nasihat itu kelak membuat Tinung selalu teringat akan kebaikannya. Oleh
sebab itu juga kematiannya membawa kesedihan yang mendalam tidak hanya bagi
TPL Semarang, tapi juga bagi Tinung.

3.3.9 Soetardjo Rahardo
Soetardjo Rahardjo adalah pria J awa yang memiliki hubungan darah dari
pihak ibu dengan TPL Semarang. Sebagai saudara sepupu, ia sangat dihormati TPL
Semarang karena posisinya yang lebih tua dalam keluarga. Hal itu disebabkan ibu
Soetardjo adalah kakak kandung dari ibu TPL Semarang.
Ia diceritakan sebagai aktivis pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia
yang pernah tercatat sebagai anggota PNI (Partai Nasionalis Indonesia) sebelum
dibubarkan. Ia banyak mendapat bantuan dari keluarga TPL Semarang, salah satunya
bantuan finansial untuk pergerakan perjuangan kemerdekaan. Hal itu menunjukkan
kedekatan mereka tidak sebatas keluarga, tapi juga tujuan. Bahkan, untuk tujuan itu
ayah TPL Semarang harus mendekam di penjara Belanda karena membantu dana
47
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
perjuangan kemerdekaan. Bantuan yang paling besar diberikan TPL Semarang dalam
bentuk penyelundupan senajata dari Thailand untuk pergerakan itu. Sebaliknya,
Soetardjo juga banyak membantu keluarga TPL Semarang. Sewaktu Tinung ditahan
J epang sebagai jugun ianfu, ia segera mencari dan membebaskannya. Kemudian, ia
membawanya ke rumah sakit rehabilitasi mental di Sukabumi.

3.3.10 Jan Max Awuy
Ada beberapa orang tokoh yang merupakan bagian dari Betawi Baroe, sebuah
harian yang sering disebut dalam cerita ini. Mereka itu adalah F. D. Pangemanan, J an
Max Awuy, dan Ismail Latief Wartabone. Tiga orang inilah yang diundang TPL
Semarang untuk makan malam dan diberi amlop berisi uang sebagai bagian dari
rencananya mendekati pers. Namun, dari tiga orang itu, J an Max Awuy yang paling
sering dimunculkan.
Tokoh Max Awuy sering dimunculkan pada beberapa peristiwa dalam cerita
CBK sebagai reporter yang mengangkat pristiwa-peristiwa itu. Beberapa peristiwa
yang ditulis Max Awuy dalam Betawi Baroe merupakan peristiwa-peristiwa yang
penting dalam penceritaan. Peristiwa-peristiwa itu di antaranya penamparan Oey Eng
Goan pada pesta Cio-Ko, kemenangan TPL Semarang dari Oey Eng Goan dalam
lelang, dan terbakarnya gudang tembakau TPL Semarang. Selain peristiwa itu, Max
Awuy juga menulis berita kematian centeng TPL Bandung, kerusuhan pada pesta Peh
Cun, proses peradilan Thio Boen Hiap, dan juga proses peradilan dan penangkapan
TPL Semarang.
48
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Pada beberapa bagian cerita ia diposisikan sebagai tokoh yang berseberangan
dengan TPL Semarang. Namun, pada bagian selanjutnya, setelah ia tidak lagi menjadi
wartawan Betawi Baroe, ia justru menjadi orang yang sejalan dengan TPL Semarang.
Perubahan itu terjadi saat ia menjadi tentara pejuang kemerdekaan. Melalui
Soetardjo, yang merupakan rekan seperjuangannya, ia dipertemukan dengan TPL
Semarang untuk membantunya memperoleh pasokan senjata selundupan dari
Thailand. Bantuan TPL Semarang itulah yang mengubah pandangannya terhadap
TPL Semarang, yang semula berupa pandangan buruk menjadi pandangan baik.

3.3.11 Jeng Tut
J eng Tut adalah seorang pemasok senjata untuk tentara komunis di Malaka
yang menghalau gerakan J epang. Tokoh ini dimunculkan di Thailand ketika TPL
Semarang hendak kembali ke Indonesia dari Makao melalui negara itu. Tokoh inilah
yang menawarkan bisnis penyelundupan senjata kepada TPL Semarang, yang
sekaligus dapat menjadi jalan pulang baginya.
Berawal dari bisnis penyelundupan senjata itu, hubungannya dengan TPL
Semarang terus berlanjut. Ketika TPL Semarang ingin membantu perjuangan
sepupunya yang seorang pejuang kemerdekaan, J eng Tut adalah orang yang pertama
diingatnya. Tidak hanya sampai di situ, J eng Tut juga muncul pada kehidupan TPL
Semarang pascakemerdekaan Indonesia. Namun, kemunculannya kali itu tidak
berhubungan dengan bisnis senjata. TPL Semarang hanya tahu bahwa
kemunculannya saat itu adalah untuk menawarkan bisnis agrikultur padanya. Padahal,
49
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
ia datang menemui TPL Semarang sebagai rangkaian rencana Oey Eng Goan untuk
membunuhnya dengan cara menaruh racun pada contoh durian yang akan
dibisniskannya.
Kemunculan tokoh J eng Tut saat itu merupakan peran pentingnya dalam cerita.
Dari kemunculannya itu dapatlah diketahui bahwa ia dimunculkan untuk mengakhiri
riwayat TPL Semarang. Semua itu terjadi karena Oey Eng Goan bersekutu
dengannya, karena setelah Indonesia merdeka Oey Eng Goan menganut komunisme
seperti dirinya.

3.3.12 Tjia Wan Sen
Tokoh Tjia Wan Sen adalah salah seorang pria yang kerap menyambangi
Tinung di Kali J odo. Bahkan, ia sampai jatuh hati pada Tinung dan pernah
melamarnya. Ia merupakan pria Thionghoa, tidak disebut Hoa-Kiau atau Kiau-Seng,
dari suku Shan-Tung. Ia digambarkan sebagai seorang pedagang kelontong yang
mahir bela diri. Pekerjaannya itu dalam CBK dijabarkan sebagai berikut.
Pedagang-pedagang kelontong Shan-Tung, sejak awal memasuki
Indonesia, telah dikenal kalangan Tionghoa sendiri sebagai
pendekar-pendekar ampuh yang memiliki corak silat tersendiri,
bukan Shao-Lin, tapi Shan-Tung. Dengan itu mereka biasa masuk-
keluar kampung, sampai ke tempat-tempat rawan antara hutan
dengan hutan, dengan membawa kereta dagangan berisi segala
macam keperluan, dilengkapi dengan sebuah alat musik sejenis
bonang, terbuat dari penconnya, yang ditabuhkan dan dianggap
suaranya berbunyi klontong-klontong. (Karuan dari bunyi itu
pulalah pendekar-pendekar Shan-Tung ini lantas disebut pedagang
kelontong). (hlm. 29)

50
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Suatu waktu, ketika sedang mengencani Tinung, ia diserang centeng.
Perkelahian pun terjadi di antara mereka. Meski berhasil mengalahkan centeng itu,
Tjia Wan Sen mengira bahwa centeng yang menyerangnya itu adalah orang suruhan
TPL Semarang. Padahal, centeng itu adalah orang suruhan TPL Bandung.
Oleh sebab itu, ketika mendengar kabar bahwa Max Awuy dipukuli oleh
seseorang, ia menawarkan bantuan untuk menyelidiki hal itu. Ia menaruh curiga
bahwa orang yang memukuli Max Awuy adalah orang suruhan TPL Semarang,
karena Max Awuy sering menulis berita tentangnya. Kemudian, ia menawarkan
bantuan untuk menemani Max Awuy menyelidiki TPL Semarang karena didorong
oleh rasa dendam dari perbuatan centeng TPL Bandung. Penyelidikan yang mereka
lakukan itu berujung pada terbongkarnya sindikat pembuatan uang palsu yang
dilakukan TPL Semarang.
Kekeliruan sangka Tjia Wan Sen terhadap TPL Semarang terungkap setelah ia
diserang oleh centeng TPL Bandung yang lain saat mengencani Tinung di Kali J odo.
Ia menyadari hal itu karena pada saat itu TPL Semarang telah melarikan diri dari
penjara Cipinang. Setelah ia tahu akan hal itu dan pulih dari luka-lukanya, ia
membalaskan dendamnya dengan membunuh TPL Bandunng.

3.3.13 Oey Eng Goan
Oey Eng Goan adalah seorang pachter (penyewa perkebunan) merangkap
bankir pemilik NV Bankvereeniging Oey Eng Goan. Dalam Kong Koan ia menjabat
sebagai mayor. J abatannya pada majelis khusus Tionghoa yang disebut Kong Koan
51
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
atau Raad van Chinezen, yang merupakan bentukan Belanda, itu merupakan jabatan
tertinggi atau ketua.
Oey Eng Goan digambarkan sebagai orang yang sinis dan pendendam.
Sifatnya itu tampak ketika menghadapi sikap TPL Semarang pada waktu pesta Cio
Ko. Saat itu TPL Semarang membagi-bagikan uang kepada orang-orang ketika ia dan
anggota Kong Koan yang lain membagi-bagikan makanan sesaji. Karena merasa
perhatian masyarakat beralih darinya ke TPL Semarang, maka ia pun merasa sinis.
Ditambah lagi, sikap TPL Semarang pada waktu membagi-bagikan uangnya dengan
cara menaruh di ketiak lalu seperti meludahinya terlebih dahulu dianggapnya sebagai
tindakan tidak menghargai uang. Padahal, sebagai seorang bankir, uang sangatlah
berharga untuknya.
Kemudian, pada saat itu juga muncul sikap Oey Eng Goan yang menganggap
rendah orang dari golongan yang berbeda dengannya. TPL Semarang yang Kiau-
Seng dianggap lebih rendah darinya yang berdarah Hoa-Kiau. Sewaktu Thio Boen
Hiap berkata padanya bahwa TPL Semarang adalah seorang Kiau-Seng dari
Semarang, wajahnya berubah agak nyinyir (hlm. 39).
Rasa dendamnya pada TPL Semarang terus ada selama bertahun-tahun. Thio
Boen Hiap yang terbukti bersalah karena menjadi dalang pembakaran gudang TPL
Semarang pun dibelanya. Padahal, sebelumnya ia telah melarang rencana pembakaran
gudang TPL Semarang yang disampaikan Thio Boen Hiap dalam rapat Kong Koan.
Ketika Indonesia telah terlepas dari penjajahan Belanda dan J epang, dendam
itu pun masih ada dalam hati Oey Eng Goan. Ia bersama anggota Kong Koan yang
52
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
lain, kecuali Thio Boen Hiap yang telah dibunuh TPL Semarang, menghadiri upacara
pembukaan bank milik TPL Semarang dengan sikap iri. Meski Kong Koan sudah
tidak ada lagi, ia masih merasa golongannya lebih baik dari TPL Semarang. Saat
Soetardjo Rahardjo berpidato dan memberikan pujian pada TPL Semarang karena
telah membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia berbisik pada Kwee Tjwie
Sien bahwa itu hanyalah famili sistem. Ia menganggap bahwa Soetardjo melakukan
itu karena TPL Semarang masih saudara dengannya.
Dendam itu tidak pernah hilang dalam hati Oey Eng Goan. Bahkan, ia tega
membunuh TPL Semarang dengan bantuan J eng Tut dengan cara memberi racun
pada durian yang diberikan untuk TPL Semarang sebagai contoh untuk usaha
perkebunun durian di Bangkok, Thailand. Dendam itu terus ada meskipun ia telah
membunuh TPL Semarang. Ia menyuruh pembantu Thio Boen Hiap untuk mengaku
sebagai wanita simpanan TPL Semarang di pemakamannya. Peristiwa itu secara tidak
langsung juga membunuh Tinung. Setelah peristiwa itu Tinung tidak mau makan
hingga jatuh sakit lalu meninggal karena terjatuh dari tangga.
Oey Eng Goan, yang menganut paham komunis setelah Indonesia merdeka,
selalu membawa dendam itu seumur hidupnya. Ia hidup menderita oleh sebab
dendam itu. Ia menjalani kehidupannya hingga menjadi tua dan renta di panti jompo,
dan menyaksikan satu persatu orang di sekelilingnya telah tiada. Ia pun merasa
sendirian dan susah menjalani hidup hingga setua itu. Pernyataannya itu terungkap
melalui percakapannya dengan Giok Lan, anak TPL Semarang yang dibawa ke
Belanda dan kembali ke Indonesia pada awal abad ke-21. Saat itu Giok Lan
53
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
menemuinya di sebuah panti wreda di Karawaci dalam rangka mencari keterangan
tentang ayah-ibunya.

3.3.14 Thio Boen Hiap
Thio Boen Hiap merupakan anggota majelis Kong Koan yang juga seorang
pachter dan pengusaha tembakau. Ia memiliki gudang di Glodok. Ia hidup hanya
berdua dengan istrinya karena tidak memiliki anak.
Awal mula keresahan Thio Boen Hiap pada TPL Semarang adalah pendirian
gudang tembakau TPL Semarang di sebelah gudangnya. Ia merasakan hal itu sebagai
sebuah penghinaan karena telah merebut para pelanggannya. Ia merasa tersaingi
dengan bisnis tembakau dan candu TPL Semarang yang maju pesat hanya dalam
beberapa tahun saja. Padahal, TPL Semarang bukan seorang pachter (penyewa
perkebunan pada masa kolonial). Ia juga merasa ganjil pada modal usaha TPL
Semarang, karena saat itu terjadi kesulitan ekonomi setelah Perang Dunia I yang
disebut zaman Malaise.
Sebagai pengusaha, Thio Boen Hiap digambarkan memiliki naluri bisnis yang
tinggi, misalnya saja kecurigaannya pada keberhasilan usaha TPL Semarang. Naluri
bisnisnya itu juga dilengkapi dengan sikap bersaing yang tinggi, yang cenderung pada
usaha untuk menghancurkan. Sikapnya itu tampak dari usahanya dalam rapat Kong
Koan agar majelis itu membantunya mengempeskan (baca: menghancurkan) TPL
Semarang. Sikapnya itu muncul terutama sekali setelah ia tahu bahwa TPL Semarang
54
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
mengelabuinya dengan cara membeli tembakaunya melalui penyamaran Tan Soen
Bie lalu menjualnya dengan harga murah.
Ia juga merupakan seorang yang licik. Salah satu usahanya untuk
menghancurkan TPL Semarang adalah menyuruh orang suruhan membakar gudang
TPL Semarang. Akan tetapi, di balik semua sikapnya itu, ia bukan orang yang tegar
menghadapi masalah. Buktinya, ketika dicecar dengan pertanyaan oleh jaksa penuntut
dalam sidang pembakaran gudang TPL Semarang ia jatuh pingsan.
Selain itu, Thio Boen Hiap juga hanya mementingkan diri sendiri dan
golongannya saja. Sikapnya itu terlihat sewaktu ia beserta ketua dan anggota majelis
Kong Koan lainnya ditangkap J epang. Penangkapan itu terjadi karena adanya suatu
komando strategi defensif yang menghalau J epang di Asia Tenggara yang disebut
ABCD (American-British-Chinese-Dutch). Adanya komando strategi defensif itu
membuat orang-orang Tionghoa di Hindia-Belanda dianggap J epang sebagai bagian
dari komando itu (hlm. 279). Selanjutnya, ia menawarkan Tinung ke pihak J epang
untuk perayaan ulang tahun Tenno Heika dan agar mereka dibebaskan. Dengan akal
bulusnya itu, ia mengatakan pada pihak J epang bahwa Tinung merupakan penyanyi
dan penari cokek yang dapat dinikmati tubuhnya.
Kelicikannya semakin terlihat sewaktu tentara sekutu datang ke Indonesia. Ia
memanfaatkan mereka untuk menangkap TPL Semarang, karena dalam rombongan
tentara itu ada J . P. Verdoorn yang pernah menangani kasus TPL Semarang. Ia juga
menganjurkan Verdoorn untuk menghasut Tan Soen Bie agar membenci TPL
Semarang. Ia meminta Verdoorn untuk membohongi Tan Soen Bie dengan
55
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
mengatakan bahwa ayahnya tewas karena dibunuh TPL Semarang. Kebohongan itu
dijelaskannya pada Verdoorn dengan menjelaskan pandangan tentang kesulungan
seorang anak dalam masyarakat Tionghoa. Secara lebih jelas, perkataan Thio Boen
Hiap kepada Verdoorn itu adalah sebagai berikut.
Begini, Tuan Verdoorn. Tuan akan bilang kepada Tan Soen Bie, bahwa Tan
Peng Liang iri terhadap hak sulung papanya. Ini masalah penting dalam
masyarakat Tionghoa, kesulungan tidak mengandung arti pengesahan nilai
spiritual seperti dalam masyarakat Tuan, tapi, bagi masyarakat Tionghoa, itu
lebih pada nilai yang berhubungan dengan perhitungan ekonomis. Nah, Tuan
lihat bukan? Alasan ini dapat menyulut, dan membuat otak Tan Soen Bie
berasap oleh marah. (hlm. 334)

Sikap-sikapnya itu kelak yang akan membawanya pada kematian. TPL Semarang
sangat marah dan dendam padanya karena ia telah menjadikan Tinung sebagai jugun
ianfu dan menghasut Tan Soen Bie. Akhirnya, ia tewas dibunuh TPL Semarang
dengan pistol. Menjelang kematiannya itu, ia kembali menunjukkan sikap tidak tegar
dalam menghadapi masalah. Dengan penuh kepalsuan ia memohon ampunan pada
TPL Semarang.

3.3.15 Lie Kok Pien
Lie Kok Pien adalah anggota mejelis Kong Koan yang kerap berbeda jalan
pikiran dengan Thio Boen Hiap, Oey Eng Goan, dan juga anggota majelis yang lain.
Ia juga merupakan orang yang penuh pertimbangan dan pemikiran. Sikap itu selalu
ditunjukkannya dalam setiap rapat Kong Koan, misalnya saja ketika awal munculnya
permasalahan dan permusuhan antara Kong Koan dan TPL Semarang.
56
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Dalam rapat setelah terjadi keributan antara TPL Semarang dan Oey Eng
Goan, Lie Kok Pien mengusulkan agar Kong Koan mendekati TPL Semarang secara
halus untuk mengetahui kekuatannya. Usul itu diutarakannya setelah Oey Eng Goan
mengutarakan niatnya untuk menghentikan segala aksi TPL Semarang, yang
didukung hampir semua anggota Kong Koan. Usul yang berdasar falsafah Sun Tzu
(ahli perang Tiongkok klasik) dan tindak nyatanya dengan mengangkat TPL
Semarang menjadi letnan di Kong Koan itu akhirnya disetujui Mr. Lim Kiem J ang,
penasihat Kong Koan. Akan tetapi, ajakan itu kemudian ditolak TPL Semarang.
Dari sikap-sikapnya, tampak bahwa Lie Kok Pien digambarkan sebagai
anggota mejelis Kong Koan yang arif dan bijak. Sikapnya itu lebih jelas lagi
tergambar ketika Thio Boen Hiap mengusulkan agar Kong Koan mengatur TPL
Semarang dengan jalan mengempeskannya, yakni membakar gudang TPL
Semarang. Ia dengan keras menentang hal itu sebab menurutnya Kong Koan
bukanlah mejelis bandit (penjahat).
Pemikiran Lie Kok Pien yang arif dan bijak itu sering didasarkan pada
falsafah dan pepatah Tionghoa. Pertama, falsafah Sun Tzu yang disebutnya dalam
rapat awal perselisihan Kong Koan dengan TPL Semarang. Kutipannya sebagai
berikut.
Maaf lagi, kata Lie Kok Pien. Kita sebetulnya tahu, dari
Sun Tzu, bahwa kita tidak bisa memukul orang kalau orang itu
berjarak jauh dari jangkauan tangan kita. Itu berarti, kalau jaraknya
terlalu jauh, kenapa kita tidak membuatnya dekat dulu, yaitu,
merangkulnya. (hlm. 61)

57
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Kemudian, ketika ia membantah usul Oey Eng Goan untuk membeli pers ia juga
mengutarakan pepatah Tionghoa zuo jing guan tian yang berarti melihat langit dari
dasar sumur; pandangan sempit. (hlm. 162) Ia mengakhiri pendapatnya untuk
membantah usul Oey Eng Goan dengan mengutarakan pepatah zi qi qi ren yang
berarti mencoba membuat orang lain percaya pada sesuatu yang dirinya sendiri tidak
yakin akan kebenarannya. (hlm. 163)
Pada tahun pertama Indonesia merdeka Lie Kok Pien adalah satu-satunya mantan
anggota Kong Koan yang menjadi warga negara Indonesia. Pilihannya itu pula yang
kemudian mendekatkannya dengan TPL Semarang.

3.3.16 Kwee Tjie Sien
Kwee Tjie Sien adalah salah satu anggota majelis Kong Koan. Karakter atau
penokohannya tidak digambarkan dengan jelas dalam cerita ini. Nama dan
peranannya hanya disebut sekilas saja, di antaranya ketika ia memberitahu majelis
Kong Koan bahwa TPL Semarang keluar dari rumahnya di Gang Chaulan. Padahal
sebelumnya sudah diberitakan bahwa TPL Semarang telah meninggal di Makao,
bahkan pemakamannya dilakukan di Batavia. Selain itu, ia disebut beberapa kali
berada di dekat Oey Eng Goan. Salah satunya adalah ketika menghadiri peresmian
bank milik TPL Semarang. Mungkin karena kedekatan itu, setelah Indonesia merdeka
ia berkiblat pada RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang komunis, sama seperti Oey
Eng Goan.

58
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.3.17 Mr. Liem Kiem Jang
Mr. Liem Kiem J ang adalah penasihat majelis Kong Koan. Ia merupakan
tokoh yang disegani orang-orang Kong Koan. Ia digambarkan bersikap bijak dan adil.
Misalnya saja, ketika orang-orang Kong Koan datang kepadanya meminta nasihat
mengenai usulan Lie Kok Pien untuk mengangkat TPL Semarang menjadi letnan. Ia
menyetujui hal itu dan membenarkan bahwa yang diusulkan Lie Kok Pien memang
sesuai dengan filsafat Sun Tzu. Kemudian, ketika Thio Boen Hiap terlihat terpojok
akan pernyataannya itu Mr. Liem Kiem J ang menengahinya dengan adil. Ia
mengatakan bahwa pengangkatan seorang letnan harus diketahui pihak Belanda. Hal
itu membuat Thio Boen Hiap merasa terbela.
Sikapnya yang bijak muncul saat terjadi perselisihan pendapat antara Oey Eng
Goan dan Lie Kok Pien mengenai penempatan orang-orang bayaran untuk menjaga
keamanan di pesta Peh Cun, yang justru menyebabkan perkelahian. Meski membela
Lie Kok Pien dan mengkritik Oey Eng Goan, ia tidak memihak keduanya. Ia
mencoba menahan Lie Kok Pien yang saat itu memutuskan keluar dari keanggotaan
majelis karena kesal oleh sikap Oey Eng Goan. Akan tetapi, ia menyalahkan sikap
keduanya yang tidak dewasa.
Tunggu, kata Mr. Liem Kiem J ang, cepat. Wo tidak
membela Lie Kok Pien, tidak juga menyerang Ni. Tapi kalau Wo
kritik Ni dan menahan Lie Kok Pien, sebab menurut Wo, kedua-
duanya tidak dewasa. (hlm. 77)

Kemudian, ketika Oey Eng Goan menanggapinya dengan kesal dan
membentak orang-orang Kong Koan untuk diam tampaklah betapa diseganinya Mr.
59
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Liem Kiem J ang. Oleh sebab perkataan Oey Eng goan itu, ia mengambil tasnya dan
memutuskan meninggalkan ruangan rapat. Akan tetapi, kepergiannya segera dicegah
Oey Eng Goan dengan meminta maaf padanya meski itu hanya basa-basi saja.
Kedua sikapnya itu juga muncul ketika Oey Eng Goan dan Lie Kok Pien
berselisih pendapat mengenai seorang Tionghoa yang hadir dalam rapat Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Orang yang dimaksud itu,
Liem Koen Hien (tokoh sejarah, pen.), meralat azas kebangsaan Tionghoa yang
pernah diucapkannya karena dituding oleh Bung Karno. Oey Eng Goan keberatan
dengan sikap itu.
Mendengar hal itu, Lie Kok Pien justru meremehkan Oey Eng Goan.
Menurutnya, hal yang lebih penting adalah sikap Kong Koan pada masa depan
seandainya Indonesia menerima kemerdekaan dari J epang. Perselisihan itu pun
semakin sengit ketika Thio Boen Hiap ikut membela Oey Eng Goan, yang
menganggap Indonesia tidak akan merdeka. Di tengah perselisihan itu dengan bijak
Mr. Liem Kiem J ang menengahinya dengan perkataan sebagai berikut.
... Begini, katanya. Yang paling penting, bagaimana kita
berpihak pada kebenaran. J angan sampai sejarah di kemudian hari
mengutuk kita, dan merugikan golongan kita, karena kesalahan sikap
yang kita pilih sekarang. Perlu kita ingat, bahwa sebagai golongan
minoritet, kita mewarisi prejudis-prejudis buruk masasilam, prejudis
yang lahir sejak zaman Kertanegara, sebab kesalahan fundamentil
yang sama: tidak cepat membaca petunjuk zaman. (hlm. 324)

Setelah Indonesia merdeka, pandangan sosial politiknya berkiblat pada Kuo
Min Tang (Tiongkok Nasionalis). Sejalan dengan pandangan sosial politiknya itu di
rumahnya terpasang foto Chiang Kai Shek, presiden pertama Taiwan.
60
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.3.18 Timothy Wu
Timothy Wu adalah anggota majelis Kong Koan yang paling muda. Ia adalah
satu-satunya anggota majelis itu yang bernama baptis dan berlatar pendidikan Inggris
di Singapura. Ia juga menjadi satu-satunya orang di majelis itu yang tidak
berpendirian dan kerap asal bicara. Ia digambarkan sebagai seseorang yang
menonjol dalam sikap air di daun talas, dan sering asal bunyi. (hlm. 59)
Dalam Kong Koan ia kurang berperan sebab sikapnya itu. Ia biasa mengikuti
pendapat anggota majelis yang lain saja. Bahkan, ketika ia menyampaikan pada rapat
Kong Koan bahwa TPL Semarang masih hidup, perkataannya itu tidak diacuhkan.
Ketika kabar itu disampaikan anggota majelis yang lain, Tjia Wan Sen, barulah
mereka mendengarkan.
Setelah Indonesia merdeka ia tidak langsung menjadi warga negara Indonesia
seperti Lie Kok Pien. Ia berkiblat pada Kuo Min Tang, sama seperti Mr. Lim Kim
J ang.

3.3.19 Tan Giok Lan (Nyonya G.P.A. Dijhkoff)
Tokoh Tan Giok Lan adalah anak Tinung dari TPL Semarang. Ia ditampilkan
sebagai tokoh yang berada di luar cerita. Meski ia juga disebut namanya dalam cerita,
namun ia tidak berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh yang lain. Cerita CBK pun
tidak dapat dikatakan menampilkan cerita dengan pola kilas balik (flash back) dengan
kehadiran dan fungsi ketokohannya. CBK yang menampilkan dua kisah, yang dalam
61
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
istilah karya sastra klasik disebut cerita berbingkai (ada cerita dalam cerita),
menempatkannya sebagai pengantar cerita.
Ia digambarkan sebagai perempuan peranakan Tionghoa yang dibesarkan di
Belanda. Di negara itu ia hidup, menikah, dan beranak-pinak. Meski tinggal jauh dari
tempat lahir dan lingkungan suku bangsanya, ia tetap teguh menjunjung adat istiadat
dan kepercayaan Tionghoa. Padahal, ia sudah jauh dari lingkungan asalnya sejak
kecil karena ia diadopsi pasangan suami-istri Belanda sewaktu di Batavia. Tentang
hal itu, ia berkata sebagai berkut.
Sebagai separuh Tionghoa, harus saya akui, sifat-sifat
ketionghoaan yang kukuh sekaligus berbelit-belit pada istiadat dan
kepercayaan, mengalir nyata dalam darah saya. Sifat-sifat itu saya
sadari, tak gampang putus dalam roh dan jiwa setiap Tionghoa. Tidak
satupun wamsa tua di dunia yang masih terpelihara kebudayaan waris
leluhur, selain Tionghoa. Kebudayaan tua wamsa-wamsa Mesir,
Persia, India, Yunani, dan Inka telah lama punah oleh risiko akulturasi,
tapi tidak pada turunan Tionghoa. (hlm. 2)

Oleh sebab keteguhannya pada adat istiadat dan kepercayaan Tionghoa itu
pula, ia berniat mencari jejak orang tuanya di Indonesia bersama dengan cucunya.
Pada bagian inilah fungsi ketokohannya dalam cerita dimulai. Ia menjadi pengantar
cerita bagi pembaca untuk mengetahui keperluan kisah hidup Tinung ditampilkan,
yakni menjawab pertanyaan di benak Giok Lan mengenai asal-usul orang tuanya.
2






2
Lihat pohon keluarga TPL Semarang dalam lampiran.
62
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
3.4 Latar
3.4.1 Latar Fisik
Seperti yang dikatakan Hudson, latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya,
yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Dalam CBK, latar fisik yang ditampilkan
adalah Batavia atau J akarta, Sewan (Tangerang), Semarang, Sukabumi, Bandung,
Cilacap, Kudus, dan Bangkok (Siam/Thailand). Di tempat-tempat itulah tokoh-tokoh
CBK berlakuan dan pengaluran terjadi.
Latar Batavia atau J akarta adalah tempat yang paling sering dimunculkan
dalam CBK. Dari kota ini ditampilkan banyak tempat. Cerita pun dimulai di tempat
ini, yaitu ketika Tinung dilahirkan, menikah dengan seorang nelayan kaya yang
beristri banyak, hingga menjadi ca-bau-kan di Kali J odo.
Penggambaran Kali J odo sebagai latar memiliki peran yang penting dalam
membangun cerita, yaitu menghubungkan Tinung dengan kehidupan masyarakat
Tioonghoa di J akarta.
Kali J odo, selama berabad telah menjadi tempat paling hiruk-
pikuk di J akarta malam hari. Di sini, sejak dulu terlestari kebiasaan-
kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup
selama-lamanya, tapi sekadar berhibur diri sambil menikmati
nyanyian-nyanyian klasik Tiongkok, dinyanyikan oleh para ca-bau-
kan.
Para ca-bau-kan itu umumnya dikelola oleh tauke-tauke
dengan memberi mereka kostum model opera, berbahan sutera
dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang bermutu.
Mereka berada di perahu-perahu yang dipasang lampion khas
Tiongkok, bergerak pelan-pelan di kali itu. Di pinggir kali masih
penuh ditumbuhi pohon, dan di situ terdapat bangku-bangku tempat
orang duduk menunggu, berbincang, bergurau, sambil minum ciu,
makan kacang, kuaci. (hlm. 15)

63
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Melalui kiprahnya di tempat itu, Tinung akan bertemu dengan beberapa laki-laki
Tionghoa yang mengisi kisah hidupnya. Di antara laki-laki itu adalah TPL Bandung.
Laki-laki itulah yang membawa Tinung ke Sewan, Tangerang untuk dijadikan
wanita simpanan. Di sana ia disimpan di sebuah pondok dari bahan setengah tembok
yang berada di tengah-tengah kebun pisang (hlm. 21). Tinung disimpan untuk
beberapa bulan di tempat itu. Bahkan, ia sampai hamil. Namun, akhirnya ia
meninggalkan tempat itu. Alasan kepergiannya adalah perasaan tidak betah karena ia
kerap menyaksikan centeng-centeng TPL Bandung menyiksa warga sekitar yang
tidak mampu membayar hutang.
Tinung pun memutuskan kembali lagi ke Kali J odo bersama Saodah. Meski
dalam keadaan hamil, kembalinya Tinung ke tempat itu disambut baik oleh laki-laki
Tionghoa yang berkunjung. Akan tetapi, ternyata kepergian Tinung tidak dibiarkan
tauke pisang di Sewan itu. Suatu waktu, ketika sedang berkencan dengan pedagang
kelontong Shan-Tung, ia dicari oleh centeng TPL Bandung. Terjadilah perkelahian di
antara mereka, yang menyebabkan terbakarnya perahu tempat Tinung bekerja
menjadi ca-bau-kan dan terbunuhnya centeng itu.
Oleh sebab tidak mampu membayar kerugian atas terbakarnya perahu
tempatnya bekerja, Tinung dan Saodah tidak kembali lagi ke Kali J odo. Dengan
inisiatif Saodah, Tinung diajak menemui Njoo Tek Hong untuk belajar tari cokek dan
menyanyi lagu Tiongkok. Dari peristiwa ini dimunculkan tempat-tempat lain, di
antaranya klenteng Lao Tze dekat Pasar Baru dan Kali Pasar Baru. Klenteng Lao Tze
adalah tempat diadakannya Cio-Ko, yang menjadi tempat pertemuan pertama antara
64
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Tinung dan Tan Peng Liang Semarang. Kemudian, TPL Semarang melihat Tinung di
Kali Pasar Baru saat diadakan Peh Cun. Di tempat itu TPL Semarang memutuskan
untuk mengajak Tinung melalui kemenakannya.
Setelah pertemuan itu Tinung diajak tinggal di Gang Chaulan (kini J alan
Hasyim Ashari). Di rumah itulah selanjutnya Tinung tinggal bersama anak dari TPL
Bandung. Kelak, Tinung pun melahirkan seorang anak perempuan dari TPL
Semarang yang diberi nama Giok Lan, nama itu juga dipakai untuk anaknya dari TPL
Bandung. Gambaran detail rumah itu adalah sebagai berikut.
Di dinding tengah yang berhadapan dengan pintu masuk,
terpasang meja abu untuk sembahyang, disertai dengan dua foto
orang tua, yaitu kakek dan nenek Tan Peng Liang, serta lambang im-
yang di atasnya: gambar reka filsafat Tionghoa yang luar biasa
maknanya, tentang perbedan hakiki yang bukan pertentangan asasi
dalam lingkar nyata kehidupan manusia. Kemudian, di dinding
kanan dan kiri, berhadapan dua lukisan Tiongkok, kuno dan modern,
yang bercap nama Wang Ting Yun dan Kao Chien Fu. (hlm. 81)

Tempat-tempat lain di Batavia yang dimunculkan adalah gedung di Pondok
Bambu dan gudang tembakau di Glodok. Gedung di Pondok Bambu adalah gedung
tua yang dipakai TPL Semarang untuk mencetak uang palsu. Gedung itu terkesan
angker, dipagari beton yang menyerupai penjara Cipinang, dan dijaga beberapa ekor
anjing (hlm. 100101). Ia mencetak uang palsu di ruang bawah tanah gedung itu
untuk modal bisnis tembakaunya. Untuk bisnisnya itu, ia membeli sebuah gudang di
Glodok. Ketika bisnis tembakaunya semakin pesat ia pun membeli bekas gudang gula
milik orang Tionghoa dari suku Kwong-Fu di Glodok (hlm. 114). Selain gudang TPL
Semarang, di Glodok juga terdapat gudang tembakau milik Thio Boen Hiap.
65
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Dari Batavia dan Tangerang, cerita beralih ke Semarang, tempat kelahiran
TPL Semarang. Ketika mengatahui Tinung mengandung anaknya, TPL Semarang
mengajak Tinung ke Semarang untuk bersembahyang di kuil khusus seh Tan dan
menemui orang tuanya. Di sana TPL Semarang juga menemui sepupunya dari pihak
ibu, Soetardjo Rahardjo, yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Tempat itu
juga menjadi tempat tinggal sementara bagi mereka saat pecah perang untuk melucuti
senjata J epang.
Dalam cerita ini juga disebut kota Sukabumi, Bandung, Cilacap, dan Kudus.
Sukabumi merupakan tempat Tinung ditawan J epang sebagai jugun-ianfu (pelayan
seks tentara J epang). Di Rumah Panjang di Sukabumi, Tinung dipaksa melayani
nafsu seks para tentara J epang. Hal itu membuat Tinung terpukul dan terkena
penyakit kelamin karena disetubuhi oleh banyak laki-laki. Beruntung, ketika ia sudah
frustasi Soetardjo menjemput dan membawanya ke rumah sakit di Bandung. Berkat
perawatan suster-suster di sana dan keadaan kota Bandung yang tenang, kesehatan
fisik dan psikis Tinung berangsur-angsur pulih.
Kudus merupakan tempat gudang tembakau TPL Semarang untuk menyimpan
tembakau yang dibelinya dari Thio Boen Hiap. Ketika mengetahui bahwa
tembakaunya dibawa ke Kudus lalu dibawa lagi ke gudang TPL Semarang di Glodok,
Thio Boen Hiap pergi ke Kudus menyelidiki hal itu. Ia pergi ke sana dengan
menumpang kereta api. Kemudian, saat kembali dari kota itu dengan menumpang
kereta api juga ia harus menginap semalam di Hotel Andreas. Hotel itu disediakan
66
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
bagi penumpang Belanda atau Tionghoa saja. Untuk penumpang pribumi, disediakan
Hotel Slamat yang berkelas rendah.
Tempat lain yang menjadi latar cerita adalah kota Bangkok di negeri Siam
atau Thailand. Kota itu merupakan tempat singgah TPL Semarang dari Makao,
tempat pelariannya dari penjara Cipinang, Batavia. Dari Makao ia berniat kembali ke
Indonesia karena Belanda telah pergi. Namun, pendudukan J epang di Asia terkenal
ketat. Oleh sebab itu ia menuju Indonesia melalui Bangkok yang tidak diduduki
J epang. Di kota itu ia bertemu J eng Tut, seorang komunis yang berbisnis senjata ke
semanjung Malaka untuk perlawanan terhadap J epang. Kepada tokoh ini kelak TPL
Semarang membeli senjata untuk membantu pergerakan kemerdekaan Indonesia.

3.4.2 Latar Sosial
Seperti disebut dalam bagian latar fisik, ada banyak tempat yang ditampilkan
dalam CBK. Latar sosial yang tergambar pun menjadi beragam. Meski begitu, ada
satu tempat yang paling dominan sebagai latar cerita, yaitu Batavia atau J akarta. Kota
ini digambarkan sebagai kota yang dihuni oleh banyak orang dari beragam etnis, di
antaranya Melayu, Tionghoa, Belanda, dan Arab (hlm. 7).
Karena dari sekian banyak masyarakat itu yang menjadi sorotan adalah
masyarakat Tionghoa, latar sosial kehidupan mereka yang tergambar paling jelas.
Masyarakat Tionghoa saat itu digambarkan hidup dengan persaingan yang tinggi.
Salah satu penyebab terjadinya hal itu adalah kesulitan ekonomi akibat Perang Dunia
I. Namun, ada juga penyebab lain, yaitu beragamnya golongan sosial masyarakat itu.
67
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Pembagian kelas yang dibuat Belanda pada masa itu juga membuat mereka
terpisahkan dari masyarakat lain. Seperti sudah diketahui masyarakat luas pada masa
kolonial Belanda masyarakat dibagi menjadi tiga lapisan sosial. Orang-orang Belanda
(Eropa) ditempatkan pada lapisan pertama, orang-orang Tionghoa (Timur Asing) di
lapisan kedua, dan orang-orang pribumi di lapisan terbawah.
Sistem pelapisan sosial ini dapat dilihat saat Thio Boen Hiap kembali dari
Kudus dengan menumpang kereta api setelah menyelidiki gudang tembakau
Srigunting. Saat itu disebutkan bahwa penumpang kereta api harus menginap selama
semalam di Maos dekat Cilacap. Di tempat itulah tergambar adanya perbedaan kelas
itu. Kutipannya sebagai berikut.
... dan penumpang harus menginap di situ satu malam. Diinapkan di
dua hotel yang disediakan oleh perusahaan kereta-api NITM
tersebut, yaitu Hotel Slamat yang diperuntukkan buat penumpang
pribumi, dan Hotel Andreas yang lebih bagus dan bersih untuk
khusus penumpang orang-orang Belanda dan Tionghoa dari kelas
yang dilainkan, atau disebut gelijkgesteld. (hlm. 125)

Dari kutipan itu jelas tergambar usaha Belanda untuk memisahkan orang-orang
Tionghoa dari masyarakat pribumi.
Penggambaran latar sosial pada CBK juga didukung dengan menyebut
berbagai upacara adat, kesenian, dan kebiasan-kebiasaan masyarakat Tionghoa.
Untuk upacara-upacara adat Tionghoa, CBK menampilkan pesta Cio-Ko, Peh Cun,
dan Sin-Cia. Kesenian Tionghoa yang disebut dalam CBK di antaranya adalah
nyanyian dan tarian cokek dan alat musik teh-yan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat
68
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Tionghoa yang disebut misalnya kebiasaan menyembahyangi leluhur di klenteng dan
tradisi pemberian angpauw pada hari raya mereka.
69
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007






BAB 4
STREOTIP TERHADAP MASYARAKAT TIONGHOA

4.1 Pengantar
Bab ini merupakan bagian inti penelitian, yang berisi pembahasan stereotip
terhadap masyarakat Tionghoa dalam CBK. Dalam bab ini akan dilakukan analisis
lebih lanjut atas data penelitian untuk mencapai tujuan penelitian.
Sebagai langkah pertama, dalam bab ini penulis akan menjabarkan pengertian
stereotip. Kemudian, dengan mengacu pada pengertian itu, dalam bab ini juga akan
ditampilkan stereotip terhadap masyarakat Tionghoa dalam CBK dan dampaknya
pada lakuan para tokohnya. Stereotip-stereotip itu juga akan dianalisis dengan
menerapkan konsep interaksi sosial dari sosiologi dan kajian multikultural yang
berdasarkan multikulturalisme.



Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
4.2 Pengertian Stereotip
Banyak pengertian tentang stereotip yang berkembang dalam masyarakat.
Hariyono (1993: 57) misalnya, ia mengatakan bahwa stereotip dilontarkan dengan
anggapan bahwa tiap-tiap individu memiliki karakteristik atau ciri khas perilaku dan
emosi yang sama dalam suatu kelompok primordial. Ia juga menambahkan bahwa
stereotip terbentuk berdasarkan suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya, yang
diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif.
Menurutnya, pengamatan itu hanya melihat sisi luarnya saja tanpa mengetahui latar
belakang sikap dan perilaku yang membentuknya.
Pengertian lain tentang stereotip yang berkaitan dengan hubungan antarsuku
bangsa diutarakan oleh Suparlan (1999: 163). Stereotip, dalam perspektifnya, muncul
karena adanya sistem-sistem penggolongan dalam kebudayaan dan adanya upaya
untuk saling memahami apa dan siapa serta mengapa tentang pelaku yang mereka
hadapi. Selanjutnya, hal itu akan dicocokkan dengan penggolongan yang ada dalam
kebudayaan untuk kemudian digunakan sebagai acuan dalam berinteraksi. Stereotip
yang dianggap sebagai ciri-ciri atau sifat-sifat para pelaku interaksi dipahami
masyarakat sebagai kebudayaan suku bangsa masing-masing. Pengetahuan mengenai
kebudayaan suku bangsa itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman perseorangan
dan berbagai informasi dari orang-orang yang mereka percayai kebenarannya.
Selain dua pengertian itu, secara ilmiah, seseorang yang sampai saat ini
dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan dan membahas stereotip adalah
Walter Lippmann. Rumusan stereotip yang dibuat Lippman itu dikutip Warnaen
71
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
dalam bukunya yang berjudul Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis (2002). Ia
mengatakan bahwa menurut Lipmann, stereotip adalah gambar di kepala yang
merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Stereotip juga
disebutnya sebagai salah satu mekanisme penyederhanaan untuk mengendalikan
lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya terlalu luas, terlalu
majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali dengan segera. Gambaran
tentang keadaan lingkungan itulah yang menentukan tindakan seseorang. J adi,
tindakan-tindakan seseorang tidaklah didasarkan pada pengenalan langsung terhadap
keadaan lingkungan sebenarnya, tetapi berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri
atau yang diberikan oleh orang lain (Warnaen, 2002: 117).
Beberapa pengertian atau rumusan stereotip dari beberapa orang itu secara
garis besar memliki kesamaan. Beberapa pengertian itu dapat disimpulkan sebagai
berikut. Stereotip merupakan ciri-ciri atau karakteristik suatu golongan sosial (dalam
hal ini etnis ataupun subetnis) yang ada dalam pikiran golongan sosial lain untuk
saling mengenali pada proses awal interaksi sosial. Pengenalan itu terjadi tanpa
proses panjang: sebagai pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun, perkataan
orang yang dipercayai kebenarannya, dan pengamatan pribadi secara sepintas.
Pengenalan itu juga terjadi tanpa melihat latar belakang yang membentuknya.
Umumnya, stereotip berkonotasi negatif. Namun, stereotip juga dapat
berkonotasi positif. Seperti sudah disebut sebelumnya, stereotip diperoleh sebagai
pengetahuan secara turun-temurun dari suatu golongan sosial terhadap golongan
sosial lain. Proses turun-temurun yang dapat terjadi dalam jangka waktu yang
72
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
panjang itu memungkinkan sebuah golongan sosial mengetahui stereotip terhadap
golongannya yang berkembang di golongan sosial lain.

4.3 Stereotip Terhadap Masyarakat Tionghoa dalam CBK
Dengan fokus penceritaan pada tokoh-tokoh dari masyarakat Tionghoa, dalam
CBK ditampilkan beberapa stereotip terhadap masyarakat itu. Stereotip-stereotip itu
adalah sebagai berikut.

4.3.1 Keteguhan Menjunjung Adat-Istiadat dan Kepercayaan
Dalam CBK orang-orang Tionghoa dikatakan menjunjung adat-istiadatnya di
mana pun ia berada. Pernyataan ini dapat diketahui dari pemaparan Giok Lan, anak
Tinung dan TPL Semarang yang diadopsi pasangan suami-istri Belanda. Ketika
mencoba menelusuri jejak keluarganya ia menyebutkan hal itu.
3
Tan Giok Lan
(Nyonya G.P.A. Dijhkoff) menyebutkan bahwa sebagai seorang keturunan Tionghoa
ia memiliki sifat-sifat ketionghoaan yang kukuh sekaligus berbelit-belit pada istiadat
dan kepercayaan.
Stereotip mengenai masyarakat Tionghoa itu diyakini sebagai efek dari
perwujudan kata-kata Kong Hu Cu, yaitu Jing tian zun zu, yang berarti memuliakan
langit memuliakan leluhur. Sadar akan stereotip golongan sosialnya, Giok Lan dari
Belanda pergi ke Indonesia untuk mencari jejak orang tuanya. Karena ia sendiri


3
Lihat Bab 3, hlm. 63 skripsi ini.
73
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
sudah tua dan ia yakin orang tuanya sudah tiada, Giok Lan ingin mencari makam
mereka dan menyembahyanginya sebagai bentuk pengabdiannya.
Dari stereotip yang diungkapkan Giok Lan itu juga maka cerita CBK, tentang
perjalanan hidup Tinung, dimulai. Cerita itu merupakan bagian dari rangkaian cerita
untuk mengetahui asal-usul dan jejak orang tuanya, karena ia sendiri belum
mengetahui bahwa ia sebenarnya anak Tinung dari TPL Semarang atau TPL
Bandung.

4.3.2 Praktik Prostitusi dan Pergundikan

Hiruk-pikuk Kali J odo pada malam hari di masa kolonialisasi Belanda
merupakan salah satu potret kehidupan masyarakat Tionghoa yang tergambar di
CBK. Masyarakat Tionghoa, dalam hal ini kaum laki-lakinya, suka menikmati
hiburan mendengarkan nyanyian klasik Tionghoa sambil mengencani perempuan
untuk melewati malam.
4
Kebiasaan laki-laki dari masyarakat tersebut di tempat itu
juga mengisyaratkan suatu hal, yakni kesukaan laki-laki Tionghoa akan kegiatan
prostitusi. Kemudian, dari perilaku itu dapat berlanjut pada praktik sistem
pergundikan.
Pernyataan itu dapat diketahui dari perkataan Saodah (sepupu ibu Tinung)
ketika membujuknya untuk menjadi ca-bau-kan
5
dan keterangan mengenai latar Kali
J odo. Saodah membujuk Tinung dengan mengiming-imingi harapan bahwa


4
Lihat Bab 3, hlm. 63 skripsi ini.

5
Lihat Bab 3, hlm. 42 skripsi ini.
74
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
kemudaannya akan disukai cukong-cukong yang datang ke Kali J odo. Ia menjelaskan
bahwa Tinung tidak perlu melakukan banyak hal di Kali J odo, tetapi hanya
memasrahkan tubuhnya untuk dinikmati cukong yang datang.


Kali J odo, selama berabad telah menjadi tempat paling hiruk-pikuk di
J akarta malam hari. Di sini, sejak dulu terlestari kebiasaan-kebiasaan
imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup bersama selama-
lamanya, tapi sekadar berhibur diri sambil menikmati nyanyian-nyanyian
klasik Tiongkok, dinyanyikan oleh para ca-bau-kan. (hlm 1415)

Stereotip tentang laki-laki Tionghoa itu berhasil meyakinkan ibu Tinung
(Mpok J ene) dan membuatnya mendorong Tinung untuk pergi ke Kali J odo. Tinung
diharapkan ke tempat itu bukan hanya untuk menjadi teman kencan semalam para
laki-laki Tionghoa, tetapi juga agar ia dapat menjadi gundik (baca: perempuan
simpanan yang dalam CBK disebut ca-bau-kan). Latar kehidupan ekonomi yang sulit
dan kedangkalan berpikir Mpok J ene menjadi penyebab dorongan itu. Secara
implisit, Mpok J ene dan Saodah telah membuka peluang bagi Tinung untuk masuk ke
sistem pergundikan. Berikutnya, semua itu berujung pada hubungan Tinung dengan
TPL Bandung dan TPL Semarang, yang mempraktikkan sistem itu.
Dalam pandangan masyarakat Tionghoa, menurut Pramoedya Ananta Toer
(1998: 222), sistem pergundikan bukanlah suatu hal yang tercela. Hal itu dapat
dilakukan laki-laki Tionghoa sebagai baktinya kepada leluhur, karena dalam
kepercayaan masyarakat itu setiap laki-laki memiliki kewajiban untuk terus
menyambung kehidupan klannya dengan memiliki anak sebanyak-banyaknya. J adi,
75
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
apabila istri seorang Tionghoa tidak dapat memberikan anak banyak, atau bahkan
tidak sama sekali, maka sang suami berhak mengambil seorang atau beberapa
gundik.
Pandangan itu tampak pada hubungan Tinung dengan TPL. Karena istrinya
sakit-sakitan dan lumpuh, TPL Semarang yang menginginkan seorang anak
perempuan menjadikan Tinung sebagai ca-bau-kannya. Meski setelah Tinung hamil,
TPL Semarang menikahinya secara adat di Semarang, ia telah mempraktikkan sistem
pergundikan itu. Akan tetapi, hal yang sama tidak terjadi pada hubungan Tinung
dengan TPL Bandung. Praktik sistem pergundikan yang dilakukan cukong itu tidak
sesuai dengan pandangan dalam masyarakatnya.
Sikap TPL Bandung menjadikan Tinung sebagai ca-bau-kan hanya
berdasarkan keinginannya memuaskan nafsu birahi semata. Interpretasi ini dapat
diketahui dari sifat TPL Bandung yang cepat hangat terhadap asmara birahi
sekaligus cepat dingin terhadap kekerasan. (hlm. 24) Latar kehidupan keluarganya
yang tidak tergambar dengan jelas membuat keterangan itu berujung pada interpretasi
tersebut. Ia hanya disebutkan memiliki istri, tetapi tidak disebut memiliki anak atau
tidak.

4.3.3 Pandangan Masyarakat Tionghoa terhadap Suku Bangsa Lain

Mengenai penggambaran tokoh Tinung dan Saodah di Kali J odo, dalam CBK
disebutkan bahwa mereka mempunyai julukan masing-masing yang diberikan oleh
76
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
para pengunjung tempat itu.
6
Saodah yang sudah lebih dulu bekerja di tempat itu
mendapat julukan Si Mingyanren, yang berarti orang yang perasaannya halus.
Untuk Tinung, diberikan julukan Si Chixiang, dari bahasa Kuo-Yu yang berarti
sangat masyhur dan dicari-cari. Kedua julukan itu diberikan dengan alasan yang
berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Tinung mendapat julukan itu karena ia
masih muda dan memiliki tubuh yang indah, langsing, elok, berpadan antara dada
dan pinggul, sedang Saodah yang termasuk berumur itu, merdu dan fasih
menyanyikan lagu-lagu klasik Tiongkok di atas perahunya. (hlm. 16)
Penggambaran kedua tokoh itu dengan julukannya masing-masing
mengundang tanya, Apakah itu berlebih-lebihan, entahlah, mengingat dalam bahasa
dan pandangan Tionghoa, semua manusia di luar Tiongkok, disebutnya Hu-Huoan,
artinya bangsa asing yang masih primitif. (hlm. 17) Kutipan itu menunjukkan
adanya stereotip tentang masyarakat Tionghoa yang memandang rendah suku bangsa
lain. Secara kontekstual, masyarakat Tionghoa yang dimaksud dalam hal ini adalah
para pengunjung Kali J odo dan masyarakat di luar mereka adalah Tinung dan Saodah.
Stereotip itu juga muncul sewaktu ibu TPL Semarang menasihati Tinung
tentang perkawinan antara seorang Tionghoa dan pribumi. Kepada Tinung, ia berkata
bahwa perkawinan seperti itu tidaklah mudah. Sebabnya adalah orang Tionghoa
menganggap dirinya lebih tua dari orang J awa dan selalu ingin dihormati dan
dituruti.
7



6
Lihat Bab 3, hlm. 33 dan 43.

7
Lihat Bab 3, hlm. 47.
77
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Berdasarkan pada pengalamannya sendiri, Soetini memberikan stereotip
terhadap masyarakat Tionghoa itu kepada Tinung. Melalui nasihat itu tentunya ia
berharap Tinung memiliki gambaran tentang TPL Semarang dalam menjalani
kehidupan perkawinannya. Tindakan ibu TPL Semarang itu telah menunjukkan
bahwa stereotip dapat dijadikan pengetahuan dalam proses interaksi.

4.3.4 Status Tionghoa Peranakan (Kiau-Seng) dan Status Tionghoa Totok
(Hoa-Kiau)

Dalam CBK diceritakan bahwa ada dua penggolongan masyarakat Tionghoa:
Hoa-Kiau dan Kiau-Seng. Kedua golongan itu dibedakan beradasarkan lama tinggal
dan orientasi kebangsaan. Hoa-Kiau adalah masyarakat Tionghoa perantauan yang
tinggal di suatu tempat hanya sementara untuk mencari kekayaan, lalu kembali ke
negeri leluhur mereka, Tiongkok. Berbeda dengan itu, Kiau-Seng tinggal di suatu
tempat untuk waktu yang lama dan bercampur dengan unsur-unsur lokal, di antaranya
melalui perkawinan.
8
Bahkan, ada Kiau-Seng yang menganggap tempat tinggalnya
sebagai tanah kelahiran. Dalam CBK, kedua golongan itu diwakili oleh beberapa
tokoh, di antaranya TPL Bandung dan TPL Semarang sebagai golongan Kiau-Seng
dan orang-orang Kong Koan sebagai kelompok Hoa-Kiau.
Stereotip yang muncul dari perbedaan dua kelompok itu adalah orang-orang
Hoa-Kiau menganggap orang-orang Kiau-Seng sebagai orang-orang yang kurang
beradat. Oleh sebab itu, orang-orang Hoa-Kiau menganggap kelompok mereka lebih


8
Lihat Bab 3, hlm. 36 skripsi ini.
78
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
penting (lebih tinggi derajatnya) daripada orang-orang Kiau-Seng. Stereotip inilah
yang muncul dalam hubungan orang-orang Kong Koan dengan TPL Semarang.
Karena stereotip dipakai untuk mengenali golongan lain dalam proses awal
interaksi, stereotip tersebut menjadi penguat perselisihan antara orang-orang Kong
Koan dan TPL Semarang. Karena sejak awal orang-orang Kong Koan, khususnya
Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap, menganggap orang-orang Kiau-Seng kurang
beradat dan lebih rendah statusnya dari mereka, timbul perasaan merendahkan TPL
Semarang. Situasi itu juga didukung oleh TPL Semarang yang sejak semula
memusuhi orang-orang Hoa-Kiau karena stereotip yang ada dalam pikirannya tentang
mereka.
Pertentangan kedua golongan itu muncul pertama kali dalam pesta Cio-Ko.
TPL Semarang yang datang atas undangan ketua Kong Koan bersikap menyepelekan
orang-orang dari perkumpulan itu. Itu terjadi sebagai perwujudan dari stereotip yang
ada dalam pikirannya tentang mereka. Sikap TPL Semarang itu juga sejalan dengan
wataknya yang selalu tidak ingin gengsinya disepelekan.
Ia sengaja datang kala upacara sembahyang telah selesai untuk membagi-
bagikan uang kepada orang-orang miskin yang datang ke pesta itu. Pembagian uang
itu juga sengaja dilakukan bersamaan dengan pembagian sesaji oleh orang-orang
Kong Koan. Tentunya, tindakan TPL Semarang itu menarik perhatian orang-orang
miskin yang datang karena di mata mereka uang lebih menarik dibanding sesaji.
Dengan begitu, ia telah berhasil menunjukkan gengsinya kepada orang-orang Kong
Koan yang menganggap rendah dirinya.
79
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
4.3.5 Kepercayaan Orang-Orang Tionghoa di Jawa pada Tahayul Pesugihan

Stereotip orang-orang Tionghoa di J awa banyak yang percaya pada tahayul
pesugihan muncul dari penggambaran kehidupan TPL Semarang. Seperti sudah
disebut pada bagian tokoh TPL Semarang, ia memiliki tiga anak dari isterinya yang
pertama: Tan Kim San, Tan Kim Hok, dan Tan Giok Lan. Namun, karena
kepercayaannya pada tahayul pesugihan bahwa untuk menjadi kaya harus
mengorbankan soerang anak, ia mengorbankan Giok Lan.
Pengorbanan itu memang membawa banyak keuntungan untuknya. Ia menjadi
sangat kaya. Akan tetapi, kekayaan itu ternyata tidak selamanya membawa
kebahagiaan baginya. Ia merindukan kehadiran anak perempuan dalam rumah
tangganya. Sayangnya, isterinya menderita sakit dan kelumpuhan. Oleh sebab itu,
keinginannya untuk memiliki seorang anak perempuan lagi untuk menggantikan
anaknya yang sudah dikorbankan sulit untuk diwujudkan.
Situasi inilah yang kemudian menghubungkannya dengan tokoh Tinung.
Selain tertarik oleh keluguan dan kecantikan Tinung, TPL Semarang ingin
mendapatkan seorang anak perempuan darinya. Dengan begitu, ia berharap
kerinduannya akan kehadiran anak perempuan dalam kehidupannya dapat terpenuhi.

4.3.6 Status Kehormatan Perempuan sebagai Istri dalam Masyarakat
Tionghoa

Ketika menasihati Tinung perihal perkawinan seorang pribumi dan seorang
Tionghoa, salah satu nasihat ibu TPL Semarang kepada Tinung adalah supaya ia
80
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
menjaga kandungannya baik-baik. Nasihat itu diutarakannya sebagai tindak lanjut
dari stereotip masyarakat Tionghoa yang dijelaskannya kepada Tinung sebelumnya.
Ia mengatakan bahwa dalam kehidupan orang Tionghoa seorang istri tidak akan
dihormati bila tidak mampu melahirkan anak.
9
Selanjutnya, penjelasan ibu TPL Semarang mengenai stereotip itu menjadikan
Tinung bersikap hati-hati terhadap kandungannya. Dari sikap TPL Semarang pun
terlihat bahwa ia semakin menyayangi Tinung semenjak perempuan itu mengandung
anaknya. Tidak hanya itu, ketika mereka berkumpul lagi setelah lama berpisah karena
peristiwa pelarian TPL Semarang dan penculikan Tinung oleh J epang, stereotip itu
juga menunjukkan dampaknya.
Setelah hampir tiga tahun mereka hidup bersama lagi, Tinung menjadi gelisah
karena ia tidak segera hamil lagi. Padahal, kedua anaknya, satu dari TPL Bandung
dan satu lagi dari TPL Semarang, telah diadopsi pasangan Belanda dan dibawa ke
negeri mereka. Kemudian, oleh sebab stereotip yang ada di kepalanya mengenai
masyarakat Tionghoa itu, ia merasa bahwa TPL Semarang akan membuangnya. Ia
pun menjadi gelisah dan puncaknya pada suatu malam ia menangis tersedu-sedu.
Meskipun demikian, dampak stereotip itu tidak besar, karena TPL Semarang
mampu menenangkan Tinung sehingga interaksi di antara mereka tidak terganggu. Ia
menenangkan Tinung dengan berkata, Ya, sudah. Sabar saja. Kalau belum bisa
sekarang, masih ada besok, ada lusa, ada tulat. (hlm. 368) Dari perkataan itu, secara
implisit TPL Semarang telah membenarkan setereotip bahwa dalam masyarakat


9
Lihat Bab 3, hlm. 47 skripsi ini.
81
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Tionghoa status kehormatan perempuan sebagai istri ditentukan dari kemampuannya
melahirkan anak untuk suami.

4.3.7 Pedagang Perabotan Rumah Tangga (Pandangan terhadap Suku
Kwung-Fu)

Dalam CBK masyarakat Tionghoa yang digambarkan tidak homogen. Ada
beberapa suku (subetnis) dari masyarakat Tionghoa yang digambarkan atau hanya
disebut sekilas saja dalam cerita ini. Suku yang digambarkan dengan jelas melalui
penggambaran beberapa tokoh adalah suku Hok-Kian dan Shan-Tung. TPL Bandung
dan TPL Semarang merupakan tokoh-tokoh yang berasal dari suku Hok-Kian dan
Tjia Wan Sen sebagai tokoh dari suku Shan-Tung. Suku yang hanya disebut sekilas
saja, tanpa penggambaran dengan jelas melalui tokoh adalah suku Kwung-Fu.
Meski hanya disebut sekilas, suku Kwung-Fu justru disebut stereotipnya.
Suku ini dalam CBK disebut memiliki stereotip sebagai pedagang perabotan rumah
tangga dan dianggap tidak berbakat berdagang. Stereotip itu muncul dari masyarakat
Tionghoa sendiri. Keberagaman suku dalam masyarakat Tionghoa memang dapat
memunculkan stereotip-stereotip dari lingkungan yang lebih kecil dari masyarakat
mereka sendiri. Kemudian, stereotip itu juga dipakai seseorang sebagai bekal
berinteraksi.
Dampak stereotip ini pada lakuan tokoh CBK adalah memperkuat proses
pembelian sebuah gudang gula milik pengusaha dari suku itu, yang tidak disebut
82
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
namanya, oleh TPL Semarang di Glodok.
10
Alasan pembelian gudang itu adalah
karena usaha orang dari suku itu kurang menguntungkan dan menuju pailit. TPL
Semarang membeli gudang itu untuk menampung tembakau yang dibelinya dari Thio
Boen Hiap melalui penyamaran kemenakannya.

4.3.8 Rasa Permusuhan Masyarakat Tionghoa terhadap Jepang
Stereotip ini muncul sewaktu J epang menduduki Indonesia. Karena adanya
suatu komando strategi defensif yang menghalau J epang di Asia Tenggara yang
disebut ABCD (American-British-Chinese-Dutch), J epang menganggap orang-orang
Tionghoa di Hindia-Belanda sebagai bagian dari komando itu. Dengan latar belakang
itulah stereotip rasa permusuhan masyarakat Tionghoa terhadap J epang muncul.
Adanya stereotip ini berdampak pada penangkapan orang-orang Kong Koan
oleh J epang. Pihak J epang menangkap orang-orang Kong Koan karena mereka
menganggap majelis masyarakat Tionghoa itu sebagai organisasi yang memusuhi
mereka. Kemudian, karena sikap mementingkan diri dan golongan dari Thio Boen
Hiap, Tinung juga terkena dampak stereotip ini. Agar ia dan orang-orang Kong Koan
yang lain dibebaskan J epang, Thio Boen Hiap mengatakan pada pihak J epang bahwa
Tinung merupakan penyanyi dan penari cokek yang dapat dinikmati tubuhnya.
Tinung pun dibawa J epang dan dijadikan jugun ianfu.
11
Karena J epang merasa orang-


10
Lihat Bab 3, hlm. 35 skripsi ini.

11
Lihat Bab 3, hlm. 54 skripsi ini.
83
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
orang Kong Koan kooperatif dan tidak membahayakan, juga telah menyenangkan
J epang dengan menyerahkan Tinung, mereka dibebaskan dari tahanan.

4.4 Kajian Intaraksi Sosial
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ada delapan stereotip
masyarakat Tionghoa yang ditampilkan dalam CBK. Delapan stereotip itu adalah
sebagai berikut:
(1) keteguhan masyarakat Tionghoa menjunjung adat-istiadat dan
kepercayaannya;
(2) laki-laki Tionghoa suka berprostitusi dan mempraktikkan sistem pergundikan;
(3) masyarakat Tionghoa memandang rendah suku bangsa lain;
(4) status orang-orang Hoa-Kiau lebih tinggi daripada status Kiau-Seng;
(5) masyarakat Tionghoa di J awa banyak yang percaya pada tahayul pesugihan;
(6) status kehormatan perempuan sebagai istri dalam masyarakat Tionghoa
ditentukan dari kemampuannya melahirkan anak untuk suami;
(7) suku Kwung-Fu (salah satu subetnis Tionghoa) dikenal sebagai pedagang
perabotan rumah tangga dan dianggap tidak berbakat berdagang;
(8) masyarakat Tionghoa memusuhi J epang.

Dari delapan stereotip masyarakat Tionghoa dalam CBK itu dapat diketahui
bahwa setiap stereotip memiliki dampak pada lakuan tokoh-tokohnya. Stereotip yang
pertama misalnya, dengan stereotip itu timbul dalam diri Giok Lan untuk mencari
tahu asal-usul orang tuanya. Keinginan itu membuatnya pergi ke J akarta untuk
mencari jejak orang tuanya sebagai bentuk pengabdiannya kepada mereka.
Kemudian, dengan adanya stereotip yang kedua Tinung masuk ke dalam lingkungan
Kali J odo melalui dorongan Saodah dan ibunya; dan selanjutnya membawanya masuk
ke sistem pergundikan dalam masyarakat Tionghoa. Dengan adanya stereotip ini,
84
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
timbul anggapan bahwa sebagai ca-bau-kan untuk berinteraksi dengan laki-laki
Tionghoa di Kali J odo hanyalah memerlukan kesediaan menyerahkan tubuh saja.
Stereotip yang ketiga dan keenam memiliki keterkaitan satu dan yang lainnya.
Pandangan masyarakat Tionghoa bahwa mereka lebih tinggi derajatnya dari suku
bangsa lain membuat tokoh pribumi, dalam hal ini ibu TPL Semarang dan Tinung,
menyegani mereka. Namun, rasa segan itu tidak menimbulkan jarak, melainkan
menimbulkan rasa hormat.
Dari stereotip yang keempat, dapat diketahui bahwa masyarakat Tionghoa
yang ada di Indonesia terbagi menjadi dua golongan: Hoa-Kiau dan Kiau-Seng.
Perbedaan mereka dapat diketahui dari bahasa, orientasi kebangsaan, dan lama
tinggal di Indonesia. Perbedaan-perbedaan mereka itu membuat mereka terpisah.
Masyarakat Tionghoa dari golongan Hoa-Kiau merasa dirinya sebagai orang
Tionghoa yang asli. Dari pandangan ini timbul stereotip bahwa golongan mereka
lebih tinggi statusnya dari golongan Kiau-Seng. Stereotip ini berdampak besar pada
proses interaksi antarkeduanya.
Perbedaan dan keterpisahan mereka serta ditambah dengan adanya stereotip
itu telah membuat interaksi yang terjadi di antara keduanya tidak menghasilkan
sesuatu yang positif. Sebaliknya, interaksi yang terjadi di antara keduanya justru
menimbulkan konflik.
Seperti halnya stereotip yang pertama, stereotip yang kelima berdampak pada
timbulnya keinginan TPL Semarang untuk mengorbankan anak perempuannya
sebagai tumbal pesugihan. Stereotip ini tidak berperan secara langsung dalam proses
85
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
interaksi, melainkan menjadi pemicu tindakan selanjutnya. Untuk mengatasi rasa
rindu pada anak yang dikorbankannya itu, TPL Semarang menjadikan Tinung sebagai
ca-bau-kannya. Tindakannya itu dilakukan dengan harapan ia dapat memperoleh
pengganti anaknya yang telah dikorbankan karena isterinya tidak dapat memenuhi
keinginan itu sebab sakit dan lumpuh.
Pada stereotip yang ketujuh, melalui stereotip ini CBK secara eksplisit
menegaskan bahwa masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang heterogen. Salah
satu subetnisnya, suku Kwung-Fu dikenal masyarakatnya sendiri sebagai suku yang
berjualan perabot rumah tangga dan juga dikenal tidak bakat berdagang. Sebenarnya,
seterotip ini tidak berdampak besar pada lakuan tokoh CBK. Stereotip ini hanya
menjadi landasan tindakan TPL Semarang membeli gudang di sebelahnya, dalam
rangka menampung persediaan tembakaunya.
Untuk stereotip yang terakhir, dapat dijelaskan bahwa karena merasa
dimusuhi pihak ABCD, timbul stereotip di benak orang-orang J epang bahwa orang
Tionghoa yang ada di Indonesia juga seperti itu.
12
Hal itu berdampak pada interaksi
antara orang-orang J epang dan orang-orang Tionghoa, dalam hal ini orang-orang
Koang Koan. Pada proses awal interaksi mereka, pihak J epang telah dipenuhi
prasangka sebagai akibat adanya stereotip itu. Kemudian, untuk mencegah terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan, maka pihak J epang menangkap mereka.




12
Lihat Bab 3, hlm. 55 skripsi ini.
86
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
4.5 Kajian Multikultural
Ada dua konteks yang dapat dipakai dalam mengkaji stereotip terhadap
masyarakat Tionghoa dalam CBK yang disebut pada bagian sebelumnya itu secara
multikultural. Pertama, kajian dapat dilakukan dalam konteks intertekstual, di
antaranya dengan cara melihat perihal kehidupan masyarakat multikultural yang
ditampilkan CBK. Pengenalan suatu golongan sosial oleh golongan sosial lain
terhadap stereotipnya pada masyarakat multikultural dapat menjadi satu gejala sosial
yang dapat dikaji secara multikultural. Kajian setereotip dengan konsep interaksi
sosial di bagian sebelumnya kurang lebih merupakan penerapan dari kajian ini.
Kedua, kajian seperti itu juga dapat dilakukan dalam konteks ekstratekstual.
Kajian ini mencoba mencermati hubungan stereotip yang terkandung dalam CBK
dengan lingkungan atau masyarakat di luar karya itu. Sejalan dengan tujuan kedua
penelitian ini, menguji hipotesis bahwa kandungan cerita CBK mematahkan
stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa yang ada di masyarakat, kajian kedualah
yang akan dilakukan pada bagian ini.
Seperti tersebut pada bagian pendahuluan, menurut Winarta (2004), saat ini
masyarakat Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, mau menang
sendiri, eksklusif, kikir, dan serigala ekonomi. Antara pernyataan Winarta tentang
stereotip masyarakat Tionghoa dan latar cerita CBK memang ada rentang waktu yang
panjang. Akan tetapi, Winarta menjelaskan stereotip itu sebagai akibat dari
diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda melalui beberapa peraturan
terhadap masyarakat Tionghoa.
87
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Dalam hal kajian multikultural, yang berbasis multikulturalisme, situasi
seperti itu dapat mengganggu stabilitas hubungan masyarakat yang multikultur.
Sebabnya, masyarakat yang terkena imbas situasi yang diciptakan pemerintah
kolonial itu adalah salah satu masyarakat minoritas. Padahal, paham
multikulturalisme menentang diskriminasi dan secara khusus menginginkan
terciptanya persamaan hak masyarakat minoritas dalam kehidupan yang
multikultural.
Lalu, bagaimana halnya dengan hipotesis bahwa stereotip masyarakat
Tionghoa dalam CBK mematahkan stereotip-stereotip masyarakat Tionghoa yang ada
dalam masyarakat? Delapan stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang
terkandung dalam CBK tidak dapat dengan semena-mena dikatakan mematahkan
stereotip masyarakat Tionghoa yang berkembang dalam masyarakat seperti yang
disebut Winarta. Diperlukan sebuah pemahaman atas stereotip masyarakat Tionghoa
dalam CBK dengan stereotip masyarakat Tionghoa yang beredar dalam masyarakat.
Stereotip masyarakat Tionghoa yang beredar dalam masyarakat bahwa
mereka adalah koumitas yang licik, mau menang sendiri, eksklusif, kikir, dan serigala
ekonomi dapat dicermati dengan memperhatikan beberapa stereotip masyarakat itu
dalam CBK. Stereotip-stereotip itu muncul diperkirakan sebagai akibat dari
kedekatan orang-orang Tionghoa dengan pihak Belanda. Dalam CBK, hal itu
tercermin pada hubungan majelis Kong Koan dengan pemerintah Belanda.
Majelis yang diciptakan Belanda untuk mengatur kehidupan sosial budaya
masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda itu tentunya memliki kedekatan hubungan.
88
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Misalnya, saat TPL akan ditawari posisi letnan pada majelis itu, Mr. Liem Kiem J ang
menyarankan untuk meminta izin pada pihak Belanda. Pada tahap selanjutnya,
kedekatan itu sedikit banyak turut mempengaruhi pandangan orang-orang yang duduk
di majelis itu. Oleh sebab merasa diistimewakan oleh Belanda, anggotanya yang
semuanya orang-orang Hoa-Kiau itu merasa lebih tinggi kedudukan sosialnya dalam
masyarakat mereka dibanding orang-orang Kiau-Seng. Hal itu juga termasuk pada
orang pribumi yang dalam klsifikasi sosialnya pada saat itu memang berada pada
posisi terbawah.
Kemunculan stereotip terhadap masyarakat Tionghoa dalam CBK bahwa
orang-orang Hoa-Kiau menganggap status sosial mereka lebih tinggi dari orang-orang
KIauw-Seng juga mengindikasikan sesuatu. Sesuatu yang diindikasikan hal itu adalah
adanya usaha Belanda untuk mempertajam perbedaan di antara mereka. Tanpa alasan
yang jelas, Belanda menempatkan orang-orang Hoa-Kiau dalam Kong Koan.
Padahal, lembaga itu seharusnya merupakan representasi masyarakat Tionghoa secara
keseluruhan. Dengan begitu, dapat diasumsikan bahwa Belanda berusaha
memperlebar jarak antara orang-orang Hoa-Kiau dan orang-orang Kiau-Seng.
Secara keseluruhan, stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang ada dalam
CBK dapat diasumsikan sebagai penjelasan atas stereotip masyarakat Tionghoa yang
beredar dalam masyarakat saat ini. Mereka ditampilkan secara apa adanya. Dari
stereotip-stereotip itu juga dapat dikatahui bahwa masyarakat Tionghoa tidaklah
homogen. Mereka juga terdiri dari beragam sub-etnis dan golongan sosial lain.
89
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Stereotip yang yang ada mengenai masyarakat Tionghoa sekarang merupakan
kelanjutan dari stereotip masyarakat itu yang ada sejak zaman kolonial. Tampaknya,
hal itu yang ditekankan dalam CBK, dengan menampilkan stereotip-stereotip
terhadap masyarakat itu. Dalam CBK dapat dilihat realitas kehidupan masyarakat
Tionghoa pada masa kehidupan kolonial Belanda di Indonesia. Pada kenyataannya,
seperti disebut Winarta, dari situasi masa itu mereka dicap dengan stereotip-
stereotip yang negatif.
Stereotip sebagai komunitas yang licik dan mau menang sendiri dalam CBK
tampak pada adanya persaingan degang yang tinggi dan sarat akan intrik di antara
tokoh-tokoh Tionghoa. Stereotip sebagai masyarakat yang eksklusif muncul pada
penggambaran kedekatan orang-orang Kong Koan dengan Belanda yang juga
menimbulkan kesan kikir atau kurang mau berbagi karena hanya mementingkan
golongannya. Selain itu, persaingan dagang yang tinggi dalam hal berdagang di
antara TPL Semarang dan Thio Boen Hiap juga sejalan dengan stereotip bahwa
masyarakat Tionghoa adalah serigala ekonomi. Akan tetapi, stereotip itu dapat
terbantahkan dengan adanya stereotip tidak berbakat berdagang yang melekat pada
suku Kwung-Fu.
J adi, tidak semua stereotip yang beredar di masyarakat seperti yang disebut
Winarta terbantahkan oleh cerita CBK. Akan tetapi, CBK menampilkan realitasnya
dalam lakuan para tokohnya.


90
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007






BAB 5
KESIMPULAN

Ada dua hal yang dicapai dalam penelitian ini. Pertama, pada bab keempat
telah dideskripsikan streotip-stereotip masyarakat Tionghoa yang ada dalam CBK dan
dampaknya pada lakuan para tokohnya. Terakhir, ketiga, penelitian ini juga telah
menginterpretasikan stereotip masyarakat Tionghoa yang ada dalam CBK dengan
stereotip masyarakat itu yang ada dalam masyarakat, dengan mengacu pada tulisan
Winarta. Kedua pencapaian itu, yang juga merupakan tujuan dari penelitian ini, dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Dengan mengacu pada pengertian stereotip berikut, ada delapan stereotip
masayarakat Tionghoa yang terdaftar dari cerita CBK. Stereotip merupakan ciri-ciri
atau karakteristik suatu golongan sosial (dalam hal ini etnis ataupun subetnis) yang
ada dalam pikiran golongan sosial lain untuk saling mengenali pada proses awal
interaksi sosial. Pengenalan itu terjadi tanpa proses panjang: sebagai pengetahuan
yang diperoleh secara turun-temurun, perkataan orang yang dipercayai kebenarannya,
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
dan pengamatan pribadi secara sepintas. Pengenalan itu juga terjadi tanpa melihat
latar belakang yang membentuknya.
Umumnya, stereotip berkonotasi negatif. Namun, stereotip juga dapat
berkonotasi positif. Seperti sudah disebut sebelumnya, stereotip diperoleh sebagai
pengetahuan secara turun-temurun dari suatu golongan sosial terhadap golongan
sosial lain. Proses turun-temurun yang dapat terjadi dalam jangka waktu yang
panjang itu memungkinkan sebuah golongan sosial mengetahui stereotip terhadap
golongannya yang berkembang di golongan sosial lain.
Delapan stereotip yang terdaftar dari cerita CBK adalah:
(1) keteguhan masyarakat Tionghoa menjunjung adat-istiadat dan
kepercayaannya;
(2) laki-laki Tionghoa suka berprostitusi dan mempraktikkan sistem pergundikan;
(3) masyarakat Tionghoa memandang rendah suku bangsa lain;
(4) status orang-orang Hoa-Kiau lebih tinggi daripada status Kiau-Seng;
(5) masyarakat Tionghoa di J awa banyak yang percaya pada tahayul pesugihan;
(6) status kehormatan perempuan sebagai istri dalam masyarakat Tionghoa
ditentukan dari kemampuannya melahirkan anak untuk suami;
(7) suku Kwung-Fu (salah satu subetnis Tionghoa) dikenal sebagai pedagang
perabotan rumah tangga dan dianggap tidak berbakat berdagang;
(8) masyarakat Tionghoa memusuhi J epang.

Stereotip-stereotip itu memiliki berbagai dampak pada lakuan tokoh
tokohnya. Dari stereotip yang diungkapkan Giok Lan (stereotip yang pertama) cerita
CBK, tentang perjalanan hidup Tinung, dimulai. Cerita itu merupakan bagian dari
rangkaian cerita untuk mengetahui asal-usul dan jejak orang tuanya karena ia sendiri
belum mengetahui bahwa ia sebenarnya anak Tinung dari TPL atau TPL Bandung.
Kemudian, stereotip yang kedua berdampak pada lakuan tokoh Tinung. Stereotip
tentang laki-laki Tionghoa itu berhasil meyakinkan ibu Tinung (Mpok J ene) dan
92
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
membuatnya mendorong Tinung untuk pergi ke Kali J odo. Dampak selanjutnya dari
stereotip itu adalah terbukanya peluang bagi Tinung untuk masuk ke sistem
pergundikan.
Stereotip yang ketiga berdampak pada sikap Tinung dalam menjalani
perkawinannya. Selanjutnya, stereotip yang keempat menjadi penguat perselisihan
antara orang-orang Kong Koan dan TPL, karena stereotip dipakai untuk mengenali
kelompok lain dalam proses awal interaksi. Stereotip yang kelima menciptakan
situasi yang menghubungkan TPL Semarang dengan Tinung. Situasi itu sendiri
adalah kesulitan TPL Semarang untuk memiliki seorang anak perempuan lagi untuk
menggantikan anaknya yang sudah dikorbankan karena isterinya sakit dan lumpuh.
Penjelasan ibu TPL Semarang mengenai stereotip yang keenam menjadikan
Tinung bersikap hati-hati terhadap kandungannya agar TPL Semarang semakin
menyayanginya. Selain itu, stereotip itu juga membuat Tinung merasa bahwa TPL
Semarang akan membuangnya. Hal itu terjadi setelah hampir tiga tahun mereka hidup
bersama lagi, karena sebelumnya TPL Semarang melarikan diri ke Makao dan
Tinung dijadikan jugun ianfu.
Dampak stereotip yang ketujuh pada lakuan tokoh CBK adalah memperkuat
proses pembelian sebuah gudang gula milik pengusaha dari suku itu, yang tidak
disebut namanya, oleh TPL di Glodok. Kemudian, streotip yang kedelapan memiliki
dua dampak, secara langsung dan tidak langsung, pada tokoh CBK. Secara langsung,
stereotip kedelapan berdampak pada penangkapan orang-orang Kong Koan oleh
93
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
J epang. Secara tidak langsung, karena kelicikan Thio Boen Hiap agar orang-orang
Kong Koan bebas, Tinung dijadikan jugun ianfu di Sukabumi.
Stereotip-stereotip itu juga berpengaruh pada proses interaksi tokoh-tokohnya.
Stereotip itu selanjutnya menentukan sikap yang diambil para tokoh yang berlakuan.
Kemudian, stereotip itu menunjukkan dampaknya melalui sikap dari orang yang ikut
berinteraksi. Sikap itu selanjutnya dapat menimbulkan konflik atau tidak.
Mengenai tujuan kedua penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Secara keseluruhan, stereotip terhadap masyarakat Tionghoa yang ada di CBK dapat
diasumsikan sebagai penjelasan atas stereotip masyarakat Tionghoa yang beredar di
masyarakat saat ini. Tidak semua stereotip yang beredar di masyarakat seperti yang
disebut Winarta terbantahkan oleh cerita CBK. Akan tetapi, CBK menampilkan
realitasnya dalam lakuan para tokohnya.

94
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
DAFTAR PUSTAKA


Andriyati. 2006. Gambaran Latar Sosial Budaya Masyarakat Pribumi dan
Peranakan dalam The Belle of Tjililin, skripsi. Depok: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Amiruddin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: YA3 Malang dan CV
Sinar Baru Bandung.

Budianta, Melani. 2003. Sastra dan Interaksi Lintas Budaya. Dalam Zaidan,
Abdul Rozak dan Dendy Sugono (ed.). Adakah Bangsa dalam
Sastra?. J akarta: Progres dan Pusat Bahasa Depdiknas.

David Hwa Kian Hauw. J anuari 2002. Tentang Ca-Bau-Kan Karangan Remy
Sylado. Kita Sama Kita No. 5 Tahun II.

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. J akarta:
Pusat Bahasa Depdiknas.

Hariyono, P. 1993. Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi
Kultural. J akarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hudson, William Henry. 1963. An Introduction to The Study of Literature.
London: George Harrap.

Harimurti-Kridalaksana. 1991. Mitos tentang Terjadinya Bahasa Indonesia dari
sebuah Kreol. Dalam Harimurti-Kridalaksana (ed.). Masa
Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta:
Kanisius.

Lubis, Akhyar Yusuf. Oktober 2004. Memahami Cultural Studies dan
Multikulturalisme dari Perspektif Pascamodern. Wacana, Vol. 6
No. 2.

Marhaeni, Tri Fajar. 1996. Drama Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1910)
Karya F. Wiggers: Tinjauan Sosiologi Sastra, skripsi. Depok:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. J akarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
95
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007

Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. J akarta:
Balai Pustaka.

Soekanto, Soerjono. 1998. Sosiologi: Suatu Pengantar. J akarta: PT RajaGrafindo
Persada.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. J akarta: Pustaka J aya.

Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. J akarta:
Grasindo.

Sumardjo, J akob. 2000. Novel-Novel Populer Indonesia. Dalam Kratz, E.
Ulrich. Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. J akarta: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG).

---------------------. 1995. Apresiasi Sastra dan Pendewasaan Manusia. Dalam
Sumardjo, J akob. Sastra dan Massa. Bandung: Penerbit ITB.

Suparlan, Parsudi. 2004. Hubungan Antar-Sukubangsa. J akarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian (YPKIP).

Sylado, Remy. 1999. Ca-Bau-Kan. J akarta: Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG).

Tanuwibawa, J ean. 1988. Perkawinan Campuran dan Pernyanyian dalam Dua
Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang: Telaah Perbandingan
antara Tjerita Njai Dasima dan Tjerita Njai Soemirah, skripsi.
Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit
Angkasa.

Titisari, Oriana. 2003. Stereotip dan Multikulturalisme dalam Karya Sastra
Indonesia, Kumpulan Makalah Mahasiswa Berprestasi 2003
Tingkat Fakultas. Depok: Subbagian Kemahasiswaan FIB UI.

Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakiau di Indonesia. J akarta: Garba Budaya.

Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. J akarta:
Mata Bangsa.

Wasono, Sunu. 1999. Pri Non-Pri: Sekitar Gagasan Pembauran dalam Karya
Sastra. Teroka, Vol. 1, No. 1, Agustus.

96
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan, terj. Melani
Budianta. J akarta: PT Gramedia.

Winarta, Frans Hendra. 2004. Bhineka Tunggal Ika Belum Menjadi Kenyataan
Menjelang HUT Kemerdekaan RI Ke-59. Suara Pembaruan, 28
J uli.
97
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
LAMPIRAN



POHON KELUARGA TPL SEMARANG




Uking Jene Tan Tiang Tjing Soetini





TPL Bandung Tinung TPL Semarang Nio Kat Nio





Tan Giok Lan** Tan Giok Lan Tan Kim San
(Nyonya G.P.A. Dijkoff)
Tan Kim Hok

Ginandjar L. Sutan Tan Giok Lan*







Keterangan:
Laki-laki
Perempuan
* Wafat ditumbalkan TPL Semarang untuk pesugihan
**Wafat di negeri Belanda karena sakit
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007
RIWAYAT HIDUP PENULIS

SUKOJ ATI PRASNOWO, lahir di Mampang Prapatan, J akarta pada
tanggal 19 November 1982, adalah anak bungsu dari Bapak Soetadi
(alm.) dan Ibu Soekartilah.
Ia menempuh pendidikan dasar di SDN 03 Pagi Mampang Prapatan,
pendidikan menengah pertama di SLTPN 43 J akarta, dan pendidikan menengah atas
di SMUN 55 J akarta. Kemudian, pada tahun 2002 ia melanjutkan studi bahasa dan
sastra Indonesia di Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Pada awal tahun 2007 ia menamatkan studinya itu dan
memperoleh gelar Sarjana Humaniora dengan menulis skripsi berjudul Stereotip
terhadap Masyarakat Tionghoa dalam Ca-Bau-Kan.
Kegiatannya selama masa sekolah dan kuliah di antaranya adalah aktif di
organisasi Rohani Islam, Palang Merah Remaja, majalah kampus Ekspresi dan Our
Campus Freemagz, dan Badan Perwakilan Mahasiswa tingkat fakultas. Selain itu, ia
juga mengajar bahasa Indonesia di beberapa bimbingan belajar di J akarta dan Depok.
Karyanya yang sudah dipublikasikan adalah sajak Ilusi Kabur Seorang
Penabuh Genderang dan prosa-lirik Manu dalam majalah Ekspresi edisi Februari
2005, artikel Tentang Cerita Cerita Pendek dan esai foto Kisah Klasik di Pasar
Minggu dalam Our Campus Freemagz edisi April 2006, dan juga cerpen
Shandyakala ingkang J umawa dalam Batak is The Best: Kumpulan Cerpen Anak-
Anak UI (2006).
99
Stereotip terhadap..., Sukojati Prasnowo, FIB UI, 2007

You might also like