You are on page 1of 33

HUKUM ACARA PIDANA

A. KETENTUAN UMUM HUKUM ACARA PIDANA Hukum Acara Pidana memiliki ruang lingkup, yaitu mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada proses pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) oleh Jaksa. Dengan telah dibentuknya KUHAP, maka diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai kepada peninjauan kembali (herziening). Selain itu juga terdapat hal-hal yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, misalnya dalam hal pembuktian. 1. Kedudukan Hukum Acara Pidana Dalam materi pengantar ilmu hukum, diketahu bahwa hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara dan hukum privat mengatur tentang hubungan antara sesama anggota masyarakat. Hukum pidana sendiri terbagi atas hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut Prof. Moeljatno Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut (Criminal Act). b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dalam ketentuan pidana (Criminal Liability/Criminal Responsibility). Bagian ke-1 dan ke-2 masuk dalam lingkup Substantive Criminal Law/Hukum Pidana Materiil. Selanjutnya untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut kita menggunakan Criminal Procedure / Hukum Acara Pidana, Hukum acara pidana yang juga dikenal dengan hukum pidana formil termasuk dalam hukum publik sebagaimana tergambar dalam bagan di bawah :

Hukum pidana materiil mengatur syarat yang menimbulkan hak penuntutan atau menghapuskan hak itu. Begitu pula hukumannya, dengan kata lain mengatur terhadap siapa, bilamana dan bagaimana hukuman harus dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara menjalankan hak penuntutan; dengan kata lain menetapkan tata cara mengadili perkara pidana. Sifat publik hukum acara pidana terlihat pada saat suatu tindak pidana terjadi pihak yang bertindak ialah negara melalui alat-alatnya, lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntutan pidana dimonopoli oleh negara (dalam hal ini jaksa sebagai perwakilan dari negara). 2. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, di Inggris disebut criminal procedure law, sedang di Amerika Serikat memakai istilah criminal procedure rules, adapun di Perancis disebut code dinstruction criminille. Menurut Simons, hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Menurut Andi Hamzah definisi dari JM van Bemmelen lebih tepat dan lengkap yang mendefinisikan: Hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana : a) Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. b) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. c) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. d) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut e) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. f) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. g) Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro mantan Ketua Mahkamah Agung RI mendefinisikan hukum acara pidana sebagai suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan

dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan menegakkan hukum pidana. Seluruh definisi yang diberikan oleh para ahli Hukum Pidana, seperti diuraikan di atas pada dasamya adalah sama, yaitu mendefinisikan Hukum Acara Pidana merupakan: a. Serangkaian peraturan. b. Dibuat oleh negara (undang-undang) c. Yang memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum. d. Untuk melakukan tindakan penyidikan penuntutan dan menjatuhkan pidana. e. Terhadap pelaku tindak pidana. 3. Fungsi / Tujuan Hukum Acara Pidana a) Fungsi Penegakan Hukum Usaha untuk menciptakan tata tertib keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat, baik merupakan usaha penegakan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. b) Tujuan Mencari dan Mendapatkan Kebenaran Materiil Yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. c) Melaksanakan Putusan Pengadilan Setelah upaya hukum dilakukan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka jaksa melaksanakan putusan pengadilan. d) Tujuan Melindungi Hak Asasi Manusia Di samping bertujuan menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, hukum acara pidana juga bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban, maupun si pelanggar hukum. Tujuan hukum acara pidana seperti dikemukakan dalam Pedoman Pelaksana KUHAP seperti dikutip di atas dapat dirumuskan menjadi tiga fungsi menurut van Bemmelen yaitu :

a. b. c.

Mencari dan menemukan kebenaran. Pemberian keputusan oleh hakim. Melaksanakan keputusan.

Apabila kita simak definisi hukum acara pidana sebagai diuraikan sebelumnya, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan, bahwa tujuan/fungsi hukum acara pidana adalah untuk menegakkan atau mengkongkritkan hukum pidana materiil. Seperti contoh dikemukakan sebelumnya, bagaimana seorang yang melakukan pencurian atau pembunuhan dapat dijatuhkan pidana yaitu dengan melalui proses penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan dan melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Dengan demikian hukum pidana dan hukum acara pidana merupakan dua hal yang saling berkaitan dan melengkapi dalam penanganan suatu perkara pidana sehingga kepastian dan keadilan hukum dapat dicapai. 4. Sejarah Singkat Hukum Acara Pidana Indonesia

Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui sabda Raja No. 1 tanggal 6 Mei 1946 memerintahkan untuk menetapkan dan memperlakukan suatu peraturan tata usaha kepolisian beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara kriminil yang dilakukan oleh golongan bumi putera dan yang dipersamakan. Mr. H.L. Wichers yang berasal dari negeri Belanda berhasil menyusun rencana peraturan dimaksud dan menyampaikan kepada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen pada tanggal 6 Agustus 1847. Setelah beberapa kali melalui perdebatan dan perubahan akhirnya Gubernur Jenderal menerima rancangan dan diumumkan melalui Stb. No. 16 tanggal 5 April 1848 dan kemudian disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 No. 93 diumumkan dalam Stb. 1849 No. 63 yang dikenal dengan Inlandsch Reglement (IR). IR ini juga beberapa kali mengalami perubahan antara lain pada tahun 1926 dan 1941, melalui Stb. 1941 No. 44 ditetapkan antara lain Reglemen Bumiputera setelah diadakan perubahan dalam ordonansi ini akan berlaku di dalam darah hukum Laundraad yang kemudian disebut Herziene Inlandsch Reglement. (H.I.R). Perlu dicatat bahwa pada mulanya HIR pada dasarnya hanya berlaku bagi bangsa Eropa dan warga negara Indonesia keturunan asing serta bangsa Indonesia asli yang tunduk pada hukum sipil barat, yaitu golongan yang merupakan justiciabelen dari Raad van Justitie. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan UU Darurat tahun 1951 No. 1 (Lembaran Negara 1951 No. 9) yang melakukan perubahan total mengenai susunan kehakiman. Pengadilan

negeri dibentuk menggantikan Laundraad dan sekaligus Raad van Justifies, dan HIR merupakan pedoman beracara di pengadilan negeri baik dalam perkara perdata maupun pidana sipil. Pada kenyataannya meskipun HIR telah diberlakukan untuk semua pengadilan negeri namun terhadap Pengadilan Negeri di luar Jawa dan Madura, masih berlaku ketentuan Rechtsregleinent Buitengewesten (Reglement untuk daerah seberang). Oleh karena HIR belum memberikan jaminan hukum bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka maka setelah melalui perdebatan panjang akhirnya lahirlah undang-undang hukum acara pidana yang baru pada tanggal 31 Desember 1981 yang dikenal dengan Undang-undang No. 8 tahun 1981 (LNRI No. 76 TLN No. 3209) selanjutnya disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menggantikan HIR. Perkembangan Hukum Acara dari HIR ke KUHAP pada dasarnya merupakan perubahan Dari sistem Inkuisitorial (HIR) ke sistem Akusatorial (KUHAP) dimana dalam Sistem Inkuisitorial tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan (mengabaikan HAM) sedangkan dalam Sistem Akuisatorial : tersangka diperlakukan sebagai subjek pemeriksaan (menghormati HAM) Perbedaan HIR dan KUHAP dapat kita lihat pada tahap pemeriksaan yaitu : Dalam HIR : pengakuan adalah bukti, hal tersebut menimbulkan pemaksaan &

penyiksaan agar tersangka mengaku karena dengan adanya bukti (pengakuan tersebut) maka BAP dapat disusun Dalam KUHAP : keterangan tersangka adalah bukti, jadi cukup dengan keterangan

(tidak perlu pengakuan) BAP dapat disusun 5. Sejarah Singkat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pada tahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman yang dibentuk pada tahun 1967 memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional II yang diselenggarakan di Semarang pada tahun 1968 yang membahas tentang hukum acara pidana dan hak asasi manusia yang diprakarsai oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), Panitia Intern Departemen Kehakiman bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Hankam Polri dan

Departemen Kehakiman dengan merujuk pada hasil seminar tersebut menyusun Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang setelah disempurnakan diserahkan kepada Sekretaris Kabinet oleh Menteri Kehakiman pada tahun 1974.

Pada tahun 1979 diadakan pertemuan kembali antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Kapolri dan Hakim Agung guna membahas penyempurnaan rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan melibatkan juga organisasi profesi seperti peradilan, IKAHI, Persaja, Persahi dan lain-lain. Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/P.U/IX/1979 Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disampaikan kepada DPR. Pada tanggal 9 Oktober 1979 diadakan pembicaraan Tingkat I kemudian dilanjutkan pembicaraan tingkat II dalam sidang Paripurna DPR-RI. Dan pada pembicaraan tingkat III dalam sidang Komisi diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR-RI bahwa pembicaraan tingkat III dilakukan oleh gabungan Komisi III dan I. Gabungan Komisi III dan I bekerja sejak 24 November 1979 sampai dengan 22 Mei 1980 yang memutuskan dibentuk tim sinkronisasi yang diberi mandat penuh. Tim sinkronisasi bersama dengan wakil pemerintah melakukan rapat-rapat mulai tanggal 25 Mei 1980 yang dilakukan secara maraton baik di Senayan maupun di luar kompleks DPR-RI. Setelah berlangsung kurang lebih dua tahun yaitu pada tanggal 9 September 1981. Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui SIGAB Komisi III dan I DPR-RI. Pada tanggal 23 September 1981 sidang paripurna DPR-RI Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1981 Presiden Soeharto mensahkan menjadi undang-undang. B. ASAS HUKUM ACARA PIDANA

Undang-undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu UU No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya sistem peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan

evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. Asas-asas ini pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu:

1. a.

Asas-asas Umum dalam sistem peradilan pidana Asas Legalitas dan Asas oportunitas

Suatu asas yang menjadi landasan bagi seluruh asas yang ada dalam hukum pidana dan hukum acara pidana yang pada intinya menyatakan bahwa segala upaya penegakan hukum harus didasarkan the rule of law dan supremasi hukum, dimana undang-undang yang merupakan acuan baku menjadi sandaran utama. Dam hukum pidana Pasal 1 ayat 1 KUHP yang dalam adagiumnya dirumuskan sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. Dimana disebutkan bahwa tidak ada tindak pidana tanpa didasarkan atas peraturan peundang-undangan tertulis dan tidak dapat dipidana seseorang kecuali didasarkan pada sanksi pidana yang ditentukan oleh aturan perundang-undangan. Dalam hukum acara pidana asas ini harus dimaknai bahwa berjalannya sistem peradilan pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana termasuk didalamnya segala kewenangan yang dijalankan oleh penegak hukum harus didasarkan kepada aturan perundang-undangan yang berjalan. Asas ini secara sederhana disebut sebagai asas yang hanya menuruti bunyi suatu peraturan perundang-undangan.Karenanya Pasal 6 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 menyatakan tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang. b. Peradilan Pidana oleh Ahli Hukum

Pada hakekatnya peradilan pidana harus dilakukan oleh ahli hukum menjadi dasar dalam penyelenggaraan peradilan. Hal ini pada dasarnya adalah layak karena penyelenggaraan peradilan memerlukan pengetahuan hukum yang baik. Hal ini juga terkait dengan perlunya pendampingan bagi tersangka dan terdakwa oleh para penasihat hukum. c. Jaksa Sebagai Penuntut Umum

Dalam hukum acara pidana di Indonesia, pihak pendakwa pada hakekatnya adalah wakil dari negara yang diwakili oleh suatu instansi yang terlepas dari lembaga pengadilan yaitu kejaksaan. Dalam KUHAP dalam pasal 1 angka 6 dinyatakan :

6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Ketentuan ini pada dasarnya menegaskan bahwa: (1) Bukanlah orang perorangan yang menjadi pihak pendakwa di muka hakim (2) Dan bukanlah hakim yang yang mengambil tindakan pertama (initatief) dalam suatu perkara pidana. Sifat hakim adalah menunggu sampai perkara-perkara diajukan dimukanya oleh pihak lain. Karenanya dalam perkara pidana kehendak penuntutannya bukan berasal dari individu anggota masyarakat, karenanya sudah selayaknya yang memajukan adalah Jaksa. d. Asas Oportunitas

Berkaitan dengan asas legalitas dan asas jaksa sebagai penuntut umum, menimbulkan kewajiban kepada institusi kejaksaan untuk aktif bergerak sebagai bagian dari penegak hukum yang mambu melakukan penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Karenanya bila telah ada suatu bukti permulaan yang cukup maka wajib baginya untuk melakukan tindakan penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum tidak boleh tidak harus melakukan penuntutan pada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana dan telah berstatus sebagai tersangka. Namun demikian terkait dengan kewenangan jaksa dalam menjalankan tugasnya, Hukum Acara Pidana Indonesia juga menganut asas Oportunitas yang diatur pada pasal 32c Undang-undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan yang berbunyi: Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Jadi asas Oportunitas merupakan asas dimana penuntutan umum (Jaksa Agung) tidak harus menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini sejalan dengan apa yang dikenal dengan Dominus Litis wewenang penuntutan sepenuhnya milik penuntut umum. e. Perlakuan yang sama di muka hukum

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dimana setiap orang. Asas ini menjadi fundamental dalam Hak asasi

manusia karena sangat terkait dengan persoalan diskriminasi yang merupakan dianggap merupakan salah satu permasalahan HAM utama. Diskriminasi dimaknai sebagai: segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat Bagian I, Pasal 1 (1) Konvensi Internasional tentang Pernghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 Dalam melindungi dan melayani masyarakat, penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi secara tidak sah berdasarkan ras, gender, agama, bahasa, warna kulit, pandangan politik, asal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (UDHR, Pasal 2; ICCPR, Pasal 2 dan 3, CERD, Pasal 2 dan 5) Dalam hal ini upaya-upaya bagi penegak hukum untuk memberlakukan langkah-langkah khusus tertentu yang dirancang untuk menangani status dan kebutuhan khusus dari perempuan (termasuk perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan), anak-anak, orang sakit, orang tua dan lain-lain yang membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional (ICCPR, Pasal 10; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women CEDAW, Pasal 4 (2) dan 12 (2); Convention on the Rights of the Child Pasal 37 dan Pasal 40; Standart Minimum Rules for The Treatmen of Prisoners, Pasal 5,8,53,82 dan 85 (2);Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment prinsip 5(2); United Nations Standard of Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice Peraturan Beijing- peraturan 1-8,Pasal 6 dan 7 UDHR, Pasal 16 ICCPR, Pasal 5 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) Setiap negara dihimbau untuk melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan menjamin hak bagi setiap orang, tanpa melihat ras, warna kulit, atau asal bangsa atau suku, untuk diperlakukan sama di dalam hukum, khususnya dalam menikmati hak-hak di bawah ini: a. hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum pengadilan dan dihadapan badan-

badan administratif keadilan lainnya b. hak untuk rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan atau kerusakan

fisik, baik yang disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, atau lembaga tertentu.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999, namun belum menyusun UU Anti Diskriminasi. Karenanya secara sederhana asas ini harus dimaknai : a. b. c. f. Sama derajat di depan hukum (equal before the law) Mempunyai perlindungan sama oleh hukum (equal protection on the law) Mendapat perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal justice under the law). Peradilan yang Bebas, Sederhana dan Cepat serta Biaya Ringan

Asas ini harus ditegakkan pada semua tingkat pemeriksa dan sangat menyangkut pada sikap mental aparat penegak hukum. Pada pasal-pasal dalam KUHAP di samping ada tindakan aparat yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu, akan tetapi lebih banyak pasal yang hanya menyebutkan dengan kata Adanya dua titik perhatian yang penting, yaitu: 1) 2) Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh apapun (independent judiciary); Proses peradilan pidana harus dilakukan secara cepat dan sederhana (speedy trial).

Kebebasan peradilan adalah titik pusat dari konsep negara hukum yang menganut paham rule of law, di mana hukum ditegakkan dengan secara tidak memihak (impartial), baik terhadap tersangka/terdakwa/pelaku, Jaksa Penunut Umum dan korban (masyarakat). Peradilan yang bebas tidak akan mengijinkan bahwa seseorang telah dianggap bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat tentang hal itu, Tidak akan mengijinkan adanya show trials di mana terdakwa tidak diberikan atau dikurangi kesempatan yang layak untuk membela diri secara maksimal. Sehingga pembatasan waktu persidangan dengan mematok sekian hari, adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap upaya hukum untuk mencari kebenaran materiil. Tidak hanya merugikan terdakwa namun juga merugikan hakim dan terutama adalah merugikan hukum. Adalah suatu bentuk penjelmaan peradilan yang sesat apabila orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian ataupun pembelaan. Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 1981, menyatakan : Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa

Proses peradilan yang cepat dan sederhana merupakan tuntutan yang logis dari setiap tersangka atau terdakwa, apalagi dirinya dalam tahanan. Dengan mengingat pada: a) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan

ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (Pasal 18 (2)). b) Atas setiap waktu pengurangan kebebasan tersangka atau terdakwa harus dapat

dipertanggungjawabkan penggunaannya demi kepentingan peyelesaian perkaranya. c) Pasal 24(3), Pasal 25 (3), Pasal 26 (3), Pasal 27 (3), Pasal 28 (3), Pasal 29 (5) tidak

menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi d) Pasal 29 (4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut

pada ayat 3 dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggungjawab e) Pasal 50 Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan

selanjutnya diajukan kepada penuntut umum, dan kemudian segera pula diadili oleh pengadilan f) Pasal 52 Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau

terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim g) h) i) Pasal 102 : Penyelidik yang menerima laporan .... wajib segera melakukan ...... Pasal 107 : ...... la segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada ...... Pasal 110 : ...... Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara ......

Dan banyak lagi pasal-pasal yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugas wewenangnya dengan cepat dan tepat dengan menggunakan kata segera. sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan berapa lama (jangka waktu) suatu penyelidikan atau penyidikan dilakukan. Kalau bisa penyidikan diselesaikan dalam waktu 20 hari mengapa harus menunggu sampai 60 hari. Semua tindakan harus dilakukan segera mungkin, apa yang dapat diselesaikan hari ini jangan ditunggu sampai hari esok. Adapun mengenai asas sederhana, artinya dalam penanganan suatu perkara harus cepat dan tepat, jangan bertele-tele, asas sederhana ini dapat dilihat pada acara pemeriksa singkat dan cara pemeriksaan cepat. Asas sederhana juga tercermin dalam hal tertangkap tangan,

pemeriksaan praperadilan, penggabungan pemeriksaan, perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan mengenai asas biaya ringan dapat kita lihat pada surat edaran MA No. KMA/155/X/1881 tanggal 19 Oktober 1981 yaitu minimal Rp 500,00 dan maksimal Rp10.000,00. g. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara laingsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat

diwakilkan oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pemeriksaan Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Pasal 53 (3) KUHAP berbunyi:Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak). Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 KUHAP berbunyi :Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Yang dipandang pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa yaitu putusan verstek atau in absentia. Akan tetapi harus diingat bahwa ini hanyalah pengecualian yaitu dalam perkara pelanggaran lalu lintas. Pasal 213 Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang. Pasal 214 (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan. (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

Ketentuan ini juga dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Pasal 38 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

h.

Peradilan yang terbuka untuk umum

Dimaksudkan adalah adanya public hearing dan dimaksudkan untuk mencegah adanya secret hearings, di mana masyarakat tidak dapat berkesempatan untuk mengawasi apakah pengadilan telah secara seksama melindungi hak terdakwa dan dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada (hukum beracara). Asas ini tidak dimaksudkan untuk diartikan peradilan merupakan suatu show case atau dimaksudkan sebagai instrument of deterence baik dengan cara mempermalukan terdakwa (prevensi khusus) atau untuk menakut-nakuti masyarakat atau potential offenders (prevensi umum). Pasal 53 (3) KUHAP berbunyi: Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak). Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 KUHAP berbunyi Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

2. a.

Asas-asas khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan Peradilan Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan ) individual freedom of the citizen harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis) Pasal 7 Undang-Undang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman merumuskan bahwa : Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hak-hak individu tersebut hanya dapat dilanggar berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan oleh pejabat negara yang ditentukan dalam undang-undang. a) b) Pasal 3 UDHR the right to life, liberty and security Berpedoman Pasal 2 (1) The European Convention for the Protection of Human Rights

and Fundamental Freedom Everyones right to life shall be protected by law. No one shall be deprived of his life intentionally save in the execution of a sentence of a court following his conviction of a crime for which the penalty is provided by law dan Pasal 2 (2) the use of force which is no more than absolutely necessary for defence against violence, lawful arrest, preventing the escape of prisoners or quelling riots or insurrections Penangkapan dan penahanan adalah dalam rangka untuk memperoleh keterangan dari tersangka melalui proses pemeriksaan. Dalam berbagai laporan banyak dilakukan tindakan penyiksaan oleh aparat penegak hukum kepolisian. Akar dari tindakan penyiksaan terdapat dalam diri setiap orang a) Jauh di bawah alam sadar setiap manusia ada semacam dorongan untuk

menghancurkan, menyerang atau menyakiti orang lain b) tara. c) d) Rasa sakit adalah sebagai tungku kebenaran. Penyiksaan adalah merupakan cara yang pasti untuk membebaskan penjahat yang Bila dorongan tersebut terpenuhi, maka akan timbul rasa senang dan puas yang tiada

tangguh dan menghukum orang lemah yang tidak bersalah

e) f)

Penyiksaan merupakan mekanisme untuk menekan pembangkang politik dan ideologis Cara-cara yang kejam biasanya digunakan oleh aparat untuk memperoleh informasi

atau pengakuan, mengkhianati teman, ataupun menyebarluaskan rasa takut untuk mencegah meluasnya oposisi politik Penyiksaan harus dimengerti dalam konteks struktural, khususnya struktur kekuasaan. Terdapat dua motif dasar aparat negara yang dibangun berlandaskan kekuasaan dan bukan kedaulatan dalam melakukan penyiksaan: Pertama, mengatasi perlawanan; dan Kedua, membangun kepatuhan pada masyarakat. Hal tersebut kemudian mendorong diratifikasinya Konvensi Anti Penyiksaan. Sejak 28 September 1998, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998. Pasal 5 DUHAM Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi Pasal 9 DUHAM Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang dengan sewenang-wenang Pasal 7 Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik Tidak seorangpun boleh dikenakan penganiayaan atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau hukuman yang merendahkan harkatnya Dalam hukum acara pidana tatacara pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan pun diatur secara detail dalam beberapa pasal yaitu: 1) Penangkapan

Pasal 1 Angka 20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 16 (1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Pasal 17 Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 1. Angka 19. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Pasal 18 (1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Pasal 19 (1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. (2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

2)

Penahanan

Pasal 1 angka 21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 20 (1) untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. (2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Pasal 21 (1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. (2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. (4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a. b. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335

ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453,

Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Pasal 22 (1) Jenis penahanan dapat berupa a. b. c. penahanan rumah tahanan negara; penahanan rumah; penahanan kota

(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. (3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. (4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. (5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. Pasal 23 (1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk meng alihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan. Pasal 24 (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 25 (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 26 (1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi, (4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 27 (1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 28 (1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.

(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 29 (1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang

dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau b. lebih. (2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat : a. b. c. d. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri; pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi; pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung; pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau

(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. (5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.

(6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat : a. b. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi; pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah

Agung. Pasal 30 Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96. Berdasarkan Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29 maka kita dapat simpulkan sebagai mana tabel berikut: LAMA PENAHANAN Instansi Lama penahanan Polri Kejaksaan Pengadilan negeri Pengadilan tinggi Mahkamah Agung Jumlah Perpanjangan Khusus Pasal 31 20 20 30 30 50 150 30 Perpanjangan penahanan 40 30 60 60 60 250 30 60 50 90 90 110 400 60 Jumlah

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 3) Penggeledahan

Pasal 1 Angka 17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Artinya untuk menggeledah sebuah rumah maka penyidik polri harus meminta izin terlebih dahulu kepada pengadilan negeri setempat. Sedangkan pasal 1 angka 18 menyebutkan Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita. Pasal 32 Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 33 (1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan. (2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. (3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. (4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.

(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34 (1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan : a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di

atasnya; b. c. d. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Pasal 35 Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki : a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; b. c. tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan; ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Pasal 36 Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalarn Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus

diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan. Pasal 37 (1) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. (2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. 4) Penyitaan

Pasal 1 Angka 16. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pasal 38 (1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Pasal 39 (1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga

diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau

untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. e.

benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Pasal 40 Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Pasal 41 Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. Pasal 42 (1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. (2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Pasal 43 Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan

atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. b. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan

terhadapnya Merupakan unsur dasar dalam hak warga negara atas liberty and security, yang menurut Paul Sieghart adalah: 1) no one shall be arrested or detained except on grounds, and by procedures,

established by law; 2) 3) 4) 5) when anyone is arrested, he must be told why he must then be brought promptly before a judicial officer and either released or tried within a reasonable time he must always be entitled to test the legality of his detention by proceedings before a

court Asas ini merupakan bagian pemahaman yang benar tentang due process of law, di mana salah satu unsurnya adalah tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya. Untuk itu saat di periksa oleh penyidik harus diberitahu dengan jelas alasan mengapa ia ditangkap. Penasehat hukum diberikan hak untuk mempelajari berkas perkara yang disusun penyidik sebelum diajukan ke jaksa penuntut umum c. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya

Pelaksanaannya terletak pada tahap purna-ajudikasi, sehingga menyangkut pada diri terpidana. Hakim (pengadilan) biasanya berpendapat tanggungjawabnya hanya sebatas telah diberikan putusan. Haruslah selalu menjadi pedoman bahwa pidana penjara bukan sebagai satu-satunya sarana atau cara untuk menjadikan orang menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Masih terdapat sekian banyak alternatif hukuman yang dapat dipilih selaras dengan atau yang sesuai dengan masing-masing individu pelaku tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan.dan kepentingan masyarakat (individualisasi sanksi); Khusus dalam hal putusan perampasan kemerdekaan tanggung jawab moral hakim (pengadilan) mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana sampai dengan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Tegaknya keadilan bagi terpidana juga merupakan tanggungjawab

hakim selama terpidana berada di Lembaga Pemasyarakatan. Terpidana tetap masih mempunyai hak sebagai warga negara walaupun ia ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Untuk itulah perlu adanya hakim pengawas dan pengamat putusan (Hakim WASMAT) 3. Asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan terhadap tersangka-terdakwa

a. Pra Duga Tak Bersalah Asas ini disebutkan dalam undang-undang Pokok-Pokok kekuasaan Kehakiman. Sementara dalam KUHAP, Pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Dalam KUHAP Asas ini memang tidak dirumuskan secara tegas. akan tetapi dapat ditafsirkan dari Pasal 66 KUHAP Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian yang mengandung asas utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil yang mencakup sekurang-kurangnya: 1) Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara (aparat penegak

hukum); 2) Pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya tersangka atau terdakwa pelaku

tindak pidana serta dilakukan dalam sidang pengadilan yang harus terbuka (tidak boleh dirahasiakan); 3) Tersangka atau terdakwa diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri

sepenuhnya b. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian dan rehabilitasi), dan

penghukuman bagi aparat yang menegakkan hukum dengan cara yang melanggar hukum Hak ini mengandung dua asas pertama, hak warga negara untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk ganti kerugian (uang) dan rehabilitasi (pemulihan nama); kedua, kewajiban dari pejabat penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perilakunya dalam

melaksanakan penegakan hukum, dengan tidak membebankan keseluruhan tanggungjawab kepada Negara. Penjelasan UU Nomor 8 Tahun 1981 bahwa pembangunan hukum nasional dibidang acara pidana adalah untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia Jaminan akan hal tersebut tertuang di dalam: 1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam

Pasal 9 ayat (1) menyatakan Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Sedangkan ayat 2) 3) Praperadilan Pasal 77 Pasal 83 UU Nomor 8 Tahun 1981 Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Pasal 95-Pasal 97 UU Nomor 8 Tahun 1981 dan PP

Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 7 Pasal 15 4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam

Pasal 9 ayat (2) dengan tegas menyatakan pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana. Artinya setiap pejabat yang telah menangkap, menahan, menuntut dan mengadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, maka pejabat tersebut dapat dipidana. c. Hak untuk mendapat bantuan hukum

Sebagai konsekwensi dari tiga asas sebelumnya, maka harus terdapat equality of arms Karena dalam pengumpulan bukti, Kepolisian dan Kejaksaan (negara) mempunyai kesempatan yang lebih besar dibanding dengan kesempatan yang dimiliki tersangka dan terdakwa (disadvantage), apalagi bilamana tersangka atau terdakwa dalam posisi ditahan. Maka, akan terjadi ketidak seimbangan dalam persoalan kemampuan hukum (pengetahuan hukum tertuju pada kasus yang terjadi) dan jangkauan dan penjelajahan bukti antara tersangka dan terdakwa dibanding dengan kepolisian (penyidik)dan kejaksaan (penuntut umum).

Kemudian secara psikologis, tersangka atau terdakwa adalah pihak yang dalam posisi lemah saat berhadapan dengan kepolisian, kejaksaan dan hakim untuk itu perlu adanya kehadiran pendamping. Hingga saat sekarang proses pemeriksaan masih merupakan area yang rawan untuk terjadinya pemaksaan (dengan kekerasan, ancaman kekerasan, pemerasan) karena yang dijadikan target oleh Kepolisian dan Kejaksaan adalah pengakuan dan bukan keterangan tersangka. Untuk itu diperlukan adanya kehadiran pendamping yang tidak harus namun lebih baik penasehat hukum yang bebas (an independent legal profession) artinya tidak berkongkalikong dengan aparat penegak hukum dan tidak perlu takut apabila membela klien yang tidak disukai oleh masyarakat atau negara sekalipun. d. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan

Prinsip secara universal menyatakan bahwa Pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Betapapun kuatnya bukti yang dimiliki oleh polisi dan jaksa, akan tetapi mengetahui sisi lain perkara dari pihak terdakwa dengan cara didengar dan turut menjadi pertimbangan dalam memutuskan harus dilakukan. Melanjutkan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran dari terdakwa telah terjadi pelanggaran hak terdakwa untuk membela diri dan asas praduga tidak bersalah. Peradilan secara in absentia tidak dimungkinkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 seperti termuat dalam Pasal 145 (5), 154 (5), 155 (1), 203 dan 205. Kecuali dalam perkara pelanggaran lalu lintas Pasal 214 dan tindak pidana korupsi. Mensandingkan antara perkara pelanggaran lalu lintas Pasal 214 UU Nomor 8 Tahun 1981dan tindak pidana korupsi untuk meniadakan prinsip peradilan dengan hadirnya terdakwa adalah tidak tepat. Peradilan secara in absentia dalam perkara pelanggaran lalu lintas, adalah suatu pilihan yang tepat dengan mengingat sedemikian mudahnya pembuktiannya dan sangat ringannya tindak pidana beserta akibatnya. Dan itupun kalau pelaku menghendaki pembuktian yang lebih baik, maka dapat dipergunakan acara biasa. Tidak boleh ditafsirkan dari asas ini bahwa kehadiran dari terdakwa di persidangan adalah untuk mempermalukan terdakwa dengan cara mempertontonkan di muka umum. Tapi hanyalah memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan dengan memperlakukannya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Secara singkat dapat kita simpulkan bahwa asas-asas dalam Hukum acara pidana adalah sebagai beriku: 1) 2) Asas legalitas Asas Keseimbangan (keseimbangan antara kepentingan Individu dengan kepentingan

umum ) 3) 4) 5) 6) Asas Praduga tak bersalah Asas pembatasan penahanan Asas Ganti Rugi & Rehabilitasi Asas penggabungan perkara pidana & ganti rugi (perdata) sebelum KUHAP berlaku

(HIR) tidak ada. 7) 8) 9) Asas Unifikasi Asas Deferensiasi Fungsional (pemisahan tugas) Asas Saling Koordinasi

10) Asas Peradilan Sederhana, cepat, biaya ringan 11) Asas Peradilan terbuka untuk umum Asas-Asas Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Pasal 5 ayat (1): mengadili menurut hukum tanpa membeda-bedakan orang Pasal 8: presumption of innocence Pasal 19: terbuka untuk umum (dan pasal 20) Pasal 4 ayat (2): c. Justitie Pasal 1: kekuasaan negara yangg merdeka Pasal 18: dengan hadirnya terdakwa Pasal 9: ganti rugi & rehabilitasi

C.

SUBJEK DAN OBJEK HUKUM ACARA PIDANA

1. a. -

Subjek Hukum Acara Pidana Pelaku Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan

bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana [pasal 1(14) KUHAP] Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang

pengadilan [pasal 1(15) KUHAP] Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap [pasal 1(32) KUHAP] b. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk mengadili [pasal 1(8) KUHAP] c. Jaksa/Penuntut Umum Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. [pasal 1(6) KUHAP] Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim [pasal 1(6) KUHAP] d. Polisi Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan[ pasal 1(1) KUHAP] Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena

diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undangundang ini [ pasal 1(3) KUHAP] Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan[ pasal 1(4) KUHAP] e. Penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau

berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum [pasal 1(13) KUHAP]

f.

Saksi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri [pasal 1(26) KUHAP]

You might also like