You are on page 1of 7

KONGRES PGRI KE XIX (PENEGASAN KEMBALI PGRI SEBAGAI ORGANISASI PERJUANGAN, ORGANISASI PROFESI DAN ORGANISASI KETENAGAKERJAAN) Annita

fatmasari, Ria Putri. W, Tiara Cahyaning Putri Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP PGRI MADIUN

ABSTRAK Kongres PGRI ke XIX dilaksanakan di Semarang paada tanggal 8-12 Juli 2003 diketuai oleh Prof. H. Muhammad Surya, dan menghasilkan 4 poin penting yaitu: (1) Penegasan kembali PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan, (2) Diundangkannya UU Guru dan Dosen, (3) Pengakuan Guru sebagai profesi oleh presiden pada tanggal 2 Desember 2004, (4) Tuntutan anggaran pendidikan 20 % berhasil dimenangkan dalam pengajuan melalui yudicial review di Mahkamah Konstitusi.

PENDAHULUAN Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai efek yang sangat besar terhadap seluruh pejuang kemerdekaan pendiri Republik Indonesia dan juga para guru pada kurun waktu pasca tahun 1945. Semangat proklamasi itulah yang menjiwai penyelenggaraan Kongres Pendidikan Bangsa pada tanggal 24-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Putri (SGP) Surakarta, Jawa Tengah. Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wahana persatuan dan kesatuan segenap guru diseluruh Indonesia. Guru dan tenaga kependidikan lain adalah pekerja profesional dibidang pendidikan. Namun sebagai pekerja, mereka lemah. Mereka diangkat, dibayar, dibina, dan diberhentikan berdasarkan

ketentuan yang para guru pun sering tidak terlibat dalam penyusunannya. Akibatnya guru dan tenaga kependidikan sering diabaikan dalam penyusunan ketentuan yang berkaitan dengan dirinya dan pekerjaannya. Dalam kondisi lemah tersebut, guru di Indonesia pada umumnya dilanda berbagai persoalan dan diselimuti awan gelap, sehingga tetap remang. Permasalahan guru sungguh merupakan kondisi yang sangat kompleks dan sulit diselesaikan. Sudah kondisinya demikian, setelah Lulus pun sering diselimuti mendung dan kabut tebal. Banyak yang tidak diangkat dan sulit memperoleh lahan pengabdian dan pekerjaan yang dikehendakinya. Padahal dalam kenyataanya guru masih kurang dan masih sangat diperlukan keberadaannya.

Hanya sistem perekrutan dan pengangkatannya yang memang tidak memadai. Dengan adanya Kongres PGRI ke XIX ini diharapkan PGRI lebih bisa memperjuangkan, mennyejahterakan, mengakui dan menegaskan bahwa guru sebagai profesi dan PGRI merupakan sebuah organisasi profesi, perjuangan dan ketenagakerjaan. PEMBAHASAN Kongres PGRI ke XIX dilaksanakn di Semarang pada tanggal 8-12 Juli 2003. Kongres ini diketuai oleh Prof. H. Muhammad Surya. Hasil kongres PGRI ke XIX ini adalah : 1. Penegasan kembali PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan. a. PGRI sebagai Organisasi perjuangan Sebagai organisasi perjuangan, PGRI merupakan wadah bagi para guru untuk bisa memperoleh,mempertahankan,meningkatkan serta bisa membela hak asasinya baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, maupun pemangku profesii keguruan. PGRI berjuang untuk mewujudkan hak-hak kaum guru dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan dilakukan melalui berbagai cara dan bentuk yang konstitusional, prosedural dan konsepsional dalam memperoleh kehidupan guru yang layak dan sejahtera. Untuk itu PGRI secara konsisten dan konsekuen memperjungkan kesejahteraan guru baik lahir maupun batin, baik materil maupun non materil agar mereka dapat memperoleh

kepuasan kerja yang didukung dengan imbalan jasa yang memadai, rasa aman dalam bekerja, lingkungan kerja yang kondusif, pergaulan antar pribadi yang baik dan sehat, serta memperoleh kesempatan pengembangan diri dan karir (Tim YPLP/PPLP PGRI Pusat, 2011:5). Perjuangan PGI akan sukses bila sesuai dengan prinsip perjuangannya dan dukungan dengan strategi yang tepat. Segenap pengurus dan anggota PGRI harus dimiliki kemurnian perjuangan. Artinya seluruh pengurus dan anggota PGRI harus menjalankan kiprah perjuangannya secara bersungguh-sungguh dan dilaksanakan dengan tanggung jawab yang berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga PGRI (Musaheri). b. PGRI sebagai Organisai Profesi Sebagai organisasi profesi, PGRi berfungsi sebagai wadah kebersamaan dan rasa kesejawatan para anggota dalam mewujudkan keberadaannya di lingkungan masyarakat, memperjuangkan perilaku segala aspirasi dan seluruh kualitas kepentingan suatu profesi, menetapkan standar profesional, melindungi anggotanya, meningkatkan

kesejahteraan, dan mengembangkan kualitas pribadi dan profesi. Setiap anggota PGRI mendapat perlindunagn dalam mewujudkan profesionalismenya (Tim YPLP/PPLP PGRI Pusat, 2011:34). Kinerja guru profesional akan tercermin dalam pelaksanaan tugasnya yang dilandasi keahlian dalam materi amupun metode. Keeahlian yang dimiliki oleh guru profesional

diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat, akreditasi, dan lisensi dari pihak berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi keahliannya, profesi). sosok Disamping profesional dengan guru

akan meningkatkan kualitas dan prestasi agar bermutu. Pada tataran seperti sekarang ini diharuskan segenap masyarakat untuk dipersiapkan menjadi sumber daya manusia yang siap untuk melaksanakan kompetisi yang semakin erat diera global ini dengan perkembangan zaman. Untuk itu, langkah PGRI sebagai organisasi profesi adalah memberikan perhatian khusus untuk serius terhadap keberadaan guru sebagai unsur yang sangat menentukan dan berada di garda depan dalam proses penyiapan sumber daya manusia masa depan c. Organisasi ketenagakerjaan Sebagai organisasi ketenagakerjaan, PGRI merupakan wadah perjuangan tentang hak-hak asasi guru sebagai pekerja, terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan, baik material maupun non material, baik fisik maupun non fisik. Guru sebagai kelompok tenaga kerja profesional memerlukan jaminan yang pasti menyangkut hukum, kesejahteraan, hak-hak pribadi dan warga negara. Perwujudan kesejahteraan secara utuh ditopang oleh lima pilar, yaitu : (1) imbalan jasa; (2) rasa aman; (3) hubungan antar pribadi; (4) kondisi kerja; (5) kesempatan untuk meningkatkan dan mengembangkan diri. Pilar imbal jasa dapat berupa materi ataupun non materi sebagai ganjaran atas kinerja guru sesuai denagn tugas dan fungsinya.Imbalan jasa ini berupa gaji, honor, upah, insentif maupun tunjangan dan hak-hak lainnya sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.

ditunjukkan melalui tanggung jawab dalam melaksanakan keseluruhan pengabdiannya. Ciri profesi selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan diantara semua guru. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan martabat diri dan profesinya atas dasar prinsip silih asih, silih asuh, dan silih asah. Profesionalisme pada dasarnya merupakan motivasi instrisik yang didikung oleh lima kompetensi sebagai berikut : (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal; (2) meningkatkan dan memelihara citra positif; (3) keinginan untuk senantiasa pengembangan meningkatkan mengejar profesional dan kesempatan yang dapat kualitas

memperbaiki

penegtahuan dan keterampilan; (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi; dan (5) memiliki kebanggaan akan profesinya. Profesionalisme guru berkembang sesuai dengan kemajuan untuk iptek dan tuntutan sikap pemerintah. PGRI sebagai organisasi profesi dimaksudkan meningkatkan loyalitas, dedikasi guru sebagai anggota utama PGRI yang pada akhirnya akan berkiprah kepada peserta didik dan masyarakat sehingga

Rasa aman adalah kondisi lahir dan batin yang dirasakan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan menjalani kehidupannya dalam suasana damai, tanpa ancaman dan gangguan dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendidik, pengajar, pelatih, pengasuh, pembimbing, maupun penilai. Hubungan antar pribadi baik sesama guru maupun dengan pihak lain. Melalui PGRI, hubungan antar pribadi dikembangkan dalam bentuk program-program yang bertujuan untuk memupuk rasa kebersamaan, kekeluargaan, namun secara keseluruhan masih memerlukan peningkatan. Kondisi kerja adalah keadaan berbagai aspek fisik ataupun non fisik, baik kualitas maupun kuantitas yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas kinerja guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kesempatan meningkatkan dan mengembangkan diri. Kesempatan yang dimaksud adalah berupa kenaikan pangkat dan jabatan, kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kesempatan memperoleh kedudukan jabatan struktural, kesempatan untuk mendapatkan jaminan pensiun dan hari tua. 2. Diundangkannya UU Guru dan Dosen UU yang mengatur tentang Guru dan Dosen ialah UU No. 14 Tahun 2005. Dalam UU ini yang dimaksud dengan guru itu sendiri ialah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengarahkan, mengajar, melatih, membimbing, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sedangkan dosen itu sendiri yaitu pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan penelitian masyarakat. Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005, tidak lepas dari peran PGRI sebagai organisasi guru. PGRI melakukan berbagai tindakan untuk mewujudkan adanya undang-undang tersebut, dengan adanya UU ini merupakan salah satu bukti bahwa PGRI sangat peduli terhadap guru dan dosen serta keprofesiannya. Kehadiran undang-undang ini sudah tentu menjadi fenomena baru dalam dunia pendidkan Indonesia. Jika kita bandingkan sekarang kebanyakan guru kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Banyak para guru terlantar dan tidak diberdayakan oleh pemerintah, mari kita tengok kembali tentang nasib para guru honorer. Dibandingkan dengan PNS yang kebanyakan kita sering melihat oknum PNS yang kerjanya semaunya sendiri dengan guru honorer yang kerja matimatian tapi berbanding terbalik dengan gaji yang sebenarnya. Pemerintah diharapkan bisa mensejahterakan nasib guru, dimana tidak ada sistem kapitalis dan diskriminatif dalam birokasi pendidikan. dan ilmu pengetahuan, kepada teknologi, serta seni melalui pendidikan pengabdian

3. Pengakuan Guru sebagai profesi oleh presiden pada tanggal 2 Desember 2004 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan organisasi guru pertama yang didirikan pada tanggal 25 November 1945 di Surakarta. PGRI sejak berdiri sampai dengan saat ini tetap gigih untuk terus memperjuangkan peningkatan harkat, martabat, dan kesejahteraan guru. PGRI tetap dapat menjaga independensinya di tengah perubahan kondisi sosial politik Indonesia sejak merdeka sampai dengan orde reformasi saat ini. Tanggal 2 Desember 2004, bertepatan dengan peringatan hari Guru Tingkat Nasional, pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yodhoyono menetapkan guru sebagai profesi. Hal ini tentunya menjadi momentum yang sangat bersejarah dan istimewa bagi guru setelah sekian lama guru memperjuangkan nasibnya. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pemerintah telah memperhatikan profesi guru dan pendidikan secara umum. Guru merupakan salah satu faktor penting yang strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan dan menentukan ke mana bangsa Indonesia ini berjalan dan bagaimana didesain. Malik Fadjar (2005:188) dalam bukunya Holistika Pemikiran Pendidikan menjelaskan bahwa guru menempati posisi sentral dalam mengejawantahkan dan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di negeri ini. Untuk mewujudkan guru yang profesional, pemerintah melalui Depdiknas telah melakukan

berbagai langkah. Antara lain, melakukan sertifikasi guru dalam profesi yang diatur dalam Kepmendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dimana proses penilaiannya menggunakan portofolio. Memberikan pendidikan dan latihan (diklat) kepada guru, dan memberdayakan KKG / MGMP. Selain itu, Depdiknas juga memberikan bantuan pendidikan bagi guru yang belum berkualifikasi S-1 / D IV. Saat ini proses sertifikasi sedang berlangsung, ada yang lulus dan ada yang tidak lulus. Guru yang tidak lulus sertifikasi harus mengikuti Pendidikan dan Latihan Pendidikan Guru (PLPG). Profesionalisme guru juga perlu dihargai dengan penghargaan terhadap profesi guru seperti tunjangan profesi, beasiswa dan promosi bagi guru yang berprestasi, kesempatan dalam pengembangan karier, dan sebagainya. 4. Tuntutan melalui anggaran yudicial detik pendidikan di 20 % berhasil dimenangkan dalam pengajuan review ini Mahkamah Konstitusi Hingga keterbelakangan pendidikan di negeri kita masih menjadi masalah yang terbilang memprihatinkan. Tentu saja keterbelakangan pendidikan bukanlah satu satunya persoalan dan itu tidak berdiri sendiri. Keterbelakangan pendidikan selalu berkaitan dengan keterbelakangan ekonomi. Di masa lalu, kondisi serba terbelakang ini diperparah dengan sistem politik nasional yang memberi peluang kepada pemangku kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang sehingga hak-hak

rakyat banyak terabaikan, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan secara layak. Setelah mengalami amandemen berkali-kali, konstitusi kita dapat dibilang telah memberi perhatian yang cukup pada sektor pendidikan. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 telah memberi jaminan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan secara layak. Untuk mendukung terpenuhinya hak (pendidikan) warga negara itu, pada ayat (4) pasal yang sama ditegaskan bahwa negara mendapat amanat untuk memprioritaskan dana pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berkenaan dengan penerapannya dalam APBN 2005, Fathul Hadie juga mengajukan judicial review terhadap UU No. 36 Tahun 2004 tentang APBN. Pembacaan putusan dalam sidang

total APBN, akan memberikan nafas segar bagi peningkatan pendidikan bagi masyarakat. Putusan yang dibacakan sangat

memuaskan.. Sebab putusan ini berisi untuk tidak menunda dana (pendidikan) 20%. Otomatis (dana pendidikan) APBN 2006 harus sudah 20%. Dan kesepakatan pemerintah dengan DPR kemarin, apabila dana itu sudah 20%, maka wajib belajar bisa ditingkatkan 12 tahun. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, alokasi pendidikan untuk tahun 2005 tetap sebesar 5%. Namun untuk tahun berikutnya, dengan alasan UUD 1945 mengamanatkan pemenuhan anggaran pendidikan 20% per tahun, APBN wajib menganggarkan sebesar 20% khusus untuk pendidikan. Kewajiban ini berkenaan pula dengan telah di-judicial reviewnya UU Sisdiknas, dimana ketentuan pemenuhan anggaran pendidikan 20% secara bertahap dalam UU Sisdiknas dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara substansial, UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2005 (UU APBN 2005) bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. UUD 1945 menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus dipenuhi utuh per tahun sebesar 20%, sementara UU APBN 2005 mengalokasikan anggaran pendidikan hanya sebesar 6%. Tetapi, majelis hakim menyatakan UU APBN 2005 tidak dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu,19 Oktober 2005 dihadiri cukup banyak pengunjung. Beberapa wartawan dan reporter media elektronik terlihat hilir mudik menantii narasumber berita. Hal yang jamak, mengingat judicial review UU Sisdiknas mendapat animo besar dari masyarakat. Sidang judicial review UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) akhirnya memutuskan bahwa pemerintah, sebagai pelaksana bertahap UU, harus memenuhi disebutkan anggaran dalam pendidikan 20% per tahun. Tidak lagi secara sebagaimana Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Pemohon optimis anggaran pendidikan 20% dari

PENUTUP Kesimpulan: Hasil kongres PGRI ke XIX sebagai berikut: 1. Penegasan kembali PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasii profesi dan organisasii ketenagakerjaan 2. Diundangkannya UU Guru dan Dosen 3. Pengakuan Guru sebagai profesi oleh presiden pada tanggal 2 Desember 2004 4. Tuntutan anggaran pendidikan 20 % berhasil dimenangkan dalam pengajuan melalui yudicial review di Mahkamah Konstitusi.

You might also like