You are on page 1of 7

REVIEW ARTIKEL

ARTI PENTING SURVEILANS DAN KARAKTERISASI MOLEKULAR VIRUS SWINE INFLUENZA DI INDONESIA
Mario Lintang Pratama * * Medik Veteriner pada Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta

ABSTRAK Artikel ini berisi studi pustaka mengenai perkembangan terbaru wabah influenza tahun 2009 di Meksiko dari beberapa literatur ilmiah, serta disajikan juga beberapa konsep mendasar akan pentingnya surveilans dan penelitian melalui karakterisasi molekuler virus swine influenzadi Indonesia. Tujuan surveilans adalah untuk melakukan investigasi kasus klinis sebagai langkah mencari hewan terbukti terdedah agen infeksi atau setidaknya berperan dalam melakukan kewaspadaan secara dini (early warning)terhadap wabah influenza A pada babi di Indonesia. Tindakan ini diawali denganmerancang metode pengambilan contoh (sampling methods), menentukan besaran sampeldan memproyeksikan kajian observasional analitik yang tepat untuk dilakukan dilapangan. Aktivitas dilaboratorium diagnostik terbatas untuk melakukan isolasi agen infeksius dari sampel lapangan, serta dilanjutkan dengan usaha menemukan lesi patognomonik infeksi virus swine influenza (H1N1) di organ paru babi.Lokasi terbaik untuk dilakukan surveilans swine influenza adalah rumah potong hewan (RPH) babi. Peningkatan kewaspadaan secara dini dilakukan dengan mengenalkan dan berlatih metode diagnosis swine influenza yang cepat, tepat dan akurat. Salah satu contoh dari metode tersebut, yaitukarakterisasi molekular melalui reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR) secara kualitatif dengan teknis konvensional ataupun secara kuantitatif dengan teknis realtime PCR (qRT PCR).

PENDAHULUAN

Pada bulan April 2009,Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika melaporkan bahwa telah di isolasi virus influenza A (H1N1) dari manusia. Data pada tanggal 18 Mei 2009 melaporkan bahwa dari 8829 laboratorium diagnostik di dunia mengkonfirmasikan telah terjadi kasus infeksi di 40 negara, dengan 74 laporan kematianpada manusia (Garten dkk, 2009; Wang dan Pallese, 2009). Menurut CDC Amerika, virus influenza A (H1N1) yang terisolasi dari manusia mempunyai karakteristik unik yang teramati pada segmen gen yang terkombinasi. Detail mengenai segmen gen yang terkombinasi ini, yaitu dari segmen gen neuraminidase (NA) dan Matriks (M) memiliki kemiripan dengan lineage genetik babi di wilayah eurasia. Kombinasi berbeda untuk NA dan M, dikonfirmasi berasal dari segmen gen virus avian influenza yang telah mengalami reassortant di tubuh babi. Lebih detail

dilaporkan, reassortantpertama terjadi di tahun 1979 pada populasi babi di wilayah eurasia. sebelumnya belum pernah dilaporkan bahwa isolat virus pernah teridentifikasi keluar wilayah eurasia. Konfirmasi untuk segmen gen HA, nukleoprotein (NP) dan non struktural (NS) mempunyai kemiripan dengan lineage genetik dengan classical swine influenza. Determinasi segmen gen HA, NP dan NS untuk classical swine influenza (H1N1) dikonfirmasi berdasarkan sejarah yang awalnyaberasal dari kejadian triple reassortant pertama di tahun 1918. Untuk polimerase B2 (PB2) dan polimerase A(PA) merupakan segmen gen yang telah mengalami triple reassortantdi tahun 1968 dan tahun 1998. Berita mengenai lineage genetik segmen gen PA dan PB2 di informasikan masuk ke wilayah Amerika Selatan pada tahun 1998. Segmen gen terakhir yang dikonfirmasi mengalami triple reassortant, yaitu polimerase B1 (PB1). Untuk segmen gen PB1, identifikasi molekuler dan karakterisasi melalui filogenetik tree di konfirmasi

berasal dari virus dari influenza A yang menyerang unggas di tahun 1968 (Easterday, 2003; Ma dkk.,2008). Virus swine flu atau lebih dikenal sebagai swine-origin influenzaA (H1N1) (S-OIV) mempunyai kesamaan jalur transmisi dengan kejadian flu musiman. Transmisi manusia ke manusia biasa terjadi melalui inhalasi droplet infeksius, utamanya berasal dari kontak langsung sekresi massa aerosol. Jalur transmisi lain yang sangat dimungkinkan, yaitu penularan dari babi ke manusia (Sinha, 2009). Menurut informasi dari MenteriKesehatanRepublik Indonesia padatanggal 9 Juli 2009, berbagai rumah sakit di Indonesia melaporkan sebanyak 52 manusiapositifterinfeksi S-OIV (Kompas, 10 Juli 2009).Dari statement tersebut, maka tidak menutup kemungkinan di Indonesia telah ada masterseed S-OIV yang telah menular ke spesies babi dan siap menular ke manusia. Untuk itu, penelitian melalui karakterisasi molekular virus swine influenza di Indonesia sangat perlu dilakukan. Dengan penelitian, diharapkan dapat memberi data subtipe virus influenzaA yang sering menginfeksi babidi Indonesia yang kemungkinan juga dapat menginfeksi manusia. STUDI PUSTAKA Kejadian Penyakit Swine influenza merupakan penyakit pernafasan pada babi yang ditandai dengan gejala klinis, berupa demam, tachypnea, anoreksia dan dipsnoe (Murphy dkk.,1999; Yoon dan Janke, 2002; Jo dkk.,2007). Fasilitas mixing vessel yang diperantarai oleh tubuh babi telah dipublikasikan dan diterima secara ilmiah sebagai faktor predisposisi penyebab pandemik virus influenza A di manusia (Kida dkk.,1994). Tiga subtipe virus swine influenza yang penyebarannya hampir ada di seluruh negara di dunia, yaitu H1N1, H3N2, dan H1N2 (Brown, 2000). Di Eropa, virus influenza A (H1N1) secara antigenik berbeda dengan virus swine influenza (H1N1) klasik yang secara perdana di identifikasi pada tahun 1979 (Pensaert, 1981).Virus influenza A (H1N2) pertama di identifikasi pada awal tahun 1990, mayoritas kejadian penyakit influenza pada babi disebabkan oleh subtipe ini (Brown, 2000). Determinan antigenik dari

H1N2 di konfirmasimempunyai kedekatan genetik dengan virus influenza A yang berasal dari manusia. Determinasi kesamaan genetik ini berada pada segmen gen HA (H1N2) yang serupa dengan segmen gen HA (H1N1). Sedangkan untuk segmen gen NA (H1N2), dikonfirmasi mempunyai kesamaan genetik dengan human-like N2 neuraminidase (NA). Di Amerika, agen penyebab swine influenzapada babi, di dominasi oleh virus dengan subtipe H1N2 dan H3N2. Konfirmasi lineage genetik virus swine influenza yang berada di Amerika, utamanya merupakan derivat gen virus influenza A yang berasal dari manusia, babi dan unggas. Kejadian triple reassortant virus influenza A yang terjadi di Amerika, dikonfirmasi awalnya terjadi pada tahun 1998 (Ito dkk.,1998; Garten dkk.,2009). Di Asia, informasi mengenai epidemi swine influenza terbatas untuk negara Jepang dan Korea. Untuk negara Jepang dan Korea, tidak ada dominasi subtipe virus influenza A yang menyerang populasi babi. Subtipe virus swine influenza di negara tersebut, agen penyebab penyakit merata teridentifikasi sebagai subtipe H1N1, H1N2, dan H3N2 (Choi dkk.,2004; Ito dkk.,1998; Song dkk.,2003). Terminasi Residu Asam Sialat Sebagai Reseptor Virus Influenza Virus influenza A diinformasikan mampu berikatan dengan terminasi reseptor NeuAc 2,3 yang banyak ditemukan di saluran pencernaan unggas. Reseptor virus influenza unggas bersifat spesifik dan berbeda dengan terminasi reseptor virus influenza pada manusia, yaitu NeuAc 2,6 yang banyak ditemukan pada saluran pernafasan manusia. Deskripsi tersebut memberikan wawasan kepadaahli patologi dan virologi diseluruh dunia bahwa reseptor bukanlah alasan yang absolut bahwa penularan virus influenza A lintas spesies tidak dapat terjadi (Webby dan Webster, 2001). Analisis molekular dari residu asam sialat di trachea babi memberikan informasi bahwa hewan ini memiliki 2 reseptor virus influenza, yaituNeuAc 2,3 dan NeuAc 2,6. Situasi ini menjadikan babi sebagai hospes perantara dalam merubah struktur antigenik epitope HA dan NA (antigenic drift) virus influenza A yang berasal dari unggas dan mammalia.Tidak sebatas me-

rubah struktur protein HA dan NA, selanjutnya hospes perantara ini juga memfasilitasi kejadian rekombinan genetik (genetic reassortment) beberapa gen lain. Proses rekombinan genetik dalam tubuh babi menghasilkan virus influenza A baru dengan keragaman gen yang berasal dari virus avian influenza, classical swine influenza dan human influenza. Virus hasil rekombinan genetik dalam tubuh babi ini yang diinformasikan selalu menjadi pandemi influenza di manusia (Ito dkk.,1998). Perlu diketahui dalam memahami rekombinan genetik virus influenza A, setiap kejadian pandemi influenza A pada manusia memerlukan periode waktu yang berlangsung puluhan tahun. Sebagai contoh, pandemi influenza A pertama terjadi di Spanyol pada tahun 1918, selanjutnya disusul pada tahun 1957, 1977 dan 2009 (Garten dkk., 2009). Influenza Pada Babi Swine influenza merupakan penyakit viral pada babi yang disebabkan oleh virus influenza (Cox dan Kawaoka, 1998). Virus influenza termasuk anggota keluarga orthomyxoviridae, virus ini mempunyai materi genetik berpolaritas negatif, memiliki amplop dan terklasifikasikan menjadi tipe A, B dan C (Voyle, 2002; Murphy dkk.,1999). Setiap tipe virus influenza diklasifikasikan menurut perbedaan sifat antigenisitas struktur protein internal, diperantarai oleh nukleoprotein dan protein matriks (Murphy dkk.,1999). Virus influenza A merupakan agen penyebab penyakit influenzapada beberapa spesies yang utamanya merupakan agen etiologi swine influenza pada babi. Dua tipe lain dari virus influenza, yaitu virus influenza B dan C. Virus influenza tipe B dan C dapat di isolasi dari manusia dan umumnya bersifat kurang patogen dibandingkan virus influenzaA. Determinan antigen utama virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Protein HA berfungsi sebagai agen perlekatan virus dengan sel tropisme, dan merupakan antigen utama pembentukkan antibodi protektif. Protein NA berfungsi pada akhir replikasi virus, yaitu dengan memindahkan residu asam sialat dari glikoprotein membran sel hospes, sehingga mempermudah pelepasan partikel virus dan mencegah

agregasi mereka. Kedua glikoprotein, HA dan NA mampu menstimulasi terjadinya respon imun spesifik terhadap subtipe virus. Respon kekebalan yang terbentuk dalam tubuh babi sepenuhnya bersifat protektif untuk virus dengan subtipe sejenis, dan bersifat partial untuk subtipe yang berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari HA dan NA, saat ini virus influenza ditetapkan sesuai dengan analisis filogenik nukleotida dan sequencing gen HA dan NA melalui identifikasi urutan asam amino (Cox dan Kawaoka, 1998; Voyle, 2002).

Virion spesifik virus influenza A adalah bundar, berukuran medium (80-90 nm), beramplop dengan lapisan lipid bilayer yang berasal dari hospes, dan ditutupi sekitar 500 tonjolan glikoprotein yang memiliki aktivitas hemagglutinin dan neuraminidase. Selain itu, virus swine influenza mempunyai segmen yang tersusun dalam rangkaian RNA, tiap segmen merupakan gen yang akan menghasilkan protein untuk mempertahankan kemampuan viabilitas. Kedelapan segmen ini terdiri dari gen HA, NA, NP, M, PA, PB1, NS, PB1, PB2 dan PA. Dari 8 segmen gen tersebut, terdapat 5 segmen gen yang berfungsi untuk menyandi protein struktural (HA, NA, NP, M dan NS), dan 3 segmen gen yang menjandi protein polimerase (PA, PB1 dan PB2). Komponen protein terbanyak adalah protein matriks (M1) yang susunannya terdiri dari banyak monomer sejenis dan terasosiasi pada bagian internal lapisan lipid bilayer (Cox dan Kawaoka, 1998; Horiomoto dan Kawaoka, 1997).

Amplop virus berasal dari dinding sel hospes yang mengelilingi partikel virus (virion). Dua segmen gen, yaitu gen HA dan NA disandi untuk menjadi glikoprotein yang tersisip di permukaan amplop dan tersingkap sebagai tonjolan dengan panjang 60 nm pada permukaan virion. Kedua glikoprotein ini merupakan antigen penting dalam menentukan variasi antigen virus influenza dan immunitas hospes. Hemagglutinin mewakili 25% protein virion, dan NA sekitar 5%. Protein saluran ion M2 juga berada di amplop, tetapi jumlah protein tersebut terbatas (Fouchier dkk., 2005). Resistensi virus swine influenza

Di alam, resistensi virus influenza dipengaruhi oleh temperatur dan tingkat kelembaban. Temperatur yang rendah dan kelembaban tinggi, biasanya menjadikan resistensi virus influenza diperpanjang. Beberapa penelitian terkait resistensi virus untuk bertahan di alam, antara lain : virus influenza masih efektif di dalam feses seo lama 30-35 hari pada temperatur 4 C dan o selama 7 hari pada temperatur 20 C (Webster et al.,1978), serta pada lingkungan peternakan infektivitas virus dapat bertahan selama 4 hari pada temperatur o 22 C dan lebih dari 30 hari pada tempeo ratur 0 C (Webster dkk.,1978;Hinshaw dkk.,1984). Virus influenza merupakan virus beramplop, kondisi ini menjadikan virus influenza relatif sensitif terhadap inaktivasi oleh pelarut lemak, seperti deterjen. Infektivitas virus juga dapat dirusak dengan cepat, oleh formalin, -propiolakton, agen oksidan, dilute acid, ether, sodium desoxycholate, hidroksilamin, sodium desoksilsulfat dan ion ammonium. Keadaan lain yang mendukung inaktivasi virus influenza berdasarkan instabilitas struktur virus, antara lain panas, pH terlalu tinggi, kondisi non isotonik dan kekeringan (Easterday dkk.,1997). Diagnosis Gold standard untuk diagnosa penyakit swine influenza adalah berdasarkan isolasi dan identifikasi virus. Hingga saat ini, standar kultivasi virus swine influenza masih mengacu pada pemakaian teknik kultur di telur ayam bertunas (TAB) atau melalui teknik kultur sel dengan memakai madin darby canine kidney (MDCK) cell line. Efek sitopatologi di media kultur tidak terlihat secara nyata, tetapi pertumbuhan virus di media biasa ditandai dengan adanya hemadsorbsi di hari ke-3 dan ke-7 pasca inokulasi. Prosedur identifikasi isolat virus swine influenza biasanya dilakukan melalui metode immunoassay dengan menggunakan antibodi monoklonal yang telah di label dengan enzim spesifik untuk virus influenza yang telah di sesuaikan tipe dan subtipenya (Murphy dkk.,1999). Untuk kejadian di lapangan yang menuntut diagnosis secara tepat dan cepat, infeksi virus swine influenza dapat di konfirmasi berdasarkan kombinasi dari pengamatan gejala klinis, perubahan spesifik untuk lesi

makroskopis dan histopatologi, diagnostic kit (rapid test), asam nukleat virus (antigen) dan uji serologis. Swab nasal dan trachea untuk babi yang terinfeksi swine influenza secara akut, merupakan prosedur awal teknik pengambilan sampel untuk isolasi virus. Babi dengan gejala klinis deo mam dengan temperatur 41 C dan tampak adanya leleran nasal yang berwarna bening merupakan jenis sampel yang baik untuk di pilih. Umumnya, immunitas babi untuk menghadapi kehadiran virus swine influenza akan timbul secara cepat. Ini dikarenakan, sheding virus swine influenza dalam tubuh babi hanya mampu bertahan 5 sampai 7 hari masa infeksi (Yoon dan Janke, 2002; Spronk, 2001). Pengambilan organ paru segar, serta organ paru yang telah di fiksasi dengan formalin merupakan teknik pengambilan sampel post-mortem yang umum dilakukan untuk mendiagnosis virus swine influenza pada babi (Yoon dan Janke, 2002). Inisiasi awal dari patogenesis virus swine influenza, dimulai dengan mekanisme infeksi di epithelium yang melapisi saluran pernafasan (Morin dkk.,1990; Jung dkk., 2009; Yoon dan Janke, 2002). Lesi patognomonik dari kejadian infeksi adalah bronchopneumonia. Karakteristik khas dari lesi bronchopneumonia, biasa di tandai dengan adanya multiple coalescing foci dari lobus yang mengalami konsolidasi di bagian cranioventral organ paru. Virus tetap terdeteksi di bronchiole dan alveoli pada 48-72 jam dari masa infeksi. Studi yang menarik, identifikasi virus melalui flourescent antibodi dan immunohistokimiadi masa 72 jam pasca infeksi virus swine influenza, selalu mengidentifikasikan kuantitas jumlah virus yang sedikit (Yoon dan Janke, 2002). Spesimen diagnostik mampu untuk di uji secara molekular, salah satunya dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR). Uji molekuler yang berbasis PCR mampu di aplikasikan untuk mendiagnosis spesimen biologis yang berasal dari swab nasal (antemortem) dan organ paru (postmortem). Uji molekuler ini, dikonfirmasi mempunyai nilai spesifitas yang sempurna dan sensitivitas yang baik. Diagnosis molekuler melalui PCR dikonfirmasi mampu membedakan subtipe virus secara langsung (Yoon dan Janke, 2002; Voyle, 2002). Beberapa penelitian menge-

nai swine influenza telah memakai teknologi PCR untuk mendefinisikan banyak aspek di dunia kesehatan hewan, seperti deteksi pandemi influenza A (H1N1) melalui realtime PCR (Wu dkk.,2009; Gunson dkk.,2009), maupun aplikasi multipleks PCR yang mensequence 4 gen dalam satu kali running (Jindal dkk.,2009). Teknik RT PCR merupakan modifikasi dari teknik PCR, karena dalam aplikasinya tidak memerlukan isolasi molekul DNA. Proses reverse trancriptase umum dilakukan di bidang molekular, khususnya untuk pencetakan pustaka complementary DNA (cDNA library). Teknik ini, biasa digunakan untuk mendapatkan protein rekombinan. Protein rekombinan merupakan teknik molekular pensintesisan protein spesifik untuk organisme eukaryotik. Pengertian pustaka cDNA, spesifik ditujukan untuk organisme eukaryotik, karena segmen gen dalam genom organisme ini dipisahkan menjadi segmen gen fungsional (exon) dan segmen gen yang tidak disandi menjadi mRNA (intron). Berbeda dengan prokaryotik, segmen gen pada DNA diwhole genometidak dipisahkan menjadi exon dan intron (polisistronik) (Capua dan Alexander, 2009; Ptashne danGann, 2002; Sambrook dkk.,2001; Yuwono, 2006; 2008; Sudjadi, 2008). Enzim reverse trancriptase merupakan substrat protein yang terkan-

dung di kelompok virus RNA (Capua dan Alexander, 2009; Lodish dkk.,2000). Enzim reverse trancriptase, diperlukan untuk aktivitas retrotranskripsi molekul RNA menjadi cDNA. Berdasarkan teknis operasional reverse trancriptase, saat ini RT PCR untuk virus influenza A dapat di aplikasikan menjadi 2 tipe reaksi, yaitu reaksi one step dan reaksi two step. Secara teknis laboratorium, prosedur one step lebih menguntungkan dibandingkan prosedur two step. Konfirmasi menguntungkan dari prosedur one step dibandingkan two step, yaitu aplikasinya lebih mudah dan lebih cepat. Selain itu, prosedur one step dikonfirmasi memiliki nilai resiko lebih minim untuk terkontaminasi (Capua dan Alexander, 2009; Voyle, 2002). Sequencing merupakan teknik untuk pengurutan nukleotida secara cepat dan tepat. Untuk biologi molekular ada 2 metode sequencing DNA, yaitu metode MaxamGilbert atau lebih dikenal sebagai sequencing fragmen DNA secara kimiawi, serta metode Sanger atau dikenal sebagai teknik sequencing fragmen DNA secara enzimatis. Kedua metode ini memiliki kesamaan, karena untuk keduanya menggunakan polyacrilamide gel electrophoresis untuk memisahkan fragmen DNA yang berbeda ukuran (Lodish dkk.,2000).

DAFTAR PUSTAKA Alexander, D.J., dan Capua, I. 2009. Avian Influenza and Newcastle Disease : A Field and Laboratory Manual. Springer-Verlag, Italia. Brown, I.H. 2000. The Epidemiology and Evolution of Influenza Viruses in Pigs. Veterinary Microbiology, Vol. : 74, Hal : 29 46. Choi, Y.K., Lee, J.H., Erickson, G., Goyal, S.M., Joo, H.S., Webster, R.G., dan Webby, R.J. 2004. H3N2 Influenza Virus Transmission From Swine to Turkey, United States. Emerging Infectious Disease, Vol. : 10, No. : 12, Hal. : 2156 2160. Cox, N.J., dan Kawaoka, Y. 1998. Orthomyxoviruses: Influenza. DalamTopley and Wilsons th Microbiology and Microbial Infections. 9 edition. Hal : 385-421. Easterday, B.C., Hinshaw, V.S., and. Halvorson,D.A. 1997. Influenza. DalamDisease of Poultry. Tenth edition. Iowa State University Press. Hal. : 583-605 Easterday, B.C. 2003. Swine Influenza : Historical Perspective. Proceeding 4 International th nd Symposium Emerging and Re emerging Pig Disease, Rome June 29 July 2 2003.
th

Fouchier Ron, A.M., Osterhaus, A.D.M.E.,danOlsen, B.,2003. Animal influenza virus surveillance.Vaccine, Vol : 21, Hal : 17541757. Garten, R.J., Davis, C.T., Russel, C.A.,Shu, B., Lindstrom, S., Balish, A., Sessions, W.M., Xu, X., Skepner, E., Deyde, V., Okomo-Adhiambo, M., Gubareva, L., Barnes,J., Smith, C.B., Emery,S.L., Hillman, M.J., Rivaille, P., Smagala, J., de Graaf, M., Burke, D.F., Fouchier Ron, A.M.,Pappas, C., Alpuche-Aranda, C.M., Lpez-Gatell, H., Olivera, H., Lpez, I., Myers, C.A., Faix, D., Blair,P.J., Yu, C., Keene, K.M., Dotson Jr. P.D., Boxrud, D., Sambol, A.R., Abid, S.H., St. George, K., Bannerman, T., Moore, A.L., Stringer, D.J., Blevins, P., Demmler-Harrison,G.J., Ginsberg, M., Kriner,P., Waterman, S., Smole, S., Guevara., H.F., Belongia, E.A., Clark, P.A., Beatrice, S.T., Donis, R., Katz, J., Finelli, Lyn., Bridges, C.B., Shaw, M., Jernigan, D.B., Uyeki, T.M., Smith, D.J., Klimov, A.I., danCox, N.J. 2009. Antigenic and Genetic Characteristics of Swine Origin Influenza A Viruses (H1N1) Circulating in Human. Science, Vol. : 325, Hal. : 197-201. Gunson, R., Mac Lean, A., dan Davies, E. 2009. Development of Multiplex Real-Time RTPCR That Allows Universal Detection of Influenza A Viruses and Simultaneous Typing of Influenza A (H1N1) 2009 Viruses. Virus Research, Vol : 163 (2), Hal : 258261. Hinshaw, V.S., Alexander, D.J., dan Aymard, M. 1984. Antigenic Comparison of Swine Influenza Like H1N1 Isolate from Pigs, Birds, and Humans: An International Collaborative Study. Bulletin of the World Health Organization, Vol : 62, Hal : 871-878. Horiomoto, T., dan Kawaoka, Y. 1997. A Possible Mechanism for Selection of Virulent Influenza Viruses in 14-Day-Old Embryonated Eggs. J. Vet. Med. Sci. Vol : 60 (2), Hal : 273-275. Ito, T., Couceiro, J.N., Kelm, S., Baum, L.G., Krauss, S., Castrucci,M.R., Donatelli, I., Kida, H., Paulson, J.C., Webster, R.G.,Kawaoka, Y., 1998. Molecular Basis for the Generation in Pigs of Influenza A Viruses with Pandemic Potential. J. Virol.Vol. :72, Hal. : 73677373. Jindal, N., Chander, Y., dan Abin, M. 2009. Amplification of four Genes of Influenza A Viruses using A Degenerate Primer Set in One Step RT-PCR Method.J. Virology Methods, Vol : 60, Hal : 163-166. Jo, S.K., Kim, H.S., Cho, S.W., dan See, S.H. 2007. Pathogenesis and Inflamatory Response of Swine H1N2 Influenza Viruses in Pigs. Virus Research, Vol : 129, Hal : 64-70. Jung, K., Lee, C.S., dan Kang, B.K. 2009. Pathology in Dogs With Experimental Canine H3N2 Influenza Viruses Infection. Res. Vet. Sci: Vol. : xxx, Hal. : xxx xxx. Lodish, H., Berk, A., Zipursky, S., Matsudaira, P., Baltimore, D., Sanes, D.H., Reh, T.A., and Harris, W.A. (2000). Molecular Cell Biology. Fourth Edition.: W. H. Freeman and Company, Basingstoke, UK. Kida, H., Ito, T., Yasuda, J., Shimizu, Y., Itakura, C., Shortridge, K. F.,Kawaoka, Y., and Webster, R. G. (1994). Potential for Transmission of Avian Influenza Viruses to Pigs.J. Gen. Virol. Vol. : 75, Hal. : 2183 2188. Ma, W., Kahn, R.E., Richt, J.A. 2009. The Pig as a Mixing Vessel for Influenza Viruses: Human and Veterinary Implications. J Mol. Gen. Med. Vol : 3, Hal : 158-166. Morin, M., Girard, C., El Azhary, Y. 1990. Severe Proliferative and Necrotizing Pneumonia in Pigs: A Newly Recognized Disease. Can. Vet. J.Vol : 31, Hal : 837-839.

Murphy, F. A., Gibbs, E. P. J., Horzinek, M. C., danStuddert, M. J. 1999. Laboratory diagnosis of viral diseases, DalamVeterinary Virology, 3rd ed. New York: Academic Press. Pensaert, M., K. Otis, J. Vandeputte, M.M. Kaplan, dan P.A. Bachmann. 1981. Evidence for the natural transmission of influenza A viruses from wild ducks to swine and its potential impor-tance for man. Bulletin of the World Health Organization. Vol. : 59, Hal. : 7578. Ptashne, M., dan Gann, A. 2002. Lesson From Bacteria. DalamGenes and Signals. 1 Edition. Coldspring-Harbour Laboratory Press, US. Hal : 11-25.
st

Sambrook, C., Fritch, E.F., dan Maniatis, T. 2001. Molecular Cloning Laboratory Manual. rd 3 Editions. Coldspring-Harbour Laboratory Press, UK. Song, D.S., Lee, C.S., dan Jung, K. 2006. Isolation and Phylogenetic Analysis of H1N1 Swine Influenza Virus Isolated in Korea. Virus Research, Vol : 125, Hal : 98-103. Spronk, G.D. 2001. Swine Influenza Virus. Advance in Pork Production, Vol : 12, Hal : 51-54. Sudjadi. 2008. Teknik Biokimia Molekular. DalamBioteknologi Kesehatan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal : 91-146. Voyle, B.A. 2002. Effect of Viral Infections on Host Cells : Cytological and Inductive Effects. Dalam The Biology of Viruses. McGraw Hills Higher Education. A Division of the McGraw Hill Companies. Hal : 235 371. Wang, T.T., dan Pallese, P. 2009. Unravelling the Mystery of Swine Influenza Virus. Cell, Vol. : 137, Hal : 983-985. Webster R. G., Yakhno, M.A., Hinshaw, V. S., Bean, W. J., dan Murti, K. G. 1978. Intestinal Influenza Replication and characterization of Influenza Virues in Duck. Virology, Vol : 84, Hal : 268 278. Wu, W., Kang, X., Bai, Z. 2009. Detection of Pandemic Influenza A/ H1N1/2009 Virus by Real Time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. J Virology Methods, Vol. :160, Hal : 210 213. Yoon, K.J., Janke, B.H. 2002. Swine Influenza: Etiology, Epidemiology and Diagnosis. DalamTrends in Emerging Viral Infection of Swine. IOWA State University Press, US. Hal : 23-28. Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reactions. Edisi Pertama. Andi Publishing, Yogyakarta-Indonesia. Yuwono, T. 2008. Replikasi Bahan Genetik. Dalam Biologi Molekular. Edisi Pertama. Penerbit Erlangga, Jakarta-Indonesia.

----- =o0o= -----

You might also like