You are on page 1of 16

Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan, Strategi, dan Operasi) Abstrak Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi

baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait. Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan strategi dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerah. !elaahan ini betujuan untuk melakukan re"ie# terhadap sistem penanggulangan bencana di $ndonesia dengan menhasilkan rekomendasi kebijakan strategi dalam kegiatan penanggulangan bencana. %etodologi yang dilakukan dalam telaahan ini adalah studi literatur dan sur"ey lapangan. &ecara umum dapat disimpulkan bah#a sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi 'milestone( perubahan pendekatan penanggulangan bencana. ! "atar Belakang )angkaian bencana yang dialami $ndonesia khususnya pada tahun 2004 dan 200* telah mengembangkan kesadaran mengenai kera#anan dan kerentanan masyarakat. &ikap reakti+ dan pola penanggulangan bencana yang dilakukan dirasakan tidak lagi memadai. ,irasakan kebutuhan untuk mengembangkan sikap baru yang lebih proakti+ menyeluruh dan mendasar dalam menyikapi bencana. Pola penanggulangan bencana mendapatkan dimensi baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait yaitu Peraturan Presiden No. 0- tahun 200- tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana Peraturan Pemerintah .PP/ No. 20 tahun 200- tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana PP No. 22 tahun 200- tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana dan PP No. 21 tahun 200- tentang Peran &erta 2embaga $nternasional dan 2embaga 3sing non Pemerintah ,alam Penanggulangan Bencana. ,imensi baru dari rangkaian peraturan terkait dengan bencana tersebut adalah4 .0/ Penanggulangan bencana sebagai sebuah upaya menyeluruh dan proakti+ dimulai dari pengurangan risiko bencana tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi. .2/ Penanggulangan bencana sebagai upaya yang dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan dengan peran dan +ungsi yang saling melengkapi. .1/ Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga me#ujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana.
0

Berbagai kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana .BNPB/ dan masih akan dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaan. &ementara proses pengembangan kebijakan sedang berlangsung proses lain yang tidak kalah penting adalah memastikan bah#a pro"insi dan kabupaten5kota mulai mengembangkan kebijakan strategi dan operasi penanggulangan bencana sesuai dengan arah pengembangan kebijakan di tingkat nasional. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan peraturan yang ada. &trategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. 6perasi penanggulangan bencana perlu dipastikan e+ekti+ e+isien dan berkelanjutan. Untuk mendukung pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan strategi dan operasi secara nasional mencakup pemerintah pusat dan daerah maka dipandang perlu dimulai dengan mengetahui sejauh mana penerapan peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerah. 3tas dasar inilah kegiatan kajian dilaksanakan. #! Tujuan !ujuan dilakukannya !elahaan ini adalah4 a. %elakukan review terhadap sistem nasional penanggulangan bencana. b. %elakukan review kerentanan dan dampak bencana di daerah. c. %enelaah e+ekti"itas kegiatan penanggulangan bencana tingkat nasional dan daerah. d. %emberikan masukan5rekomendasi kebijakan strategi dan kegiatan penanggulangan bencana. 3dapun keluaran telahaan adalah sebagai berikut4 a. !ersusunnya dokumen kajian kebijakan untuk penanggulangan bencana. b. !ersusunnya rekomendasi kebijakan untuk peningkatan sistem penanggulangan bencana. ,alam pelaksanaan !elahaan, maka ruang lingkup kegiatan dan hasil pelaksanaan pekerjaan terbatas pada 4 a. %engkaji berbagai metodologi yang digunakan berbagai pihak dalam penanggulangan bencana. b. %elakukan sur"ei terhadap e+ekti+itas pelaksanaan masing-masing sistem. c. %enyusun rekomendasi terkait dengan sistem penanggulangan bencana. d. %enyusun laporan pelaksanaan kajian. e. %enyampaikan hasil kajian melalui seminar5 workshop ke berbagai pemangku kepentingan .stakeholders) terkait.

(! )etodologi (! Kerangka Analisis !ahapan pelaksanaan kajian ini tergambar pada bagan berikut4

!elahaan !eoritis dan 7ebijakan 7onsep penanggulangan bencana . !elahaan kebijakan dan aturan Pemerintah tentang penanggulangan bencana. Perda tentang penanggulangan bencana. $denti+ikasi 7ebijakan strategi dan operasional 7ementerian 2embaga Pemerintah ,aerah Pemetaan sistem strategi dan operasional penanggulangan bencana tingkat nasional dan daerah :+ekti+itas %ekanisme $denti+ikasi ;aktor+aktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan penanggulangan bencnana.. Sistem , strategi dan operasional Penanggulan gan Bencana tingkat $asional

Perumusan 7esimpulan dan rekomendasi &emin ar

Perumusan $nstrumen &ur"ey .7uisioner 8a#ancara dan Pengumpulan ,ata &ekunder/. Penentuan &ampel !elahaan .$ndikator Pemilihan &ampel dan Pemilihan &ampel/ Penyusunan 9ad#al &ur"ey.

$denti+ikasi e+ekti+itas $mplementasi kebijakan penanggulangan bencana pada4 7ementerian 2embaga Pemerintah daerah %asyarakat Perusahaan !ahap &ur"ei 2apangan

!ahap 3nalisa &tudi :mpiris

!ahap &intesa dan Perumusan

Sistem , strategi dan operasional Penanggulan gan Bencana %aerah (Pro&insi'Kab) 'Policy Paper( .2aporan 7ebijakan/

!ahap a#al .desk study/ 2aporan 3#al


2aporan 3ntara 2aporan 3khir

(!# )etode Pelaksanaan Kajian Berdasarkan tujuan telahaan dan dengan mempertimbangkan keterbatasan data dan sumber data yang ada maka metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitati+. <al ini sangat sesuai dengan tujuan telahaan yang mencoba menangkap berbagai kebijakan .dari strategi hingga operasional/ penanggulangan bencana lalu menganalisa dan memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan baik kebijakan nasional maupun kebijakan tingkat daerah.

(!( %ata ,ata yang digunakan dalam kajian ini adalah dokumen-dokumen perencanaan baik nasional maupun daerah data-data bencana serta dokumen-dokumen terkait lainnya dengan teknik utama pengumpulan data adalah sebagai berikut 4 ! Pengumpulan dokumen
1

,okumen yang dikumplkan akan digunakan selain sebagai dasar dan alat penyusun bahan #a#ancara dan juga sekaligus pendukung hasil #a#ancara yang dilakukan terhadap target kelompok atau orang tertentu #! *a+ancara mendalam (in-depth interview) 8a#ancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang topik telahaan (! %iskusi terbatas ,iskusi terbatas dilakukan untuk memperoleh in+ormasi dan membahas secara bersama-sama berbagai masukan terkait dengan topik telahaan dalam kelompok kecil dan terbatas. ,! -asil Kajian dan Analisis ,! Penanggulangan Bencana $asional B376)N3& PB telah mengumpulkan dan mempublikasikan data bencana domestik baik bencana alam maupun bukan alam. Berdasarkan publikasi pertama dengan judul =,ata Bencana $ndonesia !ahun 2002-200* .,ata Bencana $ndonesia tahun 2002-200*/= terdapat lebih dari 2.000 bencana di $ndonesia pada tahun antara tahun 2002 dan 200* dengan 741 banjir .1*> dari jumlah total/ ?0* kekeringan .2-> dari jumlah total/ 222 longsor .l0> dari jumlah total/ dan 207 kebakaran .@ @> dari jumlah total/. 9umlah korban yang sangat besar dalam tahun-tahun tersebut yakni sejumlah 0?* .@4* korban ji#a .@7 > dari jumlah total/ dari gempa bumi dan tsunami diikuti jumlah 2.221 .2@ > dari jumlah total/ disebabkan kon+lik sosia$. ,i sisi lain banjir membuat sebagian orang kehilangan rumah mereka yang menyebabkan jumlah korban yang mengungsi sebanyak 2.??*.?@7 ji#a .?*> dari jumlah total/. Buku ini menghitung kejadian sebagai bencana ketika berdampak pada kematian dan kerugian material. 7ecenderungan bencana dalam jangka panjang di $ndonesia diperiksa menggunakan :%-,3! Basis ,ata Bencana $nternasional .The International Emergency Disasters Database/. Basis data berisikan data bencana besar di dunia yang diklasi+ikasikan menjadi berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi banjir longsor .longsor/ badai ombak5gelombang .tsunami/ dan gunung berapi serta bencana epidemik. &epanjang tahun 2004-2007 $ndonesia dilanda paling sedikit tujuh bencana besar yang menimbulkan kerugian yang sangat besar seperti terlihat dalam table berikut4

%a.tar Kejadian Bencana Besar Sepanjang #//, 0#//1


4

$o

$ama Bencana

# ( ,

!sunami 3ceh A Nias 2? ,esember 2004 ;lu BurungB .2004 -200*/ 2etusan %erapi-3pril 200?@

Kerugian 2konomi (4S7 mil&ar) 2angsun !idak !otal g 2angsun g 2.@2 0.*1 4.4* 0.? 0.7 0.0.0?1 0.? 20 000 orang mengungsi 1.0 1 0.0@4 0.7 02 .000.4 triliun rupiah/

Cempa Dogyakarta -27 %ei 2.* 200? 8 2umpur Panas &idoarjo 0.2 la#a !imur -2@ %ei 200? 9 !sunami di selatan la#a 07 0.010 9uli 200? 1 Banjir 9abodetabek hingga 0.7 ;ebruari 2007 TOTA" (4S7 mil:ar) (! persen dari P%B Indonesia (#//1) 8!; persen dari total APB$ #//1

,!# 23A"4ASI SIST2) P2$A$554"A$5A$ B2$6A$A TI$5KAT $ASIO$A" &istem penanggulangan bencana di $ndonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada #aktu yang lalu penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait. ,alam kondisi tertentu seperti bencana dalam skala besar pada umumnya pimpinan pemerintah pusat5daerah mengambil inisiati+ dan kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait. ,engan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana maka terjadi berbagai perubahan yang cukup signi+ikan terhadap upaya penganggulangan bencana di $ndonesia baik dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan #ilayah $ndonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik +rekuensi dan pemahaman terhadap kera#anan dan risiko bencana. &ejak tahun 2000 Pemerintah $ndonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam 7eputusan Presiden Nomor 1 !ahun 2000 tentang Badan 7oordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan 7eputusan Presiden Nomor 000 !ahun 2000. )angkaian bencana yang dialami $ndonesia khususnya sejak tsunami 3ceh tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. -1 tahun 200* tentang Badan 7oordinasi Nasional Penanganan Bencana .Bakornas-PB/. )angkaian bencana yang terus terjadi mendorong berbagai
*

pihak termasuk ,P) untuk lebih jauh mengembangkan kelembagaan penanggulangan bencana dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. ,i dalam UU tersebut diamanatkan untuk dibentuk badan baru yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana .BNPB/ menggantikan Badan 7oordinasi Nasional Penanganan Bencana .Bakornas-PB/ dan Badan Penanggulangan Bencana ,aerah .BPB,/ menggantikan &atkorlak dan &atlak di daerah. &istem pendanaan penanggulangan bencana dalam mekanisme Bakornas PB dilaksanakan melalui anggaran masing-masing departemen5satuan kerja pemerintah. 3pabila dalam pelaksanaan terdapat kekurangan maka pemerintah melalui ketua Bakornas PB dapat melakukan alih anggaran dan mobilisasi dana. Pada mekanisme tersebut peranan masyarakat dan lembaga donor tidak terintegrasi dengan memadai. ,engan adanya perubahan sistem khususnya melalui BNPB dan BPB, maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tetap memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPB,. &ementara aturan tentang dana cadangan juga sudah diatur oleh UU namun belum memiliki aturan main yang jelas. Pemerintah perlu merumuskan aturan main ini dengan segera untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan dan juga menyusun mekanisme pencairan terutama untuk dana cadangan tingkat daerah. Namun demikian besar alokasi anggaran untuk bencana masih akan menjadi tanda tanya di kemudian hari mengingat alokasi ini diserahkan kepada kemampuan keuangan daerah sehingga besar kemungkinan daerah ra#an bencana namun kemampuan keuangan lemah tetap akan mengalokasikan dana untuk penanggulangan bencana seadanya sehingga akan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tertentu untuk #ilayah dengan P3, yang kecil namun memiliki potensi bencana yang cukup besar.

&ecara lebih rinci perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di $ndonesia setelah keluarnya UU No. 24 tahun 2007 tertera dalam tabel berikut ini4

SIST2) "A)A ,asar <ukum Bersi+at sektoral

SIST2) BA=4 Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen masyarakat dan lembaga non pemerintah %itigasi tanggap darurat rehabilitasi dan rekonstruksi

Paradigma 2embaga Peran %asyarakat Pembagian !anggung 9a#ab Perencanaan Pembangunan

!anggap darurat

Bakornas PB &atkorlak BNPB BPB, P)6P$N&$ BPB, dan &atlak 7ab57ota !erbatas &ebagian besar pemerintah pusat Belum menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan %elibatkan masyarakat secara akti+ !anggung ja#ab pemerintah pusat propinsi dan kabupaten )encana 3ksi Nasional Pengurangan )esiko Bencana .)3N P)B/ )encana Penanggulangan Bencana .)PB/ )encana 3ksi ,aerah Pengurangan )esiko Bencana .)3, P)B/

Pendekatan %itigasi ;orum kerjasama antar pemangku kepentingan 3lokasi 3nggaran Pedoman Penanggulangan Bencana 7eterkaitan ,engan !ata )uang

7erentanan Belum ada

3nalilsa resiko .menggabungkan antara kerentanan dan kapasitas/ National Platform .akan/ Provincial Platform .akan/

!anggung ja#ab pemerintah pusat !erpecah dan bersi+at sektoral Belum menjadi aspek

!ergantung pada tingkatan bencana %engacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPB, 3spek bencana harus diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang

,!( I)P"2)2$TASI K2BI<AKA$ P2$A$554"A$5A$ B2$6A$A $ASIO$A" ,ari hasil e"aluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana pada tingkat nasional masih banyak ditemukan berbagai isu dan permasalahan yang cukup penting dan membutuhkan penanganan segera seperti tertera dalam uraian berikut ini4 ,!(! K2BI<AKA$ ,!(! ! %e.inisi dan Status Bencana
7

,alam UU No. 24 !ahun 2007 belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana pada kejadian dan kerugian seperti apa suatu kejadian dikatakan sebagai bencana. ,isamping itu juga belum terdapat aturan yang jelas tentang penetapan status .nasional pro"insi dan kabupaten5kota/ bencana serta siapakah yang ber#enang dan dapat melakukan penetapan status bencana. $ni akan berdampak pada sistem penganggaran serta pendanaan kegiatan penanggulangan bencana serta sumber dari dana penanggulangan apakah yang berasal dari 3PB, 7abupaten5kota pro"insi atau 3PBN. ,!(! !# Kelengkapan Perangkat Aturan Pelaksana %asih banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 2452007 yang belum dibuat sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana yang diatur dalam Undang-undang. ,isamping itu masih terdapat berbagai aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada misalnya dengan aturan tata ruang aturan pengelolaan #ilayah pesisir dan pulau-pulau kecil peraturan yang terkait dengan keuangan dan lain-lain. %asalah lainnya yang juga cukup penting dalam upaya mengarusutamakan penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan adalah belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan untuk masalah kemiskinan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam. ,!(! !( Kelembagaan ,isamping isu tersebut di atas masih terdapat beberapa isu kelembagaan yang harus segera diselesaikan dan cenderung menghambat proses implementasi sistem penanggulangan bencana karena beberapa pertimbangan berikut4 ,engan status lembaga setingkat menteri .BNPB/ banyak instansi 752 yang meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara e+ekti+ di lapangan. Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan akan memakan #aktu lama belum lagi masalah kualitas &,% yang terbatas sistem penggajian yang belum jelas dan ke#enangan dalam menginter"ensi kebijakan Unsur Pelaksana serta peran unsur pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar BNPB. ;ungsi 'Pelaksana( dari BNPB punya kecendrungan untuk berbenturan dengan +ungsi departemen-departemen teknis lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana. ;ungsi koordinasi antara BNPB dan BPB, akan cendrung sulit dilaksanakan secara e+ekti+ karena BPB, sebagai perangkat daerah akan tunduk kepada 7epala ,aerah dan 3nggaran ,aerahnya masing-masing. ,!(!# ST=AT25I %A$ OP2=ASI Beragam masalah yang ditemukan pada sektor strategi dan operasi penanggulangan bencana untuk tingkat nasional adalah sebagai berikut 4 2emahnya legalitas $mplementasi )3N-P)B agar dilaksanakan secara konsisten oleh ,epartemen !eknis erkait. Belum ada mekanisme untuk mengintegrasikan )3N-P)B ke dalam dokumen )P9%N sehingga belum dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan.
-

Belum ada relasi .mandat/ yang jelas antara )3N-P)B dengan )3,-P)B. %asih banyak pedoman teknis .termasuk Protap-Protap/ tersebar di berbagai departemen .sektor/ yang belum memiliki kesamaan standarisasi.

,!, 23A"4ASI SIST2) %A$ I)P"2)2$TASI P2$A$554"A$5A$ B2$6A$A %A2=A3pa yang terjadi pada tingkat nasional tentu saja akan mempengaruhi proses implementasi kebijakan tingkat daerah. ,ari hasil e"aluasi yang dilakukan maka terdapat berbagai temuan sebagai berikut4 ,!,! T2)4A$ -ASI" S4=32> %I %A2=A,ari tujuh pro"insi yang telah dikunjungi kebijakan yang dikembangkan oleh ketujuh propinsi tersebut memiliki karakteristik yang unik seperti dapat dipaparkan dalam matrik berikut4 ,!,! ! Kebijakan dan Peraturan !emuan di lapang memperlihatkan bah#a secara umum di daerah terdapat dua kondisi dalam penyusunan kebijakan penanggulangan bencana .)encana Penanggulangan Bencana5)PB dan )encana 3ksi ,aerah5)3,/ yaitu4 0. ,aerah yang belum memiliki kebijakan PB. 2. ,aerah yang sudah memiliki kebijakan. ,aerah ini dapat dikelompokkan lagi menjadi daerah yang kebijakannya sesuai dengan UU No. 2452007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal. ,aerah yang belum memiliki kebijakan PB pada umumnya mengemukakan beberapa penjelasan seperti berikut4 Belum ada sosialisasi yang menyeluruh pada &7P, yang terkait. 7etidakjelasan siapa yang harus memulai. %asih adanya tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang terkait. 7etidakjelasan aspek keuangan yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan. Urgensi dan prioritas daerah yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus dirasakan belum mendesak. 7esulitan komunikasi dengan lembaga pengambil kebijakan .,P),/ untuk mengalokasikan dana guna membiayai program pengembangan kebijakan PB. ,aerah-daerah yang sudah memiliki kebijakan PB pada umumnya ditandai oleh dua hal yaitu4 !erjadinya bencana alam yang besar. $nisiasi akti+ dari pelaku lembaga non pemerintah yaitu lembaga internasional .UN,P 9$E3 C!F/ maupun lembaga nasional .akademisi 2&% P%$ perusahaan/. Celombang kesadaran perlunya kebijakan PB mengemuka terutama setelah terjadinya bencana tsunami di 3ceh tahun 2004 diikuti berbagai bencana lain. Proses perumusan kebijakan PB pada daerah-daerah bencana pada umumnya merupakan bagian dari proses penanganan bencana yang terjadi. <al ini menyebabkan berbagai kebijakan PB di daerah disusun sebelum UU No. 2452007

dikeluarkan. &ebagai akibatnya berbagai kebijakan PB di daerah memiliki +ormat dan isi yang berbeda dengan yang dimaksudkan dalam UU No. 2452007. ,!,! !# Strategi dan Operasi &trategi dan operasi Penanggulangan Bencana .PB/ yang pada saat ini dilaksanakan di daerah pada umumnya masih menggunakan mekanisme yang saat ini ada yaitu &atkorlak dan &atlak. %ekanisme ini masih dipakai karena beberapa alasan4 9enis dan tingkat bencana masih dapat ditangani oleh mekanisme yang ada. %ekanisme yang ada masih dapat dioptimalkan dengan beberapa penyesuaian seperti alokasi dana yang memadai. Belum adanya in+ormasi mengenai arah PB ke depan. Belum adanya kelembagaan dan mekanisme baru yang jelas. Upaya pengembangan strategi dan operasi PB di daerah dilakukan dengan melakukan optimalisasi mekanisme dan +ungsi yang ada. Beberapa daerah berpandangan lebih e+ekti+ untuk mengoptimalkan mekanisme yang ada dan mendorong &7P, menjalankan tupoksinya secara optimal. 3gar hal ini dapat berjalan pada umumnya menuntut beberapa hal seperti keterlibatan kepala daerah yang tinggi penunjukan pimpinan satkorlak5satlak serta dinas yang tepat alokasi anggaran yang memadai. ,!8 IS4 %A$ )ASA"A- SIST2) PB %I TI$5KAT P2)2=I$TA- %A2=A,i satu sisi kebijakan sistem penanggulangan bencana di daerah telah mampu menghasilkan berbagai dampak positi+ seperti berikut ini4 !erbentuknya sistem dan tangggung ja#ab baru bagi daerah dalam urusan Penanggulangan Bencana dengan mulai disusunnya sejumlah rencana dan peraturan terkait dengan penanggulangan bencana tingkat daerah. Pemerintah ,aerah mulai 'melek( tentang Pengurangan )isiko Bencana .P)B/ terutama dari sisi mitigasi. Pemerintah ,aerah mulai mem+okuskan diri untuk membentuk lembaga baru yang memiliki tanggung ja#ab khusus di bidang kebencanaan. 3da ,aerah-,aerah yang sangat maju dalam urusan penanggulangan bencana adapula ,aerah-,aerah yang belum menyadari pentingnya sistem penanggulangan daerah bagi #ilayahnya. Namun di sisi lain masih terdapat berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan seperti berikut ini4 ,!8! Kebijakan dan Peraturan 7etiadaan de+inisi yang jelas tentang penetapan ukuran kejadian yang dapat dikategorikan bencana akan mempengaruhi arah kebijakan Pemerintah ,aerah dalam urusan Penanggulangan Bencana termasuk penganggaran. Belum ada aturan yang jelas tentang penetapan status bencana .nasional pro"insi dan kabupaten5kota/ juga mempengaruhi Pemerintah ,aerah dalam

00

pengelolaan sumber pendanaan penanggulangan bencana terutama yang berasal dari 3PB, dan ,37. Belum ada aturan yang jelas tentang ke#enangan siapakah yang dapat melakukan penetapan status bencana. ,!8!# Kelengkapan Aturan Pelaksana 7arena masih banyak aturan pelaksana yang bersi+at teknis dan operasional yang belum dibuat di tingkat pusat .nasional/ sehingga menimbulkan kebingungan Pemerintah ,aerah dalam mengimplementasikan berbagai aturan pelaksana penanggulangan bencana. %asih banyak aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada terutama aturan setingkat perda. Belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya khususnya sesuai dengan karateristik daerahnya masing- masing seperti masalah kemiskinan kebakaran <utan dan pengelolaan sumber daya alam. 7urangnya sosialisasi tentang kebijakan Penanggulangan Bencana.

,!9 P2)B2$T4KA$ K2"2)BA5AA$ %I %A2=A,alam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bah#a untuk daerah akan dibentuk Badan Penanggulangan Bencana ,aerah .BPB,/ untuk menggantikan +ungsi &atkorlak dan &atlak. <al ini menghasilkan perbedaan yang cukup signi+ikan seperti yang dijelaskan di ba#ah ini4 )atrik Perbandingan Kelembagaan Satkorlak0Satlak ? BPB% Aspek Satkorlak0Satlak BPB% &tatus Bukan merupakan &7P, %erupakan &7P, &atkorlak .pro"insi/ BPB, .pro"insi/ &atlak .kabupaten5kota/ BPB, .kabupaten5kota/ 8e#enang Cubernur .pro"insi/ Pemerintah ,aerah pembentukan Bupati58alikota bersama dengan ,P), .kabupaten5kota/ Pimpinan di Cubernur .propinsi/ 7epala Badan daerah Bupati58alikota .kabupaten5kota/ ,alam kaitan dengan pembentukan BPB, seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007 pemerintah daerah mengemukakan beberapa hal yang menjadi +aktor penghambat antara lain yaitu4 Pada beberapa daerah Pemerintah ,aerah telah mengambil inisiati+ untuk mengajukan usulan pembentukan BPB, namun dalam proses pengambilan putusan bersama dengan ,P), usulan tersebut tidak menjadi prioritas. Beberapa pengambil kebijakan di daerah tidak merasakan adanya kebutuhan pengembangan kelembagaan penanggulangan bencana baik karena dianggap bencana besar belum terjadi maupun bila bencana besar sudah terjadi tidak akan terjadi lagi dalam jangka #aktu dekat.
00

,engan status lembaga setingkat dinas di daerah .BPB,/ banyak dinas yang meragukan pelaksanaan tata komando ketika terjadi bencana dapat terlaksana secara e+ekti+ di lapangan apalagi jabatan 'kepala BPB,( dirangkap oleh &ekda yang beban kerjanya sendiri sudah cukup banyak. !idak semua daerah bersedia membentuk BPB, dimana '&ekdanya( merangkap jabatan .benturan eselonisasi/. Proses seleksi anggota 4nsur Pengarah untuk BPB% pro&insi dan kabupaten'kota juga memakan #aktu lebih lama karena kualitas &,% yang sangat terbatas terutama di tingkat kabupaten serta sistem penggajian yang belum jelas dan ke#enangan dalam menginter"ensi kebijakan Unsur Pelaksana .dan kaitan lembaga teknis lain/ yang belum terdeskripsi. @ungsi APelaksanaB dari BPB% punya kecendrungan untuk berbenturan dengan +ungsi dinas-dinas teknis lainnya yang terlait dengan bencana @ungsi koordinasi antara BPB% Pro&insi dan BPB% Kabupaten'Kota akan cendrung sulit dilaksanakan secara e+ekti+ karena BPB, sebagai perangkat ,aerah akan tunduk kepada 7epala ,aerah dan 3nggaran ,aerahnya masingmasing ,!1 ST=AT25I %A$ OP2=ASI PB %I %A2=A %asih banyak bias yang dilakukan Pemerintah ,aerah dalam menerjemahkan legalitas $mplementasi dokumen )PB maupun )3,-P)B . Belum ada mekanisme untuk mengintegrasikan )3,-P)B ke dalam dokumen )P9%, sehingga belum dijadikan acuan dalam menyusun program dan kegiatan terkait dengan kebencanaan. Belum ada panduan yang jelas untuk menyusun dokumen )PB maupun )3,P)B sehingga terdapat "ariasi dalam pemahaman dan penyusunannya. %asih banyak pedoman teknis .termasuk Protap-Protap/ tersebar di berbagai departemen dan sektor yang belum memiliki kesamaan stadarisasi. 9enis dan tingkat bencana masih ditangani oleh mekanisme yang lama .ketanggap daruratan saja/. 3lokasi anggaran untuk penanggulangan bencana masih memakai mekanisme lama yaitu diambil dari 'dana tak tersangka( yang birokrasinya tidak mudah dan makan #aktu. 7eterlambatan bantuan dan timbulnya bias dalam jumlah korban dan kerugian masih mendominasi dalam persoalan tanggap darurat yang dilakukan Pemerintah ,aerah.

8! Kesimpulan dan =ekomendasi 8! Kesimpulan &ecara umum dapat disimpulkan bah#a sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang selama ini berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007. UU ini menjadi 'milestone( perubahan pendekatan penanggulangan bencana. !iga hal yang secara khusus dirombak oleh UU No. 24 tahun 2007 adalah4
02

0.

"egalitas pa:ung hukum. Upaya penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiati+ yang terkait. Pada #aktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiati+ dan program namun pada saat ini telah menjadi ke#ajiban legal. 2. Perubahan paradigma'mindset. Penanggulangan bencana bukan lagi sebuah tindakan reakti+ dan terpisah dari inisiati+ pembangunan. Pembangunan bencana pada saat ini perlu dilihat sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan. 1. Pengembangan kelembagaan. 2embaga dan sistem penanggulangan bencana melalui UU No. 24 tahun 2007 telah mendapatkan posisi yang lebih kuat sehingga diharapkan dapat ber+ungsi lebih e+ekti+ dalam melaksanakan berbagai tahap penanggulangan bencana. Paparan tata lembaga penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam undang-undang tersebut perlu dielaborasi lebih lanjut dengan memisahkan dua +ungsi yaitu disaster council dan disaster agency. Disaster council lebih berperan dalam pengembangan legal and regulatory framework serta mengembangkan enabling environment bagi stakeholders untuk berpartisipasi sementara disaster agency adalah lembaga pelaksana penanggulangan bencana yang memiliki otoritas penuh dan menjalankan +ungsi komando. &istem penanggulangan bencana seperti yang dimaksud UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya berbagai aturan pelaksana di satu sisi mampu meletakkan satu sistem penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah. Namun di sisi lain banyak isu dan kendala yang ditemukan dalam proses pelaksanaan sistem penanggulangan bencana terutama untuk Pemerintah ,aerah. ,ari hasil sur"ei dan e"aluasi yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana terdapat sejumlah isu yang menonjol dan harus segera di atasi untuk menjamin berjalannya sistem penanggulangan bencana dengan baik. 8! ! )asalah Kelembagaan %asalah yang paling menonjol dan banyak menimbulkan kebingungan di tingkat daerah dalam membangun sistem penanggulangan bencana di #ilayah masingmasing adalah masalah kelembagaan. 8! ! ! Bentuk, Tugas dan @ungsi "embaga BPB% <al-hal yang mendasari daerah untuk mengembangkan sistem Penanggulangan Bencana dapat disimpulkan sebagai berikut. :kspose daerah terhadap bencana. ,aerah yang terekspos bencana .skala besar/ akan cenderung lebih proakti+ untuk mengembangkan sistem baru daripada daerah yang kurang tereskpos. 7eberadaan lembaga promotor. 7eberadaan lembaga promotor secara nyata mendorong daerah untuk mengembangkan sistem baru. Pengalaman penanggulangan bencana. ,aerah yang memiliki pengalaman positi+ dalam menanggulangi bencana akan cenderung mengoptimalkan sistem yang ada. &ementara daerah yang tidak memiliki pengalaman positi+ akan cenderung merubah sistem yang telah ada. ,engan memahami sebab-sebab daerah mengembangkan sistem PB maka dapat disusun langkah-langkah untuk mendorong daerah mengembangkan sistem PB dalam bentuk insenti+ maupun disinsenti+.
01

8! ! !# 4nsur Pengarah ,i dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bah#a BPB, terdiri dari dua unsur yaitu unsur pengarah dan unsur pelaksana. Unsur pengarah sendiri terdiri dari pemerintah terkait dan kalangan pro+esional. 7ondisi merupakan sesuatu yang unik dalam sistem Pemerintah ,aerah karena tidak ada &7P, yang memiliki unsur pengarah umumnya penyusunan kebijakan dan pertanggungja#aban kegiatan dilakukan langsung kepada 7epala ,aerah melalui &ekda. Namun BPB, memiliki unsur pengarah yang di+ungsikan sebagai penga#as dan e"aluator. !ugas ini tentu saja akan berbenturan dengan tugas Bappeda dan alur laporan pertanggungja#aban kepada 7epala ,aerah. &elain masalah #e#enang dan tanggung ja#ab unsur pengarah yang berasal dari kalangan pro+esional juga menimbulkan kesulitan tersendiri karena pembayaran gaji selama mengemban tugas dan tanggung ja#ab sebagai bagian dari unsur pengarah tidak disertai dengan sistem pembayaran dan aturan kepega#aian yang jelas sehingga sampai saat ini pemerintah daerah cenderung untuk menunggu pembentukan unsur pengarah ini. %asalah lain yang juga ditemukan dalam proses implementasi unsur pengarah ini adalah proses perekrutan dengan melalui proses fit and proper test di ,P), .Pro"insi dan 7abupaten57ota/. !entu saja ini menjadi polemik sendiri karena meskipun unsur pengarah bukan &7P, tetapi berada di ba#ah komando 7epala BPB, dan biasanya untuk tingkat daerah proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah umumnya menjadi #e#enang kepala daerah sehingga jika proses ini melibatkan ,P), maka diperkirakan proses akan berjalan lambat berbiaya tinggi serta rentan terhadap unsur politik uang. 8! ! !( Keterbatasan Sumber %a:a )anusia (S%)) %eskipun bencana sudah sering terjadi di $ndonesia namun tidak banyak &,% yang memiliki kemampuan di bidang kebencanaan. 7eterbatasan &,% ini tentu saja menimbulkan masalah tersendiri terutama jika dikaitkan dengan upaya pembentukan BPB, di seluruh #ilayah $ndonesia. Berdasarkan Permendagri No. 4- tahun 200- tentang &6!7 .&atuan 6rganisasi !ata 7erja/ BPB, yang menyatakan pro"insi #ajib membentuk BPB, sementara untuk tingkat kabupaten5kota juga #ajib membentuk BPB, .klasi+ikasi 3 atau B/ maka bisa dibayangkan berapa banyak &,% yang memiliki keahlian di bidang kebencanaan yang dibutuhkan oleh Pemerintah ,aerah. 9ika seumpama seluruh pro"insi membentuk BPB, maka minimal &,% bidang kebencanaan yang dibutuhkan sebanyak 020 orang untuk le"el pelaksana harian dan kepala bidang. Belum lagi untuk le"el sta+ lainnya. 9ika separuh 7abupaten57ota membentuk BPB, maka bisa dibayangkan berapa banyak kebutuhan akan tenaga &,% di bidang kebencanaan. !ampaknya tugas pemerintah untuk meningkatkan kapasitas di bidang kebencanaan masih sangat berat dan panjang.

04

8! ! !, Anggaran BPB% Pembentukan sebuah &7P, tentu saja memiliki konsekuensi terhadap alokasi anggaran bagi &7P, yang baru dibentuk demikian juga dengan BPB,. ,iperkirakan anggaran yang harus dialokasikan kepada BPB, akan sangat besar jika ditinjau dari sisi tugas pokok dan +ungsi yang diembannya serta dari sisi jumlah &,% yang ada di dalamnya. 3nggaran ini akan semakin besar mengingat adanya unsur pengarah dari kalangan pro+esional serta proses rekrutmennya yang melibatkan ,P),.

8! !# )asalah %e.enisi dan Status Bencana %asalah selanjutnya yang juga harus diselesaikan dengan segera adalah terkait dengan de+inisi teknis operasional bencana serta status bencana. <ingga sekarang belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang apa yang disebut dengan bencana. ,i samping itu juga belum ada kategori tentang status bencana apakah termasuk bencana lokal pro"insi atau nasional. Penetapan kategori status ini penting karena akan terkait erat dengan sumber daya yang akan digunakan dalam mengatasi kejadian bencana apakah hanya berasal dari 3PB, atau 3PBN atau dengan tambahan bantuan luar. ,isamping itu de+enisi bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam menggunakan angggaran termasuk dalam kategori dana cadangan. 9ika ukuran bencana tidak jelas maka dikha#atirkan pemerintah akan mengeluarkan dana secara se#enang-#enang atau sebaliknya apabila bencana tidak dianggap sebagai bencana maka anggaran tidak dikeluarkan sehingga dikha#atirkan jumlah korban akan meningkat. 8! !( )asalah Kerjasama Antar %aerah dalam Penanggulangan Bencana Bencana alam yang terjadi di suatu daerah seringkali sumber ancamannya berasal dari gangguan ekosistem dimana sumber gangguannya dapat berasal dari daerah dengan #ilayah administrasi yang berbeda. <ingga saat ini sistem perencanaan dan penganggaran yang ada termasuk yang diatur di dalam UU No. 2452007 juga belum menjelaskan dan mengatur kemungkinan dan mekanisme kerjasama dalam penanggulangan bencana antar daerah. 9! =ekomendasi ,alam melaksanakan ketiga prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 .cepat dan tepatG prioritasG dan koordinasi dan keterpaduan/ kelembagaan penanggulangan bencana harus dapat bertindak lintas sektor dan lintas #ilayah serta memiliki rantai komando yang jelas dan e+ekti+. ,alam kaitan kemampuan bertindak lintas sektor pada saat ini beberapa departemen teknis di tingkat pusat dan beberapa &7P, di daerah telah menjalankan +ungsi penanggulangan bencana. ;ungsi koordinasi telah dijalankan oleh unsur pimpinan nasional dan pimpinan daerah. 7eberadaan BNPB dam BPB, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola kerja dan koordinasi yang telah berjalan. 7arena itu pendirian BNPB dan BPB, perlu dikelola secara bijaksana dan

0*

bertahap serta dilengkapi berbagai peraturan yang mendukung kemampuan bertindak lintas sektor. Bencana yang terjadi dampak dan penyebabnya pada umumnya lintas #ilayah. Pada sisi lain BPB, dibentuk oleh pemerintah daerah bersama dengan ,P), dan dibiayai oleh anggaran daerah. !erkait dengan kebijakan ini beberapa hal yang perlu dicermati4 %ekanisme kerja sama antar #ilayah untuk menanggulangi bencana perlu dikembangkan. ,ua inisiati+ yang dapat dijadikan rujukan adalah pengelolaan daerah aliran sungai .,3&/ di N!! dan '+orum %erapi di 9a#a !engah dan ,$D. 7ondisi kera#anan bencana tidak berbanding lurus dengan potensi daerah sehingga pada beberapa daerah miskin justru tingkat kera#anan tinggi sementara pada daerah yang secara ekonomi lebih baik tingkat kera#anan lebih rendah. Pola penetapan anggaran untuk bencana dengan demikian perlu disesuaikan dengan tingkat kera#anan. )antai komando yang jelas dan e+ekti+ khususnya dalam +ungsi pelaksanaan menuntut BNPB dan BPB, memiliki hubungan kelembagaan yang bersi+at komando. Proses pembentukan dan anggaran BPB, oleh pemerintah daerah dan ,P), serta pengisian sta+ oleh pemerintah daerah berpotensi mengurangi tingkat e+ekti"itas pelaksanaan rantai komando dalam penanggulangan bencana.

0?

You might also like